• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara pantai yang secara hukum internasional diakui sebagai negara kepulauan yang 80% wilayahnya adalah wilayah lautan (Patmasari dkk, 2008). Hal ini berarti Indonesia memiliki potensi sumberdaya yang sangat besar pada wilayah lautnya. Potensi sumberdaya ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.

Berdasarkan undang-undang No. 17 tahun 1985 Indonesia sebagai negara pantai sudah meratifikasi UNCLOS (United Nations Convention on The Law of The

Sea) 1982. Berdasarkan UNCLOS 1982 terdapat berbagai wilayah laut yang bisa

diklaim oleh suatu negara pantai (NOAA, 2013). Wilayah laut yang bisa diklaim tersebut salah satunya adalah landas kontinen. Menurut UNCLOS 1982 landas kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar laut teritorial sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal apabila batas terluar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut (Pasal 76 ayat (1) UNCLOS 1982). Landas kontinen merupakan unsur penting bagi suatu negara pantai karena merupakan sumber berbagai kekayaan alam yang terdapat pada lautan. Berdasarkan Pasal 77 UNCLOS 1982 negara pantai seperti Indonesia memperoleh hak berdaulat pada kawasan landas kontinennya. Pada landas kontinennya Indonesia memiliki hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam yang terdapat pada dasar lautnya atau pada lapisan tanah di bawahnya.

Indonesia sebagai negara pantai yang sudah meratifikasi UNCLOS 1982 berhak untuk menegaskan kewenangannya pada wilayah landas kontinen. Untuk mendukung hal tersebut Indonesia harus membuktikan adanya natural prolongation (kelanjutan ilmiah) dari daratannya (Suarez, 2010). Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 76 UNCLOS 1982 ayat (4) dan (5) mengatur mengenai batas-batas terluar dari landas kontinen di luar 200 mil laut dari garis pangkal. Apabila

(2)

batas tepian kontinen yang dimiliki Indonesia berdasarkan ketentuan yang ada tidak sampai 200 mil laut dari garis pangkal dan tidak terdapat negara tetangga pada jarak 2x200 mil laut sehingga tidak terdapat klaim yang saling tumpang tindih, maka secara otomatis batas terluar landas kontinen Indonesia ditetapkan sejauh 200 mil laut dari garis pangkalnya (Schofield dan Arsana, 2008). Indonesia sebagai negara pantai bisa menetapkan batas landas kontinennya sejauh lebih dari 200 mil laut jika Indonesia bisa membuktikan bahwa kelanjutan alamiah dari daratan Indonesia melebihi 200 mil laut (Suarez, 2010). Landas kontinen melebihi 200 mil laut dikenal dengan sebutan landas kontinen ekstensi (LKE). Berdasarkan pasal 76 ayat (8) UNCLOS 1982 untuk kepentingan tersebut Indonesia perlu melakukan submisi atau pengajuan informasi batas terluar landas kontinen melebihi 200 mil laut atau landas kontinen ekstensinya (LKE) kepada Commission On The Limits Of The Continental

Shelf (CLCS), yang kemudian memberikan rekomendasi kepada Indonesia mengenai

hal-hal yang berkaitan dengan pembentukan batas terluar landas kontinen. Berdasarkan lampiran II UNCLOS 1982 mengenai Commission On The Limits Of

The Continental Shelf pasal 6 ayat (3) rekomendasi yang dihasilkan oleh CLCS harus

disampaikan kepada Indonesia sebagai negara yang melakukan submisi dan kepada Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa Bangsa.

Terdapat beberapa lokasi yang potensial untuk diajukan sebagai landas kontinen ekstensi di Indonesia (Khafid, 2011). Indonesia telah berhasil melakukan submisi untuk landas kontinen ekstensinya dan mendapatkan rekomendasi dari CLCS pada kawasan bagian barat Aceh. Dengan rekomendasi dari CLCS ini maka Indonesia berhasil menetapkan LKE sebesar 4.209 kilometer persegi pada kawasan bagian barat Aceh (BIG, 2010). Hal ini berarti Indonesia berpotensi untuk menambah perolehan pendapatan dari pengelolaan sumberdaya alam pada landas kontinennya.

