P-ISSN: 1979-7052
Diterbitkan oleh: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni
INKONSISTENSI PELAKSANAAN PENATAAN RUANG
Roberth Kurniawan Ruslak Hammar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni E-mail: roberth.hammar@yahoo.co.id
ABSTRAK
Implementasi Penataan ruang di Kota Manokwari, ternyata tidak konsisten dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Manokwari sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Manokwari No. 9 Tahun 1987, mengakibatkan pemanfaatan tanah (ruang) tidak dapat dikendalikan.
Kata Kunci: Tata Ruang Kota, Konsistensi
I. PENDAHULUAN
Ruang wilayah negara Indonesia dengan sumber daya alam yang tiada tara membentang bagaikan zamrud khatulistiwa, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, wajib dilindungi, dikelola, dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara berkelanjutan demi kelangsungan hidup masyarakat, bangsa dan negara.
Penataan ruang sebagai salah satu manifestasi pelaksanaan pembangunan didasari pada landasan konstitusional (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945) dan landasan operasional (Tap MPR No. IV/MPR/99 tentang GBHN) yang menghendaki agar sumber daya alam dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan memperhatikan keseimbangan antara kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah.
Selain landasan tersebut patut dikembangkan pula kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan, produktif, serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang.
Sebagai pengejawantahan otonomi daerah, kabupaten dan kota memiliki kewenangan dalam penataan ruang wilayahnya yakni perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Untuk menjamin tercapainya tujuan penataan ruang, diperlukan dasar hukum guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pemanfaatan ruang, atau dengan kata lain pembangunan yang dilaksanakan harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Namun realitas menunjukkan bahwa pelaksanaan penataan ruang kota Manokwari belum konsisten; di beberapa wilayah kota terjadi kesemrawutan, dan penyimpangan peruntukan. Karubaba (1999:57) menyatakan adanya kecenderungan lokasi pemukiman berkembang mendekati dan memunculkan kerawanan pengrusakan hutan di sekitar hutan lindung Wosi maupun Taman wisata Gunung Meja. Oleh karena itu ini permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini
adalah apakah penatan ruang di Kota manokwari sudah sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota Manokwari?.
II. KEBIJAKSANAAN PENATAAN TANAH WILAYAH BAGIAN KOTA MANOKWARI
Rencana Umum Tata Ruang Kota pada dasarnya merupakan penataan tanah/ruang suatu kota yang dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dengan sumber daya manusia dan sumber daya alam. Dalam penataan, dikehendaki adanya keselarasan pengembangan dan pembangunan antara ruang buatan/fisik bangunan dan lingkungan sehingga menjadi satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis dan terencana.
Penataan tanah perkotaan bertujuan untuk mengatur ruang suatu kota sehingga terjadi interaksi ruang yang terencana. Hal-hal yang diatur adalah Konsolidasi Tanah dan Penyediaan Sarana dan Prasarana Perkotaan. Konsolidasi tanah bertujuan mengoptimalisasi penggunaan tanah, pemanfaatan, peningkatan produktivitas dan konservasi kelestarian lingkungan, di samping pengembangan kota lebih terencana dan terkendali. Sedangkan Penyediaan sarana dan prasarana kota merupakan salah satu elemen yang direncanakan penggunaannya bagi kepentingan pembangunan kota. Semua prosedur dan kegiatan pembangunan kota yang berkenaan dengan penggunaan tanah berdasarkan Keppres No. 55 Tahun 1993 dan Keppres No. 97 Tahun 1993 implementasinya mengacu pada rencana tata ruang yang berlaku yang telah disahkan menjadi peraturan daerah oleh DPRD.
Kebijaksanaan penatagunaan tanah bagian wilayah kota Manokwari, tercermin dalam RUTRK (Revisi Rencana Induk Kota Manokwari 1985–2003) bertujuan:
1. Menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan yang merupakan usaha dalam menciptakan keserasian dan keseimbangan fungsi dan intensitas penggunaaan lahan bagian–bagian wilayah kota.
2. Menciptakan pengaturan dan perencanaan kota menurut karakteristik wilayah dan fungsinya sehingga tercipta keserasian dan keteraturan masing–masing bagian wilayah kota.
3. Pencapaian tertib bangunan sebagai upaya pengendalian dan pengawasan pelaksanaan pembangunan fisik kota.
4. Memberikan kemudahan bagi masyarakat kota maupun aparat pengelola kota dalam ijin membangun.
Penataan tanah bagian wilayah kota terbagi dalam 4 BWK dengan karakteristik sebagai berikut:
1. BWK Pusat Kota (BWK A), merupakan pusat kegiatan kota yang berorientasi pada kegiatan perdagangan, pemerintahan, jasa komersial dan pelabuhan. Pada masa mendatang BWK ini dikembangkan sebagai pusat kegiatan perdagangan (central bussines distric) dan kegiatan sosial budayA (civic center) dengan luas 1.093 hektar. BWK A ini berfungsi sebagai:
a. Pusat pelayanan perdagangan dan jasa, dengan pengembangan pada kawasan yang sudah ada yaitu sekitar jalan Merdeka, Yos Soedarso dan Jl. Soedirman.
