8 2.1 Tinjauan Teoretis
2.1.1 Good Corporate Governance 1. Teori Keagenan (Agency Theory)
Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Devita (2011) hubungan agency muncul ketika satu orang atau lebih (principal) memperkerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut. Hubungan antara pihak agent dan principal mengarah pada kondisi ketidak seimbangan informasi atau asimetri informasi (asymetric information). Asimetri informasi terjadi karena pihak manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dimasa datang dibandingkan dengan pemegang saham dan stakeholder lainnya (Permata et al., 2012).
Akibat adanya informasi yang tidak seimbang (asimetri) ini, dapat menimbulkan dua permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan prinsipal untuk memonitor dan melakukan pengendalian (control) terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen dan Meckling (1976) dalam Devita (2011) menyatakan permasalahan tersebut adalah:
a. Moral hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja.
b. Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.
GCG merupakan konsep pengelolaan yang sesuai untuk meminimalkan masalah keagenan. Untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang antara pihak manajemen dengan kepentingan pemegang saham. Penerapan GCG diharapkan dapat memonitor dan menjadi alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor dan pemegang saham bahwa mereka akan mendapatkan return atas dana yang telah mereka investasikan.
2. Definisi dan Konsep Good Corporate Governance
The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) mendefinisikan GCG adalah struktur, sistem dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan sebagai upaya untuk memberikan nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya berdasarkan norma, etika, budaya dan aturan yang berlaku.
The Organization for Economic Corporation and Development (OECD) dalam Purwantini (2008) mengartikan Corporate Governance adalah sistem yang dipergunakan untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan perusahaan. Corporate Governance mengatur pembagian tugas, hak dan kewajiban mereka yang berkepentingan terhadap kehidupan perusahaan termasuk para pemegang saham, dewan pengurus, para manajer dan semua anggota, stakeholder non pemegang saham.
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), GCG adalah salah satu pilar dari sistem ekonomi pasar. Corporate governance berkaitan erat dengan kepercayaan baik terhadap perusahaan yang melaksanakannya maupun terhadap iklim usaha di suatu negara. Penerapan GCG mendorong terciptanya persaingan yang sehat dan iklim usaha yang kondusif. Oleh karena itu, diterapkannya GCG bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia sangat penting untuk menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkesinambungan (KNKG dalam Setyaningrum, 2012).
Dapat disimpulkan GCG adalah sistem yang mengatur hubungan antara pihak-pihak yang berkepentingan dan terdapat proses untuk mengatur bagaimana seharusnya cara menjalankan perusahaan. Penerapan GCG memerlukan komitmen dari seluruh jajaran organisasi dan penerapannya harus dipatuhi oleh semua pihak yang ada didalamnya. Sehingga apabila penerapan GCG dapat dilakukan, dalam jangka panjang
menciptakan nilai tambah bagi perusahaan untuk semua pihak yang berkepentingan baik pihak internal maupun pihak eksternal.
Dengan menerapkan GCG menumbuhkan kepercayaan shareholder dan stakeholder. Dengan kepercayaan yang baik, nilai perusahaan akan meningkat dan membantu investor membuat keputusan dalam investasinya. Bukan hanya dari pihak luar, penerapan GCG juga mempengaruhi perusahaan dalam memperoleh tambahan modal dari bank maupun dari pasar modal. Perusahaan akan lebih mudah mendapatkan modal karena perusahaan telah dipercaya dan mempunyai reputasi positif. Selain itu penerapan GCG dapat memastikan setiap proses bisnis berjalan sesuai prosedur yang berlaku, sehingga perusahaan dapat terhindar dari risiko hukum.
3. Prinsip-prinsip Good Corporate Governance
Prinsip-prinsip GCG yang menjadi indikator, oleh The Indonesian Institute of Corporate Governance dan Organization for Economic Coorperation and Development, yaitu:
Pertama, akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban organisasi perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secar efektif. Prinsip ini memuat kewenangan-kewenangan yang harus dimiliki oleh dewan komisaris dan direksi berserta kewajiban-kewajibannya kepada pemegang saham dan stakeholder lainnya.
