• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI ETNOBOTANI RAMUAN PENGOBATAN PENYAKIT SISTEM PENCERNAAN DAN PEREDARAN DARAH PADA MASYARAKAT KARO GUGUNG, KABUPATEN KARO, SUMATERA UTARA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STUDI ETNOBOTANI RAMUAN PENGOBATAN PENYAKIT SISTEM PENCERNAAN DAN PEREDARAN DARAH PADA MASYARAKAT KARO GUGUNG, KABUPATEN KARO, SUMATERA UTARA SKRIPSI"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI ETNOBOTANI RAMUAN PENGOBATAN PENYAKIT SISTEM PENCERNAAN DAN PEREDARAN DARAH PADA

MASYARAKAT KARO

GUGUNG

, KABUPATEN KARO, SUMATERA UTARA

SKRIPSI

FUJI WULANDARI 150805003

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2020

(2)

STUDI ETNOBOTANI RAMUAN PENGOBATAN PENYAKIT SISTEM PENCERNAAN DAN PEREDARAN DARAH PADA

MASYARAKAT KARO GUGUNG, KABUPATEN KARO, SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

FUJI WULANDARI 150805003

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2020

(3)

PERNYATAAN ORISINALITAS

STUDI ETNOBOTANI RAMUAN PENGOBATAN PENYAKIT SISTEM PENCERNAAN DAN PEREDARAN DARAH PADA

MASYARAKAT KARO GUGUNG, KABUPATEN KARO, SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Januari 2020

Fuji Wulandari 150805003

(4)

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Fuji Wulandari

Nomor Induk Mahasiswa : 150805003

Judul Penelitian : Studi Etnobotani Ramuan Pengobatan Penyakit

Sistem Pencernaan dan Peredaran Darah

Pada Masyarakat Karo Gugung, Kabupaten Karo,

Sumatera Utara

Pembimbing : Dr. T. Alief Aththorick, M.Si.

Menyatakan bahwa penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi (PDUPT) DPRM-DIKTI 2019 atas nama Dr. T. Alief Aththorick, M.Si. dengan judul “Kearifan Lokal Pengelolaan Sumberdaya Tumbuhan Obat Untuk Mendukung Keberlanjutan Pemanfaatannya Pada Suku Karo Sumatera Utara”.

Medan, Januari 2020 Mengetahui,

Hormat Saya Ketua Program Studi

Fuji Wulandari Dr. Saleha Hannum, M.Si.

150805003 NIP. 197108312000122001

(5)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Studi Etnobotani Ramuan Pengobatan Penyakit Pencernaan dan Peredaran Darah Pada Masyarakat

Karo Gugung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara

Kategori : Skripsi

Nama : Fuji Wulandari

Nomor Induk Mahasiswa : 150805003 Program Studi : Sarjana Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Disetujui di Medan, Januari 2020

Ketua Program Studi Pembimbing,

Dr. Saleha Hannum, M.Si Dr. T Alief Aththorick, M.Si NIP. 197108312000122001 NIP. 196909191999031002

(6)

STUDI ETNOBOTANI RAMUAN PENGOBATAN PENYAKIT SISTEM PENCERNAAN DAN PEREDARAN DARAH PADA

MASYARAKAT KARO GUGUNG, KABUPATEN KARO, SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Pengetahuan tentang tanaman obat merupakan warisan budaya berdasarkan pengalaman turun-temurun, dengan adanya perkembangan teknologi dan derasnya arus modernisasi dikhawatirkan pengetehauan tentang tumbuhan obat hilang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan, jenis tumbuhan obat dan degradasi pengetahuan tumbuhan obat untuk penyakit sistem pencernaan dan peredaran darah pada suku Karo Gugung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Metode yang digunakan adalah wawancara open ended yaitu wawancara terbuka dan mendalam kepada tabib/batra selaku informan kunci dan pemberian quisioner kepada pasien dan masyarakat untuk mengetahui kondisi sosial, ekonomi serta pengetahuan tentang tanaman obat. Dari hasil penelitian penyakit yang paling sering diderita masyarakat Karo Gugung adalah asam lambung, masuk angin, sakit perut dan maag.

Sebanyak 100 jenis tumbuhan obat berhasil diidentifikasi yang tergolong ke dalam 43 famili. Bagian tumbuhan yang paling sering digunakan adalah daun. Diantara tumbuhan obat tersebut, bawang putih (Allium sativum L.) merupakan tumbuhan obat yang memiliki nilai ICS (Index cof Cultural Significance) tertinggi yaitu 250.

Adapun cara meramu tumbuhan obat yaitu direbus, diminum, disembur, di oles ataupun dimakan langsung.

Kata Kunci : ICS (Index of Cultural Significance), masyarakat Karo Gugung, penyakit pencernaan, peredaran darah, tumbuhan Obat,

(7)

ETHNOBOTANICAL STUDY OF GASTROINTESTINAL AND BLOOD CIRCULATION REMEDIES BY KARO GUGUNG

COMMUNITY, KARO REGENCY, NORTH SUMATRA

ABSTRACT

Study of medicine plant were belong to cultural legacy base on their heredity experiences. Within the expension of technology and the current modernitation will fading the knowledges about utilization of medical plant the aim of this research were to know the usage from species of medicinal plant, and to know the knowladge’s degradation about medinal plant for gastrointestinal and blood circulation by Karo Gugung Community, Karo Regency, North Sumatra.

Methodology used in this study was an open-ended interview and deep investigation with the shaman as the key informant. Meanwhile questionnaires were given to the patient and community to obtain their current socioeconomical demography and ethnobotanical wisdom of plants used to treat gastrointestinal and blood circulation disease. Based on our study, the most common illness in Karo Gugung community was gastric pain, nausea, and stomach ache. Total of 100 medicinal plant species belonging to 43 families. The most utilized plant part is the foliar part. Among the medicinal plants, the garlic (Allium sativum L.) was known as the highest utilized species with the ICS (Index of Cultural Significance) index of 250. The method in formulating the medicinal plant are by boiling, raw eaten or drunk, sprayed out, and smeared on patient’s body.

Key words: Blood circulation disease, Gastrointestinal disease, ICS (Index of Cultural Significance), Karo Gugung community, Medicinal plant

(8)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang Maha telah memberikan anugerah kuasaNya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi penelitian yang berjudul “Studi Etnobotani Ramuan Pengobatan Penyakit Sistem Pencernaan Dan Peredaran Darah Pada Masyarakat Karo Gugung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara”.

Selesainya skripsi penelitian ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, dengan rasa penuh hormat, tulus dan ikhlas penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. T Alief Aththorick, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan yang begitu banyak baik materil, masukan, bimbingan, serta arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian serta penyempurnaan hasil ini, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya atas kebaikan beliau. Ibu Dr. Etti Sartina Siregar, M.Si selalu dosen penguji dan dosen pembimbing akademik serta Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku dosen penguji yang telah banyak memberi saran dan masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta skripsi ini dengan baik. Ibu Dr. Saleha Hannum, M.Si selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU dan seluruh staf dosen maupun pegawai yang telah memberikan ilmu yang tak terhingga di kampus, laboratorium maupun di lapangan.

Terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Alm. Danil dan Ibunda Eliya selaku orangtua, serta kepada M. Iqbal, Dewi Sartika, Majmi Susi Arini dan M.

Rizky selaku saudara kandung yang telah memberi kasih sayang, mendoakan dan memotivasi penulis hingga saat ini.

Terima kasih kepada Keluarga Bapak Naksir Surbakti dan Bapak Aslan Perangin-angin selaku informan kunci yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman yang luar biasa di lapangan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Yulianda Sri Wulandari sebagai rekan yang baik hati bersama-sama melewati progres perkuliahan, penelitian hingga sampai pembuatan skripsi ini. Terima juga kepada Erdy, Christian, Julius dan Ardi yang telah membantu penulis saat penelitian dilapangan.

