• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mandala Mamargi Dalam Arsitektur Tradisional Bali.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mandala Mamargi Dalam Arsitektur Tradisional Bali."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

iii

E d i t o r

Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEng.Sc., PhD. Ni Ketut Agusintadewi, ST., MT., PhD.

(3)
(4)

v

KATA PENGANTAR

Ide pelestarian menjadi sebuah keharusan di era pembangunan yang pesat ini, di belahan bumi manapun kita berada. Pelestarian bentang alam, sumber daya alam, energi, peninggalan bernilai historis, tata nilai budaya dan sosial, identitas, dan lain-lain menjadi kegiatan-kegiatan yang tidak boleh tidak harus diagendakan. Tujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat telah mendorong komponen-komponen serta para pelaku pembangunan untuk memanfaatkan sumberdaya pendukung yang ada secara maksimal atau malahan secara berlebihan. Seringkali langkah ini tidak atau belum disertai pertimbangan untuk menjaga keberlangsungan serta ketersediaan sumberdaya yang sama untuk generasi di masa yang akan datang. Kadang kala, ketika kita menyisakan sumber daya untuk anak cucu kita di masa yang akan datang, kualitas serta kuantitasnya kemungkinan tidak pada kondisi prima lagi.

Kota sebagai wadah beragam aktivitas pembangunan secara langsung dipengaruhi oleh situasi di atas. Ini direfleksikan oleh kondisi lingkungan binaan, dimana kita hidup dan berinteraksi. Timpangnya aktivitas pembangunan antara desa dan kota telah mendorong laju urbanisasi yang sangat pesat, khususnya di negara-negara di Asia. Kondisi ini diperparah oleh tingginya laju pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak terkontrol. Seringkali sudah didengungkan jika kota-kota kita mengalami masalah kemacetan yang kronis; kebanjiran yang menahun; polusi pada level yang membahayakan; tingkat kepadatan yang melumpuhkan pergerakan dalam maupun antar kota; menurunnya level livabilitas kota; kualitas-kualitas ruang kota yang menurun; dominasi dalam pemanfaatan kawasan strategis oleh kepentingan tertentu; konversi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya; merupakan beberapa tantangan dalam pertumbuhan kota saat ini. Sangat sering jika sebuah kota tumbuh dan berkembang tanpa ada rencana. Atau, jikapun blueprint pembangunan spasialnya ada, implementasi serta pengendaliannya yang bermasalah. Atau pada sirkumstansi yang berbeda, dimana terjadi koalisi anatar korporasi dengan para pengambil keputusan (pemerintah), produk perencanaan yang sudah jelas implementasinya bisa dibeli oleh para pemilik modal.

Dengan didasari oleh kondisi-kondisi inilah maka Program Studi Magister Arsitektur, Universitas Udayana dan Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Bali berkolaborasi untuk menyelenggarakan seminar tahunan dengan tema Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Binaan di tahun 2015 ini. Kepada Ibu dan Bapak Pembicara Kunci, saya ucapkan terima kasih atas waktu serta kesediaannya untuk berbagi di melalui Seminar ini. Kepada Ibu dan Bapak Pemakalah dan Peserta Seminar, saya ucapkan terima kasih atas partisipasinya. Akhirnya, kepada Ibu dan Bapak Panitia Pelaksana Seminar, saya sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk kerja kerasnya, sehingga Seminar tahun ini bisa terlaksana dengan sukses. Sebagai penutup, saya mohon maaf untuk kekurangan dan kesalahan.

Terima kasih.

(5)
(6)

vii

R I N G K A S A N

Proseding Seminar ini merupakan kumpulan paper-paper yang dipresentasikan dan dipublikasi dalam Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun yang diselenggarakan oleh Program Magister Arsitektur: Program Keahlian Perencanaan dan Manajemen Pembangunan Desa/Kota dan Program Keahlian Manajemen Konservasi, di Aula Pascasarjana, Lt III Gedung Pascasarjana Universitas Udayana, Kampus Denpasar pada hari Selasa, tanggal 22 Desember 2015.

