• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI DI INDONESIA"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

MONOGRAF

EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI DI INDONESIA

Peran Gas dalam Transisi Energi Baru dan Terbarukan

2021

Tim Peneliti Poppy S. Winanti Wawan Mas’udi

Randy Wirasta Nandyatama

Muhammad Rum Marwa

Arumdriya Murwani

(2)
(3)

2021

MONOGRAF

EKONOMI POLITIK

TRANSISI ENERGI DI INDONESIA

Peran Gas dalam Transisi Energi Baru dan Terbarukan

(4)

Marwa

Arumdriya Murwani

978-979-8147-38-8

(5)

2021

MONOGRAF

EKONOMI POLITIK

TRANSISI ENERGI DI INDONESIA

Peran Gas dalam Transisi Energi Baru dan Terbarukan

(6)

Daftar isi

1 2 3 4

1. PENDAHULUAN: EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI

1.1 Memahami Transisi Energi: Perspektif Ekonomi Politik Internasional

1.2 Peran Gas dalam Transisi Energi 1.3 Metode Pengumpulan Data 1.4 Sistematika Penulisan Referensi

2. POTENSI SEKTOR GAS DI INDONESIA 2.1 Rantai Pasok Gas di Indonesia

2.2 Target Kontribusi Gas dalam Bauran Energi Indonesia

2.3 Potensi Pemanfaatan Gas Alam 2.4 Peran Gas dalam Transisi Energi Sektor Kelistrikan

2.5 Penutup: Pengarusutamaan Gas sebagai Pilar Transisi Energi

Referensi

3. DARI DEVELOPMENTAL STATE MENUJU REGULATORY STATE: DINAMIKA TATA KELOLA SEKTOR GAS DI INDONESIA

3.1 Sejarah Tata Kelola Sektor Gas di Indonesia 3.2 Regulasi Sektor Gas di Indonesia

3.3 Refleksi atas Regulasi dan Realita Mekanisme Pasar di Indonesia

Referensi

4. GAS SEBAGAI ELEMEN TRANSISI:

PELUANG DAN TANTANGAN

4.1 Peluang Gas sebagai Elemen Transisi 4.2 Tantangan Gas sebagai Elemen Transisi

4.3 Prasyarat Penguatan Gas sebagai Elemen Transisi Referensi

1 3

12 4 9 9 11

13 15 17 20 21

25 26 32 35 38

39 40 42 46 49

KATA PENGANTAR i

24

(7)

KATA PENGANTAR

Meskipun tidak ada definisi yang cukup baku mengenai apa yang dimaksud dengan transisi energi, namun dalam konteks Indonesia transisi energi dapat dimaknai sebagai upaya peralihan dari sumber energi fosil menuju energi baru dan terbarukan. Tujuan utama dari transisi energi adalah terjaminnya keamanan energi yang mencakup ketersediaan, kemudahan akses dan keterjangkauannya bagi masyarakat luas. Transisi energi merupakan proses yang tidak dapat terelakkan. Tidak hanya karena keterbatasan sumber energi fosil namun juga daya rusaknya bagi lingkungan hidup yang membutuhkan penanganan. Oleh karena itu, transisi energi menjadi mantra baru dalam pengelolaan energi di banyak negara dalam beberapa tahun terakhir termasuk di Indonesia.

Proses transisi energi yang bersifat jangka panjang dan mensyaratkan banyak kondisi agar dapat berhasil dalam pelaksanaannya membutuhkan strategi yang sesuai dengan kondisi sosial politik setiap negara. Di banyak negara, strategi yang dikembangkan dalam proses transisi tersebut adalah memanfaatkan gas sebagai pilar transisi yang berkontribusi dalam energi bauran. Kajian ini dimaksudkan untuk mencapai tiga hal: pertama, menegaskan kembali urgensi mengapa kebijakan peralihan energi di Indonesia perlu dikembangkan secara lebih komprehensif. Kedua, bagaimana mengembangkan kebijakan peralihan energi dengan memperhitungkan kondisi dan potensi yang dimiliki Indonesia beserta tantangan-tantangan yang perlu diatasi. Ketiga, bagaimana menempatkan gas sebagai elemen penting dalam proses transisi energi, terutama mengingat proses transisi bersifat jangka panjang sedangkan pemenuhan kecukupan energi adalah persoalan yang membutuhkan penanganan segera. Monograf mengenai gas sebagai pilar transisi menuju energi baru dan terbarukan ini merupakan pengembangan dari laporan akhir penelitian yang terselenggara atas kerja sama FISIPOL UGM dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN).

Yogyakarta, 20 Januari 2021 Tim Penulis

MONOGRAF EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI DI INDONESIA Peran Gas dalam Transisi Energi Baru dan Terbarukan

i

(8)

MONOGRAF EKONOMI POLITIK

TRANSISI ENERGI DI INDONESIA

Peran Gas dalam Transisi Energi Baru dan Terbarukan

1

PENDAHULUAN:

EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI

1

(9)

MONOGRAF EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI DI INDONESIA Peran Gas dalam Transisi Energi Baru dan Terbarukan

1

PENDAHULUAN:

EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI

Kajian awal menunjukkan bahwa Indonesia, sebagaimana negara-negara yang dikategorikan sebagai emerging market, menghadapi tantangan untuk memenuhi konsumsi energi domestiknya (Winanti, et.

al: 2019). Seiring dengan kemajuan pembangunan dan proses industrialisasi, kebutuhan energi Indonesia meningkat secara pesat dan kecenderungan ini diproyeksikan terus meningkat. Data terbaru dari Enerdata (2019) menunjukkan persentase konsumsi energi Indonesia meningkat dengan rerata 3% per tahun dari kurang lebih 99 Mtoe pada tahun 1990 menjadi 237 Mtoe pada tahun 2019.

Konsumsi energi primer per kapita Indonesia meningkat dari 0,71 Tonnes Oil Equivalent (toe)/kapita pada tahun 2010 menjadi 0,76 toe/kapita pada tahun 2015 atau tumbuh 1,5% per tahun. Peningkatan kebutuhan konsumsi energi tersebut selama ini lebih banyak dipenuhi dari sumber-sumber energi fosil, seperti minyak bumi, gas alam dan batubara yang mencapai 91.45% (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2018).

Ketergantungan pada sumber energi fosil menghadirkan tantangan tersendiri. Pertama, mengingat ketersediaan minyak bumi tidak lagi dapat diandalkan, pemenuhan kebutuhan energi minyak tersebut dipenuhi melalui impor, sehingga berkontribusi pada defisit neraca perdagangan Indonesia. Kedua, Indonesia kaya akan sumber daya energi yang terbarukan seperti misalnya, panas bumi, biodiesel, solar, angin, dan air (hydro). Namun potensi sumber daya energi yang terbarukan tersebut belum dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Ketiga, pemenuhan kebutuhan energi nasional perlu diletakkan dalam konteks proses transisi energi atau peralihan dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT).

Kajian ini dimaksudkan untuk mencapai tiga hal: pertama, menegaskan kembali urgensi mengapa kebijakan peralihan energi di Indonesia perlu dikembangkan secara lebih komprehensif. Hal ini dilakukan dengan mengkaji kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat yang dikontraskan dengan data ketersediaan sumber energi. Kedua, bagaimana mengembangkan kebijakan peralihan energi dengan memperhitungkan kondisi dan potensi yang dimiliki Indonesia serta tantangan- tantangan yang perlu diatasi. Ketiga, bagaimana menempatkan gas sebagai elemen penting dalam proses transisi energi, terutama mengingat proses transisi bersifat jangka panjang sedangkan pemenuhan kecukupan energi adalah persoalan yang membutuhkan penanganan segera.

