6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
Tanaman Kelor a. Taksonomi Kelor Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Dilleniidae
Ordo : Capparales
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa
7
Spesies : Moringa oleifera, Lam. (Paikra, Dhongade dan
Gidwani, 2017)
(dikutip dari Paikra et al., 2017 dengan modifikasi)
b. Deskripsi Tumbuhan
Kelor (Moringa oleifera, Lam.) termasuk dalam famili moringaceae dan tanaman asli sub-himalaya di Afghanistan, Bangladesh, India, dan Pakistan. Tanaman ini memiliki cabang yang menyebar, rapuh, kulit kayu berwarna abu-abu keputihan, dan dapat tumbuh hingga setinggi 10-12 meter (Leone et al., 2015). Tanaman kelor merupakan tanaman perdu yang tumbuh subur dan banyak dijumpai di daerah tropis dan sub tropis. Kelor mampu hidup di berbagai kondisi tanah dan tahan di musim kering dengan toleransi kekeringan sekitar enam bulan. Biasanya, ditemukan di daerah Afrika dan Asia pada
Gambar 2. 1. Tanaman Kelor
8
dataran rendah sampai ketinggian tujuh ratus meter diatas permukaan laut. (Mbikay, 2012; Aminah, Ramdhan dan Yanis, 2015). Tanaman kelor dibudidayakan lewat dua acara utama, menanam benih dan cangkok. Penanaman benih umumnya dilakukan di daerah Sudan dan metode cangkok lebih disukai di India, Indonesia, dan beberapa daerah di Afrika Barat (Leone et al., 2015).
(dikutip dari Paikra et al., 2017 dengan modifikasi)
Kelor berusia panjang dan sepanjang tahun bisa berbunga.
Bunganya berbau harum, dengan warna putih kekuningan atau merah tergantung jenis atau spesiesnya, dan tiap individu memiliki panjang sekitar 0,7 hingga 1 cm dan lebarnya sekitar 2 cm. Kelopak bunganya berbentuk spathulate dan disertai dengan 5 pasang benang sari dan putik steril. Buah kelor berbentuk segitiga panjang sekitar 20-60 cm, berwarna hijau dan berubah coklat ketika tua. Selama perkembangannya, buah
Gambar 2. 2. Bagian-bagian dari Tanaman Kelor
9
kelor mengandung sekitar 26 biji. Bijinya berbentuk bulat berdiameter 1 cm berwarna hijau terang dan saat matang menjadi cokat kehitaman dengan berat rata-rata sekitar 18-36 gram tiap 100 biji. Daun kelor bertepi rata, berukuran kecil, berbentuk bulat telur dan dalam satu tangkai tersusun majemuk ganda dua atau tiga. Saat muda, daun kelor berwarna hijau muda dan seiring bertambah usia menjadi hijau tua. Bisa tumbuh panjang hingga 45 cm dengan helai daun sepanjang 1-2 cm (Aminah et al., 2015; Paikra et al., 2017).
c. Daun Kelor
(dikutip dari Paikra et al., 2017 dengan modifikasi)
Kandungan utama fitokimia atau antinutrien pada tanaman kelor antara lain adalah tanin, polifenol, flavonoid, saponin, antocyanin, dan juga alkaloid. Kandungan antinutrien ini bertanggungjawab untuk kebutuhan kesehatan dengan jumlah antinutrient yang terbilang rendah dan tidak menimbulkan risiko tinggi pada hewan maupun manusia (Dhakad et al., 2019; Fidrianny, Kanapa dan Singgih, 2021).
Kandungan tanin paling banyak berada di daun memiliki efek Gambar 2. 3. Daun Kelor
10
antikanker, antiaterosklerosis, antiinflamasi, antihepatoksik, dan antioksidan. Flavonoid utama pada tanaman kelor adalah myrecytin, quercetin dan kaempferol dan memiliki aktivitas antioksidan (Mbikay, 2012). Kaempferol berfungsi untuk mencegah kerusakan pada deoxyribonucleic acid (DNA). Quercetin memiliki sifat hipolipidemik, hipotensif dan antidiabetik. Kandungan fenolik, flavonoid, asam askorbat, dan karotenoid pada daun kelor juga berfungsi untuk antioksidan dan antimikrobia. Saponin digunakan sebagai antibiotik, antikanker, dan antihipertensi (Aminah, Ramdhan dan Yanis, 2015;
Vergara-Jimenez, Almatrafi dan Fernandez, 2017; Dhakad et al., 2019;
Fidrianny, Kanapa dan Singgih, 2021).
Tanaman kelor dikenal mengandung kadar nutrien yang tinggi.
Kandungan lemak yang rendah pada daun kelor bisa dimanfaatkan sebagai diet penderita obesitas (Dhakad et al., 2019). Daun kelor mengandung cukup banyak kandungan fenol. Fenol ini berfungsi untuk menangkal senyawa-senyawa radikal bebas. Daun kelor juga mengandung vitamin C setara 7 buah jeruk, vitamin A setara 4 buah wortel, kalsium setara 4 gelas susu, kalium setara 3 buah pisang, dan protein setara 2 yoghurt. Daun kelor juga mengandung asam amino antara lain asam aspartat, asam glutamat, valin, leusin, isoleusin, histidin, lisin, arginin, fenilalanin, triptofan, sistein, dan metionin (Aminah, Ramdhan dan Yanis, 2015). Kandungan-kandungan daun kelor tersaji pada tabel berikut:
11
12
Tabel 2. 1. Kandungan Nutrien Daun Kelor
Nutrien Daun segar Daun kering Bubuk Daun Makronutrien
(dalam g)
Protein 6.70 29.40 27.10
Lipid 1.70 5.20 2.30
Karbohidrat 12.50 41.20 38.20
Serat total 0.90 12.50 19.20
Mikronutrien (dalam mg) Vitamin
B1 0,06 2,02 2,64
B2 0,05 21,30 20,50
B3 0,80 7,60 8,20
C 220,00 15,80 17,30
E 448,00 10,80 113,00
Mineral
Ca 440,00 2185,00 2003,00
P 70,00 252,00 204,00
Mg 42,00 448,00 368,00
Fe 0,85 25,60 28,20
K 259,00 1236,00 1324,00
S - - 870,00
Keterangan: Kandungan per 100 g
Sumber : (Dhakad et al., 2019)
13
Tabel 2. 2. Kandungan Asam Amino per 100 g Daun Kelor Asam Amino Daun segar Daun kering
Argine 406,6 mg 1.325 mg
Histidine 149,8 mg 613 mg
Isoleusine 299,6 mg 825 mg
Leusine 492,2 mg 1.950 mg
Lysine 342,4 mg 1.325 mg
Methionine 117,7 mg 350 mg
Phenylalanine 310,3 mg 1.388 mg
Threonine 117,7 mg 1.188 mg
Tryptophan 107 mg 425 mg
Valine 374,5 mg 1.063 mg
Sumber : (Aminah, Ramdhan dan Yanis, 2015)
Sejauh ini, tidak ada efek samping yang ditemukan pada berbagai penelitian terhadap manusia. Terdapat berbagai bentuk sediaan ekstrak kelor yang digunakan sebagai makanan dan obat-obatan, namun tidak ada laporan efek buruk dari ekstrak kelor tersebut. Konsumsi daun kelor dengan dosis hingga 2000 mg/kg masih terbilang aman (Stohs dan Hartman, 2015). Pemberian ekstrak biji kelor dengan dosis rendah 50 mg dan 100 mg dapat memperbaiki gambaran glomerulus, tubulus, dan mengurangi penebalan membran basal glomerulus pada ginjal tikus dengan nefropati diabetik (Al-Malki dan El Rabey, 2015).
