TESIS
Oleh
DEVI ERAWATI 127011178/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2015
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
DEVI ERAWATI 127011178/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2015
Nomor Pokok : 127011178 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, MH)
Pembimbing Pembimbing
(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Tanggal lulus : 10 Februari 2015
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Dedi Harianto, SH, MHum
4. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn
Nim : 127011178
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : STUDI MENGENAI PELAKSANAAN PERKAWINAN
ANGKAP PADA MASYARAKAT GAYO DI
KABUPATEN ACEH TENGAH DENGAN
BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama : DEVI ERAWATI Nim : 127011178
kawin angkap. Kawin angkap dalam masyarakat Suku Gayo biasanya terjadi karena dua hal. Pertama; ada suatu keluarga mempunyai anak tunggal, dengan alasan agar anaknya tersebut tidak berpindah tempat kebelah lain maka perkawinan angkap adalah solusi satu-satunya, Kedua; Adanya pemuda pendatang yang tidak mempunyai keluarga, maka dengan kawin angkap pemuda tersebut tidak perlu membayar mahar.
Pemuda tersebut dating dari pesisir atau etnis lain yang merantau kedaerah Gayo yang akhlaknya baik dan dapat berusaha, sudah merupakan suatu kebiasaan yang sudah ditetapkan dan diatur didalam hokum adat Suku Gayo.
Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan perkawinan angkap pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah, bagaimana pertentangan perkawinan angkap dengan hukum Islam maupun Undang- undangNomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, serta bagaimana akibat hokum dari perkawinan angkap pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut maka penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis empiris yaitu dengan meneliti tentang keberlakuan dengan pertimbangan efektif tidaknya berlaku suatu aturan hukum yang dipengaruhi berbagai factor seperti perubahan yang terjadi didalam masyarakat, perkembangan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan lain-lain.
Jawaban terhadap pertentangan perkawinan angkap adalah dengan penyuluhan oleh Ketua Adat dan aparat Desa, khususnya daerah yang masih melakukan perkawinan angkap yang tidak berdasarkan Hukum Islam dan Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini dilakukan karena pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Gayo dengan cara ini lebih mudah diterima dan dicerna oleh masyarakat, terutama masyarakat yang pendidikan formalnya tidak tinggi, sehingga masyarakat Gayo yang Islami benar-benar dapat mengetahui dan mengerti mengenai perkawinan angkap yang sesuai dengan Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
Kata Kunci: Pelaksanaan Perkawinan Angkap, Pertentangan Perkawinan ngkap
daughter, and her parents are afraid if she will be brought to other ‘bilah’ after she gets married so that ‘angkap’ marriage is the only solution. Secondly, the coming of a boy who has no family; by ‘angkap’ marriage he does not need to mahar (dowry) with the condition that he comes from the coast area or from other ethnic group, and he has good behavior and has motivation to get a job. This is the custom of Gayo community which is regulated in their customary law.
The problems of the research was how about the implementation of ‘angkap’
marriage in Gayo tribe in Aceh Tengah District, how about the contradiction between
‘angkap’ marriage and the Islamic law and Law No. 1/1974 on Marriage, and how about legal consequence of ‘angkap’ marriage in Gayo tribe in Aceh Tengah District. The research was descriptive analytic with judicial empirical method. It was aimed to analyze the validity of a certain action with the effectiveness of a legal provision which was influenced by various factors such as the change in a certain community, the development of value in a certain community, and so on.
It is recommended that Adat leaders and the village apparatus should provide counseling about ‘angkap marriage so that Gayo people who are Moslems can understand it according to the Islamic law and, Law No. 1/1974 on Marriage. The problem is that this kind of marriage exists in Gayo community and is accepted since it is simple and easy to be understood, especially by the uneducated.
Keywords: Implementation of Angkap Marriage, Contradiction to Angkap Marriage
memperoleh gelar MAGISTER KENOTARIATAN di Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam memenuhi tugas inilah penulis menyusun dan memilih judul :
“STUDI MENGENAI PELAKSANAAN PERKAWINAN ANGKAP DI KABUPATEN ACEH TENGAH DENGAN BERLAKUNYA UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN”. Saya menyadari bahwa Tesis ini jauh dari kesempurnaan baik dari segi materinya, maupun dari segi tehnik penyajiannya, untuk itu dengan hati terbuka, saya menerima saran dan keritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pedoman dimasa yang akan datang.
Didalam penulisan dan penyusunan tesis ini, saya mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tidak dapat dinilai harganya dengan apapun secara khusus kepada yang terhormat, Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, dan Ibu Dr. T.
Keizerina Devi A, SH, CN, MHum, selaku komisi pembimbing yang penuh kesabaran dan keiklasan dalam memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sejak awal hingga terselesainya tesis ini. Dan juga penulis ucapkan terimakasih kepada dosen penguji Bapak Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn dan Bapak Dr. Dedi Herianto SH, MHum yang telah memberikan masukan yang berharga terhadap kesempurnaan tesis ini.
Selanjutnya ucapan terimakasih juga saya ucapkan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk dapat mengikuti pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dorongan selama menempuh pendidikan dan masukan kepada penulis untuk kesempurnaan tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.
5. Bapak-bapak dan Ibu-Ibu Dosen Program Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.
6. Seluruh Staf Biro Pendidikan, serta teman-teman di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini.
7. Terimakasih juga saya persembahkan kepada seluruh teman-teman kelas Khusus angkatan 2012 yang terus memberikan motivasi, semangat dan kerja sama dan diskusi, membantu dan memberikan pemikiran kritik dan saran yang dari awal masuk di sekolah Pasca Sarjana Universita Sumatera Utara Medan.