Kedua, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian (kepatuhan) didalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan yang berlaku. Prinsip ini menekankan pada adanya sistem yang jelas untuk mengukur mekanisme pertanggung-jawaban perusahaan pada pemegang saham dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Ketiga, keterbukaan (transparency) yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. Dalam prinsip ini, informasi harus diungkapkan secara tepat waktu dan akurat.
Keempat, kewajaran (fairness) yaitu perlakuan yang adil dan setara didalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Perinsip ini menekankan pada jaminan perlindungan hak-hak para pemegang saham.
Kelima, kemandirian (independency) yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara propesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korposari yang sehat. Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, tidak saling mendominasi dan tidak dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
4. Penerapan Good Corporate Governance
The Indonesian Insitute for Corporate Governance (IICG) berkerjasama dengan Majalah SWA menyelenggarakan Indonesia Most Trusted Companies based on Corporate Governance Perception Index (CGPI) merupakan program tahunan sejak 2001 sebagai bentuk penghargaan terhadap inisiatif dan hasil upaya perusahaan dalam mewujudkan bisnis yang etikal dan bermartabat.
CGPI adalah pemeringakatan penerapan GCG pada perusahaan-perusahaan di Indonesia melalui riset yang dirancang untuk mendorong perusahaan meningkatkan kualitas penerapan konsep corporate governance melalui perbaikan yang berkesinambungan dengan melaksanakan evaluasi dan melekukan patok banding (benchmarking). CGPI mendorong dan menuntut perusahaan peserta untuk melakukan perbaikan atau peningkatan praktik GCG di lingkungannya (CGPI).
Survei CGPI 2012 diikuti oleh 40 perusahaan dengan tema manajemen resiko. Bisnis yang dijalankan perusahaan sangat berkaitan dengan resiko. Dimana banyak terjadi praktik bisnis yang menyimpang dan kasus manipulasi. GCG menjadi kunci untuk mengurangi resiko yang dihadapai perusahaan (SWA, 2012: 32).
Tema CGPI 2011 survei membidik tema “Good Corporate Governance dalam Perspektif Etika”. Tema ini diambil karena merabaknya praktik-praktik isnis yang tak terpuji. Diharapkan para anggota perusahaan bertindak jujur, menepati janji, serta menjunjung tinggi tata nilai dan
norma yang selaras dengan prinsip GCG dalam upaya mewujudkan bisnis yang beretika dan bermartabat. Survei diikuti oleh 33 perusahaan (SWA, 2011: 35).
“Good Corporate Governance dalam Perspektif Budaya” adalah tema yang dipilih dalam survei CGPI 2010. GCG sebagai budaya adalah untuk semakin membudayakan peneraapan GCG pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. Survei tersebut diikuti oleh 26 perusahaan (SWA, 2012: 30). Survei CGPI 2009 diikuti 22 perusahaan dengan tema “Good Corporate Governance dalam Perspektif Manajemen Stratejik”. GCG dapat menjamin dan memastikan keseluruhan proses dari manajemen stratejik berjalan dengan baik dan memberikan nilai tambah secara berkesinambungan bagi perusahaan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan seluruh stakeholder.
Penilaian CGPI dalam majalah SWA meliputi empat tahapan penilaian yakni: self assessment, penilaian dokumen, penilaian makalah presentasi, dan Observasi. Hasil riset berupa skor dan index persepsi penerapan GCG pada perusahaan publik dan BUMN di Indonesia.
Nilai CGPI dihitung dengan menjumlahkan nilai akhir dari pemenuhan regulasi, kebijakan, pedoman, dan praktik terbaik dalam penerapan GCG. Secara keseluruhan dipersyaratkan sekurang-kurangnya 40 dokumen untuk perusahaan publik dan 36 dokumen untuk BUMN (IICG, 2006: 7 dan 37 dalam Setyaningrum, 2012).
