• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume 9 Nomor 1 Juni 2016 P-ISSN: Diterbitkan oleh: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Volume 9 Nomor 1 Juni 2016 P-ISSN: Diterbitkan oleh: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

P-ISSN: 1979-7052

Diterbitkan oleh: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni

PERANAN SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN DALAM MEMBERIKAN JAMINAN KEPASTIAN HUKUM KEPADA KREDITUR PADA PRAKTEK PERBANKAN

CHRISTIFORUS SKUKUBUN, M BUDI RAHARJO Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Proses pembebasan hak tanggungan yang diawali dengan perjanjian kredit atau perjanjian tentang piutang oleh pihak kreditur dan debitur melalui akta otentik maupun akta dibawah tangan. Proses berikutnya dilakukan pembuatan Akta Hak Tanggungan dihadapan PPAT dan mewajibkan kepada PPAT supaya dalam waktu tujuh (7) hari kerja sudah disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dilakukan pendaftaran dan dibukukan dalam Buku Tanah Hak Tanggungan serta melakukan, pencatatan seperlunya pada Sertifikat Hak Atas Tanah yang dijaminkan dan diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan saat dimana lahirnya hak tanggungan tersebut. Kedudukan Sertifikat Hak Atas Tanah dalam pemberian jaminan kredit, setelah lahirnya Sertifikat Hak Tanggungannya sebagai alat pelengkap dalam memberikan keamanan dan kelancaran pelaksanaan eksekusi hak tanggungan apabila debitur cedera janji (wanprestasi) dalam pemberian hak tanggungan. Penahanan Sertifikat Hak Atas Tanah bersamaan. dengan Sertifikat Hak Tanggungan dibebankan apabila diperjanjikan terlebih dahulu. Bila tidak, maka pihak kreditur dianggap melakukan perbuatan.

melanggar hukum, karena posisi debitur sebagai golongan ekonomi lemah yang perlu mendapat perlindungan. hukum, bukan sengaja memperlemah kedudukannya. Sertifikat Hak Tanggungan memiliki peran. ganda yakni sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap sama dengan. keputusan pengadilan. dan berperan sebagai alat bukti dalam menentukan peringkat-peringkat hak tanggungan bagi kreditur yang memiliki hak diutamakan (preferent) dari kreditur-kreditur lainnya.

Kata kunci: Hak Tanggungan dan Kepastian hukum

I. PENDAHULUAN

Dalam era pembangunan saat ini kepastian hukum sebagai syarat mutlak

bagi setiap pelaku atau pelaksana pembangunan, khususnya pembangunan di

bidang ekonomi. Hal tersebut sebagai tuntutan pokok para pemegang saham,

baik dalam maupun luar negeri yang ingin melakukan investasi atau

(2)

menanamkan sahamnya di Indonesia sebagai salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, namun miskin sumber daya manusia maupun ketersediaan dana atau modal.

Sebagai negara berkembang atau negara ekonomi lemah para pelaksana pembangunan selalu tidak mampu membiayai kegiatan kegiatan pembangunan baik fisik maupun non fisik secara mandiri. Oleh sebab itu selalu bergantung pada pihak lain yang memiliki modal/dana yang cukup dalam bentuk pinjaman.

Salah satu ciri pokok dalam pemberian pinjaman baik di luar maupun dalam negeri oleh lembaga lembaga keuangan selalu mensyaratkan adanya jaminan (agunan), baik jaminan perorangan maupun kebendaan.

Pada Praktek Perbankan atau Lembaga Keuangan lainnya dalam pemberian pinjaman atau kredit dengan jaminan perorangan maupun jaminan kebendaan selalu mengutamakan adanya kepastian dan perlindungan hukum. Hal tersebut berkaitan dengan adanya produk-produk hukum yang bersifat tegas dan transparan yang mengatur perilaku para pemilik modal maupun pihak pengusaha ekonomi lemah atau para peminjam modal itu sendiri.

Dalam pembahasan ini penulis membatasi diri pada Lembaga, Jaminan Kebendaan sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT) dan meninjau kembali Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya hak atas tanah sebagai jaminan dengan Lembaga Hipotik (Pasal 1162 KUH Perdata). Selain hipotik pada jaman pemerintahan Belanda juga mengenalkan suatu lembaga yang sama dengan hipotik yaitu Lembaga Creditverband yang berlaku khusus bagi kaum pribumi atau. penduduk asli Indonesia yang memiliki bidang tanah yang belum bersertifikat (tanah milik adat) yang pengaturannya terdapat dalam Staatblad 1908 Nomor 542 junto Staatblad 1909 Nomor 586 (Stb. No.542 jo.Stb.1909 No.586), yang diperbaharui dengan Staatblad 1937 Nomor 190 (Stb.1937 No.190), selain itu pada beberapa daerah tertentu berlaku satu Lembaga Jaminan yang disebut fidusia.

Namun dalam pelaksanaannya lembaga-lembaga jaminan tersebut tidak memberikan jaminan kepastian hukum bahkan menciptakan dualisme hukum dalam bidang hukum jaminan. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria dan disingkat UUPA, mengatur hak jaminan atas tanah yang baru dengan sebutan hak tanggungan. Dalam Pasal 25, 33, dan 39 dinyatakan bahwa hak milik, HGU dan HGB dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Pengaturan obyek hak tanggungan tersebut kemudian diperintahkan dalam

Pasal 51 bahwa hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak-hak atas tanah

tersebut di atas diatur dengan undang-undang, namun sangat disayangkan

bahwa perintah tersebut tidak dapat ditindaklanjuti secara serius, akibatnya

walaupun dalam UUPA menyebutkan Lembaga Hak Tanggungan Atas Tanah

akan tetapi kurang lebih 36 tahun dalam praktek masih menggunakan ketentuan

lama yaitu Lembaga Jaminan Hipotik dan Creditverband.

(3)

Perjuangan yang sangat melelahkan itu telah membuahkan hasil dengan terbentuknya UUHT dapat memberikan nuansa baru dalam bidang hukum jaminan atau hak jaminan, dimana meniadakan dualisme hukum yakni meniadakan Lembaga Hipotik khusus mengenai hak atas tanah dan ketentuan creditverband menjadi hak tanggungan serta memasukkan hak pakai atas tanah negara tertentu sebagai obyek hak tanggungan yang semula tidak diatur dalam UUPA serta menetapkan asas-asas, tahapan-tahapan maupun peringkat-peringkat hak tanggungan secara tegas dan transparan.

Dalam kaitannya dengan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum, baik terhadap kreditur maupun debitur dengan berlakunya UUHT secara tegas menetapkan dua tahapan dalam pemberian hak tanggungan yaitu Pertama, tahap pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT yang didahului dengan perjanjian utang piutang yang dijamin dan Kedua, tahap pendaftaran hak tanggungan pada Kantor Badan Pertanahan Nasional yang merupakan saat lahirnya hak tanggungan dalam arti saat diperolehnya kedudukan istimewa oleh kreditur.

Dari kedua peristiwa penting adanya hak tanggungan sebagai Lembaga Jaminan yang menggunakan hak atas tanah meminjamkan uang atau kredit pada praktek perbankan di Kabupaten Teluk Bintuni, maka sesuai dengan judul penelitian penulis memilih tahap pendaftaran hak tanggungan yang melahirkan surat tanda bukti hak tanggungan yang disebut Sertifikat Hak Tanggungan.

Sehubungan dengan uraian di atas bahwa saat pendaftaran hak tanggungan merupakan peristiwa yang bersejarah (saat lahirnya hak tanggungan) dan saat yang sangat menentukan posisi atau kedudukan dan peringkat bagi pemegang hak tanggungan (kreditur) itu sendiri, maka Sertifikat Hak Tanggungan memiliki peranan ganda yaitu sebagai alat bukti yang menentukan kedudukan atau peringkat kreditur dan juga sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan yang sejajar dengan Keputusan Hakim atau bersifat eksekutorial (Pasal 14 UUHT).

Dalam pada itu timbul pertanyaan kritis: apakah sebuah Sertifikat Hak Atas Tanah mempunyai kedudukan yang sama dengan Sertifikat Hak Tanggungan Atas Tanah dalam proses pemberian jaminan kredit dalam praktek perbankan dan untuk menjawab pertanyaan di atas membutuhkan kajian yang sangat mendalam, namun dalam berbagai ketentuan mengenai pendaftaran hak atas tanah, Sertifikat Hak Atas Tanah hanya berkedudukan sebagai tanda bukti hak atas tanah yang kuat sebagaimana diatur pada Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PP No.24 Thn.1997) dan Pasal 19 UUPA. Sedangkan dalam hak jaminan Sertifikat Hak Atas Tanah sebagai dasar dalam pembuatan Sertifikat Hak Tanggungan.