Selain perairan Barat Aceh terdapat dua wilayah lagi di Indonesia yang memiliki potensi untuk klaim di luar 200 mil yakni, di kawasan maritim sebelah selatan NTB dan di sebelah utara Papua (BIG, 2008). Dengan adanya potensi pengajuan landas kontinen ekstensi pada kawasan maritim sebelah selatan Nusa Tenggara Barat dan sebelah utara Papua, maka Indonesia berpotensi untuk menentukan landas kontinen di luar 200 mil laut pada kedua kawasan tersebut.

(3)

Penelitian ini dilakukan untuk melakukan studi pendahuluan dengan menggunakan data global, untuk menentukan apakah kawasan maritim sebelah selatan NTB memenuhi persyaratan teknis untuk diajukan sebagai landas kontinen ekstensi kepada CLCS.

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan bahwa landas kontinen merupakan unsur penting bagi Indonesia. Indonesia memilik dua lokasi yang berpotensi untuk diklasifikasikan sebagai LKE, salah satunya kawasan maritim selatan Nusa Tenggara Barat (NTB), sehingga dapat dirumuskan suatu masalah untuk menentukan apakah daerah selatan NTB memenuhi syarat teknis dan berpotensi untuk diajukan sebagai LKE.

I.3. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

Mengidentifikasi potensi landas kontinen ekstensi di kawasan maritim sebelah selatan NTB.

I.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah diperolehnya usulan teknis batas terluar landas kontinen Indonesia pada kawasan maritim sebelah selatan NTB, sehingga dapat dihitung luas potensi landas kontinen ekstensi Indonesia di luar jarak 200 mil laut dari garis pangkal pada kawasan maritim selatan NTB. Kajian ini bisa digunakan sebagai bahan untuk studi lapangan lebih lanjut oleh pemerintah Indonesia.

I.5. Batasan Masalah Batasan masalah pada penelitian ini adalah :

1. Lokasi penelitian adalah kawasan maritim selatan NTB pada koordinat : 9° LS s/d 17° LS

114° BT s/d 120° BT

2. Data yang digunakan adalah data batimetri global GEBCO (General Bathymetric

Chart of The Ocean) dan data sedimen global dari NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration).

(4)

3. Batas terluar landas kontinen ditentukan berdasarkan pasal 76 UNCLOS 1982 yaitu:

a. Formula line :

i. Jarak 60 mil laut dari foot of continental slope.

ii. Perbandingan jarak dari foot of continental slope dan ketebalan sedimen 1%.

b. Constraint line :

i. Jarak 100 mil laut dari isobath 2500 m. ii. Jarak 350 mil laut dari garis pangkal.

I.6. Tinjauan Pustaka

Penelitian yang dilakukan Wulansih (2007) tentang kajian teknis landas kontinen ekstensi pada daerah barat daya Sumatra menyimpulkan bahwa berdasarkan syarat penentuan landas kontinen ekstensi, pada daerah barat daya Sumatra tidak memenuhi syarat teknis untuk melakukan klaim landas kontinen ekstensi. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan jarak 100 mil laut dari kontur isobath 2500 m dan jarak 60 mil laut dari foot of continental slope, tanpa memperhitungkan garis ketebalan sedimen 1%. Garis kontur isobath 2500 m diperoleh berdasarkan data dari proyek Digital Marine Resource Mapping (DMRM). Data tersebut diolah dengan menggunakan perangkat lunak CARIS HIPS untuk menentukan letak kontur isobath 2500 m dan letak foot of continental slope. Pengerjaan penelitian tersebut meliputi penentuan garis 200 mil laut dari garis pangkal, garis batas 100 mil laut dari kontur

isobath 2500 m dan garis batas 60 mil laut dari foot of continental slope. Hasil

penelitian yang dilakukan Wulansih (2007) berbeda dengan hasil penelitian oleh tim landas kontinen Indonesia, pada penelitiannya tim landas kontinen Indonesia berhasil melakukan subimsi kepada CLCS dan memperoleh rekomendasi. Dengan rekomendasi dari CLCS maka Indonesia berhasil menetapkan LKE sebesar 4.209 kilometer persegi pada kawasan bagian barat Aceh (BIG, 2010).