Tabel 1
Pemeringkatan Penilaian CGPI
Penerapan Corporate Governance Skor CGPI Sangat Terpercaya 85 - 100 Terpercaya 70 - 84
Cukup Terpercaya 55 - 69
Sumber: SWA Sembada 27 XXVIII (20 Desember 2012 - 9 Januari 2013), hal. 34.
SWA Sembada (2012: 36) menyatakan pentingnya penerapan GCG bagi perusahaan adalah: (1) Memastikan setiap proses bisnis berjalan sesuai prosedur yang berlaku. Sehingga perusahaan bisa terhindar dari risiko hukum, (2) Meminimalkan risiko disetiap kegiatan bisnis perusahaan, (3) Menumbuhkan dan mempertahankan reputasi positif perusahaan, (4) Menumbuhkan kepercayaan dari shareholder dan stakeholder, (5) Mendorong pertumbuhan perusahaan yang berkesinambungan (sustainablie), (6) Mepermudah perusahaan untuk memperoleh tambahan modal baik dari bank maupun dari pasar modal atau investor, termasuk investor asing, dan (7) Mendorong investor untuk memberikan apresiasi yang lebih tinggi terhadap (saham) perusahaan. Tata kelola perusahaan yang baik akan mampu memastikan aset dikelola secara hati-hati dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, perusahaan akan mampu menjalankan bisnisnya sesuai dengan peraturan yang berlaku dilandasi dengan etika bisnis yang telah disepakati dan dijunjung tinggi bersama.
2.1.2 Kebijakan dividen
1. Definisi dan Konsep Kebijakan Dividen
Sundjaja (2002: 341) mendefinisikan kebijakan dividen perusahaan adalah rencana tindakan yang harus diikuti dalam membuat keputusan dividen. Kebijakan dividen harus diformulasikan dengan memperhatikan tujuan untuk memaksimalisasikan kekayaan dari pemilik perusahaan dan untuk pembiayaan yang cukup.
Ketika sebuah perusahaan memperoleh laba bersih (net income) dan tingkat arus kas pada suatu periode tertentu, manajemen dihadapkan pada keputusan pemanfaatan laba tersebut. Dua alternatif penggunaan utama laba adalah : (1) dibagikan sebagai dividen, atau (2) ditahan sebagai laba ditahan (retained earnings). Keputusan inilah yang dikenal sebagai kebijakan dividen, yaitu menentukan seberapa besar atau proporsi laba yang akan dibagikan sebagai dividen (Gultom, 2008).
Kebijakan dividen menimbulkan keputusan pembagian dividen yang menyebabkan konflik antara manajer dan pemegang saham. Manajer harus mampu menentukan kebijakan yang akan menyeimbangkan dividen saat ini dan tingkat pertumbuhan dividen di masa yang akan datang sehingga dapat memaksimalkan harga saham dan nilai perusahaan dapat ditingkatkan.
Brigham dan Houston (2006: 97) menyatakan dalam praktiknya, kebijakan dividen bukanlah suatu keputusan yang independen. Keputusan dividen dibuat bersama-sama dengan keputusan struktur modal dan
keputusan penganggaran modal. Alasan yang mendasari adanya proses keputusan bersama ini adalah informasi asimetris, yang mempengaruhi tindakan yang diambil oleh manajemen dalam dua hal:
Pertama, manajer tidak ingin menerbitkan saham biasa baru. Informasi asimetris menyebabkan para investor memandang penerbitan saham baru sebagai suatu sinyal negatif dan akibatnya akan menurunkan ekspektasi sehubungan dengan prospek perusahaan di masa mendatang. Hasil akhirnya pengumuman penerbitan saham baru biasanya akan menurunkan harga saham.
Kedua, perubahan-perubahan dividen memberikan sinyal dari keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh para manajer akan prospek-prospek perusahaan di masa depan. Pengurangan atau penghapusan dividen akan memiliki pengaruh negatif signifikan pada harga saham perusahaan.