Apabila sudah terbit Sertifikat Hak Tanggungan maka Sertifikat Hak Atas

Tanah tidak memiliki kekuatan sebagai bukti hak jaminan untuk memperoleh

kredit, sebaliknya Sertifikat Hak Tanggungan memiliki peran ganda yakni

sebagai tanda bukti untuk memperoleh peringkat kedudukan istimewa atau

kedudukan yang diutamakan (preverent) dari kreditur-kreditur lainnya dan

mempunyai kekuatan yang bersifat eksekutorial yang sama dengan Keputusan

Pengadilan/ Hakim.

(4)

Dalam. kaitan itu timbul pertanyaan apa dasar dan alasan bagi kreditur menahan Sertifikat Hak Atas Tanah. Hat tersebut perlu diwaspadai, bila tidak akan menimbulkan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) karena Pasal 5 VUHT menetapkan bahwa suatu obyek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang.

Selanjutnya Pasal 5 ayat (2 dan 3) menetapkan bahwa suatu hak tanggungan. dibebani lebih dari satu hak tanggungan peringkat masing-masing hak tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan. Apabila tanggalnya sama, maka ditetapkan menurut tanggal pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Untuk mengungkapkan secara tuntas sejumlah permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka diperlukan suatu pengkajian mendalam dan cermat melalui rumusan judul tentang Peranan Sertifikat Hak Tanggungan Dalam memberikan Jaminan Kepastian Hukum Kepada Kreditur Pada Praktek Perbankan di Kabupaten Teluk Bintuni.

1. Bagaimana kedudukan sertifikat hak atas tanah dan sertifikat hak tanggungan dalam pemberian jaminan kredit,

2. Bagaimana proses penyelesaian kredit akibat wanprestasi/ingkar janji ?

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Sertifikat Hak Tanggungan

Kata “legal” dan. “legalitas” sering dipermasalahkan. Apakah tidak lebih tepat istilah legal atau legalitas. Legal dapat berarti sah atau sesuai dengan aturan yang ditentukan berdasarkan framenya. Sedangkan legalitas tidak lain berarti penerapan berdasarkan hukum pada peristiwa konkret secara langsung yang dijadikan peristiwa hukum dan perbuatan hukum berdasarkan keabsahan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan (Soedirman, 2005: 89).

Peraturan perundang-undangan (UUHT) yang mengatur tentang Sertifikat Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dijelaskan oleh UUPA. Menurut UUPA sertifikat adalah salinan buku tanah dan surat ukur dimana sertifikat itu sendiri adalah tanda bukti hak atas tanah yang memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemiliknya dan diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Pengertian pengukuran tanah adalah perbuatan yang dilakukan badan pertanahan negara untuk menerbitkan sertifikat hak atas tanah merupakan rangkaian dari permohonan hak lengkap dengan alas hak pembebasan tanah oleh panitia pengukuran tanah, pembuat surat ukur, pengolahan data, proses penerbitan surat keputusan dan pelaksanaan pendaftaran tanah.

Untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas tanah maka UUPA mengharuskan untuk mengadakan pendaftaran tanah diseluruh Indonesia.

Dalam pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara

dan masyarakat keperluan lalulintas sosial ekonomi serta kemungkinan

(5)

penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria (Badan Pertanahan Nasional).

Setelah Sertifikat (Hak Tanggungan) mendapat pertimbangan dan persetujuan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional maka bank selaku kreditur mempunyai kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur- kreditur yang lain, artinya apabila debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap bank dan kemudian tanah yang dibebani hak tanggungan dilakukan penjualan, maka hasil penjualan tersebut dipergunakan pertama kali untuk melunasi hutang kepada bank selaku pemegang hak tanggungan.

Pihak bank sebagai pemegang hak tanggungan yang digunakan sebagai jaminan pada proses pemberian kredit. Yang dimaksud pemberian kredit adalah salah satu kegiatan dan usaha yang lazim dilakukan oleh setiap bank. Pemberian kredit adalah sesuatu usaha yang konvensional dari setiap bank dan telah berkembang sejak bank dikenal dalam kehidupan suatu masyarakat. Seringkali dikemukakan bahwa pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank dalam menyalurkan dananya ke masyarakat dan merupakan salah satu sumber pendapatan yang mempengaruhi keuntungan bank.

Ketentuan tentang pemberian kredit oleh bank-bank di Indonesia antara lain tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai perbankan. Terutama dalam ketentuan-ketentuan UU No.7 Tbn.1992 sebagaimana, telah diubah dengan UU No.10 Thn.1998. Dari ketentuan UU Perbankan 1992/1998 dapat dikemukakan beberapa hal mengenai kredit perbankan sebagai berikut :

1. Pemberian kredit sebagai salah satu bentuk pelaksanaan fungsi bank dalam rangka menyalurkan dananya.

2. Pasal I angka 2 UU Perbankan 1992/1998 menyatakan bahwa: "Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

3. Ketentuan Pasal I angka 2 dari undang-undang tersebut di atas yang memberikan pengertian bank di Indonesia, adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi bank sebagai suatu badan usaha, yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana di masyarakat. Pemberian kredit adalah satu bentuk pelaksanaan fungsi bank sebagai penyalur dana ke masyarakat. Bank dapat menyalurkan dana yang dimiliki dan dikuasainya antara lain dalam bentuk pemberian kredit ke masyarakat.

Pemberian kredit adalah salah satu kegiatan dan usaha yang sah bagi bank.

Dalam sistem perbankan Indonesia terdapat dua jenis bank, yaitu bank umum

dan bank perkreditan rakyat. Pemberian kredit merupakan kegiatan dan

usaha-yang sah bagi kedua jenis bank tersebut, yaitu berdasarkan ketentuan-

ketentuan UU Perbankan 1992/1998 Pasal 6 huruf B bagi Bank Umum dan

Pasal 13 huruf B bagi Bank Perkreditan Rakyat.

(6)

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas menunjukkan legalitas bank untuk melakukan kegiatan menyalurkan dananya melalui pemberian kredit kepada masyarakat.

B. Landasan Hukum dan Perkembangan Sertifikat Hak Tanggungan Mengkaji persoalan legalitas Sertifikat Hak Tanggungan melalui praktek perbankan dalam pelaksanaan pemberian kredit, pada dasarnya merupakan kebutuhan penyediaan dana/modal dalam jumlah yang cukup besar untuk pemberian kredit kepada para pengusaha ekonomi lemah guna meningkatkan usahanya. Mengingat pentingnya peranan penyediaan dana perkreditan dalam proses pembangunan, maka pemberi dan penerima (kreditur dan debitur) serta pihak lain yang terkait perlu mendapat jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum melalui suatu lembaga jaminan utang piutang yang didukung dengan peraturan perundang-undangan yang kuat serta pemberian rasa keadilan kepada para pihak.

Hak tanggungan atas tanah merupakan suatu lembaga jaminan yang baru dimunculkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang identik dengan lembaga jaminan atas tanah dan dikenal dalam Buku 11 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yakni lembaga hypoteek (hipotik) untuk jaminan tanah hak barat seperti : eigendom, opstal, dan erfpacht, sedangkan jika dijaminkan dengan hak milik adat lembaga jaminannya adalah creditverband yang pengaturannya terdapat dalam Staatsblad 1908 No. 542 jo. Staatsblad 1909 No. 586 yang selanjutnya diperbaharui dengan Staatsblad 1937 No. 190.

Hak jaminan atas tanah yang baru setelah berlakunya UUPA disebut hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha (HGU dan hak guna bangunan (HGB) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 25, 33 dan 39 UUPA. Selanjutnya Pasal 51 UUPA menetapkan bahwa hak tanggungan atas tanah tersebut akan diatur dengan undang-undang dan Pasal 57 UUPA menjelaskan bahwa selama undang-undang mengenai hak tanggungan pada Pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan mengenai hipotik dalam KUH Perdata dan credietverband dalam Staatsbiad 1937-190.

Kemudian pendaftaran hipotik dilakukan menurut ketentuan Ooverschryvings Ordonantie tahun 1834, setelah berlakunya UUPA digunakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Provinsi Papua No.10 Tlm.1961). Dalam Pasal 19 telah dinyatakan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas Wnah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria.

Dengan demikian hak tanggungan atas tanah menganut dualisme hukum

yakni secara materil masih menggunakan ketentuan-ketentuan menurut KUH

Perdata untuk hipotik dan ketentuan-ketentuan credietverband menurut

Staatsblad 1908 Nomor 542 jo. Staatsblad 1909 Nomor 586 yang diperbaharui

(7)

dengan Staatsbiad 1937 Nomor 190, sedangkan secara formal sudah berlaku ketentuan UUPA dan PP No. 10 Thn. 1961.

