• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Oleh :

ARDO DAMANIK NIM : 130200349

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

Edy Ikhsan

**

Rabiatul Syahriah

***

Perjanjian dikenal adanya suatu asas kebebasan berkontrak dan asas keseimbangan. Namun dalam prakteknya pada perjanjian kerjasama telah ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak pertama, sedangkan pihak kedua, tentunya harus mematuhi ketentuan yang tertuang dalam perjanjian kerjasama tersebut, sehingga sebenarnya tidak terjadi keseimbangan. Sama hal dalam pemberi kuasa yang dapat menarik kembali kuasanya apabila dikehendakinya, namun ternyata dalam prakteknya juga terdapat banyak perjanjian bantuan hukum yang melarang pemberi kuasa untuk mencabut kuasa yang telah diberikannya kepada penerima kuasa. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah hal-hal apa saja yang diperjanjikan oleh para pihak dalam perjanjian bantuan hukum, apakah pencabutan sepihak atas kuasa dapat dilakukan dalam perjanjian bantuan hukum, apakah pertimbangan hakim dalam memutus kasus 704/Pdt.G/2017/PN.Mdn sudah memenuhi norma hukum perdata.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif yakni penelitian yang dilakukan dengan cara mengacu pada norma- norma hukum yaitu meneliti terhadap bahan pustaka atau data sekunder, serta studi terhadap putusan pengadilan. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan serta menganalisa peraturan perundang-undangan. Analisis penelitian ini dilakukan secara kualitatif.

Dengan menggunakan Putusan Nomor 704/Pdt.G2017/PN.Mdn

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hal-hal yang diperjanjikan oleh para pihak dalam perjanjian bantuan hukum adalah menangani masalah hukum yang dihadapi oleh tergugat Hj. Syarifah Hasibuan (pihak pertama) kepada Saipul M.

Siregar (pihak kedua) dalam penanganan gugatan perkara perdata. Pencabutan kuasa khusus yaitu para pihak tidak dapat membatalkan, mencabut atau mengakhiri surat kuasa khusus dengan alasan apapun juga, kecuali apabila penerima kuasa tidak melaksanakan kuasa khusus yang diberikan sehingga pemberi kuasa tidak dapat memutuskan hubungan dengan penerima kuasa sepanjang penerima kuasa tetap melaksanakan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam perjanjian yang disepakati. Pencabutan sepihak atas kuasa dalam perjanjian bantuan hukum yang nyata telah melakukan ingkar janji (wanprestasi). Pertimbangan hakim dalam memutus kasus 704/Pdt.G/2017/

PN.Mdn adalah perbuatan tergugat Hj. Syarifah Hasibuan yang mencabut secara sepihak atas kuasa dalam perjanjian bantuan hukum karena telah melakukan ingkar janji (wanprestasi) terhadap perjanjian bantuan hukum sehingga majelis hakim menghukum tergugat untuk membayar dan menyerahkan hasil perdamaian sebesar Rp. 15% dari Rp.7.000.000.000,- (tujuh miliar rupiah) yaitu sebesar Rp.1.050.000.000,- (satu miliar lima puluh juta rupiah) secara tunai.

Kata Kunci: Bantuan Hukum, Perjanjian, Wanprestasi.

*Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU.

** Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU.

*** Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU.

(4)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat Islam dan nikmat kesempatan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul skripsi ini adalah “Ingkar Janji (Wanprestasi) Dalam Perjanjian Bantuan Hukum (Studi Putusan Nomor 704/Pdt.G/2017/

PN.Mdn)”. Untuk penulisan skripsi ini penulis berupaya agar hasil dari penulisan skripsi ini bisa lebih baik seperti yang diharapkan, meskipun demikian penulisan ini masih terdapat kekurangan-kekurangan, karena manusia tidak luput dari kesalahan.

Oleh karena itu, semua saran dan kritik akan penulis terima dari siapa saja dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak sehingga dalam kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Dr. Jelly Leviza S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH. M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan;

(5)

7. Ibu Rabiatul Syahriah, SH.M. Hum selaku dosen pembimbing II yang telah membantu berupa pikiran dan waktunya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan kepada saya sehingga memudahkan saya dalam menyelesaikan skripsi ini;

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta staf yang telah memberikan banyak sekali ilmu yang sangat berharga kepada penulis selama menjadi mahasiswa;

9. Kepada Teman-teman penulis yang memberikan semangat khususnya Irvanta Sitepu, William Damanik, Novi Sulistina, Muhammad Ilza, bang Imam Nasution, Iqbal Manurung, Devi Silaen, Luthfi Mahfuzh, Dimas Anugrah;

10. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak bisa di sebutkan satu per satu.

Akhir kata kepada yang teristimewa kedua orang tua Penulis, Riahman Damanik SH dan Hotlida Simamora yang selalu mendoakan, menasehati, dan mengingatkan penulis untuk tetap semangat dalam menyelesaikan perkuliahan, Saudara penulis kak Desna V Damanik, yang selalu mengomelin sekaligus memberi semangat kepada penulis untuk cepat menyelesaikan perkuliahan dan mengerjakan skrispi ini.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, dan menyadari bahwa skripsi ini

masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis

berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan

datang. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua masyarakat

yang membaca dan membutuhkannya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

(6)

Penulis

Ardo Damanik

(7)

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Metode Penelitian... 16

G. Keaslian Penulisan ... 20

H. Sistematika Penulisan... 21

BAB II : HAL-HAL YANG DIPERJANJIKAN OLEH PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN BANTUAN HUKUM ... 23

A. Perjanjian Bantuan Hukum ... 23

B. Syarat Sahnya Perjanjian Bantuan Hukum ... 30

C. Akibat Hukum Perjanjian Bantuan Hukum ... 35

D. Tanggung jawab Para Pihak dalam Bantuan Hukum ... 37

BAB III : PENCABUTAN SEPIHAK ATAS KUASA DALAM PERJANJIAN BANTUAN HUKUM ... 45

A. Pengertian Tentang Kuasa ... 45

B. Dasar Hukum Pencabutan Kuasa dalam Perjanjian

Bantuan Hukum ... 52

(8)

Bantuan Hukum ... 55

BAB IV : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS KASUS NOMOR 704/PDT.G/2017/PN.MDN ... 64

A.

Kasus Posisi ... 64

B.

Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara ... 69

C.

Analisis Terhadap Putusan Hakim ... 73

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 80

(9)

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. “Penegakan hukum harus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat”.

1

Pasal dari UUD 1945 yang berkaitan dengan perlunya jaminan negara untuk melaksanakan bantuan hukum adalah Pasal 28 D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Pasal 28 D ayat (1) ini menjamin bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar hak-hak mereka atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dapat diwujudkan.