Adapun sub tema yang diangkat dalam Seminar adalah:

1. Permukiman etnik 2. Permukiman informal 3. Tradisi, arsitektur, dan makna

4. Pelestarian arsitektur-tantangan dan potensi 5. Pusaka kota dan pembangunan kota berbudaya

6. Perencanaan kawasan strategis: ekowisata, pesisir, lindung, pendidikan, bersejarah, rentan bencana, ramah anak, pedestrians kota, dll

Masing-masing paper telah dipresentasikan, baik dalam sesi presentasi untuk para pembicara kunci maupun sesi pararel untuk para pemakalah. Partisipan dan presenter dalam Seminar ini berasal dari para akademisi, mahasiswa program pascasarjana, para pemerhati keberlanjutan lingkungan terbangun maupun bentang alamiah. Besar harapannya jika Seminar ini bisa menjadi ajang diskusi dan berbagi pengetahuan, pengalaman, ide berkenaan pembagunan lingkungan binaan serta pelestariannya. Ini termasuk pembangunan mekanisme terkait perencanaan tatanan spasial kota/daerah serta pelestarian legasi, potensi, serta sumber-sumber daya alamiah, dan non-alamiah yang ada di sekitar kita. Semoga aktivitas ini bisa dijadikan bagian kegiatan rutin, yang penyelenggaraannya dijadwal secara berkelanjutan.

(7)
(8)

ix

Sesi Paralel 1:

Permukiman Etnik

Karakteristik Permukiman Tradisional Gampong Lubok Sukon ……… 1

Ahmad Sidiq Pelestarian Pola Permukiman Tradisional Suku Lio Dusun Nuaone, Kabupaten Ende ……. 11

Alfons Mbuu Struktur Organisasi dan Tata Zonasi Permukiman di Desa Adat Penglipuran, Kabupaten Bangli ………. 25

I Gusti Ayu Canny Utami Konsep Pola Desa dan Tata Hunian Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Bali ……… 33

Nyoman Siska Dessy Krisanti Perkembangan Fisik Bangunan pada Permukiman Tradisional Desa Bayung Gede ………… 39

Ida Rayta Wira Pratami Kenyamanan Thermal pada Rumah Tinggal Masyarakat Desa Pekraman Bugbug, Kabupaten Karangasem ……….. 47

Ida Bagus Gde Primayatna, Ida Bagus Ngurah Bupala Konsepsi Tri Hita Karana pada Pola Perumahan Utama Desa Pekraman Gunung Sari ……… 59

Gusti Ayu Cantika Putri

Sesi Paralel 2:

Permukiman Informal

Karakteristik dan Faktor Penyebab Kekumuhan pada Permukiman Jalan Cok Agung Tresna I, Denpasar ……….. 67

(9)

x

Sesi Paralel 3:

Tradisi, Arsitektur, dan Makna

Mandala Mamargi dalam Arsitektur Tradisional Bali

Pengalaman pada Peristiwa Nuntun Bhatara Hyang di Denpasar, Bali ……… 83 Anak Agung Ayu Oka Saraswati

Peran dan Makna Arsitektur Vernakular Indonesia sebagai Jatidiri

Menuju Arsitektur Nusantara ……… 90

Anak Agung Gde Djaja Bharuna S.

Kajian Elemen Arsitektur Gereja Tua Sikka sebagai Bangunan Bersejarah

Peninggalan Belanda ……………… 98

Yohanes Pieter Pedor Parera

Konsep Bentuk Uma Pangembe Melalui Pendekatan Kearifan Lokal

dan Budaya Setempat ……… 107

Ignatius Nugroho Adi

Fungsi dan Estetika dalam Arsitektur Tradisional Bali ………. 115 I Wayan Gomudha

Tradisi Meruang Masyarakat Tradisional Sasak Sade di Lombok Tengah ……….. 127 Ni Ketut Agusinta Dewi

Sesi Paralel 4:

Pelestarian Arsitektur-Tantangan dan Potensi

Eksistensi Teba sebagai Ruang Penampung Sampah Organik di Kecamatan Ubud ………… 141 I Gusti Ngurah Bagus Kusuma Putra