Bab pengantar ini selanjutnya dibagi ke dalam beberapa sub bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang apa yang dimaksud transisi energi. Bagaimana pemahaman transisi energi tersebut diposisikan dalam kondisi dan konteks dinamika ekonomi politik Indonesia.

2

(10)

Bagian selanjutnya akan mendiskusikan secara ringkas bagaimana gas dapat menjadi pilar dalam proses transisi energi sekaligus memetakan keunggulan dan kelemahannya. Bagian berikutnya menjelaskan tentang metode yang digunakan dalam kajian serta bangunan sistematika hasil kajian yang akan disajikan di bab-bab berikutnya.

1.1 Memahami Transisi Energi: Perspektif Ekonomi Politik Internasional

Tidak ada definisi yang solid atau baku mengenai apa yang dimaksud dengan transisi energi. Salah satu definisi yang paling sederhana dari transisi energi adalah “... a change in an energy system, usually to a particular fuel source, technology, or prime mover...” (Sovacool, 2016: p. 203). Namun, transisi energi juga dapat dimaknai secara lebih luas “....encompasses shifts in technology as well as the resulting “constellation of energy inputs and outputs involving suppliers, distributors, and end users along with institutions of regulation, conversion and trade …. or structural changes in the way energy services are delivered” (Sovacool, 2016: p. 203). Istilah energi transisi juga kerap kali dipadankan dengan transformasi energi atau revolusi energi baik secara teknologi maupun praktik sosialnya yang dipusatkan pada perluasan akses atas energi yang adakalanya bersifat langka (Sovacool, 2016: p. 203).

Kajian literatur mengenai transisi energi dapat dibedakan ke dalam dua perspektif utama, yaitu energi transisi sebagai 'socio-technical transition' (P. Späth and H. Rohracher, 2010; Stirling, 2014; Kivimaa &

Kern, 2016) dan energi transisi dalam perspektif 'energy democracy' (Burke and Stephens, 2017; 2018).

Sebagai sebuah 'socio-technical transition', energi transisi tidak hanya mengharuskan adanya inovasi teknologi yang lebih luas (Kivimaa & Kern, 2016) namun juga mempertimbangkan dampak sosial ekonomi dari proses transisi tersebut. Perspektif yang juga dikenal sebagai 'Socio-Technical Energy Transition' (STET) Model ini, muncul untuk mengkritik model transisi energi yang cenderung mengabaikan faktor sosial dan dinamika sosial politik serta keterlibatan aspek tersebut dalam proses transisi (Li, Francis. G. N., Trutnevyte, E. and Strachan, N. (2015).

Lebih lanjut, model ini berargumen bahwa transisi energi tidak hanya mengenai bagaimana meningkatkan kemampuan dan kapasitas teknologi namun juga menuntut adanya pemahaman yang lebih komprehensif terkait dengan perubahan ekonomi, politik, kelembagaan serta aspek kultural dari proses transisi tersebut (Berkhout, F., Marcotullio, P., and Hanaoka, T. (2012). Dengan kata lain, model ini juga menekankan pentingnya diadopsinya sistem yang lebih luas dalam proses transisi energi yang tidak sekedar mencakup aspek teknologi tetapi juga elemen sosial dan institusional (Li, Francis. G. N., Trutnevyte, E. and Strachan, N., 2015). Berdasarkan model STET ini, setidaknya terdapat tiga elemen utama yang dapat mendukung keberhasilan transisi energi, yaitu: intervensi kebijakan yang berbasiskan bukti saintifik, konseptualisasi atas perilaku individu maupun aktor dominan dalam pengambilan kebijakan, serta penilaian atas tujuan-tujuan normatif yang ingin dicapai melalui pengadopsian teknologi baru dan dinamika yang menyertainya (Li, Francis. G. N., Trutnevyte, E. and Strachan, N., 2015: p. 7).

(11)

MONOGRAF EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI DI INDONESIA Peran Gas dalam Transisi Energi Baru dan Terbarukan

Studi oleh Kern dan Markard (dalam Van de Graaf et.al (eds), 2016) menegaskan kajian tentang STET sebelumnya bahwa transisi energi dalam kaca mata socio-technical merupakan proses multidimensi yang menuntut perubahan dari berbagai elemen baik organisasional, institusional maupun struktur teknologi. Dalam konteks tersebut, setiap elemen saling berkaitan satu sama lain sehingga perubahan satu elemen dalam transisi energi akan memengaruhi perubahan di elemen yang lain. Transisi energi karenanya melibatkan perubahan tidak hanya tata kelola, regulasi, dan kemajuan teknologi namun juga tatanan norma dalam masyarakat (Kern dan Markard dalam Van de Graaf et.al (eds), 2016).

Melengkapi Model STET yang telah ada, sejumlah peneliti mengembangkan model tersebut dengan mengintegrasikan gerakan sosial yang lebih luas dalam proses transisi energi. Agar proses transisi energi dapat berhasil maka proses tersebut membutuhkan yang disebut sebagai 'energy democracy'.

Lahir dari gerakan sosial di negara-negara maju yang memperjuangkan isu mengenai perubahan iklim dan lingkungan hidup, 'energy democracy' merupakan konsep baru yang mencoba mengintegrasikan antara kebijakan yang terkait dengan keadilan sosial dan kesetaraan ekonomi dalam transisi energi yang terbarukan (Burke and Stephens, 2017: p. 35). Burke and Stephens (2017: p. 37) lebih jauh menyatakan bahwa dalam pandangan 'energy democracy', perubahan menuju 100% energi terbarukan juga merupakan upaya untuk melawan dominasi sumber energi fosil dan sebagai bagian dari meraih kembali kendali masyarakat dan publik yang lebih luas atas sektor energi. Restrukturisasi sektor energi dapat dimaknai juga sebagai upaya untuk mendukung proses yang lebih demokratis, keadilan dan inklusi sosial serta lingkungan yang lebih berkelanjutan. Pada intinya, energi demokrasi menekankan pada pentingnya peran komunitas dan gerakan sosial dalam transisi energi untuk mewujudkan energi yang berkelanjutan berbasiskan masyarakat (Burke and Stephens, 2018).

Para pengusung 'energy democracy' juga percaya bahwa tanpa adanya restrukturisasi sosial yang lebih luas atas relasi kuasa yang saat ini berkembang, transisi energi hanya akan melanggengkan sistem yang tidak adil, memperkuat aktor yang dominan dan terus memarginalisasi kelompok- kelompok yang memang selama ini terpinggirkan dalam pengelolaan sektor energi (Burke and Stephen, 2018: pp. 79 - 80). Transisi energi menuju energi baru dan terbarukan karenanya dipahami sebagai proses dan pergulatan politik yang memiliki dua tujuan utama, mewujudkan energi yang terbarukan sekaligus memperkuat demokrasi.

Kajian ini mengadopsi pemahaman transisi energi yang berangkat dari dua tradisi tersebut, meski demikian, berbagai penyesuaian perlu dilakukan menimbang dinamika sosial politik di Indonesia. Oleh karena itu, kajian ini juga akan memanfaatkan pendekatan ekonomi politik internasional (EPI) dalam memahami transisi energi di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, transisi energi merupakan proses yang didorong oleh pertautan antara faktor politik dan ekonomi serta tidak dapat dipisahkan dari konteks perkembangan di tingkat global.

4

(12)

Oleh karena itu, perspektif EPI akan berguna dalam memahami proses transisi energi di Indonesia setidaknya karena tiga alasan utama berikut ini: pertama, dalam memahami transisi energi, perspektif 1

EPI menekankan pentingnya aspek politik dan peran aktor yang dominan dalam industri energi. Aktor- aktor tersebut tidak hanya perusahaan multinasional dan berbagai organisasi internasional (bentukan negara maupun non-negara) namun termasuk juga yang disebut sebagai komunitas epistemik yang bergerak di isu lingkungan hidup. Aktor-aktor tersebut mengendalikan sumber daya kunci dan karenanya memiliki kemampuan untuk memperjuangkan kepentingan mereka di tingkat nasional dan internasional.

Kedua, perspektif EPI menggarisbawahi kepentingan aktor domestik yang tidak hanya beragam namun juga saling berkompetisi. Oleh karena itu, dalam merumuskan kebijakan nasionalnya dalam transisi energi, pemerintah suatu negara dipengaruhi oleh pertimbangan dan kalkulasi berbagai kepentingan aktor domestik yang dominan. Kepentingan para aktor tersebut memengaruhi keputusan yang diambil misalnya terkait target dan prioritas dalam proses transisi, pengembangan teknologi yang sesuai, serta desain kelembagaan yang dibentuk.

Ketiga, dalam kaca mata EPI, transisi energi juga menyangkut mengenai pertanyaan siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam proses tersebut atau yang disebut sebagai “distributional consequences of transitions”. Dalam konteks ini, pada derajat tertentu, transisi energi dalam perspektif EPI dekat dengan ide mengenai “energy democracy” yang juga menekankan pada pentingnya transisi energi sebagai perubahan konfigurasi dan tata kelola energi yang lebih berkeadilan atau “just transition”.

Dengan menggunakan perspektif EPI tersebut, dalam konteks Indonesia, transisi energi didefinisikan sebagai transformasi dari energi yang bersumber pada fosil termasuk teknologi yang menyertainya menuju energi yang lebih bersih, terbarukan dan lebih berkelanjutan. Tujuan utama transisi ini adalah untuk mencapai ketahanan energi nasional yang meliputi jaminan atas ketersediaan, kemudahan akses hingga keterjangkauan harga atas sumber energi bagi masyarakat luas.

Dengan pemaknaan semacam ini, dapat dipahami bahwa transisi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan merupakan proses politik jangka panjang. Proses tersebut membutuhkan beberapa prasyarat. Pertama, political will yang tercermin dalam kemampuan dan ketangguhan suatu negara dalam memformulasikan dan melaksanakan kebijakan, termasuk adanya kelembagaan dalam mengawal proses transisi. Kedua, kemampuan negara terkait dengan penguasaan teknologi, kapasitas finansial serta kemampuannya dalam mengembangkan inovasi.

1Diskusi lebih jauh mengenai perspek f EPI dalam memahami transisi energi lihat Van de Graaf et.al (eds), 2016.

(13)

MONOGRAF EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI DI INDONESIA Peran Gas dalam Transisi Energi Baru dan Terbarukan

Ketiga, tidak hanya ketersediaan dan kapasitas sumber energi tidak terbarukan yang dimiliki negara tersebut, namun juga kemampuannya dalam mengelola dan mengolah sumber menjadi energi yang dapat digunakan. Keempat, yang tidak kalah pentingnya, transisi energi membutuhkan social acceptance atau dukungan yang kuat dari masyarakat luas.

Dalam proses transisi energi tersebut, maka dibutuhkan beberapa strategi yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara. Strategi yang paling ideal adalah proses transisi energi dilakukan dengan melakukan peralihan langsung dari sumber energi fosil ke sumber energi baru dan terbarukan. Strategi ini tidak hanya mensyaratkan political will yang kuat dari pemerintah dan dorongan maupun penerimaan sosial yang juga besar dari masyarakat. Namun juga, strategi ini hanya dimungkinkan apabila semua persyaratan yang disebutkan sebelumnya terpenuhi. Menimbang kondisi yang ada, hampir mustahil proses semacam ini dapat dilakukan. Apabila suatu negara memiliki semua persyaratan yang dimiliki sekalipun, terdapat kendala yang terkait dengan karakteristik dari EBT yang menyebabkan proses transisi menjadi tidak mudah. Seperti misalnya, produksi EBT yang masih sangat fluktuatif tergantung kondisi alam, sementara kebutuhan listrik cenderung stabil dan bahkan terus meningkat sehingga membutuhkan jaminan pasokan energi yang juga lebih stabil. Sebagai contoh, kebutuhan listrik Indonesia meningkat tajam dari 90 terawatt-hours (TWh) di tahun 2003 menjadi 190 TWh di tahun 2013 (Budiman, A. et.al: 2014).

Selain itu, produksi EBT sebagian besar masih berskala kecil dan hanya dapat memenuhi kebutuhan lokal. Agar pemanfaatan EBT lebih luas maka perlu mengembangkannya dalam produksi berskala besar yang tentu saja membutuhkan infrastruktur, tidak hanya dalam proses produksi maupun penyalurannya hingga dapat dimanfaatkan secara luas. Selain itu, karakteristik beberapa sumber EBT yang harus segera termanfaatkan membutuhkan teknologi yang dapat mengkonversinya atau setidaknya untuk penyimpanannya. Persoalan lain yang juga dihadapi produksi EBT juga menyangkut social acceptance. Di beberapa tempat masih mendapatkan penolakan dari masyarakat baik karena alasan keamanan, mitos maupun memunculkan konflik lahan . 2

Oleh karena itu, strategi yang lebih memungkinkan untuk diterapkan adalah proses transisi dengan mengoptimalkan sumber energi fosil yang paling tersedia dan ramah lingkungan sebagai bagian dari energi bauran sebelum secara penuh beralih ke EBT. Dalam konteks ini, strategi tersebut lebih dimaksudkan untuk memastikan ketercukupan pasokan memenuhi kebutuhan energi sebelum EBT bisa digunakan sebagai energi yang massif, ekonomis, berskala besar, dan terjangkau. Dari sisi ketersediaan, menimbang Indonesia tidak lagi dapat mengandalkan pasokan sumber energi minyak bumi, dua sumber energi fosil yang berpotensi menjadi energi transisi adalah batubara dan gas.

6

2Wawancara dengan salah satu pejabat di KSP, Jakarta 5 Mei 2019.

(14)

1.2 Peran Gas dalam Transisi Energi

Secara umum, berdasarkan pengalaman berbagai negara lain di dunia, terdapat beberapa alasan mengapa gas dapat berperan penting menjadi energi perantara pada masa transisi menuju energi terbarukan. Pertama, gas terbukti memiliki kandungan emisi karbon yang paling rendah dibandingkan dengan energi fosil yang lain. Gas terbukti dapat menurunkan total emisi hingga 40% dibandingkan dengan yang dihasilkan batubara (Townsend, 2019). Di samping itu, pengalaman Cina menunjukkan peralihan dari batubara ke pemanfaatan gas telah menurunkan tingkat polusi udara secara signifikan sejak tahun 2015 (Townsend, 2019). Kedua, dari sisi teknologi dan infrastruktur yang berkembang saat ini, keduanya sudah tersedia untuk dikomersialkan dalam skala yang besar sehingga tidak hanya efisien namun juga lebih terjangkau. Infrastruktur gas yang telah tersedia dapat disiapkan untuk masa transisi, terutama untuk menyuplai kebutuhan listrik yang terus meningkat. Oleh karenanya, ketersediaan dan keterjangkauan gas relatif dapat diandalkan sebagai energi bauran pada masa transisi setidaknya dalam jangka waktu 40 hingga 50 tahun ke depan.

Dalam konteks Indonesia, gas memiliki potensi yang besar sebagai pilar transisi menuju energi baru dan terbarukan karena beberapa faktor berikut ini (lihat pembahasan lebih lanjut di Bab 2): pertama, Indonesia masih memiliki cadangan gas untuk kebutuhan sekitar 50 tahun ke depan (Budiman, A. et. al, 2014). Kedua, pemanfaatan gas untuk memenuhi kebutuhan energi nasional dapat membantu mengurangi beban neraca pembayaran yang selama ini dikeluarkan untuk mengimpor bahan bakar minyak untuk memenuhi kebutuhan energi domestik. Ketiga, mengingat Indonesia juga memiliki potensi batubara yang juga besar yang menyebabkan Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi pada batubara, maka gas dapat ditempatkan sebagai pengganti batubara (atau coal-to-gas switching) dalam proses skema energi bauran secara bertahap.

Di samping potensi yang dimiliki Indonesia atas cadangan gas alam, sejumlah upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk memulai proses transisi energi dari energi fosil ke energi yang baru dan terbarukan. Pemerintah telah menetapkan bahwa target capaian energi baru dan terbarukan dilakukan dengan energi bauran selama masa transisi. Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang memuat grand design energi Indonesia yang bersifat jangka panjang maupun ketentuan-ketentuan yang menjadi landasan kebijakan energi nasional maupun daerah (lihat Bab 3).

Sebagaimana diamanatkan UU Energi No. 30/2007, melalui Keputusan Presiden No 26/2008 didirikan Dewan Energi Nasional (DEN) yang bekerja dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden di bawah koordinasi Menteri ESDM.

Akan tetapi, batubara bukan sumber energi yang ramah lingkungan, maka tidak dapat digunakan sebagai energi transisi. Justru tujuan akhir dari energi transisi adalah pengurangan secara signifikan pemanfaatan batubara sebagai sumber energi selamanya. Pada titik ini, gas menjadi sumber energi fosil pilihan sebagai energi transisi sebelum kebutuhan energi dapat sepenuhnya dicukupi dengan EBT.

(15)

MONOGRAF EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI DI INDONESIA Peran Gas dalam Transisi Energi Baru dan Terbarukan

Tugas utama DEN termasuk merumuskan kebijakan energi nasional yang diajukan ke Pemerintah dan nantinya mendapatkan persetujuan dari DPR; merumuskan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), menetapkan kebijakan terkait mitigasi krisis energi atau situasi emergensi energi; serta mengawasi implementasi kebijakan energi sektor yang lintas sektor dan lembaga. Di samping itu, pemerintah juga telah mengeluarkan sejumlah kebijakan khususnya terkait optimalisasi pemanfaatan gas sebagai energi transisi dan bentuk tata kelola serta peran para pemangku kepentingan dalam merealisasikan target bauran energi nasional (lihat Bab 3).

Meskipun demikian, sejumlah persoalan masih dihadapi pemerintah Indonesia dalam proses transisi energi tersebut (lihat Bab 4 untuk diskusi mengenai tantangan transisi energi Indonesia). Persoalan- persoalan ini antara lain meliputi: pertama, alokasi anggaran yang diberikan untuk subsidi bahan bakar di Indonesia terbilang sangat tinggi, mencapai $30 miliar per tahun (Budiman, A. et. al: 2014).

Subsidi sebesar ini semestinya dapat digunakan untuk membangun refinery kelas dunia yang tidak dimiliki oleh Indonesia, sehingga Indonesia justru harus mengimpor bahan bakar minyak yang telah diolah atau siap pakai. Di samping itu, subsidi memunculkan distorsi pasar bagi energi baru dan terbarukan yang menyebabkan harga produk EBT terkesan menjadi lebih mahal ketimbang yang berbahan bakar minyak. Meskipun demikian, perlu disadari bahwa subsidi tetap diperlukan namun semestinya lebih tepat sasaran pada lapisan masyarakat yang benar-benar membutuhkan, sehingga alokasi anggaran dapat dimanfaatkan untuk mendukung proses transisi energi. Kedua, pengelolaan energi di Indonesia masih tergolong tidak efisien yang bermuara dari masih tumpang tindihnya berbagai regulasi. Di satu sisi, telah mulai diperkenalkan berbagai kebijakan yang dapat mendorong produksi EBT namun di sisi lain masih terdapat sejumlah kebijakan yang justru menghambat. Ketiga, persiapan infrastruktur masih perlu terus ditingkatkan terutama dalam aspek peralihan dari proses produksi di hulu sampai ke proses pemanfaatan di hilir. Persoalan paling mendasar yang dihadapi Indonesia, terlepas dari ketersediaan cadangan gas yang masih cukup banyak adalah gas alam diekspor dalam bentuk mentah dan diimpor kembali dalam bentuk yang siap dikonsumsi karena fasilitas refinery yang tidak tersedia. Infrastruktur terkait dengan aspek distribusi juga masih perlu diperbaiki. Pengguna utama energi di Indonesia dapat dibedakan ke dalam setidaknya 4 area utama:

industri, rumah tangga, transportasi dan kebutuhan listrik. Namun, infrastruktur untuk penyaluran ke keempat area tersebut pun masih sangat terbatas.

Menimbang masih terdapat sejumlah persoalan, oleh karena itu penting untuk merumuskan langkah- langkah konkrit apa yang perlu dilakukan. Setidaknya untuk memastikan kebutuhan akan energi dapat tercukupi selama proses transisi menuju energi yang lebih ramah terhadap lingkungan dikembangkan.

8

(16)

1.4 Sistematika Penulisan

Hasil kajian ini dituangkan ke dalam beberapa bagian. Bagian berikutnya akan menjelaskan mengenai kondisi sektor gas sebagai pilar transisi energi di Indonesia. Di dalamnya termasuk pembahasan mengenai rantai produksi gas dan target kontribusi gas dalam bauran energi. Pembahasan juga dilengkapi dengan pemetaan peta potensi gas Indonesia termasuk infrastruktur dan teknologi yang digunakan, kapasitas terpasang serta pemetaan kondisi terkini terkait pengguna energi gas dan potensi pengguna energi gas seperti kelistrikan, industri, rumah tangga dan transportasi. Bagian selanjutnya akan menyajikan kajian komprehensif terhadap berbagai bentuk kebijakan yang mencakup UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah, dalam membentuk tata kelola sektor gas nasional.

1.3 Metode Pengumpulan Data

Kajian ini memanfaatkan dua metode pengumpulan data, yaitu: desk-study atau penelusuran dokumen dan wawancara. Metode desk-study secara khusus digunakan untuk menghasilkan peta awal dan informasi atas kondisi kontemporer sektor energi termasuk potensi gas dan EBT di Indonesia.

Metode desk-study juga digunakan untuk mengkaji regulasi (regulatory review) atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah baik mengenai EBT secara luas maupun yang terkait dengan gas.

Di samping desk-study, wawancara digunakan untuk mendapatkan analisis yang lebih dalam tentang bagaimana para aktor politik yang relevan menyikapi kondisi pasar energi kontemporer serta bagaimana kepentingan energi mereka ditempatkan dalam konteks kebutuhan energi Indonesia secara luas. Wawancara mendalam melalui elite interview yang terbagi menjadi tiga kelompok pemangku kepentingan yang mencerminkan posisi yang berbeda, yaitu: perusahaan energi atau pelaku bisnis (termasuk Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Perusahaan Gas Negara);

organisasi masyarakat sipil dan lembaga think-tank (seperti Wahana Riset Indonesia, Roundtable of Sustainable Palm Oil, Pusat Studi Energi); dan kementerian/Lembaga pemerintah terkait (seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Dewan Energi Nasional, Dewan Perwakilan Rakyat RI, Kantor Staf Presiden).

Wawancara mendalam dilaksanakan di tahun 2019, sedangkan kegiatan diskusi terbatas dengan perwakilan perusahaan multinasional diselenggarakan di tahun 2020.

Data yang diperoleh dianalisis dengan triangulasi metode desk-study dan hasil wawancara. Selain itu, data dikategorikan berdasarkan pemahaman atas transisi energi secara umum, peran gas dalam proses transisi, serta review atas regulasi mengenai gas, serta kondisi sosial, politik dan ekonomi apa yang melingkupi transisi. Kajian ini diharapkan dapat menjadi basis penyusunan roadmap jasa sebagai pilar transisi energi di Indonesia dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan.

(17)

MONOGRAF EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI DI INDONESIA Peran Gas dalam Transisi Energi Baru dan Terbarukan

10

Dengan menganalisis berbagai kebijakan tersebut, bagian ini mencoba untuk menjelaskan dinamika dalam tata kelola gas Indonesia khususnya sejauh apa kebijakan-kebijakan tersebut dapat mendukung optimalisasi pemanfaatan gas dalam mencapai bauran energi nasional. Pemetaan persoalan dan tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan gas sebagai pilar energi transisi menjadi pokok bahasan berikutnya. Bagian ini yang sekaligus sebagai penutup, menganalisis lebih jauh mengenai kondisi yang ada dan strategi serta rekomendasi apa yang dapat ditawarkan.

(18)

Referensi

Berkhout, F., Marcotullio, P., & Hanaoka, T. (2012). Understanding energy transition. Sustain Science 7, 109 - 111. https://doi.org/10.1007/s11625-012-0173-5

Budiman, A. et. al (2014). 'Ten Ideas to Reshape Indonesia's Energy Sector'. McKinsey&Company.

Tersedia di:

https://www.mckinsey.com/~/media/McKinsey/Locations/Asia/Indonesia/Our%20Insights/Te n%20ideas%20to%20reshape%20Indonesias%20energy%20sector/Ten_ideas_to_reshape_In donesias_energy_sector.pdf (akses tanggal 10 November 2020)

Burke, M. J., & Stephens, J. C. (2018). Political power and renewable energy futures: A critical review.

Energy Research & Social Science, 35, 78 – 93. https://doi.org/10.1016/j.erss.2017.10.018 Burke, M. J., & Stephens, J. C. (2017). Energy democracy: Goals and policy instruments for

sociotechnical transitions. Energy Research & Social Science, 33, 35 – 48.

https://doi.org/10.1016/j.erss.2017.09.024

Kern, F. & Markard, J. (2016). Analysing Energy Transitions: Combining Insights from Transition Studies and International Political Economy dalam Van de Graaf, T., Sovacool, B. K., Ghosh, A., Kern, F., and Klare, M. T., (eds). The Palgrave Handbook of the International Political Economy of Energy. London: Palgrave Macmillan (hal. 291 – 318).

Li, Francis. G. N., Trutnevyte, E. and Strachan, N. (2015). A review of Socio-technical Energy Transition (STET) Models. Technological Forecasting and Social Change, 100, 290 - 305. DOI:

10.1016/j.techfore.2015.07.017

Sovacool, B. K. (2016). How long will it take? Conceptualizing the temporal dynamics of energy transition. Energy Research & Social Science, 13, 202 – 215.

https://doi.org/10.1016/j.erss.2015.12.020

Townsend, A. F. (2019). Natural Gas and the Clean Energy Transition. International Finance Corporation.

Van de Graaf, T., Sovacool, B. K., Ghosh, A., Kern, F., and Klare, M. T., (eds). (2016). The Palgrave Handbook of the International Political Economy of Energy. London: Palgrave Macmillan.

Winanti, P.S. et.al (2019). Diplomasi Energi Indonesia. Monograf. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

(19)

2

Bab

POTENSI SEKTOR GAS DI INDONESIA

MONOGRAF EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI DI INDONESIA Peran Gas dalam Transisi Energi Baru dan Terbarukan

12

(20)

2

Potensi sektor gas di indonesia

Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa sektor gas adalah pilar energi untuk masa depan Indonesia yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Pasalnya, dalam banyak riset disebutkan bahwa gas alam jika dibandingkan dengan sumber energi fosil lain, merupakan sumber energi dari fosil yang paling bersih.

Menurut Townsend (2019), emisi yang dihasilkan gas setengah dari emisi yang dihasilkan batubara per kWh, yang dapat menurunkan total emisi sebanyak 40 persen. Townsend (2019) juga menyatakan bahwa gas tidak memproduksi sulfur oksida (SOx), nitrogen oksida (NOx), dan materi partikulat, meskipun kebocoran metana harus tetap dijaga dalam level yang rendah. Terlebih, gas alam telah tersedia dalam bumi nusantara dan cadangannya cukup besar terutama untuk mengantarkan transformasi Indonesia dari konsumen minyak bumi menuju ke penggunaan ragam sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Bab ini akan membahas lebih jauh mengenai rantai produksi gas dan target kontribusi gas dalam bauran energi. Bab ini juga menyajikan gambaran mengenai peta potensi gas Indonesia termasuk infrastruktur dan teknologi yang digunakan serta kapasitas terpasang. Selain itu, pembahasan di bab ini dilengkapi dengan pemetaan kondisi terkini terkait pengguna energi gas dan potensi pengguna energi gas seperti kelistrikan, industri, rumah tangga dan transportasi.

2.1 Rantai Pasok Gas di Indonesia

Secara umum rantai produksi gas dibagi menjadi dua sector sebagaimana dirangkum oleh detiknews (2016) dengan penjelasan sebagai berikut: Sektor hulu (upstream) yang terdiri dari eksplorasi, pengembangan, produksi, dan titik serah yang membagi jalur distribusi pada mode pengapalan atau mode penyaluran melalui pipa (detiknews, 18 Juli 2016). Secara teori, jalur pengapalan dipergunakan untuk distribusi gas pasar domestik maupun ekspor. Jalur pipa dapat digunakan untuk kedua pasar tersebut meskipun tantangan Indonesia adalah kondisi geografi sebagai negara kepulauan dan stabilitas tektonik. Dari segi infrastruktur pemipaan, pembuatan dan perawatan jaringan pipa di Indonesia memerlukan pembiayaan yang besar. Di sektor hilir (downstream), gas alam yang didistribusikan melalui pipa dan kapal diserap oleh tiga jalur utama, yaitu untuk industri, kilang-kilang minyak, dan pembangkit listrik (detiknews, 2016). Dari jalur kilang-kilang minyak dan industri, pasokan gas diserap oleh pabrik-pabrik (detiknews, 18 Juli 2016). Dari kilang-kilang minyak, gas disalurkan ke depo-depo yang akhirnya disalurkan ke stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) untuk pemasaran kebutuhan transportasi (detiknews, 18 Juli 2016). Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa rantai produksi gas meliputi eksplorasi, pengembangan, produksi, distribusi, dan pemasaran.

(21)

MONOGRAF EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI DI INDONESIA Peran Gas dalam Transisi Energi Baru dan Terbarukan

14

Terdapat setidaknya dua indikasi belum terkelolanya potensi sektor gas di Indonesia yang melimpah.

Pertama adanya peningkatan kapasitas produksi gas, dan kedua, peningkatan kapasitas produksi tersebut tidak diiringi dengan perbaikan proyeksi pemasaran oleh beberapa perusahaan yang beroperasi. Kebuntuan proyeksi pemasaran tersebut salah satunya disebabkan karena adanya kontrak-kontrak pembelian yang belum diperbarui. Peningkatan kapasitas produksi banyak dipengaruhi oleh naiknya angka investasi pengelolaan industri gas. Sebagai contoh, sejak tahun 2016, British Petroleum (BP) menanamkan investasi sebesar 8,9 Miliar Dolar AS untuk pembangunan Train 3 Kilang LNG Tangguh (Umah, 2020b). Investasi ini akan menjadikan Kilang LNG Tangguh mengoperasikan 3 Train dengan total kapasitas produksi gas mencapai 700 MMSCFD dan kapasitas produksi minyak mencapai 3.000 barel per hari. Total yang bisa diproduksi mencapai 11,4 juta ton LNG per tahun (Umah, 2020b).