d. Peran Daun Kelor terhadap Sindrom Metabolik
Tanaman kelor sering dibudidayakan untuk berbagai keperluan sesuai dengan nilai gizinya yang tinggi dan memiliki berbagai kegunaan
14
obat yang baik (Fidrianny, Kanapa dan Singgih, 2021). Di Afrika, kelor sering dikonsumsi untuk pengobatan diabetes, hipertensi, atau Human Immunodeficency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) (Mbikay, 2012). Daunnya kaya akan protein, mineral beta-karoten, dan senyawa antioksidan. Dalam pengobatan tradisional, daun kelor digunakan untuk mengobati peradangan, luka, penyakit urogenital, hipertensi, kencing manis, meningkatkan sistem imun, stimulan jantung, dan pengobatan kontrasepsi (Leone et al., 2015).
Beberapa senyawa pada daun kelor yang berpengaruh terhadap sindrom metabolik antara lain :
i. Saponin
(dikutip dari Ashour et al., 2019 dengan modifikasi)
Saponin tersusun atas dua bagian, yaitu rantai glukosa larut air (glikon) dan struktur yang larut dalam lemak (aglikon) (Ashour, El Aziz dan Gomha Melad, 2019). Saponin menginduksi produksi insulin, Gambar 2. 4. Struktur Kimia Saponin
15
meningkatkan level serum insulin, menginduksi pelepasan insulin dari pankreas, menghambat gluconeogenesis (Aba dan Asuzu, 2018). Selain itu juga mencegah penyerapan kolesterol dengan mengikat kolesterol dan asam empedu sehingga sirkulasi enterohepatic asam empedu menurun dan meningkatkan ekskresi tinja. Peningkatan ekskresi diimbangi dengan sintesis asam empedu mengarah ke penurunan kolesterol di plasma (Vergara-Jimenez, Almatrafi dan Fernandez, 2017). Saponin menurunkan level glukosa, kolesterol, trigliserida, low-density lipoprotein (LDL) dan meningkatkan konsentrasi high-density lipoprotein (HDL) (Elekofehinti, 2015). Saponin juga menyebabkan inhibisi lipase, menghambat adipogenesis, regulasi nafsu makan sebagai efek antiobesitas (Marrelli et al., 2016).
ii. Tanin
Tanin adalah komponen biomolekul aktif fenolik yang larut air (Vergara-Jimenez, Almatrafi dan Fernandez, 2017). Tanin terdiri dari 3 kelas utama yaitu, hydrolyzable tannins, non-hydrolyzable tannins, dan phlorotannins. Tanin meningkatkan uptake glukosa dan inhibisi diferensiasi dari adiposit melalui aktivasi
16
phospoinositide 3-kinase (PI3K), p38 mitogen-activated protein kinase (MAPK) dan translokasi dari glucose transporter-4 (GLUT-4) (Mamta dan Sashi, 2012; Aba dan Asuzu, 2018). Tanin menghambat aktivitas α- glucosidase, α-amilase pankreas, dan sukrosa intestinal sebagai efek antihiperglikemik (Vargas-Sánchez, Garay-Jaramillo dan González-Reyes, 2019). Tanin meningkatkan kadar dismutase superoksida dan peroksidase glutation dengan mekanisme penghambatan langsung dari ROS dan juga melalui penghambatan peroksidase lipid (Sieniawska, 2015). Selain itu, tanin juga menunjukkan sifat-sifat biologis seperti anti- kanker, anti-aterosklerotik, anti-inflamasi, anti- hepatoksik, anti-bakteri, dan anti-HIV (Leone et al., 2015).
iii. Flavonoid
Kaempferol Quercetin
Gambar 2. 5. Struktur Flavonoid Utama pada Daun Kelor
17
Flavonoid adalah kelompok metabolit tumbuhan yang merupakan golongan polifenol larut. Tersusun atas dua cincin benzene yang diikat tiga rantai pendek karbon (Aba dan Asuzu, 2018). Flavonoid mampu meningkatkan aktivitas superoxide dismutase, catalase, dan glutathione S-transferase secara signifikan dan menurunkan peroksidasi lipid (Jaiswal et al., 2013;
Stohs dan Hartman, 2015). Senyawa flavonoid utama pada ekstrak etanolik kelor meliputi quercetin dan kaempferol (Martínez-González et al., 2017). Quercetin meningkatkan enzim anti-oksidan, menurunkan peroksidasi lipid, dan mengurangi penyerapan glukosa usus dengan menghambat glucose transporter-2 (GLUT-2). Kaempferol merupakan fraksi kaya glikosida dan aktivitas anti-diabetiknya berkaitan dengan penghambatan apoptosis, pengurangan aktivitas caspase-3 dalam sel beta, peningkatan persinyalan cyclic adenosine monophosphate (cAMP), meningkatkan sintesis dan sekresi insulin, meningkatkan produksi antioksidan, menurunkan sintase asam lemak pada hati dan mengurangi glycosylated haemoglobin, interleukin- 1-β (IL-1β), tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), dan nitrit (Aba dan Asuzu, 2018).
18 iv. Antioksidan Lain
Ekstrak etanolik daun kelor efektif mengembalikan tingkat glutathione (GSH) dan mencegah peroksidase lipid di hati melalui aktivitas asam askorbat sebagai antioksidan radikal bebas (Kou et al., 2018). Alkaloid merupakan metabolit sekunder yang mengandung atom nitrogen dasar. Mekanisme anti-diabetik alkaloid berupa peningkatan signifikan pada GLUT-4, aktivitas glucokinase, dan peroxisome proliferator-activated receptor-gamma (PPAR-γ). Alkaloid juga menurunkan kolesterol total, trigliserida, aktivitas glucose-6- phosphatase. Selain itu juga mengurangi parameter stress oksidatif, mengurangi peningkatan lipid, memperbaiki glikosilasi hemoglobin dan meningkatkan status antioksidan (Aba dan Asuzu, 2018).