Schofield dan Arsana (2008) mengemukakan bahwa sudah ada 17 submisi (berdasarkan CLCS (2014) sampai tanggal 23 April 2014 sudah ada 73 submisi) yang diajukan oleh berbagai negara pada CLCS. Indonesia sendiri sudah mengajukan

(5)

submisi landas kontinen ekstensinya pada 16 Juni 2008, namun berdasarkan keterangan dari tim landas kontinen Indonesia yang dikutip oleh Schofield dan Arsana (2008) klaim ini belum merupakan klaim akhir karena hanya dilakukan pada satu area yang berpotensi yaitu pada kawasan maritim barat daya Sumatra. Indonesia masih mempersiapkan pengajuan LKE pada dua daerah lainnya, yaitu pada daerah sebelah selatan NTB dan sebelah utara Papua. Indonesia mengajukan LKE sebesar 3.915 kilometer persegi dan setelah dilakukan kajian oleh CLCS, submisi landas kontinen yang direkomendasikan oleh CLCS pada tahun 2010 sebesar 4.209 kilometer persegi.

Sutisna dkk. (2005) menyimpulkan bahwa berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tiga area sebelah barat Sumatra, sebelah selatan Pulau Sumba dan sebelah utara Papua, Indonesia berpotensi untuk melakukan klaim landas kontinen di luar batas 200 mil laut. Terdapat lima tahap pada proses deliniasi landas kontinen, yaitu penentuan garis pangkal, penentuan legal limits, penentuan constraint

(cut-off) line, pengaplikasian formula line, batas terluar landas kontinen dan evaluasi.

Data yang digunakan dalam paper ini adalah PP-38/2002 (kemudian direvisi oleh PP-37/2008) yang berisi 183 titik yang digunakan untuk membentuk garis pangkal Indonesia, World Vector Shoreline, data batimetri dari proyek DMRM, data batimetri global ETOPO2, dan data ketebalan sedimen.

I.7. Landasan Teori I.7.1. Garis Pangkal

Semua zona maritim yang ditetapkan berdasarkan UNCLOS 1982 diukur dengan jarak tertentu dari garis pangkal negara tersebut (de Jong, 2002). Garis pangkal adalah referensi awal penarikan garis batas terluar laut teritorial dan zona maritim lainnya yang diukur berdasarkan garis surut terendah (Pasal 5 UNCLOS 1982). Pada fenomena-fenomena khusus diperlukan survei geodesi untuk menentukan posisi titik yang memperlihatkan garis air terendah. Sebelum menentukan garis air terendah, suatu negara pantai harus menentukan jenis garis pangkal yang akan digunakan (TALOS, 2006). Pasal 14 UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa “negara pantai dapat menetapkan garis pangkal secara

(6)

bergantian dengan menggunakan cara penarikan manapun yang diatur dalam pasal-pasal di atas untuk menyesuaikan dengan keadaan yang berlainan”. Oleh karena itu dimungkinkan bagi sebuah negara pantai untuk mengunakan kombinasi garis pangkal sebagai garis pangkalnya. Berdasarkan TALOS (2006) terdapat tiga jenis garis pangkal yang bisa digunakan oleh negara pantai sebagai referensi untuk mentapkan zona maritimnya, yaitu garis pangkal normal (Pasal 5 UNCLOS 1982), garis pangkal lurus (Pasal 7 UNCLOS 1982), dan garis pangkal kepulauan (Pasal 47 UNCLOS 1982).

I.7.1.1. Garis pangkal normal. Garis pangkal normal adalah, kecuali ditentukan lain dalam konvensi, garis pangkal untuk menentukan lebar laut teritorial berdasarkan garis air terendah sepanjang pantai yang ditandai pada peta skala besar yang secara resmi diakui oleh negara pantai tersebut (Pasal 5 UNCLOS 1982). Terdapat beberapa kondisi yang mengakibatkan garis pangkal normal tidak bisa digunakan. Kondisi tersebut diantaranya adalah terdapatnya muara sungai, teluk dan gugusan pulau-pulau. Pada kondisi yang mengakibatkan garis pangkal normal tidak bisa digunakan, negara pantai bisa menggunakan garis pangkal lain sebagai garis pangkalnya (UN, 1989).

I.7.1.2. Garis pangkal lurus. Adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik pangkal tertentu yang terletak pada garis air terendah (UN, 1989). Garis pangkal lurus tidak mengikuti bentuk garis pantai (de Jong, 2002). Gambar I.1. menunjukkan garis pangkal lurus. Berdasarkan UNCLOS 1982 suatu negara pantai dapat menarik garis pangkal lurus sebagai garis pangkalnya apabila memenuhi ketentuan-ketentuan yang tertulis dalam pasal 7, yaitu :

1. Di tempat-tempat dimana garis pantai menjorok jauh ke dalam dan menikung ke dalam atau jika terdapat suatu deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya, cara penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik yang tepat dapat digunakan dalam menarik garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.