Seseorang yang menghadapi masalah hukum biasanya meminta bantuan kepada pengacara atau disebut dengan advokat untuk bertindak sebagai pemberi bantuan hukum atau jasa hukum kepada masyarakat atau klien yang menghadapi masalah hukum tersebut. Advokat atau pengacara merupakan profesi yang memberikan jasa hukum saat menjalankan tugas dan fungsinya, yang juga berperan sebagai pendamping, pemberi

1 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu, Jakarta, 2017, hlm.11

(10)

nasehat hukum maupun menjadi kuasa hukum untuk dan atas nama pemberi kuasa umumnya dituangkan dalam bentuk perjanjian.

2

Perjanjian bantuan hukum tersebut masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Hak dan kewajiban para pihak ini tercantum dalam perjanjian yang menentukan syarat-syarat perjanjian sebagaimana tertulis di dalam akta perjanjian. Perjanjian tersebut apabila salah satu pihak tidak melakukan atau memenuhi prestasi yang diperjanjikan, maka pihak tersebut dikatakan wanprestasi sehingga pihak yang dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pihak yang menimbulkan kerugian.

Prakteknya, perjanjian tidak terlaksana dengan baik disebabkan salah satu pihak telah terbukti melakukan perbuatan ingkar janji atau wanprestasi namun tidak beritikad baik untuk menyelesaikannya. Dengan terjadinya wanprestasi tersebut, maka pihak yang dirugikan mengajukan gugatan agar pihak yang menimbulkan kerugian memberikan kompensasi atau ganti rugi akibat perbuatan wanprestasi tersebut. Aspek hukum dan akibat-akibat hukum tersebutlah yang menjadi permasalahan dalam praktek walaupun antara pihak sudah sepakat tentang hal-hal diperjanjikan dalam perjanjian tersebut.

Kuasa menurut hukum disebut juga wettelijke vertegenwoordig atau legal mandatory (legal representative). Maksudnya, undang-undang telah menetapkan

seseorang atau suatu badan hukum untuk dengan sendirinya menurut hukum bertindak mewakili orang atau badan tersebut tanpa memerlukan surat kuasa. Jadi, undang-undang sendiri yang menetapkan bahwa yang bersangkutan menjadi kuasa atau wakil yang berhak bertindak untuk dan atas nama orang atau badan itu sendiri.

3

Salah satu contoh terdapat di dalam HIR atau RBG pada Pasal 123 ayat (2)

2 Abdurrahman, Aspek Aspek Bantuan Hukum Di Indonesia, Cendana Press, Yogyakarta 2013, hlm. 17.

3Sukadar Widjaya, “Berakhirnya Kuasa Menurut Pasal 1813 KUHPerdata Memperbolehkan Berakhirnya”, tersedia pada https://www.coursehero.com, diakses Senin 20 Juli 2020 Pukul 10.00 Wib.

(11)

HIR dan Pasal 147 ayat (2) RBG dijelaskan bahwa “Pegawai Negeri yang karena peraturan umum menjalankan perkara untuk pemerintah Indonesia sebagai wakil negeri tidak perlu memakai surat kuasa khusus yang demikian itu”.

4

Seorang pemberi kuasa/klien dalam perjanjian pemberian bantuan hukum dapat melakukan pencabutan kuasa hukum kepada pengacara/advokat secara sepihak.

Hal ini diatur dalam Pasal 1813 KUHPerdata yang memperbolehkan berakhirnya perjanjian kuasa secara sepihak atau unilateral.

Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa berdasarkan KUHPerdata, ialah:

1. Pemberian kuasa menarik kembali secara sepihak yang diatur dalam Pasal 1814 KUHPerdata dan seterusnya dengan acuan pencabutan tanpa memerlukan persetujuan dari penerima kuasa, pencabutan secara tegas dengan tertulis atau meminta kembali surat kuasa dari penerima kuasa, serta pencabutan diam-diam berdasarkan Pasal 1816 KUHPerdata. Akan tetapi ada baiknya pencabutan kuasa dilakukan secara langsung dan terbuka, dengan demikian dapat memberiikan perlindungan hukum kepada pemberi kuasa maupun pihak ketiga dan perbuatan tersebut dianggap tidak sah dan merupakan perbuatan melawan hukum sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa.

2. Salah satu pihak meninggal dengan sendirinya pemberian kuasa akan berakhir demi hukum.

3. Pemberian kuasa melepas kuasa yaitu mengacu pada ketentuan Pasal 1817 KUHPerdata perbuatan tersebut akan sah dengan syarat:

4 Ibid.

(12)

a. Harus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa.

b. Pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.

5

Ketentuan tersebut dapat diberlakukan dalam hubungan antara penerima dan penyedia jasa, dalam hal ini antara klien dan pengacara/advokat. Sifat dasar profesi pengacara/advokat adalah membela siapapun yang memerlukan bantuan atau konsultasi hukum dalam rangka menuntut atau mencari keadilan bagi pihak tersebut dengan ketentuan apabila pengacara/advokat tersebut diminta oleh yang bersangkutan.

Terkait dengan pencabutan kuasa sepihak yang diperbolehkan oleh hukum sebagaimana tersebut di atas, menjadi menarik untuk dibahas dalam perjanjian pemberian bantuan hukum dalam putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 704/Pdt.G/2017/PN-MDN antara Saipul M. Siregar, SH, MA, pekerjaan advokat sebagai penggugat melawan Hj. Syarifah Hasibuan sebagai tergugat. Penggugat dengan tergugat ada melakukan perjanjian bantuan hukum dalam menangani masalah hukum yang dihadapi oleh tergugat Hj Syarifah Hasibuan.

Perjanjian bantuan hukum tersebut memuat ketentuan yang mengatur bahwa pihak kedua tergugat tidak dapat membatalkan, mencabut atau mengakhiri kuasa khusus yang diberikan pihak kedua kepada pihak pertama dengan alasan apa pun juga, kecuali apabila pihak pertama tidak melaksanakan kuasa dengan baik sebagaimana mestinya sesuai dengan surat kuasa khusus yang telah diberikan, serta pihak kedua yaitu Hj. Syarifah Hasibuan tidak dapat memutus hubungan dengan Saipul M. Siregar, SH, MA selaku advokat sepanjang tetap melaksanakan kewajibannya.

Bahwa dalam perjalanannya, Hj. Syarifah Hasibuan ternyata melakukan

5 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia , Liberty, Yogyakarta, 2008, hlm. 2.

(13)

pencabutan kuasa khusus secara sepihak terhadap Saipul M. Siregar, SH, MA dan atas pencabutan tersebut Saipul M. Siregar, SH, MA kemudian menggugat Hj.

Syarifah Hasibuan di muka Pengadilan Negeri Medan atas dasar wanprestasi terhadap perjanjian bantuan hukum yang telah mereka perbuat karena telah melalaikan kewajibannya sebagaimana yang diperjanjikan di dalam perjanjian bantuan hukum tanggal 26 Pebruari 2016 dan perjanjian penanganan perkara Akta No : 43 Tanggal 13 Maret 2016.

