BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Strategi brand extension bagai pisau bermata dua karena di satu sisi strategi
ini bisa menghasilkan keuntungan berganda, namun di sisi lain juga mampu mematikan. Dengan kondisi yang demikian, Mizone tetap memilih brand extension sebagai strategi dalam mengelola brand nya dan lebih memilih untuk menghadapi resiko tersebut. Sebagai penerapan strategi ini Mizone, sebuah brand minuman isotonik menghadirkan Mizone Fres’in, sebuah produk minuman non isotonik.
Mengingat bahwa konsumen adalah penentu akhir keberhasilan suatu bisnis maka menjadin sangat penting untuk mengetahui sikap konsumen sehubungan dengan keberadaan brand baru dari Mizone ini. Berdasar teori sikap ABC Solomon yang melihat sikap dari tiga komponan (afektif, behavioral dan kognitif) yang saling berhubungan (setiap komponen mempengaruhi komponen lain), maka sikap yang ditunjukkan konsumen dalam memberikan reaksi atas hadirnya Mizone Fres’in adalah sebagai berikut.
Dari segi afektif, konsumen merasa bahwa Mizone Fres’in tidak lebih baik dari Mizone Isotonik ataupun dari minuman ringan lain. Rasa Mizone Fres’in yang tidak enak menjadi masalah besar meskipun sudah didukung dengan popularitas
parent brand. Konsumen cenderung tidak menyukai Mizone Fres’in dan merasa
bahwa Mizone lebih berkualitas daripada Mizone Fres’in. Dari segi behavioral, konsumen cenderung bingung atas ketidakjelasan brand Mizone Fres’in sehingga merasa tidak ada beda antara Mizone Fres’in dan Mizone Isotonik. Rasa yang tidak sesuai dengan ekspektasi konsumen membuat konumen enggan melakukan pembelian kembali. Dari segi kognitif, konsumen mengetahui kehadiran produk-produk baru yang turut meramaikan industri ini termasuk juga mengetahui kehadiran Mizone Fres’in sebagai produk baru dari Mizone, tetapi kondisi konsumen yang tak
benar-benar mampu memahami definisi dari minuman isotonik maupun minuman non isotonik berdampak pada ketidakjelasan brand meaning antara Mizone dan Mizone Fres’in.
Dengan demikian kondisi yang terjadi pada konsumen saat ini adalah, konsumen mengetahui hadirnya Mizone Fres’in sebagai produk baru dari Mizone dimana Mizone Fres’in berbeda dengan Mizone yang merupakan minuman isotonik. Sangat disayangkan pengetahuan konsumen ini hanya sebatas tahu saja. Tahu bahwa Mizone adalah isotonik dan Mizone Fres’in adalah minuman non isotonik. Konsumen tidak benar-benar paham perbedaan diantara keduanya. Meskipun melalui berbagai serial iklan televisi maupun kampanye online Mizone selalu mengatakan bahwa Mizone Fres’in adalah produk baru dan berbeda dengan Mizone karena Mizone Fres’in adalah minuman non isotonik, namun dalam iklan tersebut kurang dijelaskan secara lebih mendalam perbedaan manfaat dan penggunaannya sehari-hari. Pada akhirnya yang terjadi adalah konsumen merasa kebingungan.
Jangankan untuk membedakan diantara keduanya, konsumen masih belum benar-benar paham esensi dari minuman isotonik itu sendiri. Asosiasi terkuat tentang minuman isotonik adalah Pocari Sweeat. Kendati Mizone juga minuman isotonik, Mizone disukai bukan karena posisinya sebagai minuman isotonik, tetapi lebih kepada posisinya sebagai Mizone itu sendiri.
Setelah konsumen mencoba Mizone Fres’in, ternyata kubu konsumen terbagi menjadi dua, yaitu kubu yang menyatakan bahwa rasa Mizone Fres’in tidak enak dan kubu yang menyatakan rasa Mizone Fres’in enak. Mereka yang yang menyatakan bahwa rasa Mizone Fres’in tidak enak sudah barang tentu tidak ingin melakukan pembelian lagi. Hal serupa dengan konsumen yang menyatakan bahwa rasa Mizone Fres’in enak, mereka juga tidak ingin melakukan pembelian lagi lantaran masih banyak minuman ringan lain yang mampu memenuhi keinginan mereka. Intension to
Kendati berada di bawah nama besar brand Mizone, namun Mizone kurang bisa memfasilitasi Fres’in melalui popularitasnya. Konsumen lebih mengandalkan indra perasa dalam memilih minuman, tidak peduli produk baru tersebut berasal dari
brand mana. Kalau rasanya tidak enak maka konsumen tidak bersedia untuk
melakukan kontinyuitas pembelian yang mana secara otomatis juga tidak akan terbentuk loyalitas. Popularitas Mizone hanya berguna sesaat untuk memperoleh
awareness konsumen.