2. Dimana karena adanya suatu delta dan kondisi alam lainnya garis pantai sangat tidak tetap, maka titik-titik yang tepat dapat dipilih pada garis air rendah yang paling jauh menjorok ke laut dan sekalipun garis air rendah

(7)

kemudian mundur, garis-garis pangkal lurus tersebut akan tetap berlaku sampai diubah oleh negara pantai sesuai dengan konvensi ini.

3. Penarikan garis pangkal lurus tersebut tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum garis pantai dan bagian-bagian laut yang terletak di dalam garis pangkal demikian harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk dapat tunduk pada rezim perairan pedalaman.

4. Garis pangkal lurus tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut kecuali jika di atasnya didirikan mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen ada di atas permukaan laut atau kecuali dalam hal penarikan garis pangkal lurus ke dan dari elevasi demikian telah memperoleh pengakuan umum internasional.

5. Dalam hal cara penarikan garis pangkal lurus dapat diterapkan berdasarkan ayat 1, maka di dalam menetapkan garis pangkal tertentu, dapat ikut diperhitungkan kepentingan ekonomi yang khusus bagi daerah yang bersangkutan, yang kenyataan dan pentingnya secara jelas dibuktikan oleh praktek yang telah berlangsung lama.

6. Sistem penarikan garis pangkal lurus tidak boleh diterapkan oleh suatu negara dengan cara yang sedemikian rupa sehingga memotong laut teritorial negara lain dari laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif.

Gambar I. 1. Garis pangkal lurus. (sumber: Schofield dan Arsana, 2012)

: Laut : Daratan : Garis Pangkal Lurus Legenda : Titik Pangkal

(8)

I.7.1.3. Garis pangkal kepulauan. Berdasarkan pasal 47 UNCLOS 1982 ayat (1) suatu Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu. Penarikan garis pangkal kepulauan harus dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara 1:1 dan 9:1.

Berdasarkan deklarasi Djuanda pada tahun 1957 (diresmikan dalam UU No. 4 tahun 1960 tentang perairan Indonesia) Indonesia mendeklarasikan dirinya sebagai negara kepulauan. Negara kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain (Pasal 46 ayat (1) UNCLOS 1982). Menurut pasal 46 ayat (2) UNCLOS 1982 kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan bentuk alamiah lain yang berhubungan erat sehingga pulau-pulau, perairan dan bentuk alamiah lainnya membentuk suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap demikian. Sebagai negara kepulauan Indonesia menggunakan garis pangkal kepulauan. Hal ini kemudian diikuti dengan diterbitkannya daftar koordinat geografis titik pangkal Indonesia yang mendefinisikan garis pangkal kepulauan Indonesia (Schofield dan Arsana, 2009). Gambar I.2 Menunjukkan garis pangkal kepulauan yang digunakan oleh negara kepulauan.

Gambar I. 2. Garis pangkal kepulauan. (sumber: Schofield dan Arsana, 2012)

: Laut : Daratan : Laut Kepulauan : Garis Pangkal Kepulauan Legenda

(9)

I.7.2. Zona Maritim

Berdasarkan UNCLOS 1982 terdapat empat jenis zona maritim yang bisa diklaim oleh negara pantai. Selain landas kontinen setiap zona maritim memiliki batas jarak tertentu yang digunakan sebagai pembatas dalam klaim yang dilakukan oleh negara pantai. Gambar I.3 menunjukkan pembagian zona maritim berdasarkan UNCLOS 1982

Gambar I. 3. Pembagian zona maritim berdasarkan UNCLOS 1982. (sumber: http://www.un.org/depts/los/clcs_new/marinezones.jpg)

I.7.2.1. Laut teritorial. Kedaulatan suatu negara pantai berlaku pada wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorialnya. Kedaulatan ini berlaku juga pada wilayah udara diatasnya dan dasar laut serta lapisan tanah di bawahnya (pasal 2 UNCLOS 1982). Setiap negara pantai berhak untuk mengklaim laut teritorial sejauh 12 mil laut dari garis pangkalnya (Pasal 3 UNCLOS 1982). I.7.2.2. Perairan pedalaman. Perairan pedalaman adalah wilayah perairan (seperti teluk dan muara) yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal di mana lebar laut

: Daratan

: Laut

: Garis Pembantu Legenda

(10)

teritorial diukur (Pasal 8 ayat (1) UNCLOS 1982). Negara pantai memiliki kedaulatan penuh pada wilayah laut pedalamannya, hal ini disebabkan karena wilayah perairan pedalaman dianggap sebagai bagian dari wilayah daratan negara pantai tersebut (NOAA).