Asam Urat
a. Sintesis asam urat
Asam urat adalah produk akhir metabolisme purin di tubuh yang sebagian besar diproduksi di hati. Ribose-5-phosphate diubah menjadi phosphoribosyl pyrophosphate (PRPP) dengan bantuan PRPP sintase untuk selanjutnya menjadi inosine monophosphate (IMP). Senyawa ini menghasilkan adenosin monofosfat, guanosin monofosfat, dan juga inosine. Inosine kemudian, diubah oleh purine nucleoside
19
phosphorylase menjadi senyawa hypoxanthine. Senyawa ini akan diubah oleh xanthine oxidase (XO) menjadi xanthine dan menjadi produk akhir suatu asam urat. Beberapa enzim kunci yang menyebabkan perubahan kadar asam urat yang abnormal antara lain PRPP Synthase, purine nucleoside phosphorylase (PNP), XO, dan hypoxanthine-
guanine phosphoribosyltransferase (HGPRT) (Fathallah-Shaykh dan Cramer, 2014). Mekanisme sintesis asam urat bisa dilihat pada gambar berikut.
(dikutip dari Fathallah-Shaykh and Cramer, 2014, dengan modifikasi) Gambar 2. 6. Mekanisme Sintesis Asam Urat
20 b. Ekskresi asam urat
Asam urat harus diekskresikan secara berkala untuk mencegah akumulasi toksik. Sekitar 75% urin harian diekskresikan oleh ginjal.
Asam urat diekskresi melalui 4 tahapan. Awalnya, urin akan difiltrasi oleh glomerulus, kemudian sekitar 99% akan direabsorbsi oleh segmen S1 pada tubulus proksimal atau dikenal sebagai fase presecretory reabsorbtion. Kemudian selanjutnya akan disekresi oleh segmen S2 pada tubulus proksimal sehingga sekitar 50% urin yang sudah disaring akan Kembali ke lumen tubulus. Pada akhirnya, sekitar 40% dari urin yang sudah disekresi akan di reabsorbsi lagi oleh segmen S3 pada tubulus proksimal atau yang dikenal sebagai fase postsecretory reabsorbtion.
Proses ekskresi bergantung pada jumlah transporter urin meliputi, urate anion transporter 1 (URAT1), organic anion transporters (OAT1 dan OAT3) dan ATP-(adenosine triphosphate) dependent urate export transporter multidrug resistance protein 4 (MRP4). URAT1 terletak pada membran luminal tubulus proksimal yang bertanggung jawab pada fase presecretory reabsorbtion.
Akumulasi anion organik intraseluler seperti laktat, asetoasetat, hidroksibutirat dan suksinat akan meningkatkan reabsorbsi urat dan akan berpindah ke lumen tubulus. Hal ini pula yang menjadi dasar kondisi hiperurisemia berkaitan dengan peningkatan kadar anion-anion ini. Selanjutnya glucose transporter-9 (GLUT-9) adalah transporter
21
fruktosa yang memediasi fase sekresi (Fathallah-Shaykh dan Cramer, 2014).
(dikutip dari Fathallah-Shaykh and Cramer, 2014, dengan modifikasi) c. Hiperurisemia
Kondisi hiperurisemia ditandai dengan konsentrasi serum uric acid (SUA) ≥339 µmol/L pada perempuan pre-menopause dan ≥416 µmol/L pada laki-laki dan perempuan post-menopause. Hiperurisemia juga bisa ditandai dengan kadar SUA ≥5.5 mg/dL pada anak-anak, ≥7.2 mg/dL pada laki-laki dewasa, dan ≥6.0 mg/dL pada perempuan dewasa (Woyesa, Hirigo dan Wube, 2017; Wang et al., 2018). Hiperurisemia berkaitan erat dengan sindrom metabolik. Pada suatu studi di Hawassa University pada tahun 2017, didapatkan dari 106 orang dengan hiperurisemi dan diabetes melitus tipe 2, 87 orang diantaranya mengalami sindrom metabolik (Woyesa, Hirigo dan Wube, 2017).
Gambar 2. 7. Mekanisme Ekskresi Asam Urat
22
Hiperurisemia bisa disebabkan karena produksi yang berlebihan, penurunan ekskresi asam urat pada ginjal, atau kombinasi antara keduanya.
Produksi berlebihan berkaitan dengan degradasi purin yang cepat karena proliferasi sel berlebihan, degradasi ATP otot skelet, peningkatan aktivitas PRPP, dan juga peningkatan intake diet tinggi fruktosa. Fruktosa akan difosforilasi oleh fruktokinase menjadi fruktosa-1-fosfat yang menyebabkan rendahnya konsentrasi fosfat intraselular sehingga menghambat pembentukan ATP dan menyebabkan pembentukan adenosine diphosphate (ADP) atau adenosine monophosphate (AMP) yang nantinya akan dimetabolisme menjadi asam urat. Sedangkan penurunan ekskresi bisa disebabkan karena penurunan filtrasi golemurulus, penurunan sekresi tubulus atau peningkatan reabsorbsi tubulus. Penurunan sekresi tubulus biasa terjadi pada pasien asidosis. Asam organik yang terakumulasi akan bersaing dengan urin pada fase sekresi tubulus, sehingga bermanifestasi pada peningkatan reabsorbsi asam urat (Fathallah-Shaykh dan Cramer, 2014). Penurunan glomerular filtration rate (GFR) akan mengarah pada kondisi hiperurisemia yang sering diamati pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis (Sah dan Qing, 2015).
23
(dikutip dari Sah and Qing, 2015, dengan modifikasi)
Ginjal
a. Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ retroperitoneal, berbentuk seperti kacang, dengan bagian cekung di medial dan cembung di lateral. Pada laki-laki massanya sekitar 150-200 gram pada pria dan 120-135 gram pada perempuan. Ginjal terletak bilateral di dinding posterior abdomen dan berada diantara prosesus transversus T12 dan L3 (Soriano, Penfold dan Leslie, 2020). Ginjal berada di dalam capsula adiposa tepat di bawah kubah diafragma (Paulsen dan Waschke, 2015). Umumnya, panjang dari ginjal adalah 10 hingga 12 cm, lebar 5 hingga 7 cm, ketebalan 3 hingga 5 cm, dan masing-masing berukuran sebesar kepalan tangan (Soriano, Penfold dan Leslie, 2020). Posisi dari ginjal kanan biasanya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena kaitannya dengan posisi hati. Ginjal kiri lebih panjang dan ramping dibandingkan ginjal kanan (Drake, Vogl dan Mitchell, 2020).
Gambar 2. 8. Mekanisme Peningkatan Serum Asam Urat yang Berkontribusi pada Perkembangan Penyakit Ginjal Kronis
24
Ginjal berperan terutama dalam mempertahankan keseimbangan volume, osmolaritas cairan ekstraseluler, dan komposisi elektrolit (Sherwood, 2013).
(dikutip dari Netter, 2019 dengan modifikasi) b. Histologi Ginjal
Potongan frontal memotong ginjal menjadi dua bagian :
i. Korteks : Daerah superfisial berwarna merah muda yang teksturnya halus dan terbentang dari kapsul ginjal hingga ke dasar dari pyramid ginjal. Daerah ini terbagi menjadi zona luar kortikal dan juga zona dalam jukstamedular. Daerah korteks yang berada diantara pyramid disebut sebagai kolumna renalis.
ii. Medulla : Daerah berwarna merah kecoklatan yang tersusun oleh beberapa pyramid-pyramid ginjal. Bagian dasar dari pyramid ini berhadapan dengan korteks sedangkan bagian apeks Gambar 2. 9. Struktur Anatomi Penampang Anterior Ginjal
25
pyramid yang disebut sebagai papilla renalis menghadap kearah hilus renalis.
