• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi membuat dunia jurnalisme senantiasa selalu berevolusi. Margianto & Syaefullah (2014) menyebutkan bahwa media-media baru akan senantiasa bermunculan seiring dengan perkembangan teknologi. Jika kilas balik ke belakang, penemuan mesin cetak oleh Gutenberg pada abad ke-14 menjadi titik awal kelahiran media cetak (Margianto & Syaefullah, 2014, p. 12). Munculnya radio pada tahun 1920-an juga menjadi tonggak awal kelahiran jurnalisme radio (Margianto & Syaefullah, 2014).

Begitu pula dengan kehadiran televisi pada abad ke-20 yang melahirkan jurnalisme broadcasting (Margianto & Syaefullah, 2014).

Dulu, masyarakat Indonesia mengakses berita melalui media-media konvensional tersebut. Namun seiring dengan perkembangan zaman, internet hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat dunia. Internet kemudian mengubah cara masyarakat mengakses maupun mengonsumsi berita, tak terkecuali masyarakat Indonesia. Saat ini, budaya mengakses dan mengonsumsi berita masyarakat Indonesia juga telah mengalami pergeseran dari media konvensional ke media online. Hal ini tidak bisa dipungkiri mengingat 171,17 juta jiwa masyarakat Indonesia saat ini mengenal internet (APJII, 2018). Dari jumlah tersebut, mayoritas atau 93,9 persennya terhubung dengan internet melalu perangkat smartphone (APJII, 2018). Dalam survei tersebut juga diketahui bahwa masyarakat Indonesia rata-rata menghabiskan waktu di internet lebih dari 3-4 jam per harinya (APJII, 2018). Penelitian terpisah di tahun sebelumnya juga mengungkapkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia mencari berita melalui smartphone dengan durasi membaca berita sekitar 540 menit per hari (Ghifari, 2016; Wardani, 2016). Durasi ini setara dengan 4-12 artikel berita setiap harinya (Wardani, 2016).

Secara teknis, titik balik pergeseran budaya mengakses berita secara daring ini dimulai ketika Timothy John ‘Tim’ Berners-Lee menemukan World Wide Web

(2)

2 pada tahun 1969 (Kurnia, 2017). Teknologi baru ini pertama kali dimanfaatkan oleh institusi riset yang berbasis di Jenewa, CERN, yang dirilis pada tahun 1991.

Sedangkan di dunia jurnalisme profesional sendiri, teknologi ini baru booming ketika akhirnya melahirkan bentuk jurnalisme baru yaitu jurnalisme online (Kurnia, 2017). Jurnalisme online ini dipelopori oleh laporan Druge Report yang merupakan hasil investigasi Michael Isikoff mengenai skandal seks antara Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dan sekretarisnya, Monica Lewinsky (Allan, 2006, p. 42).

Skandal seks yang dijuluki ‘skandal Lewinsky’ atau ‘Monicagate’ tersebut akhirnya dipublikasi oleh Mark Druge melalui website-nya lantaran majalah Newsweek enggan untuk mempublikasikannya (Allan, 2006, p. 42).

Di Indonesia sendiri, internet baru mulai hadir pada tahun 1990-an berkat hobi dari sejumlah orang yang tertarik membangun jaringan komputer yakni Rahmat M, Samik-Ibrahim, Suryono Adisoemarta, Muhammad Ihsan, Robby Soebiakto, Putu Surya, Firman Siregar, Adi Indrayanto, serta Onno W Purbo.

Setelah penyedia layanan internet komersil pertama, Indonet, berdiri tahun 1994, baru lah muncul generasi pertama media yang berbasis internet. Media online pertama yang diketahui hadir di Indonesia adalah republika.co.id. Situs Republika ini pertama kali menyapa masyarakat Indonesia pada 17 Agustus 1994 atau setahun setelah diterbitkannya Harian Republika. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 1996, awak Tempo menyusul meluncurkan tempointeraktif.com. Situs Tempo Interaktif ini diluncurkan ketika awak Tempo tengah ‘menganggur’ lantaran majalah mereka diberedel pada 1994 oleh rezim orde baru. Di tahun yang sama, Bisnis Indonesia juga ikut meluncurkan situsnya pada 2 September 1996. Selanjutnya, Harian Waspada asal Sumatera Utara juga termasuk ke dalam kelompok generasi pertama online di Indonesia dengan meluncurkan waspada.co.id pada 11 Juli 1997. Tak berselang lama, Harian Kompas juga meluncurkan situs mereka bernama kompas.com pada 22 Agustus 1997. Itulah lima media online generasi pertama di Indonesia yang notabene hanya memindahkan edisi cetak media mereka ke internet, kecuali Tempo Interaktif yang kala itu media cetaknya tengah di larang terbit.