b. Pusata pelayanan pemerintahan (kabupaten) dengan pengembangan kawasan yang sudah ada yaitu sekitar jalan percetakan.
c. Pusat pelayanan jasa komersial (perdagangan, perkantoran, dan pariwisata), dengan pengembangan kawasan berorientasi pada kawasan teluk Sawaibu.
d. Pusat kegiatan pelabuhan dengan pengembangan pada kawasan yang sudah ada dengan melakukan penataan tata ruang yang sesuai antara kegiatan penunjang yaitu industri–industri pengolahan, galangan kapal dan perumahan.
2. BWK Barat (BWK B)
Bagian ini direncanakan mengemban fungsi sebagai pusat pendidikan tinggi, pusat penelitian kehutanan dan rekreasi yang bersifat alam.
Elemen utama terdiri atas kawasan pendidikan dengan luas 2.400 hektar.
BWK B ini berfungsi:
a. Pusat pelayanan pendidikan tingkat universitas dan kegiatan penelitiaan, meliputi daerah Amban dan daerah mengarah ke Bakaro.
b. Kawasan untuk kegiatan perkantoran dan perumahan karyawan/
mahasiswa, penduduk (fungsi penunjang).
c. Sebagai daerah hijau, resapan air, maupun sebagai penahan gempuran ombak laut.
3. BWK Timur (BWK C)
Bagian ini direncakan untuk pengembangan kegiatan yang memiliki intensitas rendah yakni kegiatan perumahan, pertanian, perkebunan, peternakan. Elemen utama berupa kawasan perumahan dan hutan lindung serta pelestarian perumahan penduduk asli, dengan luas 4.680 hektar. Pusat jasa pelayanan berlokasi di Nuni. Fungsi kawasan ini sebagai pusat kegiatan perumahan, dan bersifat melayani kegiatan perdagangan dan jasa pada BWK A.
4. BWK Selatan (BWK D)
Fungsi yang diemban kawasan dengan luas 1.400 hektar, di daerah Arfai ini adalah :
a. Pusat kegiatan Pemerintah Propinsi b. Pusat industri kecil
c. Pusat kegiatan transportasi udara d. Pelabuhan ekspor kelapa sawit
e. Jasa pelayanan (perdagangan, TVRI, RRI).
Sedangkan elemen penunjang meliputi Kawasan militer, rekreasi dan perumahan.
III. INSTRUMEN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KOTA Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang kota Manokwari, patut dilakukan pengawasan agar pelaksanaan pembangunan konsisten dengan rencana tata ruang kota.
Instrumen pengawasan sebagaimana tertuang dalam RUTRK (1985 –2003) Kompilasi Data, dan RUTRK (rencana) 1998–2007, sebagai berikut:
1. Izin Lokasi/Advis Planning.
Ijin lokasi adalah ijin yang diberikan kepada orang dan atau badan usaha yang menyatakan diperbolehkan dimanfaatkannya lahan untuk mendirikan bangunan sesuai peruntukan sebagaimana diatur dalam rencana tata ruang kota.
Menurut Nico Wanenda Kepala Seksi Penatagunaan Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Manokwari (wawancara, 15 Januari 2001) bahwa izin lokasi di kota Manokwari selama ini sesuai dengan tata guna tanah, karena dalam izin lokasi telah terkoordinasi secara terintegrasi antara instansi teknis terkait melalui rapat koordinasi izin lokasi. Selain izin lokasi digunakan sebagai instrumen pengendalian tata guna tanah, menurut Nico Wanenda penerbitan sertifikat tanah dipertimbangkan pula peruntukan tanah dan kesesuaiannya dengan rencana tata ruang, yang operasionalnya dalam bentuk aspek tata guna tanah (wawancara 15 Januari 2001). Izin lokasi, khusus di kota Manokwari sebagaimana tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Izin Lokasi di kota Manokwari s.d. tahun 2000 No. Nama Penerima
Izin Nomor izin dan Tgl Luas Lokasi 1. PT.Wamesa Alam
Wisata
06/IL/1996
27 November 1996
6 Ha Kelurahan Sowi (Arfai) 2. Irman Jaya Martabe 04/IL/1996
28 Agustus 1996
5 Ha Kelurahan Manokwari Barat 3. Irman Jaya Martabe 05/IL/1996
11 November 1996
5 Ha Kelurahan Amban 4. PT. Artha Makmur
Permai
02/IL/1997 23 Juni 1997
10 Ha
Kelurahan Sowi 5. PT. Artha Makmur
Permai
01/IL/1998 13 Januari 1998
12 Ha
Kelurahan Sowi 6. Puskopad A Dam
VIII Trikora
02/IL/1998 16 Maret 1998
1,5 Ha
Kelurahan Sowi 7. Puskopad A Dam
VIII Trikora
250 Tahun1999 28 Juni 1999
1 Ha Kelurahan Pasir Putih
Sumber: Data Sekunder diolah
Nurmandi (1999:136) menyatakan bahwa izin lokasi adalah perizinan pembangunan perumahan atau kegiatan fungsional lainnya yang dimaksudkan untuk mengarahkan dan mengendalikan perkembangan pemanfaatan dan penggunaan lahan dan mengarahkan pembangunan ke lokasi-lokasi yang tepat guna dari segi penyediaan sarana dan prasarana. Selanjutnya dinyatakan bahwa
permasalahan yang sering dihadapi adalah produk izin lokasi yang ada tidak terintegrasi dengan prosedur dan produk pembebasan lahan; sering kali izin lokasi tidak didasarkan kepada rencana tata ruang, karena setelah memperoleh izin dari BPN, mereka tidak melakukan koordinasi dengan Bappeda.
2. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Izin ini diberikan kepada perorangan maupun badan usaha untuk memperoleh izin bangunan. Pemberian IMB ini harus diperhatikan ketentuan–
ketentuan sebagai berikut:
a. Izin mendirikan bangunan ditetapkan berdasarkan RUTRK IMB diberikan kepada setiap pemohon dengan persyaratan yaitu : 1). Izin lokasi dari Bappeda
2). Formulir permohonan 3). Surat bukti hak atas tanah
4). Gambar rencana bangunan dan rencana konstruksi.
Di samping itu harus mendapatkan keterangan tentang arahan perencanaan dari Dinas Pekerjaan Umum tentang rencana mendirikan bangunan yang meliputi: jenis peruntukan tanah dan bangunan, garis sempadan bangunan (GSB) yang berlaku, koefisien dasar bangunan (KDB) yang diizinkan, koefisien Lantai bangunan (KLB) yang diizinkan.
b. IMB dapat diberikan pula, manakala kawasan tersebut belum ada rencana tata ruang kotanya, namun dapat berpedoman pada ketentuan–ketentuan teknis sebagaimana ditetapkan di dalam peraturan daerah tentang bangunan.
Tabel 2. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) n = 80
No. Kategori jawaban Frekuensi Persentase 1.
2.
3.
Ada IMB
IMB dalam proses Tidak ada IMB
36 - 44
45 - 55
Jumlah 80 100
Sumber: Data primer diolah
Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 80 responden yang menjawab memiliki IMB sebanyak 36 orang atau 45 persen. Sedangkan 44 responden atau 55 persen tidak memiliki IMB.
3. Izin Penggunaan Bangunan (IPB)
IPB diperlukan guna mengontrol penggunaan bangunan yang telah dibangun, terutama keandalan kontruksi bangunannya. Pengajuan IPB dilakukan secara tertulis kepada Bupati melalui Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten bersamaan dengan pengajuan IMB. Izin Penggunaan Bangunan mencakup beberapa materi pokok antara lain: bangunan yang akan didirikan penggunaannya harus sesuai dengan rencana penggunaan lahan, ratio antara luas lantai bangunan dengan luas lahan, garis sempadan jalan, jumlah tingkat
bangunan, bentuk dan tipe yang secara keseluruhan telah ditetapkan dalam rencana tata ruang kota.
4. Izin Penghapusan Bangunan ( IHB )
IHB yaitu izin yang diberikan untuk menghapuskan/merobohkan bangunan secara total baik secara fisik maupun secara fungsi, sebagaimana tercantum dalam IMB. Izin Penghapusan bangunan (IHB) merupakan wewenang Bupati, dan dapat memerintahkan pemilik bangunan untuk merobohkan bangunan yang dinyatakan tidak layak secara fisik bangunan/rapuh; dan tidak sesuai dengan tata ruang kota dan ketentuan lain yang berlaku. Dasar hukum mengenai izin mendirikan bangunan, ijin penggunaan bangunan, dan ijin penghapusan bangunan di atur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 41/PRT/1989 tentang Tata Cara Mendirikan Bangunan, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
IV. INKONSISTENSI PENATAAN RUANG KOTA MANOKWARI Rencana Tata Ruang Kota Manokwari adalah rencana yang menjadi pedoman peruntukan lahan (ruang) di suatu kawasan tertentu. Pedoman tersebut diperlukan agar penggunaan lahan (ruang) dapat mendatangkan manfaat maksimal bagi masyarakat, sekaligus untuk menghindari dampak yang merugikan berbagai pihak.
Untuk menjamin Rencana Tata Ruang Kota Manokwari ditaati oleh semua pihak, maka Rencana Tata Ruang Kota tersebut ditetapkan oleh legislatif bersama- sama dengan eksekutif menjadi peraturan daerah, sebagaimana Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Manokwari Nomor 9 Tahun 1987 tentang Rencana Induk Kota Manokwari Tahun 1984-2004.
