• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUMAN KEBIRI KIMIA (CHEMICAL CASTRATION) UNTUK PELAKU KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DITINJAU DARI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TESIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUKUMAN KEBIRI KIMIA (CHEMICAL CASTRATION) UNTUK PELAKU KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DITINJAU DARI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TESIS."

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUMAN KEBIRI KIMIA (CHEMICAL CASTRATION) UNTUK PELAKU KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

DITINJAU DARI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

TESIS

Oleh

Kristina Sitanggang 157005091

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

HUKUMAN KEBIRI KIMIA (CHEMICAL CASTRATION) UNTUK PELAKU KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

DITINJAU DARI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

Kristina Sitanggang 157005091

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)
(4)

Telah diuji pada Tanggal 27 Juli 2017

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Madiasa Ablisar, SH., MS

Anggota : 1. Dr. Muhammad EkaPutra, SH., M.Hum 2. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH

3. Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum 4. Dr. Edy Ikhsan, SH., M.A

(5)

HUKUMAN KEBIRI KIMIA (CHEMICAL CASTRATION) UNTUK PELAKU KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DITINJAU DARI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

Kristina Sitanggang

Madiasa Ablisar, Ekaputra, Suhaidi (kristinasitanggang993@gmail.com)

ABSTRAK

Kasus kekerasan atau pelecehan seksual yang dialami anak sebagai korban yang dilakukan oleh orang-orang terdekat anak merupakan kondisi yang memprihatinkan, yang mana seharusnya lingkungan terdekat anak mengajarkan, melindungi, mendidik dan mengarahkan anak untuk tumbuh dan berkembang menjadi perilaku anak yang baik. Akan tetapi, sebaliknya lingkungan terdekat anak seperti orang tua, individu yang berada dalam keluarga anak, guru menjadi pihak-pihak yang merusak mental dan masa depan anak melalui tindakan yang melanggar hukum tersebut. Kekerasan seksual merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, bukan saja merupakan perampasan atas jaminan rasa aman dan perlindungan, namun akibat dari perbuatan tersebut seorang korban dapat kehilangan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia, bahkan kehilangan haknya untuk hidup.

Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah melakukan kebijakan hukum pidana melalui ketentuan formulasi, yakni mengeluarkan PERPPU NO 17 Tahun 2016 yang kemudian disepakati bersama oleh DPR menjadi UU No. 17 Tahun 2016 yang mengatur tindakan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Kebiri kimia dilakukan dengan memasukkan bahan kimia antiandrogen, baik melalui pil atau suntikan ke tubuh seseorang untuk memperlemah hormone testosterone. Secara sederhana, zat kimia yang dimasukkan ke dalam tubuh itu akan mengurangi bahkan menghilangkan libido atau hasrat seksual.

Metode penelitian yang digunakan deskriptif analitis yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.

Dalam melakukan langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara yuridis normatif yang merupakan penelitian yang mengacu pada norma hukum yang sesuai atau berkaitan dengan peraturan perundang-undangan, putusan- putusan pengadilan dan norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Dalam penelitian hukum normatif, maka data yang digunakan ialah data sekunder.Data sekunder diperoleh dengan melakukan penelitian terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Tindakan kebiri kimia yang diatur dalam ketentuan UU No 17 Tahun 2016 merupakan bentuk hukuman yang tidak sesuai dengan kebijakan hukum pidana di Indonesia, yang mana kebijakan hukum pidana di Indonesia berlandaskan kepada ketentuan Pancasila dan UUD 1945.

Tindakan kebiri kimia yang dirumuskan dalam Pasal 81 Ayat (7) tersebut dapat dikatakan tidak sesuai dengan nilai nilai pancasila, terkhusus sila Pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Kata Kunci : Hukuman, Kebiri Kimia, Kebijakan Hukum Pidana

(6)

CHEMICAL PUNISHMENT FOR CHILD SEX OFFENDER IS VIEW FROM THE CRIMINAL LAW POLICY

Kristina Sitanggang

Madiasa Ablisar, Ekaputra, Suhaidi (kristinasitanggang993@gmail.com)

ABSTRACT

Case of child abuse that committed by the nearest people with the children is a concerned condition. The environment and people around the children should teach, protect, educate and direct them to grow up and develop into a good child. In fact, the immediate environment like parents or family and teacher even become the parties who damage the mental and future of the children throught the unlaws act. This case is a form of human rights violation. It is not only to seize the unsurpation of security and protection but a victim also lose the right to live a physical and spiritual life, the rights to be free from torture or degrading treatment of human dignity and even loss their rights to life.

Based on this case, the government conducted a criminal law policy through the provisions of the formulation of issuing government regulation in lieu of Law number 1 of 2016 which was then agreed by the legislative into the Law number 17 of 2016 which regulates the act of chemical castration for pedophile. Chemical castration is done by inserting antiandrogen chemicals, pills or injections into a person's body to weaken the hormone testosterone. Simply, the chemicals that are inserted into the body will reduce even eliminate libido or sexual desire.

Research method of descriptive analytical reveals the legislation relating to legal theory become object of research. In doing these descriptive research steps need to be applied problem approach so the problem to be studied become more clear and firmly. The approach of the problem is done through a normative juridical way which is a study that refers to the appropriate legal norms or related to the laws and regulations, court decisions and legal norms that exist in the community. In normative legal research, the data used is secondary data.

Secondary data were obtained by conducting research on primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials.