Secara khusus penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tuaku Bapak H. M.Nur dan Ibu Almarhumah Hj. Rosnizar yang tidak sempat melihat kelulusan ku, dan yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran dan kasih sayang serta memberikan doa restu, sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan Program Studi Magister Kenotariatan.
Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan Program Studi Magister Kenatariatan, sekali lagi terima kasih buat suami dan anak ku.
Terimakasih juga kepada kakak-kakak dan abang-abangku yang telah banyak memberikan perhatian dan do’anya serta dukungannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan sekolah Pasca Sarjana di Universita Sumatera Utara Medan.
Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Informan dan responden serta seluruh pihak-pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu-persatu, atas kerja sama dan bantuannya dalam penyelesaian Tesis ini.
Saya berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezki yang melimpah.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati dan penuh ucapan sukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, saya menyerahkan diri semaga tetap dalam lindungannya.
Semoga tesis ini dapat berguna bagi diri saya dan juga semua pihak dan kalangan yang mengembangkan Ilmu Hukum, Khususnya Bidang Ilmu Kenotariatan.
Medan, Februari 2015 Penulis
(DEVI ERAWATI, SH)
Tempat dan tanggal lahir : Medan, 6 September 1970
Alamat : Jalan Terminal, Blang Kolak I, Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Nama Suami : Syahrial Irkhaf Tanjung, SH,SpN
Nama anak : Hanifa Natarisya, Aulia Fadhlika, Alvi Syahrini
II. ORANG TUA
Nama Bapak : H. M. Nur
Nama Ibu : Almarhumah Hj. Rosnizar
III. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
SD Al-‘Ulum Medan : Dari tahun 1977-1983
SMP Al-‘Ulum Medan : Dari tahun 1983-1986
SMA WR.Supratman Medan : Dari tahun 1986-1989
Fakultas Ekonomi UMSU : Dari tahun 1989-1994
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah : Dari tahun 2008-2012 S2 Program Studi Magister Kenotariatan FH USU : Dari tahun 2012-2015
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian Penelitian ... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13
1. Kerangka Teori ... 13
2. Kerangka Konsepsi ... 19
G. Metode Penelitian ... 22
BAB II PELAKSANAAN PERKAWINAN ANGKAP PADA MASYARAKAT GAYO DI KABUPATEN ACEH TENGAH ... 28
A. Sistem Kekerabatan Masyarakat Gayo ... 28
B. Sistem Perkawinan dalam Masyarakat Gayo ... 31
C. Perkawinan Angkap Pada Masyarakat Gayo ... 34
D. Pelaksanaan Perkawinan Angkap pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah Pada Masa Kini ... 41
BAB III PERTENTANGAN PERKAWINAN ANGKAP DENGAN PERATURAN YANG ADA BAIK HUKUM ISLAM MAUPUN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 ... 48
A. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Islam ... 48
B. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat Gayo ... 69
1974 Tentang Perkawinan Mengenai Sahnya Perkawina ... 91
BAB IV AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN ANGKAP PADA MASYARAKAT GAYO DI KABUPATEN ACEH TENGAH ... 103
A. Akibat Hukum Perkawinan ... 103
B. Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ... 108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 110
A. Kesimpulan ... 110
B. Saran ... 113
DAFTAR PUSTAKA ... 114
kawin angkap. Kawin angkap dalam masyarakat Suku Gayo biasanya terjadi karena dua hal. Pertama; ada suatu keluarga mempunyai anak tunggal, dengan alasan agar anaknya tersebut tidak berpindah tempat kebelah lain maka perkawinan angkap adalah solusi satu-satunya, Kedua; Adanya pemuda pendatang yang tidak mempunyai keluarga, maka dengan kawin angkap pemuda tersebut tidak perlu membayar mahar.
Pemuda tersebut dating dari pesisir atau etnis lain yang merantau kedaerah Gayo yang akhlaknya baik dan dapat berusaha, sudah merupakan suatu kebiasaan yang sudah ditetapkan dan diatur didalam hokum adat Suku Gayo.
Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan perkawinan angkap pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah, bagaimana pertentangan perkawinan angkap dengan hukum Islam maupun Undang- undangNomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, serta bagaimana akibat hokum dari perkawinan angkap pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut maka penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis empiris yaitu dengan meneliti tentang keberlakuan dengan pertimbangan efektif tidaknya berlaku suatu aturan hukum yang dipengaruhi berbagai factor seperti perubahan yang terjadi didalam masyarakat, perkembangan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan lain-lain.
Jawaban terhadap pertentangan perkawinan angkap adalah dengan penyuluhan oleh Ketua Adat dan aparat Desa, khususnya daerah yang masih melakukan perkawinan angkap yang tidak berdasarkan Hukum Islam dan Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini dilakukan karena pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Gayo dengan cara ini lebih mudah diterima dan dicerna oleh masyarakat, terutama masyarakat yang pendidikan formalnya tidak tinggi, sehingga masyarakat Gayo yang Islami benar-benar dapat mengetahui dan mengerti mengenai perkawinan angkap yang sesuai dengan Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
Kata Kunci: Pelaksanaan Perkawinan Angkap, Pertentangan Perkawinan ngkap
daughter, and her parents are afraid if she will be brought to other ‘bilah’ after she gets married so that ‘angkap’ marriage is the only solution. Secondly, the coming of a boy who has no family; by ‘angkap’ marriage he does not need to mahar (dowry) with the condition that he comes from the coast area or from other ethnic group, and he has good behavior and has motivation to get a job. This is the custom of Gayo community which is regulated in their customary law.