I.7.2.3. Zona tambahan. Zona tambahan adalah zona yang berbatasan dengan laut teritorial yang diperpanjang maksimal sejauh 24 mil laut ke arah laut bebas (Pasal 33 ayat (2) UNCLOS 1982). Pada zona tambahan negara pantai berhak untuk melaksanakan pengawasan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pelanggaran pada peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau sanitasi yang berlaku di dalam wilayah teritori dan laut teritorialnya (Pasal 33 ayat (1) UNCLOS 1982).

I.7.2.4. Zona ekonomi eksklusif. Berdasarkan pasal 55 UNCLOS 1982 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah area yang berbatasan dengan laut teritorial. Negara pantai memiliki hak berdaulat pada ZEEnya. Hak ini ditujukan untuk eksplorasi dan eksploitasi, konservasi, dan mengelola sumberdaya alam, hayati maupun non-hayati yang terdapat pada kolom air, dasar laut (Pasal 56 ayat (1) UNCLOS 1982). Batas maksimal Zona ekonomi eksklusif adalah sejauh 200 mil laut dari garis pangkal (Pasal 57 UNCLOS 1982).

I.7.2.5. Landas kontinen. Landas kontinen adalah area dasar laut dan lapisan tanah dibawahnya yang terletak lebih dari laut teritorial sepanjang kelanjutan alamiah dari daratan sampai batas terluar tepi landas kontinennya atau sejauh 200 mil laut dari garis pangkal apabila tepi landas kontinennya tidak mencapai jarak tersebut (Pasal 76 ayat (1) UNCLOS 1982). Negara pantai berhak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber kekayaan alamnya yang terdapat pada area landas kontinennya. Sumber kekayaan alam tersebut terdiri dari sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan non hayati lain yang terletak pada dasar laut dan tanah di bawahnya serta organisme hidup yang terdapat pada atau di bawah dasar lautnya (Pasal 77 UNCLOS 1982).

Landas kontinen melebihi 200 mil laut dikenal dengan sebutan landas kontinen ekstensi (LKE). Berdasarkan pasal 76 ayat (8) UNCLOS 1982 untuk kepentingan tersebut suatu negara pantai perlu melakukan submisi atau pengajuan

(11)

informasi batas terluar landas kontinen melebihi 200 mil laut atau landas kontinen ekstensinya (LKE) kepada Commission On The Limits Of The Continental Shelf (CLCS), yang kemudian memberikan rekomendasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pembentukan batas terluar landas kontinen. Berdasarkan lampiran II UNCLOS 1982 mengenai Commission On The Limits Of The Continental Shelf pasal 6 ayat (3) rekomendasi yang dihasilkan oleh CLCS harus disampaikan kepada negara yang melakukan submisi dan kepada Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa Bangsa. I.7.3. Penarikan Garis Batas Terluar Zona Maritim

Penarikan batas terluar zona maritim negara pantai seperti laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinennya ditentukan/ditarik dari garis pangkal atau titik pangkal negara pantai tersebut. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan batas maritim negara pantai. Jika dua negara pantai yang berdekatan sama-sama mengklaim zona maritimnya kemungkinan terjadi saling tumpang tindih klaim di antara kedua negara, sehingga diperlukan delimitasi batas zona maritim di antara keduanya. Untuk delimitasi batas maritim laut teritorial secara bilateral oleh dua negara pantai yang saling berhadapan atau bersebelahan digunakan metode median line (garis tengah) atau equidistance

line (sama jarak) (Pasal 15 UNCLOS 1982). Sedangkan untuk zona ekonomi

eksklusif (Pasal 74 UNCLOS 1982) dan landas kontinennya (Pasal 83 UNCLOS 1982) digunakan prinsip mencari solusi yang adil bagi kedua belah pihak.

Gambar I.4 menunjukan delimitasi garis batas maritim antara dua negara yang berhadapan dengan metode equidistance line. Pada metode equidistance line garis batas maritim antara dua negara ditentukan dengan menghubungkan titik-titik yang berjarak sama dari setiap titik pangkal masing-masing negara pantai kedalam satu garis batas maritim (TALOS, 2006).