(Soriano, Penfold dan Leslie, 2020)
(dikutip dari Eroschenko, 2008 dengan modifikasi)
Tiap ginjal mengandung satu sampai empat juta nefron yang merupakan unit fungsional ginjal. Masing-masing nefron tersusun atas korpuskulum dan tubulus-tubulus renalis. Nefron terbagi menjadi dua macam, yaitu nefron kortikal yang mayoritas berada di daerah korteks dan nefron jukstamedular (sepertujuh dari total nefron) yang terletak di dekat medulla. Cabang utama dari nefron adalah:
Gambar 2. 10. Gambar Mikroskopis Korteks dan Medula Ginjal:
Pengecatan Hematoksilin Eosin: Perbesaran Lemah
26
i. Korpuskulum ginjal : bagian awal yang melebar dan meliputi berkas kapiler. Merupakan tempat terjadinya filtrasi darah. Terdiri dari glomerulus dan struktur yang dikelilingi dua lapis sel epitel, yaitu kapsula glomerulus (Bowman). Lapisan visceral kapsul terdiri dari podosit dan lapisan parietal terdiri atas epitel selapis gepeng. Daerah diantara kedua lapisan disebut capsular space (Eroschenko, 2008; Mescher, 2018).
ii. Tubulus proksimal : bagian berbelit-belit panjang yang seluruhnya terletak pada daerah korteks. Hanya ada bagian lurus pendek yang masuk ke daerah medulla.
iii. Lengkung Henle : terletak di medulla dengan daerah descending dan ascending yang tipis
iv. Tubulus Distal : terdiri dari bagian lurus tebal ascending dari lengkung Henle, kemudian kembali ke korteks dan berbelit-berbelit di daerah korteks
v. Tubulus Konektivus, menghubungkan nefron ke ductus kolektivus. Tubulus konektivus dari beberapa nefron akan bersatu menjadi tubulus kolektivus dan akan bergabung menjadi ductus kolektivus yang lebih besar.
27 (Mescher, 2018).
(dikutip dari Barrett et al., 2019 dengan modifikasi) c. Fisiologi Ginjal
Terdapat tiga proses dasar dalam sintesis urin, meliputi:
i. Filtrasi glomerulus : Plasma bebas protein, sel darah merah tersaring saat darah mengalir melalui glomerulus ke dalam kapsula Bowman. Kemudian akan dilanjutkan ke tubulus renal.
ii. Reabsorbsi tubulus : Saat cairan mengalir di sepanjang tubulus, bahan-bahan yang bermanfaat bagi tubuh akan diserap kembali ke plasma kapiler peritubulus. Kemudian akan diarahkan ke sistem vena kemudian ke jantung untuk disirkulasi kembali.
Gambar 2. 11. Gambaran Nefron
28
iii. Sekresi tubulus : Saat cairan mengalir di sepanjang tubulus, bahan-bahan yang tidak berguna dipindahkan secara selektif dari kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus.
Merupakan mekanisme pengeluaran bahan dari plasma secara cepat dengan mengekstrasi sejumlah tertentu dari plasma yang tidak mampu difiltrasi di kapiler peritubulus.
(Sherwood, 2013)
(dikutip dari Sherwood, 2013 dengan modifikasi)
Urin yang dibentuk di nefron akan dialirkan ke ductus papilaris besar yang memanjang hingga ke papilla renalis. Setelah melewati ductus papilaris, urin akan dialirkan ke kaliks mayor dan minor. Kaliks minor berfungsi untuk menerima urin dari duktus-duktus papilaris papilla renalis dan dialirkan menuju kaliks mayor. Setelah itu, urin akan mengalir ke suatu kavitas besar yang disebut pelvis renalis dan
Gambar 2. 12. Proses Dasar Pembentukan Urin
29
selanjutnya akan keluar melalui ureter dan menuju ke kandung kemih (Tortora dan Derrickson, 2017).
Ginjal berperan penting dalam ekskresi sisa metabolisme tubuh seperti asam urat, urea, bilirubin, kreatinin, dan hormone metabolit lain ke dalam urin. Jika menumpuk, bahan-bahan sisa ini akan menjadi toksik (Sherwood, 2013; Hall dan Guyton, 2016). Asam urat akan difiltrasi bebas, kemudian sekitar 90% akan direabsorbsi oleh urate transporters seperti URAT1 dan GLUT9 ke dalam kapiler darah. 60- 70% total ekskresi asam urat tubuh dilakukan oleh ginjal (Bobulescu dan Moe, 2012).
Sindrom Metabolik a. Deskripsi Umum
Sindrom metabolik didefinisikan sebagai suatu konstelasi kondisi fisiologis, biokimia, klinis dan faktor-faktor metabolik yang saling berhubungan dan menyebabkan peningkatan secara langsung terhadap risiko-risiko penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2 (Kassi et al., 2011; Kaur, 2014). Sindrom metabolik atau yang dikenal sebagai Reaven’s Syndrome, Insulin Resistance Syndrome, Syndrome X, dan the Deadly Quartet merupakan kondisi klinis yang meliputi obesitas abdominal, hipertensi sistemik, resistensi insulin, dan dislipidemia aterogenik (McCracken, Monaghan dan Sreenivasan, 2018). Sindrom ini erat kaitannya dengan gaya hidup “kebarat-baratan” yang ditandai dengan kurangnya aktivitas fisik dan juga konsumsi makanan tinggi
30
lemak yang tidak terbatas (Han dan Lean, 2015). Komponen penting pada sindrom metabolik antara lain adalah dislipidemia (peningkatan trigliserida dan apolipoprotein B dan rendahnya HDL), peningkatan blood arterial pressure (BAP), dan gangguan homeostasis glukosa dengan manifestasi utamanya berupa obesitas dan resistensi insulin (Kassi et al., 2011).
Prevalensi dari sindrom metabolik sangat bervariasi di berbagai negara, namun diperkirakan secara global prevalensi sindrom metabolik di dunia adalah sekitar 25% (Saklayen, 2018). Angka prevalensi sindrom metabolik pada wanita (35,6%) didapatkan lebih tinggi dibanding pria (30,3%) (Aguilar et al., 2015). Untuk prevalensi sindrom metabolik di Indonesia didapatkan angka 21,66% dengan prevalensi berdasarkan provinsi berkisar antar 0-50%, sedangkan prevalensi berdasarkan etnis berkisar antara 0-45,45% (Herningtyas dan Ng, 2019).