Chemical castration actions regulated in the provisions of law number 17 of 2016 is a form of punishment that is not in accordance with the criminal law policy in Indonesia, which criminal law policy in Indonesia is based on the provisions of Pancasila and the 1945 constitution. Chemical castration actions formulated in Article 81 paragraph (7) can be said is not in accordance with the values of Pancasila especially the first principle, a divinity that is an ultimate unity and the second principle, a just and civilized humanity

Keyword : Punishment, Chemical Castration, Criminal Policy

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan penyertaanNya sehingga penulis dapat melaksanakan penulisan hukum dengan judul “Kebiri Kimia (Chemical Castration) Untuk Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak Ditinjau dari Kebijakan Hukum Pidana” sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Pendidikan pada Program Magister Ilmu Hukum (S-2), Program Studi Ilmu Hukum Bagian Hukum Pidana di Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan tesis ini.Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik ataupun saran yang bersifat membangun dalam menyempurnakan tesis ini.

Dalam penulisan tesis ini, penulis telah banyak menerima motivasi, bimbingan, dukungan moril, materil, dan doa juga kerja sama dari berbagai pihak khususnya teristimewa kepada orang tuaku Ayahanda Kaman Sitanggang dan Ibunda Orli Sihaloho tercinta yang dengan kasih saying telah bersusah payah membesarkan, mengasuh, mendidik penulis serta memberikan dorongan dalam bentuk moral, materi dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan Pendidikan Program Magister Ilmu Hukum (S-2) di Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan yang berbahagia ini izinkan juga penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

(8)

1. Bapak Prof. Dr., Runtung Sitepu, SH., M. Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara ;

2. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara ;

3. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M. Hum Selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara ;

4. Bapak Prof. Dr. Madiasa Ablisar, SH., MS. Selaku Pembimbing Pertama saya di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara ;

5. Bapak Dr. M. Eka Putra, SH., M. Hum Selaku Pembimbing kedua saya di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara ;

6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH Selaku Pembimbing ketiga saya di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara ;

7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum selaku penguji saya di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara ;

8. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH., M.A Selaku Penguji saya di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara ;

9. Bapak-bapak dan Ibu-Ibu Guru Besar dan Staff Pengajar di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara ;

10. Seluruh staff pegawai Biro Administrasi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara ;

11. Kepada seluruh saudara kandung saya, yakni Abang Hendry Immanuel Pardamean Sitanggang, Adik Franciskus Marulitua Sitanggang, dan Adik Saut Santo Paulus Sitanggang

(9)

12. Serta teristimewa sahabat-sahabat yang berjalan beriringan saling menolong dan mendorong banyak hal-hal yang telah kita lewati bersama demi sebuah gelar Magister Ilmu Hukum kepada Jarafandy Gusti Saragih, SH, Judika Atma Togi Manik SH, Okto Reniska Simbolon SH, Eka Sulastri Hasugian, Erlangga Prasady SH, Binka LG Simatupang SH, Boturan Simatupang SH, Roland Tampubolon SH, Rica Gusmarani SH, Timbul Jaya Rajagukguk SH, Yakub Frans Sihombing SH, Puji Aprilia Marpaung SH, Intan Elisabeth Pasaribu SH

Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini berguna bagi pembaca terutama bagi penulis, kiranya Kasih Setia dan Berkat Anugerah Tuhan Yang Maha Esa selalu menyertai kita semua. Aminn

Penulis

Kristina Sitanggang

(10)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis ... 14

2. Manfaat Praktis ... 14

E. Keaslian Penulisan ... 14

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori ... 15

a. Teori Retributif ... 17

b. Teori Relatif ... 18

c. Teori Gabungan ... 20

d. Teori Kebijakan hukum Pidana ... 21

2. Landasan Konsepsional ... 25

G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 28

2. Sumber Data... 29

3. Teknik Pengumpulan Data ... 30

4. Analisis Data ... 32

BAB II Hukuman Kebiri Kimia (Chemical Castration) Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pada Anak Berdasarkan Perspektif Kebijakan Hukum Pidana A. Kebijakan Hukum Pidana Indonesia ... 33

B. Kekerasan Seksual Terhadap Anak ... 44

(11)

C. Kebiri Kimia (Chemical Castration) Berdasarkan Perspektif Kebijakan Hukum Pidana ... 47 1. Latar Belakang lahirnya kebijakan ancaman sanksi kebiri kimia

(chemical castration) ... 47 2. Efektifitas kebiri kimia (chemical castration) kepada pelaku

kekerasan seksual terhadap anak ... 55

BAB III Hukuman Kebiri Kimia (Chemical Castration) Berdasarkan Filosofi Bangsa Indonesia

A. Sistem Penghukuman Berdasarkan Filosofi Bangsa Indonesia ... 77 B. Hukuman Kebiri Kimia (Chemical Castration) Berdasarkan Sila

Ketuhanan yang Maha Esa ... 83 C. Hukuman Kebiri Kimia (Chemical Castration) Berdasarkan Sila

Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab ... 90

BAB IV KebijakanFormulasi Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Masa yang Akan Datang

A. Formulasi Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak Berdasarkan Hukum Positif yang Berlaku ...

105

1. Formulasi sanksi pidana bagi pelaku kejahatan kesusilaan pada anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 106 2. Formulasi sanksi kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak

menurut Undang-Undang Nomor menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ... 110 3. Formulasi sanksi kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak

menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 112

(12)

4. Formulasi sanksi kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 113 5. Formulasi sanksi kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak

menurut Perppu Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 116 B. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap

Anak di Masa yang Akan Datang ...