Pendapat Brigham dan Houston (2006) sejalan dengan penelitian Sutrisno (2009) yang menyatakan bahwa harga saham dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dividen. Dengan demikian besarnya dividen yang dibayarkan akan meningkatkan nilai perusahaan dan harga saham.
Pembagian dividen juga dipengaruhi oleh laba perusahaan. Nilai perusahaan akan meningkat bilamana laba perusahaan juga meningkat. Peningkatan laba perusahaan memberi sinyal kepada investor bahwa perusahaan mengalami peningkatan pertumbuhan. Sinyal tersebut ditunjukan dengan adanya pembagian keuntungan perusahaan kepada
investor berupa dividen. Semakin tinggi tingkat laba yang diperoleh perusahaan, maka keputusan pembagian dividen kepada pemegang saham akan semakin tinggi sebaliknya semakin rendah tingkat laba maka dividen yang dibagikan kepada pemegang saham juga akan semakin rendah (Pradyani et al., 2012).
2. Jenis-Jenis Kebijakan Dividen
Sundjaja et al. (2002: 341-344) menyatakan ada tiga jenis kebijakan dividen, yaitu:
1. Kebijakan dividen rasio pembayaran konstan (constant payout ratio dividend policy), yaitu bahwa pembayaran dividen didasarkan dalam persentase tertentu dari pendapatan yang dibayarkan kepada pemilik setiap periode pembagian dividen. Salah satu indikator kebijakan ini adalah dengan rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio), yang adalah persentase dari setiap rupiah yang dihasilkan, yang dibagikan kepada pemilik saham dalam bentuk tunai. Dihitung dengan membagi dividen kas per saham dengan laba per saham.
2. Kebijakan dividen teratur (regular dividend policy), yaitu kebijakan dividen yang didasarkan atas pembayaran dividen dengan rupiah yang tetap dalam setiap periode. Kebijakan ini digunakan dengan menggunakan target rasio pembayaran dividen (target dividend payout ratio).
3. Kebijakan dividen rendah teratur dan ditambah ekstra (low regular and extra dividend policy), yaitu kebijakan dividen yang didasarkan pada pembayaran dividen rendah yang teratur, ditambah dividen ekstra jika ada jaminan pendapatan.
3. Rasio Pengukuran Kebijakan Dividen
Horne dan Wachowicz (2013: 206) menyatakan kebijakan dividen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam keputusan pendanaan perusahaan. Rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) menentukan jumlah saldo laba dalam perusahaan sebagai sumber pendanaan. Akan tetapi, dengan menahan laba saat ini dalam jumlah yang lebih besar dalam perusahaan juga berarti lebih sedikit uang yang akan tersedia bagi pembayaran dividen saat ini. Jadi, aspek utama dari kebijakan dividen perusahaan adalah menentukan alokasi laba yang tepat antara pembayaran dividen dengan menambahkan saldo laba perusahaan.
Kebijakan dividen perusahaan tercermin dalam rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio), yaitu berapa bagian laba bersih yang dibayarkan sebagi dividen kepada pemegang saham. Dividend payout ratio (DPR) menggambarkan besarnya proporsi dividen yang dibagikan terhadap pendapatan bersih perusahaan. Semakin besar DPR yang dimiliki oleh perusahaan, maka semakin besar pula perusahaan tersebut membagikan labanya kepada pemegang saham dalam bentuk dividen (Hanafi, 2004: 44).
2.1.3 Kinerja Keuangan
1. Definisi dan Konsep Kinerja Keuangan
Informasi akuntansi sangat bermanfaat untuk menilai pertanggungjawaban kinerja manajer. Karena penilaian kinerja pada dasarnya merupakan penilaian perilaku manusia dalam melaksanakan peran yang dimainkannya dalam mencapai tujuan organisasi atau perusahaan. Kemungkinan yang lain adalah digunakannya informasi akuntansi bersamaan dengan informasi non akuntansi untuk menilai kinerja manajer atau pimpinan perusahaan (Sucipto, 2003 dalam Purwantini, 2008).