(9)

Terima kasih Kepada rekan-rekan Herbarium Medanense, Laboratorium Sistematika Tumbuhan dan Ekologi Tumbuhan yang telah membantu dan banyak memberi pelajaran serta pengalaman baik dilapangan maupun dilaboratorium.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Teman-teman SOY 2015, teman kos Sahabat 07 Kak Linda, Kak asuh Fina, Kak Mita, Iin, Fitri dan Putri serta sahabat YOLO Rizki, Riska, Maya, Nisa dan Asri yang telah menemani dan berjuang bersama selama 4,5 tahun ini. Terima kasih juga kepada Sahabat Ayu, Dwi, Retno, Lili, Fajar, Ardi, Wita, Noni dan Shella yang telah menemani, menghibur dan memotivasi penulis saat mengerjakan skripsi.

Terima kasih kepada seluruh rekan yang tidak tersebut namanya. Penulis menyadari bahwa penulisan hasil penelitian ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan kritikan yang membangundemi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Medan, 12 Januari 2020

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

PENGESAHAN SKRIPSI i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

PENGHARGAAN iv

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB 1. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan 2

1.4 Manfaat 2

BAB 2. TINJUAN PUSTAKA 3

2.1 Etnobotani 3

2.2 Tanaman Obat 4

2.3 Suku Karo Gugung 5

2.3 Pengobatan Penyakit 7

BAB 3. BAHAN DAN METODE 9

3.1 Waktu dan Tempat 9

3.2 Deskripsi Area 9

3.3 Metode Penelitian 10

3.3.1 Di Lapangan 10

3.3.2 Penentuan responden 10

3.3.3 Di Laboratorium 10

3.4 Analisis Data 11

3.4.1 Indeks Kepentingan Budaya 11 3.4.2 Perhitungan Degradasi Pengetahuan (D) Pada

Masyarakat Karo Jahe di Kabupaten Langkat

12

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 13

4.1 Kepercayaan dan Pengetahuan Masyarakat Karo Gugung Tentang Pengobatan Tradisional

13 4.1.1 Kepercayaan Masyarakat Karo Gugung terhadap

Pengobatan Tradisional

13 4.1.2 Sistem Pengobatan Pada Masyarakat Karo Gugung 14 4.1.3 Pengetahuan Masyarakat karo Gugung Tentang Tanaman

Obat

15 4.1.4 Frekuensi Penggunaan Tumbuhan Obat Pada

Masyarakat Karo

16 4.1.5 Tingkat Kepentingan Tumbuhan Obat Pada 17

(11)

Masyarakat Karo Gugung

4.1.6 Informasi Tumbuhan Obat yang di Dapat Pada Masyarakat Karo Gugung

18 4.2. Tabib/Dukun Yang Mengobati Penyakit Pada Suku Karo

Gugung

18 4.3 Jenis-jenis Tmbuhan Obat dan Pemanfaatannya Sebagai

Obat Penyakit Sistem Pencernaan dan Sistem Peredaran Darah

19

4.4 Ramuan Penyakit Sistem Pencernaan dan Sistem Peredaran Darah Pada Suku Karo Gugung

30 4.5 Pengelompokkan Penyakit Sistem Pencernaan dan sistem

Peredaran Darah Pada Suku Karo Gugung

35 4.6 Index of CulturL Significance (ICS) Tumbuhan Obat Untuk

Penyakit Sistem pencernaan dan Peredaran Darah

37 4.7 Degradasi Pengetahuan Tumbuhan Obat Untuk Penyakit

Sistem Pencernaan dan Peredaran Darah Pada Suku Karo Gugung

38

4.8 Deskripsi Jenis-jenis Tumbuhan Obat Untuk Penyakit Sistem Pencernaan dan Sistem Peredaran Darah pada Suku Karo Gugung

39

BAB 5. KESIMPULAN 55

5.1 Kesimpulan 55

5.2 Saran 55

DAFTAR PUSTAKA 56

LAMPIRAN 58

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

4.1.1 Kepercayaan masyarakat Karo gugung terhadap pengobatan tradisional

13 4.1.2 Sistem pengobatan pada masyarakat Karo gugung 14 4.1.3 Pengetahuan masyarakat Karo gugung tentang tumbuhan

obat

15 4.1.4 Frekuensi penggunaan tumbuhan obat pada masyarakat

Karo

16 4.1.5 Tingkat kepentingan tumbuhan obat pada masyarakat Karo

gugung

17 4.1.6 Informasi tumbuhan obat yang didapat pada masyarakat

Karo gugung

18 4.3 Jenis tumbuhan obat untuk penyakit sistem pencernaan dan

sistem peredaran darah pada masyarakat Karo gugung

19 4.4 Pengelompokkan skor kegunaan (q) penyakit sistem

pencernaan dan sistem peredaran darah

30 4.5 Sepuluh jenis tumbuhan dengan nilai ics tertinggi 35 4.6 Degradasi pengetahuan tumbuhan obat untuk penyakit

sistem pencernaan dan peredaran darah pada suku Karo gugung

37

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1. Nilai ICS masing-masing tumbuhan obat 58

2. Identitas responden 61

3. Contoh perhitungan indeks kepentingan budaya atau Index of Cultural Significance (ICS)

63 4. Contoh perhitungan degradasi pengetahuan (D) 64 5. Kuisioner etnobotani tumbuhan obat sistem pencernaan

dan sistem peredaran darah pada masyarakat Karo Gugung kabupaten Karo

65

6. Contoh tabel data wawancara pemanfaatan ramuan pengobatan penyakit sistem pencernaan dan peredaran darah pada suku Karo Gugung, kabupaten Karo

68

7. Contoh tabel data hasil wawancara nilai q, i, dan e pada masyarakat Karo Gugung di Kabupaten Karo

69

8. Foto penelitian 70

9. Surat Identifikasi Herbarium Medanense 73

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi, baik keanekaragaman hayati maupun tradisi (cultural diversity). Keberagaman tersebut memunculkan pengetahuan lokal dalam interaksinya dengan lingkungan (Rahayu et al., 2009), salah satunya yaitu interaksi dengan tumbuhan yang banyak dimanfaatkan masyarakat lokal. Masyarakat Indonesia sudah cukup lama mengenal dan menggunakan tumbuhan berkhasiat obat sebagai upaya untuk mengobati penyakit sebelum adanya pengobatan modern dengan obat-obat sintetik. Pengetahuan tentang tanaman obat merupakan warisan budaya berdasarkan pengalaman turun temurun. Oleh karena itu pengetahuan tentang tanaman obat sangat penting untuk dijaga dan dikembangkan sebagai bentuk kekayaan bangsa (Kartasaputra, 1996).

Etnobotani merupakan suatu ilmu atau cara untuk mendokumentasikan pengetahuan suatu etnis mengenai tumbuhan, khususnya tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat (Suryadarma, 2008). Tumbuhan obat digunakan bagian-bagiannya seperti daun, batang, atau akar yang mempunyai khasiat sebagai obat dan digunakan sebagai bahan mentah dalam pembuatan obat tradisional dan modern (Zuhud,1991).

Penyakit saluran pencernaan dan peredaran darah sangat umum terjadi di masyarakat. Penyakit saluran pencernaan merupakan penyakit yang berbahaya dan menyebabkan kematian nomor 6 di dunia (Istiqomah & Fadlil, 2013) dan penyakit pada sistem peredaran darah di negara-negara Asia menduduki tempat ketiga hingga kelima dalam urutan penyakit yang menyebabkan kematian (Martjdono, 1993).

Penyakit tersebut tentu dapat dicegah dan disembuhkan dengan obat, salah satunya adalah ramuan tradisional yang memanfaatkan tumbuhan. Pengobatan tradisional merupakan manifestasi dari partisipasi aktif masyarakat dalam menyelesaikan problematika kesehatan (Darwis, 2012).