120

BAB V Penutup

A. Kesimpulan ... 128 B. Saran ... 130

DAFTAR PUSTAKA ... 131

(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Berbicara mengenai anak adalah sangat penting, karena anak merupakan potensi nasib manusia di masa mendatang, anaklah yang menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa yang akan datang. Selain itu, anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak mempunyai peran yang sangat strategis sebagai individu penerus suatu bangsa.Betapa pentingnya peran seorang anak sebagai generasi penerus bangsa, maka Negara kemudian diberikan amanah oleh konstitusi untuk memberikan perlindungan dan rasa aman dari tindakan-tindakan yang tentunya mempengaruhi perkembangan si anak.

Kondisi fisik, mental, dan sosial seorang anak bersifat khas dan ditandai dengan sikap sering kali mementingkan dirinya sendiri, sehingga dapat disalah gunakan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh orang di sekelilingnya.Dalam kenyataan banyak terjadi kekerasan atau eksploitasi terhadap anak yang dilakukan oleh pelaku.Anak-anak paling rawan menjadi korban suatu kejahatan karena anak ini dianggap lemah dan dapat dengan gampangnya dibujuk untuk melakukan sesuatu hal termasuk untuk melakukan kejahatan.

Anak sering menjadi korban dari kejahatan atau kekerasan yang dilakukan oleh lingkungan terdekat anak. Sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 Angka (16) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa :

“kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.”

Yang mana fokus penulisan dalam penelitian ini ialah kekerasan seksual terhadap anak.

(14)

Bentuk kekerasan seksual terhadap anak merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak- hak anak. Sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 13 Ayat (1) UU Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan eksploitasi baik ekonomi maupun seksual.”

Kasus kekerasan atau pelecehan seksual yang dialami anak sebagai korban yang dilakukan oleh orang-orang terdekat anak merupakan kondisi yang memprihatinkan, yang mana seharusnya lingkungan terdekat anak mengajarkan, melindungi, mendidik dan mengarahkan anak untuk tumbuh dan berkembang menjadi perilaku anak yang baik. Akan tetapi, sebaliknya lingkungan terdekat anak seperti orang tua, individu yang berada dalam keluarga anak, guru menjadi pihak-pihak yang merusak mental dan masa depan anak melalui tindakan yang melanggar hukum tersebut. Kekerasan seksual merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, bukan saja merupakan perampasan atas jaminan rasa aman dan perlindungan, namun akibat dari perbuatan tersebut seorang korban dapat kehilangan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia, bahkan kehilangan haknya untuk hidup.

Sebagai contoh bentuk kekerasan seksual yang dialami anak sebagai korban ialah kasus pembunuhan Putri NF, bocah Sembilan tahun, dilakukan oleh Agus Darmawan.PNF ditemukan tak bernyawa di dalam kardus dengan kondisi terikat dan tanpa busana, di kemaluannya ditemukan bercak sperma.1

1 Bayu Adi Wicaksono, Terungkap Fakta Baru Pembunuhan Anak dalam Kardus, https ://m.news.viva.co.id/news/read/689270-terungkap-fakta-baru-pembunuhan-anak-dalam-kardus, diunduh tanggal 23 Januari 2017.

Kemudian kasus Emon sang predator seks anak yang berasal dari Sukabumi yang memakan banyak korban, bahkan korban dari Emon ini mencapai puluhan

(15)

anak.2Sangatlah tidak berperikemanusiaan perbuatan yang dilakukan oleh Emon ini, dia mencabuli anak-anak di bawah umur tanpa memikirkan resiko dari perbuatannya itu. Berpindah dari kasus emon sang predator anak asal sukabumi ada kasus yang terjadi di Kuningan Jawa Barat yakni pelaku bernama Baekuni alias babe (61) tahun tersangka pelaku pembunuhan berantai dan sodomi korban yang bernama Aris (21 tahun) dan Teguh (11 tahun) yang diakuinya telah dibunuh kemudian di sodomi lalu jasadnya dimutilasi.3Kemudian kasus yang menjadi perhatian publik ialah Kasus yuyun di Bengkulu yang diperkosa oleh 14 pemuda tanggung dan 7 (tujuh) diantaranya masih remaja.Perbuatan tersebut dilakukan di sebuah kebun karet di kawasan lembak Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu. Dimana Y diperlakukan secara kejam dengan cara disekap dan diikat, bukan hanya itu, korban juga dianiaya oleh para pelaku dan selanjutnya korban diperkosa secara bergiliran oleh 14 (empat belas) pemuda tersebut. Bahkan yang lebih membuat kita miris berdasarkan hasil visum bahwa anak yang bernama Y sudah dalam keadaan meninggal masih disetubuhi oleh pemuda-pemuda tersebut.4

Melihat banyaknya penyelewengan yang terjadi terhadap hak atas anak, seperti terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak sebagai korban, sudah seharusnya masyarakat dan Negara memberikan pengawasan dan perlidungan terhadap anak.Sebagaimana Arif Gosita berpendapat bahwa perlindungan anak adalah suatu usaha melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.5

2 Fadhila, Emon, Predator Seks asal Sukabumi : Korban 73 Anak, seorang dilaporkan meninggal,

Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pada pengaturan dan peraturan perundang-undangan.Sebagaimana yang dirumuskan

http://simomot.com/2014/05/05/emon-predator-seks-asal-sukabumi-korban-73-anak-seorang-dilaporkan-meninggal, diunduh tanggal 23 Januari 2017.