Kondisi dualisme hukum dalam bidang hukum jaminan berlangsung kurang lebih 36 tahun, bahkan menciptakan kevakuman (kekosongan) hukum yang ujung-ujungnya menimbulkan masalah-masalah dalam bidang perbankan yang sulit terpecah seperti kredit macet, salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi).

Dualisme hukum mempunyai dampak yang signifikan bagi bisnis perbankan, sebagai contoh: pihak luar (asing) mereview kebijakan untuk menanamkan sahamnya yang sulit terpecahkan karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam memberikan perlindungan hukum bagi para pihak dalam pemberian jaminan (perbankan).

Melihat belum adanya kepastian hukum tentang hak tanggungan sebagai lembaga jaminan utang piutang, maka muncul perdebatan yang cukup membingungkan diantara para pelaku ekonomi. Ada kelompok yang pro dan kontra, terhadap keberadaan lembaga hak tanggungan yang baru dimunculkan dalam UUPA dan berbagai peraturan pelaksanaannya (PP No.10 Thn.1961).

Oleh sebab itu. ada yang berpendapat bahwa sebenarnya Lembaga Hak Tanggungan itu. sudah ada sejak diberlakukan UUPA, yang belum ada hanyalah peraturan yang mengaturnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 UUPA itu, sehingga, dalam praktek perbankan yang dimaksud hak tanggungan adalah hipotik dan credietverband.

Agar dapat menambah khasanah tentang hak tanggungan dalam UUPA maka perlu diketahui bahwa menurut pendapat penulis hak tanggungan sebagai lembaga jaminan utang piutang sudah ada dengan diberlakukan UUPA. Hak tanggungan itu sudah ada, hanyalah sementara peraturan-peraturannya yang belum diadakan, maka yang diberlakukan adalah ketentuan-ketentuan mengenai hipotik dan credietverband. Yang dipertahankan bukanlah lembaga-lembaga hipotik dan credietverband tetapi hanyalah ketentuan-ketentuannya. Oleh karena itu istilah-istilah yang tepat adalah hak tanggungan (hipotik) dan hak tanggungan (credietverband).

Selanjutnya menurut beberapa kalangan di pemerintahan, perbankan maupun sarjana hukum yang menaruh minat terhadap masalah tanah sebagai jaminan hutang, berpendapat bahwa sesudah terjadi perombakan mengenai hukum tanah oleh UUPA, yang oleh beberapa orang/pihak dinilai sebagai perombakan yang bersifat fundamental. Lembaga hipotik dan credietverband masih tetap ada dan dipergunakan sebagai pengganti dan hak tanggungan yang dimaksud dalam pasal 51 UUPA tersebut diatas terbentuk (Boedi Harsono, 2005 : 79).

Sejalan dengan itu oleh Mariam Darus Badrulzaman, dijelaskan bahwa

hingga saat ini pembentuk undang-undang belum berhasil menciptakan apa

yang diinginkan Pasal 51 UUPA tersebut. Sebagai konsekuensinya, maka

terhadap hak tanggungan dipergunakan ketentuan-ketentuan hipotik dan

credietverband. Perubahan penting yang perlu dipahami pemakaiannya itu

bukan lembaga hipotik dan credierverband, akan tetapi hanya ketentuan-

ketentuannya saja. Untuk mencegah kesalahpahaman, Lembaga Jaminan Hak

Atas Tanah menurut UUPA dimaksudkan menunjuk (mempergunakan)

(8)

ketentuan-ketentuan hipotik, sebaliknya dibelakang istilah tanggungan itu dicantumkan tanda kurun kata-kata hipotik sebagai berikut hak tanggungan (hipotik). Jika dipergunakan ketentuan-ketentuan credietverband, maka dibelakang kata-kata hak tanggungan dalam tanda kurung, dicantumkan kata credietverband sebagai berikut Hak Tanggungan (credietverband) (Mariam Darus Badrulzaman, 2005: h1m. 5-6).

Hal tersebut secara tegas disebutkan dalam UUPA, keputusan dengan mencabut butir 4, bahwa mencabut Buku 11 KUH Perdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuanketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini.

Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa Lembaga Hak Tanggungan belum ada dan masih akan diadakan mefiflui peraturan tersendiri yang berbentuk undang-undang sesuai mnanat Pasal 51 UUPA, maka selama belum ada peraturan khusus itu, apa yang dmamakan bak tanggungan dinyatakan belum ada atau dianggap belum pernah ada.

Menurut R, Subekti, bahwa Pasal 51 UUPA itu dijanjikan akan diadakan hak tanggungan yang akan diatur dengan undang-undang, sedangkan Pasal 57 UUPA sebagai hukum transisi mempertahankan ketentuan-ketentuan tentang hipotik dan credietverband. Jadi hak tanggungan itu masih harus dan akan diadakan. Selanjutnya dikatakan bahwa mengenai cara peleburan kedua perangkat peraturan (hipotik dan credietverband) menjadi satu lembaga baru bernama “Hak Tanggungan” itu pada pokoknya dan dalam garis besarnya mengambil apa yang sekarang dinamakan “hipotik” yang memang dari dulu dianggap lebih tinggi (superior) dari credietverband. Jadi dalam garis besarnya diambil alih ketentuan-ketentuan yang mengenai hipotik. Apa yang disitu dianggap kurang baik bisa dihapus. (R. Subekti, 2005 : 39-40).

Dari uraian diatas dapat terlihat bahwa dengan berlakunya UUPA, terutama ketentuan Pasal 25, 33 dan 39 maupun Pasal 51 UUPA belum dapat menyelesaikan permasalahan hak tanggungan karena masih ada dualisme hukum dalam bidang Lembaga Jaminan Hak Atas Tanah yang sebelumnya dikenal dengan nama lembaga hipotik (untuk hak eigendom, erpacht dan opstal), sedangkan credietverband untuk tanah-tanah hak adat.

Persoalan yang muncul akibat terjadinya dualisme hukum dalam penggunaan Lembaga Hak Jaminan setelah berlakunya UUPA, adalah janji Pasal 51 LJUPA untuk membentuk suatu undang-undang hak tanggungan yang baru dengan melebur Lembaga Hipotik yang berkaitan dengan hak atas tanah dan credietverband menjadi Lembaga Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Hak Atas Tanah.

Perjuangan yang cukup melelahkan terwujud setelah kurang lebih selama 36 tahun, “janji” Pasal 51 UUPA itu terjawab dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah yang diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 42 tanggal 9 April 1996 (UUHT).

Dengan lahirnya UUHT ini membawa “angin baru” yang memberikan

kesejukan bagi pelaku ekonomi atau pengusaha ekonomi lemah dalam

(9)

mengembangkan usahanya. Hat tersebut dapat dibenarkan karena. dalarn UUHT diatur beberapa, hal yang tidak dikenal dalam peraturan sebelumnya (hipotik dan credietverband). Contohnya: obyek hak tanggungan memasukkan hak pakai atas tanah negara dan tanah milik adat, tidak membedakan subyek hak tanggungan maupun dalam proses pemberiannya cukup “supel” dan sederhana.

Dengan berlakunya UUHT maka terciptalah unifikasi hukum dalam bidang lembaga jaminan yaitu meniadakan ketentuan-ketentuan tentang lembaga hipotik yang berkaitan dengan hak atas tanah dalam Buku II KUH Perdata dan ketentuan tentang credietverband dalam Staatsblad 1908 No. 542.

Pernyataan tersebut secara tegas dijelaskan pada ketentuan Pasal 29 UUHT yang menyatakan bahwa: dengan berlakunya undang-undang ini, ketentuan mengenai credietverband sebagaimana tersebut dalam Stawsbiad 1908-542 jo Staaablad 1909-586 clan Staatsblad 1909-584 sebagaimana yang telah diubah dengan Staaablad 1937-190jo Staaablad 1937-191 clan ketentuan mengenai hipotik sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dengan dicabutnya beberapa ketentuan mengenai Lembaga Hak Jaminan yang berkaitan dengan Hak Atas Tanah menimbulkan pertanyaan apa alasan dicabutnya aturan-aturan lama peninggalan pemerintah jajahan Belanda tersebut?. Pertanyaan tersebut secara tegas dicantumkan dalam konsideran bagian menimbang butir c dan d; bahwa dengan berlakunya UUPA dalam Pasal 57 memberikan kelonggaran untuk berlaku sementara ketentuan lama sampai dengan terbentuknya undang-undang hak tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan ekonomi Indonesia.

Diundangkannya undang-undang tentang hak tanggungan, yang sering disingkat LJUHT ini memberikan manfaat yang sangat berharga bagi terciptanya unifikasi Hukum Tanah Nasional, khususnya tentang hak jaminan atas tanah.

Berdasarkan uraian tentang landasan hukum dan sejarah perkembangan hak tanggungan, dapat diketahui bahwa eksistensi UUHT mempunyai tujuan untuk memberikan landasan yuridis yang kuat yaitu menegaskan dan meluruskan pandangan yang kurang tepat pada waktu lalu misalnya menegaskan obyek hak tanggungan; kedudukan surat kuasa, membebankan hak tanggungan yang substansi dan syaratnya berbeda; batas waktu pemberian hak tanggungan dari PPAT ke Badan Pertanahan Nasional. hanya satu minggu; Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan legalitas dalam hal eksekutorial dan sebagainya.

C. Obyek dan Subyek Hak Tanggungan

Dalam UUHT, pengaturan mengenai obyek dan subyek hak tanggungan

menunjukkan perubahan yang cukup berarti sesuai persyaratan yang dianjurkan

oleh undang-undang tersebut. Untuk pemberian perbandingan antara ketentuan

(10)

lama dan baru tentang obyek dan subyek hak tanggungan, maka sebaiknya bagian-bagian tersebut diuraikan satu demi satu.

Pada dasarnya yang menjadi obyek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang telah memenuhi dua syarat legalitas yakni benda yang berada pada hak atas tanah wajib didaftarkan untuk memenuhi syarat publisitas artinya harus ada tanda bukti hak kepemilikan yang berisi status hak/jenis hak pemegang hak, letak tanah, luas tanah dan keterangan mengenai keadaan fisik tanah. Syarat kedua adalah benda atau hak tersebut menurut sifat bisa/ dapat dipindahtangan untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran/ pelunasan utang yang telah dijaminkan.

Pembicaraan mengenai obyek hak tanggungan pada masa lalu menimbulkan diskriminasi, sebab obyek hak tanggungan atas tanah dibebankan antara hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Barat (KUH Perdata/ BW) yakni hak eigendom, hak erfpacht dan hak opstal dan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari hak-hak lainnya yang dapat dijaminkan dengan lembaga hipotik dan ada hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat yang dijaminkan lembaga credietverband.

Dengan demikian UUPA hanya mengatur kembali obyek hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Buku 11 KUH Perdata karena ketiga hak itulah yang memenuhi syarat didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahkantangankan dan hak-hak lain yang disebutkan dalam Pasal 16 UUPA tidak memenuhi syarat tersebut.

Namun dalam perkembangannya, hak pakai atas tanah negara tertentu menurut Peraturan Menteri Agraria Nomor I Tahun 1966 (Permenag. No. 1 Thn.1966) wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat hak pakai atas tanah negara tertentu yang memenuhi syarat tersebut dapat dijadikan obyek hak tanggungan.

Dengan tegas dalam Pasal 4 ayat (2) dikatakan bahwa selain hak-hak atas tanah sebagaimana, dimaksud pada ayat (1) yakni hak milik, HGU dan HGB, hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan serta dapat juga dibebani hak tanggungan.

Walaupun dengan berlakunya UUHT yang memasukkan hak pakai atas tanah negara tertentu sebagai obyek hak tanggungan tetapi dalam pelaksanaan legalitasnya wajib disertai dengan syarat yang menyatakan bahwa hak pakai wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.

Dengan syarat hak pakai wajib didaftarkan, maka hak pakai atas tanah negara yang diberikan pada instansi pemerintah, badan keagamaan dan sosial serta perwakilan negara asing yang tidak dibatasi jangka waktunya dan diberikan selama tanahnya digunakan untuk keperluan tertentu walaupun wajib didaftarkan atau sudah didaftarkan, tetapi menurut sifatnya tidak dapat dipindahtangankan karena bukan merupakan obyek hak tanggungan.

Sedangkan hak pakai atas, tanah negara yang diberikan kepada perorangan dan

badan-badan hukum perdata, jika telah memenuhi persyaratan hak tanggungan

(11)

seperti pendaftaran maka hak pakai tersebut dapat dijadikan obyek hak tanggungan.

Disamping penjelasan tentang hak pakai atas status tanah negara, menurut ketentuan Pasal 4 ayat 3 UUHT dijelaskan juga penjelasan tentang hak pakai atas status tanah hak milik yang dapat dijadikan obyek hak tanggungan melalui pengaturan lebih lanjut pada peraturan pemerintah. Apabila telah memenuhi syarat didaftarkan dan dipindahtangankan maka hak pakai atas status tanah hak milik dapat digunakan sebagai obyek hak tanggungan. Sedangkan bagi status tanah hak milik yang sudah diwakafkan dan yang digunakan untuk keperluan tempat peribadatan dan keperluan suci lainnya menurut UUHT walaupun telah memenuhi dua syarat tersebut, karena memiliki kekhususan tersendiri dan dilihat dari tujuan pemanfaatannya tidak dapat dijadikan obyek hak tanggungan.

Selain itu perlu diketahui bahwa penunjukan hak pakai atas status tanah negara sebagai obyek hak tanggungan karena telah memenuhi syarat, didasari pula pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah yang mempunyai tanah dengan status hak pakai dan belum mampu meningkatkan menjadi HGB atau Hak Milik. Dengan adanya peluang ini bagi pemegang Hak Pakai atas status tanah negara yang bersifat keperdataan memiliki kesempatan untuk dapat meminjamkan uang dengan Hak Pakai atas tanahnya sebagai jaminan utang piutang untuk mengembangkan dan memajukan usahanya.

Disamping itu suatu keistimewaan yang diatur dalam UUHT yakni ketentuan Pasal 10 ayat (3) yang menjelaskan bahwa: apabila obyek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dan konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.

Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa hak lama adalah hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi konversinya belum selesai dilaksanakan. Mengingat tanah dengan hak demikian saat ini masih banyak, maka pembebanan dimungkinkan asalkan pemberiannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah. Kemungkinan ini akan memberikan kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertifikat untuk memperoleh kredit. Disamping itu kemungkinan diatas dimaksud untuk mendorong pensertifikatan hak atas tanah pada umumnya.

Dengan demikian hak milik adat atas tanah dengan berlakunya UUHT diakui sebagai salah satu obyek hak tanggungan, sebagai akibat peleburan hipotik dan credietverband sebagai hak tanggungan. Hal tersebut dibenarkan karena Lembaga Jaminan lama yakni hipotik dikhususkan bagi tanah-tanah bersertifikat (hak barat), sedangkan credietverband dikhususkan bagi masyarakat pribumi yang tanahnya belum bersertifikat.

Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa obyek hak tanggungan harus

memenuhi dua syarat pokok, yakni obyek yang dijaminkan wajib didaftarkan

dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Lain halnya dengan apa yang

(12)

diajukan oleh Boedi Harsono, sebagaimana dijelaskan bahwa untuk dapat dijadikan jaminan, obyek tanah tersebut harus memenuhi 4 syarat, yaitu :

1). Dapat dinilai dengan uang.

2). Termasuk hak yang didaftarkan pada daftar umum.

3). Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan.

4). Memerlukan penunjukan oleh undang-undang.

Sehubungan dengan adanya syarat-syarat tersebut diatas, maka menurut ketentuan Pasal 4 maupun Pasal 27 UUHT yang menentukan bahwa selain hak- hak atas tanah sebagai obyek hak tanggungan, benda-benda lain berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada dan akan ada ikut dijadikan jaminan atau obyek hak tanggungan.

Selanjutnya U-UHT ini berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun, termasuk yang didirikan diatas tanah hak pakai atas tanah negara. Dengan demikian satu- satunya lembaga jaminan atas tanah yang berlaku adalah hak tanggungan yang diatur dalam UUHT.

Sehubungan dengan itu ketentuan yang tercantum dalam Pasal 12 dan 13 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (UURS) yang menetapkan bahwa perjaminan Rumah Susun beserta tanah tempat bangunan itu berdiri dengan status hak: Hak Milik, HGB dan Hak Pakai atas status tanah negara seluruhnya sekarang tunduk pada UUHT.

Hal ini sangat penting untuk dipahami oleh semua pihak, karena menurut UURS bahwa apabila satuan rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun berdiri diatas tanah hak pakai atas tanah negara, maka dibebani dengan lembaga fiducia. Dengan adanya unifikasi hak tanggungan, maka ditunjuk hak pakai atas tanah negara sebagai obyek hak tanggungan dengan sendirinya penjaminan dengan fiducia tersebut tidak dapat berlaku lagi.

Menurut Maria S.W. Sumardjono, pembebanan atas rumah tanpa dikaitkan dengan hak atas tanah tetap dapat dilakukan dengan cara, fiducia, sedangkan pembebanan rumah beserta tanah yang hak atas tanahnya dimiliki oleh pihak yang sama dengan berlakunya UUHT dibebani dengan hak tanggungan. Jadi jaminan terhadap hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda yang merupakan satu. kesatuan dengan hak atas tanah, maka berlaku hak tanggungan, sebaliknya fiducia. dapat diberlakukan untuk penjaminan bukan tanah (Maria S.W. Sumardjono, 2005: 9-10).

Dengan demikian obyek hak tanggungan atas tanah dapat dibedakan dalam 3 (tiga) golongan antara lain: obyek hak tanggungan yang ditunjuk oleh UUPA (Pasal 25, 33 dan 39) selanjutnya disebutkan kembali dalam Pasal 4 ayat (1) LTUHT: Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU) dan HGB.

Obyek yang ditunjuk oleh UURS (Pasal 12 clan 13) clan disebutkan

kembali dalam Pasal 27 UUHT antara lain: Rumah Susun yang berdiri di atas

tanah dengan status Hak Milik, HGB dan Hak Pakai yang diberikan oleh

negara; Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang dibangun dan berdiri di atas

tanah dengan status Hak Milik clan HGB.

(13)

Obyek yang ditunjuk oleh UUHT adalah Hak Pakai atas status tanah negara tertentu yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan; hak milik adat keperdataan yang menurut ketentuan bisa didaftarkan, akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan (Pasal 10 ayat (3)).

Obyek hak tanggungan selain hak atas tanah, juga terhadap bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan milik pemegang status hak atas tanah yang diperjanjikan dalam akta pemberian hak tanggungan maupun benda milik orang lain yang terkait dengan status hak atas-tanah berdasarkan persetujuan pemiliknya (Pasal 10 ayat (4 dan 5)). Hal ini dikuatkan dengan asas pemisahan. horizontal yang dianut oleh Hukum Tanah Nasional, maka hak tanggungan dibebankan pada hak atas tanah, benda-benda (bangunan, tanaman, hasil karya berupa patung, relief, candi) yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan. Sesuai dengan perkembangan clan kebutuhan masyarakat, sebagaimana tampak dalam praktek sehari-hari, penerapan asas pemisahan horizontal mengalami perubahan.

Dengan demikian, maka pembebanan. hak tanggungan atas tanah dapat pula. meliputi benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah, baik yang ada diatas maupun dibawah permukaan tanah yang merupakan milik pemegang hak atas tanah dengan syarat harus diperjanjikan dalam akta pemberian hak tanggungan. Apabila. benda-benda tersebut milik orang lain harus disertai dengan persetujuan dan kesediaan bersama-sama dengan pemberi hak tanggungan (Ibid, 2005: 22).

Selanjutnya yang dimaksud dengan subyek (pemberi dan pemegang) hak tanggungan adalah perorangan maupun badan hukum perdata sebagai pemberi dan penerima atau pemegang hak tanggungan atas tanah yang dalam ketentuan lama disebut hipotik dan credietverband. Sebagai konsekuensi ketentuan lama yang membedakan antara obyek hak tanggungan antara lembaga hipotik dan credietverband, maka berlaku juga perbedaan hipotik dan credietverband, dimana sebagai pemberi hipotik adalah pemegang Sertifikat Hak Milik, HGB dan HGU, sedangkan pemberi credietverband adalah pemegang hak milik adat atas tanah. Sedangkan pemegang atau penerima hipotik tidak mengenal perbedaan siapa yang boleh sebagai pemegang hak hipotik, baik perorangan asli atau tidak asli Indonesia, badan hukum nasional atau asing. Hal tersebut berbeda dengan credietverband hanya boleh diberikan kepada kreditur yang ditunjukkan oleh Presiden.

Disamping itu ada pendapat yang mengatakan bahwa credietverband boleh diberikan kepada siapapun. Menurut Effendi Perangin, bahwa suara ini tentu datang dari bank-bank swasta. Namun berdarkan ketentuan Pasal 38 Staalsb1ad 1908-542 diatur bahwa credietverband hanya boleh diberikan kepada kreditur yang ditunjuk oleh Presiden (Effendi Perangin, 2004 : 89). Berkaitan dengan itu berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 1973, bahwa credietverband hanya dapat diberikan kepada beberapa bank milik negara yaitu:

Bank Pembangunan Indonesia; Bank Negara Indonesia 1946; Bank Dagang

(14)

Negara; Bank Bumi Daya; Bank Rakyat Indonesia; Bank Ekspor Impor Indonesia (data diperoleh sebelum merger beberapa bank).

Dalam UUPA maupun dalam UURS tidak menyebutkan apakah berlaku juga prinsip nasionalitas sebagaimana dianut oleh UUPA yaitu hanya warga negara saja yang boleh sebagai subjek hak atas tanah. Oleh karena kemungkinan tanah yang dijaminkan dengan hak tanggungan itu tidak bisa.

jatuh ke tangan orang asing, jika terjadi wanprestasi karena harus dilelang dan pada pelelangan tersebut hanya Warga Negara Indonesia (WNI) saja yang boleh sebagai peserta ataupun badan hukum Indonesia, sehingga tidaklah menjadi halangan bagi pemegang hipotik atau credietverband itu boleh saja orang asing ataupun badan hukum asing.

Hal tersebut disebabkan oleh UUPA sendiri menyebutkan siapa saja sebagai pemegang dan pemberi hak tanggungan maupun sebaliknya obyek hak tanggungan menurut UUPA seperti Hak Milik, HGU dan HGB sebagai warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia. Sedangkan hak pakai yang tidak ditunjuk oleh UUPA sebagai obyek hak tanggungan pemegang bisa warga negara Indonesia, badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia dan juga dibuka peluang bagi orang asing dan badan hukum asing yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia.

Dengan berlakunya UUHT tidak ada perbedaan antara pemberi dan pemegang atau subyek hak tanggungan. Pemegang hak tanggungan bisa diberikan kepada, orang asing yang berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia, hak dalam UUHT memasukan hak pakai sebagai obyek hak tanggungan.

Berkaitan dengan itu Maria S.W. Sumardjono, mengatakan bahwa kesempatan yang sama tentu dapat pula dipergunakan oleh Warga Negara Asing (WNA) yang menurut UUPA juga dapat menjadi subjek Hak Pakai.

Namun hal ini bukanlah tujuan pokok menunjukkan Hak Pakai sebagai subjek hak tanggungan. Bagi orang asing ada, persyaratan untuk digolongkan menjadi subjek Hak Pakai yang harus dipenuhi, demikian pula kalau WNA dapat mengajukan permohonan kredit dengan Hak Pakai atas status tanah negara sebagai jaminan, sudah tentu harus memenuhi rambu-rambu yang ditetapkan dalam peraturan perbankan yang antara lain menentukan bahwa orang asing tersebut harus sudah bertempat tinggal di Indonesia dalam jangka waktu tertentu, mempunyai usaha di Indonesia dan kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk pembangunan di wilayah negara Indonesia (Op. Cit, 2005:37).

Dalam Pasal 8 ayat (1) UUHT yang dimaksud dengan pemberi hak tanggungan adalah orang-perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap, obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal I butir 3 maka sinonim dari pemberi hak tanggungan adalah debitur sebagai pihak yang berhutang dalam suatu hubungan utang piutang tertentu.

Selanjutnya Pasal 9 UUHT menjelaskan bahwa pemegang hak tanggungan

adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak

(15)

yang berpiutang atau dengan kata lain disebut kreditur yaitu pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utang piutang.

Apabila dilihat dari peranan yang dilakukan oleh pembeli dan pemegang hak tanggungan cukup berarti, karena tanpa subyek hak tanggungan, maka apa yang disebut Lembaga Hak Tanggungan itu tidak pernah ada atau walaupun ada, akan tetapi salah satunya tidak memenuhi janjinya. Jadi diperlukan kecermatan dan ketelitian untuk menetapkan siapa sebagai pemberi hak tanggungan dan siapa sebagai pemegang hak tanggungan atau sebagai kreditur dan debiturnya, karena realisasi kredit menimbulkan resiko yang cukup besar dan dampak yang luas terhadap keberadaan negara dimata dunia.

Masalah keyakinan akan kemampuan dan kesanggupan bagi subyek hak tanggungan (debitur) secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (UU No. 7 Thn. 1992) sebagaimana telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU No. 10 Thn.1998, dijelaskan bahwa dalam memberi kredit Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kesanggupan dan kemampuan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang dipergunakan.

Bertitik tolak dari ketentuan tersebut di atas, maka dalam memberikan kejelasan dan gambaran bahwa kredit yang diberikan oleh pihak bank mengandung resiko yang cukup tinggi, sehingga dalam pelaksanaannya pihak bank (sebagai kreditur) harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.

Oleh sebab itu Ignatius Ridwan Widyadhanna, berpendapat bahwa untuk mengurangi resiko tersebut jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.

Untuk mempermudah keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur yang populernya disebut The Five Csof Credit, meliputi character (watak), capacity (kemampuan), capital (modal), collateral (agunan), dan condition (keadaan). Melihat beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan oleh kreditur terhadap debitur adalah jaminan atau agunan sebagai salah satu unsur penting dalam pemberian kredit, maka berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan utangnya.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kedudukan Sertifikat Hak Atas Tanah

Sebelum mengkaji peranan sertifikat hak atas tanah dalam proses

pemberian jaminan kredit yang menggunakan hak atas tanah sebagai jaminan

kredit atas jaminan utang piutang, terlebih dahulu kita mengkaji apa sebenarnya

sebuah Sertifikat Hak Atas Tanah dan peranannya dalam proses pembuktian

dan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang

terkait.

(16)

Dalam UUPA tidak disebutkan secara tegas dan jelas apa sebenarnya Sertifikat Hak Atas Tanah itu, akan tetapi secara gamblang disebutkan dalam pasal 19 ayat (2) UUPA bahwa pendaftaran tanah meliputi: (a) pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; (b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; (c) pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Dengan memperhatikan secara cermat ketentuan pasal 19 ayat (2) UUPA di atas, maka terlihat bahwa akibat hukum dari pendaftaran tanah itu akan dibuktikan dengan surat tanda bukti hak atas tanah, yang lazim disebut Sertifikat Hak Atas Tanah sebagai alat pembuktian yang kuat dan juga dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak tersebut maupun terhadap pihak ketiga.

Menurut Maria S.W. Sumardjono bahwa secara mudah Sertifikat dapat disebut sebagai surat tanda bukti yang kuat untuk seseorang terhadap tanah yang dihakimnya. Sedangkan istilah teknis yuridis yang dimaksud dengan Sertifikat adalah Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur yang dijahit menjadi satu dengan suatu kertas yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria RI.

Apabila dikaji pengertian Sertifikat sebagaimana disebutkan di atas, maka sebenarnya istilah ini merupakan kutipan dari rumusan Sertifikat Hak Atas Tanah yang telah diatur dalam pasal 13 ayat (3) PP No.10 Thn.1961, yakni salinan Buku Tanah dan Surat Ukur setelah dijahit menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut Sertifikat dan diberikan kepada yang berhak.

Secara terinci lagi apa yang diungkapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP No.24 Thn. 1997), pasal I butir 2 bahwa Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 19 ayat (2) huruf C UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

Ketentuan tersebut diperjelas lagi oleh Boedi Harsono, bahwa Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf C, UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam Buku Tanah yang bersangkutan. Sedangkan Buku Tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya. Selanjutnya dikatakan bahwa data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas, luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Sedangkan data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

Dengan demikian pengertian Sertifikat Hak Atas Tanah setelah berlakunya

PP No.24 Thn. 1997 lebih tegas dan diperluas obyek pengaturannya antara lain

hak atas tanah, hak pengelolaan tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun

(17)

dan hak tanggungan, yang sebelumnya menurut PP No. 10 Thn. 1961 hanya menyebutkan Sertifikat Hak Atas Tanah.

Selanjutnya dalam peraturan lama pangaturannya bersifat kaku dan rigid.

Sedangkan dalam peraturan baru bentuk Sertifikat Hak Atas Tanah itu besifat fleksibel dan tidak rigid, dimana hanya disebut tanda bukti hak untuk hak-hak atas tanah yang sudah dibukukan, sedangkan bentuknya sendiri tidak dirinci.

Dengan demikian di masa yang akan datang bentuk sertifikat tanah yang dewasa ini kita kenal berupa buku, nanti akan lebih sederhana berupa kartu kredit atau kartu dan/atau piagam penghargaan, yang secara teknis dimungkinkan akan dilakukan, namun secara yuridis masih memerlukan Sertifikat publik.

Selain itu dalam peraturan lama juga Sertifikat Hak Atas Tanah selalu dibanggakan atau dijulukkan sebagai suatu alat bukti yang dapat memberikan jaminan kepastian hukum, karena Sertifikat merupakan alat bukti yang bersifat mutlak. Dalam peraturan baru (PP No.24 Thn.1997) Sertifikat Hak Atas Tanah selain memberikan jaminan kepastian hukum juga memberikan perlindungan hukum kepada setiap pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah.

Hak tersebut secara tegas ditaur dalam pasal 32 ayat (2) bahwa apabila sebidang tanah sudah diterbitkan Sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya selama lebih dari 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya Sertifikat itu tidak dapat diajukan keberatan lagi kepada pemegang hak atas tanah dan Kepala Kantor Pertanahan maupun tidak mengajukan suatu gugatan kepada pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan Sertifikat tersebut.

Oleh sebab itu fungsi dan peranan Sertifikat Hak Atas Tanah dengan Sertifikat Hak Tanggungan pada dasarnya sangat berbeda, dimana Sertifikat Hak Atas Tanah berfungsi sebagai alat bukti yang kuat atas sebidang tanah baik secara yuridis maupun secara fisik. Sedangkan tersebut diberlakukan juga terhadap para debitur yang kedudukannya dalam perjanjian posisinya paling rendah ketimbang kreditur, sebab posisi peminjam uang pada lembaga keuangan atau lembaga lain selalu berada pada posisi yang paling rendah atau lemah. Jadi berbicara tentang kegiatan perkreditan modern selalu berkaitan hukum atau produk hukum yang mengatur perjanjian dan hubungan hukum utang piutang antara kreditur dan debitur, termasuk antisipasi kreditur terhadap debitur apabila debitur cidera janji (wanprestasi) dan tidak dapat memenuhi apa yang diperjanjikan.

Dalam pada itu hukum tidak saja hanya memperhatikan kepentingan

kreditur sebagai pihak yang memberi kredit, melainkan perlindungan hukum

juga diberikan kepada debitur secara seimbang yang dimulai tahap permulaan

pengajuan permohonan kredit sampai pada saat peluncuran kredit dan

pengawasan terhadap pemanfaatan dana. kredit pada proyek-proyek yang

tertera pada akad kredit atau perjanjian kredit. Hal tersebut wajib dilakukan oleh

seorang kreditur, sebab sesungguhnya dipandang dari sisi apapun debitur selalu

berada pada kedudukan atau posisi yang paling lemah atau rendah dalam

hubungannya dengan kreditur. Bahkan perlindungan hukum juga diberikan

kepada pihak ketiga yang kepentingannya bisa terpengaruh oleh hubungan

(18)

utang piutang antara kreditur dan debitur serta penyelesaiannya jika debitur cidera janji atau wanprestasi.

Perlindungan hukum juga diberikan kepada debitur terhadap kreditur yang selalu menahan Sertifikat Hak Atas Tanah bersamaan dengan Sertifikat Hak Tanggungan sebab hukum jaminan kita mengenal apa yang disebut peringkat-peringkat kreditur atau suatu obyek hak tanggungan dapat dibebani lebih dari satu obyek hak tanggungan guna menjamin pelunasan lebih-lebih dari satu utang selanjutnya lihat ketentuan pasal 5 dan penjelasan pasal 5 ayat (I - 3) UUHT.

Berdasarkan ketentuan UUHT maupun ketentuan UUPA, kedudukan Sertifikat Hak Atas Tanah merupakan alat pembuktian yang kuat, bagi sebidang tanah yang sudah terdaftar atas nama pemegang hak dan segala sesuatu yang ada di atas tanah tersebut. Dengan terbitnya sebuah Sertifikat Hak Atas Tanah dapat memberikan jaminan kepastian hukum baik terhadap pemegang hak sendiri maupun kepada pemerintah untuk melaksanakan kebijaksanaan pembangunannya serta para pihak yang melakukan transaksi jual beli tanah dan para kreditur yang ingin menggunakan tanah sebagai jaminan kredit.

Hal tersebut menimbulkan kontradiktif di kalangan masyarakat pengguna jasa baik untuk menjaminkan hak atas tanahnya guna pelunasan utang piutang kreditnya dalam menunjang pengembangan usaha. Kenyataan di lapangan menunjukkan aturan hukum menghendaki Sertifikat Hak Atas Tanah sebagai alat bukti adanya sebidang tanah dan apabila tanah tersebut digunakan sebagai jaminan kredit, maka pada saat pembuatan Akta Hak Tanggungan sampai dengan terbitnya Sertifikat Hak Tanggungan dengan sendiri Sertifikat Hak Atas Tanah wajib dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah. Namun kenyataan di lapangan lain, Sertifikat Hak Atas Tanah selalu ditahan bersamaan dengan Sertifikat Hak Tanggungan. Untuk membandingkan kedudukan Sertifikat Hak Atas Tanah dengan Sertifikat Hak Tanggungan pada uraian pokok bahasan berikut ini.

1. Analisis Terhadap Proses Pembebanan Hak Tanggungan

Pembebanan atau pemberian hak tanggungan merupakan kegiatan yang memberikan manfaat secara yuridis dan teknis kepada pemberi dan pemegang hak tanggungan maupun kepada pihak ketiga yang mempunyai keterkaitan langsung maupun tidak langsung dalam praktek perbankan.

Acara pemberian Hak Tanggungan setelah berlakunya UUPA dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap pemberian atau pembuatan Akta Hak Tanggungan dan tahap pendaftaran hak tanggungan. Menurut Boedi Harsono, bahwa pembebanan. hak tanggungan merupakan suatu proses yang terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap pemberiannya yang dilakukan dihadapan PPAT dan tahap pendaftarannya yang dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan (Boedi Harsono, 1997: 394).

Pandangan tersebut memperkuat apa. yang disebutkan. dalam butir 7,

penjelasan umum UUHT, bahwa proses pembebanan hak tanggungan

dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:

(19)

a. Tahap pemberian hak tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut PPAT yang didahului dengan perjanjian utang piutang yang dijamin;

b. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan yang merupakan saat lahirnya hak tanggungan yang dibebaninya.

Proses pembebanan hak tanggungan tersebut di atas merupakan suatu perbuatan hukum yang hanya boleh dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan khusus seperti pada tahap pembuatan akta hanya bisa dilakukan PPAT dan proses pendaftaran dilakukan oleh Kantor Pertanahan.

1. Pemberian hak tanggungan

Dalam ketentuan pasal 10 ayat (1) UUHT disebutkan pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.

Dari pertanyaan tersebut terlihat bahwa proses pemberian hak tanggungan sebenarnya terdiri dari tiga tahapan yaitu (1) tahap perjanjian utang piutang yang dilakukan kreditur dan debitur; (2) tahap pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dihadapan PPAT; dan (3) tahap pendaftaran hak tanggungan yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan kota atau kabupaten dimana letak obyek hak tanggungan.

Sehubungan dengan itu perbuatan hukum pemberian hak tanggungan hanya merupakan ikutan dari perjanjian lain, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang yang dijamin pelunasannya. Perjanjian tersebut dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau harus dengan akta autentik. Jadi perjanjian yang tertuang dalam akta pernberian hak tanggungan hanya merupakan perjanjian yang mengikuti perjanjian pokok yakni perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit. Selanjutnya dalam pasal 11 ayat (1) UUHT menegaskan dalam Akta Pernberian Hak Tanggungan wajib mencantumkan :

a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan.

b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf (a), dan diantara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya pula harus dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan Kantor PPAT tempat perbuatan. Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih.

c. Penunjukkan secara jelas atau utang atau utang-utang yang dijaminkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 dan pasal 10 ayat (1).

d. Nilai tanggungan

e. Uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan.

Selain itu, ada janji-janji dari debitur yang sifatnya fakultatif dan tidak

mempunyai pengaruh terhadap sahnya akta. Para pihak bebas menentukan

untuk menyebutkan atau tidak menyebutkan janji-janji tersebut dalam Akta

Pemberian Hak Tanggungan. Dengan dimuatnya janji-janji tersebut dalam Akta

Pemberian Hak Tanggungan yang kemudian didaftarkan pada Kantor

(20)

Pertanahan, dimana janji-janji tersebut juga mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.

Janji-janji yang dapat dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut secara jelas disebutkan pada pasal I I ayat (2) UUHT, antara lain:

a. Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk menyewakan obyek hak tanggungan dan/ atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.

b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek hak tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.

c. Janji yang memberikan kewenangan dari pemegang hak tanggungan untuk mengelola obyek hak tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek hak tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cedera janji.

d. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk menyelamatkan obyek hak tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkan hak yang menjadi obyek hak tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang.

e. Janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan apabila debitur cedera janji.

f. Janji yang diberikan oleh pemegang hak tanggungan pertama bahwa obyek hak tanggungan tidak akan dibersihkan dari hak tanggungan.

g. Janji bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek hak tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.

h. Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi hak tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek hak tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi hak tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum.

i. Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi hak tanggungan atau pelunasan piutangnya, jika obyek hak tanggungan diasuransikan.

j. Janji bahwa pemberi hak tanggungan akan mengosongkan obyek hak tanggungan pada waktu eksekusi hak tanggungan.

k. Janji yang dimaksud dalam pasal 14 ayat (4) UUHT.

Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki

kewenangan melakukan perbuatan hukum pemindahan atau peralihan hak atas

tanah pembebanan hak tanggungan dan perbuatan akta lainnya merupakan

kewenangan PPAT. Jika karena sesuatu sebab tidak dapat hadir sendiri, maka

(21)

ia wajib menunjuk orang lain (pihak) sebagai kuasanya, dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang disingkat SKMHT yang berupa akta autentik, karena harus dibuat dihadapan Notaris, atau PPAT diberi tugas untuk itu yang keberadaannya sampai pada wilayah kecamatan (distrik).

Dalam proses pembuatan SKMHT dan Akta Pemberian Hak Tanggungan harus ada keyakinan. pada Notaris atau PPAT bahwa pemberi hak tanggungan mempunyai tujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang dibebankan, walaupun kepastian mengenai dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian hak tanggungan itu didaftar. Persyaratan mengenai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan harus dimiliki oleh pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan, dan bukan pada saat pembuatan akta hak tanggungan, hal ini memungkinkan dibuatnya akta pemberian hak tanggungan itu pada saat obyek hak tanggungan dapat menjadi pemberi hak tanggungan dalam perspektif yuridis.

Analogi yuridis ini selain sesuai dengan ketentuan mengenai lahirnya hak tanggungan di atas, juga dimaksud untuk menampung kepentingan para pihak yang memerlukannya, yang kebanyakan adalah golongan ekonomi lemah, karena dengan ketentuan ini dimungkinkan untuk membuat akta hak tanggungan, walaupun obyek hak tanggungan belum bersertifikat atau sudah bersertifikat akan tetapi belum atas nama pemberi hak tanggungan. Dengan demikian pemegang hak lama yang belum selesai dilakukan konversi seperti tanah hak milik adat dapat menjadi hak milik menurut UUPA, dapat digunakan tanahnya sebagai jaminan piutang.

Dalam pada itu untuk menghindari penyalahgunaan analogi yuridis ini, maka pada waktu pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, harus sudah ada keyakinan atau kepercayaan pada PPAT, bahwa pemberi hak tanggungan akan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang dibebankan pada saat pendaftaran dilakukan.

Selanjutnya dalam proses pemberian hak tanggungan, pemberi hak tanggungan wajib hadir dihadapan PPAT atau Notaris maupun pada saat melakukan pendaftaran di Kantor Pertanahan, namun diberikan kelonggaran bahwa pada saat yang bersamaan ada kesibukan, maka bisa diberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakilinya. Pengalaman masa lalu SKMHT (hipotik dan crediet verbal) menimbulkan banyak persoalan, seperti surat kuasa sering kali digunakan untuk menunda pembebanan hak tanggungan dan dilaksanakan apabila ada gejala bahwa debitur akan cedera janji atau gejala wanprestasi.

Kekuatiran di atas telah terkabulkan dengan terbentuknya UUHT, terutama pada pasal 15 dan 16 ditegaskan fungsi SKMHT sebagai alat untuk mengatasi apabila pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir di hadapan PPAT dan juga memberikan batasan waktu penggunaan SKMHT yakni satu bulan untuk tanah bersertifikat dan tiga bulan untuk tanah belum bersertifikat.

Pada dasarnya pembebanan hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh

pemberi hak tanggungan, namun apabila benar-benar diperlukan karena

pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir dihadapan PPAT, maka sangat

diperlukan surat kuasa membebankan hak atas tanah itu. Sejalan dengan itu

(22)

surat kuasa harus diberikan secara langsung oleh pemberi hak tanggungan dan harus memenuhi berbagai persyaratan tertentu, sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat (1), (2), (3) dan (4) UUHT.

Dengan terpenuhinya persyaratan sebagaimana dimuat dalam peraturan baru di atas, akan memberikan dampak positif dalam rangka mempercepat proses pendaftaran hak-hak atas tanah. Selain pembuatan SKMHT dapat dilakukan oleh Notaris atau PPAT, terutama ditujukan kepada PPAT dengan alasan keberadaan PPAT dapat menjangkau seluruh wilayah kecamatan.

(distrik), dimana Camat (Kadistrik) sendiri ditunjuk oleh undang-undang sebagai PPAT.

2. Pendaftaran Hak Tanggungan

Kegiatan pendaftaran hak tanggungan merupakan syarat mutlak adanya hak tanggungan, karena dapat memberikan kedudukan yang diutamakan.

(preferensi) kreditur atau pemegang hak tanggungan. Sering juga diibaratkan bahwa pendaftaran hak tanggungan dengan terbitnya hak tanggungan merupakan saat dimana lahirnya hak tanggungan itu.

Dalam rangka memperoleh kepastian hukum, mengenai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang hak tanggungan tersebut, ditentukan bahwa akta pemberian hak tanggungan beserta surat-surat lain yang diperlukan bagi pendaftarannya, wajib dikirimkan oleh PPAT kepada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganannya dilakukan (pasal 13 ayat 1).

Pada waktu Akta Pemberian Hak Tanggungan dibuat oleh PPAT, hak tanggungan yang dimaksudkan itu belum lahir, sebab hak tanggungan itu baru lahir pada saat dilakukan pendaftaran pemberian hak tanggungan dalam daftar umum di Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota dimana obyek hak tanggungan itu terletak. Oleh karena itu kepastian mengenai saat didaftarnya hak tanggungan tersebut mempunyai makna tersendiri bagi kreditur, sebab saat itu bukan hanya menentukan hak preferent (hak diutamakan) seorang kreditur terhadap kreditur-kreditur lainnya, akan tetapi dapat juga menentukan peringkat-peringkat dalam hubungannya dengan kreditur-kreditur lain yang juga memegang hak tanggungan dengan obyek (hak atas tanah) yang sama sebagai jaminan.

Dalam memperoleh kepastian mengenai waktu pendaftarannya, maka dalam pasal 13 ayat (2) UUHT ditetapkan bahwa saat lahirnya hak tanggungan adalah pada tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan, yakni hari ke tujuh setelah penerimaan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran tersebut secara lengkap oleh Kantor Pertanahan dan jika hari ke tujuh jatuh pada hari libur, maka Buku Tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari ke tujuh dan hari kerja berikutnya.

Menurut Boedi Harsono, bahwa tanggal penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran hak tanggungan adalah jika obyek hak tanggungan berupa :

1. Hak milik atas satuan rumah susun dan hak-hak atas tanah yang sudah

terdaftar atas nama pemberi hak tanggungan: tanggal penerimaan

(23)

berkasnya PPAT yang dinyatakan pada lembar kedua surat pengantar PPAT, yang memuat tanda tangan petugas Kantor Pertanahan dan disampaikan kembali kepada PPAT yang bersangkutan.

2. Hak milik atas satuan rumah susun dan hak-hak atas tanah yang sudah terdaftar tetapi belum dicatat atas nama pemberi hak tanggungan:

tanggal pencatatan peralihan haknya pada Buku Tanah dan Sertifikat Haknya Atas Nama Pemberi Hak Tanggungan.

3. Hak atas tanah yang memerlukan pemisahan atau pemecahan hak atas tanah induk yang sudah di daftar dan pendaftaran haknya atas nama pemberi hak tanggungan terlebih dahulu: tanggal selesainya pemisahan atau pemecahan hak tersebut dan dibuatkan Buku Tanah dan diterbitkan Sertifikat Haknya Atas Nama Pemberi Hak Tanggungan.

4. Hak milik bekas hak milik adat yang belum terdaftar: tanggal dibuatnya Buku Tanah dan diterbitkan Sertifikat Hak Milik yang bersangkutan Atas Nama Pemberi Hak Tanggungan.

Untuk mengakhiri konflik mengenai kapan lahirnya hak tanggungan, maka dapat dipertegas bahwa saat lahirnya hak tanggungan sesuai dengan penjelasan pasal 8 ayat (2) UUHT, adalah pada saat didaftarkannya hak tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan diharuskan ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan Buku Tanah Hak Tanggungan.

C. Peranan Sertifikat Hak Tanggungan Dalam Memberikan Jaminan Kepastian Hukum Bagi Kreditur

Sertifikat Hak Tanggungan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembebanan atau pemberian hak tanggungan, khususnya kegiatan pendaftaran hak tanggungan dilakukan setelah penandatanganan akta pemberian hak tanggungan yang dibuat oleh PPAT, dan dihadiri oleh para pihak maupun saksi-saksinya. Kemudian PPAT diwajibkan untuk mengirim warkah lain beserta persyaratan lainnya yang diperlukan untuk dilengkapi bersama permohonan pendaftaran. Hak tanggungan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan.

Selanjutnya pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan Buku Tanah Hak Tanggungan dan dengan mencatatnya dalam Buku Tanah Hak Atas Tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada Sertifikat Hak Atas Tanah yang bersangkutan Setelah proses pencatatan pada Sertifikat Hak Atas Tanah sesuai, maka menurut pasal 14 ayat (1) UUHT bahwa sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Peraturan perundang-undangan yang dimaksud disini antara lain: (1)

Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

Sertifikat, Hak Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan (2)

(24)

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan.

Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 pasal I ayat (2) disebutkan bahwa Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pasal 14 UUHT terdiri atas salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan yang dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/

Kotamadya setempat dan dijahit menjadi satu dalam sampul dokumen.

Suatu permasalahan pokok yang berkaitan dengan Sertifikat Hak Tanggungan yang seringkali terjadi dalam praktek pembebanan hak tanggungan adalah apa yang diatur dalam pasal 14 ayat (4) UUHT yang mengatakan bahwa Sertifikat Hak Atas Tanah yang telah dibubuhi dengan catatan pembebanan hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada pasal 13 ayat (3) UUHT, dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, sedangkan Sertifikat Hak Tanggungan diserahkan oleh Kantor Pertanahan kepada pemegang Hak Tanggungan (pasal 14 ayat (5) UUPA).

Namun pengembalian hak atas tanah kepada pemegang haknya, terganjal lagi dengan apa yang disebutkan pada awal kalimat pasal 14 ayat (4) UUHT, bahwa kecuali apabila diperjanjikan lain, maka Sertifikat Atas Tanah dikernbalikan kepada pemegang haknya. Oleh sebab itu koordinator berpegang pada aturan tersebut sehingga dapat memperjanjikan lain dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yakni agar Sertifikat Atas Tanah tersebut diserahkan kepada koordinator, misalnya Sertifikat HGB Nomor 5 10 di Kabupaten Teluk Bintuni, atas nama Andi beserta bangunan diatasnya oleh kreditur (BPD) ditahan bersama Sertifikat Tanah.

Menurut nara sumber sebagai seorang informan kunci yang ditemui peneliti, menuturkan bahwa apabila sudah ada Sertifikat Hak Tanggungan, maka kedudukan dan peranan Sertifikat Hak Atas Tanah hanya ada sebagai pelengkap dan/atau untuk menjamin keamanan Bank pada saat eksekusi jaminan jika debitur cidera janji (wanprestasi). Selanjutnya dikatakan bahwa walaupun dasar hukumnya belum ada untuk menahan Sertifikat Hak Tanggungan bersamaan dengan Sertifikat Hak Atas Tanah yang dibebani dengan hak tanggungan akan tetapi penguatan Sertifikat Tanah merupakan suatu kebiasaan (praktek sehari-hari) yang dilakukan oleh seluruh perbankan dan hal ini sudah menjadi hukum kebiasaan, karena hukum kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum dalam ilmu hukum.

Pernyataan tersebut di atas merupakan kenyataan sehari-hari yang dihadapi oleh para kreditur, namun sangat disayangkan pernyataan bahwa dasar hukum yang dipakai adalah hukum kebiasaan, sebab menurut teori ilmu hukum kebiasaan tidak mempunyai kekuatan hukum yang dapat mengikat para pihak dan kebiasaan hanya sebagai sumber hukum dan bila dikonstatir ke produk hukum tertulis (Undang-Undang) baru bisa memiliki kekuatan hukum yang pasti dan mengikat.

Selanjutnya perbuatan kreditur selalu menahan Sertifikat Tanah walaupun

sudah mengetahui bahwa perbuatan tersebut merugikan orang banyak, terutama

masyarakat kecil yang ingin memajukan atau ingin mengembangkan usahanya.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut konsep tanggung jawab tanpa bersalah (legal liability without fault concept), perusahaan penerbangan (air carrier) bertanggung jawab mutlak terhadap kerugian yang diderita

Data primer untuk variabel bebas didapatkan melalui pengukuran tinggi dan berat badan untuk memperoleh nilai indeks masa tubuh masing-masing responden, sedangkan data primer

Sinyal beta diperoleh dengan melakukan transformasi sinyal sebanyak empat langkah untuk mendapatkan sinyal dengan frekuensi 17-32 Hz dengan melakukan konvolusi aproksimasi

Sedangkan faktor masyarakat menurut Musakkir (2013:83) bahwa lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan dapat menyebabkan kegagalan penegakan hukum. Misalnya

Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) adalah pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar

(3) Hak Cipta atas ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh Negara berdasarkan Pasal 10 ayat (2) yaitu hak cipta atas faktor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik

Hasil kegiatan pengabdian yang dilakukan di Sekolah Masyarakat Terminal (MASTER) di Kota Depok ini adalah bertambahnya wawasan para peserta didik yang berasal