Karo merupakan salah satu dari beberapa etnis atau suku yang terdapat di daerah Provinsi Sumatera Utara. Suku Karo terletak pada dataran tinggi kabupaten Karo. Masyarakat Karo yang mendiami daerah kabupaten Karo sering disebut

(15)

sebagai Karo Gugung(Sembiring, 2015). Kehidupan sosial dan kemasyarakatannya masih sarat dengan budaya dan sistem kekerabatan yang dipertahankan sampai sekarang. Potensi ini tentunya merupakan salah satu modal dasar yang sangat tinggi nilainya dalam mengelola potensi alam dan wilayah. salah satunya adalah pemanfaatan sumber daya alam tumbuhan sebagai obat tradisonal. Berbagai penelitian membuktikan bahwa etnis Karo merupakan salah satu etnis yang memiliki pengetahuan tentang obat tradisional (Silalahi, 2014). Oleh karena itu Karo dikenal sebagai salah satu etnis yang memiliki pengetahuan tentang obat tradisional, yaitu minyak param, kuning dan tawar (Purba,2015).

Pengetahuan tentang tanaman obat banyak didapat dari orangtua atau turun temurun, dengan adanya perkembangan teknologi dan derasnya arus modernisasi dikhawatirkan pengetahuan tentang tumbuhan obat hilang. Oleh karena itu dilakukan penelitian ini untuk mendokumentasikan, melestarikan, mengembangkan serta menjadi referensi penelitian lebih lanjut.

1.2 Permasalahan

Masyarakat Karo Gugung memiliki pengetahuan tentang tumbuhan obat yang tinggi. Pemanfaatan tumbuhan obat suku Karo gugung penyakit sistem pencernaan dan peredaran darah belum pernah dikaji sebelumnya. Dengan adanya perkembangan teknologi dan derasnya arus modernisasi, dikhawatirkan pengetahuan tentang tumbuhan obat berkurang lalu hilang.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemanfaatan, jenis tumbuhan obat dan degradasi pengetahuan tumbuhan obat untuk penyakit sistem pencernaan dan peredaran darah pada suku Karo Gugung, Kabupaten Karo.

1.4 Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi penelitian lebih lanjut terkait studi etnobotani khususnya di Sumatera Utara, serta diharapkan dapat menjadi acuan pengetahuan pemanfaatan tumbuhan obat pada sistem pencernaan dan peredaran darah.

(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etnobotani

Etnobotani adalah ilmu yang mempelajari hubungan manusia dengan tumbuhan. Terminologi etnobotani sendiri muncul dan diperkenalkan oleh ahli tumbuhan Amerika Utara, John Harshberger tahun 1895 untuk menjelaskan disiplin ilmu yang menaruh perhatian khusus pada masalah-masalah terkait tumbuhan yang digunakan oleh orang-orang primitif dan aborigin. Harshberger memakai kata Ethnobotanyuntuk menekankan bahwa ilmu ini mengkaji sebuah hal yang terkait dengan dua objek, “ethno” dan “botany”, yang menunjukkan secara jelas bahwa ilmu ini adalah ilmu terkait etnik (suku bangsa) dan botani (tumbuhan) (Hakim, 2014).

Bidang-bidang kajian seperti botani, biokimia, farmakognosi, toksikologi, kedokteran, ilmu gizi, ekologi, evolusi, hukum, ekonomi sumberdaya, sosiologi, antropologi, linguistik dan berbagai ilmu lainnya memainkan peran penting dalam studi etnobotani. Sifat alamiah dari pada etnobotani tersebut mempunyai sebuah konsekuensi bahwa pendekatan-pendekatan yang dipakai didalammya beragam, dan ini membuka peluang bagi peneliti etnobotani mendekatinya dari bidang manapun yang dianggapnya sesuai untuk memecahkan persoalannya.

Kajian etnobotani sangat luas dan bermacam-macam, namun demikian hal tersebut dapat dikelompokkan menurut beberapa kategori di bawah ini, yang disusun berdasarkan ranking pemeringkatan dari paling disukai atau sering dikaji sampai dengan paling jarang dikaji, meliputi: 1) Tanaman obat-obatan 2) Domestikasi dan asal-mula tanaman dalan sistem terkaiat budidaya 3) Archaeobotany 4) Tanaman berguna (edibel) 5) Studi etnobotani secara umum 6) Agroforestri dan kebun/pekarangan 7) Penggunaan sumberdaya hutan 8) Studi terkait kognitif 9) Studi sejarah, dan Studi pasar. Etnobotani tanaman obat sebagai bidang yang paling banyak dikaji menunjukkan peran penting informasi dari masyarakat tradisional terkait upaya-upaya penyembuhan berbagai penyakit. Hal ini sangat relevan dengan kondisi dunia saat ini dimana anekara ragam penyakit mulai muncul dan gagal dipecahkan dengan pendekatan modern (Hakim, 2014).

(17)

2.2 Tanaman Obat

Tanaman adalah sumber obat tradisional yang digunakan untuk pengobatan penyakit. Sekitar 422.000 tanaman berbunga didunia, ada lebih dari 50.000 telah digunakan di seluruh dunia untuk pengobatan (Walter & Hamilton, 1993).

Penggunaan tanaman obat secara lokal umum dilakukan terutama di daerah negara berkembang, yang memiliki sedikit atau tidak sama sekali akses ke layanan kesehatan modern. Sebagian besar orang lokal menjaga tradisi hingga bertahun-tahun lamanya dan sangat bergantung pada tanaman liar untuk kebutuhan sehari-hari seperti makanan, pakan ternak dan obat-obatan (Adnan et al., 2015).

Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunai kenaekaragaman suku bangsa terbesar di dunia. Tercatat kurang lebih 159 suku marga yang mendiami ribuan kepulauan di seluruh Nusantara. Keanekaragaman suku bangsa ini menyebabakan perbedaan dalam pemanfaatan tumbuhan baik dalam bidang ekonomi, spriritual, nilai-nilai budaya, kesehatan, kecantikan bahkan pengobatan penyakit (Zaman, 2009).

Tumbuhan obat merupakan tumbuhan yang biasa digunakan oleh berbagai etnik di Indonesia sebagai bahan obat guna mengobati berbagai penyakit atau masalah gangguan kesehatan. Indonesia dikenal memiliki keanekaragam tumbuhan sangat tinggi, dengan telah tercatat sekitar 40.000 jenis tumbuhan. Di antara jenis- jenis tumbuhan tersebut, 130 jenis di antaranya dimanfaatkan masyarakat Indonesia sebagai obat tradisional (Sapoetra, 1992).

Penggunaan bahan alam, baik sebagai obatmaupun tujuan lain cenderung meningkat, terlebih dengan adanya isu back to nature serta krisis berkepanjangan yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat. Obat tradisional (obat herbal) banyak digunakan masyarakat menengah ke bawah terutama dalam upaya pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuantif), pemulihan kesehatan (rehabiltatif) serta peningkatan kesehatan (promotif) (Zaman, 2009).

Dalam mengobati suatu jenis penyakit, masyarakat Karo menggunakan lebih dari satu jenis tumbuhanyang berupa ramuan obat seperti jamu, param, semar, dikunyah dikumur dan sebagainya.Penjelasan tentang penggunaan obat terutama untuk mengobati suatu penyakit seperti batuk, sakit kulit, sakit perut, rematik, sesak napas, demam dan sakit kepala. Pemanfaatan obat tradisonal dapat menjadi pilihan

(18)

utama masyarakat karena akses fasilitas kesehatan yang jauh dan harga obat sintesis yang mahal. Sebagian masyarakat dapat menggunakan tanaman obat karena tanaman tersebut memiliki khasiat-khasiat tertentu (Hariyadi, 2001).