3http ://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2010/01/20/105720/babe-akui-puas-sodomi-mayat-yang- dibunuhnya, diunduh tanggal 23 Januari 2017.

4http://news.okezone.com/read/2016/05/04/340/1380243/ini-kronologi-pemerkosaan-yuyun-di-bengkulu, diakses pada tanggal 23 Januari 2017

5 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta : Akademi Pressindo, 1989), hal. 52.

(16)

dalam ketentuan pasal 20 UU Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa, “Negara, Pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.”

Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.Jadi, masalah perlindungan hukum bagi anak mencakup lingkup yang sangat luas.6

Menurut Sahardjo hukum sebagai alat pengayoman bertujuan untuk melindungi masyarakat dan individu terhadap perbuatan-perbuatan yang mengganggu tata tertib.Sebagai alat pengayoman, maka hukum harus berusaha menjadikan tiap-tiap anggota masyarakat menjadi manusia yang berguna.Dalam mengayomi itu terkandung juga sifat mendidik.Unsur-unsur melindungi dan mendidik seyogyanya menjadi tugas Negara melalui hukum pidana.

Bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Negara kepada anak sebagai korban kekerasan seksual melalui ketentuan regulasi atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai sanksi atau hukuman kepada pelaku kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak.

7

Bentuk ketentuan regulasi yang mengatur mengenai sanksi atau hukuman kepada pelaku kekerasan seksual pada anak ialah merupakan ketentuan hukum publik yang dalam hal ini ketentuan hukum pidana yang tentunya sangat berbeda dengan masalah perdata yang merupakan masalah ranah hukum privat.Hukum pidana adalah hukum yang bersifat represif, hukum yang mempunyai sanksi istimewa, hukum ini tidak kenal kompromi, walaupun seumpama si korban tindak pidana memaafkan, mendamaikan dengan si pelaku atau sudah menerima nasib agar pelaku nya dimaafkan ataupun tidak dituntut.Namun, dalam hal ini hukum pidana bersifat tegas,

6 Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung : CV Mandar Maju, 2009), hal. 1.

7 M. Ali Zaidan, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), hal. 26.

(17)

hukum harus ditegakkan dan pelaku tindak pidana harus ditindak.8 Pembahasan mengenai pidana dalam hukum pidana tidak akan ada habisnya mengingat justru aspek pidana inilah bagian yang terpenting dari suatu undang-undang hukum pidana. Masalah pidana sering dijadikan tolak ukur sampai seberapa jauh tingkat peradaban suatu bangsa yang bersangkutan.9

Melihat besarnya kekuasaan hukum pidana atas kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat tersebut, maka kewenangan menjatuhkan pidana sangat dibatasi, juga alasan-alasan penjatuhan pidana harus demi kehidupan bermasyarakat (untuk keamanan, ketertiban, dan keadilan). Dalam masalah pidana, segala masalah yang timbul akan diserahkan kepada Negara untuk penyelesaiannya, meskipun dalam teori hukum acara pidana penyerahan dalam perkara penyelesaian perkara pidana kepada Negara tersebut berbeda. Ada dengan proses pengaduan atau dengan proses laporan kepada pejabat yang berwenang untuk itu.10

Pasca Reformasi muncul kebutuhan untuk mempertegas pengakuan terhadap hak anak melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat UUPA) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

Di Indonesia, ketentuan pidana yang mengatur mengenai kejahatan kesusilaan terhadap anak pada awalnya mengacu pada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP terdapat ketentuan tentang larangan melakukan persetubuhan dengan wanita di luar perkawinan dan belum berusia lima belas tahun (pasal 287 KUHP), Larangan melakukan perbuatan cabul bagi orang dewasa dengan orang lain sesama jenis kelamin dan belum dewasa (pasal 292 KUHP), larangan berbuat cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkat, atau anak di bawah perwalian yang belum dewasa (pasal 294 KUHP).

8 E.Utrecht, Hukum Pidana I, (Bandung : Penerbitan Universitas, 1968), hal. 60.

9 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hal. 76.

10Wirdjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Jakarta : Refika Aditama, 2003), hal. 2.

(18)

Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sebagai aturan khusus (lex specialis) dari aturan-aturan KUHP yang telah ada sebelumnya.

Undang-undang perlindungan anak diundangkan dengan maksud untuk memberikan perlindungan kepada anak terhadap hak-haknya terutama kaitannya dengan masalah pedofilia, sebab dalam undang-undang tersebut secara umum menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat tumbuh, berkembang dan berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat, serta mendapat perlindungan dari kekerasan.

Undang-undang perlindungan anak juga mengatur tentang larangan terkait kekerasan seksual kepada anak, yaitu Pasal 76 D mengatakan bahwa, “setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.” Berdasarkan hal tersebut, kemudian diancam sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 81 yang menyatakan bahwa : “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 D, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah).” Sanksi ini akan bertambah 1/3 (sepertiga) apabila tindak pidana dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan.

