• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Pankreas

Pankreas adalah organ retroperitoneal besar yang terletak langsung dibelakang dinding posterior kantung kecil, di kompartemen (Jaringan otot,pembuluh darah, dan saraf) rongga perut. Pankreas berbentuk memanjang, lunak, rata, berlobus dan berwarna kekuningan kelenjar yang terletak di dinding perut bagian posterior, kurang lebih melintang. Pankreas memiliki fungsi eksokrin dan endokrin yang sangat penting. Kelenjar eksokrin ini adalah untuk biosintesis dan juga di duodenum berfungsi untuk sekresi berbagai enzim pencernaan, Produk eksokrin pankreas dapat diklasifikasikan menjadi konstituen anorganik dan organik. Komponen anorganik utama adalah air, natrium, kalium, klorida, dan bikarbonat. Dan untuk fungsi endokrin ialah yang berkaitan dengan sekresi hormon yang berkaitan dengan metabolisme karbohidrat (Abdullah et al., 2015).

(2)

Pankreas berupa kelenjar lunak dan memanjang yang memiliki fungsi utama, yaitu asinus dan duktus. Kumpulan dari kelenjar eksokrin disebut sel asinar. Sel asinar berfungsi khusus untuk mensintesis, menyimpan, dan mensekresi enzim pencernaan. Hormon dan neurotransmitter berikatan dengan reseptor cyclic adenosine monophosphate (cAMP) pada membran basolateral yang berfungsi untuk merangsang pankreas untuk mengeuarkan enzim dan menghasilkan peningkatan intraseluler. Intraseluler ini mengaktifkan retikulum endoplasma untuk meningkatkan sintesis protein. Enzim ini akhirnya dilepaskan melalui sekresi duktus asinar ke dalam duktus interlobular dan akhirnya ke duktus pankreas utama (Dua and Shaker, 2016).

Salah satu kelenjar endokrin, pankreas bertanggung jawab dalam mengatur kadar gula darah pada rentang normal. Pada Diabetes Melitus disebabkan karena pankreas kurang dalam mengsekresi insulin (Diabetes Melitus Tipe 1) atau dapat dikarenakan sekresi yang tidak cukup untuk insulin mengkompensasi penurunan sensitivitas terhadap efek insulin (Diabetes Melitus Tipe 2). Dengan tidak adanya insulin yang cukup, penggunaan normal glukosa untuk metabolisme dicegah. asam asetoasetat merupakan bagian dari lemak yang dipecah, dimana asam asetoasetat di metabolis oleh jaringan untuk menghasilkan energi yang terletak di dalam glukosa. pada diabetes melitus yang parah, jumlah asam asetoasetat dalam darah dapat meningkat, sehingga mengakibatkan kondisi asidosis metabolik (Guyton and Hall, 2016).

2.2 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus merupakan penyakit gangguan metabolik menahun dengan karakteristik hiperglikemia kronis yang berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein sebagai akibat adanya gangguan sekresi insulin, penurunan efektivitas insulin atau keduanya. Selain itu, Diabetes Melitus dapat dilihat dari Faktor genetik, gaya hidup, dan pola makan yang buruk (Unnikrishnan et al., 2016). Diabetes Mellitus terjadi bila ada peningkatan kadar glukosa dalam darah seseorang karena tubuh tidak dapat memproduksi hormon insulin. Insulin adalah salah satu hormon penting yang diproduksi di pankreas, insulin juga penting untuk metabolisme protein dan lemak. Kekurangan insulin di dalam tubuh dapat menyebabkan tingginya kadar glukosa darah (Hiperglikemia).

(3)

Kekurangan Insulin dalam jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan pada organ tubuh dan menyebabkan komplikasi seperti penyakit kardiovaskuler (CVD), kerusakan saraf (Neuropati), kerusakan ginjal (Nefropati), dan penyakit mata (menyebabkan retinopati bahkan menyebabkan kebutaan) (IDF, 2019).

Tabel II.1 Glukosa Darah Normal, IFG, IGT, dan Diabetes (Tandra, 2017)

Kadar Glukosa Darah mg/dl mmol/l HbA1C

Normal Puasa

2 jam sesudah makan

< 100 > 200

< 5,6 < 7,8

≤ 5,6%

Impaired Fasting Glucose (IFG)

Puasa

2 jam sesudah makan

≥ 100 & < 126 > 200 ≥ 5,6 & < 7,0 < 7,8 5,7-6,4 %

Impaired Glucose Tolerance (IGT)

Puasa

2 jam sesudah makan

≥ 126 ≥ 140 & < 200 ≤ 7,0 ≥ 7,8 & < 11,1 5,7-6,4 % Diabetes Mellitus Puasa

2 jam sesudah makan

≥ 126 ≥ 200 ≥ 7,0 ≥ 11,1 ≥ 6,5 % 2.3 Epidemiologi

Jumlah penderita Diabetes Melitus di seluruh dunia terus meningkat setiap tahun, menurut WHO pada tahun 2014 Mencapai 422 juta penderita lebih meningkat dua kali lipat dibandingkan pada tahun 1980 sekitar 108 juta (WHO,

(4)

2019). WHO memperkirakan adanya peningkatan jumlah penderita cukup meningkat setiap tahun di Indonesia mencapai 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Di Indonesia berdasarkan data dari International Diabetes Federation (IDF) juga menjelaskan bahwa penderita Diabetes Melitus terdapat 10,3 juta pada tahun 2013-2017 dan meningkat menjadi 16,7 juta pada tahun 2045.

Di Indonesia penderita Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesar di Propinsi Maluku Utara dan Kalimantan Barat yang mencapai 11,1%. Indonesia merupakan negara peringkat ke-5 dengan jumlah penderita Diabetes Mellitus terbanyak pada tahun 2014. Pada tahun 2013 Indonesia berada diperingkat ke-7 terbanyak di dunia dengan jumlah penderita 7,6 juta (Soelistijo et al., 2019). Berdasarkan data dari Atlas Diabetes International Diabetes Federation (IDF), diperkirakan 79,4 % paling banyak terdapat di negara yang berpenghasilan rendah dan menengah. Berdasarkan estimasi pada tahun 2019 terdapat 463,0 juta, pada tahun 2030 terdapat 578,4 juta dan pada tahun 2045 terdapat 700,2 juta orang dewasa berusia 20-79 tahun yang menderita penyakit diabetes mellitus (IDF, 2019).