Beberapa kilang yang beroperasi di Indonesia mengalami peningkatan target produksi. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyampaikan bahwa produksi minyak hingga periode Agustus 2020 mencapai angka 706,9 ribu barel minyak per hari. Ini berarti telah ada pencapaian target yang sebelumnya diproyeksikan 705 ribu barel minyak per hari (Wicaksono, 2020). Untuk produksi gas, sejak Mei 2020, mengalami kenaikan performa produksi dengan memproduksi 6,889 juta kaki kubik per hari atau MMSCFD (Million Standard Cubic Feet per Day) (Wicaksono, 2020). Berikut adalah detail angka untuk produksi per Mei 2020:

Tabel 2.1. Produksi Minyak dan Gas Indonesia Mei 2020

Lifting Minyak Gas

APBN 2020 Perpres 54/2020

Maret Realisasi April

Realisasi Mei Outlook

735.000 755.000

691.700 702.000 723.107

695.725 990-1050

6.889*

1.036,10 993.000 1.064.000 1.191.000

* MMSCFD setara 1.224 barel per hari

(22)

Dilaporkan oleh Anisatul Umah dari CNBC Indonesia misalnya, BP Berau, Ltd. memprediksi adanya surplus produksi di tahun 2021. Akan tetapi, perusahaan yang beroperasi di Teluk Bintuni, Papua Barat itu menyatakan kepada publik bahwa beberapa kargo LNG yang mereka punya saat ini sama sekali belum memperoleh pembeli (Umah, 2020b). Turut dilaporkan bahwa negara, melalui Ketua SKK Migas Dwi Soetjipto, menyampaikan bahwa fenomena adanya uncommitted cargoes untuk LNG ini terjadi karena kontrak-kontrak pembelian yang tidak diperpanjang (Umah, 2020b).

Selain itu, diprediksi bahwa pada tahun 2021, Kilang LNG Tangguh di Teluk Bintuni akan memproduksi sejumlah 42 kargo yang akan diperuntukkan bagi pasar domestik, dan 74 kargo lainnya untuk ekspor.

Dari pasar domestik, ada peningkatan permintaan yang juga didukung oleh pemesanan dari PLN. Pada tahun 2022, proyeksinya adalah peningkatan menjadi 62 kargo untuk pasar domestik dan 95 kargo untuk ekspor (Umah, 2020b). Beroperasinya Train 3 di Kilang LNG Tangguh sangat membantu performa peningkatan produksi. Pada proyeksi tahun 2023, produksi akan mencapai 170 kargo.

Sejumlah 62 kargo untuk pasar domestik, 100 kargo untuk ekspor, dan 6 kargo lainnya belum mendapatkan kontrak (Umah, 2020b).

2.2 Target Kontribusi Gas dalam Bauran Energi Indonesia

Dilema yang dialami oleh Indonesia pada saat ini adalah kebutuhan untuk elektrifikasi yang tinggi dan pilihan untuk memperkaya bauran energi dengan EBT. Sejak tahun 2015 sampai dengan 2019, persentase kontribusi EBT dalam bauran energi Indonesia cenderung mengalami peningkatan.

Namun, kontribusinya tidak pernah melebihi 10% dari total bauran energi nasional (DEN, 2020).

Proporsi kontribusi gas sendiri cenderung mengalami stagnasi di angka sekitar 20% dalam bauran energi nasional.

Tabel 2.2 Capaian Bauran Energi 2015-2019

Lifting 2015

EBT Minyak Bumi

Batubara Gas Bumi

46.48%

4.4%

27.98%

21.14%

Sumber: Dewan Energi Nasional, 2020

2016 2017 2018 2019

40.36%

6.61%

30.63%

22.35%

42.09%

6.24%

30.33%

21.34%

38.81%

8.55%

32.97%

19.67%

33.58%

9.15%

37.15%

20.13%

(23)

MONOGRAF EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI DI INDONESIA Peran Gas dalam Transisi Energi Baru dan Terbarukan

16

Pada tengah tahun pertama 2020, terindikasi bahwa proporsi penggunaan batubara meningkat, sedangkan kontribusi gas justru menurun. Target bauran energi yang berasal dari gas adalah 21,82% di tahun 2020, akan tetapi pada realisasinya adalah 17,81% (Umah, 2020a). Sedangkan faktor-faktor seperti ketersediaan dan harga batubara yang kompetitif telah menyebabkan proporsi batubara semakin besar. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, bauran energi untuk tenaga listrik per Juni 2020 adalah 64,27% kontribusi batubara melampaui yang ditargetkan sebesar 62,72% (Umah, 2020a). Berikut adalah bauran energi untuk elektrifikasi di Indonesia:

Tabel 2.3. Bauran Energi untuk Elektrifikasi Indonesia Per Juni 2020

Sumber Energi Realisasi Bauran Target Bauran

Batubara Gas Minyak Bumi

Air Panas Bumi

EBT lainnya

17.81%

64.27%

3.75%

8.04%

5.84%

0.29% 0.34%

4.94%

6.23%

3.95%

21.82%

62.74%

sumber: Kementerian ESDM, 23 September 2020

Sedangkan untuk bauran energi nasional untuk semua sektor termasuk untuk transportasi, rumah tangga, elektrifikasi dan industri, kita melihat bahwa sektor gas masih berada di bawah sumber minyak bumi dan batubara. Dalam laporan Dewan Energi Nasional (DEN) pada 14 Februari 2020, bauran energi primer nasional sejak 2015 adalah sebagai berikut:

(24)

Minyak Bumi

38.81%

EBT

8.55%

Gas Bumi

19.67%

Batubara

32.97%

Gas Bumi

21.14% Minyak Bumi

46.48%

EBT

4.40%

Batubara

27.98%

Minyak Bumi

40.35%

EBT

6.61%

Gas Bumi

22.35%

Batubara

30.67%

Minyak Bumi

42.09%

EBT

6.24%

Gas Bumi

21.34%

Batubara

30.33%

Minyak Bumi

38.81%

EBT

8.55%

Gas Bumi

19.67%

Batubara

32.97%

182 MTOE

2015 2016174 MTOE

188 MTOE

2017 2018215 MTOE

219 MTOE

2019

Angka sementara

Sumber: Dewan Energi Nasional, 2020

Diagram 2.1. Bauran Energi Primer Nasional

Meski ada fluktuasi, tetapi proporsi sektor gas kepada total penggunaan energi adalah berkisar 19- 21%. Puncaknya ada di tahun 2016 yang mencapai angka bauran sebesar 22,35%. Dari data di atas, kita mempelajari bahwa ada peningkatan yang berarti untuk penggunaan sumber EBT, yaitu dari 4,40%

pada tahun 2015, sehingga mencapai 8,55% pada tahun 2019, dan angka sementara dari laporan tersebut mencapai 9,15% pada 2020 dengan data yang masih berjalan (DEN, 2020). Kenaikan juga dialami oleh sumber batubara yang sebelumnya selalu di bawah minyak bumi, menjadi yang terbesar pada proyeksi tahun ini dengan angka sementara mencapai 37,15% (DEN, 2020) hal ini berkorelasi dengan fokus pemerintah untuk meningkatkan angka elektrifikasi nasional dan kebijakan tersebut yang bertumpu pada penggunaan batubara.

2.3 Potensi Pemanfaatan Gas Alam

Indonesia adalah salah satu negara penghasil gas alam dengan jumlah yang cukup potensial. Secara keseluruhan, Indonesia memproduksi 1,5% dari seluruh gas dunia pada saat ini. Indonesia merupakan salah satu pengekspor LNG (liquefied natural gas) yang paling penting di dunia dan memiliki cadangan gas alam terbesar kedua di seluruh Asia-Pasifik menurut data dari lembaga konsultan Pricewaterhouse Coopers (PwC). Pada tahun 2018, Indonesia menempati peringkat tujuh dalam hal ekspor gas alam dunia, setelah Qatar, Australia, Malaysia, Amerika Serikat, Nigeria dan Rusia. Rusia diperkirakan memiliki cadangan gas alam sebesar 48 triliun meter kubik, Iran dengan 27 triliun meter kubik, dan Qatar dengan 26 triliun meter kubik (Kompas, 28 Mei 2020). Australia menjadi eksportir gas alam yang terbesar di tahun 2020 mengungguli Qatar (Climate Council, 2020).

(25)

MONOGRAF EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI DI INDONESIA Peran Gas dalam Transisi Energi Baru dan Terbarukan

18

Dengan potensi yang dimiliki, perlu dipetakan bagaimana pemanfaatan gas alam di Indonesia. Kajian ini menemukan, selain untuk kebutuhan ekspor, gas alam di Indonesia dimanfaatkan ke dalam sektor- sektor utama, yaitu dalam bidang industri, komersial, rumah tangga, dan pembangkit listrik. Lebih jauh, di samping ekspor, potensi yang dapat dimaksimalkan dari gas alam adalah kemampuannya untuk bridging atau menjadi energi pada masa transisi dari sumber energi dari fosil menuju pengarusutamaan sumber EBT. Hal ini dikarenakan kemampuan gas alam untuk memproduksi energi dengan emisi yang relatif rendah dibanding energi fosil lainnya. Peran gas yang lebih besar dalam bauran energi disinyalir dapat membuka ruang-ruang bagi perkembangan EBT dan memfasilitasi pembangunan sistem energi berkelanjutan. Pada tahun 2019, sektor listrik telah memanfaatkan 14%

dan sector industri memanfaatkan 26% dari keseluruhan konsumsi gas alam yang ada di Indonesia (ESDM, 2020).

Sektor pengguna untuk produk final gas bumi, selain untuk keperluan ekspor dan energi, adalah transportasi, industri, dan rumah tangga. LPG (liquid petroleum gas) atau gas hasil penyulingan dan pemisahan dari minyak bumi merupakan salah satu sumber energi yang paling umum digunakan untuk keperluan rumah tangga, khususnya memasak (Syukur, 2016). Gas alam yang sudah melalui proses transformasi melalui kilang, fasilitas pengolahan dan pembangkit listrik juga dapat menghasilkan produk final berupa energi listrik dan Dimethyl Ether yang dimanfaatkan sebagai campuran untuk LPG (DEN, 2020). Dalam industri, gas alam dapat digunakan sebagai pemadam api ringan, bahan pembuat pupuk, metanol, plastik, bahan bakar untuk kendaraan atau Liquified Gas for Vehicle (LGV), Compressed Natural Gas (CNG), dan pembangkit listrik (Kompas, 28 Mei 2020).

Hingga Juli 2020, laporan dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa sektor industri menjadi pengguna gas bumi terbesar di Indonesia dengan pemanfaatan sebesar 1.513.87 BBTUD (British Thermal Unit per Day). Ekspor LNG menempati peringkat kedua pemanfaatan gas terbesar dengan penggunaan sebesar 1.208,49 BBTUD. Selanjutnya, kelistrikan dan pupuk menyusul dengan masing- masing penggunaan sebesar 706,10 BBTUD dan 708,85 BBTUD. Pemanfaatan gas paling kecil adalah untuk bahan bakar (BBG) sebesar 5,10 BBTUD yang lebih rendah dari pemanfaatan untuk jaringan gas kota sebesar 6,35 BBTUD (Kementerian ESDM, 2020). Selanjutnya, pemerintah melalui Kementerian ESDM berencana untuk membangun 120.776 sambungan rumah untuk jaringan gas bumi rumah tangga (Jargas) di tahun 2021. Hal ini menunjukkan keinginan pemerintah untuk memperluas penggunaan gas bumi di masyarakat. Keseriusan pemerintah untuk menggenjot penggunaan gas bumi secara domestik tertuang dalam dokumen narasi rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.

Dalam RPJMN, pemerintah memprioritaskan pemanfaatan EBT sebagai salah satu prioritas di bidang energi dan ketenagalistrikan. Dalam hal ini, peningkatan penggunaan gas bumi dapat dilihat sebagai salah satu upaya untuk “menjembatani” transisi energi menuju EBT.

(26)

Salah satu bentuk dari prioritas tersebut adalah rencana untuk mengadakan dua proyek besar, yaitu infrastruktur jaringan gas kota untuk 4 juta rumah dan pembangunan pipa gas bumi Trans Kalimantan sepanjang 1.700 kilometer. Selain itu, pemerintah juga mendorong pengembangan LNG Small Scale dan Virtual Pipeline untuk mengamankan pasokan dan memenuhi kebutuhan energi di daerah Indonesia Timur (ESDM, 2020).

Menteri Arifin Tasrif menyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi pemakaian energi untuk elektrifikasi, pemerintah berencana untuk mempergunakan teknologi smart grid (Umah, 2020a).

Teknologi ini memungkinkan untuk melibatkan teknologi informasi dalam penyaluran energi dan membuka kran bagi pelibatan masyarakat dalam menyuplai energi terbarukan. Proporsi bauran energi juga dapat dimonitor dengan lebih seksama, untuk memastikan bahwa penggunaan gas dan EBT diberikan pengutamaan. Teknologi canggih smart grid ini telah diamanatkan melalui Peraturan Presiden no. 18 tahun 2020 (Umah, 2020a). Dilaporkan oleh Anisatul Umah, jurnalis CNBC Indonesia, teknologi Smart Grid juga akan ditempatkan di luar Jawa seperti di Selayar, Tahuna, Medang, Semau, Bali, dan Sumba (Umah, 2020a).

Produksi gas alam Indonesia sebetulnya memiliki potensi untuk memperbaiki neraca perdagangan.

Apabila pemerintah dapat memaksimalkan eksplorasi sumber-sumber gas baru, maka pemerintah bisa menggalakkan ekspor . Akan tetapi menurut Arcandra, hal ini bukanlah yang diinginkan oleh 3

pemerintah dan publik. Kebijakan untuk meningkatkan proporsi energi gas untuk keperluan domestik, misalnya dalam elektrifikasi, transportasi, dan rumah tangga, akan membantu memperbaiki level emisi yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas di Indonesia.

Pada tahun 2019, realisasi investasi migas adalah sebesar $12.935 miliar menurut Buku Rencana Kerja Tahunan Kementerian ESDM (ESDM, 2020). Walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai rincian pemisahan penerimaan investasi antara minyak bumi dan gas alam, data dari Kementerian ESDM menyebutkan bahwa sebagian besar realisasi investasi di sektor migas terpusat di sektor hulu.

Sebanyak $11. 869 miliar investasi berada di sektor hulu, dibandingkan $1.066 miliar yang didapat di sektor hilir (ESDM, 2020). Rendahnya realisasi investasi di sektor hilir disinyalir terjadi karena tantangan-tantangan yang muncul, di antaranya: masalah pembebasan lahan untuk pembangunan kilang, fasilitas insentif dan perpajakan untuk pembangunan kilang minyak yang belum tersedia, dan infrastruktur jaringan gas bumi yang masih belum memadai dibandingkan dengan tren pemanfaatan gas bumi yang makin meningkat (ESDM, 2020). Meskipun demikian, realisasi total investasi di sektor migas ini mencapai 96% dari target awal sebesar $13.43 miliar (ESDM, 2020).

3Wawancara dengan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, Jakarta, 10 Mei 2019.

(27)

MONOGRAF EKONOMI POLITIK TRANSISI ENERGI DI INDONESIA Peran Gas dalam Transisi Energi Baru dan Terbarukan

20

2.4 Peran Gas dalam Transisi Energi Sektor Kelistrikan

Sebagaimana telah disinggung oleh mantan Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar bahwa energi gas memiliki potensi yang besar untuk elektrifikasi dan masa depan energi Indonesia, mantan Direktur Utama PGN Gigih Prakoso juga menggarisbawahi hal yang sama. Dalam bauran elektrifikasi, secara berkesinambungan menjadi sumber kedua terbesar untuk elektrifikasi setelah batubara. Dengan penerapan Smart Grid di masa yang akan datang, maka semestinya kontribusi gas dalam bauran energi untuk elektrifikasi menjadi semakin besar.

Dalam konteks elektrifikasi, penelitian ini mengidentifikasikan beberapa tantangan yang dimiliki sektor gas. Sektor kelistrikan menjadi penting untuk diperhatikan karena secara global pertumbuhan permintaan pasokan gas untuk memproduksi listrik semakin besar. Pemerintahan Joko Widodo telah menargetkan elektrifikasi mencapai 100% yang artinya seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dialiri listrik. Tidak hanya di Indonesia, fenomena ini terjadi di seluruh dunia sebagaimana yang disampaikan oleh International Energy Agency, “the world is becoming more electrified” (IEA, 2019).

Persoalan yang muncul kemudian adalah permintaan untuk elektrifikasi dihadapkan dengan pilihan- pilihan sulit. Di satu sisi, penggunaan bahan bakar minyak (BBM) maupun juga batubara dianggap sebagai opsi yang paling terjangkau biayanya, sehingga menarik bagi negara-negara berkembang.

Sedangkan, environmental cost atau biaya yang harus dibayar untuk kerusakan lingkungan dan masa depan pembangunan yang berkesinambungan sebetulnya jauh lebih besar. Sayangnya, environmental cost seringkali diabaikan oleh banyak negara dan tidak dimasukkan dalam kalkulasi perhitungan biaya program elektrifikasi. Di sisi lain, EBT, dari segi pembiayaan untuk pengembangan teknologi dan penerapannya dianggap cukup mahal. Akan tetapi EBT, tetaplah menjadi pilihan terbaik bagi kelestarian lingkungan yang nilainya sangat berharga. Dalam hal ini, posisi sumber energi gas alam menjadi satu solusi untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber-sumber energi fosil yang memiliki tingkat emisi tinggi. Di samping itu, penggunaan sumber energi gas yang juga berbiaya relatif lebih murah dapat memberi ruang bagi kolaborasi sektor swasta, akademik dan pemerintah untuk melakukan inovasi untuk pengembangan teknologi elektrifikasi dari EBT.

Dalam konteks ini, memahami bagaimana pelaku bisnis di sektor gas, seperti PT PGN, melihat peluang ekspansi penggunaan sumber energi dalam perekonomian Indonesia menjadi penting. PT PGN berpandangan bahwa ada keperluan untuk meningkatkan penggunaan gas untuk semua sektor yang ada di Indonesia . Pasalnya, gas alam dapat berfungsi sebagai sumber energi transisi. Di samping itu, 4

PT PGN saat ini bertindak sebagai sub-holding dari perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PT Pertamina) yang ditunjuk untuk menangani bisnis gas.

4Wawancara dengan Direktur Utama PT PGN (2018 - 2020) Gigih Prakoso, Jakarta, 22 Mei 2019.

(28)

Artinya, seluruh produksi gas yang dihasilkan PT Pertamina sekarang dialokasikan kepada PT PGN dengan mandat kepada PT PGN untuk menggunakan dan mendistribusikannya di berbagai sektor. PT PGN sebelumnya hanya berfokus pada gas pipa untuk PT PLN dan industri . Pada saat itu, penggunaan 5

gas untuk kebutuhan rumah tangga dan transportasi sangatlah kecil. Sehingga ekspansi penggunaan sumber energi gas inilah yang diperlukan. Terlebih, menurut Gigih Prakoso, pemerintah telah memandatkan bauran energi untuk tahun 2025 di mana energi gas ditargetkan mencapai sekitar 22%

dari total konsumsi energi nasional. Ini artinya sebesar 300 juta ton per tahun untuk 2025. Sedangkan untuk bauran energi pada tahun 2050, diproyeksikan mencapai 600 juta ton per tahun dengan proporsi 24% dari total konsumsi energi nasional.

2.5 Penutup: Pengarusutamaan Gas sebagai Pilar Transisi Energi

Dari perspektif transisi energi, peralihan ke sumber-sumber baru memerlukan pengembangan dalam jangka panjang dan investasi yang tidak sedikit. Upaya transformasi harus memastikan teknologi pengolahan dan pemanfaatan EBT telah dikuasai. Ruang untuk inovasi dan pengarusutamaan tersebut menjadi memungkinkan apabila masa transisi ditopang dengan peningkatan bauran sumber energi yang lebih bersih daripada minyak bumi dan batubara. Peran inilah yang sedianya diperuntukkan bagi sumber energi gas alam. Gigih Prakoso menyampaikan pengamatannya bahwa pengembangan sektor “renewable energy” tidak akan berjalan dengan baik apabila insentif tidak tersedia. Imbuhnya, BBM dan batubara harus beralih dahulu ke gas sebelum beralih lagi secara seksama menuju EBT dan pemasyarakatan kendaraan listrik. Dalam wawancara diketemukan, PT PGN sepakat bahwa pemakaian gas bisa memperbaiki kondisi lingkungan karena tingkat emisi bisa ditekan.

Pada saat bersamaan, Pertamina perlu waktu dan biaya yang besar untuk transisi, sehingga kehadiran gas bisa membantu proses transisi.

Dalam wawancara juga diulas mengenai langkah-langkah yang dapat ditempuh PT PGN untuk mendorong pengarusutamaan gas alam. Menurut Gigih Prakoso, setidaknya ada empat langkah yang dapat diambil . Pertama, PT PGN saat ini mendorong Perusahaan Listrik Negara (PT PLN) untuk 6

mempergunakan sumber energi gas dalam proporsi yang lebih besar karena lebih ramah lingkungan, meskipun dari segi biaya pada saat ini masih tergolong tinggi. Tetapi ia mengingatkan bahwa pada ruang-ruang diskusi di Indonesia, environmental cost atau kerugian lingkungan belum dihitung.

Penggunaan gas akan menekan harga yang harus kita bayar dari kerugian lingkungan tersebut. Gigih Prakoso menambahkan bahwa di beberapa negara seperti di China, Eropa dan Jepang, pada saat ini penggunaan batubara sudah dikurangi dan digantikan dengan blue energy.

5Wawancara dengan Direktur Utama PT PGN (2018 - 2020) Gigih Prakoso, Jakarta, 22 Mei 2019.

6Wawancara dengan Direktur Utama PT PGN (2018 - 2020) Gigih Prakoso, Jakarta, 22 Mei 2019.

Gambar

Tabel 2.1. Produksi Minyak dan Gas Indonesia  Mei 2020
Tabel 2.2 Capaian Bauran Energi 2015-2019
Tabel 2.3. Bauran Energi untuk Elektrifikasi Indonesia Per Juni 2020
Diagram 2.1. Bauran Energi Primer Nasional
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi pada struktur sel epidermis, stomata, densitas dan kerapatan stomata pada 12 kultivar Brokoli (Brassica oleracea L.)

Konsumsi RAM server saat idle adalah 54 MB, sedangkan konsumsi RAM untuk satu proses aplikasi server setelah melayani permintaan untuk halaman peta dan

[r]

Pamerdi Giri Wiloso, M.Si, Phd, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Satya Wacana Salatiga, sekaligus dosen pembimbing utama, yang dengan penuh apresiasi dan

Masa berburu dan mengumpulkan makanan (food gathering and hunting period) adalah masa dimana cara manusia purba mengumpulkan makanan-makanan yang dibutuhkan

Dengan demikian, individu yang memiliki keinginan untuk berprestasi tinggi adalah individu yang memiliki standar berprestasi, memiliki tanggung jawab pribadi atas

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perhitungan dan perencanaan laba Hotel Sintesa Peninsula Manado secara keseluruhan dengan menggunakan analisis