Telah diaturnya mengenai bentuk atau jenis hukuman atau sanksi kepada pelaku kejahatan seksual pada anak seperti yang dimuat dalam ketentuan umum yakni KUHP dan ketentuan khusus dalam undang-undang perlindungan anak tidak membuat jera pelaku tindak pidana dan masyarakat yang dalam hal ini pelaku potensial, yang mana hal ini ditandai dengan maraknya kejahatan atau tindak pidana kejahatan seksual pada anak. Berdasarkan fakta yang ada saat ini, undang-undang perlindungan anak belum dapat memberikan jaminan kepada anak-anak terhadap tindak pidana kekerasan seksual. Saat ini kekerasan pada anak semakin meningkat dari

(19)

tahun ke tahun, yaitu berdasarkan data yang dihimpun oleh Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komnas Anak dalam kurun waktu 2010-2015, yang menerima pengaduan pada tahun 2010 sebanyak 2.046, dimana 42 % diantaranya merupakan kejahatan seksual. Pada tahun 2011 menjadi 2.426 kasus, yang 52 % kejahatan seksual. Sementara pada 2012 ada 2.723 aduan yang 58 % diantaranya kekerasan seksual.Meningkat lagi pada tahun 2013 menjadi 3.339 kasus, dimana 62 % didominasi kejahatan seksual.Kemudian pada 2014 sebanyak 3.762 kasus dengan 52 % diantaranya kekerasan seksual.Melihat di tahun 2015 terjadi peningkatan pengaduan sangat tajam ada 1.725 kasus dimana 48 % kekerasan seksual.11

11http ://www.kpai.go.id/diakses pada tanggal 23 Januari 2017.

Persentase pengaduan tentang kekerasan seksual yang dialami anak sebagai korban adalah contoh beberapa kejadian pedofilia yang muncul ke permukaan di karenakan adanya aduan atau laporan kepada pihak yang berwajib serta sorotan yang dilakukan oleh media massa.

Kemungkinan masih banyak kasus-kasus pedofilia yang belum muncul ke permukaan dikarenakan belum adanya laporan kepada pihak yang berwajib, didorong oleh lingkungan sekitar yang acuh, ataupun rasa malu yang akan dirasakan oleh keluarga bilamana masyarakat mengetahui bahwa anak atau sanak saudaranya menjadi korban dari para pelaku pedofilia ataupun dikarenakan alasan lainnya.

Belum adanya ketegasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal penghukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak ini menjadikan masyarakat menjadi cemas akan masalah yang bisa saja terjadi terhadap anak-anaknya. Hal tersebut terlihat dan pada kenyataannya apabila pelaku diajukan ke pengadilan sering kali hakim memutuskan dengan hukuman yang rendah yang tidak setimpal dengan resiko yang dialami oleh korban.

(20)

Ketidak konsistenan antara undang-undang dengan kenyataan menurut Kongres PBB VI Pada Tahun 1980 merupakan faktor kriminogen,12

Kebijakan hukum pidana merupakan suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaharuan semakin jauh undang-undang bergeser dari perasaan dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, maka semakin besar ketidakpercayaan akan keefektifan sistem hukum itu. Ketidak sesuain antara undang-undang dengan kenyataan, yang menurut Kongres PBB itu dapat merupakan faktor kriminogen, dapat mencakup pengertian yang sangat luas.Ketidak sesuaian itu tidak hanya berarti tidak sesuai dan tidak responsif lagi terhadap problem-problem sosial atau terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial dan pembangunan saat ini.

Hukuman yang berlaku dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan.Hal ini merupakan kelemahan hukum yang ada karena hukuman yang seharusnya bisa memberikan perlindungan dan pencegahan menjadi tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.Oleh karena nya perlu ada sebuah upaya hukum yang baru untuk memberikan efek jera sekaligus sebagai tindakan pencegahan agar bisa mengurangi bahkan tidak terjadi lagi kasus kekerasan seksual terhadap anak tersebut. Salah satu upaya hukum tersebut adalah dengan melakukan kebijakan hukum pidana yaitu tahap formulasi melalui Ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan dalam ketentuan peraturan tersebut mencantumkan hukum kebiri sebagai sanksi atau hukuman tambahan bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak.

12 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 2010), hal.

202.

(21)

hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach).13

Kebijakan hukum pidana dalam hal kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak ini adalah dengan memberikan tindakan kebiri kimia sebagai upaya hukum untuk memberikan efek jera bagi pelaku.Kebiri disebut juga pengebirian atau kastrasi adalah tindakan bedah dan/atau menggunakan bahan kimia yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi testis pada jantan atau fungsi ovarium pada betina dan pengebirian dapat dilakukan baik pada hewan ataupun manusia.Pengebirian dapat dilakukan secara fisik, selain itu pengebirian dapat dilakukan secara kimiawi yaitu secara teknis.Kebiri kimia dilakukan dengan memasukkan bahan kimia antiandrogen, baik melalui pil atau suntikan ke tubuh seseorang untuk memperlemah hormone testosterone. Secara sederhana, zat kimia yang dimasukkan ke dalam tubuh itu akan mengurangi bahkan menghilangkan libido atau hasrat seksual.14

Hukuman kebiri bukanlah hukuman yang baru, dikarenakan hukuman kebiri sudah dilaksanakan di berbagai Negara, seperti di Ceko, Jerman, Moldova, Estonia, Argentina, Australia, Israel, Selandia Baru, Korea Selatan, Rusia serta beberapa Negara bagian di Amerika Serikat.15

13 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta : Kencana, 2010), hal. 29.

14 Majalah Hukum Varia Peradilan, (Jakarta : Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), 2015, Hal. 49

Dari hasil kajian yang dilakukan Institut Criminal Justice Reform (ICJR) dengan pendekatan perbandingan hukum terhadap beberapa negara, didapati beberapa temuan yang mengindikasikan bagaimana pengaturan Hukum Kebiri di beberapa negara tersebut. Secara umum penggunaan kebiri dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu “mandatory”,“discretionary”, dan “voluntary”. Perbedaannya terdapat dari bagaimana kebiri diterapkan dalam hukum pidana, dalam hal mandatory, maka kebiri dijatuhkan langsung ketika pidana terjadi, discreationary

15http://mappifhui.org/2016/07/22/pentingkah-hukuman-kebiri/diakses pada tanggal 31 Januari 2017.