Suatu studi di Jakarta dengan kriteria National Cholesterol Education Program Third Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III) yang dimodifikasi khusus untuk kawasan Asia melaporkan bahwa prevalensi total sindrom metabolik di Jakarta adalah sebanyak 28,4% dengan didominasi perempuan sebesar 30,4% dan laki-laki sebesar 25,4%
(Suhaema dan Masthalina, 2015).
Berbagai kriteria digunakan untuk menentukan suatu kondisi sindrom metabolik, mulai dari kriteria International Diabetes Foundation (IDF), World Health Organization (WHO), dan -ATP
31
III namun yang paling sering digunakan adalah kriteria dari NCEP-ATP III. Seseorang dikategorikan dalam kondisi sindrom metabolik ketika sedikitnya memenuhi tiga dari lima penentu, yaitu obesitas abdominal (lingkar pinggang), hiperglikemia (peningkatan glukosa darah puasa), dislipidemia (penurunan HDL dan peningkatan trigliserida dan LDL), serta hipertensi (Samson dan Garber, 2014). Pada kriteria (WHO) ditambahkan indikator berupa mikroalbuminuria, yang menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal yang sering ditemukan pada diabetes nefropati akibat hiperglikemia (Kaur, 2014).
32 Tabel 2. 3. Kriteria Sindrom Metabolik
Nutrien WHO NCEP-ATPIII IDF
Kriteria Resistensi Insulin / Diabetes + 2 atau lebih dari kriteria berikut
Minimal 3 atau lebih dari kriteria berikut
Obesitas + 2 atau lebih dari kriteria berikut
Tekanan Darah
≥140/90 mmHg ≥130/85 mmHg ≥130/85 mmHg atau sedang
menggunakan obat antihipertensi Obesitas
Abdominal
BMI ≥30 kg/m2 atau WHR >0,9 untuk pria dan >0,85 untuk wanita
Lingkar pinggang
>102 cm untuk pria dan >88 cm untuk wanita
Dislipidemia (TG)
≥150 mg/dl atau sedang dalam pengobatan
≥150 mg/dl atau sedang dalam pengobatan
≥150 mg/dl atau sedang dalam pengobatan Dislipidemia
(HDL)
HDL-C <35 mg/dl untuk pria dan <39 mg/dl untuk wanita
HDL-C <40 mg/dl untuk pria dan <50 mg/dl untuk wanita
HDL-C <40mg/dl untuk pria dan <50 mg/dl untuk wanita Hiperglikemia GDP lebih dari 100
mg/dl atau sedang dalam pengobatan DM
GDP lebih dari 100 mg/dl atau sedang dalam pengobatan DM
Kriteria Lain Tingkat ekskresi albumin urin ≥ 20 µg/menit atau rasio albumin urin terhadap kreatinin
≥30 mg/g
Sumber : (Zafar et al., 2018)
33 Keterangan
BMI : Body Mass Index WHR : Waist to Hip Ratio TG : Trigliserida
HDL-C : High-Density Lipoprotein Cholesterol GDP : Gula Darah Puasa
DM : Diabetes Mellitus
b. Patofisiologi
i. Resistensi Insulin
Resistensi insulin dikarakterisasi dengan konsentrasi plasma insulin yang tinggi yang gagal untuk menekan plasma glukosa dengan normal. Resistensi insulin bervariasi antara jaringan dan organ yang berkaitan dengan manifestasi klinis resistensi insulin, defek sel β pankreas, dan gangguan sekresi insulin (Han dan Lean, 2015).
Resistensi insulin pada jaringan lemak mengganggu proses penghambatan lipolisis sehingga terjadi peningkatan free fatty acid (FFA). FFA pada otot akan menghambat aktivasi protein kinase sehingga menyebabkan berkurangnya uptake glukosa. FFA di hati meningkatkan aktivasi protein kinase sehingga meningkatkan proses gluconeogenesis dan lipogenesis. Pada mulanya, tubuh akan merespon dengan kondisi hyperinsulinemia untuk mempertahankan kondisi euglikemia, namun lama kelamaan kompensasi ini akan
34
gagal dan berakibat turunnya pengeluaran insulin. FFA berefek lipotoksik pada sel β pankreas yang menyebabkan penurunan pengeluaran insulin (Rochlani et al., 2017).
Resistensi insulin menyebabkan kondisi hipertensi karena efek vasodilator dari insulin menghilang dan FFA memicu kontraksi dari pembuluh darah (Rochlani et al., 2017). Banyak pasien hipertensi yang memiliki intoleransi glukosa dan hiperinsulinemik.
Obesitas erat kaitannya dengan kondisi hipertensi dan hiperinsulinemi. Resistensi insulin mengakibatkan peningkatan aktivitas katekolamin tanpa adanya perubahan konsentrasi glukosa pada plasma. Peningkatan tekanan darah juga bisa dipicu karena adanya reabsorbsi natrium pada tubulus renal (Han dan Lean, 2015;
Rochlani et al., 2017).
Jaringan lemak visceral meningkatkan FFA di hati dan menyebabkan peningkatan sintesis trigliserida dan apolipoprotein B yang mengandung banyak very low-density lipoprotein (VLDL) yang bersifat aterogenik. Efek lain dari resistensi insulin berupa peningkatan viskositas serum, induksi prothrombotic state, dan pelepasan sitokin pro-inflamasi (Rochlani et al., 2017; McCracken, Monaghan dan Sreenivasan, 2018).
ii. Aktivasi Neurohormonal
Jaringan lemak visceral melepaskan adipokin yang berhubungan dengan sindrom metabolik. Leptin yang merupakan
35
adipokin mengontrol keseimbangan energi yang dimediasi oleh hipotalamus merangsang sel imun yang mengaktifkan jalur T-helper 1. Adiponektin adalah adipokin anti-inflamasi dan anti-aterogenik yang melawan leptin dan berfungsi sebagai faktor pelindung pada perkembangan diabetes dan hipertensi. Peningkatan jaringan lemak berkorelasi dengan penurunan adiponektin dan peningkatan leptin (Rochlani et al., 2017).
Aktivasi sistem renin-angiotensin juga berkontribusi penting pada perkembangan sindrom metabolik. Jaringan lemak menghasilkan Angiotensin II (Ang II) yang merupakan hasil aktivasi enzim pengubah angiotensin. Ang II meningkat karena adanya obesitas dan sindrom metabolik dan mengaktifkan nicotinamide adenine dinucleotide phosphatase oxidase (NOX) dan meningkatkan produksi ROS. ROS ini nantinya akan menyebabkan kerusakan pada endotel, oksidasi LDL, agregasi trombosit, ekspresi faktor trasnkripsi nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells (NF-κB) dan lectin-like oxidized low-density lipoprotein receptor-1 (LOX-1) pada endotel dan sel otot polos pembuluh darah. ROS dan LOX-1 menimbulkan feedback positif yang saling berkaitan dan menimbulkan peradangan, disfungsi endotel, dan proliferasi fibroblas pada perkembangan kondisi hipertensi, diabetes, dan dislipidemia (Rochlani et al., 2017).
iii. Inflamasi
36
Jaringan lemak merupakan organ metabolik aktif yang melimpah di tubuh dan merupakan sumber hormon seperti adiponektin, Interleukin 6 (IL-6), dan TNF-α. Sitokin proinflamasi IL-6 dan TNF-α berkontribusi pada peradangan pada subjek obesitas. Stres oksidan sistemik akan menyebabkan peningkatan aktivasi kaskade yang menyebabkan fibrosis jaringan dan aterogenesis. TNF-α menyebabkan fosforilasi dan inaktivasi dari reseptor insulin, induksi lipolisis, dan menghambat pelepasan adiponektin. Sedangkan IL-6 meningkatkan produksi reaktan fase akut di hati contohnya C-reactive-protein (CRP), meningkatkan kadar fibrinogen yang menyebabkan kondisi protrombotik, dan mempromosikan ekspresi molekul adhesi oleh sel endotel dan aktivasi jalur Renin-Angiotensine System (RAS) lokal (Rochlani et al., 2017).