Berdasarkan gugatan tersebut, maka majelis hakim Pengadilan Negeri Medan dalam putusan Nomor 704/Pdt.G/2017/PN.Mdn memutuskan bahwa perjanjian bantuan hukum tanggal 26 Pebruari 2016 antara penggugat dengan tergugat adalah sah secara hukum dan perjanjian penanganan perkara akta nomor 43 tanggal 13 Maret 2016 yang dibuat dihadapan Notaris Mauliddin Shati adalah sah secara hukum dan menyatakan Hj. Syarifah Hasibuan melakukan perbuatan ingkar janji (wanprestasi) terhadap perjanjian bantuan dan menghukum tergugat untuk membayar dan menyerahkan hasil perdamaian yaitu sebesar Rp. 15% dari Rp.7.000.000.000,- (tujuh miliar rupiah) yaitu sebesar Rp.1.050.000.000,- (satu miliar lima puluh juta rupiah) secara tunai dan sekaligus.

Adanya pemberian kuasa khusus mencabut kuasa yang telah diberikannya tentu bertentangan dengan Pasal 1814 KUHPerdata, namun disisi lain terdapat juga pengaturan dalam Pasal 1338 KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, diketahui bahwa walaupun Pasal

1814 KUHPerdata secara tegas menyatakan bahwa pemberi kuasa dapat menarik

kembali kuasanya apabila dikehendakinya tetapi di dalam prakteknya terdapat banyak

perjanjian bantuan hukum yang melarang pemberi kuasa untuk mencabut kuasa yang

(14)

telah diberikannya kepada penerima kuasa. Hal inilah yang kemudian menjadi hal yang menarik untuk diteliti lebih dalam lagi dan oleh karena itu penulis memilih judul skripsi tentang tentang "Ingkar Janji (Wanprestasi) Dalam Perjanjian Bantuan Hukum (Studi Putusan Nomor 704/Pdt.G/2017/ PN.Mdn)".

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Hal-hal apa sajakah yang diperjanjikan oleh para pihak dalam perjanjian

bantuan hukum?

2. Apakah pencabutan sepihak atas kuasa dapat dilakukan dalam perjanjian bantuan hukum?

3. Apakah pertimbangan hakim dalam memutus kasus 704/Pdt.G/2017/PN.Mdn sudah memenuhi norma hukum perdata?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui hal-hal yang diperjanjikan oleh para pihak dalam perjanjian bantuan hukum.

2. Untuk mengetahui pencabutan sepihak atas kuasa dalam perjanjian bantuan hukum.

3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutus kasus 704/Pdt.G/

2017/PN.Mdn sudah memenuhi norma hukum perdata.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

(15)

1. Secara teoritis untuk menambah dan memperluas wawasan ilmu pengetahuan dan memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum khususnya di bidang hukum perjanjian.

2. Secara praktis memberikan informasi kepada masyarakat tentang ingkar janji (wanprestasi) terhadap perjanjian bantuan hukum.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Ingkar janji (Wanprestasi)

Ingkar janji (wanprestasi) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak- pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.

6

Menurut M. Yahya Harahap bahwa yang dimaksud wanprestsi adalah

“pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya”.

7

Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam kategori yaitu : a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

b. Melaksanakan apa yang diperjanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.

c. Melakukan apa yang diperjanjikan akan tetapi terlambat.

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh untuk dilakukan.

8

Perjanjian dalam keadaan normal dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya tanpa ganguan ataupun halangan. Tetapi pada waktu yang tertentu, yang tidak dapat diduga oleh para pihak, muncul halangan, sehingga pelaksanaan perjanjian tidak

6 Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bhakti, Bandung 2014, hlm. 87.

7 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 60

8 R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta,2002, hlm. 45

(16)

dapat dilaksanakan dengan baik, faktor penyebab terjadinya wanprestasi oleh Abdulkadir Muhammad diklasifikasikan menjadi dua faktor yaitu :

1) Faktor dari luar.

2) Faktor dari dalam diri para pihak.

Faktor dari luar adalah peristiwa yang tidak diharapkan terjadi dan tidak dapat diduga akan terjadi ketika perjanjian dibuat. Faktor dari dalam diri manusia/para pihak merupakan kesalahan yang timbul dari diri para pihak, baik kesalahan tersebut yang dilakukan dengan sengaja atau pun karena kelalaian pihak itu sendiri, dan para pihak itu sendiri, dan pera pihak sebelumnya telah mengetahui akibat yang timbul dari perbuatannya tersebut.

9

Hal kelalaian atau wanprestasi para pihak dalam perjanjian ini harus dinyatakan terlebih dahulu secara resmi yaitu dengan memperingatkan kepada pihak yang lalai, bahwa pihak kreditur menghendaki pemenuhan prestasi oleh debitur. Menurut undang-undang peringatan tersebut harus dinyatakan tertulis, namun sekarang sudah dilazimkan bahwa peringatan itu pula dapat dilakukan secara lisan asalkan cukup tegas menyatakan desakan agar segera memenuhi prestasinya terhadap perjanjian mereka perbuat.

Peringatan tersebut dapat dinyatakan pernyataan lalai yang diberikan oleh pihak kreditur kepada pihak debitur. Pernyataan lalai oleh J. Satrio, memperinci pernyataan lalai tersebut dalam beberapa bentuk pernyataan lalai yaitu :

(a) Berbentuk surat perintah atau akta lain yang sejenis.

(b) Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri. Apabila dalam surat perjanjian telah ditetapkan ketentuan : debitur dianggap bersalah jika

9 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 12

(17)

satu kali saja dia melewati batas waktu yang diperjanjikan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong debitur untuk tepat waktu dalam melaksanakan kewajiban dan sekaligus juga menghindari proses dan prosedur atas adanya wanprestasi dalam jangka waktu yang panjang.

Dengan adanya penegasan seperti ini dalam perjanjian, tanpa tegoran kelalaian dengan sendirinya pihak debitur sudah dapat dinyatakan lalai, bila ia tidak menempati waktu dan pelaksanaan prestasi sebagaimana mestinya.

(c) Jika teguran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan (aanmaning) dan biasa juga disebut dengan sommasi. Dalam sommasi

inilah pihak kreditur menyatakan segala haknya atas penuntutan prestasi kepada pihak debitur.

10

2. Pengertian Perjanjian

Istilah pejanjian dalam istilah hukum kontrak merupakan kesepadanan dari istilah contract dalam bahasa Inggris. Istilah kontrak dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah lama ada, dan bukan merupakan istilah yang asing. Misalnya dalam hukum di Indonesia sudah dikenal istilah „kebebasan kontrak‟.