(22)

dijatuhkan dalam hal pidana dijatuhkan sebagai opsi, tidak ada kewajiban bagi hakim, sedangkan voluntary diberikan hanya dalam hal mendapatkan kesepakatan oleh seseorang yang akan dikebiri.16

B. Rumusan Masalah

Hukum yang telah ada dan diterapkan untuk menjerat pelaku kekerasan seksual terhadap anak ini dirasa belum memberikan keadilan bagi korban, yang mana korban yang masih dikategorikan anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan justru mendapat perlakuan yang bisa memberikan dampak traumatis secara psikologis yang bisa berkepanjangan hingga ia dewasa sampai seumur hidupnya dan menjadikan ia kehilangan masa depannya akibat trauma tersebut, bahkan akan terus terbayang dalam ingatan anak yang menjadi korban kejahatan, ketika aksi pelaku dilakukan dengan kekerasan sehingga akan memunculkan sifat dendam yang sulit dihilangkan. Akibat sifat dendam tersebut bisa memungkinkan anak yang menjadi korban tersebut akan menjadi pelaku kekerasan seksual ketika beranjak dewasa, karena tidak jarang pelaku kekerasan seksual juga semasa kecilnya pernah menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual. Oleh karena itu, perlu ada upaya hukum yang bisa memberikan keadilan yang setimpal bagi korban terhadap apa yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak tersebut.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam pokok pembahasan tesis ini adalah :

1. Bagaimana formulasi hukum kebiri kimia (chemical castration) dalam UU No. 17 Tahun 2016 ?

2. Apakah formulasi sanksi kebiri kimia dalam UU No. 17 Tahun 2016 sudah sesuai dengan Filosofi Bangsa Indonesia ?

16http://icjr.or.id/hukum-kebiri-indonesia-latah-atau-tanpa-solusi/ diakses pada tanggal 31 Januari 2017.

(23)

3. Bagaimana tahap Kebijakan Formulasi tindak pidana kejahatan kekerasan seksual terhadap anak di masa yang akan datang ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengkaji dan menganalisa formulasi hukuman kebiri kimia (chemical castration) untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak berdasarkan UU No. 17 Tahun 2016 ;

2. Untuk mengkaji dan menganalisa apakah formulasi hukuman kebiri kimia(chemical castration) sudah sesuai dengan Filosofi Bangsa Indonesia ;

3. Untuk mengkaji dan menganalisa bagaimana tahap formulasi dalam membentuk suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang baik di masa mendatang.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum pidana mengenai kebijakan penerapan hukuman atau sanksi kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual kepada anak

2) Secara Praktis

Penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum agar dapat mengetahui penerapan sanksi atau hukuman kebiri kepada pelaku kekerasan seksual kepada

(24)

anak.Khusus kepada masyarakat umum agar dapat mengetahui akibat dari perlakuan kekerasan seksual kepada anak.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian yang menyangkut masalah “Hukuman Kebiri Kimia (Chemical Castration) untuk Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak Ditinjau dari Kebijakan Hukum Pidana.” Akan tetapi ada beberapa tesis yang membahas tentang anak, yaitu

1. Analisis hukuman hak asuh anak akibat perceraian berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ;

2. Perlindungan hukum terhadap anak jalanan di Kota Medan (Kajian dari Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Hukum Islam) ;

3. Perlindungan hukum terhadap pelaksanaan pengangkatan anak ditinjau dari hukum islam dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ;

4. Analisis yuridis tentang usia perkawinan bagi anak perempuan menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ;

5. Analisis terhadap konsep tabanni (pengangkatan anak dan istilhaq (pengakuan anak) terhadap anak menurut fiqih islam dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konseptual

(25)

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat dan teori mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan pertimbangan dan pegangan teoritis.17 Teori menempati tempat yang terpenting dalam penelitian, sebab teori memberikan sarana untuk merangkum dan memahami masalah yang dikaji secara lebih baik, sehingga teori berfungsi memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dikaji.18

Teori juga bermanfaat untuk memberi dukungan analisa atas topik yang sedang dikaji,19 serta bermanfaat sebagai pisau analisis dalam pembahasan terhadap masalah penelitian, berupa fakta dan peristiwa hukum yang terjadi.20Teori dapat digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi sekaligus berfungsi sebagai wacana yang memperkaya dan mempertajam argumentasi dalam memahami masalah yang menjadi objek penelitian.Menurut Soerjono Soekanto kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.21

a. Teori Pemidanaan

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah Teori Pemidanaan dan Teori Kebijakan Hukum Pidana sebagai alat untuk melakukan analisis.

Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri yang senantiasa

17 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80.

18 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT Cipta Aditya Bakti, 2000), hal. 253.

19 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal. 44.

20Ibid, hal. 146

21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 2005), hal. 6

(26)

mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa.Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolute, teori relatif, dan teori gabungan.22

1. Teori Retributif (absolut)

Dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “morally justified” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku.

Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “imperatif kategoris”, yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan.Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan itu adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri.23

Teori hukum retributif atau absolut dipandang tepat dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini dengan pertimbangan bahwa : teori retributif memandang pemidanaan merupakan pembenaran secara moral kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak, yang mana pelaku kejahatan telah menyadari

22 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, (Bandung : PT Rafika Aditama, 2009), hal. 22.