Calon investor dalam berinvestasi mempertimbangkan beberapa hal yang berhubungan dengan informasi yang dapat mereka pergunakan sebagai dasar keputusan investasi, diantaranya adalah mengenai kinerja keuangan perusahaan. Baik buruknya kinerja keuangan yang dimiliki oleh perusahaan dapat dilihat dari laporan keuangannya (Mahendra et al., 2012).
Menurut Dwiermayanti (2009 dalam Wati 2012), Kinerja keuangan perusahaan adalah suatu gambaran tentang kondisi keuangan suatu perusahaan yang dianalisis dengan alat-alat analisis keuangan.
Informasi kinerja keuangan berasal dari laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut dapat membantu investor, kreditor, dan para pengguna lainnya untuk membuat keputusan dan analisis saham serta menentukan prospek suatu perusahaan di masa yang akan datang.
2. Rasio Pengukuran Kinerja Keuangan
Tujuan penilaian kinerja keuangan untuk mengetahui apakah hasil yang dicapai perusahaan telah sesuai atau tidak dengan perencanaan perusahaan. Pengukuran kinerja keuangan perusahaan dapat menggunakan rasio profitabilitas.
Brigham dan Houston (2003 dalam Mardiyanti et al., 2012) menyatakan rasio profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dari kegiatan bisnis yang dilakukan. Hasilnya, investor dapat melihat seberapa efisien perusahaan menggunakan aset dan dalam melakukan operasinya untuk menghasilkan keuntungan. Rasio profitabilitas merupakan hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan yang dilakukan oleh perusahaan.
Menurut Mahendra et al. (2012) profitabilitas menunjukkan tingkat keuntungan bersih yang mampu diraih oleh perusahaan pada saat menjalankan operasinya. Keuntungan yang layak dibagikan kepada pemegang saham adalah keuntungan setelah bunga dan pajak, sehingga dengan profitabilitas yang tinggi dapat memberikan nilai tambah kepada nilai perusahaannya yang tercermin pada harga sahamnya.
Profitabilitas adalah hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan yang dilakukan oleh perusahaan. Rasio-rasio profitabilitas yaitu Net Profit Margin (NPM), Return On Equity (ROE), dan Return On Asset (ROA) (Brigham dan Houston, 2006: 107).
1. Rasio laba bersih (Net Profit Margin) merupakan ukuran keuntungan dengan membandingkan pendapatan bersih perusahaan atas penjualan (Wati, 2012). Rasio ini menunjukan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba pada tingkat penjualan dan menunjukan keefektifan manajemen dalam mengelola laporan keuangan perusahaan. Semakin tinggi NPM yang didapatkan perusahaan, semakin baik operasi suatu perusahaan
2. Rasio laba atas ekuitas (Return On Equity) menunjukan daya untuk menghasilkan laba atas investasi berdasarkan nilai buku para pemegang saham. ROE membandingkan neto setelah pajak (dikurangi dividen saham biasa) dengan ekuitas yang telah diinvestasikan pemegang saham di perusahaan (Horne dan Wachowicz, 2012: 183-184). ROE yang tinggi menunjukan kinerja keungan perusahaan baik dan mengakibatkan investor tertarik menanamkan modal.
3. Rasio laba atas aset (Return On Asset) menunjukan kemampuan perusahaan dalam memanfaatkan penggunaan asetnya untuk menciptakan laba tanpa membedakan dari mana sumber pendanaannya (Ratih, 2011). ROA membandingkan laba bersih yang tersedia bagi pemegang saham biasa dengan total aktiva (Brigham dan Houston, 2006: 108). Semakin tinggi ROA menunjukan kinerja keuangan perusahaan semakin baik dan menunjukan laba yang diperoleh atas aset yang digunakan.