Pada kenyataannya Rencana Tata Ruang Kota tersebut belum sepenuhnya ditaati, masih terdapat pelanggaran. Bentuk pelanggaran yang terjadi adalah penggunaan lahan tidak sesuai dengan peruntukan suatu kawasan, atau penggunaan bangunan tidak sesuai dengan peruntukan, seperti penggunaan rumah tinggal sebagai tempat kegiatan usaha, serta mendirikan bangunan tidak sesuai dengan ijin pemberiannya.
Menurut Mokoginta (1999:131) guna memberikan perlindungan terhadap masyarakat luas, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksaanaan Rencana Umum Tata Ruang Kota, termasuk rencana-rencana detailnya, wajib dijelaskan oleh pemerintah. Pemaparan rencana tersebut bertujuan agar masyarakat memahami, dan mematuhi ketentuan tersebut, sehingga kekeliruan yang bakal merugikan banyak pihak, terhindar.
Namun realitas menunjukkan terjadi inkonsistensi sebagaimana nampak pada tabel berikut ini.
Tabel 3 : Pelaksanaan pembangunan kota Manokwari konsisten dengan RUTRK kota Manokwari.
n = 32
No. Pendapat Responden Frekuensi Persentase 1.
2.
3.
Konsisten
Belum konsisten Tidak konsisten
2 30
0
6,25 93,75
0
J U M L A H 32 100
Sumber: Data primer diolah
Dari tabel tersebut terdeskripsi bahwa responden yang menjawab pelaksanaan pembangunan Kota Manokwari konsisten dengan RUTRK adalah dua orang atau 6,25 persen. Hal ini disebabkan responden mendasarkan penilaiannya pada ruang lingkup kerjanya saja, yakni dengan alasan setiap rekomendasi yang dikeluarkan sudah sesuai dengan RUTRK. Hal tersebut benar dalam konteks lingkup kerja instansional, namun konsistensi pembangunan yang sesuai dengan RUTRK harus dikaji secara holistik. Respoden yang menjawab pelaksanaan pembangunan Kota Manokwari belum konsisten dengan RUTRK adalah 30 Orang atau 93,75 persen. Alasan belum konsistennya pelaksanaan pembangunan Kota Manokwari terkuak pada pembahasan penilaian dan evaluasi RUTRK 1984-2004.
Deskripsi mengenai seberapa jauh inkonsistensi pelaksanaan Rencana Umum Tata Ruang Kota, maka acuannya adalah Rencana Induk Kota Manokwari tahun 1984–2004. Pada tahun 1998, Pemerintah Daerah melakukan revisi terhadap RUTRK akibat terjadi deviasi atau penyimpangan (inkonsistensi) sebagaimana dalam tabel berikut ini.
Tabel 4: Deviasi Rencana Induk Kota Manokwari Tahun 1984–2004
No R I K 1985 – 2004 Fakta Deviasi
1.
2.
3.
Wilayah perencanaan terdiri atas 5 kelurahan
Pengembangan Tata Ruang Diarahkan pada kawasan- kawasan kota yang belum terbangun, realokasi bagi penggunaan ruang yang tidak sesuai menurut fungsinya dijaga kelestariannya.
Arah pengembangan fisik kota Pengembangan fisik kota mengarah ke sebelah utara, selatan dan timur
Wilayah perencanaan dimekarkan menjadi 9 kelurahan dan 3 desa Kecenderungan perkembangan kota Manokwari berkembang mengikuti jaringan jalan
Pengembangan kota hanya terjadi di sekitar kawasan fisik kota ,dan utara pusat kota ( Amban) mengikuti jaringan jalan.
Terjadi deviasi
Terjadi deviasi
Kurang berkem- bangnya pem- bangunan fisik di sebelah timur dan selatan pusat kota.
No R I K 1985 – 2004 Fakta Deviasi 4. Struktur pengembangan kota
Pada BWK A diarahkan fungsinya sebagai pusat pelayanan perdagangan, jasa, industri, pemerintahan, pelabuhan laut, pelayanan sosial ekonomi.
BWK B diarahkan fungsinya untuk kegiatan pendidikan, pemukiman dan konservasi.
BWK C diarahkan fungsinya untuk pelayanan kegiatan permukiman dan kawasan hijau.
BWK D diarahkan fungsinya untuk
kegiatan bandara, kawasan cadangan pemerintah propinsi dan pemukiman
Adanya pergeseran peruntukan lahan
pengembangan di semua BWK
Terjadi deviasi
5. Rencana pemanfaatan lahan i. BWK pusat kota ( BWK A )
direncanakan bagi pengembangan lahan kegiatan utama kota yaitu kegiatan jasa dan
perdagangan, pemerintahan, industri, pelabuhan laut, rekreasi pantai, terminal regional dan kota, pasar pusat.
ii. BWK barat pusat kota (BWK B) di-rencanakan bagi pengembangan lahan kegiatan pusat pendidikan perguruan tinggi (Uncen), hutan lindung dan
konservasi, kawasan hijau dan peru- mahan.
iii. BWK timur pusat kota (BWK C) direncanakan bagi pengembangan lahan
kegiatan perumahan
penduduk dan daerah hijau.