23 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 68-70.

(27)

bahwa perbuatan atau tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak merupakan pelanggaran hukum yang telah diakomodir dalam ketentuan undang-undang perlindungan anak. Dengan melakukan kejahatan atau tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak pelaku membenarkan dirinya untuk menerima dan menjalani hukuman yang menjadi haknya.

2. Teori Relatif (Tujuan)

Teori ini disebut juga teori utilitarian. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu.

Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum. Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi dua yaitu : prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. Sedangkan teori prevensi khusus menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar pelaku kejahatan tidak mengulangi perbuatannya lagi.Dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki pelaku kejahatan agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna.24

Teori hukum relatif atau tujuan ini dipandang tepat dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini dengan pertimbangan bahwa : dalam teori

24 Suwarto, Individualisasi Pemidanaan (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2013), hal. 25-26.

(28)

relatif yang membagi kepada prevensi umum dan prevensi khusus. Dipandang dalam kategori prevensi umum penjatuhan pidana kepada pelaku kekerasan seksual oleh aparat penegak hukum (dalam hal ini sistem peradilan pidana) sesuai dengan bentuk-bentuk hukuman yang telah diakomodir dalam undang- undang perlindungan anak yang terdiri dari hukuman mati, hukuman penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun, yang mana hal ini dapat mencegah masyarakat atau pelaku potensial untuk tidak melakukan kejahatan atau tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Disini diperlukan sikap kebijaksanaan dan ketegasan aparat penegak hukum terkhusus Hakim dalam memvonis atau menjatuhkan hukuman yang berat kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak sesuai dengan motif atau cara melakukannya.

Teori relatif atau tujuan dipandang dalam prevensi khusus, bahwa dengan penjatuhan pidana kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak dapat membuat jera pelaku atau dengan kata lain pelaku yang telah menjalani pidana atas perbuatannya menyadari atau menginsyafi akibat dari perbuatan yang dilakukannya, sehingga hal ini menjadikan pelaku di kemudian hari untuk tidak melakukan atau mengulangi kejahatan atau tindak pidana yang serupa.

3. Teori Gabungan atau integratif.

Menurut Muladi dalam Lilik Mulyadi memunculkan konsep tujuan pemidanaan yang disebutnya sebagai tujuan pemidanaan yang integratif (kemanusiaan dalam sistem pancasila).Teori pemidanaan integratif berangkat dari asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang

(29)

menimbulkan kerusakan individual dan masyarakat, tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana.

Selanjutnya Lilik Mulyadi mengemukakan, bahwa dengan titik tolak pemidanaan tersebut yang mengacu kepada “filsafat pemidanaan yang bersifat integratif” maka dikaji dari perspektif teori pemidanaan maka penjatuhan pidana oleh hakim berorientasi kepada adanya sifat pembalasan (retributif), pencegahan terhadap pelaku lainnya (deterrence) dan adanya pendidikan bagi pelaku untuk menjadi masyarakat yang berguna nantinya.25

b. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Pada dasarnya konteks kebijakan dalam hukum pidana berasal dari terminologi Policy (Inggris) dan Politiek (Belanda).Terminologi itu dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan publik, masalah masyarakat atau bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum atau peraturan dengan mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga Negara).26 Dalam kepustakaan asing istilah “Politik Hukum Pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain“penal policy”,“criminal law policy” atau “strafrechts politiek”.27

Pengertian kebijakan atau Politik Hukum Pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah

25Abul Khair & Mohammad Eka Putra, Pemidanaan, (Medan : USU Press, 2011), hal. 49.

26 Lilik Mulyadi, Komplikasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan, (Bandung : Bandar Maju, 2010), hal. 86.

27 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 26.

(30)

usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat, dan kebijakan dari suatu Negara melalui badan- badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dengan tujuan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.28

Bertolak dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan bahwa, melaksanakan “Politik Hukum Pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.29Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.Pengertian demikian terlihat pula dalam defenisi “penal policy” dari Marc Ancel yang telah dikemukakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.”Dengan demikian, yang dimaksud dengan peraturan hukum positif (the positive rule) dalam defenisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan perundang- undangan hukum pidana. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”30

Menurut A. Mulder, “Strafrechpolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan : seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui, apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak

28 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1981), hal. 159.

29Ibid.

30 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 26-27.

(31)

pidana, dan cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.31

Defenisi Mulder diatas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana”

menurut Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri : peraturan hukum pidana dan sanksinya, suatu prosedur hukum pidana dan suatu mekanisme pelaksanaan pidana.32

Sedangkan Andi Hamzah menyatakan politik hukum dalam artian yang luas yang diartikan bahwa : “Dalam pengertian formal, politik hukum hanya mencakup 1 (satu) tahap saja, yaitu menuangkan kebijakan pemerintah dalam bentuk produk hukum atau disebut “legislative drafting”, sedangkan dalam pengertian materil, politik hukum mencakup legislative drafting, legal executing dan legal review.33

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan pidana kejahatan.Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”34

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana).Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum

31Ibid,

32ibid.

33 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta : PT Gramedia, 1994), hal.

24.

34 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 28.

(32)

pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).35

Disamping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang- undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare).Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).36

Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi, di dalam pengertian “social policy”, sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy” dan “social defence policy”37

Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materil, di bidang hukum pelaksanaan pidana.Tulisan ini lebih menitikberatkan pada kebijakan di bidang hukum pidana materil (substantif).38

2. Landasan Konsepsi

Penggunaan konsepsi dalam suatu penelitian adalah untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang dipergunakan dalam merumuskan konsep dengan menggunakan model defenisi operasional.39

35Ibid.