Pengukuran kinerja keuangan perusahaan merupakan salah satu indikator yang di pergunakan oleh investor untuk menilai suatu perusahaan yang tercermin dari harga pasar saham di Bursa Efek. Semakin tinggi kinerja keuangan perusahaan maka semakin tinggi pula return yang akan di dapatkan oleh investor. Investor akan berusaha mencari perusahaan yang memiliki kinerja yang terbaik dan menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut dengan jalan membeli saham-sahamnya. Sehingga dari peningkatan pembelian saham perusahaan akan meningkatnya harga saham dan nilai perusahaan akan mengikuti.
2.1.4 Nilai Perusahaan
Menurut Andri dan Hanung (2007) dalam Retno dan Priantinah (2012) nilai perusahaan adalah nilai jual perusahaan atau nilai tumbuh bagi pemegang saham, nilai perusahaan akan tercermin dari harga pasar sahamnya. Semakin tinggi harga saham, maka semakin tinggi kemakmuran pemegang saham.
Nilai perusahaan dicerminkan pada kekuatan tawar menawar saham. Apabila perusahaan diperkirakan sebagai perusahaan mempunyai prospek pada masa yang akan datang, maka nilai sahamnya menjadi tinggi. Sebaliknya, apabila perusahaan dinilai kurang memiliki prospek maka harga saham menjadi rendah (Usunariyah, 2003: 54 dalam Mardiyanti et al., 2012).
Nilai perusahaan merupakan tujuan utama ( goal ) perusahaan. Salah satu rasio yang bisa digunakan untuk mengukur nilai perusahaan berdasar nilai pasarnya dan nilai buku perusahaan adalah Tobin’s-Q seperti yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya (Ratih, 2011).
Tobin’s-Q dikembangkan oleh James Tobins (1969). Rasio ini merupakan rasio yang membandingkan nilai pasar saham perusahaan dengan nilai bukunya. Rasio ini dihitung dengan membagi nilai pasar (market value) perusahaan dengan nilai pengganti dari aset perusahaan (replacement value of firm’s assets). Tobin’s-Q yang rendah (antara 0 dan 1) berarti bahwa biaya pengganti dari suatu aset perusahaan adalah lebih besar dibandingkan dengan nilai dari harga sahamnya. Ini mengimplikasikan bahwa saham tersebut dinilai rendah (undervalued), sedangkan Tobin’s-Q yang tinggi (lebih dari 1) mengimplikasikan bahwa saham perusahaan jauh lebih mahal dari biaya pengganti aset perusahaan tersebut. Pengukuran dari penilaian saham ini adalah faktor pendorong di balik pengambilan keputusan investasi dalam model Tobin’s-Q (Gultom, 2008).
2.1.5 Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang dijaikan sumber penelitian dengan tema penelitian yang sama dan berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Tabel 2
Penelitian Terdahulu
No Peneliti
(Tahun) Tujuan Metode Analisis Variabel Hasil Penelitian 1 2 Carningsih (2009) Wijaya et al. (2010) Untuk mengetahui pengaruh kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan dengan adanya mekanisme good corporate governance. Untuk mengetahui pengaruh keputusan investasi, keputusan pendanaan, dan kebijakan dividen terhadap nilai perusahaan. Analisis regresi berganda Analisis regresi berganda Variabel independen: 1. Return on Asset (ROA) 2. Return on Equity (ROE) Variabel dependen: 1. Tobin’s Q Variabel moderating: 1. Komisaris independensi Variabel independen: 1. Price Earning Ratio (PER) 2. Debt to Equity Ratio (DER) 3. Dividend Payout Ratio (DPR) Variabel dependen: 1. Price Book Value (PBV) 1. ROA berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. 2. ROE tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. 3. Proporsi komisaris independensi tidak mempunyai nilai signifikan terhadap nilai perusahaan. 1. Keputusan investasi berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. 2. Keputusan pendanaan berpengaruh positif terhadap nialai perusahaan. 3. Kebijakan dividen
3 Ratih (2011) Untuk menguji apakah terdapat pengaruh good corporate governance terhadap nilai perusahaan dengan kinerja keuangan sebagai variabel intervening. Analisis jalur (Path Analysis) Variabel independen: 1. Corporate Governance Perception Index (CGPI) Variabel dependen: 1. Nilai perusahaan (Tobin’s-Q) Variabel intervening: 1. Net Profit Margin (NPM) 2. Return on Aseets (ROA) berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Pengaruh langsung: 1. CGPI tidak berpengaruh terhadap NPM. 2. CGPI tidak berpengaruh terhadap ROA. 3. NPM berpengaruh terhadap NP. 4. ROA berpengaruh terhadap NP. 5. CGPI tidak berpengaruh terhadap NP. Pengaruh tidak langsung: 1. CGPI tidak berpengaruh terhadap NP dengan NPM sebagai variabel intervening. 2. CGPI tidak berpengaruh terhadap NP dengan ROA sebagai variabel intervening.