Kontrak atau yang secara hukum lebih banyak disebut dengan perjanjian adalah pernyataan kehendak atau kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agremeent) diantara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi

atau menghilangkan hubungan hukum. “Para pihak yang mengikatkan diri dalam sebuah kesepakatan kontrak memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan atau memenuhi setiap apa yang dituangkan dalam kontrak yang disepakati oleh pihak-

10 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 41

(18)

pihak yang biasanya menyangkut tentang hak dan kewajiban”.

11

Menurut Richard Burton Simatupang bahwa kontrak biasanya dimulai dengan suatu pembicaraan, pendahuluan serta pembicaraan-pembicaraan tingkat berikutnya (negosiasi), untuk mematangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, kontrak akan ditandatagani apabila betul-betul telah matang (lengkap dan jelas).

12

Menggunakan istilah kontrak ada konotasi sebagai berikut :

a. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian tertulis semata-mata. Sehingga orang sering menanyakan

„mana kontraknya‟ diartikan bahwa yang ditanyakan adalah kontrak yang tertulis.

b. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian dalam dunia bisnis semata-mata.

c. Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian internasional, multinasional atau perjanjian dengan perusahaan-perusahaan multinasional.

d. Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian yang prestasinya dilakukan oleh kedua belah pihak.

13

KUHPerdata memberikan pengertian kontrak ini (perjanjian) sebagaimana disebutkan Pasal 1313 KUHPerdata bahwa perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

11 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis dalam Menata Bisnis Modern di Era GlobaI, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 9

12 Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 27

13 Ibid, hlm. 2

(19)

Menurut R. Subekti, “Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu”.

14

Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa

“istilah kontrak sama pengertiannya dengan persetujuan”.

15

Berdasarkan pendapat di atas bahwa suatu perjanjian sama pengertiannya dengan persetujuan, oleh karena itu persetujuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata dapat dibaca dengan perjanjian.

Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa perjanjian dalam KUHPerdata itu kurang memuaskan, karena mengandung beberapa kelemahannya yaitu.

1) Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan”

sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak.

Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.

2) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus

Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan”.

3) Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padalah yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang

14 R. Surbekti, Op.Cit, hlm. 1

15 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 23

(20)

dikehendaki oleh buku ketiga KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.

4) Tanpa menyebut tujuan

Perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.

16

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa perjanjian itu memiliki arti yang luas dan arti sempit. Arti sempit dari perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan saja sebagaimana dimaksud dalam Buku III KUHPerdata.

3. Bantuan Hukum

Bantuan hukum menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum disebutkan bahwa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Istilah bantuan hukum merupakan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Bantuan hukum yang berkembang di Indonesia pada hakikatnya tidak luput dari perkembangan bantuan hukum yang terdapat pada negara-negara yang telah maju.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum disebutkan bahwa:

a. Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum.

b. Penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.

16 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 78

(21)

c. Pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan undang-undang ini.

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menyebutkan bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Pasal 1 angka (4) Surat Edaran Mahkamah Agung No.10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum disebutkan, bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum yang difasilitasi oleh negara melalui Peradilan Agama, baik dalam perkara perdata, gugatan dan permohonan maupun perkara jinayat.

Menurut Adnan Buyung Nasution, bantuan hukum adalah legal aid, yang berarti pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara :

1) Pemberian jasa bantuan hukum dilakukan dengan cuma-cuma.

2) Bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang tidak mampu dalam lapisan masyarakat miskin.

3) Dengan demikian motivasi utama konsep legal aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan hak asasi rakyat kecil yang tidak punya dan buta hukum.

17

Menurut M.Yahya Harahap bantuan hukum adalah legal service atau pelayanan hukum yang terkandung makna atau tujuan:

(a) Memberi bantuan kepada anggota masyarakat yang operasionalnya menghapuskan kenyataan-kenyataan yang diskriminatif dalam penegakan dan pemberian jasa bantuan hukum antara rakyat miskin yang

17 Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2008 hlm.14

(22)

berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan.

(b) Dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang diberikan hukum kepada setiap anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan miskin.

(c) Legal service dalam operasionalnya lebih cenderung menyelesaikan setiap persengketaan dengan jalan menempuh cara perdamaian.

18

4. Kuasa khusus

Kuasa khusus adalah kuasa yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk kepentingan dan atas nama pemberi kuasa dalam hal-hal yang terbatas khusus pada apa yang tertuang di dalam surat kuasa yang berupa tindakan yang dapat menimbulkan akibat hukum.

19

Kuasa adalah pernyataan dengan mana seseorang memberikan wewenang kepada seseorang atau badan hukum lain untuk dan atas namanya melakukan perbuatan hukum. Perngertian atas nama dimaksudkan sebagai suatu pernyataan bahwa yang diberi kuasa itu berwenang untuk mengikat. Pemberi kuasa secara langsung dengan pihak lain, sehingga dalam hal ini perbuatan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa berlaku secara sah sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Dengan perkataan lain, penerima kuasa dapat dan berwenang bertindak dan/atau berbuat seolah-olah ia adalah orang yang

18 M. Yahya Harahap, Pelayanan Hukum Bagi Warga Miskin, Anugrah, Bandung, 2008, hlm. 12

19 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta,, 2015, hlm. 82

(23)

memberikan kuasa itu.

Kuasa yang diberikan oleh pemberi kuasa bertalian dengan adanya asas nemo plus iuris ad alium transferre potest quam ipse haberet, yang berarti bahwa

seorang tidak dapat mengalihkan hak kepada orang lain lebih daripada hak yang dimilikinya, sehingga pemberi kuasa tidak dapat memberikan kuasa lebih dari pada hak atau kewenangan yang dimillikinya.

20

“Pemberian kuasa dalam bahasa Belanda disebut latgiving merupakan suatu perjanjian/persetujuan (overeenkomst) dengan mana seseorang memberi kuasa/kekuasaan mach kepada orang laun yang menerimanya untuk atas nama pemberi kuasa”.

21

Surat kuasa adalah “surat yang berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang untuk mengurus sesuatu sedangkan pemberian kuasa (lastgeving) adalah pemberian kewenangan kepada orang lain untuk melakukan perbuatan- perbuatan hukum atas nama si pcmberi kuasa”.

22

Pemberian kuasa (lastgeving) diatur dalam buku III Bab XVI mulai dari Pasal 1792-1819 KUHPerdata sedangkan mengenai kuasa (volmacht) tidak diatur secara khusus, baik di dalam KUHPerdata maupun di dalam perundang-undangan lainnya, tetapi diuraikan sebagai salah satu bagian dari pemberian kuasa. Kuasa terjadi karena adanya machtiging yang merupakan pernyataan kehendak (sepihak) dari pemberi kuasa yang mengandung kemauan agar ia diwakili oleh penerima kuasa untuk melakukan tindakan hukum demi kepentingan dan atas nama pemberi kuasa. Berdasarkan pernyataan kehendak pemberi kuasa timbul suatu hak bagi

20 Hartono Soerjopratiknjo, Perwakilan Berdasarkan Kehendak, Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2012, hlm. 35

21Ibid., hlm. 36

22 Liliana Tedjosaputro, Kajian Hukum Pemberian Kuasa Sebagai Perbuatan Hukum Sepihak Dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Jurnal Spektrum Hukum, Fakultas Hukum Untag Semarang, Vol. 13/No. 2/Oktober 2016, hlm.165

(24)

penerima kuasa bukan kewajiban untuk melakukan tindakan hukum atas nama pemberi kuasa.