Mayarakat etnis Karo mempunyai beberapa teknik pengobatan tradisional yaitu mengurut dengan minyak (erminak alun), memanggil jiwa (kicik/releng tendi), mantera (tabas-tabar), menyembur (semburi), menempel ramuan (erdampel), menetes ramuan (anggih), mandi dengan rempah (erpangir), mengusap atau mengoles ramuan tradisional (erkuning), dan mandi uap (oukup). Pada masyarakat Karo juga mengenal pengobatan tradisisional dan modern. Ada 2 jenis penyakit yaitu penyakit naturalistik dan personalistik. Penyakit naturalistik disebabkan karena melemahnya kondisi fisik seseorang, sedangkan penyakit personalistik disebabkan oleh adanya pengaruh agen tertentu misalnya kutukan dan roh halus. Penyakit naturalistik dapat disembuhkan dengan tumbuhan yang ada di sekitar lingkungan dan hutan (Purba, 2015).

2.3 Suku Karo Gugung

Sumatera Utara memiliki 3 suku asli yakni Batak, Melayu dan Nias. Hasil survei penduduk tahun 2010 diketahui jumlah penduduk Indonesia yang bersuku Batak adalah 3,58%; suku Melayu sebesar 2,27% sedangkan Nias hanya 0,44%.

Nilai tersebut menjadikan suku Batak sebagai jumlah penduduk ketiga terbanyak yang mendominasi Indonesia jika diurutkan berdasarkan suku. Suku Batak merupakan suku besar yang di dalamnya terdapat tujuh sub suku yakni Batak Angkola, Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Tapanuli dan Batak Toba. Setiap sub suku Batak memiliki aturan adat, tata krama, hingga bahasa yang berbeda (Sibero dan Sibero, 2017).

Sebagai salah satu etnik dari beratus etnik yang dimiliki Nusantara tentu memiliki keunikan kesenian tersendiri. Karo merupakan salah satu dari beberapa etnis atau suku yang terdapat di daerah Provinsi Sumatera Utara. Nama suku ini dijadikan sebagai nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami yaitu Kabupaten Karo. Kabupaten Karo ini yang terletak di dataran tinggi Tanah Karo. Ibu kota dari kabupaten Karo adalah Kabanjahe. Berdasarkan wilayah geografis, masyarakat Karo mendiami daerah Kabupaten Karo (meliputi Tanah Karo Simalem dan sekitarnya) dan Kabupaten Langkat. Masyarakat Karo yang mendiami daerah

(19)

kabupaten Karo sering disebut sebagai Karo Gugung yang artinya adalah masyarakat Karo yang mendiami dataran tinggi (pegunungan). dan masyarakat Karo yang menempati Kabupaten Langkat disebut sebagai Karo Jahe yang artinya adalah sebagian masyarakat Karo yang mendiami dataran rendah wilayah Langkat dan Deli Serdang (Sembiring, 2015).

Secara geografis, Kabupaten Karo berada pada ketinggian 400 sampai 1600 meter di atas permukaan laut, dengan luas wilayah seluruhnyakira-kira 2.127,25 km persegi, atau 27,9 % dari luas keseluruhan Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan klimatologi atau iklimnya Kabupaten Karo mempunyai iklim yang sejuk dengan suhu berkisar 16° sampai 17°C. Kabupaten Karo terletak pada koordinat 2° 50' lintang utara sampai 3° 19' lintang utara dan 97° 55' bujur timur sampai 98° 38' bujur timur. Berdasarkan data sensus yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Karo pada tahun 2010, orang Karo yang mendiami dataran tinggi hanya berkisar 350 ribu kepala keluarga (KK). Sedangkan sebagian besar orang Karo lainnya bertempat tinggal secara tersebar di wilayah , yang secara historis memiliki wilayah asalnya di daerah pegunungan (Bukit Barisan) di wilayah Provinsi Sumatera Utara Sekarang, khususnya di wilayah Kabupaten Karo dan sekitarnya.

Masyarakat suku Karo Gugung, sebagian besar hidup sebagai petani, terutama pada sayur-sayuran dan buah-buahan. Masyarakat Karo mengatur kehidupan sehari-harinyaberpegang pada keselarasan hidup yang tersusun dalam adat istiadatnya. Seperti umumnya masyarakat tradisional di Indonesia, masyarakat Karo Gugung sangat mempercayai bahwa manusia, sejak lahir sampai kematiannya tidak lepas dari fungsi-fungsi sosialnya. Menggunakan dan memanfaatkan sumber daya alam tumbuh-tumbuhan adalah salah satu bentuk pemahaman bagaimana orang Karo Gugung mengelola sumber daya alamnya. Pola yang demikian memperkuat dugaan bahwa orang Karo mengenali sistem pemilahan dan pengelompokan. Sumber daya tumbuh-tumbuhan tersebut untuk berbagai keperluan hidup (Sinuhaji, 2015).

Masyarakat Karo sangat tergantung dengan alam untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka berkembang dari masyarakat rimba menjadi masyarakat agraris yang berbasis subsistem dan pertanian komersil. Alam dijadikan sebagai sumber mata pencaharian, bahan obat-obatan, upacara adat dan bahan makanan (Bangun, 2010).

Kebiasaan hidup tersebut menjadikan masyarakat Karo memiliki pengetahuan lokal.

(20)

Pengetahuan lokal tersebut dapat digunakan untuk kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam termasuk tumbuhan obat (Purba, 2015).

2.4 Pengobatan Penyakit

Di Indonesia saat ini terjadi transisi epidemiologi yang menyebabkan terjadinya pergeseran pola penyakit, yaitu adanya peningkatan penyakit degeneratif.

Penyakit degeneratif adalah penyakit tidak menular yang berlangsung kronis karena kemunduran fungsi organ tubuh akibat proses penuaan, seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes, kegemukan dan lainnya (Handajani et al., 2010).

Setiap penyakit semakin bertambah setiap tahun nya, seperti penyakit sistem pencernaan dan penyakit peredaran darah, dikarenakan pengetahuan akan gejala awal suatu penyakit yang kurang, kesadaran akan kesehatan masyarakat yang masih rendah, kebiasaan hidup, perilaku dan pola pikir dari masyarakat yang ingin hidup praktis, sarana media penyampaian informasi tentang penyakit yang masih kurang, serta minimnya jumlah tenaga medis (Istiqomah & Fadlil, 2013).

Dalam etnis Karo, obat tradisional sudah digunakan sejak dahulu dan diturunkan secara turun-temurun dari berbagai sumber. Alasan masyarakat Karo dalam menggunakan pengobatan tradisional juga sangat berkaitan erat dengan konsep kesehatan menurut masyarakat Karo sendiri, karena konsep kesehatan yang ada dalam lingkup budaya dan sosial mereka akan sangat mempengaruhi dalam mencari pengobatan atas suatu keadaan pada diri mereka yang dianggap sebagai penyakit. Karena masyarakat Karo sejak dari duhulunya selalu memanfaatkan hasil alam untuk menyembuhkan penyakitnya (Sinuhaji, 2015).

2.4.1 Pengobatan Penyakit Sistem Peredaran Darah

Penyakit pada sistem peredaran darah di negara-negara Asia menduduki tempat ketiga hingga kelima dalam urutan penyakit yang menyebabkan kematian. Di antara faktor-faktor risiko yang sering dikemukakan ialah hipertensi, diabetes mellitus, hiperlipidemi, obesitas, cara hidup, merokok, penyakit jantung dan beberapa penyakit lain (Mardjono, 1993).