Sayangnya, kelahiran situs-situs media online itu baru sebagai simbol prestise saja, belum dilengkapi dengan model bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan.

(Margianto & Syaefullah, 2014, p. 15-16)

(3)

3 Walaupun terdapat lima media online yang termasuk sebagai kategori media online generasi pertama Indonesia, Margianto & Syaefullah (2014) justru melabeli detik.com sebagai pelopor media online di tanah air. Detik.com merupakan media online otonom yang muncul tanpa didahului oleh media cetak apa pun. Detik.com yang kemunculannya diprakarsai oleh Budiono Darsono, Yayan Sopyan, Abdul Rahman, dan Didi Nugrahadi ini pertama kali tayang pada 9 Juli 1998 (Margianto

& Syaefullah, 2014, p. 17). Detik.com disebut sebagai pelopor media online di Indonesia karena situs ini menyajikan berita dengan langgam baru yakni running news, bukan dengan pakem baku jurnalistik dengan unsur 5W+1H (Margianto &

Syaefullah, 2014). Model berita running news yang diusung detik.com ini meniru cara breaking news pada stasiun berita CNN, maupun kantor-kantor berita asing seperti AP, AFP, hingga Reuters. Walaupun hadir dengan langgam cepat dan ringkas, detik.com mendapat sambutan baik pembaca di kala penetrasi internet Indonesia yang masih rendah dan berbiaya mahal (Margianto & Syaefullah, 2014, p. 18).

Di tahun 1999 ini juga lah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) dikukuhkan. Dengan demikian, semua perusahaan media harus patuh dan tunduk pada UU Pers ini. Sayangnya, UU Pers yang ada saat itu belum mengatur secara rinci soal praktik pemberitaan media online dan juga distribusi berita dalam ranah media sosial. Satu-satunya hukum soal internet yang ada pada waktu itu ialah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (UU ITE). Alhasil terdapat persoalan etik ketika media online harus berhadapan dengan masalah hukum yaitu apakah media online harus tunduk pada UU ITE. Padahal di sisi lain, sebagaimana disebutkan dalam UU Pers, media online berada dalam ruang lingkup media. Pada periode waktu ini, ada kekosongan hukum yang memayungi media online karena UU Pers belum memuat mengenai beragam praktik yang ada di media online kala itu. (Margianto & Syaefullah, 2014, p. 53). Setahun kemudian, tepatnya pada Juni 2000, Dewan Pers mengesahkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). KEWI bertujuan untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai

(4)

4 pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. (Dewan Pers, 2017)

Walaupun baru sebagai simbol prestise dan belum diiringi dengan model bisnis yang mapan, media berbasis dotcom tetap bersemi di tanah air. Tahun 2000 hingga 2003 disebut-sebut menjadi era kebangkitan media online dengan munculnya berbagai situs-situs baru, antara lain astaga.com, satunet.com, lippostar.com, kopitime.comm dan berpolitik.com. Beberapa media online baru ini dimodali investor asing hingga perusahaan papan atas Indonesia. Namun, euforia media online di tanah air tidak bertahan lama karena tidak diimbangi dengan pertumbuhan bisnis yang baik. Di era kebangkitan ini pula lah, media online justru terperosok ke jurang kegagalan. Detik.com, kompas.com, dan tempointeraktif.com menjadi segelintir media yang disebut berhasil keluar dari jurang krisis dotcom tersebut. (Margianto & Syaefullah, 2014)

Krisis yang melanda media online ini tampaknya bukan akhir dari era dotcom.