23

Suatu kuasa bersifat privat yang berarti bahwa dengan adanya kuasa tidak berarti pemberi kuasa sendiri tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang telah dikuasakannya. Suatu kuasa bukan suatu peralihan hak. Pasal 1792 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Berdasarkan pengertian pasal tersebut dapat dilihat unsur-unsur pemberian kuasa, yaitu :

a. Perjanjian.

b. Memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa.

c. Atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan.

24

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah “upaya untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan dimana usaha tersebut dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah”.

25

Metode penelitian berisikan uraian tentang metode atau cara yang peneliti gunakan untuk memperoleh data atau informasi.

“Metode penelitian berfungsi sebagai pedoman dan landasan tata cara dalam melakukan operasional penelitian untuk menulis suatu karya ilmiah yang peneliti lakukan”.

26

1. Jenis dan Sifat Penelitian.

Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan studi

23 Ibid, hlm. 166

24 Ibid, hlm. 167

25 Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, Andi Offset, Yogyakarta, 2009, hlm. 3

26 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 105

(25)

kasus di dalam Putusan Nomor 704/Pdt.G/2017/PN.Mdn. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas atau prinsip-prinsip hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum, meneliti norma-norma hukum positif, asas-asas, prinsip-prinsip, dan doktrin- doktrin hukum, termasuk putusan pengadilan.

27

Penelitian hukum normatif dikenal sebagai penelitian hukum yang bersifat kualitatif”.

28

Penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat deskriptif analisis yaitu “penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berkaitan pada tujuan penelitian ini”. Sifat penelitian ini deskriptif yaitu menganalisis permasalahan dengan mendeksripsikan atas subjek dan objek penelitian, tanpa justifikasi.

29

Namun penelitian ini juga berupaya untuk memberikan justifikasi (preskripsi) terhadap putusan majelis hakim dalam Putusan Nomor 704/Pdt.G/2017/PN.Mdn. Tujuan dalam penelitian deskriptif adalah “untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara gejala dan gejala lain dalam masyarakat”.

30

2. Sumber Data

Pengumpulan data merupakan salah satu tahapan dalam proses penelitian yang sifatnya mutlak untuk dilakukan karena data merupakan sumber yang akan diteliti. Pengumpulan data pada penelitian difokuskan pada pokok permasalahan

27Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2008, hlm. 45

28Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia, Jakarta, 2008, hlm. 10

29 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012, hlm. 183

30 Kontjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, 2007, hlm.

41

(26)

yang ada, sehingga dalam penelitian tidak terjadi penyimpangan dan kekaburan dalam pembahasannya.

Data sekunder terbagi menjadi:

a. Bahan hukum primer :

Bahan hukum primer terdiri dari asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum ini berupa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Putusan Nomor 704/Pdt.G/2017/ PN.Mdn.

b. Bahan hukum sekunder terdiri atas buku-buku hukum (text book), jurnal- jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media masa, kamus dan ensiklopedia hukum, internet dengan menyebut nama situsnya, serta buku-buku hukum yang dipergunakan diantaranya buku tentang perjanjian bantuan hukum.

c. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia dan lain sebagainya.

31

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data-data sekunder adalah dengan cara studi kepustakaan. Untuk melengkapi penelitian ini agar mempunyai tujuan yang jelas dan terarah serta dapat dipertanggungjawabkan sebagai salah satu hasil karya ilmiah.

Teknik untuk memperoleh data yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti, dilaksanakan melalui penelitian studi kepustakaan (library research).

Studi kepustakaan ini untuk mencari konsep-konsep, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan.

31 Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum dalam Teori dan Praktek, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta, 2010, hlm.16

(27)

Kepustakaan tersebut berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah sarjana, dan lain-lain.

Alat pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk mendukung yaitu berupa studi dokumen digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan objek penelitian. Data sekunder tersebut diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen- dokumen perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian bantuan hukum.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu didasarkan pada relevansi data, keakuratan data, keaktualan data terhadap permasalahan, bukan berdasarkan banyaknya data (kuantitatif). Analisis kualitatif menggunakan norma-norma, asas- asas, prinsip-prinsip, konsep-konsep, doktrin-doktrin para ahli yang mengandung pandangan-pandangannya tentang perjanjian atau kontrak, wanprestasi yang berkaitan dengan bantuan hukum. Menganalisis permasalahan di dalam ini berdasarkan ketentuan yuridis yang terdapat dalam bahan hukum primer antara lain di dalam KUHPerdata.

Permasalahan dianalisis dan diungkapkan argumentasi-argumentasi hukum secara logika induktif (penalaran logika dari khusus ke umum).

32

Analisis sesuai logika induktif disebut sebagai cara berfikir analitik dengan bertolak dari makna yang berlaku khusus dalam putusan ke makna yang berlaku umum dalam perundang-undangan atas suatu peristiwa atau permasalahan hukum tertentu.

33

Permasalahan tertentu yang dimaksud adalah mengenai penerapan hakim dalam

32 Ibid.,hlm. 393

33 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Op. Cit., hlm. 109

(28)

menjatuhkan putusan tentang wanprestasi perjanjian bantuan hukum dalam putusan Nomor 704/Pdt.G/2017/ PN.Mdn.

Argumentasi-argumentasi berdasarkan doktrin-doktrin, prinsip-prinsip atau asas-asas hukum di bidang hukum perdata, perjanjian/kontrak, dan ketentuan yuridis, serta norma-norma hukum di dalam perundang-undangan sebagaimana dalam bahan hukum primer, diberikan secara tajam dan mendalam terhadap permasalahan. Hasil akhir dari analisis ini berupaya menarik kesimpulan dengan logika induktif.

34

Dari rumusan permasalahan (problem) ditarik suatu kesimpulan berdasarkan logika induktif tersebut sehingga permasalahan dapat dijawab dan diberi solusi ilmiah.

G. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran studi kepustakaan, belum ditemukan penulisan hukum tentang ”Ingkar Janji (Wanprestasi) Dalam Perjanjian Bantuan Hukum (Studi Putusan Nomor 704/Pdt.G/2017/ PN.Mdn)”. Namun dalam penelusuran studi kepustakaan tersebut, ada beberapa penulisan hukum yang terkait dengan perjanjian, yaitu :

1. Yudhi Widyo Armono, NIM : 14.410.188, Fakultas Hukum, Universitas Surakarta, Tahun 2014. Judul skripsi adalah Pelaksanaan Perjanjian Advokasi Antara Advokat Dengan Klien dan Penentuan Besaran Fee Advokat. Adapun perumusan masalah:

a. Berdasarkan apakah pelaksanaan perjanjian advokasi antara advokat dengan klien ?

b. Berdasarkan hal-hal apakah klien dapat menentukan besaran fee advokat untuk suatu perkara ?