Adapaun tumbuhan yang dapat mengobati penyakit sistem peredaran darah seperti darah tinggi/jantung yaitu Bawang Putih (Allium sativum), Blimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi), Kertau (Urena lobata), Kembang Darah Tinggi (Widelia

(21)

biflora), Diabetes yaitu Manggis (Garcinia mangostana), Kayu Lampas/Tembesu (Fagraea fragrans), kolestrol yaitu Delima (Punica sp.) dan angin duduk Jahe Merah (Zingiber officinale), Bawang Putih(Allium sativum),Wortel (Daucatus carota) (Waluyo et al., 2015). Pada etnis Karo juga memanfaatkan daun Justicia gandarusa (Besi-besi), daun Aglaia odoratissima dan daun Mimosa pudica sebagai obat hipertensi (Purba, 2015).

2.4.2 Pengobatan Penyakit Sistem Pencernaan

Penyakit saluran pencernaan merupakan penyakit yang berbahaya dan menyebabkan kematian nomor 6 di dunia, dikarenakan pengetahuan akan gejala awal suatu penyakit yang kurang, kesadaran akan kesehatan masyarakat yang masih rendah, kebiasaan hidup, perilaku dan pola pikir dari masyarakat yang ingin hidup praktis, sarana media penyampaian informasi tentang penyakit yang masih kurang, serta minimnya jumlah tenaga medis (Istiqomah & Fadlil, 2013).

Salah satu gangguan yang pencernaan yang sering terjadi yaitu diare.

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR penyakit Diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk (Kemenkes RI, 2011).

Tumbuhan yang dapat digunakan dalam mengobati sistem pencernaan adalah kencur. Seperti yang diketahui khasiat kencur bersama dengan bahan lain dalam ramuan dapat digunakan sebagai obat disentri, maag, pencahar, campuran obat sariawan, bengkak, radang lambung, urat tegang dan batuk kering pada anak-anak (Hariyadi, 2001). Adapun Ketepeng (Cassia alata) mengobati maag/lambung, Pinang (Areca catechu) Akar Sebakbak/Akar serbabak (Spatholobus ferrungianus) Ruk duruk/Senduduk (Melastoma malabatricum) mengobati ambien (Waluyo et al., 2015).

(22)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2019 di dua Kecamatan yaitu Kecamatan Berastagi di desa Doulu dan Kecamatan Merdeka di desa Semangat Gunung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

3.2 Deskripsi Area Desa Doulu dan Desa Semangat Gunung

Desa Doulu secara keseluruhan memiliki luas wilayah sekitar 300 Ha. Desa Doulu memiliki batas-batas wilayah, yaitu : Sebelah Utara berbatasan dengan Deleng Macik Sebelah Selatan berbatasan dengan Deleng Singkut Sebelah Timur berbatasan dengan Deli Serdang atau Sempulen Angin Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Semangat Gunung (Raja Berneh). Sedangkan Desa Semangat Gunung memilik luas 1115 Ha. Secara Geografis terletak pada 3º10’3”--3º11’33’’LU dan 98º28’55”-- 98º29’55” BT. Batas wilayah Desa Semangat Gunung meliputi Kabupaten Deli Serdang pada sebelah utara, Taman Hutan Raya Bukit Barisan pada sebelah selatan, Desa Doulu pada sebelah timur, dan Kabupaten Langkat pada sebelah barat (Aini, 2015).

*Ket: Kecamatan Brastagi Kecamatan Merdeka

(23)

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Di Lapangan

Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan wawancara secara open ended dan dengan kuisioner.Pada wawancara secara Open ended dilakukan wawancara terbuka yang dilakukan kepada informan kunci yaitu battra (tabib) secara mendalam tentang jenis tumbuhan obat, bagian yang digunakan dan cara pengaplikasian tumbuhan obat pada penyakit sistem pencernaan dan peredaran darah. Sedangkan untuk kuisioner yaitu dengan memberi kuisioner pertanyaan kepada pasien dan masyarakat untuk mengetahui kondisi sosial, ekonomi serta pengetahuan tentang tanaman obat penyakit sistem pencernaan dan sistem peredaran darah.

Setelah diperoleh data kemudian dilakukan metode jelajah yang dilakukan di sekitar tempat penelitian, yang dibantu oleh pemandu lapangan yang dianggap memiliki pengetahuan tentang tumbuhan obat tersebut. Setiap sampel yang di koleksi diberi label gantung dan diberi nomor koleksi kemudian dilakukan deskripsi terhadap setiap sampel dan dicatat nama daerahnya. Sampel diletakkan di dalam lipatan koran, kemudian dimasukkan ke dalam plastik ukuran 10 kg diawetkan dengan alkohol 70%

dan di tutup rapat menggunakan lakban coklat.

3.3.2 Penentuan Total Responden

Ditentukan 10 responden untuk satu desa dari setiap kecamatan pada lokasi penelitian.

3.3.3 Di Laboratorium

Spesimen yang berasal dari lapangan dikeringkan degan menggunakan oven yang selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan buku-buku acuan antara lain:

a. Wide of Rice in Indonesia (Soejrani. Kostermans dan Tjirosoepomo, 1987) b. Plant Resources of South-East Asia No 12 (1) Medical and Poisonus Plants 1

(De Padua, Bunyapraphatsara and Lemmens, 1999).

c. Plant Resources of South-East Asia No 12 (2) Medical and Poisonus Plants 2 (De Padua, Bunyapraphatsara and Lemmens, 2002).

d. Revised Flora of Malaya, Fern of Malaya Volume II (Holtum, 1968).

(24)

e. Flora Eksotika Tanaman Hias Berbunga (Suryowinoto, 1997).

f. A Field Guide To Common Sumatran Trees (De Wulf, 1987).

g. Flora Pegunungan Jawa (Van Stenis, 2010).

3.4 Analisis Data

3.4.1 Indeks Kepentingan Budaya atau Index of Cultural Significance (ICS) Angka hasil perhitungan ICS menujukkan tingkat kepentingan setiap jenis tumbuhan berguna oleh masyarakat. Untuk menghitung index of cultural significance dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

𝐼𝐶𝑆 = ∑(𝑞 × 𝑖 × 𝑒 )

𝑛

𝑖=1

𝑛𝑖

Keterangan: ICS = index of cultural significance, adalah jumlah dari perhitungan pemanfaatan suatu jenis tumbuhan dari 1 hingga n, dimana n menunjukkan pemanfaatan yang kesekiannya (terakhir); sedangkan simbol i menggambarkan nilai 1 hingga ke n, dan seterusnya.

1. Nilai kualitas (quality value) = q, dihitung dengan menggunakan cara memberikan skor atau nilai terhadap kualitas dari suatu jenis tumbuhan, sebagai contohnya:

a. Nilai 5 = penyakit yang sering di derita, harus segera diobati, penyakit yang sangat berbahaya.

b. Nilai 4 = penyakit yang sering di derita, harus segera diobati, penyakit yang berbahaya.

c. Nilai 3 = penyakit yang sering di derita, harus segera diobati, penyakit yang tidak berbahaya.

d. Nilai 2 = penyakit yang jarang di derita namun penyakit yang berbahaya.

e. Nilai 1 = penyakit yang jarang di derita dan penyakit yang tidak berbahaya.

2. Nilai intensitas (intensity value) = i, yaitu menggambarkan intensitas penggunaan dari jenis tumbuhan dengan memberikan nilai, misalnya:

a. Nilai 5 = sangat tinggi intensitas penggunaannya.

b. Nilai 4 = tinggi intensitas penggunannya.

c. Nilai 3 = sedang intensitas penggunannya.

d. Nilai 2 = jarang intensitas penggunaannya.

(25)

e. Nilai 1 = sangat jarang intensitas penggunannya.

3. Nilai ekslusivitas (exclusivity value) = e, menggambarkan tumbuhan tersebut bisa digantikan dengan tumbuhan lain atau tidak. Sebagai contoh;

a. Nilai 2 = paling disukai dan menjadi pilihan utama.

b. Nilai 1 = tidak menjadi pilihan utama atau bisa menjadi tumbuhan pengganti.