(12)

Gambar I. 4. Metode equidstace line pada negara yang saling berhadapan. (sumber: dimodifikasi dari TALOS, 2006)

Gambar I.5 menunjukan metode equidistance line digunakan untuk delimitasi garis batas maritim pada dua negara yang bersebelahan. Prinsip penarikan batas maritim pada negara yang bersebelahan sama dengan negara yang berhadapan.

Gambar I. 5. Metode equdistance line pada negara yang saling bersebelahan. (sumber: TALOS, 2006)

Sedangkan bagi negara pantai yang bisa melakukan klaim unilateral, negara pantai bisa melakukan penentuan garis batas maritimnya berdasarkan jarak dengan menarik jarak maksimal untuk garis batas maritimnya. Metode ini menentukan garis batas maritimnya dengan menggunakan titik pangkal sebagai titik pusat dengan jarak maksimal batas maritimnya sebagai jari-jari lingkaran. Garis batas maritimnya

: Daratan : Lautan Garis Batas Hasil Equidisatance line Legenda : Daratan : Lautan Legenda : Equidisatance Line : : Garis Batas Laut Hasil Equidisatance line : Garis Batas Darat :Equidisatance Line : Garis Batas Laut Teritorial

(13)

dibentuk dari garis terluar yang terbentuk dari lingkaran dengan jarak yang sama dari titik pangkalnya.

Gambar I.6 memperlihatkan metode penentuan garis batas maritim berasarkan jarak. Titik pangkal dijadikan pusat untuk membentuk lingkaran dengan jarak sesuai dengan jarak maksimal. Garis batas maritim dibentuk dari deretan garis terluar dari lingkaran yang terbentuk berdasarkan jarak yang diukur dari titik pangkal.

Gambar I. 6. Metode envelope of arc. (sumber: Dimodifikasi dari TALOS, 2006) I.7.4. Foot Of Continental Slope (Kaki Lereng Kontinen)

Kaki lereng kontinen atau foot of continental slope adalah titik perubahan maksimum gradien pada dasar lereng kontinen ketika tidak adanya evidence to the

contrary (pasal 76 ayat 4 (b) UNCLOS 1982). Berdasarkan Wood (2003) untuk

menetukan posisi foot of contienetal slope atau kaki lereng kontinen dilakukan dengan dua tahapan, yaitu :

1. Melakukan identifikasi daerah yang memungkinkan untuk letak tepi lereng kontinennya.

: Garis batas terluar yang dibentuk dengan metode

envelope of arc : Garis Pangkal Normal

: Lingkaran dengan jari-jari x mil, titik pusat pada baseline

: Daratan

: Laut

(14)

2. Menentukan letak tepi lereng kontinen berdasarkan perubahan maksimum gradien pada daerah tersebut.

Pada area yang morfologi batas landas kontinennya dapat dibedakan menjadi

shelf, slope, rise, dan abyssal plain, wilayah dasar lereng kontinen adalah ketika

bagian paling rendah lereng kontinennya bertemu dengan rise, atau ketika rise tidak ada, wilayah dasar lereng kontinen adalah ketika lereng kontinennya bertemu dengan

abyssal plain (Stagpoole, 2003). Rise dan abyssal plain umumnya didefinisikan

dengan besar gradien kurang dari 1 derajat, sedang lereng kontinen biasanya ditunjukkan dengan besar gradien lebih dari 2 derajat. (Wood, 2003)

Gambar I.7. menunjukkan area yang morfologi batas landas kontinennya dapat dibedakan menjadi shelf, slope, rise, dan abyssal plain. Pada area tersebbut dapat terlihat bahwa wilayah dasar lereng kontinen terletak ketika bagian paling rendah lereng kontinennya bertemu dengan rise. Pada Gambar I.7. dapat dilihat bahwa besar gradien pada daerah rise adalah 0,2 derajat atau kurang dari 1 derajat, sedangkan besar gradien pada daerah lereng kontinen atau slope adalah 4,1 derajat atau lebih dari 2 derajat.

Gambar I. 7. Metode penentuan wilayah dasar lereng kontinen. (sumber: http://www.gns.cri.nz/static/unclos/images/foot2.gif, 2003) : Wilayah Dasar Laut : Laut : Garis Penjelas Legenda Inset

(15)

Setelah melakukan identifikasi daerah dasar lereng kontinen, maka letak tepi lereng kontinen ditentukan berdasarkan perubahan maksimum gradien pada daerah dasar lereng kontinen. Titik perubahan maksimum gradien dihitung berdasarkan turunan kedua dari nilai kedalaman pada daerah dasar lereng kontinen (Stagpoole, 2003). Pada Gambar I.8. diperlihatkan bahwa titik tepi lereng kontinen berada pada titik perubahan maksimum gradien pada daerah dasar lereng kontinen.