34 Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum, Panduan Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi, Sofmedia, Medan, 2015, hlm. 109

(29)

2. Isa Adi Muswanto, Nim : 201410110311108, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Tahun 2018 yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Dalam Perjanjian Pemberian Kuasa Antara Pemberi Kuasa (Klien) Dengan Penerima Kuasa (Advokat) (Study Di Kantor Advokat Artono &

Associate)”, rumusan masalah yang diteliti adalah:

a. Bagaimana bentuk-bentuk wanprestasi dalam perjanjian pemberian kuasa antara pemberi kuasa (klien) dengan penerima kuasa advokat) di Artono &

Associate ?

b. Bagaimana penyelesaian sengketa perjanjian pemberian kuasa yang terjadi antara pemberi kuasa (klien) dengan penerima kuasa (advokat) di Artono

& Associate?

Berdasarkan penulisan hukum tersebut di atas, penelitian yang dilakukan oleh penulis apabila diperbandingkan substansi dan pokok bahasannya adalah berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan di atas. Dengan demikian penelitian ini berbeda dengan penulisan-penulisan hukum yang dikemukakan di atas.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terbagi dalam lima bab, yang gambarannya sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan. Dalam bab ini yang akan dibahas mengenai Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, Sistematika Penulisan.

Bab II : Hal-Hal Yang Diperjanjikan Oleh Para Pihak Dalam Perjanjian

Bantuan Hukum. Bab ini akan membahas mengenai: Perjanjian Bantuan Hukum,

Syarat Sahnya Perjanjian Bantuan Hukum, Akibat Hukum Perjanjian Bantuan

Hukum, Tanggungjawab Para Pihak dalam Bantuan Hukum..

(30)

Bab III : Pencabutan Sepihak Atas Kuasa Dalam Perjanjian Bantuan Hukum. Bab ini akan membahas mengenai: Pengertian Tentang Kuasa Khusus, Dasar Hukum Pencabutan Kuasa Khusus dalam Perjanjian Bantuan Hukum, Akibat Hukum Pencabutan Kuasa Khusus dalam Perjanjian Bantuan Hukum.

Bab IV : Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Kasus 704/PDT.G/2017/

PN.Mdn. Bab ini akan membahas mengenai : Kasus Posisi, Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara, Analisis Terhadap Putusan Hakim.

Bab V : Kesimpulan dan Saran. Bab ini adalah bab penutup, yang

merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran mengenai

permasalahan yang dibahas.

(31)

PERJANJIAN BANTUAN HUKUM A. Perjanjian Bantuan Hukum

Hubungan antara klien dengan pengacaranya biasanya dituangkan dalam bentuk suatu kontrak. Kontrak ini menjelaskan hak dan kewajiban kedua belah pihak serta lingkup kerja yang harus dilakukan oleh pengacara. Kontrak tersebut mengatur mengenai penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari antara klien dengan pengacaranya, tentang uang jasa dan kerugian yang mungkin ditanggung oleh klien.

Istilah pejanjian dalam istilah hukum kontrak merupakan kesepadanan dari istilah contract dalam bahasa Inggris. Istilah kontrak dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah lama ada, dan bukan merupakan istilah yang asing. Misalnya dalam hukum di Indonesia sudah dikenal istilah kebebasan kontrak. Kontrak atau yang secara hukum lebih banyak disebut dengan perjanjian adalah suatu pernyataan kehendak atau kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agremeent) diantara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi atau menghilangkan hubungan hukum.

Para pihak yang mengikatkan diri dalam sebuah kesepakatan kontrak memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan atau memenuhi setiap apa yang dituangkan dalam kontrak yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang biasanya menyangkut tentang hak dan kewajiban.

35

Menurut Richard Burton Simatupang bahwa kontrak biasanya dimulai dengan suatu pembicaraan, pendahuluan serta

35 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis dalam Menata Bisnis Modern di Era GlobaI, Op.Cit, hlm. 9

(32)

pembicaraan-pembicaraan tingkat berikutnya (negosiasi), untuk mematangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, kontrak akan ditandatagani apabila betul- betul telah matang (lengkap dan jelas).

36

Menggunakan istilah kontrak ada konotasi sebagai berikut :

1. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian tertulis semata-mata. Sehingga orang sering menanyakan

„mana kontraknya‟ diartikan bahwa yang ditanyakan adalah kontrak yang tertulis.

2. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian dalam dunia bisnis semata-mata.

3. Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian internasional, multinasional atau perjanjian dengan perusahaan-perusahaan multinasional.

4. Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian yang prestasinya dilakukan oleh kedua belah pihak.

37

KUHPerdata memberikan pengertian kontrak ini (dalam hal ini disebut perjanjian) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1313 KUHPerdata bahwa perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Menurut R. Subekti, “Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju utnuk melakukan sesuatu”.

38

Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa “istilah kontrak sama

36 Richard Burton Simatupang, Op.Cit, hlm. 27

37 Ibid, hlm.2

38 R. Surbekti, Op.Cit, hlm. 1

(33)

pengertiannya dengan persetujuan”.

39

Berdasarkan pendapat di atas bahwa perjanjian sama pengertiannya dengan persetujuan, oleh karena itu persetujuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata dapat dibaca dengan perjanjian.

Menurut para sarjana, antara lain Abdulkadir Muhammad bahwa rumusan perjanjian adalah KUHPerdata itu kurang memuaskan, karena mengandung beberapa kelemahannya yaitu.

a. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan”

sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak.

Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus

Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya dipakai kata

“persetujuan”.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padalah yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku ketiga KUHPerdata sebenarnya hanyalah

39 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Op.Cit, hlm. 23

(34)

perjanjian yang bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.

d. Tanpa menyebut tujuan

Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.

40

Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, perlu dirumuskan kembali arti perjanjian. Sudikno mengatakan bahwa perjanjian adalah “hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hukum”.

41

R. Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa perjanjian adalah “suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu”.

42

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa perjanjian itu memiliki arti yang luas dan mempunyai arti sempit. Arti sempit dari perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan saja sebagaimana dimaksud dalam Buku III KUHPerdata.

Berdasarkan beberapa pengertian perjanjian tersebut maka unsur-unsur yang membentuk pengertian perjanjian adalah :

1) Terdapatnya para pihak yang berjanji.