3.4.2 Perhitungan Degradasi Pengetahuan (D) Pada Masyarakat Karo Jahe di Kabupaten Langkat

D1 =∑ 𝑪−∑ 𝑨

∑ 𝑪 x 100%

D2 =∑ 𝑪−∑ 𝑩

∑ 𝑪 x100%

D3 =∑ 𝑩−∑ 𝑨

∑ 𝑩 x 100%

Dimana:

D(1,2,3) = Degradasi tumbuhan obat penyakit sistem pencernaan dan peredaran darah.

∑A = Jumlah manfaat tumbuhan yang diketahui oleh kelompok umur A (20-35 tahun)

∑B = Jumlah manfaat tumbuhan yang diketahui oleh kelompok umur B (36-50 tahun)

∑C = Jumlah manfaat tumbuhan yang diketahui oleh kelompok umur C (>50 tahun)

(26)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kepercayaan dan Pengetahuan Masyarakat Karo Gugung Tentang Pengobatan Tradisional

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada pasien dan masyarakat, didapat berupa data kepercayaan, sistem pengobatan, pengetahuan, frekuensi pengobatan, tingkat kepentingan dan informasi tumbuhan obat pada masyarakat Karo Gugung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

Tabel 4.1.1 Kepercayaan Masyarakat Karo Gugung Terhadap Pengobatan Tradisional

No. Kelompok Umur Responden

Kurang Percaya (%)

Cukup Percaya (%)

Percaya (%) Sangat Percaya (%)

1. A (20-35 tahun) 0 10 18,33 5

2. B (36 -50 tahun) 0 8,33 18,33 6,66

3. C ( > 50 tahun) 0 1,66 15 16,66

Berdasarkan Tabel 4.1.1 dapat diketahui tingkat kepercayaan masyarakat Karo Gugung terhadap pengobatan tradisional, pada kelompok umur A dan B percaya dengan pengobatan tradisional untuk penyembuhan penyakit, karena penggunaan tumbuhan obat sudah menjadi budaya bagi masyarakat Karo Gugung.

Menurut Dwisatyadini (2017), masyarakat lokal percaya dan terbiasa untuk menggunakan obat tradisional. Pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tanaman sebagai obat hanya sebatas pengetahuan turun temurun.

Pada kelompok umur C memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap penggunaan pengobatan tradisional. Hal ini dikarenakan kelompok umur C sejak dahulu sudah menggunakan obat-obat tradisional untuk penyembuhan dan memiliki banyak pengalaman dalam menggunakan obat sehingga kelompok umur C (>50 tahun) sangat percaya dengan pengobatan tradisional.

Penelitian Sinuhaji (2015) saat mewawancarai informan kunci yang berumur 70 dan 78 tahun pada maysyarakat Karo Gugung tumbuhan obat didapat dari hutan yang diramu sehingga mereka percaya tumbuhan obat tradisional mempunyai begitu

(27)

banyak manfaat yang bisa dirasakan, sehingga informan kunci beranggapan ramuan Karo adalah warisan budaya yang berasal dari zaman dahulu.

Tabel 4.1.2 Sistem Pengobatan Pada Masyarakat Karo Gugung

No. Kelompok Umur Responden

Sendiri (%)

Tabib/

Dukun (%)

Bidan (%) Dokter (%)

Puskemas/

Rumah sakit (%)

1. A (20-35 tahun) 3,33 1,66 0 1,66 16

2. B (36 -50 tahun) 3,33 1,66 3,33 3,33 21,66

3. C ( > 50 tahun) 10 1,66 1,66 1,66 18,33

Berdasarkan Tabel 4.1.2 dapat diketahui bahwa sistem pengobatan masyarakat Karo Gugung kebanyakan memilih berobat ke puskesmas, hal ini dikarenakan pada setiap Desa sudah mempunyai puskesmas dan bantuan berupa Kartu Indonesia Sehat/BPJS. Dengan adanya bantuan seperti itu masyarakat lebih memilih berobat ke puskesmas karena mereka beranggapan obat modern cepat menyembuhkan penyakit jika dibandingkan dengan obat-obatan tradisional yang jangka waktu penyembuhannya cukup lama. Akan Tetapi kebanyakan masyarakat tidak berobat langsung ke puskesmas jika penyakit yang dialami tidak terlalu serius, karena masyarakat lebih memilih menggunakan obat tradisional.

Menurut Hartanto et al. (2014) meskipun masyarakat lokal sudah mulai maju seiring berdirinya infrastruktur seperti rumah sakit/puskesmas, serta adanya program jaminan kesehatan nasional BPJS sangat membantu masyarakat untuk meringankan biaya pengobatannya, sehingga pada saat sekarang ini banyak ditemui pasien yang menggunakan layanan BPJS Kesehatan salah satunya di pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) (Pertiwi dan Nurcahyanto 2015). Namun sebagian besar masyarakat lokal masih mempercayai dan mengandalkan sistem pengobatan tradisional sebagai upaya dalam menyembuhkan berbagai penyakit ringan (Hartanto et al., 2014).

Beberapa kelompok umur C lebih memilih berobat sendiri karena kelompok umu ini sangat mengetahui tentang tumbuhan obat. Mereka beranggapan bahwa obat-obatan modern menyembuhkan penyakit yang bersifat sementara, sehingga dikhawatirkan penyakit akan kambuh kembali. Sedangkan obat-obatan tradisional didapat dari tumbuh-tumbuhan alami tanpa bahan kimia yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit secara tuntas jika mengkonsumsi obat-obatan

(28)

tradisional dengan rutin dan tidak mengkonsumsi makanan yang dilarang. Abdiyani (2008) dalam Waluyo (2015) mengungkapkan, kelebihan pengobatan dengan menggunakan ramuan tumbuhan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern.

Tabel 4.1.3 Pengetahuan Masyarakat Karo Gugung Tentang Tumbuhan Obat

No. Kelompok Umur Responden

Tidak Tahu (%)

Kurang tahu (%)

Cukup tahu (%)

Tahu (%) Sangat tahu (%)

1. A (20-35 tahun) 3,33 16,66 6,66 5 0

2. B (36 -50 tahun) 3,33 6,66 11,66 11,66 0

3. C ( > 50 tahun) 1,66 5 8,33 13,33 5

Berdasarkan Tabel 4.1.3 dapat diketahui pengetahuan masyarakat Karo Gugung tentang tumbuhan obat, pada kelompok umur C sangat mengetahui jenis- jenis tumbuhan yang digunakan sebagai pengobatan. Darnaedi (1999) mengatakan, pengetahuan tumbuhan sebagai obat tradisional hanya dimiliki oleh orangtua dan dukun yang berumur lebih dari 50 tahun. Selaras dengan Tabel 4.1.1 tentang kepercayaan tumbuhan obat, dimana umur yang lebih tua sudah menggunakan obat- obat tradisional sejak dahulu hingga sekarang, sehingga memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang tumbuhan obat lebih banyak.

Pada kelompok B hanya sedikit mengetahui jenis-jenis tumbuhan obat. Dan pada kelompok umur A sangat sedikit yang mengetahui jenis-jenis tumbuhan obat.

Pada kelompok umur A dan B biasanya lebih memilih membeli obat tradisional dari pada meramu sendiri, hal ini dikarenakan tidak semua masyarakat tertarik dan hanya sedikit masyarakat yang ingin mempelajari ramuan tradisional, sehingga masyarakat pada usia ini memiliki pengetahuan yang sangat sedikit tentang tumbuhan obat.

Menurut Darwis (2012) hanya sedikit masyarakat yang tahu tentang tanaman obat karena kurangnya pemanfaatan tumbuhan tersebut oleh masyarakat setempat yang disebabkan oleh kurangnya rasa ingin tahu atau rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai manfaat dari tumbuhan yang ada di sekitarnya dan lebih memilih membeli obat tradisional dari pada meramu sendiri.