Pada awal tahun 2003, Steve Christian bersama satu rekannya malah meluncurkan media hiburan kapanlagi.com. Menjelang tahun 2006, grup Media Nusantara Citra (MNC) yang notabene memiliki tiga stasiun TV swasta juga menyusul mendirikan situs okezone.com yang beroperasi secara resmi pada 1 Maret 2007. (Margianto &

Syaefullah, 2014). Pada masa-masa ini, Dewan Pers juga akhirnya memutuskan untuk merevisi KEWI tahun 2000 mengingat kehidupan pers nasional telah berkembang pesat. Dewan Pers menilai, KEWI perlu dilengkapi sehingga dapat menampung berbagai persoalan pers yang ada saat itu. Dengan begitu, pada tahun 2006, Dewan Pers mengesahkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang baru menggantikan KEWI. (Dewan Pers, 2017). Walaupun landasan moral dan etika profesi jurnalis sudah diperbarui, namun masih ada kekosongan hukum pada media online (Margianto & Syaefullah, 2014, p. 53).

Tak berhenti sampai di tahun 2007, pada Desember 2008, grup Bakrie juga meluncurkan media online vivanews.com atau sekarang dikenal dengan viva.co.id.

Kembali bermunculannya media-media berbasis dotcom ini menandai era musim semi dotcom untuk kedua kalinya. Di musim ini, persaingan antara media-media online di Indonesia semakin ketat sehingga membuat sebagian dari mereka melakukan perombakan besar-besaran pada situs dotcom mereka. Misalnya

(5)

5 kompas.com yang akhirnya mengonversi produk-produk cetak mereka ke format multimedia untuk ditayangkan di situsnya. Tak ketinggalan, grup Tempo juga memutuskan mengubah nama tempointeraktif.com menjadi tempo.co seperti yang kita kenal saat ini. (Margianto & Syaefullah, 2014).

Kembali berseminya media online tak luput dari pengaruh hadirnya era web 2.0. Web 2.0 merupakan istilah yang menggambarkan munculnya jejaring sosial dan aplikasi canggih-seperti web browser-yang dapat diakses di perangkat seluler (Hirst, 2011, p. 6). Blogger media sosial Christopher Lynn (2008) menyebut web 2.0 sebagai sebuah platform dan alat yang mampu meningkatkan komunikasi, kolaborasi, dan koneksi (dalam Hirts, 2011). Arsitektur web 2.0 berorientasi pada interaksi sosial dan konten sehingga pengguna bisa melakukan komunikasi dua arah (Lynn, 2008, dalam Hirst, 2011). Tak ayal, media online di tanah air semakin berkembang dan tampil lebih interaktif. Media online mulai menyediakan kolom komentar bagi pembacanya. Selain itu, media online juga mulai membuka forum diskusi serta meluncurkan layanan blogging bagi para pembacanya. Misalnya detik.com meluncurkan layanan blogging yang diberi nama detikblog, sedangkan kompas.com meluncurkan Kompasiana. (Margianto & Syaefullah, 2014).

Belakangan, tempo.co juga meluncurkan Indonesiana sebagai layanan blogging.

Sejak saat itu, media online di tanah air terus tumbuh dan semakin menjamur.

Sampai tahun 2015, Dewan Pers mencatat ada 43.300 media online yang ada di Indonesia (“Publik Perlu Media Terverifikasi”, 2018). Sayangnya, dari jumlah tersebut, baru 65 media online di Indonesia yang terverifikasi oleh Dewan Pers berdasarkan kriteria media yang termaktub dalam UU Pers (“Publik Perlu Media Terverifikasi”, 2018).

Terlepas dari itu, media online tumbuh subur di Indonesia. Hal ini juga tak lepas dari sambutan baik masyarakat Indonesia sebagai khalayak media. Media online yang ada saat ini merupakan produk dari persinggungan dengan web 2.0.

Ada banyak hal positif terkait dengan persinggungan antara jurnalisme dengan Web 2.0, yakni soal konektivitas, interaktivitas, kecepatan berita, peningkatan distribusi, percakapan dengan audiens, dan banyaknya sumber (Hirst, 2011, p. 150-151).

Senada dengan Hirst, Craig (2005) menyebutkan bahwa kecepatan itu yang memberikan media online kemampuan untuk bisa memperbarui berita secara

(6)

6 instan. Alhasil, bagi mereka yang bekerja di industri media online, kecepatan ialah tentang eksklusivitas dan menjadi yang pertama (Hirst, 2011, p. 144). Örnebring (2010) mengungkapkan implikasi dari kecepatan pada media online ini akhirnya melahirkan discourse of speed atau wacana kecepatan, yang mana kecepatan menjadi ukuran utama dalam keberhasilan kompetisi dalam industri berita online (dalam Paulussen, 2012, p. 201).