4 5 Mardiyanti et al. (2012) Via Octinia (2013) Untuk membuktika n pengaruh kebijakan dividen, kebijakan hutang, dan profitabilita s terhadap nilai perusahaan. Untuk memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh penerapan good corporate governance, kebijakan dividen, profitabilita s terhadap nilai perusahaan Analisis regresi berganda Analisis regresi berganda Variabel independen: 1. Dividend Payout Ratio (DPR) 2. Debt to Equity Ratio (DER) 3. Return on Equity (ROE) Variabel dependen: 1. Price Book Value (PBV) Variabel independen: 1. Corporate Governance Perception Index (CGPI) 2. Devidend Payout Ratio (DPR) 3. Return on Equity (ROE) Variabel dependen: 1. Tobin’s-Q 1. Kebijakan dividen memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. 2. Kebijakan hutang berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. 3. Profitabilitas memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Dalam proses penelitian
2.2 Rerangka Pemikiran
Gambar 1
Rerangka pemikiran pengaruh penerapan good corporate governance, kebijakan dividen dan profitabilitas terhadap nilai perusahaan Keterangan:
1. Dalam mendirikan sebuah perusahaan harus memiliki tujuan yang jelas. 2. Tujuan perusahaan adalah untuk memaksimalkan kesejahteraan pemilik
perusahaan atau pemegang saham.
Nilai Perusahaan Tobin’s-Q Perusahaan 1 4 2 3 Penerapan GCG CGPI Pemegang Saham Tujuan Perusahaan Kebijakan dividen DPR Profitabilitas ROE
3. Memaksimalkan kesejahteraan pemilik perusahaan yaitu dengan memberikan kemakmuran kepada pemegang saham sehingga nilai perusahaan akan meningkat. Nilai perusahaan menggunakan ukuran yang dikembangkan oleh James Tobins (1969) dalam Gultom (2008) yaitu Tobin’s-Q. Rasio ini merupakan rasio yang membandingkan nilai pasar saham perusahaan dengan nilai bukunya.
4. Dalam penelitian ini pengujian yang dilakukan adalah apakah penerapan good corporate governance yang diukur dengan Corporate Governance Perception Index (CGPI), kebijakan dividen diukur dengan Dividend Payout Ratio (DPR) dan profitabilitas diukur dengan Return on Equity (ROE) berpengaruh terhadap nilai perusahaan yang diukur dengan Tobin’s-Q.
2.3 Perumusan Hipotesis
2.3.1 Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance Terhadap Nilai Perusahaan
Penerapan GCG pada perusahaan adalah sebagai sistem pengawas yang dapat memberikan jaminan keamanan untuk pemegang saham atas dana atau aset yang tertanam pada perusahaan tersebut. Ratih (2011) hasil pengujian pengaruh CGPI terhadap nilai perusahaan tidak terbukti kebenarannya. Tidak terdapat pengaruh CGPI terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian tersebut mengidentifikasikan tidak dipertimbangkannya informasi tersebut oleh para investor, yang berarti pula dianggap tidak ada
nilai ekonomis lebih yang bisa ditimbulkan dari perolehan peringkat The Indonesia Most Trusted Company-CGPI.