Menurut Sinuhaji (2015), diketahui bahwa setiap orang melakukan pengobatan tradisional meskipun secara pengetahuan mereka tidak tahu menahu komposisi dan bagaimana cara meramu hingga menjadi obat, akan tetapi mereka

(29)

merasakan manfaatnya baik untuk kesehatan sehingga mereka menggunakan ramuan obat Karo. Dari pemaparan tersebutdapat simpulkan bahwa pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat etnis Karo sendiri tidak secara terperinci mengetahui pengobatan tradisional khas etnis Karo yang ada di tengah-tengah mereka.

Tabel 4.1.4 Frekuensi Penggunaan Tumbuhan Obat Pada Masyarakat Karo

No. Kelompok Umur Responden

Tidak Pernah (%)

Jarang

(%) Pernah (%) Sering (%)

Sangat Sering (%)

1. A (20-35 tahun) 1,66 1,66 16,66 11,66 1,66

2. B (36 -50 tahun) 0 3,33 10 11,66 8,33

3. C ( > 50 tahun) 0 1,66 5 11,66 15

Dari Tabel 4.1.4 dapat diketahui frekuensi penggunaan tumbuhan obat pada masyarakat Karo Gugung yaitu semakin tinggi tingkat umur masyarakat maka penggunaan obat tradisional semakin sering, begitu juga sebaliknya semakin rendah umur masyarakat maka semakin rendah penggunaan tumbuhan obat. Hal ini selaras dengan Tabel 4.1.1 dan Tabel 4.1.3 dimana kelompok umur C adalah orangtua yang memiliki pengetahuan, pengalaman dan kepercayaan terhadap pengobatan tradisional, sehingga kelompok umur C sangat sering menggunakan tumbuhan obat dalam kehidupan sehari-hari. Pada kelompok umur B sering menggunakan obat tradisional tetapi tidak rutin. Hal ini selaras dengan tabel 4.1.2 dimana kelompok umur ini lebih sering berobat ke rumah sakit/puskesmas. Kelompok umur A sedikit masyarakat Karo Gugung yang menggunakan tumbuhan obat tradisional, tetapi sebagian besar dari mereka pernah menggunakan tumbuhan obat tradisional. Hal ini dikarenakan pada kelompok umur A jarang terkena penyakit karena masih dikategorikan berumur muda, dan memakai obat tradisional hanya untuk menyembuhkan penyakit ringan seperti masuk angin, menghangatkan badan serta diare.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa semua masyarakat Karo Gugung sering menggunakan tumbuhan obat tradisional meskipun ada perbedaan yang tidak terlalu signifikan pada setiap umur. Masyarakat Karo Gugung sering menggunakan tumbuhan obat dalam kehidupan sehari-hari, hal ini dikarenakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun. Selain itu masyarakat Karo Gugung juga bermukim di dataran tinggi yang mempunyai suhu dingin, sehingga masyarakat selalu menggunakan obat untuk menghangatkan diri seperti param.

(30)

Menurut Purba (2015), beberapa ramuan tradisional etnis Karo adalah minak alun, sembur, kuning, dan tawar. Ramuan tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda mulai dari masuk angin, menghangatkan badan, hipertensi, sampai penyakit parah seperti kanker. Silalahi (2014) mengatakan, suku Karo berada di dataran tinggi yang mempunyai suhu dingin, dimana masyarakatnya rutin memakai kuning pada sore hari sehubungan dengan kondisi desa yang sangat dingin pada malam hari ( ±19º C).

Tabel 4.1.5 Tingkat Kepentingan Tumbuhan Obat Pada Masyarakat Karo Gugung

No. Kelompok Umur Responden

Tidak Penting

(%)

Kurang penting (%)

Cukup Penting

(%)

Penting (%)

Sangat Penting

(%)

1. A (20-35 tahun) 0 0 11,66% 16,66 5

2. B (36 -50 tahun) 0 0 6,66% 16,66 10

3. C ( > 50 tahun) 0 0 1,66% 10 21

Berdasarkan Tabel 4.1.5 diketahui tingkat kepentingan obat pada masyarakat Karo Gugung. Pada setiap umur beranggapan tumbuhan obat adalah penting, walau ada perbedaan yang tidak terlalu signifikan, seperti pada kelompok umur A dan B beranggapan tumbuhan obat penting dan umur C beranggapan sangat penting.

Masyarakat Karo Gugung beranggapan tumbuhan obat adalah kebutuhan sehari-hari untuk menyembuhkan penyakit sehingga dianggap penting dan lebih aman. Hal ini selaras dengan tabel 4.1.4 frekuensi penggunaan tumbuhan yang mana masyarakat Karo Gugung sering menggunakan obat tradisional.

Menurut Thomas (1989), penggunaan tumbuhan obat jauh lebih baik karena berfungsi sebagai ramuan alami untuk mengobati penyakit yang sering kali muncul atau sering kambuh. Umumnya tumbuhan yang digunakan berasal dari perkarangan, baik dibudidayakan maupun liar, masyarakat juga tidak perlu mengeluarkan biaya besar.

Menurut Hakim (2014), informasi penggunaan tumbuhan diperoleh secara turun-temurun dan dalam waktu yang lama. sehingga melahirkan teknik-teknik pemanfaatan dan pengetahuan yang mendalam tentang pengunaan tumbuhan, sehingga mengalami kesadaran bahwa kelangsungan hidup mereka tergantung pada alam (tumbuhan dan hewan) serta masyarakat memahami pemanfaatan sumberdaya harus dilakukan secara lestari karena menjadi kebutuhan.

(31)

Tabel 4.1.6 Informasi Tumbuhan Obat Yang di Dapat Pada Masyarakat Karo Gugung

No. Kelompok Umur Responden

Orangtua (%)

Tetangga (%)

Mimpi (%)

Pengalaman (%)

Media Masa (%)

1. A (20-35 tahun) 33,33 0 0 0 0

2. B (36 -50 tahun) 33,33 0 0 0 0

3. C ( > 50 tahun) 30 0 3,33 0 0

Dari Tabel 4.1.6 diketahui informasi tumbuhan obat yang didapat pada Masyarakat Karo gugung berasal dari orangtua 96%. Hal ini dikarenakan penggunaan tumbuhan obat sudah menjadi budaya yang dilakukan oleh orang tua dan diikuti oleh anak-anaknya.

Menurut Purba (2015), pengobatan tradisional pada Suku Karo dilakukan secara turun temurun dan menggunakan beberapa jenis tumbuhan. Tumbuhan dimanfaatkan sebagai bahan ramuan obat tradisional untuk penyembuhan dan pencegahan suatu penyakit. Nenek moyang masyarakat Karo telah mengenal pengobatan tradisional dalam menyembuhkan penyakit jauh sebelum mengenal pengobatan dalam ilmu kedokteran atau yang lebih dikenal dengan pengobatan medis (Sinuhaji, 2015).

4.2. Tabib/Dukun Yang Mengobati Penyakit Sistem Pencernaan dan Sistem Peredaran Darah

Penelitian ini memilih 2 orang sebagai informan kunci dari Kabupaten Karo yaitu Tabib/dukun yang mengetahui tumbuhan obat untuk penyakit sistem pencernaan dan sistem peredaran darah. Informan yang pertama ialah bapak N.

Surbakti berusia 68 tahun dan berprofesi sebagai tabib di Desa Semangat Gunung, Kecamatan Merdeka. Beliau memperoleh ilmu pengobatan tradisional dari orangtuanya melalui mimpi, dimana beliau bermimpi berjumpa dengan alm.