Kehadiran internet juga berdampak pada profesi jurnalis. Studi awal pada jurnalis online yang dilakukan oleh Deuze & Paulussen (2002) sebelumnya, telah menunjukkan bahwa ‘kecepatan’ sudah menjadi bagian sentral dari identitas profesional mereka (dalam Paulussen, 2012). Jurnalis online juga menekankan pentingnya pengiriman berita yang konstan dan real-time (Paulussen, 2012). Hal ini bertujuan untuk menjaga situs web berita mereka tetap up-to-date dengan konten baru, kemudian liputan berita langsung juga menjadi aspek kunci lainnya dari jurnalisme online (Rosenstiel & Mitchell, 2008, dalam Paulussen, 2012).

Keunggulan media online lainnya ialah ia bisa memberikan laporan yang lebih mendalam ketimbang media broadcasting, serta menyajikan berita dalam format multimedia, yakni dengan menyertakan audio, video, dan foto dalam teks pemberitaan tersebut (Craig, 2005, p. 8). Selain berpengaruh pada dunia jurnalisme, internet ternyata telah mengubah aspek-aspek pada pekerjaan seorang jurnalis.

Herscovitz (2012) melakukan studi pada 506 jurnalis di Brazil terkait dampak internet bagi pekerjaan jurnalis. Hasilnya, mayoritas responden menganggap internet telah meningkatkan kecepatan dalam aspek meliputi pengiriman berita (98,1%), feedback dari audiens (92,1%), keragaman berita (78,8%), dan akses kepada sumber (65,1%) (Herscovitz, 2012, p. 373).

Sedangkan dari sisi audiens, internet melahirkan opsi mesin pencarian dan berbagai halaman berita yang bisa dipersonalisasikan. Alhasil, pembaca berita online bisa dengan mudahnya memilih berita-berita yang menarik menurut mereka dan mengikuti perkembangan isunya. (Craig, 2005, p. 12)

Tak bisa dipungkiri, saat ini, kecepatan telah menjadi inti dari jurnalisme online itu sendiri (Paulussen, 2012). Oleh karena itu pula, Mark Deuze menyebutkan bahwa jurnalis online sekarang terlibat dalam hal-hal yang menyangkut kecepatan, misalnya terkait pengambilan keputusan yang cepat,

(7)

7 tergesa-gesa, dan kerja dalam waktu yang dipercepat (dalam Hirst, 2011, p. 129).

Alhasil, kecepatan yang diagung-agungkan dalam jurnalisme online ini akhirnya menyisakan ruang bagi kemunculan problem-problem etik. Salah satu implikasi serius dari kecepatan ialah terciptanya ruang yang minim untuk konfirmasi dan verifikasi fakta (Hirst, 2011, p. 138). Hasil studi Herscovitz (2012) yang telah dipaparkan sebelumnya juga menunjukkan bahwa, mayoritas responden jurnalis justru merasa internet telah menurunkan beberapa aspek meliputi tingkat presisi jurnalisme (76%), kredibilitas (75,1%), dan tanggung jawab sosial (74%). Sebagian besar responden juga berpikir bahwa Internet telah menurunkan jumlah jurnalisme investigatif (71,5%), analisis berita (62,8%), dan akurasi jurnalistik (54,3%). Selain itu, 79% responden mengatakan bahwa internet telah meningkatkan jumlah opini dalam berita yang dibuat. (Herscovitz, 2012, p. 373-374)

Problem-problem etik ini tak luput dari jurnalisme online yang ada di Indonesia. Bahkan, Margianto & Syaefullah (2014) mengungkapkan, saat ini, masyarakat Indonesia tengah berada pada sebuah zaman yang mengoyak-ngoyak aneka pakem jurnalistik yang dibangun dan dijaga selama bertahun-tahun, misalnya saja soal akurasi. Akurasi ialah soal ketepatan dalam menulis berita berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber, meliputi ketepatan dalam menyajikan kutipan, konteks, bahkan situasi suatu peristiwa (Randall, 2016, p. 5). Di Indonesia, hadirnya langgam berita online yang cepat dan ringkas ini justru memicu lahirnya kompetisi adu cepat antarsitus media online (Margianto & Syaefullah, 2014, p. 38).