37 Streptozotocin-Nicotinamide
a. Streptozotocin
Streptozotocin (STZ) atau streptozocin (2-deoxy-2(3-methyl- 3-nitrosoureido) adalah merupakan senyawa glukosamin- nitrosourea, bersifat hidrofilik, dan umumnya digunakan pada penelitian hewan coba untuk menyebabkan suatu kondisi diabetes.
Senyawa ini merupakan antibiotik yang berasal dari Streptomyces acromogenes (Badole dan Jangam, 2015; Kishore, Kajal dan Kaur,
2017).
dikutip dari Szkudelski, 2012 dengan modifikasi
Sifat diabetogenik STZ sangat selektif dengan cara mengeluarkan agen-agen sitotoksik ke sel β pankreas, satu-satunya tempat diproduksinya hormon insulin (Szkudelski, 2012). Dalam sel β pankreas, STZ menurunkan sintesis dan pengeluaran insulin, merusak oksidasi glukosa, serta mengganggu aktivitas glukokinase dan transport glukosa (Ghasemi, Khalifi dan Jedi, 2014).
Gambar 2. 13. Struktur Kimia Streptozotocin
38
Bagian gula 2-deoksi-D-glukosa pada STZ masuk ke sel β pankreas via transporter glukosa GLUT2 karena mampu memetilasi DNA di ginjal, hati, dan usus namun tidak mampu memetilasi DNA di otak. STZ menyebabkan alkilasi pada DNA sehingga terjadi inhibisi sekresi insulin (hipoinsulinemia) dan berujung pada kondisi hiperglikemia (Ghasemi, Khalifi dan Jedi, 2014; Badole dan Jangam, 2015). Bagian nitrosoamida STZ bertanggung jawab atas toksisitas lewat pembentukan ion metil karbonium (CH3+) yang sangat reaktif dan menyebabkan metilasi dan pemutusan DNA. Poli- ADP-ribose polymerase-1 (PARP-1) yang merupakan enzim katalisator sintesis poli(ADP-ribosa) dari Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD+) juga teraktivasi, menyebabkan penurunan substansial pada NAD+ di sel β sehingga sel kekurangan energi dan lama kelamaan mati (Ghasemi, Khalifi dan Jedi, 2014).
Alkilasi DNA oleh STZ menyebabkan kematian sel β melalui stress oksidatif dan produksi nitric oxide (NO). STZ meningkatkan kadar NO baik lewat induksi enzim sintase NO maupun ketika di metabolism di dalam sel. NO akan bergabung dengan anion superoksida dan membentuk peroksinitrit, kemudian akan terurai menjadi radikal genotoksik. STZ menyebabkan penurunan aktivitas mitokondria aconitase, penurunan konsumsi oksigen oleh mitokondria sehingga produksi ATP terbatas, dan penurunan potensial membrane mitokondria. STZ menghasilkan
39
ROS dalam jumlah rendah di sel β pankreas. Hal ini menyebabkan kerusakan sel β akibat kurangnya pertahanan antioksidan. STZ juga
menyebabkan peningkatan aktivitas enzim c-Jun N-terminal kinase (JNK) (Ghasemi, Khalifi dan Jedi, 2014; Kishore, Kajal dan Kaur, 2017)
(dikutip dari Ghasemi et al., 2014 dengan modifikasi)
Pada suatu studi dengan tikus yang diinduksi streptozotocin menunjukkan pada tahap awal memunculkan gejala nefropati Gambar 2. 14. Mekanisme Toksisitas STZ pada Kerusakan Sel β Pankreas
40
diabetik yang ditunjukkan dengan terjadinya hipertrofi glomerulus dan tubulus serta peningkatan dari ketebalan membran basalis glomerulus. Diabetik nefropati adalah sindrom klinis yang ditandai dengan albuminuria persisten, penurunan glomerular filtration rate
yang progresif, serta peningkatan tekanan darah arteri (Al-Malki dan El Rabey, 2015). Kondisi ini bisa berlanjut ke arah end stage renal disease apabila tidak segera ditangani (Maric dan Hall, 2011).
(dikutip dari Al-Malki and El Rabey, 2015 dengan modifikasi b. Nicotinamide
(dikutip dari Szkudelski, 2012 dengan modifikasi) Gambar 2. 16. Struktur Kimia Nicotinamide
Gambar 2. 15. Gambaran Penebalan Membran Basal Glomerulus dan Vakuolisasi dari Endothelial Lining Glomerular Tuft
41
Nicotinamide (NA) juga dikenal sebagai niacinamide (pyridine-3-carboxamide) merupakan bentuk vitamin B3 (niacin) yang aktif dan larut dalam air. Biasanya NA diberikan secara intraperitoneal. NA adalah scavenger radikal bebas oksigen dan NO.
Senyawa ini penting bagi koenzim nicotinamide adenine dinucleotide (NADH) dan nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH). Niasin dalam tubuh diubah menjadi NA yang perannya sangat penting untuk koenzim NADH dan NADPH. NA menghambat PARP-1, berperan dalam meningkatkan regenerasi sel, dan menghambat apoptosis dengan mencegah degradasi DNA. NA juga mengurangi metilasi DNA dengan bertindak sebagai akseptor gugus metil. Selain itu, senyawa ini juga penting untuk pembentukan ATP (Ghasemi, Khalifi dan Jedi, 2014; Kishore, Kajal dan Kaur, 2017).
(dikutip dari Kishore et al., 2017 dengan modifikasi) Gambar 2. 17. Mekanisme Proteksi Nicotinamide pada Model
Diabetes Terinduksi STZ
42 Diet Tinggi Lemak
Lemak merupakan sekelompok senyawa organik tak larut air namun larut dalam pelarut organik. Salah satu lemak yang terkandung di tubuh antara lain: 1) Lemak netral atau trigliserida; 2) Fosfolipid; 3) Kolesterol. Secara kimiawi, trigliserida dan fosfolipid tersusun oleh asam lemak. Trigliserida tersusun dari satu molekul gliserol dan diikuti tiga rantai asam lemak yaitu asam stearate, asam oleat dan asam palmitat. Jenis lemak yang lain yakni kolesterol tidak mengandung asam lemak namun memiliki sifat fisik dan kimiawi dari lemak (Hall dan Guyton, 2016).