* Pada BWK A terjadi perubahan dan
pergeseran fungsi lahan berbagai kegiatan kota.
* Pola penggunaan dan pemanfaatan lahan di BWK B ini sudah mulai tumbuh dan berkembang kawasan pemukiman penduduk terutama di sepanjang jaringan jalan.
* Pada BWK C peruntukan lahan kegiatannya masih banyak didominasi oleh peruntukan lahan hutan dan kebun campuran.
Terjadi pergeseran penggunaan lahan.
Terjadi pergeseran penggunaan lahan
Terjadi pergeseran penggunaan lahan
No R I K 1985 – 2004 Fakta Deviasi
6
7.
iv. BWK selatan pusat kota (BWK D) direncanakan bagi pengembangan la- han kegiatan Bandara Rendani, kawasan cadangan
pemerintahan propinsi, terminal regional dan per- gudangan perumahan dan kebun campuran.
Kependudukan a.Laju pertumbuhan
penduduk rata- rata pertahun adalah sebesar 4 % sehingga projeksi s.d akhir tahun peren- canaan 2004 adalah 75.117 jiwa.
b.Rencana kepadatan dan distribusi penduduk di masing-masing BWK berdasarkan proyeksi penduduk ta-hun 2004 sesuai dengan fungsi masing-masing BWK.
Transportasi a. Pelabuhan laut
Direncanakan
pengembangan dan per- luasan fasilitas pelabuhan di BWK A yaitu di sekitar pesisir pantai teluk Sawaibu.
*Pada BWK D peruntukan lahan ke- giatan sudah mulai tumbuh dan berkembang fisik bangunan terutama di sekitar jaringan jalan yang ada.
Laju pertumbuhan penduduk kota sebesar 1,23 % per tahun, jika dipro- yeksikan sampai akhir tahun perencanaan 2004 sebesar 61.729 jiwa.
Tidak terjadi perluasan kawasan
Terjadi pergeseran penggunaan lahan
Terjadinya laju pertumbuhan penduduk yang berbeda menye- babkan pola sebaran
penduduk akan berbeda.
Perluasan dan pengembangan kawasan
pelabuhan tidak terealisasi.
b.Perhubungan darat Jaringan jalan baru
direncanakan di setiap BWK yang menghubungkan antar BWK dan ke pusat
pelayanan yang meliputi : - Rencana jalan arteri
sekunder yang
menghubungkan BWK C – BWK D
Kawasan yang
direncanakan masih berupa lahan hutan dan kebun campuran
Terjadi deviasi
No R I K 1985 – 2004 Fakta Deviasi
8.
- Rencana jalan arteri sekunder di pantai utara BWK B.
- Rencana jalan lokal sekunder di BWK A, BWK B dan BWK D.
Rencana Terminal dan pergudangan dialokasikan di Maripi (BWK D )
Kawasan Hutan Lindung (hutan jati)
Lokasi terminal regional yang baru berada di kelurahan Wosi.
Permukiman penduduk
Terjadi deviasi
Terjadi deviasi
Sumber : Tesis R.Hammar 2001.
Menurut Hammar (2001: 99) penyebab belum konsistennya pembangunan di Kota Manokwari disebabkan hal-hal sebagaimana jawaban responden pada tabel berikut ini.
Tabel 5 : Penyebab belum konsistennya pelaksanaan pembangunan dengan RUTRK
n = 32
No. Pendapat Responden Frekuensi Persentase 1.
2.
3.
4.
5.
Kebijakan Pemda
Kurangnya koordinasi antar instansi pelaksana pembangunan kota.
Kurang efektif fungsi pengawasan pembangunan
oleh instansi berwenang.
Lemahnya pengendalian sosial warga kota terhadap pelaksanaan RUTRK
Manajemen belum didukung oleh ketersediaan sumber daya birokrat yang memadai.
2 13
6 3 6
6,66 43,33
20 10 20
J U M L A H 32 100
Sumber : Data primer diolah
Inkonsistensi tersebut terjadi akibat:
1. Kebijakan Pemerintah Daerah.
Penyimpangan tata ruang kota diakibatkan oleh kebijakan pemerintah daerah dijawab oleh 2 responden atau 6,66 persen. Pada umumnya penyimpangan semacam ini terjadi dalam hal ada sesuatu projek atau ada investor yang mengingini suatu lahan guna penanaman modal. Karena orientasi pemda hanya pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sehingga lokasi yang dikehendaki oleh investor disetujui, kendatipun diketahui bahwa hal itu
bertentangan dengan RUTRK. Hal ini dilakukan karena ketakutan investor akan mengalihkan modalnya ke daerah lain.
2. Kurangnya koordinasi antar instansi pelaksana pembangunan kota.
Kurang koordinasi dijawab oleh 13 responden atau 43,33 persen.