Pengembangan Desa Wisata di Desa Adat Pengotan Kabupaten Bangli ………... 150 Ishak Ferdiansyah

Transformasi Pemanfaatan Ruang di Sekitar Pura Kahyangan Tiga,

Desa Pakraman Peliatan ………...... 158 I Putu Hartawan

Puri Kanginan Singaraja: Konsep, Filosofi, dan Tipologi Bangunan ……… 167 Rohana Veramyta

Usaha Pelestarian Kearifan Lokal dalam Awig-Awig Penangkapan Ikan

(Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Kedonganan) ………... 176 Anak Agung Ayu Dyah Rupini

Dasar Pertimbangan Pengelolaan Karang Bengang di Desa Tegallalang Gianyar ……… 184 Made Prarabda Karma

Pelestarian Hutan Bambu sebagai Bentuk Kearifan Lokal

di Desa Adat Penglipuran, Bangli …... 191 Ni Luh Made Marini

(10)

xi

Sesi Paralel 5:

Pusaka Kota dan Pembangunan Kota Berbudaya

Pemanfaatan Ruang Pada Kawasan Catuspatha Desa Kesiman Melalui

Pemaknaan Lingkungan Sekitar ………………… 205

I Gede Artha Dana Jaya

Strategi Menumbuhkan Kesadaran Masyarakat sebagai Upaya Pelestarian Aset Pusaka

Kota Denpasar ……………….. 215

Anak Agung Ayu Sri Ratih Yulianasari

Mewujudkan Kota Pusaka Yang Berkelanjutan …………….. 222 Nyoman Ary Yudya Prawira

Pengaruh Perkembangan Pariwisata terhadap Fungsi Karang Desa

di Banjar Nyuhkuning, Ubud ……………….. 229 Made Bayu Indra Yudha

Pembangunan Denpasar Kota Berbudaya: dari Kota Kerajaan hingga Kota Kolonial ……… 237 Putu Ayu Hening Wagiswari

Identifikasi Stakeholder dan Peranannya dalam Menyelesaikan

Persoalan Pelestarian Kawasan ………. 244 Gede Windu Laskara

226 Tahun Kuatkan Posisi Denpasar sebagai Kota Pusaka ………. 255 Putu Rumawan Salain

Sesi Paralel 6:

Perencanaan Kawasan Strategis

Pengaruh Parkir terhadap Infrastruktur Transportasi Jalan di Kota Lama Singaraja ……… 263 I Putu Edy Rapiana

Pengolahan Limbah Cair Rumah Tangga Menuju Pembangunan Berkelanjutan

di Kawasan Pariwisata Ubud ……… 271

Anak Agung Ayu Sara Kusumaningsih

Infrastruktur Manajemen Air sebagai Antisipasi Banjir di Tukad Buleleng,

Pusat Kota Lama Singaraja ……… 278

Anak Agung Ngurah Ardhyana

Kajian Implementasi Tata Ruang dan Bangunan pada Bangunan Hotel

di Kawasan Pesisir Sawangan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung ……… 287 Putu Gede Wahyu Satya Nugraha

Optimalisasi Moda Transportasi sebagai Antisipasi Rencana Pembangunan

Bandar Udara Bali Utara dan dalam Upaya Pemerataan Pembangunan ……… 292 Ni Ketut Ayu Intan Putri Mentari Indriani

(11)

xii

Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Transportasi Umum di Kota Denpasar ……… 308 Wayan Daton Yudhyanggara

Implementasi Konsep Green Architecture pada Bangunan Four Season Tent Camp ………. 315 Kadek Bayu Dwi Laksana