Lemak akan ditranspor dalam bentuk lipoprotein. Lipoprotein disintesis mayoritas di hati, dimana kolesterol plasma, fosfolipid, dan trigliserida juga dibentuk. Lipoprotein berdasarkan tingkat densitasnya terbagi menjadi:
i. Very Low-Density Lipoprotein (VLDL) : mengandung trigliserida konsentrasi tinggi, kolesterol dan fosfolipid konsentrasi moderat
ii. Intermediate-Density Lipoprotein (IDL) : VLDL dengan Sebagian trigliserida yang sudah disingkirkan sehingga konsentrasi fosfolipid dan kolesterol meningkat
iii. Low-Density Lipoprotein (LDL) : turunan dari IDL dengan hamper semua trigliserida sudah disingkirkan, menyisakan kolesterol dan fosfolipid konsentrasi tinggi
43
iv. High-Density Lipoprotein (HDL) : mengandung konsentrasi protein yang tinggi, konsentrasi fosfolipid dan kolesterol lebih rendah
(Hall dan Guyton, 2016)
Diet tinggi lemak memicu obesitas sentral dan dislipidemia.
Obesitas terjadi apabila uptake energi melebihi penggunaan energi, sehingga simpanan lemak pada tubuh bertambah besar, utamanya jaringan adiposa. Obesitas menyebabkan penambahan jumlah (hiperplasia) dan juga penambahan ukuran (hipertrofi) dari adiposit (Hariri dan Thibault, 2010). Model Diet Induced Obesity (DIO) merupakan pilihan untuk mengetahui perkembangan suatu sindrom metabolik sehingga diet tinggi karbohidrat dan tinggi lemak merupakan model yang paling representatif dengan pola diet manusia saat ini yang biasa disebut sebagai Western Diet (Moreno-Fernández et al., 2018).
Insidensi dari obesitas meningkat seiring dengan berubahnya kebiasaan dan kontribusi dari faktor lingkungan (Marques et al., 2016). Diet ini meningkatkan konsumsi energi, penambahan berat badan dan massa lemak, serta mengurangi konsumsi air pada tikus wistar (Marques et al., 2016). Pada suatu studi, diet tinggi lemak mengakibatkan dislipidemia yang ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol total, LDL dan trigliserida serta penurunan kadar HDL pada tikus putih wistar (Harsa, 2014). Obesitas sentral berkaitan dengan kerusakan ginjal melalui peningkatan sirkulasi trigliserida dan FFA. Apabila jaringan lemak
44
sudah tidak bisa menyimpan lemak berlebih, maka akan di jaringan non- adiposa sebagai lemak ektopik (Pereira et al., 2019).
Ginjal merupakan organ pertama yang akan mengalami kerusakan seiring bertambahnya usia dan kaitannya dengan penyakit degeneratif.
Kerusakan ini ditandai dengan hilangnya fungsi dan peningkatan glomerulosklerosis, atrofi tubular, dan fibrosis interstisial. Kerusakan ini juga berkaitan dengan perubahan pada metabolisme kolesterol.
Hiperkolesterolemia dapat mengurangi aliran darah ginjal, filtrasi glomerulus dan ultrafiltrasi, serta merusak ekskresi tubulus (Salim et al., 2018). Pada suatu studi disebutkan bahwasanya terjadi hipertrofi glomerulus dengan atau tanpa glomerulosklerosis pada tikus yang diberi asupan diet tinggi lemak (Chen et al., 2016). Pada suatu studi, pengamatan ginjal pada mikroskop cahaya yang diberikan diet tinggi lemak terjadi dilatasi pada kapiler-kapiler glomerulus, perbesaran
45
kapsula bowman, dan beberapa struktur tubulus mengalami kerusakan (Al-Hayder, Al-Mayyahi dan Hraishawi, 2020).
(dikutip dari Al-Hayder et al., 2020 dengan modifikasi)
Salah satu mekanisme patofisiologi dan juga salah satu peran utama dalam perkembangan penyakit ginjal adalah aktivasi dari renin- angiotensin-aldosterone system (RAAS). Pemberian pakan diet tinggi lemak akan meningkatkan berat badan, persentase lemak tubuh, indeks obesitas, dan angiotensin converting enzyme-2 (ACE-2) yang merupakan salah satu komponen RAAS (Ridwan et al., 2019). Diet tinggi lemak meningkatkan area adiposit pada jaringan lemak mesenterika tikus, konsumsi energi, berat badan, massa lemak tubuh, kadar plasma adiponektin dan plasma leptin, serta menurunkan toleransi
glukosa oral pada tikus wistar (Marques et al., 2016). Diet tinggi lemak Gambar 2. 18. Gambaran Mikroskopis Ginjal dengan Diet Tinggi Lemak
(Keterangan : Dicat dengan pengecatan H&E dengan perbesaran masing-masing 100x dan 400x. Panah hitam : Perbesaran Kapsula Bowman; Panah putih : Kerusakan tubulus)
46
meningkatkan tekanan darah dan urine-albumin creatinine ratio (UACR) yang merupakan penanda disfungsi ginjal bersama dengan peningkatan komponen RAAS ginjal, aktivasi PI3K, inflamasi dan fibrosis (Li et al., 2015). Diet tinggi lemak juga menyebabkan akumulasi lemak pada sinus ginjal sehingga terjadi peningkatan tekanan interstisial ginjal melalui kompresi pembuluh darah ginjal. Akumulasi lipid pada perenkim ginjal menyebabkan kerusakan ginjal dan hipertensi melalui lipotoksisitas, inflamasi, dan juga fibrosis (Foster et al., 2014). Efek lipotoksisitas ditandai dengan adanya peningkatan stress oksidatif yang mengaktivasi jalur pro-apoptosis dan menyebabkan apoptosis sel ginjal yang berlebihan (Sun et al., 2020).
Stress Oksidatif
Radikal bebas atau free radical adalah atom atau molekul dengan satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di kulit valensi atau susunan orbit terluarnya (Phaniendra, Jestadi dan Periyasamy, 2015; Sharma, Gupta dan Sharma, 2018). Radikal bebas diproduksi baik secara endogen maupun eksogen. Aktivasi sel imun, inflamasi, iskemia, infeksi, kanker, dan penuaan bertanggung jawab terhadap pembentukan radikal bebas secara endogen. Radikal bebas eksogen merupakan hasil polutan lingkungan, logam berat (Cd, Hg, Pb, Fe, dan As), obat-obatan tertentu (siklosporin, tacrolimus, gentamisin), asap rokok, asap knalpot, alkohol dan radiasi (Phaniendra, Jestadi dan Periyasamy, 2015; Pizzino et al., 2017; Sharma, Gupta dan Sharma, 2018).