Pelaksanaan pembangunan kota belum terkoordinasi dengan baik antara berbagai instansi terkait akibat masih kuatnya ego sektoral. Bentuk koordinasi harus lebih konkret, bukan saja pada saat rapat koordinasi pembangunan daerah, melainkan yang penting adalah rapat koordinasi antara instansi pengelola projek dengan instansi terkait (antara Bappeda, BPN, PU, Panitia Pengadaan Tanah) sebelum projek dilaksanakan.
3. Kurang efektif fungsi pengawasan pembangunan oleh instansi yang berwenang Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang kota, patut dilakukan pengawasan agar pelaksanaan pembangunan konsisten dengan rencana tata ruang kota. Kurangnya pengawasan menurut responden sebanyak 6 orang atau 20 persen. Hal ini menunjukkan berbagai instrumen pengawasan pembangunan belum digunakan secara optimal oleh pemerintah daerah. Akibatnya terjadi kesemrawutan dan degradasi estetika kota. Instrumen pengawasan berkaitan dengan perizinan antara lain Izin Lokasi, Izin Mendirikan Bangunan, Izin Penggunaan Bangunan, Izin Penghapusan Bangunan, Surat Izin Tempat Usaha.
4. Lemahnya pengendalian sosial warga kota terhadap pelaksanaan RUTRK.
Responden yang menjawab lemahnya pengendalian sosial warga sebanyak 3 orang atau 10 persen. Secara umum seyogianya warga kota berperan aktif mengontrol pelaksanaan Rencana Umum Tata Ruang Kota. Namun Realitas menunjukkan bahwa masyarakat di kota Manokwari tidak dapat mengontrol bahkan melakukan pelanggaran terhadap rencana tata ruang karena disinformasi rencana pembangunan yang sesuai dengan RUTRK. Hal ini disebabkan masyarakat selama ini tidak mengetahui RUTRK, bahkan tidak diikutsertakan dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Di samping masyarakat selama ini belum diberdayakan.
5. Manajemen perkotaan belum didukung oleh ketersediaan SDM Birokrat yang memadai.
Berdasarkan tabel responden yang menjawab penyebab ini sebanyak 6 orang atau 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masalah klasik yang selama ini menghantui pelaksanaan pembangunan kota adalah belum memadainya ketersediaan sumber daya manusia, khususnya sumber daya manusia yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pembangunan kota. Akibatnya terjadi perbedaan penafsiran terhadap rencana tata ruang, seperti penerbitan SITU (surat izin tempat usaha), SIU (surat izin usaha) diberikan kepada pengusaha dengan alasan sudah sesuai dengan prosedur, yakni pernyataan tidak berkeberatan dari warga sekitar tempat usaha, rekomendasi Lurah, Camat, ada IMB (izin mendirikan bangunan)tanpa melihat kawasan tempat usaha tersebut apakah untuk pemukiman ataukah untuk perdagangan (tanpa mempersoalkan faktor peruntukan).
Menurut Kepala Seksi Penatagunaan Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Manokwari, bahwa pelaksanaan pembangunan kota Manokwari menyimpang dari tata guna tanah yang telah ditetapkan. Hal ini disebabkan pertumbuhan penduduk
di kawasan perkotaan mendorong terjadinya pemanfaatan tanah perkotaan tidak terarah sesuai tata guna tanah, terutama pada pusat-pusat kegiatan perkotaan, seperti di kompleks pasar, sepanjang pantai/pelabuhan. Dinyatakan pula bahwa tata guna tanah yang dibuat oleh BPN merupakan implementasi kebijakan Pemerintah Daerah sebagaimana dalam Pola Dasar Pembangunan daerah dan Rencana Tata Ruang kota (wawancara 15 Januari 2001).
Tidak konsistennya pelaksanaan Rencana Tata Ruang Kota merupakan suatu pelanggaran dengan pertimbangan bahwa secara normatif Rencana Tata Ruang Kota Manokwari merupakan produk hukum yang mengikat karena memiliki nilai legalitas sebagai peraturan daerah. Konsekuensinya semua pembangunan fisik harus sesuai dengan ketentuan Rencana Tata Ruang Kota, sekaligus sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan di suatu wilayah tertentu. Oleh karena itu setiap bentuk pelanggaran dan penyimpangan, seharusnya dikenakan sanksi.
Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Bappeda Kabupaten Manokwari mengemukakan bahwa Rencana Tata Ruang itu bersifat fleksibel, menyesuaikan dengan keadaan yang ada, hanya pada hal-hal yang prinsip seperti hutan lindung, itu yang dibakukan. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa inkonsistensi penataan ruang kota Manokwari disebabkan perkembangan penduduk (wawancara, 22 Januari 2001).
Meskipun Rencana tata Ruang Kota bersifat dinamis, artinya pemerintah daerah sewaktu-waktu dapat menyesuaikan dengan perkembangan di suatu kawasan, penyesuaian tersebut seharusnya tidak berdasarkan kebijaksanaan pemerintah semata, melainkan mengikutsertakan DPRD karena derajat hukum Rencana Tata Ruang Kota Manokwari sebagai peraturan daerah.