Ayahnya yang memberi warisan informasi tentang jenis-jenis tumbuhan obat, lokasi tumbuhan obat, dan bagaimana cara meramunya. Pengobatan yang paling banyak dilakukan bapak N. Surbakti adalah tawar yaitu ramuan yang diminum dan Param yaitu ramuan padat yang dicampurkan dengan air untuk di gosok ke tubuh yang sakit. Informan yang kedua ialah bapak A. Perangin-angin berusia 61 tahun dan berprofesi sebagai tabib dan petani di desa Doulu, Kecamatan Brastagi.Ia memperoleh ilmu pengetahuan pengobatan yang diwariskan dari orangtuanya dan

(32)

melalui bisikan dari roh halus. Pengobatan yang banyak dilakukan bapak A.

Perangin-angin yaitu dengan cara diminum, dioles serta ramuan untuk dimandikan.

4.3 Jenis-jenis Tumbuhan Obat dan Pemanfaatannya Sebagai Obat Penyakit Sistem Pencernaan dan Peredaran Darah Pada Suku Karo Gugung

Adapun jenis-jenis tumbuhan obat yang didapat untuk penyembuhan penyakit sistem pencernaan dan peredaran darah adalah 100 jenis dengan 43 famili yang berasal dari Spermatophyta, Pteridophyta dan Lichenes dapat dilihat pada Tabel 4.3.1.

(33)

Tabel 4.3 Jenis Tumbuhan Obat Untuk Penyakit Sistem Pencernaan dan Sistem Peredaran Darah Pada Masyarakat Karo Gugung

No. Divisi Kelas Famili Nama Latin Nama Lokal Kegunaan Bagian yang

digunakan

1. Spermatophyta Monocotyledoneae Amarylidaceae Allium cepa Bawang merah Diabetes Umbi

Ambeien Umbi

Masuk angin, Pelancar aliran darah

Umbi

Kanker usus dan kanker mulut

Umbi

2. Allium sativum Bawang putih

tunggal

Sakit jantung Umbi

Bawang putih Diabetes Umbi

Masuk angin dan memperkuat daya tahan tubuh

Umbi

Ambeien Umbi

Kanker usus dan kanker mulut

Umbi Masuk angin,

Pelancar aliran darah

Umbi

3. Amarylidaceae Allium schoenoprasum Gundra belang Cacingan dan

masuk angin pada anak-anak

Daun

4. Araceae Acorus calamus Jerango Masuk angin,

Pelancar aliran darah

Akar

5. Bromeliaceae Ananas comosus Kenas Masuk angin Pangkal daun

6. Musaceae Musa paradisiaca Pisang kepok Ambeien Batang

7. Musa sp. Pisang silewuh Ambeien Bunga/Jantung

Diabetes

(34)

Kanker usus dan kanker mulut

Daun dan batang Masuk angin dan

sakit perut

Daun dan batang Pelancar peredaran

darah

Daun dan batang Masuk angin dan

Pelancar aliran darah

Daun

9. Poaceae Bambusa maculata Buluh Susah BAB

sehingga perut membesar

Batang

Luka dalam Pangkal pucuk muda

10. Eleusine indica Padang teguh Asam lambung Akar

11. Eleusine sp. Cinggam Asam lambung Batang, daun

dan bunga

12. Imperata cylindrica Rih Masuk angin Pangkal daun

muda

13. Oryza sativa Beras jati Masuk angin,

Pelancar aliran darah

Biji

Beras Panas dalam,

demam dan batuk

Biji Masuk angin Biji

14. Saccharum officinale Gula Diabetes Air gula

15. Zea mays Jagung Hipotensi Biji muda

Masuk angin Pangkal daun muda

16. Zingiberaceae Alpinia galanga Laja Masuk angin,

Pelancar aliran darah

Rimpang

17. Curcuma domestika Induk kunyit Maag Rimpang

18. Curcuma heyneana Kuning gajah Maag Rimpang

(35)

Masuk angin, pelancar aliran darah

Rimpang

Kuning gajah hitam Maag Rimpang

Masuk angin, pelancar aliran darah

Rimpang

19. Curcuma longa Kunyit Ambeien Rimpang

20. Curcuma zanthorrhiza Temulawak Maag Rimpang

21. Hedychium coronarium Bunga pencoli Masuk angin,

pelancar aliran darah

Bunga

22. Kaempferia galanga Kencur Diabetes Rimpang

Ambeien Rimpang

Kanker usus dan kanker mulut

Rimpang Masuk angin,

pelancar aliran darah

Rimpang

Masuk angin dan memperkuat daya tahan tubuh

Rimpang

23 Zingiber americanus Lempuyang Masuk angin dan

pelancar aliran darah

Rimpang

24 Zingiber officinale Aliya Masuk angin dan

memperkuat daya tahan tubuh

Rimpang

25. Zingiber officinale var.

Amarum

Jahe merah jantung Rimpang

26. Masuk angin,

pelancar aliran darah.

Rimpang

(36)

kanker mulut

27. Zingiber purpureum Mburle Masuk angin,

pelancar aliran darah

Rimpang

28. Zingiber sp1 Jahe perdis Masuk angin,

pelancar aliran darah

Rimpang

29. Zingiber sp2 Cekala rih Masuk angin,

pelancar aliran darah

Rimpang

30. Zingiber sp3 Kuning pagit Masuk angin,

pelancar aliran darah

Rimpang

31. Dicotyledoneae Apiaceae Apium graveolens Daun sop Hipertensi Batang dan daun

32. Centella asiatica Pegagah Masuk angin,

pelancar aliran darah

Batang dan daun

33. Apocynaceae Alyxia sp. Raja bulung-bulung Kanker usus dan

kanker mulut

Batang dan daun

34. Hoya sp. Tawar Ipoh Kanker usus dan

kanker mulut

Batang dan daun Masuk angin dan

Pelancar aliran darah

Daun

35. Araceae Acorus calamus Jerango Masuk angin,

pelancar aliran darah

Akar

36. Asteraceae Ageratum conyzoides Banggur-banggur Diare Daun bagian

ketiak

37 Artemisia vulgaris Binara Masuk angin,

Pelancar aliran darah

Daun dan batang

38. Centipeda minima Silebur pinggan Masuk angin Akar, batang,

(37)

daun dan bunga

39. Chromolaena odorata Sipesel Asam lambung Daun

40. Crassocephalum

crepidioides

Sadi kabang Sakit perut, diare dan masuk angin

Daun

41. Dichrocephala integrifolia Sirah-rah Masuk angin,

Pelancar aliran darah

Daun dan batang

42. Enydra fluctuans Kurmak belang Hipertensi Daun

43. Tithonia diversifolia Bersing bunga Muntah mencret,

disentri dan diare

Daun

44. Balsaminaceae Impatiens Pallida Bunga kiung Masuk angin dan

sakit perut

Daun, pucuk dan bunga

Masuk angin, Pelancar aliran darah

Daun, pucuk dan bunga

Masuk angin Bunga

45. Impatiens platypetala Bunga sapa Masuk angin dan

sakit perut

Daun, pucuk dan bunga

46. Masuk angin,

Pelancar aliran darah

Daun, pucuk dan bunga

47. Impatiens walleriana Bunga pancur Masuk angin dan

sakit perut

Daun, pucuk dan bunga

Masuk angin Bunga

48. Caryophyllaceae Drymaria villosa Sirampas bidei Masuk angin,

Pelancar aliran darah

Daun

49. Commelinaceae Commmelina diffusa Sitengkua Masuk angin,

Pelancar aliran darah

Batang dan daun

50. Cucurbitaceae Cucumis sativus Cimen Masuk angin Bunga

51. Cucurbita moschata Labu kuning Masuk angin,

Pelancar aliran

Bunga

Gambar

TABEL DATA WAWANCARA PEMANFAATAN TUMBUHAN OBAT PADA MASYARAKAT KARO GUGUNG

Referensi

Dokumen terkait