Gambar I. 8. Titik perubahan gradien maksimum pada daerah dasar lereng kontinen. (sumber: http://www.gns.cri.nz/static/unclos/images/foot3.gif, 2003)

I.7.5. Penentuan Batas Terluar Landas Kontinen

Berdasarkan Pasal 76 UNCLOS 1982 ayat (1) landas kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang bersinggungan dengan pantai dan berada di luar laut teritorial sepanjang kelanjutan alamiah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal apabila pinggiran luar

Inset

: Wilayah Dasar Laut : Laut : Garis second derivative of bathymetry Legenda : Wilayah Dasar Laut : Laut : Garis Penjelas Legenda

(16)

tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Suatu negara pantai berhak atas landas kontinen melebihi dari 200 mil laut apabila dapat membuktikan adanya kelanjutan alamiah dari daratannya dengan cara memenuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Pasal 76 UNCLOS 1982. Apabila berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut batas terluar tepi landas kontinen berada kurang dari 200 mil laut, maka secara otomatis batas terluar landas kontinennya berada pada jarak 200 mil laut dari garis pangkalnya.

Berdasarkan TALOS (2006) penentuan batas tepi terluar landas kontinen dilakukan dalam dua tahapan pengerjaan, tahapan pertama merupakan penentuan lebar tepi kontinen melalui pengaplikasian formula line berdasarkan struktur dasar laut dan ketebalan sedimennya. Formula line adalah garis yang menunjukkan letak pinggiran luar tepi kontinennya. Tahapan kedua adalah menentukan constraint line berdasarkan data batimetri dan jarak dari garis pangkal. Constraint line adalah garis yang digunakan untuk membatasi formula line yang dihasilkan sehingga tidak melakukan klaim berlebihan di wilayah laut lepas.

Formula line dibentuk berdasarkan gardiner line dan hedberg line. Gardiner line adalah garis yang terbentuk dari rangkaian titik-titik dengan kedalaman

sedimennya sama dengan 1% dari jarak ke foot of continental slope (pasal 76 ayat 4 (a)(i) UNCLOS 1982) dan Hedberg line adalah garis yang ditarik sejauh 60 mil laut dari foot of continental slope ke arah laut (pasal 76 ayat 4(a)(ii) UNCLOS 1982). Gambar I.9. menunjukkan formula line yang dibentuk dari gabungan dari gardiner

line dan hedberg line.

Constraint line adalah garis yang digunakan untuk membatasi formula line

yang dihasilkan sehingga suatu negara tidak melakukan klaim landas kontinen berlebihan di wilayah laut lepas. Constraint line dibentuk oleh dua garis. Garis pertama adalah garis yang dibentuk dengan metode garis bujur sejauh 350 mil laut dari garis pangkal. Garis kedua adalah garis yang terbentuk dengan jarak 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 meter. Pada Gambar I.10. terlihat bahwa kedua constraint

line dikombinasikan untuk membentuk garis pembatas yang akan ditampalkan

(17)

Gambar I. 9. Formula line yang terbentuk dari gabungan gardiner line dan hedberg

line.

(sumber: TALOS, 2006)

Gambar I. 10. Garis hasil kombinasi dari constraint line. (sumber: TALOS, 2006) 200 nm Hedberg line Gardiner line Foot of slope Isobath 2500 m 200 nm Legenda : Darat : Laut : Batas Terluar Landas Kontinen

(18)

Formula line yang sudah dibentuk kemudian digabungkan dengan constraint line sehingga diperoleh garis batas landas kontinen (TALOS, 2006). Pada Gambar

I.10. dapat dilihat bahwa formula line akan mendefenisikan garis tepi kontinennya, sedangkan constraint line akan mendefinisikan garis pembatas yang akan memotong garis formula line yang melebihi constraint line. Sehingga akan terbentuk garis batas landas kontinen yang berupa rangkaian titik-titik yang digabungkan oleh garis lurus dengan jarak tidak boleh melebihi 60 mil laut (TALOS, 2006).