The problems of the research was how about the implementation of ‘angkap’
marriage in Gayo tribe in Aceh Tengah District, how about the contradiction between
‘angkap’ marriage and the Islamic law and Law No. 1/1974 on Marriage, and how about legal consequence of ‘angkap’ marriage in Gayo tribe in Aceh Tengah District. The research was descriptive analytic with judicial empirical method. It was aimed to analyze the validity of a certain action with the effectiveness of a legal provision which was influenced by various factors such as the change in a certain community, the development of value in a certain community, and so on.
It is recommended that Adat leaders and the village apparatus should provide counseling about ‘angkap marriage so that Gayo people who are Moslems can understand it according to the Islamic law and, Law No. 1/1974 on Marriage. The problem is that this kind of marriage exists in Gayo community and is accepted since it is simple and easy to be understood, especially by the uneducated.
Keywords: Implementation of Angkap Marriage, Contradiction to Angkap Marriage
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia.
Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik sebelum maupun selama perkawinan berlangsung.
Setiap makhluk hidup memiliki hak azasi untuk melanjutkan keturunannya melalui perkawinan, yakni melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan yang dilakukan di Indonesia. Ada perbedaan-perbedaannya dalam pelaksanaan yang disebabkan karena keberagaman kebudayaan dan kultur terhadap agama yang dipeluknya.
Setiap orang atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan)1,bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Tata cara perkawinan di Indonesia tergolong beraneka ragam antara satu dengan yang lainnya oleh karena di Indonesia mengakui adanya bermacam-macam agama dan kepercayaan, yang tata caranya berbeda. Hal yang demikian dimungkinkan dalam Negara Republik Indonesiayang berdasarkan Pancasila yang dengan tegas mengakui adanya prinsip kebebasan beragama.
Perkawinan mempunyai akibat-akibat yang sangat penting dalam suatu masyarakat yang mempunyai peradaban. Sehubungan dengan adanya akibat-akibat perkawinan yang sangat penting tersebut, maka masyarakat membutuhkan suatu norma atau kaidah yang mengatur tentang syarat-syarat untuk peresmiannya, pelaksanaannya, kelanjutan serta berakhirnya perkawinan tersebut.
Dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan, maka ikatan antara pria dan wanita dapat dipandang sebagai suami istri yang sah, apabila ikatan mereka dilaksanakan berdasarkan aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Undang- undang ini menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan warga Negara Indonesia.21
Perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang baik secara internal dan eksternal.Artinya, apabila pria dan wanita yang berniat melaksanakan perkawinan telah siap lahir dan batin, dan juga siap dari segi materi untuk menopang kebutuhan hidup setelah perkawinan
2Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2011), hlm 2
dilaksanakan, serta dilaksanakan sesuai dengan syarat sah dari agama yang dianut dan Undang-undang yang berlaku. Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 telah dirumuskan secara ideal karena bukan hanya melihat dari segi lahir saja melainkan sekaligus terdapat pertautan batin antara suami isteri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan yang Maha Esa.23
Menurut paham ilmu bangsa-bangsa (ethnologi) dilihat dari keharusan dan larangan mencari calon istri bagi seorang pria, perkawinan itu dapat berlaku dengan sistem endogami dan sistem eksogami yang kebanyakan dianut oleh masyarakat hukum adat bertali darah dan atau dengan sistem eleutherogami sebagaimana berlaku di kebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi hukum Islam.4
Oleh karena itu, sistem perkawinan pada masyarakat hukum adat di Indonesia dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Sistem Endogami
Pada sistem ini, seseorang hanya diperbolehkan kawin dalam keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini hanya ada di daerah Toraja namun sebenarnya sistem ini tidak sesuai dengan sistem kekerabatan di daerah itu yaitu parental atau bilateral.
2. Sistem Eksogami
Pada sistem ini seseorang harus kawin dengan orang dari luar suku keluarganya.
Sistem ini terdapat di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram.
3. Sistem Eleutherogami
Pada sistem ini tidak dikenal adanya larangan-larangan atau keharusan-keharusan kawin dengan kelompok tertentu. Larangan-larangan yang ada hanyalah yang bertalian dengan ikatan darah atau kekeluargaan yang dekat. Sistem ini terdapat
2Prakoso, Djoko dan Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987) hlm 4.
4Ibid hlm 67
di daerah Aceh, Sumatera Timur, Sulawesi Selatan, Minahasa, Ternate, Irian Barat, Bali, Lombok, Bangka-Belitung, Kalimantan dan seluruh Jawa Madura.5
Dikarenakan sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat Indonesia berbeda maka terdapat pula berbagai bentuk perkawinan yang berbeda pula, yaitu perkawinan jujur pada masyarakat patrilineal, perkawinan semanda dalam masyarakat matrilineal dan perkawinan mentas pada masyarakat parental/bilateral.
Sedangkan pengertian masing-masing sistem kekerabatan yang dikenal pada masyarakat hukum adat Indonesia yaitu :
1. Sistem patrilineal menyatakan bahwa suatu masyarakat hukum dimana para anggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui garis bapak, bapak dari bapak, terus ke atas sehingga akhirnya dijumpai seorang laki-laki sebagai moyangnya. Contoh : Batak, Bali, Lampung, Ambon dll.
2. Sistem matrilineal menyatakan bahwa suatu masyarakat hukum dimana para anggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui garis ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga akhirnya dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya. Contoh : Minangkabau, Enggano, dll.3
3. Sistem parental atau bilateral menyatakan bahwa suatu masyarakat hukum para anggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui garis bapak dan4ibu, terus ke atas sehingga akhirnya dijumpai seorang laki-laki dan5 seorang6 perempuan sebagai moyangnya. Contoh: Jawa, Sumatera Timur, Sulawesi, Kalimantan dll6
Bentuk perkawinan pada masyarakat patrilineal yang menarik garis kekeluargaan dari pihak ayah mengenal bentuk perkawinan eksogami. Misalnya, bentuk perkawinan jujur pada masyarakat Batak yang mengharuskan adanya perbedaan klan antara calon mempelai laki-laki dengan perempuan sehingga pihak laki-laki menarik pihak perempuan untuk masuk dalam klannya.7
5Surojo Wignojodipuro,Pengantar Dan Azas Azas Hukum Adat.PT .TokoAgung , Jakarta 1994, hlm 159-160
6I.G.N.Sugangga, Hukum Waris Adat (Semarang: Universitas Diponegoro, 1995), hlm 14-15
7R.Otje Salman Soemandiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, (Bandung:
Alumni, 2002), hlm 177
Masyarakat patrilineal memiliki ciri mempertahankan kelangsungan generasi keluarganya. Oleh karena itu, dikenal beberapa larangan perkawinan, yaitu larangan kawin dengan keluarga dari marga yang sama atau larangan kawin timbal balik antara dua keluarga yang walaupun berbedaklan tetapi telah atau pernah terjadi hubungan perkawinan (asymmetrisch connubium) di antara dua keluarga yang bersangkutan.
Perkawinan harus dilaksanakan manunduti atau melakukan perkawinan berulang searah dari satu sumber bibit, pihak penerima dara (boru, anak beru) dianjurkan dan dikehendaki untuk tetap mengambil dara dari pemberi dara (hula- hula, kalimbubu). Idealnya adalah seorang laki-laki kawin dengan perempuan anak dari paman saudara ibunya. Tetapi tidak dibenarkan adanya perkawinan antara anak bersaudara ibu.8
Sedangkan pada masyarakat matrilineal seperti di Minangkabau yaitu laki-laki dan wanita yang masih satu suku dilarang melakukan perkawinan karena akan menyebabkan pecah suku.
Lain lagi dalam masyarakat parental/bilateral, misalnya masyarakat Jawa Barat, karena bentuk perkawinan yang dilaksanakan adalah kawin bebas mengakibatkan setiap orang boleh kawin dengan siapa saja sepanjang tidak dilarang oleh hukum adat setempat atau karena alasan agama. Artinya, syarat sahnya suatu perkawinan tidak ditentukan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan klan seseorang, baik di luar maupun di dalam satu klan tertentu.Pada dasarnya pelaksanaan perkawinan warga masyarakat Indonesia telah dominan dipengaruhi oleh hukum adat.
8Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm 100
Dikarenakan imasyarakat beraneka ragam suku bangsanya, sudah pasti beraneka ragam pula hukum adat yang hidup ditanah air Indonesia.iiPada dasarnya pelaksanaan perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Suku Gayo sama halnya dengan perkawinan adat masyarakat Indonesia terutama yang menganut agama Islam.
Suku Gayo merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Sultan Iskandar Muda dari kesultanan Aceh, suku Gayo adalah suku minoritas yang berbeda kebudayaanya dengan budaya suku Aceh.
Dalam adat perkawinan Suku Gayo ada model perkawinan “Angkap”,.
Perkawinan Angkap terjadi jika suatu keluarga tidak mempunyai anak lelaki,dan berminat mendapat seorang menantu lelaki, maka keluarga tersebut meminang sang pemuda (umumnya lelaki berbudi baik dan alim) inilah yang dinamakan “Angkap Berperah, Juelen Berango” (Angkap dicari/diseleksi, Juelen diminta). Menantu lelaki ini disyaratkan supaya selamanya tinggal dalam lingkungan keluarga pengantin wanita dan dipandang sebagai pagar pelindung keluarga. Sang menantu mendapat harta waris dari keluarga Istri. Dalam konteks ini dikatakan “Anak angkap penyapuni kubur kubah, si muruang iosah umah, siberukah iosah ume” (menantu lelaki penyapu kubah kuburan, yang ada tempat tinggal beri rumah, yang ada lahan beri sawah).9
Perkawinan angkap ini dapat dibedakan menjadi dua macam angkap, yaitu angkap nasap dan angkap sementara. Pada perkawinan angkap nasap menyebabkan suami kehilangan belahnya, karena telah ditarik ke dalam belah istrinya. Jika terjadi perceraian karena cere banci (cerai perselisihan) dalam kawin angkap nasap ini,
9Batavusqu “Pernikahan adat masyarakat gayo aceh”,http://Zipuer 7, Wordpress.com/2009/10/04/pernikahan –adat-masyarakat-gayo-aceh,diakses pada tanggal 10 juni 2014
menyebabkan terjadinya perubahan status suaminya karena suami harus kembali kebelah asalnya, dan tidak diperbolehkan membawa harta tempah, kecuali harta sekarat.
Namun jika terjadi cere kasih, misalnya istri meninggal, maka mantan suaminya tetap tinggal dalam belah istrinya. Pada suatu ketika, saat mantan suami tersebut akan dikawinkan kembali oleh belah istrinya dengan salah seorang anggota kerabat istrinya. Jika yang meninggal itu adalah suaminya, maka istrinya pada belah asalnya. Namun jika yang meninggal tersebut mempunyai keturunan, maka harta tempah peninggalannya jatuh ketangan anak keturunannya.
Kawin angkap sementara pada masyarakat Gayo juga disebut dengan angkap edet. Seorang suami dalam waktu tertentu menetap dalam belah istrinya sesuai dengan perjanjian saat dilakukan peminangan. Status sementara itu tetap berlangsung terus selama suami belum mampu memenuhi semua persyaratan yang telah ditetapkan waktu peminangannya.
Jika terjadi perceraian dalam bentuk cere banci, suami akan kembali kedalam pihak belahnya, dan harta sekarat akan dibagi-bagi, jika syarat-syarat angkap sementara telah dipenuhi oleh suami, sedangkan harta tempah tidak, misalnya istri meninggal, maka suami tidak akan berubah statusnya sampai masa perjanjian angkap selesai. Oleh karena itu, menjadi kewajiban belah istrinya untuk mengawinkan kembali dengan salah seorang kerabatnya.710
Tidak ada penegasan tentang berlakunya hukum adat sebagai dasar keabsahan perkawinan.Bahkan M. Yahya Harahap berpendapat :
“bahwa undang-undang ini telah menggeser hukum adat. Landasan primer dalam suatu perkawinan telah diambil alih oleh undang-undang ini sedangkan
10Wwancara dengan Yahya Arias, Ketua Adat kampung pasar pagi lama, hari selasa 7 oktober 2014 pukul 14:00 WIB
hukum adat semata-mata sebagai unsur komplementer atau sekunder yang tidak menentukan lagi sahnya suatu perkawinan, perceraian maupun hal-hal lain yang berhubungan dengan pemeliharaan anak”.11
Asas-asas perkawinan dalam Hukum Adat adalah merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Bagi kelompok-kelompok yang menyatakan diri sebagai kesatuan-kesatuan, sebagai persekutuan-persekutuan hukum (kaum kerabat), perkawinan para pria dan wanita adalah sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib dan teratur. Namun di dalam lingkungan persekutuan-persekutuan kerabat, perkawinan juga selalu merupakan cara meneruskan8 garis keluarga tertentu yang termasuk persekutuan tersebut, jadi merupakan urusan keluarga, urusan bapak/ibu selaku inti keluarga yang bersangkutan.129
Perkawinan dalam arti “Perikatan Adat”, ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat, yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.Akibat hukum ini telah ada sejak perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan “rasah sanak” (hubungan anak- anak, bujang gadis) dan “Rasah Tuha” (hubungan antara keluarga dari para calon suami-istri).13
11M.Yahya Harahap, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat, Bandung: 1993 Citra Aditya Bakti
12Iman Sudiyat, Hukum Adat, Sketsa Adat, Liberty, (Yogyakarta: 1987), hlm 107
13Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Alumni Bandung: 1977) hlm 28
Menurut hukum adat lokal perkawinan bukan hanya merupakan perbuatan sosial, kultur, magis-religius tetapi juga perbuatan hukum. Disebut juga sebagai perbuatan sosial karena perkawinan itu merupakan produk sosial. Perbuatan sosial artinya secara sosiologis perkawinan mengikat semua unsur dalam kehidupan sosial, baik individu-individu maupun masyarakat, bahkan masyarakat itu sendiri. Disebut perbuatan magis-religius karena dalam perkawinan melibatkan roh-roh leluhur dan agama. Ada upacara dan ritual yang wajib dilakukan agar selamat baik dalam prosesi perkawinan maupun dalam perjalanan rumah tangga dari pasangan yang melangsungkan perkawinan tersebut.14
Dalam perkembangan kehidupan yang berlanjut sejauh hingga abad 21 ini,terlihat suatu realitas dari yang lama ke yang baru yaitu nasional dan modern bahkan postmodern dan global bahwa hukum selalu berubah,20 Bagi manusia yang selalu hidup bermasyarakat, perkawinan memiliki nilai yang sangat tinggi.15
Perkawinan merupakan sumbu keberlangsungan hidup manusia.Perkawinan memiliki multi makna. Ada makna religius, makna ekonomis, makna sosial dan makna yuridis. Oleh karena itu, setiap orang, keluarga, kerabat, atau masyarakat berusaha untuk mewujudkannya dengan berbagai bentuk upacara dan ritual. Dalam kaitannya dengan itu, perkawinan memiliki potensi kemanfaatan, kesejahteraan, dan
14Dominikus Rato, Hukum Perkawinan Adat (Sistem Kekerabatan, Bentuk Perkawinan dan Pola Pewarisan Adat di Indonesia), Laksbang Yustitia, Surabaya 2011, hlm 29
15Soetandyo Wignjosubroto, Membangun Kesatuan Hukum Nasional Untuk dan dalam Suatu Masyarakat Muhammadyah Yang Majemuk: Sebuah Masalah Transformasi Budaya Muhammadyah University Press, Surakarta hlm 117
kemakmuran sekaligus menyimpan potensi pertentangan, konflik, saling gugat di pengadilan, perkelahian, pembunuhan bahkan peperangan.16
Namun perlu dicatat bahwa perkawinan angkap, kalau boleh di katakan, telah mengalami perubahan. Hal ini akibat serbuan nilai-nilai baru, baik yang berasal dari agama Islam maupun dari nilai-nilai barat. Walau demikian adat ini bukan berarti hilang, ia masih bisa ditemukan di daerah-daerah yang masih kuat menjalankan adat istiadatnya.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai Perkawinan Angkap di Kabupaten Aceh Tengah, yang10dituangkan dalam judul tesis “Studi Mengenai Pelaksanaan Perkawinan Angkap Pada Masyarakat Gayodi Kabupaten Aceh Tengah Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Pelaksanaan Perkawinan Angkap pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah?
2. Bagaimana Pertentangan Perkawinan Angkap dengan hukum Islam maupun Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ?
3. Bagaimana Akibat Hukum dari Perkawinan Angkap pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah?
16Dominikus Rato, Op.cit, hlm 43
C. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis.17Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana Pelaksanaan Perkawinan Angkap pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah.
2. Untuk mengetahui bagaimana Pertentangan Perkawinan Angkap dengan Hukum Islam maupun Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
3. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari perkawinan angkap pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah?
D. Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama, Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis dan praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta sebagai referensi tambahan pada program studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, khususnya Studi Mengenai Pelaksanaan Perkawinan Angkap pada Masyarakat Gayo di Kabupaten
17Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta UI Press, 1988), hlm 3
Aceh Tengah Dengan Berlakunya Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan.
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi, maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian dibidang yang sama.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik berdasarkan peneltian sebelumnya, khususnya pada Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dan sejauh yang telah diketahui bahwa belum ditemui adanya penelitian yang berkaitan dengan judul tesis ini
Yaitu Studi Mengenai Pelaksanaan Perkawinan Angkap pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, belum pernah diteliti oleh para Mahasiswa Kenotariatan yang lain.
Namun pada tahun 2010, Almasyita Dalimunthe, mahasiswa Magister Kenoktariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara pernah melakukan penelitian mengenai “Eksistensi Perkawinan Adat pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan”, yang membahas:
1. Bagaimana akibat hukum dari Perkawinan yang dilangsungkan secara adat.
2. Mengapa masih ada masyarakat adat yang melakukan secara adat.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Menurut M.Solly Lubis yang menyatakan konsepsi merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teoriyang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya merupakan masukan eksternal bagi peneliti.18
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat di perlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofinya yang tertinggi.19
Menurut Mukti Fajar, teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.20 Sedangkan suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara cara untuk bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi hasil- hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.21
Ciri matrilineal yang dianut oleh masyarakat Gayo yang melaksanakan perkawinan angkap bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Mr Van der Berg.
Dimana menurut Mr Van der Berg hukum adat atau hukum kebiasaan adalah hukum
18 M.Solly Lubis (I), Filsafat ILmu dan Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994 ), hlm80
19Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1991), hlm 254
20 Mufti Fajar et al, Dualisme penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, (Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar, 2010), hlm 134
21Burhan Ashsofa, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm 19
agama22, maka masyarakat Gayo yang hampir seluruhnya memeluk agama Islam, maka hukum adatnya adalah hukum Islam. Namun ciri matrilineal pada perkawinan angkap ini bertentangan dengan hukum Islam.
Teori Van den Berg ini mendapat kritikan dari sarjana-sarjana lain, seperti Snouck Hurgronje dalam bukunya De Atjhehers, Van Ossenbruggen dalam bukunya Oorsprong en eerte ontwikkeling van het testeer en voog dijrect, I.A. Nederburgh dalam bukunya Wet en Adat. Van Vollenhoven dalam bukunya Het adatrecht van Ned.Indie. Piepers dalam bukunya Tijdschift Von Ned.Indie. Serta seorang sarjana Ameriaka Clve day yang mengkritik teori Van den Berg dalam bukunya The dutch in Java.23
Maka muncullah teori resepsi akibat penolakan dari teori yang dikemukakan oleh Van der Bergh. Teori ini dimunculkan pertama kali oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936), yang disampaikannya secara panjang lebar dalam bukunya De Atjehers. Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Cornelis van Vollenhoven ( 1874- 1933), seorang sarjana dan ahli di bidang hukum adat, yang memperkenalkan hukum adat Indonesia (Indisch Adatrecht). Teori resepsi ini dikemukakan oleh Van Vollenhoven dalam bukunya Het Adatrecht van Nederlandsch Indie.24
22Saidus Syahar,Asas-Asas Hukum Islam, Alumni Bandung, 1994 hlm 136
23Soerojo Wignjodipoero, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1985, hlm 54.
24Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar baru van Hoeve, Jakarta, 1977, hal.1493.
Secara etimologis, kata resepsi berasal dari bahasa latin reception yang berarti
“penerimaan”. Secara terminologis, teori resepsi berarti “penerimaan hukum asing sebagai salah satu unsur hukum asli”.25
Hukum asing di sini adalah hukum agama, sedangkan hukum asli adalah hukum adat. Oleh karena itu, teori resepsi adalah penerimaan hukum Islam oleh hukum adat, atau dengan kata lain pengaruh hukum Islam baru mempunyai kekuatan hukum kalau telah diterima oleh hukum adat dan diperlakukan sebagai hukum adat, bukan sebagai hukum Islam.
Snouck Hurgronje dengan teori resepsi membantah teori receptio in complexu dengan mengatakan bahwa tidak semua hukum agama diterima dalam hukum adat.
Hanya beberapa bagian dari hukum agama yang dapat mempengaruhi hukum adat, yakni berkaitan dengan kepercayaan dan hidup batin, seperti hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum waris.26
Sementara menurut Van Vollenhoven, teori receptio in complexu itu bergaya seperti hukum Belanda yang dimasukkan ke dalam cetakan hukum Romawi (codex Justinianus). Dengan cara seperti hukum adat dimasukkan ke dalam hukum Islam, misalnya. Jadi susunan hukum adat menurut Van den Berg berbeda dengan hokum adat yang ada. Hukum adat yang ada bukan berasal dari hukum Islam, melainkan berasal dari hukum “Melayu-Polynesia” ditambah dengan unsur-unsur agama.
25Ibidhlm 125
26Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat, Pengatar Liberty, Yogyakarta, 1991, hlm.3.