2) Perjanjian itu didasarkan kepada kata sepakat/kesesuaian kehendak;

3) Perjanjian merupakan perbuatan hukum atau hubungan hukum;

4) Terletak dalam bidang harta kekayaan;

40 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Op.Cit, hlm. 78

41 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Op.Cit, hlm. 97

42 R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2011, hlm. 11

(35)

5) Adanya hak dan kewajiban para pihak;

6) Menimbulkan akibat hukum yang mengikat.

43

Keenam unsur tersebut ada hal yang perlu diperjelas, misalnya perubahan konsep kontrak yang menurut paham KUHPerdata dikatakan perjanjian hanya merupakan perbuatan (handeling), selanjutnya oleh para sarjana disempurnakan menjadi suatu perbuatan hukum (rechtshandeling) dan terakhir dikatakan sebagai hubungan hukum (rechtsverhoudingen). Jadi para ahli hukum perdata hendak menemukan perbedaan antara perbuatan hukum dengan hubungan hukum.

Perbedaan ini bukan hanya mengenai istilahnya saja tetapi lebih kepada subtansi yang dibawa oleh pengertian perjanjian itu.

Sudikno Mertokusumo menjelaskan perbedaan perbuatan hukum dan hubungan hukum yang melahirkan konsep perjanjian bahwa perbuatan hukum (rechtshandeling) yang dimaksudkan di dalam pengertian perjanjian adalah satu

perbuatan hukum bersisi dua (een tweezijdigerechtshandeling) yakni perbuatan penawaran (aanbod) dan penerimaan (aanvaarding). berbeda halnya kalau perjanjian dikatakan sebagai dua perbuatan hukum yang masing-masing berisi satu (twee eenzijdige rechtshandeling) yakni penawaran dan penerimaan yang didasarkan kepada kata sepakat antara dua orang yang saling berhubungan untuk menimbulkan akibat hukum, maka konsep perjanjian yang demikian merupakan suatu hubungan hukum (rechtsverhoudingen).

44

Sehubungan dengan perkembangan pengertian kontrak tersebut, Purwahid Patrik menyimpulkan “kontrak dapat dirumuskan sebagai hubungan hukum antara dua pihak dan masing-masing melakukan perbuatan hukum sepihak, penawaran

43 Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Op.Cit, hlm. 18

44 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2008, hlm. 7-8

(36)

dan penerimaan”.

45

Menurut J. Satrio bahwa dalam kontrak terdapat 3 (tiga) unsur yaitu sebagai berikut :

(a) Unsur essensialia;

(b) Unsur naturalia;

(c) Unsur accidentalia.

46

Unsur essensialia adalah unsur kontrak yang selalu harus ada dalam suatu kontrak, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin ada. Unsur ini penting untuk terciptanya kontrak, mutlak harus ada agar perjanjian itu sah sehingga merupakan syarat sahnya kontrak.

Unsur naturalia adalah unsur lazim melekat pada kontrak, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam kontrak secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan bawaan atau melekat pada kontrak. Dengan demikian, unsur ini oleh undang-undang diatur tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan. Sifat unsur ini adalah aanvullendrecht (hukum mengatur).

Unsur accidentalia adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam kontrak. Unsur ini ditambahkan oleh para pihak dalam kontrak artinya undang-undang tidak mengaturnya. Dengan demikian unsur ini harus secara tegas diperjanjikan para pihak.

Perjanjian yang dibuat oleh advokat dan klien dalam perjanjian advokasi termasuk perjanjian timbal balik yaitu klien mengedepankan hak dan memberikan kewajibannya sedangkan advokat juga mengedepankan hak dan merealisasikan

45 Purwahid Patrik, Pembahasan Perkembangan Hukum Perjanjian,Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2000, hlm.15

46 J. Satrio, Op.Cit, hlm. 57

(37)

kewajibannya. Melalui perjanjian antara kedua belah pihak. Advokat menentukan besaran hak yang diinginkan dan kesediaan klien untuk memenuhi hak advokat yang harus mempertanggungjawabkan kuasa yang diberikan untuk melakukan tindakan-tindakan advokasi karena advokat berhak menerima hak-haknya seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menyebutkan bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Pasal 1 angka (4) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum disebutkan, bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum yang difasilitasi oleh negara melalui peradilan, baik dalam perkara perdata gugatan dan permohonan maupun perkara jinayat.

Sebelum seseorang memutuskan menggunakan jasa advokat, terlebih dulu membuat suatu perjanjian sebagai bentuk pemberian kuasa dari klien kepada advokat.

Setelah terjadi kata sepakat, dalam kesesuaian hak dan kewajiban masing-masing pihak, advokat harus mempertanggungjawabkan isi dari perjanjian advokasi melalui realisasi kerjanya.

Perjanjian advokasi tentunya menyangkut lebih dari satu pihak yaitu antara

advokat dengan klien. Antara advokat dengan klien memiliki hak dan kewajiban

yang berbeda pula. Sebelum pengguna jasa memutuskan menggunakan jasa advokat,

terlebih dulu membuat suatu perjanjian sebagai bentuk pemberian kuasa dari klien

kepada advokat. Setelah terjadi kata sepakat, dalam kesesuaian hak dan kewajiban

masing-masing pihak advokat harus mempertanggungjawabkan isi dari perjanjian

advokasi melalui kerja nyatanya.

(38)

Berdasarkan hal di atas, maka perjanjian yang dibuat oleh advokat dan klien dalam perjanjian advokasi termasuk perjanjian timbal balik, klien mengedepankan hak dan wajib memberikan kewajibannya, begitu pula advokat. Dikarenakan sudah ada kata sepakat antara advokat dan klien, maka perjanjian tersebut sudah berasas konsensualis dengan dilandasi dengan itikad baik. Untuk asas pacta sun servanda dapat dilihat dari apa yang diperjanjikan antar kedua belah pihak.

B. Syarat Sahnya Perjanjian Bantuan Hukum

Advokat dalam merealisasikan perjanjian, wajib berpedoman pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Sepakat di sini dimaksudkan adalah adanya persesuaian kehendak antara si pemegang hak dengan si pemegang kewajiban, mengenai objek perjanjian. Berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak tersebut. Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan sepakat adalah kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.

47

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing yang dilahirkan oleh para pihak

47 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2007, hlm. 7

(39)

dengan tidak ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan. Persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam.

48

Tidak dianggap sah suatu kesepakatan jika diberikan karena : a. Salah pengertian (dwaling) atau kekeliruan.

b. Pemerasan atau dipaksakan.

c. Adanya penipuan.

49

Persetujuan harus diberikan secara bebas dan persetujuan yang diberikan karena salah pengertian (dwaling), Paksaan (dwang) dan penipuan (bedrog) berarti dalam persetujuan yang diberikan jelas merupakan persetujuan kehendak yang cacat. Terhadap persetujuan yang demikian dapat dilakukan pembatalan, tapi bukan batal dengan sendirinya.