36Ibid.

37Ibid.

38Ibid.

39 Universitas Sumatera Utara, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, (Medan : Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 72

Adapun defenisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

(33)

a. Kebiri kimia merupakan memasukkan bahan kimia antiandrogen, baik melalui pil atau suntikan ke tubuh seseorang untuk memperlemah hormone testosteron.

Secara sederhana, zat kimia yang dimasukkan ke dalam tubuh itu akan mengurangi bahkan menghilangkan libido atau hasrat seksual.40

b. Kekerasan seksual pada anak menurut End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) Internasional merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak dipergunakan sebagai objek pemuas kebutuhan seksual pelaku.41

c. Anak merupakan seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.42

d. Kebijakan hukum pidana merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan- peraturan yang baik yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat, dan kebijakan dari suatu Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dengan tujuan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.43

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu. Sistematis adalah berdasarkan suatu sistem,

40Majalah Hukum Varia Peradilan, Op.Cit, hal 49.

41http :// Ivo Noviana/Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial RI/ Kekerasan Seksual Terhadap Anak : Dampak dan Penanganannya, diakses pada tanggal 31 Januari 2017.

42Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

43 Sudarto, Loc.Cit.

(34)

sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.44

Menurut Buku yang dikuti dari Ronny Hanintijo yang menyatakan bahwa penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah. Selain itu, penelitian juga dapat digunakan untuk menentukan, mengembangkan dan menguji kebenaran.Dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapat jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis, metodologis yang merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah.Seseorang dalam melakukan penelitian harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.45

Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.

Pada penelitian ini, jelas bahwa bidang ilmu hukum yang menjadi landasan ilmu pengetahuan induknya.Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum.

46

1. Jenis Penelitian

Penelitian mengenai “Hukuman Kebiri Kimia(Chemical Castration) untuk Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak Ditinjau dari Kebijakan Hukum Pidana”

merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang sesuai atau berkaitan dengan peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan norma-norma hukum yang ada

44 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal 42.

45 Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumateri, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2006), hal. 9.

46 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal. 43.

(35)

dalam masyarakat,47

Penelitian ini dilakukan dengan maksud memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu, apakah suatu peristiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaliknya peristiwa itu menurut hukum.

seperti yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

48Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Aprroach).Pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Aprroach) adalah penelaahan semua undang- undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani,49

2. Sifat Penelitian

yaitu Kebiri Kimia(Chemical Castration) untuk Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak Ditinjau dari Kebijakan Hukum Pidana”.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.50 Deskriptif analitis merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data mengenai objek penelitian, sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.51

47Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal. 12-105.

48 Ronny Hanintijo Soemitro, Op.Cit, hal 105.

49 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 93.

50 Ronny Hanintijo Soemitro, Op.Cit, hal. 105.

51 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Abad Ke-20, (Bandung : Alumni, 1994), hal.

78.

Penulisan ini akan memberikan

(36)

gambaran atau suatu fenomena yang berhubungan dengan hukuman atau sanksi kebiri kepada pelaku kekerasan seksual kepada anak.

3. Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif maka data yang digunakan data sekunder.Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan pustaka.52Data Sekunder diperoleh dengan melakukan penelitian terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.53

4. Teknik Pengumpulan Data

Bahan hukum primer meliputi UUD 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2016, UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer, misalnya : buku-buku tentang hukum, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari pakar hukum, artikel surat kabar, dan media massa lainnya, serta berbagai berita yang diperoleh dari internet. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberi pentunjuk penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yakni kamus hukum, ensklopedia dan lain sebagainya.

Ada 3 (tiga) alat pengumpulan data yang lazim digunakan, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara (interview).54

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini yaitu studi kepustakaan

52 Zainuddin Ali, Op. Cit, hal. 23.

53 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2004), hal 68.

54 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 38.

Gambar

Tabel 1. Pendapat responden terhadap pelaku kejahatan kesusilaan terhadap anak  atau wanita yang belum dewasa dijatuhi hukuman kebiri
Tabel 2. Pendapat responden yang tidak setuju pelaku kejahatan kesusilaan  terhadap anak atau wanita yang belum dewasa dijatuhi kebiri

Referensi

Dokumen terkait

Memang menjadi pemimpin Kristen dan pendidik bukanlah pekerjaan yang mudah, terlebih menjadi teladan yang baik dalam bertingkah laku, perkataan, kesucian, dan

TINDAKAN KEBIRI KIMIA PADA PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Strata I Pada Program Studi Ilmu Hukum

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan tentang pengaruh pemahaman konsep Bhinneka Tunggal Ika terhadap hubungan sosial siswa berbeda suku

Lamintang menyatakan tujuan pemidanaan ada 3 (tiga), yaitu untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri, untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan

Dipandang dalam kategori prevensi umum penjatuhan pidana kepada pelaku kekerasan seksual oleh aparat penegak hukum (dalam hal ini sistem peradilan pidana) sesuai dengan

Berdasarkan kondisi tersebut, kebijakan formulatif dalam perumusan ketentuan perundang-undangan tentang perlindungan anak, seyogyanya mengefektifkan sanksi atau hukuman yang

Setelah Penulis membandingkan penjelasan mengenai perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dalam hukum pidana Indonesia dan hukum

nilai Set Shoot sebesar 20,38 sedangkan Jump Shoot sebesar 18,63 dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai hasil latihan shooting dengan awalan dan nilai hasil