Hukum agama itu baru dapat berlaku dalam masyarakat apabila telah diresapi (diterima) oleh hukum adat dan jadilah ia sebagai hukum adat Indonesia.27
Hazairin, seorang ahli hukum adat dan hukum Islam di Indonesia, sangat menentang teori resepi yang di sampaikan oleh Snouck Hurgronje. Menurutnya, kalimat sila pertama dalam Piagam Jakarta telah ditegaskan lagi oleh TAP No.II MPRS/1960 yang mengatur syariat Islam itu dengan undang-undang. Oleh karena itu, teori resepsi tidak berlaku lagi bagi Hazairin mengemukakan teori dengan nama
“teori resepsi exit”, yang berarti bahwa teori resepsi itu harus keluar dari bumi Indonesia dan ini merupakan “teori iblis” yang merusak iman orang Islam dan menetang Al-Qur’an.28
Sajuti Thalib, seorang murid Hazairin, mengemukakan teori yang senada dengan teori resepsi exit, yaitu teori receptio a contrario (penerimaan yang sebaliknya). Menurut teori ini hukum Islamlah yang berlaku bagi umat Islam dan hukum adat baru bisa berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum Islam.29
Teori ini muncul karena Sajuti Thalib tidak setuju dengan teori Van Den Berg yang menyatakan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum agama sendiri, seakan-akan hukum adat itu asli itu tidak ada sama sekali. Menurut Sajuti Thalib, hukum adat tetap ada karena berasal dari budaya serta tradisi suatu bangsa dan berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. Bahkan ia lebih tidak setuju lagi
27Abdul Azis Dahlan, Op.cit, hlm 1494-1495
28Ibid, hlm.1496.
29Sayuti Thalib, Receptio a Contrario, Hubungan Hukum adat dengan Hukum Islam, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm.62
dengan teori yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje yang merendahkan kedudukan hukum Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta mengangkat derajat hukum adat.30
Teori resepsi yang tercantum dalam Pasal 134 (2) IS dianggap tidak berlaku lagi setelah Indonesia merdeka dengan disahkannya Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi RI pada tanggal 18 Agustus 1945, maka dengan sendirinya Menghapus I.S yang secara keseluruhan adalah sebagai konstitusi yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda untuk Hindia Belanda.
Dalam hukum Islam anak adalah keturunan dari ayahnya, maka ayah mempunyai kuasa terhadap anaknya. Hal ini berbeda dengan hukum adat Gayo dalam perkawinan angkap dimana ayah atau suami dalam suatu keluarga tidak mempunyai kuasa terhadap anaknya. Dikarenakan anak adalah keturunan dari ibunya atau klan ibunya.
Dalam hal syarat perkawinan dalam hukum Islam ada ketentuan yang mengatur rukun dan syarat perkawinan, apakah hal ini juga terdapat pada masyarakat Gayo dalam perkawinan angkap dan bagaimana akibat dari suatu perkawinan terhadap kedudukan suami dan isteri, hubungan orang tua dengan anak dan harta benda dalam perkawinan.
Kesadaran hidup dalam masyarakat adalah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tentang hukum yang meliputi pemahaman, penghayatan, dan kepatuhan atau ketaatan pada hukum, agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat
30Abdul Azis Dahlan, Op.cit, hlm. 1496
keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaharuan hukum perundang- undang dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat tersebut.31Peraturan-peraturan hukum tersebut sumbernya sama maka masing-masing peraturan hukum tadi satu sama lain ada hubungannya yang erat, juga suatu peraturan hukum menjadi dasarnya daripada peraturan hukum yang lebih rendah tingkatnya, dan tarakhir menjadi dasar pola daripada peraturan hukum yang lebih rendah lagi tingkatannya. Demikian seterusnya sehingga ada urutan dalam tingkatannya, hirarki, dari yang paling rendah tingkatannya sampaipada yang paling tinggi, dan yang tertinggi tingkatannya itu adalahyang disebut norma dasar tadi.
Menurut hukum adat, perkawinanbisa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Hukum adat merupakan rangkaian penerapan azas azas hukum pada kasus kasus yang konkrit, adalah hukum bagi masyarakat- masyarakat tradisionil yang sederhana dan terbatas ruang lingkupnya, dengan warga yang belum tinggi pengetahuannya belum banyak jenis kebutuhannya.
Untuk memenuh kebutuhan masyarat modern hukum adat memerlukan penyempurnaan, baik dalam bentuk maupun penerapan azas-azas hukumnya sesuai dengan keadaan masyarakatnya yang berbeda.323234342835
31 Ibid, hlm 191
32Badan Pembina Hukum Nasional, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, (Yogyakarta: Bina Cipta 19975) hlm 55
Bagi kelompok yang menyatakan diri sebagai kesatuan kesatuan sebagai persekutuan persekutuan hukum, perkawinan para warga adalah sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib dan teratur. Namun di dalam lingkungan persekutuan-persekutuan kerabat itu perkawinan juga selalu merupakan carameneruskan garis keluarga tertentu yang termasuk persekutuan tersebut, jadi merupakan urusan keluarga, urusan bapak ibunya selaku inti keluarga yang bersangkutan pada tata susunan kerabat yang berkonsekuensi unilateral perkawinan itu juga merupakan sarana yang mengatur hubungan semenda antara kelompok kelompok yang bersangkutan, perkawinan merupakan bagian dari lalulintas sehingga bagian bagian yang dapat mempertahankan atau memperbaiki posisi keseimbangan dalam suku, didalam keseluruhan warga suku.33
2. Kerangka Konsepsi
Sejalan dengan landasan teori tersebut, maka dalam penulisan hukum diperlukan kerangka konsepsional. Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti.
Konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.34
Oleh karena itu, untuk menghindarkan terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk mendefinisikan beberapa konsep penelitian agar secara operasional diperoleh
33Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama (yogyakarta: Liberty 1997), hlm 105-106
34Soerjono Soekanto, Op.cit hlm 132
hasil penelitian yang sesuai dengan makna variabel yang ditetapkan dalam topik, yaitu :
a. Eksistensi
Eksistensi adalah keberadaan dari sesuatu hal yang masih dapat/tidak dipertahankan.
b. Perkawinan Angkap.