Hasil penelitian Ratih (2011) berbeda dengan pemaparan menurut IICG menyatakan manfaat CGPI adalah: (1) Penataan organisasi perusahaan yang belum sesuai dan belum mendukung terwujudnya GCG, (2) Peningkatan kesadaran dan komitmen bersama dari internal perusahaan dan stakeholder terhadap penerapan GCG, (3) Pemetaan masalah-masalah strategis dalam praktik GCG, dan (4) Alternatif perbaikan indikator atau standar mutu pencapaian kualitas corporate governance.
Berdasarkan tinjauan teori dan penelitian sebelumnya yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: H1a : Penerapan good corporate governance berpengaruh terhadap nilai
perusahaan.
2.3.2 Pengaruh Kebijakan Dividen Terhadap Nilai Perusahaan
Kebijakan dividen berhubungan dengan nilai perusahaan. Kebijakan dividen menciptakan keseimbangan diantara dividen saat ini dan pertumbuhan di masa mendatang sehingga memaksimumkan harga saham perusahaan (Weston dan Brigham, 2005 dalam Mardiyati et al., 2012). Hasil penelitian Wijaya et al. (2010) bahwa kebijakan dividen berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Kebijakan dividen tersebut adalah membagikan laba yang diperoleh perusahaan kepeda pemegang saham dalam bentuk dividen. Implikasi bagi perusahaan adalah perusahaan
harus merencanakan untuk mengambil kebijakan dividen yang membagikan labanya kepada pemegang saham dalam bentuk dividen daripada menahan labanya dalam bentuk capital gain karena dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Berbeda dengan hasil penelitian Madayati et al. (2012) menyimpulkan Kebijakan dividen secara parsial memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap nilai perusahaan manufaktur. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Miller dan Modligiani yang menyatakan bahwa kebijakan dividen tidak mempengaruhi nilai perusahaan karena rasio pembayaran dividen hanyalah rincian dan tidak mempengaruhi kesejahteraan pemegang saham. Meningkatnya nilai dividen tidak selalu diikuti dengan meningkatnya nilai perusahaan. Karena nilai perusahaan ditentukan hanya oleh kemampuan perusahaan menghasilkan laba dari aset-aset perusahaan atau kebijakan investasinya.
Berdasarkan tinjauan teori dan penelitian sebelumnya yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: H1b : Kebijakan dividen berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
2.3.3 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Nilai Perusahaan
Profitabilitas yang diproksi oleh Return on Equity (ROE) memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Hal ini berarti semakin tinggi nilai profit yang didapat maka akan semakin tinggi nilai perusahaan. Karena profit yang tinggi akan memberikan indikasi prospek
perusahaan yang baik sehingga dapat memicu investor untuk ikut meningkatkan permintaan saham. Permintaan saham yang meningkat akan menyebabkan nilai perusahaan yang meningkat (Mardiyanti et al., 2012). Hasil penelitian yang berbeda ditemukan oleh Carningsih (2009) Return on Assets (ROA) terbukti berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan, sedangkan Return on Equity (ROE) tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
Suatu perusahaan untuk dapat melangsungkan aktivitas operasinya, haruslah berada dalam keadaan yang menguntungkan (profitable). Tanpa adanya keuntungan akan sulit bagi perusahaan untuk menarik modal dari luar. Perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi akan diminati sahamnya oleh investor. Sehingga, dengan demikian profitabilitas dapat mempengaruhi nilai perusahaan (Mardiyati et al., 2012).
Berdasarkan tinjauan teori dan penelitian sebelumnya yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: H1c : Profitabilitas berpengaruh terhadap nilai perusahaan.