Mengenai salah duga atau salah pengertian yang dapat dibatalkan harus mengenai inti sari pokok persetujuan. Jadi harus mengenai objek atau prestasi yang dikehendaki. Salah pengertian (dwaling) orangnya tidak menyebabkan persetujuan dapat menjadi batal. Hanya salah pengertian terhadap objek yang menyebabkan persetujuan dapat batal. Dengan demikian salah duga atau salah pengertian yang menyebabkan lenyapnya persetujuan harus mengenai :

1) Pokok atau maksud objek persetujuan

2) Kedudukan hukum subjek yang membuat persetujuan 3) Hak subjek hukum yang bersangkutan.

50

Paksaan yang dapat melenyapkan masalah perizinan dalam persetujuan ialah paksaan besifat tidak adanya pilihan. Sedemikian rupa paksaan kekerasan

48Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 205

49Ibid, hlm. 8

50 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Op.Cit, hlm.27

(40)

yang diancamkan, sehingga orang yang bersangkutan tidak mempunyai pilihan lain selain melakukan perbuatan yang dipaksakan. Paksaan itu sifatnya mutlak atau absolut yang menyebabkan seorang terpaksa mengikuti kehendak orang yang memaksanya sehingga tidak dapat menghindar dari paksaan tersebut.

Berbeda halnya dengan paksaan psikis, di sini sifat paksaan relatif yang memberi kemungkinan kepada pihak yang dipaksa melakukan pilihan kehendak.

Seseorang itu masih dapat mengelak dari paksaan dimaksud. Selanjutnya perizinan yang diberikan dalam persetujuan diperoleh dengan jalan penipuan, hal ini mengakibatkan peizinan dalam persetujuan dianggap tidak ada. Persetujuan yang diperoleh dengan jalan tipu muslihat berarti persetujuan tersebut tidak ada.

Penipuan itu harus berupa muslihat licik hingga sesuatu yang tidak benar terkesan merupakan gambaran keadaan dan kejadian yang sungguh-sungguh benar tentang sesuatu hal.

Sesuatu baru disebut tipu muslihat apabila :

(a) Hal itu merupakan kebohongan yang diatur rapi

(b) Sesuai pula dengan taraf pendidikan kecakapan orang yang ditipu.

Apabila yang ditipu seorang terpelajar dan hanya dengan tipuan yang sangat rendah dia sudah percaya, tentu dianggap tidak ada penipuan.

51

Perjanjian yang telah dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang dan dilaksanakan dengan itikad baik, maka perjanjian itu sah dan mengikat bagi kedua belah pihak. Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali

51 M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Op.Cit, hlm.26

(41)

selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Apabila terjadi sengketa karena salah satu pihak melanggar isi perjanjian, maka pihak lainnya dapat membawanya ke pengadilan dan apabila terbukti memang demikian kejadiannya, hakim dapat menghukum pihak yang salah berdasarkan perjanjian itu.

Melalui suatu perjanjian, maka terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat perjanjian. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi perjanjian yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal inilah dikatakan fungsi perjanjian sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja.

Perjanjian dalam hubungan bisnis perlu dibuat secara tertulis karena perjanjian ini sebagai pegangan, pedoman dan alat bukti para pihak itu sendiri. Dengan adanya perjanjian yang baik mencegah terjadinya perselisihan karena semuanya sudah diatur dengan jelas sebelumnya.

Undang-undang telah menentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan dalam suatu perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali selain atas kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan itu harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Istilah secara sah, pembentuk undang-undang hendak menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut hukum.

52

Semua perjanjian yang dibuat menurut

52 Mariam Darus Badrulzaman., Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 2004, hlm. 27

(42)

hukum atau secara sah adalah mengikat. Secara sah di sini adalah bahwa pembuatan perjanjian harus mengikuti apa yang ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata.

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian advokasi yang dibuat itu sah dan berkekuatan hukum, yaitu :

1.1. Antar pihak harus sepakat untuk mengikatkan diri satu sama lain, yaitu saling mengedepankan hak dan memenuhi kewajiban masing-masing pihak.

1.2. Advokat dalam membuat perjanjian advokasi melihat dulu klien yang sekiranya akan membuat perjanjian, contoh : jika klien berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, maka perjanjian tersebut tidak dapat terealisasi dan apabila tetap terjadi perjanjian advokasi, perjanjian tersebut tidak akan sah dan dapat dibatalkan menurut hukum disebabkan melibatkan orang yang tidak cakap di dalamnya.

1.3. Perjanjian yang sekiranya akan dibuat mengandung orientasi tujuan yang akan dicapai secara bersama-sama. Dengan kata lain, adanya suatu hal tertentu yang menjadi tujuan bersama untuk dicapai juga secara bersama- sama melalui perjanjian advokasi tersebut.

1.4. Orientasi tujuan dari perjanjian advokasi tersebut bersifat halal adanya.

Contoh, klien menggunakan jasa advokasi bertujuan supaya semua hutangnya di bank dapat “diputihkan”. Perjanjian tersebut tidak sah menurut hukum, karena ada sesuatu yang tidak halal.

53

C. Akibat Hukum Perjanjian Bantuan Hukum

Dua orang yang mengadakan perjanjian, maka masing-masing mereka

53 Yudhi Widyo Armono, Pelaksanaan Perjanjian Advokasi Antara Advokat Dengan Klien Dan Penentuan Besaran Fee Advokat, jurnal Rechstaat Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNSA Vol. 8 No. 1 Maret 2014, hlm. 2

Referensi

Dokumen terkait

Apabila seluruh sumber daya intelektual yang dimiliki perusahaan dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik maka akan menciptakan value added bagi perusahaan sehingga

Segi produk dapat dilihat dari kandungan gizi yang dimiliki susu sapi tersebut, kualitas gizi yang baik, memiliki varians rasa yang banyak, pengemasan yang menarik

Hasil percobaan kedua menunjukkan bahwa penurunan kadar air tidak berpengaruh terhadap semua peubah pengamatan.:daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum, indeks vigor,

Status kesehatan ibu hamil akan menunjukkan baik buruknya kondisi ibu dan juga terhadap perkembangan janin yang sedang dikandung, bagi ibu sendiri kesehatan yang

Sebab lainnya yang menjadi dasar tindakan pengusaha yang melarang adanya ikatan perkawinan antara sesama pekerja dalam perusahaannya adalah mengacu kepada Pasal 153

Dalam penelitian ini peneliti langsung terjun kelapangan untuk memperoleh data yang akan dicarai, seperti ketika mencari data dengan melakukan wawancara

6) Ibu Rice Novita, S.Kom, M.Kom dan Ibu Zarnelly S.Kom, M.Sc selaku pembimbing akademik dan seluruh dosen beserta karyawan Fakultas Sains dan Teknologi, khususnya Program

Ummi, Devi, Lena, Krisman, Fachri, Febri, Alex dan teman-teman Ekstensi Teknik Sipil USU yang telah banyak membantu, memberikan semangat kepada penulis dalam