Akibatnya, atas nama kecepatan, seringkali berita-berita ditayangkan tanpa akurasi yang tinggi, misalnya dari hal yang sederhana yaitu ejaan nama narasumber hingga yang paling serius yaitu substansi berita (Margianto & Syaefullah, 2014, p. 39).

Atas nama kecepatan, media seolah tak mempedulikan hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar sebagaimana tercantum dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) butir 1, “Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi.” Atas nama kecepatan pula, pasal 3 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) seperti diabaikan. Pasal 3 menyatakan, “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.” (Margianto & Syaefullah, 2014, p. 39).

(8)

8 Margianto & Syaefullah (2014) juga mengatakan bahwa saat ini, media online seperti berlomba-lomba menjadi yang pertama dalam memberitakan suatu persitiwa/informasi, terlepas dari benar atau salah informasi tersebut. Akibatnya, proses verifikasi bukan lagi terjadi sebelum berita itu disajikan ke khalayak, tapi justru berita yang sepotong-sepotong itulah merupakan proses verifikasinya (Margianto & Syaefullah, 2014, p. 5). Sebagaimana dipertegas oleh Margianto &

Syaefullah (2014) dalam bukunya, “Kita berada pada era the truth in the making.

Dogma jurnalistik tradisional yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi ‘get it first, but first get it truth’ seolah berubah menjadi ‘get it first, just get it first’”.

Implikasi dari kecepatan ini bukan hanya soal akurasi dan verifikasi berita, tetapi juga soal cover both sides atau keberimbangan berita. Sejatinya, sesuai dengan pasal 3 KEJ, jurnalis harus memberitakan suatu informasi secara berimbang. Keberimbangan berita bisa dipahami sebagai sikap jurnalis yang memberikan ruang atau waktu pemberitaan yang proporsional kepada masing- masing pihak terkait. Lazimnya di media cetak, berita yang berimbang itu ialah berita yang memuat dua atau lebih pernyataan dari pihak yang diberitakan dalam satu berita. Namun, langgam berita online yang cepat, ringkas, dan sepotong- potong ini membuat cover both sides tidak muncul dalam satu berita. Di media online, keberimbangan berita biasanya tidak muncul pada berita pertama, melainkan pada berita kedua, ketiga, dan seterusnya. (Margianto & Syaefullah, 2014, p. 43)

Persolannya adalah seringkali pada berita-berita yang bersifat tendensius yang berpotensi merugikan pihak tertentu opini publik sudah terbentuk sementara pihak yang merasa disudutkan merasa tidak mendapat kesempatan mengklarifikasi isi berita. Ketika berita klarifikasi tayang pada kesempatan berikutnya, pihak yang merasa disudutkan menilai klarifikasi mereka terlambat. Atas masalah ini, media online sering dituding memuat berita yang tidak berimbang. (Margianto & Syaefullah, 2014, p. 43)

Soal akurasi, verifikasi, dan keberimbangan berita ini telah lama menjadi problem etik di Indonesia. Pada tahun 2011, Dewan Pers mencatat ada 64 pengaduan pelanggaran kode etik pemberitaan terhadap media online. Tiga jenis pelanggaran etik yang paling banyak dilakukan ialah terkait berita yang tidak

(9)

9 berimbang, tidak menguji informasi/verifikasi, serta tidak akurat (Margianto &

Syaefullah, 2014, p. 43)

Tabel 1.1 Kategori Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik Media Siber 2011

Sumber: Margianto & Syaefullah, 2014, p. 44

Terlepas dari semua problem etik yang terjadi, media online tetap tumbuh dan berkembang di Indonesia. Kemudian, Dewan Pers mengesahkan Pedoman Pemberitaan Media Siber pada tahun 2012. Menurut salah satu anggota Dewan Pers kala itu, Agus Sudibyo, pedoman ini disusun sebagai respons dari pesatnya perkembangan media online di tanah air dan meningkatnya jumlah aduan terhadap media online yang diterima Dewan Pers. Sejak saat itu, seluruh media online di tanah air wajib mencantumkan Pedoman Pemberitaan Media Siber di situs mereka.