Penyebab tidak konsistennya pelaksanaan pembangunan dengan rencana tata ruang kota tersebut di atas terbentur pada berbagai hambatan atau kendala sebagaimana pada tabel 6 berikut ini:
Tabel 6: Kendala pengaturan penggunaan tanah di kota Manokwari n = 32
No. Pendapat Responden Frekuensi Persentase 1.
2.
3.
4.
Sistem administrasi pertanahan belum baik dan lengkap
Informasi pertanahan belum akurat Kurangnya publikasi RUTRK dan peraturan pertanahan
Ketidakpastian pemilikan tanah adat
4 3 20
5
12,5 9,375
62,5 15,625
J U M L A H 32 100
Sumber : Data primer diolah
Dari tabel tersebut ternyata bahwa responden yang menjawab sistem administrasi pertanahan belum baik dan lengkap sebanyak 4 responden atau 12,5 persen. Sedangkan yang menjawab informasi pertanahan belum akurat sebanyak 3 responden atau 9,375 persen. Jawaban responden tersebut dihubungkan dengan kondisi administrasi di kantor pertanahan, sulit mendapatkan informasi yang tepat mengenai status tanah dan kepemilikannya apabila hendak dibutuhkan tanah untuk
sesuatu kegiatan pembangunan. Di samping itu kadangkala terjadi perbedaan tata letak pada peta atau surat ukur dengan kondisi senyatanya, bahkan terjadi duplikasi pengukuran atau sertifikat.
Kendala yang menonjol dalam pengaturan penggunaan tanah di kota Manokwari menurut responden adalah kurangnya publikasi RUTRK dan peraturan pertanahan yakni 20 responden atau 62,5 persen. Selama ini RUTRK kurang dipublikasikan kepada masyarakat. Publikasi yang terjadi hanya kepada aparatur (pejabat) pemerintah yang terkait saja. Sedangkan sosialisasi kepada masyarakat hanya bersifat insedental, melalui pengumuman, penyuluhan yang sering salah sasaran (masyarakat yang tanahnya menjadi objek penataan tidak diikutkan). Selain ketiga kategori jawaban di atas, maka jawaban yang keempat adalah ketidakpastian pemilikan tanah adat oleh 5 responden atau 15,625 persen.
Ketidakpastian pemilikan tanah, merupakan salah satu fenomena aktual.
Kondisi ini diwarnai adanya berbagai tuntutan masyarakat adat terhadap tanah, baik yang telah dibebaskan oleh pemerintah maupun yang dibeli oleh masyarakat. Ada dua ciri yang menimbulkan ketidakpastian yaitu: pertama, adanya tuntutan tambahan pembayaran oleh bekas pemilik dan atau keturunannya terhadap tanah yang telah dijual, dengan alasan harga jual saat itu tidak layak (terlalu kecil). Kedua, tuntutan pembayaran oleh pihak ketiga terhadap tanah yang telah dibebaskan oleh pemerintah (termasuk tanah konversi hak barat) dan tanah yang telah dijual lainnya, dengan alasan pihak yang menjual pertama tidak memiliki alas hak yang kuat.
Kondisi ini menimbulkan keresahan bahkan konflik antar masyarakat. Ironisnya berbagai tuntutan tersebut direspons secara tidak proporsional oleh Pemerintah Daerah Manokwari. Pada awalnya ada satu kasus disampaikan ke Pengadilan Negeri Manokwari, namun kemudian terjadi perdamaian dengan alasan situasi politik yang rawan. Konsekwensinya Pemerintah Daerah memenuhi tuntutan masyarakat (pihak ketiga), tanpa suatu penyelesaian hukum yang tepat untuk mengetahui alas hak yang sebenarnya. Dampaknya kini bermunculan berbagai tuntutan dari pihak ketiga, bahkan disertai kekerasan yang tentunya mempengaruhi kinerja pemerintah daerah.
Berbagai penyimpangan Rencana Tata Ruang kota dan berbagai kendala tersebut di atas selaras dengan hambatan penatan ruang sebagaimana dikemukakan oleh Kartasasmita (1996:431) bahwa upaya penataan ruang selama ini menghadapi berbagai hambatan, antara lain karena data dan informasi yang kurang lengkap, termasuk ketidakseragaman peta dasar yang digunakan dalam penataan ruang;
kemampuan sumber daya manusia yang masih terbatas terutama di daerah;
kurangnya koordinasi antarpihak yang terlibat dalam penyusunan rencana tata ruang; masih banyaknya pihak yang berkepentingan dalam penataan ruang yang belum memahami secara benar mengenai penataan ruang; dan kurang transparannya penataan ruang dan kebijaksanaan penggunaan lahan (ruang).