47
Radikal bebas terdiri dari reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS). Contoh ROS antara lain, superoksida, hidroksil, peroksil, hidroperoksil, dan alkoksil, sedangkan golongan nitrat oksida dan nitrogen dioksida merupakan kelompok radikal bebas RNS. Tempat produksi ROS utama adalah pada metabolism aerobik di mitokondria. ROS juga diproduksi oleh NADPH oksidase, xanthine oksidase, dan sitokrom P450 di sitosol dan membran plasma. RNS dibentuk oleh reaksi radikal nitrat oksida dan oksigen atau superoksida.
ROS dan RNS berperan sebagai zat yang menguntungkan maupun zat toksik pada sistem kehidupan (Phaniendra, Jestadi dan Periyasamy, 2015; Sharma, Gupta dan Sharma, 2018)
Tabel 2. 4. Kelompok Radikal Bebas
Reactive Oxygen Species (ROS) Reactive Nitrogen Species (RNS)
Radikal Bebas Simbol Radikal Bebas Simbol
Radikal Radikal
Superoksida O2 •− Nitrogen Oksida NO•
Hidroksil OH• Nitrogen Oksida NO2•
Radikal alkosil RO• Non Radikal
Radikal peroksil ROO• Peroxynitrite ONOO−
Non Radikal Nitroxyl cation NO+
Hidrogen Peroksida H2O2 Nitroxyl anion NO−
Singlet oxygen 1O2 Dinitrogen trioksidase N2O3
48
Ozone O3 Dinitrogen tetraoksidase N2O4
Peroksida organic ROOH Nitrous acid HNO2
Asam hipoklorus HOCl Peroxynitrous acid ONOOH
Asam hipobromus HOBr Nitryl Chloride NO2Cl
Sumber : (Phaniendra, Jestadi dan Periyasamy, 2015)
Normalnya pada organisme yang sehat, produksi radikal bebas adalah rendah dan sistem pertahanan antioksidan dengan cepat mengeliminasi ROS dan RNS yang dapat menyebabkan kerusakan struktural dan fungsional dari sel (Di Meo dan Venditti, 2020). Radikal bebas dapat berefek negative pada beberapa aspek pada tingkatan biologi molekuler seperti asam nukleat, lemak, dan protein, lipoprotein, dan juga DNA (Phaniendra, Jestadi dan Periyasamy, 2015; Pizzino et al., 2017). Adanya pergeseran dari keseimbangan pertahanan ini menyebabkan gangguan pada metabolism dan disebut sebagai stress oksidatif yang berkontribusi pada berbagai kondisi patologis seperti kanker, hipertensi, diabetes, aterosklerosis, dan lain sebagainya (Birben et al., 2012). Pada kondisi diabetes, terdapat peningkatan peroksidasi lemak yang menyebabkan peningkatan produksi dari radikal bebas dan stress oksidatif (Unuofin dan Lebelo, 2020).
Stress oksidatif pada ginjal biasanya terjadi karena konsekuensi dari peningkatan regulasi produksi ROS yang diinduksi oleh enzim pro- oksidan dan dengan adanya penurunan jumlah antioksidan. Produksi ROS yang berlebihan memicu fibrosis pada ginjal dan terjadinya
49
peradangan sehingga menyebabkan kerusakan jaringan yang signifikan dengan peroksidasi lipid, kerusakan DNA, modifikasi protein, dan disfungsi mitokondria (Jha et al., 2016). Produksi ROS pada ginjal menginduksi akumulasi dari sel-sel inflamasi dan produksi sitokin pro- inflamasi. Pada fase awal akan didominasi oleh TNF-α dan IL-1B sebagai mediator pro-inflamasi, serta oleh NF-κB sebagai faktor transkripsi yang diperlukan untuk mempertahankan proses inflamasi.
Tahap akhir ditandai dengan peningkatan produksi transforming growth factor-beta (TGF-β) yang mengatur sintesis matriks ekstraseluler, sehingga apabila stress oksidatif berlangsung secara kronis akan dapat menyebabkan peradangan dan terbentuk jaringan fibrotik yang menganggu fungsi organ dan berpotensi menyebabkan gagal ginjal (Pizzino et al., 2017). Pada nefropati diabetik, hiperglikemia menyebabkan perubahan pada advanced glycolsylation end products (AGEs), protein kinase C (PKC), dan mengaktivasi RAAS sehingga merangsang sistem oksidase NADPH pada ginjal dan meningkatkan produksi ROS. Peningkatan ini menyebabkan hiperfiltrasi, albuminuria dan hilangnya fungsi ginjal, penebalan membran basal, perluasan matriks mesangial, fibrosis interstisial, dan kerusakan sel podosit serta sel-sel ginjal (Rojas-Rivera, Ortiz dan Egido, 2012).
50 B. Kerangka Pemikiran
Flavonoid
Alkaloid
Tanin dan Flavonoid Diet tinggi lemak
↑Lemak di jaringan adiposa
↑TG, LDL, Kolestrol
Total &
↓HDL
↑FFA
Aktivasi RAAS
↑Tekanan arteri ginjal
↑NADPH Oksidase
Saponin
↑Pembentukan ROS dan penurunan antioksidan
Akumulasi sel-sel inflamasi dan produksi
sitokin pro-inflamasi
↑lipid peroksidase, kerusakan DNA, dan disfungsi
mitokondria
Inflamasi dan pembentukan jaringan fibrotik Asam
Askorbat
Induksi STZ
↑CH3-
↑XO
Radikal bebas
Kerusakan DNA sel β NO3-
↑PARP
↓NAD+
Kematian sel β
Hiperglikemia
AGEs PKC
↑ROS
↑NO
Stres Oksidatif Defisiensi dan Resistensi Insulin
Perubahan Histopatologi Ginjal
Perubahan luas Glomerulus
Gangguan Filtrasi
↑Asam Urat
NA
Aktivasi RAAS &
Vasokonstriktor Alkaloid
Alkaloid
51 Keterangan
NO : Nitric Oxide
CH3 : Metil
XO : Xantin Oksidase
PARP : Poly-ADP-Ribose Polymerase-1 NAD : Nicotinamide Adenine Dinucleotide PKC : Protein Kinase C
ROS : Reactive Oxygen Species TG : Trigliserida
LDL : Low-Density Lipoprotein HDL : High-Densitiy Lipoprotein FFA : Free Fatty Acid
AGEs : Advanced Glycation End Products DNA : Deoxyribo Nucleic Acid
: Induktor
: Varibel Yang Diteliti
: Metabolit Sekunder Daun Kelor : Menghambat
: Menyebabkan C. Hipotesis
1. Dosis ekstrak etanolik daun kelor (Moringa oleifera, Lam.) menurunkan kadar asam urat tikus Wistar (Rattus norvegicus) model sindrom metabolik terinduksi.
2. Dosis ekstrak etanolik daun kelor (Moringa oleifera, Lam.) meningkatkan luas penampang glomerulus ginjal tikus Wistar (Rattus norvegicus) model sindrom metabolik terinduksi.