Konsep Penyediaan Taman Kota sebagai Perwujudan Fungsi Sosial

Ruang Terbuka Hijau di Kota Mangupura ………... 323 Kadek Ary Wibawa Patra

Pengaruh Kebijakan Penataan Ruang Tukad Badung terhadap Perilaku Masyarakat

di Desa Pemogan ………... 332 I Ketut Adi Widiadinata

Pengembangan Infrastruktur yang Terintegrasi dengan Kondisi Iklim

pada Lingkungan Pantai Boom Banyuwangi ………..……….. 339 Abu Sufyan

Hutan Kota ………. 349

Cokorda Gede Putra Danendra

Sistem Subak di Desa Jatiluwih, Tabanan dalam Konsep Lingkungan Berkelanjutan ……… 356 L.G. Rara Bianca Sarasaty

Perubahan Fungsi Kawasan di Sekitar Kali Semarang Dari Era Kolonial hingga Modern (Studi Kasus Kawasan Kali Semarang dari Gang Lombok hingga Kebon Dalem) ……….. 362 Yudistira Nugroho

Potensi Pengembangan Kawasan Pesisir Pantai Air Sanih Sebagai Objek Pariwisata

Perencanaan Berbasis Sustainable Development di Kabupaten Buleleng ……… 369 Untung Bagiotomo

Konsepsi Pengembangan Wilayah Agropolitan di Kabupaten Karangasem ……… 380 Putu Indra Yoga Sariasa

Kontroversi “Datu Swing” sebagai Salah Satu Objek Pariwisata di Gili Trawangan ………… 389 Putu Bayu Aji Krisna

Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Fungsi Ekologis

di Kawasan Perkotaan Kabupaten Badung ……… 396 Afriyanti Noorwahyuni

Potensi Kawasan Pesisir Pemuteran ……….…. 404 Ayu Mega Silvia Lukitasari

Keragaman Budaya dalam Mewujudkan Sustainabilitas Pembangunan Ekonomi ……… 410 Gede Surya Pramana

Kawasan Wisata Seni dan Budaya Berbasis Ekonomi Kreatif di Kecamatan Sukawati …… 420 Kadek Wira Wibawa

Integrasi Kebijakan Perencanaan dan Prioritas Pembangunan yang Berbasis Masyarakat

di Kawasan Pesisir Pantai Amed ……… 428

Kurnia Dwi Prawesti

Ekonomi Hijau sebagai Solusi untuk Mengatasi Dampak Negatif

(12)

xiii Perencanaan Kawasan Pesisir Pantai Soka: Identifikasi Potensi

dan Permasalahan Makro Kawasan Pantai Soka ……….. 444 Mutiara Nandya Putri Narendra Anom

Perkembangan Ruas Pesisir Pantai Geger-Nusa Kecil sebagai Kawasan Wisata

di Kabupaten Badung ……… 450

Ida Ayu Catur Maharani

Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian pada Kawasan Jalur Hijau di Subak Kedampang ……… 459 I Putu Anom Widiarsa

Perilaku Teritorialitas Pengunjung Monumen Bom Bali di Legian, Kuta ……… 467 I Wayan Yogik Adnyana Putra

Teritorialitas Pedagang di Selasar Pertokoan Tekstil Jalan Sulawesi Denpasar ………... 475 Ida Ayu Kade Paramita Pradnyadewi

Pemanfaatan Ruang Greenfield di Kecamatan Ubud, Gianyar ………. 483 Anak Agung Ayu Kasmarina

Telaah Kritis terhadap Diagram Model Penelitian pada Thesis

di Program Pascasarjana Unud: Suatu Usulan Pemikiran ………..……… 491 Syamsul Alam Paturusi

Menjaga Eksistensi Wilayah Pesisir Bali: Antara Teori dan Tradisi ……… 498 I Ketut Mudra

Pemberdayaan Petani Lokal dalam Pengembangan Restoran Organik di Ubud

sebagai Contoh Penerapan Green Development ………. 508 Made Agastya Kertanugraha

Pendidikan Melalui Pendekatan Perilaku: Menanamkan Sikap Ramah Lingkungan Dari Anak-Anak Sekolah Dasar Di Desa Bedulu (Gianyar), dalam

Menanggulangi Permasalahan Sampah ……… 514

Gusti Ayu Made Suartika

(13)

xiv

SUSUNAN PANITIA PELAKSANA SEMINAR

Ketua Panitia Pelaksana : Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEngSc., PhD.