2.4 Klasifikasi Diabetes Melitus

WHO menerbitkan klasifikasi diabetes pertama secara global pada tahun 1980 dan diperbaharui pada tahun 1985. Klasifikasi ini mencakup Diabetes Tipe 1, Diabetes Tipe 2, dan Diabetes Gestasional (WHO, 2019). Pada Diabetes Tipe 1 terjadi akibat kerusakan sel-b pankreas yang mengakibatkan defisiensi insulin, Diabetes tipe 2 diderita oleh 90-95% penderita Diabetes Melitus. Risiko mengalami Diabetes Melitus tipe 2 yaitu seiring bertambahnya usia, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik. Gestational Diabetes Melitus (GDM) Diabetes Melitus tipe ini yang menyebabkan kadar glukosa naik, dan kali pertama diketahui pada waktu hamil dan didiagnosis pada urutan kedua atau ketiga trimester kehamilan, Jenis diabetes tertentu karena penyebab lain, misalnya sindrom diabetes monogenik (seperti diabetes neonatal dan diabetes usia muda) dan Diabetes yang diinduksi obat atau bahan kimia (seperti penggunaan glukokortikoid, dalam pengobatan HIV / AIDS, atau setelah transplantasi organ) (American Diabetes Association, 2018).

(5)

2.4.1 Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes Melitus Tipe 1 ditandai dengan adanya kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga berkurangnya produksi insulin di dalam tubuh. produksi insulin yang rendah dapat mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Manifestasi klinis yang khas pada penderita Diabetes Melitus Tipe 1 yaitu mudah lapar (polifagia), banyak minum (polidipsi), sering buang air kecil (poliuria), penurunan BB yang cepat dalam 2-6 minggu dan kadar glukosa plasma 200 mg/dL (11.1 mmol/L) (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015).

2.4.2 Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes Melitus Tipe 2 yaitu suatu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena ketidakmampuan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. 90-95% adalah penderita Diabetes Melitus Tipe 2, Sebagian besar tidak semua pasien dengan Diabetes Tipe 2 kelebihan berat badan atau obesitas. Berat yang berlebih itu sendiri menyebabkan beberapa derajat resistensi insulin. Manifestasi dari Diabetes Melitus Tipe 2 jarang sekali terjadi poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan. Diabetes Melitus Tipe 2 ini dapat terjadi karena pola hidup yang tidak benar (obesitas, kurangnya aktivitas fisik, dan kalori yang berlebihan di dalam tubuh) atau faktor genetik (American Diabetes Association, 2018).

2.4.3 Diabetes Gestasional

Diabetes Gestasional adalah suatu keadaan intoleransi karbohidrat yang mengakibatkan hiperglikemia dengan pengenalan pertama selama masa kehamilan. Diabetes terdiagnosis pada trimester kedua atau ketiga (Carediabetes, 2018). Prevalensi Diabetes Gestasional (GDM) di Amerika Serikat sekitar 9% berdasarkan data dari DeSisto menggunakan Pregnancy Risk Assessment Monitoring System (PRAMS) dengan kisaran dari 1% sampai 25% tergantung pada etnis wanita hamil dan kriteria diagnostik yang digunakan untuk diagnosis (Mack & Tomich, 2017).

(6)

2.4.4 Diabetes Melitus Tipe Lain

Tipe diabetes ini relatif jarang terjadi. Diabetes Melitus tipe ini terjadi akibat penyebab yang lain, yaitu berupa gangguan endokrinopati yang menyebabkan hiperglikemia akibat peningkatan produksi glukosa hati, dapat mempengaruhi kerja insulin, kelainan imunologi, sindroma monogenik (seperti diabetes neonatal dan diabetes usia muda), dan penyakit pankreas eksokrin (seperti fibrosis kistik dan pankreatitis) (American Diabetes Association, 2018).

2.5 Etiologi

Diabetes Melitus merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Risiko terjadinya Diabetes Melitus yaitu terdiri dari beberapa faktor seperti faktor usia, jenis kelamin, faktor keturunan yaitu asal-usul keluarga yang menderita Diabetes Melitus, perilaku hidup yang buruk (seperti merokok, asupan alkohol), obesitas, diet tidak benar, tekanan darah tinggi, pola makan yang tidak sehat dan kurangnya latihan jasmani. Selain itu, penyebab Diabetes Melitus yaitu kurangnya produksi dan ketersediaan insulin dalam tubuh atau terjadinya gangguan fungsi insulin (Zheng et al., 2018).

2.5.1 Faktor Keturunan / genetik.

Diabetes Melitus merupakan penyakit degeneratif yang sangat dipengaruhi oleh faktor genetik. Sekitar 50%-75% pasien memiliki orang tua yang menderita Diabetes Melitus. Sekitar 15% anak menderita Diabetes Melitus jika salah satu dari orang tuanya menderita Diabetes Melitus Tipe 2 dan sekitar 75% anak menderita Diabetes Melitus jika kedua orang tuanya menderita Diabetes Melitus Tipe 2 (Soelistijo et al., 2019).

2.5.2 Obesitas dan Kegemukan

Obesitas adalah suatu keadaan dimana seseorang memiliki kelebihan berat badan karena adanya penumpukan lemak yang berlebihan di dalam tubuh. Masyarakat biasanya mengenal obesitas dengan istilah kegemukan atau badan menjadi lebih berat/gemuk. Obesitas disebabkan oleh tidak seimbangnya jumlah energi yang masuk dan jumlah energi yang di keluarkan oleh tubuh. Obesitas ditandai dengan adanya penumpukan jaringan lemak yang disimpan didalam tubuh (Evan Wijaksana, 2016).

(7)

Secara global, Prevalensi standar Diabetes Melitus Tipe 2 mengalami peningkatan seperti pada negara China yaitu 18,41,42. Prevalensi pada pria yang mengalami obesitas meningkat dari 3,2% pada tahun 1975 menjadi 10,8% pada tahun 2014 dan prevalensi pada wanita yang mengalami obesitas dari 6,4 % menjadi 14,9%. Diperkirakan pada tahun 2025 prevalensi obesitas mencapai 18% pada pria dan 21% pada wanita (Soelistijo et al., 2019).