(“Dewan Pers-Komunitas Pers Sahkan Pedoman Pemberitaan Media Siber”, 2012) Di tahun 2019 ini, media online masih dibayangi oleh problem etik yang sama. Berdasarkan berita berkala yang diunggah Dewan Pers di situs resminya, media online masih kerap diadukan oleh pihak yang diberitakan karena diaggap melanggar Pasal 3 KEJ, yakni terkait pemberitaan yang tidak berimbang, tidak melakukan uji informasi, dan menghakimi. Misalnya saja aduan dari Alex Noerdin pada media gatra.com terkait berita berjudul “Digugat MAKI Soal Kasus Alex Noerdin, Kejagung: Penyidikan Jalan Terus” (diunggah pada 12 Agustus 2019, pukul 23.48 WIB). Pemberitaan itu dinyatakan melanggar Pasal 3 KEJ oleh Dewan Pers karena menyajikan berita yang tidak berimbang dan tidak uji informasi.

Alhasil, gatra.com wajib melayani dan memuat Hak Jawab pihak Alex Noerdin

(10)

10 terkait pemberitaan tersebut. (“Risalah Penyelesaian Nomor: 93/Risalah- DP/Xl/2019 Tentang Pengaduan Alex Noerdin Terhadap Media Siber gatra.com”, 2019). Tirto.id pun baru-baru ini dinyatakan melanggar Pasal 3 KEJ oleh Dewan Pers terkait berita berjudul “Dugaan Plagiat Disertasi Rektor Unnes di UGM”

setelah diadukan oleh pihak Universitas Negeri Semarang (UNNES) (“Risalah Penyelesaian Nomor: 94/Risalah-DP/Xl/2019 Tentang Pengaduan Universitas Negeri Semarang {UNNES) Terhadap Media Siber tirto.id”, 2019).

Terlepas dari segala problem etik yang ada, media online tetap tumbuh subur dan menjamur di Indonesia. Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk melakukan praktik kerja magang di media online. Penulis memilih Tempo.co sebagai tempat praktik kerja magang karena Tempo.co dikenal dengan independensinya dalam melakukan pemberitaan. Selain itu, Tempo.co juga merupakan salah satu pionir media online di Indonesia yang juga sudah terverifikasi oleh Dewan Pers. Penulis melakukan praktik kerja magang selama kurang lebih tiga bulan sebagai jurnalis di Tempo.co.

Jurnalis ialah seseorang yang melakukan kerja-kerja jurnalisme. Untuk memahami peran jurnalis, tentu perlu dipahami dulu apa itu jurnalisme. Jurnalisme itu mengandung cita-cita dan etika tertenu, yang mencakup nilai-nilai objektivitas, tidakpartisan, adil, berimbang, memisahkan antara opini dan fakta (Siapera &

Spyridou, 2012). Sedangkan Kovach & Rosenstiel (2014) mendeskripsikan jurnalis sebagai sekelompok profesional terorganisir yang bekerja dalam industri jurnalisme. Dengan kata lain, jurnalis ialah sesorang yang menghasilkan berita dan yang bercita-cita untuk melakukannya secara etis dan bertanggung jawab (Kovach

& Rosenstiel, 2014).

Lebih lanjut, Kovach & Rosenstiel (2014) mengungkapkan, jurnalis di era internet saat ini tidak lagi memutuskan apa yang seharusnya diketahui publik - seperti peran klasik gatekeeper- tetapi juga bekerja sama dengan audiens dan teknologi untuk membuat keteraturan dari informasi yang ada, menjadikannya berguna, lalu mengambil tindakan atasnya. Oleh karena itu, ada empat tugas utama jurnalis di era baru ini. Pertama, sejatinya, tugas utama jurnalis adalah untuk memverifikasi informasi. Kedua, jurnalis harus bisa memberikan konteks dalam

(11)

11 informasi yang disampaikan. Ketiga, jurnalis menjadi saksi dalam sebuah peristiwa.

Keempat, jurnalis perlu menjadi watchdog. (Kovach & Rosenstiel, 2014).

1.2 Tujuan Kerja Magang

Selain untuk memenuhi syarat kelulusan akademik dari Universitas Multimedia Nusantara, penulis menjalani periode kerja magang di Tempo.co untuk tujuan lain, yaitu:

1. Untuk mengimplementasikan teori maupun konseptual yang telah dipelajari penulis selama berada di bangku kuliah ke ranah jurnalisme profesional – di antaranya terkait penulisan berita, teknik wawancara dan reportase, foto jurnalisitik, dan kode etik jurnalistik.