Perkawinan Angkap adalah bentuk perkawinan yang memiliki ketentuan- ketentuan yang harus ditaati. Pihak laki-laki atau suami ditarik kedalam belah keluarga istri,dapat dikatakan kawin Angkap adalah sibanan kin rawan (perempuan menjadi pengganti laki-laki) dan sirawan kin banan (laki-laki menjadi atau pengganti perempuan), penurip murip penanom mate, pemaku jarum patah(menghidupkan yang hidup, mengebumikan yang mati dan memaki jarum patah),artinya adalah anak laki-laki yang nikah atau kawin angkap pindah menjadi anggota keluarga atau warga kampong/klen pihak perempuan dan berkewajiban membantu orang tua istrinya ketika masih hidup dan mengurus jenazahnya ketika mereka meninggal. Oleh karena itu ia berhak memakai harta peninggalan mertuanya dan itu sebagai hibah. Jika istrinya ingkar tentang ketentuan nikah angkap disebut mah mas se (habis emasnya atau habis hartanya) artinya harta yang ia miliki menjadi milik suaminya dan kalau suaminya yang ingkar dari ketentuan nikah angkap ini disebut meh
nyawa ye (berakhir nyawanya) artinya dia tidak mendapat dan memiliki apa- apa dari status nikah angkap itu.35
c. Perkawinan dalam pandangan hukum adat.
Perkawinan adalah urusan kerabat urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi dan begitu pula ia menyangkut urusan keagamaan.36
Artinya perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami- istri, harta bersama, kedudukan anak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut tentang hubungan-hubungan adat-istiadat, kewarisan, kekerabatan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.
Begitu pula menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan agama, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah) maupun hubungan manusia dengan sesama manusia (mu’amalah) dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan selamat di akhirat.37
35Batavusqu “Pernikahan adat masyarakat gayo aceh”,http://Zipuer 7, Wordpress.com/2009/10/04/pernikahan –adat-masyarakat-gayo-aceh,diakses pada tanggal 10 juni 2014
36Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mega Jaya Abadi, 1990), hlm 23
37Ter Haar, Beginselen en Stelsel Van het Adatrecht, diterjemahkan oleh Soebekti dalam Asas-asas dan Susunan Adat,(Jakarta: PT. Pradnya Pramita 1997), hlm 158
G. Metode Penelitian
Metode penelitian berasal dari kata “Metode dan Logos”. Metode yang artinya adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dan logos yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya.38
Penelitian sebagai suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten karena melalui proses penelitian tersebut dilakukan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.
1. Sifat Penelitian dan Jenis Penelitian
Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis39 berarti menggambarkan serta menjelaskan Studi Mengenai Pelaksanaan Perkawinan Angkap Pada Masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah Dengan Berlakunya Undang- Undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Jenis Penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis empiris40 untuk mengetahui sejauh mana hukum itu dapat mengakibatkan perubahan social dilakukan maka diperlukan suatu pengkajian bagaimana hukum bekerja dapat mengubah
38 Bambang Sunggono, Metode Penelitian hukum Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grpindo Persada 2001), hlm 3
39 Ronny Hanitidjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta Ghalia Indonesia 1990), hlm 14
40Cholid Narbuho Dan Haji Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Bumi Aksara 2002) hlm 1
kehidupan sehari-hari yaitu dengan menselaraskan dengan peraturan yang ada baik hukum Islam maupun Undang-undang nomor 1 tahun 1974.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan dengan melihat sesuatu kenyataan hukum di dalam masyarakat, digunakan untuk melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai penunjang untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi temuan bahan non hukum bagi keperluan penelitian atau penulisan hukum.41
3. Lokasi dan Populasi Penelitian
Untuk melengkapi data sekunder, maka penelitian tentang Perkawinan Angkap pada Masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah ini juga didukung oleh data primer dengan penelitian lapangan yang dilakukan terhadap masyarakat Gayo yang bertempat tinggal di Kampung Pasar Pagi, Kecamatan Lut Tawar, Kampung Gelelungi, Kecamatan Pegasing, Kampung Mongal, Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah, alasan pemilihan lokasi untuk penelitian ini karena di lokasi tersebut merupakan daerah di Kabupaten Aceh Tengah yang masih ada melaksanakan Perkawinan Angkap.
Dalam hal ini data diperoleh dari populasi penelitian yang terdiri dari masyarakat Gayo yang tinggal di kota Takengon dengan karakteristik yang pernah
41Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika 2011), hlm 105
menyelenggarakan perkawinan angkap serta Tokoh Adat yang berkaitan dengan Perkawinan Angkap pada masyarakat Gayo di Kampung tersebut.
4. Teknik Sampling
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonrandom sampling, dalam hal ini dipakai purposive sampling, yaitu teknik yang biasa dipilih karena alasan biaya, waktu dan tenaga, sehingga tidak dapat mengambil dalam jumlah yang besar. Penarikan sample ini dilakukan dengan cara mengambil subyek yang didasarkan pada tujuan tertentu.
Jadi yang diambil dalam penelitian ini adalah tokoh adat, lima pasangan yang melakukan perkawinan angkap,dan aparat desa.
5. Sumber Data a. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan ini dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan langsung kepada responden. Sifat interview adalah bebas terpimpin.
Dalam melakukan penelitian dimungkinkan tidak hanya menggunakan pertanyaan yang disediakan secara tertulis dalam bentuk daftar pertanyaan, tetapi dapat dilakukan pengembangan pertanyaan sepanjang tidak menyimpang dari permasalahan.
b. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan dimaksudkan untuk membandingkan antara teori dan kenyataan yang terjadi dilapangan. Melalui studi kepustakaan ini diusahakan pengumpulan data melalui