Wakil Ketua Panitia Pelaksana : Ni Ketut Agusintadewi, ST., MT., PhD.

Sekretaris : Ni Made Swanendri, ST., MT.

Seksi Acara : Dr. Ir. Ni Ketut Ayu Siwalatri, MT.

Seksi Seminar Kit : Dr. Ir. Widiastuti, MT.

Seksi Sertifikat : Dr. I Nyoman Widya Paramadhyaksa, ST., MT.

Seksi Proseding : I Wayan Yuda Manik, ST., MT.

Seksi Perlengkapan : Dr. Eng. I Wayan Kastawan, ST., MA.

Seksi Transportasi : Ir. I Gusti Bagus Budjana, MT.

Seksi Publikasi dan Kepesertaan : I Kadek Prana, ST., MT, IAI

I Gde Suryawinata, ST., IAI

Seksi Konsumsi : I G.A. Dewi Indira Sari, SE.

Seksi Dokumentasi : I Gusti Ngurah Putu Eka Putra

(14)

83

Pengalaman Pada Peristiwa Nuntun Bhatara Hyang di Denpasar - Bali

Anak Agung Ayu Oka Saraswati

Staf`Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana Email: saraswati@dps.centrin,net.id

Abstract

Balinese Traditional Architecture with a pamesuan/pamedalan gate which means exit is the mother architecture. The new house is the architecture that born. The child the birth of the new house, moving from the old house - Mandala Tinggal with wall/penyengker (permanent borders) is Mandala Mamargi – ‘moving place with existence’ started from pamesuan/pamedalan. The movement is characterized by the movement of ‘the owner of the place’ – the child, which involves a community, complete with 'accessories place' which is the arts creative product of this community. The spirit of place of Mandala Mamargi is given by Nuntun Bhatara Hyang Events. Public engagement in these events is one of the three witnesses on birth that believed of the community. Case of this qualitative research with the pleasure of aesthetic place method taken in Denpasar-Bali.

Keywords: pamesuan, mother architecture, born architecture, moving place-Mandala Mamargi.

Abstrak

Arsitektur Tradisional Bali dengan gerbang/pamesuan/pamedalan yang berarti keluar adalah arsitektur ibu. Rumah baru adalah arsitektur yang lahir. Seorang anak sebagai rumah baru yang lahir adalah Mandala Mamargi - 'tempat bergerak dengan eksistensi' dimulai dari pamesuan/pamedalan. Mandala Mamargi - 'tempat bergerak dengan eksistensi', bergerak dari rumah tua - Mandala Tinggal yang berdinding tembok penyengker (pembatas permanen). Gerakan ini ditandai dengan gerakan 'pemilik tempat' – anak, lengkap dengan 'aksesoris tempat' serta melibatkan masyarakat. The spirit of place/jiwa suatu tempat dari Mandala Mamargi diberikan oleh Peristiwa Nuntun Bhatara Hyang. Keterlibatan masyarakat dalam peristiwa ini merupakan salah satu dari tiga saksi kelahiran yang diyakini masyarakat. Kasus dari penelitian kualitatif dengan metode penikmatan estetika tempat ini dilakukan di Denpasar-Bali.

Kata kunci: pamesuan, arsitektur ibu, arsitektur dilahirkan, tempat bergerak-Mandala Mamargi.

PENDAHULUAN

(15)

84

Gambar 1. Pamesuan/pamedalan/gerbang pada rumah sebagai suatu fenomena gerbang dengan makna keluar. Lokasi: Ubud; Foto: Oka Saraswati (2008)

METODOLOGI

Penelitian fenomenologi ini, didasarkan pada fenomena pamesuan / pamedalan sebagai kata yang berarti keluar. Dalam penelitian kualitatif ini digunakan metode penikmatan estetika tempat. Pengungkapan makna dengan cara mengalami dimana manusia sebagai instrumen penelitian. Penelitian dilakukan oleh peneliti melalui pengalaman langsung, dimana peneliti adalah peserta utama dalam beberapa Peristiwa Nuntun Bhatara Hyang. Dovey (1999: 39). mengatakan, the empirical world - a certain possession of the world by my body, a certain gearing of my body to the world. Peneliti mengalami, berjalan, menjunjung, berdoa, membuat sesuatu (persembahan), mendengarkan, membaui dan melihat. Pengungkapan ekspresi tempat ini melalui indera dalam suatu kebahagiaan merupakan sensasi yang akan ditafsirkan oleh peneliti.

Metode penikmatan estetika tempat merupakan metode interpretasi, dengan mengatakan persepsi-imajinasi, menerangkan, menerjemahkan yang mengandalkan peran indera mata, indera telinga dan indera hidung sebagai penikmatan (mengalami), atas tempat/place yang bercerita tentang dirinya. Konteks penelitian adalah tempat, yang diberikan spirit of place oleh peristiwa ritual sakral bergerak keluar bereksistensi.

PERISTIWA NUNTUN BHATARA HYANG

(16)

85

Salah satu peristiwa ritual sakral dewa yadnya adalah Peristiwa Nuntun Bhatara Hyang. Peristiwa Nuntun Bhatara Hyang merupakan peristiwa peresmian suatu rumah baru. Pada peristiwa Nuntun Bhatara Hyang terdapat prosesi ritual sakral yang bergerak dengan bereksistensi dari rumah lama ke rumah baru (baru saja diselesaikan). Masyarakat akan mempersilakan prosesi ini menggunakan jalur jalan tanpa diganggu oleh kendaraan.

Di rumah lama, dalam persiapan peristiwa ini, dibuat personifikasi dari Bhatara Hyang – leluhur serta penuntunturus lumbung (sebatang lurus carang pohon dapdap). Selain itu, ragam hias tempat (RHT) seperti payung, umbul-umbul, tombak dan bandrangan juga menghiasi rumah tersebut. Di sisi lain, bangunan/bale sebagai ruang-ruang pada rumah tersebut juga telah memiliki ragam hias antara lain ornamen kekupakan pada elemen struktur saka serta dekorasi ukiran patung. Pada saat peristiwa ritual saral Nutun Bhatara Hyang ini, selain ragam hias tersebut di atas, juga disiapkan gambelan dan kidung yang indah serta dupa, pengasepan, dan bunga yang harum.

Gambar 2. Ragam Hias Tempat (RHT) bandrangan, umbul-umbul, payung telah menghiasi rumah sejak persiapan peristiwa ritual sakral Nuntun Bhatara Hyang

Sketsa: Oka Saraswati; Sumber: modifikasi dari Saraswati, 2013:110

Pada pelaksanaan peristiwa ritual sacral Nuntun Bhatara Hyang, personifikasi Bhatara Hyang dan RHT penuntun turus lumbung serta beberapa bandrangan, payung, umbul-umbul diangkat dan dibawa bergerak berjalan oleh beberapa orang pendukung acara ini. Pergerakan peristiwa ini berawal keluar/medal/pesu dari pamesuan/pamedalan menuju rumah baru.

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI - TEMPAT

Bangunan arsitektur tradisional Bali memiliki aksesoris fisik dalam bentuk ornamen dan dekorasi. Namun, ketika peristiwa ritual sakral berlangsung, seperti Nuntun Bhatara Hyang, arsitektur tersebut dalam satu kesatuan tempat/place dihiasi dengan lebih indah. Ragam hias tersebut merupakan ragam hias tempat (RHT) (accessories of place) auditori-visual-olfaktori (AVO) yang merangsang pendengaran, penglihatan, dan penciuman (Saraswati, 2013:109).

Dalam budaya orang Bali yang beragama Hindu, arsitektur bukan hanya bangunan. Kegiatan ritual dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali maupun dalam peristiwa prosesi bergerak

umbrella

banner

bandrangan

Umbrella, banner, bandrangan decorated the house before the implementasi of the Nuntun Bhatara Hyang Event

Rumah

Ragam Hias Tempat (RHT) bandrangan, umbul-umbul, payung telah menghiasi rumah sejak persiapan peristiwa ritual

sakral Nuntun Bhatara Hyang umbul-umbul

(17)

86

Arsitektur tempat yang indah ini memiliki 'roh/spirit' yang membuat arsitektur hidup seperti halnya manusia. Saraswati mengatakan, peristiwa ritual sakral memberikan 'jiwa tempat/spirit of place' kepada arsitektur-tempat dalam arsitektur tradisional Bali (Balinese place) (2013: 295).

Tempat/place peristiwa ritual sakral Nuntun Bhatara Hyang merupakan tempat bereksistensi karena memiliki elemen-elemen tempat. Norberg-Schulz (1971:17-24) menyampaikan bahwa ruang bereksistensi memiliki wilayah, orientasi, arah, jalan, tujuan, aspek abstrak dan nyata, kepadatan, batas, satelit serta pusat yang ber-axis mundi. Axis mundi berwujud pilar tegak, juga melambangkan suatu pusat/poros central axis. Salah satu RHT yaitu penuntun turus lumbung

berbentuk batang/pilar, selalu dibawa dalam posisi berdiri tegak dan personifikasi Bhatara Hyang selalu berada di dekatnya. RHT penuntun ini mengekspresikan dirinya sebagai pusat yang bereksistensi, sebagai axis-mundi (Saraswati, 2013:296). Di sisi lain, berdasarkan eksistensi manusia dari pemahaman jiwa tempat/spirit of place ‘anak merindukan ibu-manik ring cucupu’ dalam falsafah Bali, Saraswati mengatakan (2013: 298), pemilik teritori adalah “Kami (ibu dan anak-anak)“. Hal ini mulai ditampilkan pada saat persiapan peristiwa ritual sakral Nuntun Bhatara Hyang. Dalam peristiwa ini, disiapkan dua wujud personifikasi Bhatara Hyang yang mengekspresikan kedua pemilik tempat/place ‘’Ibu dan Anak”. Saraswati (2013:345-352) memperkuat interpretasi ibu-anak dengan gerakan kembali Eliade (Norberg-Schulz, 1971:19), fenomena Merajan-Gedong Pertiwi, Pura Paibon serta ragam hias perempuan pada pamesuan/pamedalan.

Tempat Bergerak

Sejak Tempat Nuntun Bhatara Hyang dipersiapkan, tempat dihiasi oleh RHT. RHT yang indah ini termasuk penuntun, payung, umbul-umbul, tombak, bandrangan, suara irama gambelan dan aroma asap dupa, merangsang bagi indra penglihatan, pendengaran dan penciuman (AVO). Selain itu, juga disiapkan dua personifikasi pemilik tempat Bhatara Hyang – Ibu dan Anak. Tempat dengan Ibu sebagai pemilik tempat merupakan rumah lama, tempat yang indah, tempat peristiwa Nuntun Bhatara Hyang disiapkan. Tempat yang indah ini memiliki batas teritori fisik yang tetap berupa tembok penyengker. Namun berbeda halnya dengan Änak sebagai pemilik tempat.

Pada saat peristiwa ritual sakral Nuntun Bhatara Hyang, tempat indah yang dihias RHT, dinikmati oleh indera penglihatan, pendengaran dan penciuman. Gerakan arsitektur tempat diekspresikan oleh gerakan 'pemilik tempat' dan masyarakat pendukungnya, lengkap bersama dengan RHT yang ke luar/pesu/medal dari pamesuan/pamedalan/ gerbang menuju rumah baru. Hal ini diinterpretasikan sebagai arsitektur tempat yang bergerak. Pergerakkan ini bereksistensi karena memiliki elemen tempat seperti disebutkan Norberg-Schulz. Selain itu masyarakat juga mengakui eksistensinya dengan memberikannya jalan tanpa hambatan.

(18)

87

sebelumnya. Dari hal tersebut di atas, 'tempat dengan teritorial tetap berupa tembok penyengker merupakan Mandala Tinggal sementara 'tempat bergerak' tetap memiliki batas namun tidak memiliki batas permanen. Tempat bergerak ini merupakan Mandala mamargi

Gambar 3. Tempat dihiasi oleh ragam hias tempat (RHT) bandrangan, umbul-umbul, payung telah dipasang sejak persiapan peristiwa ritual sakral Nuntun Bhatara Hyang

Sketsa: Oka Saraswati; Sumber: modifikasi dari Saraswati, 2013:110

Gambar 4. Personifikasi Bhatara Hyang sebagai pemilik tempat Sketsa: Oka Saraswati; Sumber: modifikasi dari Saraswati, 2013:110

Gambar 5. RHT Penuntun sebagai axis mundi beserta RHT lainnya bergerak ke luar dari pamesuan/pamedalan Sketsa: Oka Saraswati; Sumber: modifikasi dari Saraswati, 2013:110

Umbrella, banner, bandrangan as accessories of place

Bhatara Hyang sebagai pemilik tempat

(19)

88

Gambar 6. Mandala mamargi-tempat bergerak merupakan tempat bergerak dari tempat rumah lama dan membentuk tempat rumah baru

Sketsa: Oka Saraswati; Sumber: modifikasi dari Saraswati, 2013:110

KESIMPULAN

Dari diskusi, ditemukan bahwa tempat Nuntun Bhatara Hyang merupakan tempat bergerak keluar sebagai arsitektur dilahirkan melalui pamesuan/pamedalan. Tempat bergerak-Mandala Mamargi merupakan salah satu arsitektur tradisional Bali-tempat

REFERENCES

Covarrubias, Miguel (1972) ‘Island of Bali’, Oxford University Press, Oxford. Dovey, Kim (1999) ‘Framing Places’, Routledge, London

Sabha Arsitektur Tradisional Bali (1984) ‘Rumusan Arsitektur Tradisional Bali’, Unpublished. Saraswati, A. A. Ayu Oka (2013) ‘Pamesuan Dalam Arsitektur Bali, Suatu Kajian Teritori

Arsitektur, Dengan (Peng-)Ungkapan Makna’, Unpublished Doctoral Thesis, Sepuluh Nopember Institute of Technology. Surabaya: Faculty of Civil Engineering and Planning, Sepuluh Nopember Institute of Technology

(20)

89

Yudabakti, I Wayan (2007) ‘Filsafat Seni Sakral Dalam Kebudayaan Bali’, Penerbit Paramitha, Surabaya

Web site:

Gambar

Gambar 1. Pamesuan/pamedalan/gerbang pada rumah sebagai suatu fenomena gerbang dengan makna keluar
Gambar 2. Ragam Hias Tempat (RHT) bandrangan, umbul-umbul, payung telah menghiasi rumah sejak persiapan peristiwa ritual sakral Nuntun Bhatara Hyang
Gambar 4. Personifikasi Bhatara Hyang sebagai pemilik tempat
Gambar 6. Mandala mamargi-tempat bergerak merupakan tempat bergerak dari tempat rumah lama dan membentuk tempat rumah baru Sketsa: Oka Saraswati; Sumber: modifikasi dari Saraswati, 2013:110

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data dari kedua macam sampel tersebut disimpulkan bahwa sebagai bahan pangan, kedua macam protein daging teripang mempunyai mutu yang kurang sempurna walaupun

Dalam bab ini akan dijelaskan penggambaran sistem kendali, yang meliputi fungsi alih (transfer function), korelasi antara fungsi alih dengan persamaan ruang

Kepala Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Asisten Pemerintahan dalam memimpin, mengkoordinasikan, membina dan

Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari

S Bengkel Sepeda Jl,trs jakarta sukarasa Rt.04 Rw.07 Kel... 23 Nanih Rohayati

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi bagi penelitian selanjutnya, khususnya untuk penelitian yang memiliki topik yang berkaitan dengan pengaruh

Tujuan penelitian ini adalah merancang dan membuat alat pengering dengan kolektor surya pelat datar yang menggunakan air sebagai media penyimpan panas untuk

Broling (1989) dalam Pedoman Penyelenggaraan Program Kecakapan Hidup Pendidikan Non Formal mengelompokkan life skills menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) kecakapan