Gambar I. 11. Garis batas landas kontinen. (sumber: TALOS, 2006)

(19)

I.7.6. GEBCO

GEBCO (General Bathymetric Chart of The Ocean) adalah organisasi internasional dari geoscientists dan hydrographer yang bekerja dalam pengembangan untuk menghasilkan data batimetri laut dunia (global) yang bisa diakses oleh publik. GEBCO bergerak dibawah naungan dari Intergovermental Oceanographic

Commission (IOC) dan International Hydrographic Organization (IHO). GEBCO

menghasilkan beberapa macam dataset yang bisa diakses oleh publik. Diantaranya adalah GEBCO_08 grid dan GEBCO One Minute Grid.

GEBCO_08 grid adalah model dasar laut dan daratan dengan resolusi spasial

30 detik yang diperoleh dari database data batimetri jalur pemeruman kapal dengan melakukan interpolasi diantara jalurnya berdasarkan data satelit gayaberat. Pada beberapa area yang dilakukan pembaharuan, digunakan juga data yang dihasilkan dengan menggunakan metode yang lain. Data model ketinggian GEBCO direferensikan pada area referensi ketinggian mean sea level.

(20)

20

BAB II

PELAKSANAAN

II.1. Persiapan

Pada tahap persiapan untuk studi pendahuluan penentuan batas terluar landas kontinen Indonesia di luar 200 mil laut dari garis pangkal dilakukan berbagai macam kegiatan yang mendukung. Persiapan yang dilakukan yaitu melakukan studi pustaka yang berhubungan dengan penetuan batas terluar landas kontinen melalui berbagai sumber seperti skripsi, undang-undang, buku dan karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan untuk penarikan batas terluar landas kontinen.

II.2. Bahan Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Data batimetri kawasan perairan Selatan Sumba, NTB, yang diperoleh dari data batimetri global GEBCO. Data batimetri global dapat diakses melalui

website https://www.bodc.ac.uk/data/online_delivery/gebco/

2. Data ketebalan sedimen kawasan perairan Selatan Sumba, NTB, yang diperoleh dari data sedimen global NOAA. Data ketebalan sedimen global dapat diakses melalui website http://www.ngdc.noaa.gov/mgg/sedthick/ index.html

3. Daftar koordinat titik pangkal Indonesia berdasarkan PP no.38 tahun 2002 yang direvisi dengan PP no.37 tahun 2008. Daftar koordinat titik pangkal Indonesia dapat diakses melalui website http://www.bkprn.org/ peraturan/the_file/PP_No38-2002.pdf

4. Daftar koordinat perjanjian batas dasar laut antara Indonesia dan Australia. 5. Garis pantai Indonesia, yang diperoleh dari data garis pantai global NOAA.

Data garis pantai global NOAA dapat diakses melalui website http://www.ngdc.noaa.gov/mgg/shorelines/gshhs.html

Gambar

Gambar I. 1. Garis pangkal lurus.
Gambar  I.2  Menunjukkan  garis  pangkal  kepulauan  yang  digunakan  oleh  negara  kepulauan
Gambar I. 3. Pembagian zona maritim berdasarkan UNCLOS 1982.
Gambar I.5 menunjukan metode equidistance line digunakan untuk delimitasi  garis  batas  maritim  pada  dua  negara  yang  bersebelahan
+6

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Huda (2016:226-231) mengemukakan bahwa pada umumnya manajemen keuangan sekolah masih menggunakan buku besar sebagai acuan

Keteran'an= tanda : berar penilaian dilakukan 1 > seta-un pada bulan anuari ta-un berikutn;a. Keikutsertaan dokter

Hasil penelitian Arum Puspita Sunaryo digunakan penulis sebagai pembanding serta evaluasi dalam penelitian yang berhubungan dengan faktor-faktor penyebab kegagalan

Untuk mendukung pembangunan, strategi kebijakan karantina ikan perlu dilakukan secara terarah dan berkesinambungan serta mengintergrasikan prinsip pembangunan

Karakterisasi yang dilakukan terhadap membran adalah analisis gugus fungsi dan uji konduktivitas serta membandingkan nilai voltase baterai berbahan dasar elektrolit polimer

Permasalahan yang terjadi adalah perusahaan ini berencana untuk mengganti peralatan yang digunakan tersebut, karena dinilai kinerja alat-alat tersebut sudah menurun, namun

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan bagi pemimpin pendidikan, guru, menambah pengetahuan kepustakaan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan