Diterbitkan oleh: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni
PERANAN PERGURUAN TINGGI HUKUM DALAM
MENDORONG PROFESIONALISME PENEGAKAN HUKUM
Roberth Kurniawan Ruslak Hammar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni E-mail: [email protected] ABSTRAKDalam penegakan hukum dibutuhkan aparatur yang memiliki kemampuan, integritas dan pengalaman agar dalam menjalankan profesinya, tetap berada dalam koridor hukum, etika dan moral. Kapasitas, kompetensi dan karakter penegak hukum yang beretika dan bermoral tersebut seyogyanya secara dini dibina, dibentuk, ditanamkan dalam pikiran, hati nuraninya sejak masih dibangku kuliah. Inilah peran perguruan tinggi hukum dalam membentuk karakter yang beretika dan bermoral dalam perangkat kurikulumnya, baik dalam bentuk mata kuliah mandiri atau nilai-nilai etika dan moral tersebut tersebar dalam materi mata kuliah yang relevan. Demikian juga dalam berbagai pelatihan ketrampilan baik kokurikuler maupun ekstrakurikuler, serta berbagai kebijakan pimpinan, pergaulan di kampus senantiasa diwarnai oleh etika, moral dan agama dalam proses belajar-mengajar, sehingga sarjana hukum yang diproduksinya memiliki karakter yang beretika dan moral dan diharapkan lulusan tersebut mampu dan kuat menahan kuatnya pengaruh negatif dalam profesinya.
Kata kunci: Perguruan Tinggi, Penegakan Hukum
I. PENDAHULUAN
Indonesia negara Hukum, maka hukumlah yang jadi panglima. Hal ini bermakna semua orang baik manusia,badan hukum dan semua lembaga negara, serta masyarakat wajib taat pada hukum. Untuk mempertahankan eksistensi hukum sebagai panglima dibutuhkan aparat penegak hukum yang bertindak untuk dan atas nama negara mempertahankan norma hukum yang mengatur perilaku manusia yang bermuara pada ketertiban dan ketentraman hidup. Kondisi ideal kehidupan manusia sesuai norma-norma hukum itu tidak dapat terealisasi secara paripurna akibat berbagai interaksi manusia guna memenuhi kebutuhan dan mempertahankan hidupnya. Namun sebaliknya atas nama kebutuhan dan alasan lainnya maka manusia saling memangsa.
Dalam rangka pengendalian perilaku liar dan tak beradab tersebut dibutuhkan penegakan hukum yang benar berdasarkan norma hukum. Namun realitas menunjukkan bahwa para penegak hukum yakni polisi, jaksa, hakim, pengacara dalam menjalankan tugas penegakan hukum belum optimal bahkan cenderung menyimpang dari norma-norma yang dijadikan landasan dan legitimasi dalam menjalankan tugas mulia penegakan hukum.
Fakta menunjukkan bahwa ada oknum hakim, jaksa dan pengacara tertangkap tangan. Misalnya panitera dan hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu (Kompas com 7 September 2917), Ketua Pengadilan Tinggi Manado (kompas.com 7 Oktober 2017), Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat (tribunsnews, senin 26September 2016), Kajari Pamekasan (detik news 2 Agustus 2017), oknum polisi Palembang (www.mediaindonesia.com 5 Juli 2017); Panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengacara sebagai Tersangka (https: //m.detik.com 21 Agustus 2017); Empat polisi tertangkap tangan lakukan pungli di jalan Trans Sulawesi (regional compas com 14 Oktober 2016); tiga polisi tertangkap tangan terima pungli di SIM keliling Jakarta (news.liputan 6.com, 13 Oktober 2016), Oknum polisi tertangkap tangan sebarkan selebaran kampanye hitam (republik.co.id 15 Februari 2017); Komisi Yudisial memantau kasus suap panitera dan hakim pengadilan Jakarta utara dalam perkara pencabulan yang (koran Kompas 21 Januari 2018).
Para penegakan hukum terutama jaksa, hakim, pengacara dan polisi telah diasah kapasitas profesionalitasnya dan kompetensinya di Perguruan Tinggi ketika mengenyam pendidikan sarjana hukum. Oleh karena itu Perguruan Tinggi Hukum secara moral ikut bertanggung jawab atas keterpurukan dunia penegakan hukum, yang mencoreng perikehidupan negara hukum. Untuk itu masalah dalam tulisan ini diformulasikan sebagai berikut: bagaimana peranan perguruan tinggi hukum dalam mendorong profesionalitas penegakan hukum di negara hukum Indonesia. Masalah dibagi dalam dua sub masalah yaitu: (1) Norma, Moralitas Profesi dan profesionalisme Penegakan Hukum. (2) Peranan Perguruan Tinggi Hukum dalam mendorong profesionalisme penegakan hukum.
II. KONSEPSI PENEGAKAN HUKUM A. Teori Penegakan Hukum
Penegakan hukum (law enforcement, rechtshandhaving) adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan (upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Konsepsi penegakan hukum, lazimnya merujuk pada ajaran Lawrence Meir Friedman yakni keberhasilan penegakan hukum bermuara pada tiga unsur sistem hukum yaitu struktur (aparat penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan dan pengadilan), substance (perundang-undangan) dan legal
culture (hukum yang hidup dalam masyarakat).
Ada lima faktor menurut Soerjono Soekanto yang berpengaruh terhadap penegakan hukum dan merupakan tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum (Musakkir, 2013:80-81) adalah:
1. Faktor hukumnya sendiri, terutama undang-undang.
2. Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya menurut Musakkir (2013:81) sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum itu dibuat. Lebih lanjut dinyatakan bahwa faktor undang-undang disebabkan tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang dan ketidakjelasan arti kata-kata dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran dan penerapannya (Musakkir, 2013:82).
Menurut Surjono Sukanto, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penegakan hukum, berasal dari dirinya sendiri atau lingkungannya, (Musakkir, 2013:82) sebagai berikut:
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tiunggi.
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi.
4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materil.
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. Achmad Ali (1988:175) mengemukakan bahwa latar belakang sosial dari mana hakim itu berasal, pendidikan, etnis, keadaan lingkungan disaat menjatuhkan putusan berpengaruh pada putusan hakim. Sudikno Mertokusumo (1984:38) mengemukakan bahwa faktor sarana berpengaruh pada penegakan hukum yakni asas peradilan cepat. Sedangkan faktor masyarakat menurut Musakkir (2013:83) bahwa lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan dapat menyebabkan kegagalan penegakan hukum. Misalnya pembuat undang-undang mengeluarkan peraturan yang mewajibkan rakyat untuk melakukan sesuatu, seperti untuk menggunakan jenis pupuk tertentu pada tanamannya. Ternyata perintah tersebut dalam kenyataan mendapat perlawanan keras dari rakyat, maka dalam situasi yang demikian, yang akan dilakukan oleh penegak hukum tergantung dari reaksi yang diberikannya terhadap perlawanan tersebut saat itu. Lebih lanjut Musakkir 2013:84) mengemukakan bahwa pengaruh terhadap penegakan hukum berasal dari kebudayaan atau niali-nilai yang dianut dalam masyarakat, jikia peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan atau ditegakan bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam mayarakat, maka peraturan perundangan tersebut tidak dapat berlaku secara efektif.
Wayne La Favre mengemukakan bahwa penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Berdasarkan pendapat Roscoe Pound, maka
LaFavre menyatakan bahwa pada hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (Soekanto, 2016:7). Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpangsiur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup. Oleh karena itu penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undang, dan pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Pokok penegakan hukum ter letak pada faktor-faktor mempengaruhinya yakni substansi undang-undang, Penegak hukum (pihak yang membentuk dan yang menerapkan hukum), sarana atau fasilitas, faktor masyarakat dan kebudayaan.
B. Etika dalam penegakan Hukum
Secara etimologis (asal kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang artinya watak kesusilaan atau adat. Ethos juga bermakna tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, akhlak, perasaan, sikap cara berpikir. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa Latin, mos yang jamaknya mores, yang juga berarti adat atau cara hidup. Meskipun kata etika dan moral memiliki kesamaan arti, dalam pemakaian sehari-hari dua kata ini digunakan secara berbeda. Moral atau moralitas digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada. Etika sering kali disebut sebagai filsafat moral. (Zubair, 1987: 13; Banasuru, 2014:126; Rapar, 1995:2). Supriyanto (2013:195) menyatakan bahwa fungsi etika yang berisi kumpulan aturan dan kode moral digunakan sebagai pedoman yang mengarahkan secara konrit tentang bagaimana manusia harus bertingkah laku, manusia tidak dapat hidup tanpa pedoman.
Dalam penegakan hukum, etika dan moral menjadi landasan bagi penegakan hukum. Etika dan moral memiliki peran menjamin hak-hak asasi manusia, agar tidak menyimpang baik prosedur maupun substansi dalam penegakan hukum. Hal ini disebabkan karena etika dan moral menjadi landasan kehidupan masyarakat, dan ukuran kebaikan dan keburukan itulah yang digunakan oleh masyarakat untuk menilai sikap, tindak dan perilaku para penegak hukum. Rahman dan Qamar (2014:128) mengemukakan bahwa etika diperlukan karena:
1. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pluralis, juga dalam bidang moral, sehingga terjadi kebingungan mengikuti moralitas yang mana.
2. Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur kebutuhan dan nilai masyarakat yang akibatnya menantang pandangan-pandangan moral tradisional. 3. Adanya berbagai ideologi yang menawarkan diri sebagai penuntun hidup yang masing-masing dengan ajarannya sendiri mengajarkan bagaimana manusia harus hidup.
4. Etika juga diperlukan oleh kaum agama yang disatu pihak diperlukan untuk menemukan dasar kemantapan dalam iman kepercayaan mereka, di lain pihak
mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah.
Ada tiga ciri kepribadian moral menurut Frans Magnis Suseno dkk (Sumaryono, 1995:165-166) yang seharusnya disandang oleh penegak hukum yakni:
1. Berani berbuat dengan tekad untuk memenuhi tuntutan profesi.
2. Sadar akan kewajiban yang harus dipenuhi selama menjalankan tugas profesionalnya.
3. Memiliki idealisme sebagai perwujudan makna mission statement masing-masing organisasi profesionalnya.
III. PEMBAHASAN
A. Norma, Moralitas Profesi dan profesionalisme Penegakan Hukum 1. Norma dalam Penegakan Hukum
Norma yang lazim disebut juga dengan penamaan kaedah mengandung makna ukuran baik dan buruk. Ilmu hukum membagi norma secara umum dalam empat jenis yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma hukum. Ketiga norma yakni norma agama, kesopanan dan kesusilaan walaupun hukuman atas pelanggaran norma tersebut tidak secara nyata dirasakan oleh sipelanggar norma namun tetap menjadi dasar etik dan mewarnai kepatuhan pelaksanaan norma hukum. Pelaksanaan norma hukum terasa nyata karena ada alat-alat negara yang berkewajiban mempertahankannya. Ketika para penegak hukum menjalankan tugas penegakan hukum ada norma yang dijadikan pedomana dan dasar moral. Notohamidjojo mengemukakan bahwa: ada empat norma yang penting dalam penegakan hukum yaitu Kemanusiaan, Keadilan, Kepatutan, Kejujuran (Sumaryono, 1995:115).
Norma kemanusiaan bermakna bahwa dalam penegakan hukum, manusia ditempatkan pada porsi yang sesungguhnya sebagai manusia yang sejak lahir dikaruniakan hak-hak dasar sebagai hak asasi manusia. Hak-hak seperti hak untuk hidup, hak untuk diperlakukan adil, hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, dan lain-lain sebagainya, yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha kuasa, dan bukan diberikan oleh otoritas manapun. Untuk hak-hak tersebut tidak dapat diambil, dicaplok, dan dimusnahkan oleh seseorang atau lembaga atas nama hukum atau atas nama negara. Sumaryono (1995:120) menyatakan bahwa dalam penegakan hukum manusia harus dimanusiakan artinya manusia harus dihormati sebagai pribadi sekaligus mahkluk sosial (mahkluk monodualis), yang tetap dijaga dan dihargai harkat dan martabat sebagai manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Hak-hak asasi manusia tersebut telah tersurat dalam dokumen hukum yang menjadi dasar hukum nasional maupun internasional yakni: Dalam Pembukaan UUD 1945 alinia pertama: bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa; Undang-Undang dasar Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2); Bill of Rights (Virginia) 1776;
Declaration of Independent (United States of America)1776; Decleration des droits de L’homme et du Citoyen, 1789; Universal Declaration of Human Rights. Norma Keadilan, keadilan merupakan inti dari hukum dan tujuan hukum, banyak pakar dan masyarakat pada umumnya menggunakan keadilan sebagai parameter untuk semua persolan hukum, persolan keberpihakan, persoalan pembangunan dan sosial lainnya. Keadilan sangat sentral dan strategis sehingga banyak pakar berpendapat bahwa tujuan hukum itu adalah keadilan, atau keadilan yang memberikan manfaat dan kepastian hukum., Ade Saptomo juga berpendapat bahwa sejatinya hukum itu adalah keadilan. Lalu apa sebenarnya keadilan itu??.
Keadilan menurut Thomas Aquinas adalah: kebiasaan di mana orang satu sama lain saling memberikan apa yang menjadi haknya didasarkan atas kehendak yang bersifat tetap dan kekal. Oleh karena itu tindakan yang adil atau pelaksanaan keadilan itu seharusnya didahului oleh tindakan lainnya yang dengan tegas menunjukkan hak seseorang untuk melakukannya. Hak dan keadilan itu mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Adanya hak mendahului adanya keadilan. Hak yang dimiliki orang itu sifatnya melekat pada kodrat manusia sendiri, jadi bukan semata-mata berasal dari "luar diri" manusia. Meskipun demikian realisasi hak tersebut dapat terwujud dalam berbagai macam bentuk, Dan satu sisi, hak merupakan sesuatu yang seharusnya dimiliki sebagai akibat adanya perjanjian, kontrak, janji, keputusan-keputusan hukum, dsb. Di sisi lain, hak juga dapat berarti sesuatu yang seharusnya dimiliki atau melekat pada diri seseorang atas dasar kodratnya. Hak dalam arti yang kedua inilah yang sering disebut dengan istilah "ius naturale" atau "hukum kodrat". Dalam hal ini Thomas Aquinas menekankan bahwa: segala sesuatu yang bertentangan dengan hak kodrat, tidak pernah dapat dianggap adil. Oleh karenanya tidak dapat merumuskan dasar sebuah hak maupun ketaatan yudisial, jika dalam rumusan itu tidak disebutkan konsep tentang manusia, serta kodrat manusia (Sumaryono, 1995:122).
Asas kepatutan dapat Norma yang ketiga adalah norma Kepatutan. Kepatutan mengandung makna yang menurut Sumaryono (1995:30) secara tegas tidak dapat dibedakan satu sama lainnya. Pengertian tentang equity dalam kaitannya dengan pengertian kemampuan yustifikatoris pada dasarnya merupakan sebuah koreksi terhadap keadilan legal. Penerapannya secara praktis biasanya berupa nilai atas berbagai macam kasus tertentu yang bukan merupakan pokok bahasan putusan hakim yang didasarkan atas keberadaan sesuatu hukum tertentu. Segala bentuk hukum pada dasarnya merupakan generalisasi universal, yang keberlakukannya tidak mengenal pengecualian perkara. Bila ternyata orang sampai pada kasus istimewa, barulah orang kemudian menengok pada makna
equity atau apa yang patut atau apa yang layak. (Sahakin W.S dalam Suharyono
1995:130).
Putusan Arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 pada perkara Lindenbaum vs Cohen. Pada tingkat kasasi Hoge Raad menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum bukan hanya melanggar Undang-Undang yang tertulis seperti ditafsirkan secara gramatikal, tetapi lebih luas dari itu. Perbuatan melawan hukum hukum ada pada setiap tindakan:
1. Yang melanggar hak orang lain
2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau 3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden), atau 4. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam
masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
Perbuatan yang diklasifikasikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan adalah perbuatan merugikan orang lain, tanpa kepentingan yang layak, perbuatan yang berbahaya, dan tidak bermanfaat yang dalam kondisi normal seyogyanya diperhatikan.
Kejujuran berhubungan dengan kebenaran. Setiap penegak hukum berkewajiban menghindari sikap perilaku dan perbuatan curang berkaitan dengan penanganan perkara. Kejujuran dalam bahasa Yunani memiliki kemiripan dengan keadilan sebagaimana dalam istilah-istilah antara lain
dikaiosyne, epieikes, isos, phron dan sophrosyne. Aristoteles dalam bukunya
Ethica Nicomachea menjelaskan bahwa dikaiosyne adalah keadilan yang identik
dengan istilah keugaharian, kejujuran (honesty), yaitu kebajikan yang mengatur semua kehendak yang jujur yang terdapat di dalam pergaulan masyarakat, terutama dalam hubungan antar-individu, bahkan juga sebagai sikap atau perangai "bersih" dari seorang individu yang menunjukkan ketulusan pribadinya. Epieikes, atau epieikeia, atau epikeia, yaitu istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan seorang person yang perbuatan-perbuatannya selalu tampak jujur, benar, patut (equitable), senonoh (decent), sopan-santun (honest), beradab dan berbudaya tinggi. Istilah ini menimbulkan gagasan tentang equity, terutama dalam penggunaannya untuk menjawab pertanyaan tentang keadilan dan ketidakadilan, benar dan salah, yang kiranya sulit ditentukan definisinya, yang hanya dimengerti melalui perasaan jujur, sense
of fair play (Sumaryono, 1995:139-140).
Isos: dan lawan-katanya "Anisos", pada umumnya diterjemahkan sebagai "sama" dan "tidak sama". Istilah ini bila dihubungkan dengan perkara-perkara 'distribusi' dapat diartikan sebagai jujur (fair) tidak jujur (unfair), atau bahkan sebagai pembagian yang adil pembagian yang tidak adil, yang di dalamnya termuat juga perlakuan adil dan "perlakuan tidak adil. Sophron: istilah yang dipergunakan untuk menyebut seorang pribadi yang sadar akan keterbatasannya, yaitu orang mengetahui yang harus dikerjakan dan apa yang tidak boleh dikerjakan di dari kemampuannya dan hakikat kodratnya sendiri.
Enkrates, yaitu orang yang juga mengetahui kemampuan dan kodratnya sendiri
untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu namun lebih dari itu ia juga mempunyai keteguhan moral untuk melaksanakan segala godaan dan untuk mengatasi godaan itu ia mempergunakan akal sehatnya. Sophrosyne: istilah ini dipergunakan untuk menggambarkan pengetahuan yang penuh tentang keterbatasan. Secara harfiah sophrosyne dapat diartikan sebagai gema akal, gema sanubari suara hati. Seorang sophron, yaitu orang yang memiliki kabajikan yang dapat dengan tepat mengetahui mengakui secara jujur apa yang dapat ia lakukan (Sumaryono, 1995:140).
2. Moralitas Profesi Penegakan Hukum
Kualitas norma moral ditentukan oleh unsur kebebasan, tangung jawab dan hati nurani. Pertama: Kebebasan diartikan sebagai unsur esensial yang otonom sebagaimana disebut oleh Hans Kelsen dengan penamaan regulations of
internal behavior; kedua: Tanggung jawab bermakna bahwa manusia punya
pilihan dan bersikap dan berprilaku, dan untuk itu ia bertanggung jawab atas apa yang dipilihnya. Demikian halnya dengan para penegak hukum, yang telah memilih profesi tersebut wajib bertanggung jawab pada profesinya. Emmanuel Levinas (1906-1995) menyatakan bahwa aku bertanggung jawab, jadi aku ada (Respondeo ergo sum). Ketiga: Hati nurani atau suara hati (synteresis,
conscientia) bermakna pengetahuan intuitif tentang prinsip-prinsip moral
(Rahman dan Qamar, 2014: 44, 51,55). Thomas Aquinas menyatakan bahwa hati nurani atau suara hati berasal dari Tuhan dan tidak mungkin keliru, apabila manusia menghadapi situasi konkrit yang mewajibkan untuk memilih sikap moral tertentu, maka yang hadir adalah suara hati atau hati nurani (Sidahrta, 2006:17;Garvey, 2010: 35-50; Murtiningsih, 2012:68-71); Hammar, 2017:45-46; Rahman dan Qamar, 2014:55-56).
Jika hati nurani adalah suara Tuhan, maka tidak demikian halnya dengan suara hati. Suara hati memang juara kejujuran, tetapi tidak identik dengan hakikat kebenaran itu sendiri. Artinya suara hati mungkin saja salah tetapi kesalahan suara hati itu karena ketidaktahuan sipemilik suara hati bukan karena ia sengaja berbuat salah. Kesalahan terjadi karena data hasil penilaian yang mendukung kesimpulannya itu keliru. Dalam kehidupan sehari-hari data tersebut secara sadar maupun tidak telah mengalami internalisasi dalam batin. Data itu dipasok terus menerus oleh berbagai lembaga normatif yang ada disekitar kita (Rahman dan Qamar, 2014:56).
3. Profesionalisme Penegakan Hukum
Banyak variabel yang mementukan profesionalitas para penegak hukum antara lain kemampuan dan pengalaman, integritas. Kemampuan berhubungan dengan skill, intelektualitas dan wawasan. Sedangkan integritas berkaitan dengan kejujuran dan konsistensi.
Pengalaman berkaitan dengan seberapa lama penegak hukum itu bekerja dan mengalami berbagai tantangan dalam menjalankan tugas-tugas yang berkontribusi pada kualitas kinerjanya. Peran penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana harus benar-benar didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, bukan dengan cara rekayasa dan transaksional. Guna memantapkan profesinalitas penegak hukum, maka para penegak hukum harus bekerja secara profesional dalam artian harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan, prosedur, etika dan moral, di samping memperkokoh ketahanan diri, mengembangkan dan meningkatkan kapasitas, kompetensi diri berdasarkan etika dan moral sesuai tuntunan agama, kepercayaan, adat-istiadat, budaya, serta hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Peranan Perguruan Tinggi Hukum
Mengkaji perihal Moralitas, norma dan profesionalisme ternyata sejalan dengan tujuan pendidikan pada umumnya yakni menjadikan peserta didik menjadi orang yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pendidikan membentuk karakter, sikap, perilaku yang pancasilais, memiliki kemampuan, integritas dan pengalaman yang berkualitas. Apa yang seharusnya dilakukan oleh dunia perguruan tinggi hukum? Pertama: memperbaiki kurikulum Strata satu hukum yang tidak saja membekali mahasiswa dengan ilmu dan pengetahuan hukum tetapi juga membentuk sedini mungkin karakter mahasiswa yang penuh idealisme, menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan, berani melawan kebathilan, serta memiliki kapasitas moral yang didorong oleh hati nuraninya untuk maju tak gentar membela yang benar, bukan sebaliknya maju tak gentar membela yang bayar. Dalam rangka penguatan kapasitas mahasiswa yang kelak akan mengabdi di dunia penegakan hukum maka mata kuliah pembentuk sikap dan perilaku seperti pendidikan agama, pendidikan pancasila, pendidikan kewarganegaraan, filsafat ilmu, etnografi, pemberantasan korupsi, etika profesi hukum dan sebagainya yang diajarkan di perguruan tinggi tidak sekadar ilmunya yang ditransfer kepada mahasiswa tetapi esensi atau rohnya mata kuliah tersebut yakni pembentuk karakter.
Di samping kemampuan, dibutuhkan pula pengalaman mahasiswa dalam berbagai praktek, latihan guna memantapkan ketrampilan hukum, sebagai bekal dasar dalam berkarya sesuai dengan profesinya kelak. Kini perguruan tinggi hukum diwajibkan meluluskan mahasiswanya bukan saja ijazah tetapi juga surat keterangan pendamping ijazah (SKPI), ini peluang yang baik bagi perguruan tinggi untuk membekali mahasiswa bukan saja dengan hardskill tetapi juga softskill bidang hukum utamanya berhubungan dengan penegakan hukum. Selain intelektualitas, pengalaman, maka yang dibutuhkan seorang penegak hukum yang profesional adalah integritas. Mussakir (2013:163-170) mengemukakan bahwa integritas adalah kredibilitas penegak hukum yang berkaitan dengan kejujuran dan konsistensi, yang keduanya menentukan kualitas kemampuan yang memancarkan kewibawaan aparat penegak hukum dalam menjalankan profesinya.
Didasari atas kompetensi yang dimiliki mahasiswa diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mampu menyuarakan kepentingan rakyat, mampu mengkritisi kebijakan-kebijakan yang menyimpang dari aturan hukum, etika dan moral. Kampus merupakan pusat perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesewenang wenangan. Praktik curang yang terjadi diperguruan tinggi seperti: menyontek, plagiat, titip presensi, gratifikasi ke dosen dan tenaga kependidikan, jual beli skripsi, jual beli nilai, dosen memfasilitasi mahasiswa dalam tugas-tugas dan lain sebagainya, merupakan perbuatan tercela.
Perguruan Tinggi sebagai Center of exellent seharusnya menjadi tempat penyebaran dan pembentukan nilai-nilai kebajikan, kebenaran dan menghindari perbuatan tercela, melanggar hukum dan kepatutan. Mahasiswa sebagai orang muda yamg enerjik, idealis pemimpin masa depan bangsa dan negara sepantasnyalah dibimbing, diarahkan, secara terus menerus agar memiliki sikap, perilaku dan mental heroik, yang tertanam dalam pikiran dan hati nuraninya sehingga kelak dapat bertahan dan mampu mengatasi berbagai pengaruh negatif yang berkontribusi terhadap profesionalitas kerja sesuai bidang profesi masing-masing. Untuk itu Perguruan Tinggi Hukum mampu menerapkan pendidikan karakter, etika dan moral yang tersebar dalam mata kuliah yang terangkum dalam kurikulum dan Garis-garis Besar Pokok Pembelajaran (GBPP)/Satuan Acara Perkuliahan (SAP)/Rancangan Mutu Pembelajaran Semester (RMPS)/ Rencana Pembelajaran Kegiatan Per Semester (RPKPS)/Rencana Pembelajaran Semester (RPS) tetapi juga dalam materi Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI) dan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan softskill baik dalam ranah kokurikuler maupun ekstrakurikuler. Secara lebih rinci nilai-nilai etika dan moral yang diajarkan kepada mahasiswa dalam rangka membentuk karakter mahasiswa yang kelak memilih profesi penegakan hukum dan profesi lainnya sebagai landasan berpikir, bersikap dan berprilaku, menurut Nurul Zuriah (Banasuru, 2014 :131) sebagai berikut:
1. amanah 2. amal saleh 3. antisipatif
4. periman dan bertaqwa 5. bekerja keras
6. berani memikul resiko 7. berdisiplin
8. berhati lapang 9. berhati lembut 10. berinisiatif 11. berpikir matang 12. berpikir jauh ke depan 13. bersahaja 14. bersemangat 15. bersikap konstruktif 16. bersyukur 17. bertanggung jawab 18. bertenggang rasa 19. bijaksana 20. beradab 21. baik sangat
22. berani berbuat benar
46. menghargai kesehatan 47. menghargai waktu 48. mencintai ilmu
49. menghargai pendapat orang lain 50. pemaaf 51. pemurah 52. pengabdian 53. patriotik 54. pengendalian diri 55. produktif 56. rajin 57. ramah tamah 58. rasa kasih sayang 59. rasa indah
60. rasa keterikatan/setia kawan 61. rasa memiliki 62. rasa malu 63. rendah hati 64. sabar 65. setia 66. sikap adil
23. berkepribadian 24. cerdas 25. cerdik 26. cermat 27. cemokratis 28. dinamis 29. efesien 30. empati 31. gigih 32. hemat 33. ikhlas 34. jujur 35. kemauan keras 36. kreatif 37. kukuh hati 38. kesatria 39. komitmen 40. kooperatif 41. kosmopolitan/mendunia 42. lugas 43. mandiri 44. mawas diri
45. menghargai karya orang lain
67. sikap hormat 68. sikap mental 69. sikap tertib 70. sikap nalar 71. semangat kebersamaan 72. sopan santun 73. sportif 74. susila 75. tanggung jawab 76. tegar 77. tegas 78. tekun 79. tepat janji 80. taat azas 81. takut bersalah 82. tawakal 83. terbuka 84. tahan uji 85. teliti 86. ulet 87. inovatif 88. progresif IV. PENUTUP
Dalam penegakan hukum dibutuhkan aparatur yang memiliki kemampuan, integritas dan pengalaman agar dalam menjalankan profesinya, tetap berada dalam koridor hukum, etika dan moral. Kapasitas, kompetensi dan karakter penegak hukum yang beretika dan bermoral tersebut seyogyanya secara dini dibina, dibentuk, ditanamkan dalam pikiran, hati nuraninya sejak masih dibangku kuliah. Inilah peran perguruan tinggi hukum dalam membentuk karakter yang beretika dan bermoral dalam perangkat kurikulumnya, baik dalam bentuk mata kuliah mandiri atau nilai-nilai etika dan moral tersebut tersebar dalam materi mata kuliah yang relevan. Demikian juga dalam berbagai pelatihan ketrampilan baik kokurikuler maupun ekstrakurikuler, serta berbagai kebijakan pimpinan, pergaulan di kampus senantiasa diwarnai oleh etika, moral dan agama dalam proses belajar-mengajar, sehingga sarjana hukum yang diproduksinya memiliki karakter yang beretika dan moral dan diharapkan lulusan tersebut mampu dan kuat menahan kuatnya pengaruh negatif dalam profesinya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali. 1988. Menguak Tabir Hukum. Edisi Pertama Pustaka Prima, Jakarta. Banasuru, Aripin. 2014. Filsafat dan Filsafat Ilmu. Dari Hakikat ke Tanggung
Jawab. Alfabeta, Bandung.
Garvey, James. 2010. 20 Karya Filsafat Terbesar. Kanisius. Yogyakarta. Hammar, Roberth., K. R. 2017. Filsafat Ilmu. Caritas Pres, Manokwari.
Murtiningsih, Wahyu. 2012. Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah. IRCiSod, Yogyakarta.
Musakkir. 2013. Putusan Hakim yang Diskriminatif dalam perkara pidana., Suatu
Tinjauan Sosiologi Hukum dan Psikologi Hukum. Rangkang Education,
Yogyakarta.
Rahman, Sufirman dan Qamar, Nurul. 2014. Etika Profesi Hukum. Refleksi, Makassar.
Rapar, Jan Hendrik. 1995. Pengantar Filsafat. Pustaka Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.
Sidharta. 2006. Moralitas Profesi Hukum. Aditama, Bandung.
Soekanto, Soerjono. 2016. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Pres, Jakarta.
Sumaryono, E. 1995. Etika Profesi Hukum., Norma-norma bagi penegak hukum. Kanisius, Yogyakarta.
Supriyanto, Stefanus. 2013. Filsafat Ilmu. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta. Zubair, Ahmad Charris.1987. Kuliah Etika. Rajawali Pers, Jakarta.