Menurut Mokoginta (1999:134) penetapan rencana tata ruang kota sebagai peraturan daerah belum sepenuhnya mampu mengatur pelaksanaan peruntukan sesuai rencana. Dan yang mempunyai andil besar terhadap terjadinya penyimpangan, bukan masyarakat tetapi juga aparat pemerintah daerah.
Sebagai suatu konsep, Rencana Tata Ruang Kota tidak mampu mengantisipasi akselerasi pembangunan. Padahal, dalam penerapannya
mengandung sifat kedinamisan. Namun karena mengandung risiko hukum, maka proses perencanaan dan atau revisi seyogianya mengikutsertakan masyarakat dalam hal ini DPRD, dan harus disebarluaskan kepada seluruh masyarakat.
Untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan bangunan, maka pendirian suatu bangunan, selain harus memiliki izin mendirikan bangunan (IMB), juga lengkap dengan izin penggunaan bangunan (IPB). Guna mencegah penyalahgunaan dan penyimpangan, maka faktor pengawasan mutlak diperlukan. Menurut Mokoginta (1999:135) aparat yang terlibat dalam fungsi pengawasan hendaknya tidak terbatas pada pengertian struktural birokratis, tetapi juga dari masyarakat, terutama dari kalangan pers.
Selain pengawasan diperlukan pula penerapan asas-asas pemerintahan yang baik antara lain asas kepastian hukum. Hal ini kurang diperhatikan, di mana hingga kini revisi RUTRK belum ditetapkan menjadi peraturan daerah, sebagaimana dikemukakan Kabag Hukum Setda Kabupaten Manokwari bahwa Rencana Induk Kota Manokwari berdasarkan Perda No. 9 Tahun 1987 mengalami revisi, namun perubahan tersebut belum ditetapkan menjadi peraturan daerah. Hal ini disebabkan terjadinya kebuntuan dalam pembahasan di DPRD (sebelum pemilu 1999) karena pihak eksekutif tak dapat meyakinkan DPRD mengenai salah satu kebijaksanaan bagian wilayah kota (BWK) di Kota Manokwari (Wawancara, 18 Januari 2001).
V. PENUTUP
Penataan ruang kota di Kota Manokwari tidak konsisten dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Manokwari sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Manokwari No. 9 Tahun 1987, mengakibatkan pemanfaatan tanah (ruang) tidak dapat dikendalikan.
Berkenaan dengan konsistensi aturan perundang-undangan dengan pelaksanaan pembangunan :
a. Dalam pelaksanaan pembangunan di Kota Manokwari, diharapkan Pemerintah Daerah maupun masyarakat wajib menjadikan Rencana Tata Ruang Kota yang telah ditetapkan oleh Pemda dan DPRD sebagai acuan. Jika terjadi perubahan peruntukan, sebaiknya pemerintah, DPRD dan masyarakat membahas terlebih dahulu, dan kemudian ditetapkan menjadi peraturan daerah guna kepastian hukum (sebagai manifestasi asas-asas pemerintahan yang baik, dan perlindungan hukum), atau minimal sudah ada kesepakatan antara eksekutif dan legislatif, barulah projek pembangunan yang dikehendaki dapat dilaksanakan.
b. Guna terjaminnya konsistensi penataan ruang, diharapkan instansi yang memiliki kewenangan di bidang perizinan pembangunan, benar-benar menerapkan dan menegakkan instrumen pengawasan secara konsisten dan konsekuen.
c. Pemberdayaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Manokwari sangat diperlukan antara lain peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang RUTRK guna meningkatkan fungsi pengawasan pembangunan, dan fungsi legislasi khususnya pembuatan peraturan daerah tentang revisi RUTRK
Manokwari yang selama ini mengalami kebuntuan, guna kepastian hukum antara lain terhadap hak-hak rakyat atas tanah yang terkena projek pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Hammar, R. 2001. Penataan Ruang Kota dan Implikasinya Terhadap Perlindungan Hak-hak Rakyat atas Tanah di Kota Manokwari. Tesis Pascasarjana Unhas, Makassar.
Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat. Cides, Jakarta.
Karubaba, Y.K. 1999. Perencanaan Tata Guna Lahan Perkotaan, Studi Kota Manokwari di Propinsi Irian Jaya dalam Mengantisipasi Perkembangan Penduduk. Tesis Pascasarjana Unhas, Ujung Pandang.
Mokoginta, L. 1999. Jakarta untuk Rakyat. Pustaka Sinar Harapan, Yayasan Sattwika, Jakarta.
Nurmandi, A. 1999. Manajemen Perkotaan. Lingkaran Bangsa, Yogyakarta.
Pemda Manokwari. 1985. Rencana Induk Kota Manokwari, Tahun 1985/1986–
2003/ 2004.
1997. Rencana Umum Tata Ruang Kota Manokwari,(Revisi Rencana Induk Manokwari 1985/2003), Kompilasi Data.
1998. Rencana Umum Tata Ruang Kota Manokwari Tahun 1998–2007.