Fenomena ’awareness sesaat’ ini identik dengan yang terjadi pada Aqua Splash of Fruit. Perbedaannya adalah konsumen Aqua Splash of Fruit cenderung tidak bisa menerima kenyataan bahwa ada Aqua yang memiliki rasa buah. Padahal selama ini Aqua adalah air mineral murni tanpa rasa. Sementara kasus Mizone Fres’in dikarenakan ekuitas merek Fres’in sendiri yang belum jelas dan kurangnya edukasi kepada konsumen. Dengan demikian saat ini Mizone menghadapi ancaman besar berupa kebingungan konsumen yang kurang mampu membedakan brand
meaning antara Mizone dan Mizone Fres’in. Dilusi atas brand meaning ini dapat
membahayakan karena produk ekstensi bisa gagal dan merusak citra parent brand. Latar belakang konsumen turut memberkan porsi terhadap kecenderungan sikap konsumen, meskipun tidak semua latar belakang tersebut memiliki porsi terhadap kecenderungan tersebut. Dalam kasus Mizone Fres’in ini laki-laki memiliki unsur intension to buy yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perempuan dan penerimaan konsumen laki-laki terhadap Mizone Fres’in lebih baik dari konsumen perempuan. Penerimaan yang baik dan kecenderungan intension to buy yang tinggi ini tak lepas dari komponen afektif konsumen laki-laki yang memiliki nilai positif. Tentu hal ini menjadi berbahaya jika tidak segera direspon oleh Mizone karena bisa saja positioning Mizone Fres’in justru akan mengarah pada minuman ringan untuk laki-laki dan pada akhirnya brand meaning yang sudah diciptakan dengan sedemikian rupa semakin kabur dan salah sasaran.
B. Saran
Melihat kondisinya yang belum terlalu mendesak meskipun harus segera ditindak, penulis menilai bahwa Mizone Fres’in masih bisa diselamatkan dan ancaman yang dihadapi oleh Mizone tersebut dapat diminimalisir jika Mizone menempuh beberapa langkah.
Langkah pertama, hendaknya Mizone memperbaiki konten iklan karena iklan atau kampanye yang dilakukan selama ini belum mampu mengedukasi konsumen dengan baik. Berbagai serial iklan televisi yang ditayangkan hanya mengatakan bahwa Mizone Fres’in non isotonik, beda, dan segar. Manfaat Mizone Fres’in hanya disampaikan dengan pendekatan humor ‘plesetan’ melalui adegan botol kemasan yang bisa digunakan untuk karaoke, main gitar dan bentuk aktifitas lain dan cenderung adegan itu tidak ada esensinya kecuali untuk menghibur semata. Belum membawa pesan manfaat dan waktu konsumsi dengan pendekatan yang lebih serius. Memperbaiki konten iklan dengan memasukkan adegan-adegan yang menggambarkan manfaat maupun waktu konsumsi Mizone Fres’in serta adegan-adegan yang menggambarkan manfaat maupun waktu konsumsi Mizone akan mengedukasi konsumen dan menjauhkan dari resiko ketidakjelasan brand meaning yang bisa membingungkan konsumen .
Langkah kedua adalah memperbanyak varian rasa dan melakukan brand
activation. Respon negatif terhadap dua varian rasa terdahulu dapat dianulir dengan
menghadirkan varian rasa baru yang lebih enak. Setelah varian baru ini hadir, perlu digalakkan strategi brand activation agar konsumen bisa merasakan varian rasa terbaru dari Mizone Fres’in.
Secara keseluruhan peneliti hanya berfokus pada sikap konsumen terhadap Mizone Fres’in yang mana dari sikap tersebut dapat diprediksikan peluang Mizone Fres’in untuk berkembang di pasar. Sikap adalah sebuah proses yang tak pernah berhenti, oleh karena itu kajian tentang sikap ini hendaknya selalu mengikuti perkembagan yang terjadi pada konsumen. Perlu adanya follow up kembali terhadap
sikap konsumen untuk mengetahui perkembangan Mizone Fres’in di pasaran. Selain itu, dalam penelitian ini peneliti tidak menelisik lebih dalam tentang bagaimana proses pengambilan keputusan tersebut terjadi. Oleh karena itu untuk penelitian selanjutnya diharapkan peneliti dapat mengevaluasi kembali sikap konsumen terhadap Mizone Fres’in, serta menjabarkan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh konsumen. Metode yang digunakan hendaknya tak hanya melalui survei, tetapi juga dikombinasikan dengan FGD sehingga mampu mengetahui secara lebih mendalam bagaimana pola konsumsi tersebut terbentuk.
Penelitian ini juga tidak mengungkap secara lebih dalam bagaimana strategi dan tujuan Mizone dalam memasarkan Mizone Fres’in sehingga akan lebih baik jika peneliti selanjutnya turut mepertimbangkan aspek internal perusahaan agar dapat terpetakan tak hanya efek yang terjadi di ranah audiens, tetapi juga dapat mengetahui proses produksi pesan. Jika ditemukan kelemahan atau kekurangan perusahaan dalam melaksanakan strategi pemasaran tersebut, maka akan dapat ditemukan pula alternatif solusi agar memperoleh sikap positif dari konsumen.