2.5.3 Faktor diet dan Pola hidup

Penyebab timbulnya Diabetes Melitus adalah mengkonsumsi makanan yang berlebihan dan jumlah kalori yang masuk ke dalam tubuh tidak terkontrol. Faktor penyebab juga terjadi akibat pola hidup yang tidak sehat, kurangnya aktivitas fisik juga merupakan faktor penyebab Diabetes Melitus, karena berolahraga dapat membakar kalori yang berlebih di dalam tubuh. Salah satu penelitian telah menunjukkan bahwa melakukan aktivitas fisik dapat mencegah resistensi insulin.

Rekomendasi diet untuk mencegah terjadinya Diabetes Melitus biasanya diet berupa biji-bijian, buah-buahan, sayuran, dan kacang-kacangan. Memperbaiki pola makan dan gaya hidup merupakan aspek pencegahan. Uji klinis menyatakan bahwa gaya hidup intensif dapat menurunkan kejadian Diabetes Melitus sebesar 58% (Soelistijo et al., 2019).

2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang khas pada penderita Diabetes Melitus Tipe 1 yaitu mudah lapar (polifagia), banyak minum (polidipsi), sering buang air kecil (poliuria), Gejala sering disertai dengan merasa cepat lelah karena glukosa tidak dapat bekerja maksimal disertai penurunan berat badan yang ditandai dengan kerusakan lipid dan protein dalam tubuh sebagai alternatif energi bagi glukosa biasanya penurunan berat badan yang cepat dalam 2-6 minggu. Orang dengan Diabetes Melitus Tipe 1 membutuhkan sumber insulin eksogen untuk mempertahankan hidup. Manifestasi yang biasa muncul sama seperti Diabetes Melitus tipe 1 yaitu sering buang air kecil (poliuria) dan banyak minum (polidipsia), sedangkan mudah lapar (polifagia) dan penurunan BB. Manifestasi lain juga akibat hiperglikemia yaitu gangguan penglihatan, keletihan, kesemutan (Parestesia), infeksi kulit, dan serangan jantung (Margaret, 2018).

(8)

2.7 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis Diabetes Melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis diambil saat pasien dalam keadaan puasa ≥ 126 mg/dL (7 mmol/L), dimana disaat puasa tidak ada asupan kalori minimal 8 jam atau pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram glukosa oral atau pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL atau pemeriksaan HbA1c ≥6,5% (Soelistijo et al., 2019).

Diabetes juga dapat didiagnosis dengan mengukur hemoglobin terglikasi (HbA1c) (Margaret, 2018). Selain itu, diagnosis dapat dilakukan dengan melihat manifestasi klinis berupa poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, dan kadar glukosa plasma sewaktu 200 mg/ dL (11.1 mmol/L). Atau ditambah dengan keluhan lain yaitu lemah badan, kesemutan, gatal, dan mata kabur.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100 – 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam > 200 mg/dL

 Toleransi Glukosa terganggu (TGT) : Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140 – 199 mg/dL dan glukosa plasma puasa < 100 mg/dL

 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan dengan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 – 6,4 % (Soelistijo et al., 2019)

(9)

Tabel II.2 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan Prediabetes

2.8 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Gambar 2.2. Sebelas Organ yang berperan dalam Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 (Schwartz et al., 2016)

Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari Diabetes Melitus Tipe 2. Organ lain yang juga terlibat adalah jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi inkreatin), sel alfa pankreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin).

HbA1c (%) Glukosa Darah Puasa (mg/dL)

Glukosa Plasma 2 jam setelah TTGO (mg/dL)

Diabetes ≥ 65 ≥ 126 ≥ 200

Pre-Diabetes 5,7 – 6,4 100 – 125 140 – 199

(10)

Schwartz pada tahun 2016 menyatakan bahwa secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal (egregious eleven) yaitu :

1. Kegagalan sel beta pankreas

Pada saat diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini yaitu Sulfonilurea, Meglitinid, Agonis glucagon-like peptide (GLP-1) dan Penghambat dipeptidil peptidase-4 (DPP-4).

2. Disfungsi sel alfa pankreas

Sel alfa pankreas merupakan organ ke 6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan produksi glukosa hati (hepatic glucose production) dalam keadaan meningkat. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi Agonis GLP-1, Penghambat DPP-4, dan Amilin.

3. Sel lemak

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (free fatty acid (FFA)) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan resistensi insulin di hati dan otor, sehingga mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas. Obat yang dapat bekerja pada jalur ini adalah Tiazolidindion.

4. Otot

Pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 terdapat gangguan kinerja insulin yang multipel di intramioseluler yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi tirosin, sehingga terjadi gangguan transport glukosa dalam sel otot, terjadi penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi gula darah. Obat yang bekerja pada otot yaitu Metformin dan Tiazolidinedion.

5. Hepar

Pada penderita diabetes mellitus tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal di hepar (hepatic glucose production) meningkat. Terapi yang dapat bekerja melalu jalur ini adalah Metformin yang menekan proses glukoneogenesis.

(11)

6. Otak

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obese baik yang Diabetes Melitus maupun non-Diabetes Melitus. Didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur ini adalah Agonis GLP-1, Amilin, dan Bromokriptin.

7. Kolon/Mikrobiota

Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan Diabetes Melitus Tipe 1 dan Diabetes Melitus Tipe 2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat badan berlebih akan berkembang Diabetes Melitus. Probiotik dan prebiotik diperkirakan sebagai mediator untuk menangani keadaan hiperglikemia.

8. Usus halus

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek inkretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP). Pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap hormon GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja dari DPP-4 adalah DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa glukosidase yang akan memecah polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian diserap oleh usus sehingga berakibat meningkatkan glukosa darah postprandial. Obat yang bekerjapada usus halus yaitu Acarbose.

9. Ginjal

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran enzim sodium glucose co-transporter (SGLT-2) pada bagian convulated tubulus

(12)

proksimal, dan 10% sisanya akan diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga terjadi peningkatan gen SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah. obat yang bekerja menghambar kinerja SGLT-2 ini akan menghambat reabsorbsi kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di jalur ini adalah penghambat SGLT-2. Obat yang bekerja di jalur ini yaitu Dapaglifozin, Empaglifozin, dan Canagkifozin.

10. Lambung

Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi kerusakan sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan percepatan pengosongan lambun dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa postprandial.

11. Sistem Imun

Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut (disebut sebagai inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi sistem imun bawaan/innate) yang berhubungan kuat dengan patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 dan berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah berperan dalam induksi stres pada endoplasma akibat peningkatan kebutuhan metabolisme untuk insulin. Diabetes Melitus Tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin perifer dan penurunan produksi insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah pada jaringan perifer seperti adiposa, hepar dan otot. Beberapa dekade terakhir, terbukti adanya hubungan antara obesitas dan resistensi insulin terhadap inflamasi. Hal tersebut menggambarkan peran penting inflamasi terhadap patogenesis diabetes mellitus tipe 2 yang dianggap sebagai kelainan imun (immune disorder) (Soelistijo et al., 2019).

2.9 Patofisiologi Diabetes Melitus

2.9.1 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes Melitus Tipe 1 (5% -10% kasus) biasanya terdapat pada masa kanak-kanak atau awal masa dewasa dan menghasilkan kerusakan sel β pankreas yang dimediasi oleh autoimun, mengakibatkan defisiensi insulin. Diabetes Melitus Tipe 1 terjadi karena tidak adanya insulin yang dikeluarkan oleh sel yang

(13)

berbentuk seperti beta pada pankreas yang terletak di belakang lambung. Bila tidak ada insulin, glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel untuk dirubah menjadi tenaga dan menyebabkan jumlah glukosa dalam darah menjadi meningkat (Dipiro J et al., 2015).

Gambar 2.3 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 1 (Silbernagl et al., 2013)

Diabetes Melitus dapat terjadi karena infeksi virus sehingga menyebabkan penyakit autoimun, autoimun akan merusak sel beta pankreas sehingga mengakibatkan defisiensi insulin. Karena produksi insulin yang rendah maka glukosa darah tidak bisa masuk ke dalam sel untuk diubah menjadi tenaga sehingga terjadi hiperglikemia, lipolisis meningkat dan meningkatnya pemecahan protein.

2.9.2 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Dua patofisiologi utama yang mendasari terjadinya kasus Diabetes Melitus secara genetik adalah resistensi insulin dan defek fungsi sel beta pankreas. Resistensi insulin merupakan kondisi umum bagi orang-orang dengan berat badan overweight atau obesitas. Insulin tidak dapat bekerja secara optimal di sel otot, lemak, dan hati sehingga memaksa pankreas untuk memproduksi insulin lebih banyak. Ketika produksi insulin oleh sel beta pankreas tidak kuat untuk mengkompensasi peningkatan resistensi insulin, maka kadar gula dalam darah meningkat, dan terjadi hiperglikemia.

(14)

Resistensi insulin adalah adanya konsentrasi insulin yang tinggi. Secara molekuler beberapa faktor yang diduga terlibat dalam patogenesis resistensi insulin antara lain, perubahan pada protein kinase B, mutasi protein Insulin Receptor Substrate (IRS), peningkatan fosforilasi serin dari protein IRS, Phosphatidylinositol 3 Kinase (PI3 Kinase), protein kinase C, dan mekanisme molekuler dari inhibisi transkripsi gen IR (Insulin Receptor).

Sel beta pankreas merupakan sel yang sangat penting dibandingkan dengan sel alfa, sel delta, dan sel jaringan ikat pada pankreas. Disfungsi sel beta pankreas terjadi akibat faktor genetik dan faktor lingkungan. Ada beberapa teori yang menerangkan bagaimana terjadinya kerusakan sel beta, diantaranya adalah teori glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan penumpukan amiloid. Efek hiperglikemia terhadap sel beta pankreas yaitu desensitasi sel beta pankreas, yaitu gangguan sementara sel beta yang dirangsang oleh hiperglikemia yang berulang (Decroli, 2019).

Gambar 2.4 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2 (Grossman, 2014) Disfungsi sel beta pankreas terjadi akibat faktor genetik dan faktor lingkungan seperti pola hidup yang tidak sehat. Pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 predisposisi genetik dapat terjadi akibat penyerapan insulin yang terganggu sehingga mengakibatkan produksi glukosa di hati meningkat dan terjadi

(15)

hiperglikemia. Pada faktor lingkungan seperti pola makan yang tidak sehat dapat menyebabkan obesitas dan mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Jika insulin tidak bekerja di dalam sel secara optimal maka mengakibatkan penurunan penyerapan glukosa di otot sehingga terjadi hiperglikemia.

2.10 Komplikasi

Pada penderita Diabetes Melitus dibagi menjadi 2 yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik :

2.10.1 Komplikasi Akut

Komplikasi akut pada penderita Diabetes Melitus yaitu Hipoglikemia, Ketoasidosis Diabetik, dan Hiperosmolar Hiperglikemik State.

A. Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah salah satu komplikasi akut pada penderita Diabetes Melitus. Kondisi ini terjadi ketika kadar glukosa atau kadar gula darah dalam tubuh dibawah normal. Hipoglikemia terjadi karena menurunnya kadar glukosa darah < 70 mg/dL. Gejala hipoglikemia adalah banyak keringat, gemetar, jantung berdebar, pusing/sakit, kepala, lapar, gelisah, kesadaran menurun sampai koma (Soelistijo et al., 2019).

B. Diabetes Ketoasidosis

Diabetes Ketoasidosis adalah suatu keadaan yang ditandai dengan hiperglikemia, asidosis, dan ketosis yang merupakan salah satu komplikasi akut metabolik Diiabetes melitus. Kondisi ini dapat ditandai dengan hiperglikemia > 300 mg/dL , ketosis, asidosis, osmolaritas plasma meningkat, mulut dan kulit menjadi kering, pandangan kabur, kelelahan, mual, dan muntah (Soelistijo et al., 2019).

C. Hiperosmolar Hiperglikemik State

Suatu keadaan dimana terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi yaitu 600-1200 mg/dL , Gula didalam darah akan menarik air keluar sel sehingga dikeluarkan melalui urin secara terus menerus dan menyebabkan dehidrasi. Hiperosmolar Hiperglikemik State dapat juga disebut dengan hiperglikemia hiperosmolar non ketotik (HHNK) yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan

(16)

hiperglikemia yang ditandai dengan adanya perubahan tingkat kesadaran (Soelistijo et al., 2019).

2.10.2 Komplikasi Kronik

Komplikasi ini terdiri dari komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler utamanya didasarkan oleh adanya resisten insulin, sedangkan komplikasi mikrovaskuler lebih dikarenakan hiperglikemia kronis (Decroli, 2019).

1. Makrovaskuler

a. Penyakit Jantung Koroner

Penyakit jantung koroner adalah kondisi ketika pembuluh darah jantung (arteri koroner) tersumbat oleh timbunan lemak. Bila lemak makin menumpuk, maka arteri makin menyempit, dan membuat aliran darah ke jantung berkurang. Kondisi dimana jantung tidak dapat memompa darah dengan baik (Margaret, 2018). Intervensi beberapa faktor risiko (lipid, hipertensi, berhenti merokok, dan terapi antiplatelet) (Soelistijo et al., 2019).

b. Penyakit arteri perifer.

Penyakit arteri perifer adalah suatu keadaan dimana terjadi penyempitan pembuluh darah arteri yang menyebabkan aliran darah ke kaki menjadi tersumbat. Penyempitan ini disebabkan oleh timbunan lemak pada dinding arteri yang berasal dari kolesterol. Dalam kondisi ini, kaki akan terasa sakit terutama saat berjalan (klaudikasio). Penyebab kondisi ini yaitu Obesitas, diabetes, kebiasaan merokok, hipertensi, dan kolesterol tinggi (Margaret, 2018).

c. Cerebrovascular Disease (CVD)

Cerebrovaskular adalah suatu kelainan pada pembuluh darah yang terjadi penyumbatan ke otak, terutama arteri otak. CVD disebabkan oleh gangguan pada pembuluh darah otak, berupa penyumbatan ataupun pecah pembuluh darah otak (Margaret, 2018).

2. Mikrovaskular a. Retinopati Diabetik

Diabetik retinopati adalah suatu keadaan yang terjadi pada mata orang dewasa dengan umur 20-74 tahun. Penyebab dari komplikasi ini ialah rusaknya pembuluh darah darah dari jaringan yang sensitif terhadap cahaya di retina.

(17)

Retinopatik diabetik dapat berkembang pada penderita Diabetes Melitus 1 dan Diabetes Melitus 2, semakin tinggi kadar gula dalam darah semakin tinggi risiko terkena komplikasi ini. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko yaitu hipertensi, hiperglikemia, dan nefropati. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko atau memperlambat progresi retinopati (Soelistijo et al., 2019).

b. Nefropati Diabetik

Nefropati adalah penyakit atau kerusakan pada ginjal. Nefropati Diabetik adalah kerusakan ginjal yang disebabkan oleh Diabetes Melitus. Hal ini terjadi karena glomerulus tidak dapat menyaring protein dan glukosa, sehingga protein dan glukosa tidak dapat direabsorbsi dan keluar bersama urin. Penderita nefropati diabetik berkaitan dengan hipertensi sehingga menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus yang menjadi kerusakan ginjal (Soelistijo et al., 2019).

c. Neuropati Diabetik

Neuropati Diabetik adalah suatu keadaan yang menyerang saraf ekstremitas, khususnya pada tungkai (IDF Diabetes Atlas, 2017). Pada neuropati diabetik, hilangnya sensasi distal merupakan faktor penting yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki yang meningkatkan risiko amputasi. Gejala diabetic neuropathy dapat dirasakan dari rasa sakit dan mati rasa pada kaki, kaki terasa terbakar dan bergerak sendiri, sistem pencernaan yang bermasalah, saluran kemih, pembuluh darah dan jantung. Diabetic neuropathy bisa dicegah atau diperlambat dengan mengontrol kadar glukosa yang ketat dan gaya hidup sehat (American Diabetes Association, 2018).

2.11 Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2

Dalam mengobati pasien Diabetes Melitus Tipe 2 tujuan penatalaksanaan secara umum yang harus dicapai adalah meningkatkan kualitas hidup pasien. Tujuan penatalaksanaan meliputi penatalaksanaan jangka pendek yaitu menghilangkan keluhan dan tanda penderita Diabetes Melitus, mempertahankan rasa nyaman, mencapai target pengendalian glukosa darah, memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut. Penatalaksanaan jangka panjang yaitu untuk mencegah dan menghambat progresivitas komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. Tujuan akhir pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 adalah

(18)

menurunkan angka mortalitas dan morbiditas Diabetes Melitus (Soelistijo et al., 2019).

Penatalaksanaan umumnya dibagi menjadi 2 bagian yaitu terapi non farmakologis dan terapi farmakologi :

2.11.1 Terapi Non Farmakologis 1. Edukasi

Edukasi untuk penderita Diabetes Melitus Tipe 2 harus memfokuskan pada perubahan gaya hidup (diet dan aktivitas fisik), di samping edukasi tentang pemberian obat antidiabetes oral dan insulin. Edukasi sebaiknya dilakukan oleh tim yang melibatkan ahli gizi dan psikolog, serta,ahli aktivitas fisik. Edukasi sebaiknya juga diberikan kepada seluruh anggota keluarga agar mereka memahami pentingnya perubahan gaya hidup untuk keberhasilan manajemen Diabetes Melitus Tipe 2 (Yati et al., 2015). Materi edukasi meliputi materi edukasi tingkat awal yang diselenggarakan di pelayanan kesehatan primer yang meliputi intervensi non farmakologi dan farmakologi serta target pengobatan, cara pemantauan glukosa darah, mengenal dan penanganan awal pada gejala hipoglikemia, serta pentingnya latihan jasmani yang teratur. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Sekunder dan Tersier, yang meliputi pengetahuan mengenai penyulit menahun Diabetes Melitus dan penatalaksanaan selama menderita penyakit lain (Soelistijo et al., 2019).

2. Terapi Nutrisi Medis

Terapi nutrisi medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes mellitus hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang Diabetes Melitus perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari lemak, karbohidrat, protein, natrium, dan serat (Soelistijo et al., 2019).

(19)

3. Diet

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Cara yang paling umum digunakan adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal (BBI), ditambah atau dikurangi dengan beberapa faktor koreksi. Faktor koreksi ini meliputi jenis kelamin, umur, aktivitas, dan berat badan.

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan antara lain : a. Jenis Kelamin

Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dibandingkan kebutuhan kalori pada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BBI dan pria sebesar 30 kal/kg BBI.

b. Usia

Untuk pasien berusia di atas 40-59 tahun: kebutuhan kalori dikurangi 5%, dikurangi 10% (untuk usia 60-69 tahun), dan dikurangi 20% (untuk usia > 70 tahun).

c. Aktivitas Fisik

Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik. Penambahan 10% dari kebutuhan kalori basal diberikan pada pasien dalam keaadaan istirahat total, penambahan 20% diberikan pada pasien dengan aktivitas fisik ringan, penambahan 30% diberikan pada pasien dengan aktivitas fisik sedang, dan penambahan 50% diberikan pada pasien dengan aktivitas fisik sangat berat.

d. Berat Badan

Pada pasien obesitas, kebutuhan kalori dikurangi 20-30% dari kebutuhan kalori basal dan pada pasien dengan underweight, kebutuhan kalori ditambah 20-30% dari kebutuhan kalori basal. Kebutuhan kalori basal perhari untuk perempuan sebesar 25 kal/kgBB sedangkan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB. kalori total ini dibagi dalam 3 porsi besar untuk waktu makan utama yaitu makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%). (Decroli, 2019).

(20)

4. Komposisi Makanan

Persentase asupan karbohidrat yang dianjurkan untuk pasien Diabetes Melitus Tipe 2 adalah sebesar 45-65% dari kebutuhan kalori total. Persentase asupan lemak yang dianjurkan adalah sekitar 20-25% dari kebutuhan kalori total dan tidak diperkenankan melebihi 30%. Persentase asupan lemak jenuh yang dianjurkan adalah kurang 7 % dari kebutuhan kalori total. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah bahan makanan yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu (whole milk). Anjuran konsumsi kolesterol adalah kurang 300 mg/hari. Persentase asupan protein yang dianjurkan adalah sebesar 10 – 20% dari kebutuhan kalori total. Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe (Decroli, 2019).

5. Latihan Fisik

Latihan jasmani merupakan salah satu penatalaksanaan dalam pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. Latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan jasmani. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa jalan cepat, bersepeda santai, dan jogging. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani (Soelistijo et al., 2019).

(21)

2.11.2 Terapi farmakologis

Gambar 2.5 Algoritma Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 (Soelistijo et al., 2015)

Tabel II.3 Daftar Obat Anti Diabetes (Soelistijo et al., 2019)

Golongan Obat

Biguanid Metformin

Sulfonilurea

Generasi pertama : Tolbutamid, Tolazamid, Asetoheksimid, dan Klorpropamid

Generasi Kedua : Glibenklamid/Gliburid, Glipizid, Glikazid, gliklopiramid dan Glikuidon

Generasi ketiga : Glimepirid

Glinide Meglitinide, Repaglinide, dan Nateglinide

(22)

Penghambat

Alfa-Glukosidase Acarbose

Penghambat DPP-1V Inhibitor

Vildagliptin, Sitagliptin, Saxagliptin, dan Linagliptin

Penghambat SGLT-2 Dapaglifozin, Canaglifozin, dan Empaglifozin

Agonis ReseptorGLP-1 Liraglutide, Semaglutide, Lixisenatide, Albiglutide, Exenatide, dan Dulaglutide

Insulin

 Insulin Rapid Acting : Insulin Lisipro (Humalog), Insulin Aspart (Novorapid), Insulin Faster Aspart (Flasp), dan Insulin Glulisin (Apidra)

 Insulin Short Acting : Humulin R, dan Actrapid

 Insulin Intermediate Acting : Humulin N, Insulatard, dan Insuman Basal

 Insulin Long Acting : Insulin Glargine (Lantus), Insulin Detemir (Levemir), Lantus 300

1. Golongan Sulfonilurea

Sulfonilurea digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan Diabetes Melitus, terutama bila konsentrasi glukosa darah tinggi. Obat ini memiliki efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan sulfonilurea yaitu Generasi pertama (tolazamid, klorpropramid, tolbutamid, asetoheksimid,) Generasi kedua (glikuidon, gliklopiramid, glipizid, glikazid, glibenklamid,), dan Generasi ketiga (glimepiride). Sulfonilurea generasi pertama sangat jarang digunakan karena memiliki efek hipoglikemi hebat sedangkan sulfonilurea generasi II dan generasi III mempunyai waktu paruh pendek yaitu 3-5 jam dan metabolisme lebih cepat. Efek hipoglikeminya berlangsung 12-24 jam sehingga cukup diberikan satu kali sehari. Karena hampir semua sulfonilurea dimetabolisme di hepar dan diekskresi melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh diberikan pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan gangguan

(23)

fungsi hepar atau gangguan fungsi ginjal yang berat. Glikuidon mempunyai efek hipoglikemi sedang, Glikuidon diekskresi melalui empedu dan usus, maka dapat diberikan pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan ganguan fungsi hati dan gangguan fungsi ginjal yang tidak terlalu berat (Decroli, 2019).

2. Golongan Meglitinid

Meglitinid memiliki waktu paruh yang pendek sehingga glinid digunakan sebagai obat setelah makan (postprandial). Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa sedangkan Nateglinide mempunyai waktu paruh yang lebih singkat diabandingkan Repaglinid dan tidak menurunkan gula darah puasa. Obat golongan ini khusus menurunkan glukosa darah post prandial dan memiliki efek hipoglikemi yang minimal. Glinid dimetabolisme dan dieksresikan melalui kandung empedu, sehingga aman digunakan pada lansia yang menderita gangguan fungsi ginjal (Decroli, 2019). 3. Golongan Biguanid

Salah satu obat golongan biguanid yaitu Metformin. Metformin pertama kali disintesis pada tahun 1922 dan diperkenalkan sebagai obat pada tahun 1957 dan sampai saat ini Metformin dikenal sebagai obat anti diabetik. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus Diabetes Melitus. Metformin merupakan Obat Anti Diabetik (OAD) golongan biguanid yang digunakan untuk menurunkan kadar gula dalam darah yang meningkat pada penderita Diabetes Melitus. Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki glukosa di jaringan perifer. Obat ini dapat digunakan sebagai obat tunggal atau dikombinasikan dengan obat penurun gula darah yang lain. Pada Diabetes Melitus Tipe 2, hormon insulin yang diproduksi oleh pankreas untuk mengatur kadar gula dalam darah tidak dapat digunakan oleh tubuh secara optimal. Akibatnya, kadar gula dalam darah mengalami peningkatan. Metformin bekerja dengan cara meningkatkan efektivitas tubuh dalam menggunakan insulin untuk menekan peningkatan kadar gula darah. Selain itu, Metformin tidak menyebabkan efek samping hipoglikemia (Sanchez-Rangel & Inzucchi, 2017).

(24)

Metformin juga merupakan obat anti diabetik yang paling sering diresepkan pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Selain dapat menekan peningkatan kadar gula dalam darah, Metformin juga bekerja mengurangi penyerapan glukosa usus dan menurunkan kadar insulin plasma puasa (Wang et al., 2017). Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30- 60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan seperti: GFR <30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, dan gagal jantung. Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia (Soelistijo et al., 2019).

4. Golongan Tiazolidindion (TZD)

Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Tiazolidinedion menurunkan produksi glukosa di hepar, menurunkan kadar asam lemak bebas di plasma, menurunkan kadar HbA1c (1-1,5%), dan meningkatkan HDL. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung, karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati dan tidak dianjurkan penggunaannya pada usia lanjut. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone (Soelistijo et al., 2019).

5. Golongan penghambat alfa glukosidase

Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa setelah makan pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Penggunaan acarbose pada lansia relatif aman karena tidak merangsang sekresi insulin sehingga tidak dapat menyebabkan hipoglikemi. Efek samping berupa gejala gastroinstestinal, seperti meteorismus, flatulence dan diare dan kontraindikasi pada penyakit sirosis hati, obstruksi saluran cerna, dan irritable bowel syndrome (Decroli, 2019).

6. Golongan DPP4- inhibitor

Ada dua jenis peptida yang tergolong incretin yaitu GLP-1 (Glucagon Like Peptide-1) dan GIP (Glucose dependent Insulinotropic Peptide). GLP-1 lebih penting dalam metabolisme glukosa dibandingkan GIP. GLP-1 berperan dalam

(25)

meningkatkan sekresi insulin, terutama sekresi insulin fase 1 akibat rangsangan glukosa pada sel beta dan menekan sekresi glukagon. Setelah disekresi di usus halus (ileum), GLP-1 memasuki peredaran darah dan aktif bekerja dalam meningkatkan proses sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon. GLP-1 tidak dapat bertahan lama didalam darah (waktu paruh pendek 1–2 menit) karena segera dihancurkan oleh enzim DPP-4 (dipepeptidyl peptidase-4). Salah satu upaya untuk mempertahankan GLP-1 lebih lama didalam darah adalah dengan menekan enzim DPP-4 yakni dengan menggunakan DPP-4 inhibitor Dengan demikian, aktifitas GLP-1 meningkat. Contoh obat golongan DPP4-Inhibitor yakni Linagliptin, Sitagliptin, dan Vildagliptin (Decroli, 2019).

7. Golongan SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2) Inhibitor

Obat golongan penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2) merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini adalah Empaglifozin, Canaglifozin, dan Dapaglifozin (Decroli, 2019).

8. Insulin

Insulin dapat diberikan pada semua pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan kontrol glikemik yang buruk. Insulin juga dapat diberikan pada kasus-kasus Diabetes Melitus Tipe 2 yang baru dikenal dengan penurunan berat badan yang hebat dan dalam keadaan ketosis (Decroli, 2019). Selain itu, Insulin diberikan pada keadaan HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik, Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke), Kehamilan dengan Diabetes Melitus Gestasional yang tidak terkendali, Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat. Insulin memiliki beberapa efek samping, yaitu efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia, efek samping lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin (Soelistijo et al., 2019).

(26)

2.12 Tinjauan Metformin

Gambar 2.6 Struktur Kimia Metformin (Katzung, 2018)

Metformin merupakan Obat Anti Diabetik (OAD) golongan biguanid banyak digunakan untuk menurunkan kadar gula dalam darah yang meningkat. Pada pasien diabetes yang gemuk, metformin dapat menurunkan berat badan (Farmakologi dan Terapi, 2007). Metformin bekerja dengan cara menghambat produksi glukosa hati (glukoneogenesis). Penghambatan tersebut mengakibatkan terjadinya penundaan absorbsi atau penyerapan glukosa di usus, sehingga menurunkan glukosa plasma baik basal maupun postprandial (setelah makan). Selain itu, Metformin juga bekerja dengan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan perifer. Pada Diabetes Melitus Tipe 2, hormon insulin yang diproduksi oleh pankreas untuk mengatur kadar gula dalam darah tidak dapat digunakan oleh tubuh secara optimal. Akibatnya, kadar gula dalam darah mengalami peningkatan. Metformin juga bekerja dengan cara meningkatkan efektivitas tubuh dalam menggunakan insulin untuk menekan peningkatan kadar gula darah. Selain itu, Metformin tidak menyebabkan efek samping hipoglikemia (Decroli, 2019).

2.12.1 Sifat Fisiko Kimia

Metformin mengandung Metformin Hidroklorida, merupakan serbuk hablur, putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau, higroskopik. Dengan BM 165,6 pKa Metformin 12,4 dan pH larutan yaitu 1% Metformin Hidroklorida 6,8. (Farmakope Indonesia, 2014).

2.12.2 Farmakologi Metformin

Metformin meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan hati dan perifer (otot). Hal ini terjadi peningkatan penyerapan glukosa ke dalam jaringan yang sensitif insulin. Metformin bekerja menurunkan produksi glukosa hati (glukoneogenesis), menurunkan absorpsi glukosa GI, meningkatkan sensitivitas insulin sel target dan memperbaiki glukosa perifer. Metformin memiliki peran

(27)

penting dalam mengaktivasi AMP-activated protein kinase (AMPK) (Dipiro J et al., 2015).

2.12.3 Dosis Metformin

Dosis Merformin yaitu dari 500 mg hingga maksimal yang dianjurkan 2,55 gram per hari, dosis metformin diminum 1 sampai 3 kali sehari setelah makan diminum pada waktu yang sama untuk setiap harinya, dan dapat diberikan dengan dosis rendah yaitu 500 mg 2 kali sehari yang diberikan setelah makan selama beberapa hari dan kemudian ditingkatkan secara bertahap setelah 2–3 minggu dengan penambahan 850 mg per minggu, dapat diminum sekali sehari sampai kontrol gula darah tercapai atau tidak melebihi dosis maksimum 2.550 mg per hari (Katzung, 2018).

2.12.4 Farmakokinetik Metformin

Gambar 2.7 Farmakokinetik Metformin (An Hongying, 2016)

Metformin memiliki waktu paruh 1,5-3 jam dan waktu puncak plasma 35-40 menit (Dipiro J et al., 2015). Metformin oral akan mengalami absorpsi di usus (Intestinal), Metformin tidak dimetabolisme dan dalam darah tidak mengikat protein plasma, dan diekskresikan melalui urin dalam keadaan utuh sebagai senyawa aktif (Farmakologi dan Terapi, 2007). Metformin memiliki peran penting dalam mengaktivasi AMP-activated protein kinase (AMPK). Produksi glukosa hepatik melalui penghambatan kompleks rantai pernapasan mitokondria 1,

(28)

gliserol mitokondria 3-fosfat dehidrogenase (G3PDH), dan AMP deaminase. Penghambatan kompleks mitokondria 1 juga mengarah pada peningkatan kadar AMP / ATP, seperti halnya penghambatan AMP deaminase yang mengakibatkan aktivasi AMPK. Konsentrasi Metformin yang tinggi diperlukan untuk menghambat kompleks mitokondria dan AMP deaminase. Penghambatan Metformin gliserol mitokondria 3-fosfat dehidrogenase (G3PDH) akan meningkatkan kadar NADH dalam sitoplasma dan menekan konversi laktat dari piruvat. Mekanisme aksi Metformin ini penting untuk pasien dengan kadar laktat serum yang tinggi (An Hongying, 2016).

2.12.5 Farmakodinamik Metformin

Bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Tidak merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pankreas, menurunkan absorpsi glukosa intestinal, memperbaiki sensitivitas insulin dengan cara meningkatkan pengambilan dan penggunaan glukosa perifer. Obat ini dilaporkan mempunyai bioavailabilitas absolut yang rendah 50-60%, memiliki konsentrasi maksimal dalam plasma (Cmax) 1,6 ± 0,38 μg/ml dan waktu paruh yang pendek 2-6 jam. Metformin diabsorpsi secara selektif di sepanjang saluran cerna bagian atas (Salve, 2011).

2.12.6 Interaksi Metformin

Cimetidine akan meningkatkan kadar atau efek Metformin melalui persaingan obat dasar (kationik) untuk sekresi tubulus ginjal dan pada saat pemberian bersamaan menyebabkan konsentrasi serum Metformin yang lebih tinggi (Dipiro J et al., 2015). Metformin juga berinteraksi dengan Acarbose karena Acarbose dapat menurunkan kadar Metformin dalam darah dan Acarbose juga merupakan penghambat enzim alfa-glukosidase mengurangi biovailabilitas Metformin dan mengurangi puncak plasma Metformin (Rahman & Octavia, 2019).

2.12.7 Kontraindikasi Metformin

Kontraindikasi Metformin yaitu pada Penyakit ginjal atau disfungsi seperti yang ditunjukkan oleh kreatinin serum >1,5mg/dL pada pria dan >1,4 mg/dL pada wanita, kondisi yang mempengaruhi disfungsi ginjal (misalnya kolaps kardiovaskular dan septikemia), asidosis metabolik akut atau kronis, termasuk ketoasidosis diabetikum. Obat ini digunakan secara hati-hati pada pasien yang

(29)

berusia >80 tahun atau yang memiliki riwayat penyakit jantung kongestif. Penggunaan jangka panjang dapat mengganggu absorpsi vitamin B12 (Harvey, R. A, 2013).

2.12.8 Efek Samping Metformin

Efek samping yang mungkin berupa ganguan saluran pencernaan seperti gejala dispepsia. Efek samping yang paling umum adalah demam, pusing, sakit perut, diare, flatulen, konstipasi, mual, muntah dan anoreksia. Efek ini dapat diminimalkan dengan menurunkan dosis secara perlahan dan dikonsumsi bersama makanan (Dipiro J et al., 2015). Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, pemberian Metformin dapat menimbulkan peningkatan kadar asam laktat dalam darah, sehingga hal ini dapat mengganggu keseimbangan elektrolit dalam cairan tubuh (Farmakologi dan Terapi, 2007).

Gambar

Gambar 2.1.  Anatomi Pankreas (Dolenšek et al., 2015)
Tabel II.1 Glukosa Darah Normal, IFG, IGT, dan Diabetes (Tandra, 2017)
Tabel  II.2    Kadar  Tes  Laboratorium  Darah  untuk  Diagnosis  Diabetes  dan  Prediabetes
Gambar 2.3 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 1 (Silbernagl et al., 2013)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, a. Metode Strategi Kepemimpinan MTs. Muhammadiyah Tanetea adalah 1) memberi perintah kepada bawahan, 2) Memberi Teguran Kepada

Kesimpulan dari hasil penelitian adalah manajemen pembelajaran berbasis kewirausahaan di SMK Negeri 1 Medan dilakukan dengan baik dan berjalan sesuai dengan apa

Teknik pemberian obat dan terapi dapat diberikan dengan berbagi cara disesuaikan dengan kondisi pasien, diantaranya : pemberian obat kulit, mata dan telinga, terapi

Berdasarkan pada permasalahan yang telah dijelaskan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan merumuskan judul “ Meningkatkan

suitable examined by qualitative method. After that, the researcher determined the poem whichis analyzed by looked for the poems content of metaphor. 2) Identification, the

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Akhir Nersini dengan judul “

Peluang tersebut semakin mudah dimanfaatkan berkat kehadiran lembaga pemasaran Swadesa, yang memiliki tujuan utama untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu menganalisa daya penyerapan air laut pada Material Komposit serat pelepah sawit per 24 jam selama 9 hari