2. Untuk mengembangkan wawasan dan keterampilan di bidang jurnalisme langsung dari para praktisi di media online Tempo.co.

3. Untuk mengetahui proses kerja jurnalistik di redaksi Tempo.co.

4. Untuk mendapatkan pengalaman kerja praktis sebagai pekerja media online sehingga menjadi bekal bagi penulis untuk memasuki dunia kerja setelah lulus dari kampus.

(12)

12 1.3 Waktu dan Prosedur Pelaksanaan Kerja Magang

1.3.1 Waktu Pelaksanaan Kerja Magang

Penulis menjalani periode magang selama 72 hari kerja yang dimulai sejak tanggal 16 Agustus 2019 dan berakhir pada 30 November 2019. Selama magang, penulis tidak selalu pergi ke kantor karena mendapat penugasan liputan. Dengan demikian, jam kerja penulis juga tidak melulu dari pukul 09.00 – 17.00 WIB. Kantor Tempo.co terletak satu gedung dengan Harian Tempo dan Majalah Tempo yakni di Gedung Tempo, Jalan Palmerah Barat Nomor 8, Palmerah, Jakarta Selatan 12210.

1.3.2 Prosedur Pelaksanaan Kerja Magang

Saat memasuki waktu magang yang ditetapkan kampus, pertama-tama penulis mencari perusahaan media yang diminati oleh penulis. Awalnya, penulis memilih media CNNIndonesia.com sebagai tempat magang. Lalu penulis mengirimkan CV dan portofolio ke email redaksi maupun HRD CNNIndonesia.com. Namun, setelah menunggu beberapa waktu, email pengajuan magang yang penulis kirimkan belum juga mendapat respons.

Lalu, penulis mencari media online lainnya. Pilihannya jatuh kepada Tempo.co. Setelah mantap ingin magang di Tempo.co, penulis mencari tahu lowongan magang di Tempo.co melalui dosen mata kuliah Interactive Data Journalism, Wahyu Dhyatmika. Bli Komang, sapaan akrabnya, kala itu juga menjabat sebagai pemimpin redaksi Tempo.co. Setelah mendapat informasi dari Bli Komang, penulis kemudian mengirimkan proposal kerja magang, curriculum vitae (CV), beserta portofolio ke email pelatihan@tempo.co.id pada Kamis, 20 Juni 2019. Pada hari yang sama, pihak Tempo langsung merespons permohonan magang daru penulis. Lalu, penulis diundang bertemu dengan Mbak Trias untuk sesi wawancara pendahuluan di Gedung Tempo di Palmerah, Jakarta Selatan, pada Selasa, 25 Juni 2019. Setelah sesi wawancara pendahuluan, penulis diminta untuk menunggu keputusan dari Tempo.co.

(13)

13 Pada Senin, 1 Juli 2019, Mbak Trias menyampaikan kabar kepada penulis melalui pesan singkat WhatsApp bahwa penulis diterima magang mulai 1 Agustus 2019. Namun, sebelum menjalani periode magang di Tempo.co, penulis diminta bertemu dengan user yaitu Pak Elik Susanto, yang saat itu menjabat sebagai redaktur eksekutif Tempo.co. Saat bertemu dengan Pak Elik, penulis ditugasi untuk magang di tiga kanal berbeda dalam kurun waktu empat bulan periode magang penulis. Bulan Agustus, penulis tugasi untuk magang di kanal gaya hidup. Bulan September, penulis kebagian ditempatkan di kanal nasional. Lalu bulan Oktober sampai November, penulis ditugasi di kanal Tekno-Sains.

Sambil melaksanakan periode magang di redaksi Tempo.co, penulis mengurus administrasi magang di kampus. Hal ini dilakukan karena proses administrasi magang di kampus baru bisa dilakukan setelah pengisian kartu rencana studi (KRS) mata kuliah internship dilaksanakan. Pada Kamis, 8 Agustus 2019, penulis mengisi form KM 01 dari kampus perihal pengajuan kerja magang. Pada form ini penulis menjelaskan secara umum tempat kerja magang yang dipilih penulis, mulai dari nama, alamat kantor, serta alamat website perusahaan. Selain itu, penulis juga mencantumkan posisi dan jobdesc yang dilamar. Setelah KM 01 disetujui oleh Kepala Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara, F.X Lilik Dwi Mardjianto, barulah form KM 02 perihal surat pengantar kerja magang diterbitkan oleh kampus. Form KM 02 bertanggal 12 Agustus 2019 ini lalu diserahkan kepada Tempo.co untuk selanjutnya ditukarkan dengan surat penerimaan permohonan kerja magang. Penulis secara resmi terhitung magang sejak surat penerimaan kerja magang dikeluarkan oleh Tempo.co yakni tanggal 16 Agustus 2019.

Surat penerimaan kerja magang dari Tempo.co tersebut kemudian diserahkan kepada pihak kampus untuk selanjutnya ditukarkan dengan form KM 03 sampai KM 07. Form KM 03 merupakan kartu kerja magang. Form KM 04 dan KM 05 merupakan form kehadiran magang dan laporan realisasi kerja magang yang diisi penulis sesuai dengan penugasan dari pembimbing lapangan. Kemudian, KM 06 berupa penilaian kerja magang dari kampus

(14)

14 yang harus diisi oleh pembimbing lapangan penulis selama magang. Sesuai dengan kesepakatan dengan Tempo.co, setiap pembimbing lapangan harus memberikan nilai. Oleh karena itu, penulis meminta penilaian dari pembimbingan lapangan di kanal gaya hidup, nasional, dan Tekno-Sains.

Karena di laporan kerja magang hanya perlu mencantumkan satu lembar penilaian kerja magang, maka atas saran dan sepengetahuan Pak Elik selaku user, penulis merata-ratakan penilaian dan menyalin seluruh komentar dari ketiga pembimbing lapangan dalam satu lembar form KM 06. Hasil penilaian rata-rata ini kemudian ditandatangani oleh Pak Elik selaku user, kemudian dimasukkan ke dalam amplop coklat untuk diserahkan ke pihak universitas.

Setelah menjalani periode magang di redaksi Tempo.co selama 72 hari kerja, penulis melakukan konsultasi dan bimbingan penulisan laporan kerja magang kepada dosen pembimbing Pak Rony Agustino Siahaan. Setelah laporan kerja magang selesai, penulis menyerahkan laporan kerja magang ini kepada pihak Tempo.co dan mengisi form KM 07 perihal verifikasi laporan magang.

Seluruh Salinan dokumen periode magang, mulai dari KM 01 sampai KM 07 (kecuali KM 06) beserta surat penerimaan kerja magang dan surat selesai kerja magang dari Tempo.co, penulis lampirkan di laporan magang ini. Kemudian penulis serahkan kepada pihak kampus untuk diikutsertakan pada periode sidang magang bulan Januari 2020.

Saat sidang magang tanggal 23 Januari 2020, penulis diuji oleh Bapak Albertus Magnus Prestianta. Kemudian penulis merevisi laporan magang ini atas saran dari dosen penguji.

Gambar

Tabel 1.1 Kategori Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik Media Siber 2011

Referensi

Dokumen terkait

Kepemimpinan suatu organisasi sangatlah menentukan baik buruknya pelayanan yang dijalankan di instansi manapun, dapat dilihat bagaimana di suatu instansi memiliki orang

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang sebagai persyaratam memperoleh gelar Sarjana.. Strata-1 (S1)

Penerapan Rencana Kerja ( RENJA ) ini memerlukan partisipasi, semangat dan komitmen dari seluruh aparatur Kelurahan Kalinyamat Kulon karena akan menentukan

Dari tabel 4. diatas terlihat bahwa terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara tiap tingkat pengelolaan kelas terhadap siswa ketika pembelajaran dan

Impaksi gigi molar ketiga bawah adalah gigi molar ketiga mandibula yang gagal untuk erupsi (tumbuh) secara sempurna pada posisinya, oleh karena terhalang oleh

Tak lantas menyesali keadaan, Jack justru belajar bahwa bisnis kecil maupun bisnis besar membutuhkan pengelolaan sistem yang baik supaya tidak ada celah untuk mengacaukan proses

Penelitian yang berjudul “Analisis Anomali Suhu Permukaan dan Kerapatan Vegetasi Berdasarkan Citra Satelit Landsat 8 untuk Pemetaan Potensi Panas Bumi di Wilayah Kerja Panas

ISPM#15. Kantor Perusahaan berlokasi di Jl. Imam Bonjol II, Kelurahan Telaga Asih, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi. Cabang usaha dari PT. XYZ yang dianalisis