• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI PEMBUATAN SEDIAAN TABLET EKSTRAK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthoriza Roxb.) DENGAN MENGGUNAKAN BERBAGAI JENIS BAHAN PENGIKAT SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STUDI PEMBUATAN SEDIAAN TABLET EKSTRAK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthoriza Roxb.) DENGAN MENGGUNAKAN BERBAGAI JENIS BAHAN PENGIKAT SKRIPSI"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PEMBUATAN SEDIAAN TABLET EKSTRAK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthoriza Roxb.)

DENGAN MENGGUNAKAN BERBAGAI JENIS BAHAN PENGIKAT

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara OLEH:

NOVIANA PRATIWI GINTING NIM 121501076

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

STUDI PEMBUATAN SEDIAAN TABLET EKSTRAK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthoriza Roxb.)

DENGAN MENGGUNAKAN BERBAGAI JENIS BAHAN PENGIKAT

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara OLEH:

NOVIANA PRATIWI GINTING NIM 121501076

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

STUDI PEMBUATAN SEDIAAN TABLET

EKSTRAK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthoriza Roxb.) DENGAN MENGGUNAKAN BERBAGAI JENIS

BAHAN PENGIKAT OLEH:

NOVIANA PRATIWI GINTING NIM 121501076

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : 18 Agustus 2016

Medan, September 2016 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Disetujui Oleh:

Pembimbing I,

Drs. Agusmal Dalimunthe, M.S., Apt.

NIP 195406081983031005

Pembimbing II,

Dr. Panal Sitorus, M.Si., Apt.

NIP 195310301980031002

Panitia Penguji,

Prof. Dr. Julia Reveny M.Si, Apt.

NIP 195807101986012001

Drs. Agusmal Dalimunthe, M.S., Apt.

NIP 195406081983031005

Dra. Nazliniwaty, M.Si., Apt.

NIP 196005111989022001

Drs. Suryanto, M.Si., Apt.

NIP 196106191991031001

(4)

SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Noviana Pratiwi Ginting

Nomor Induk Mahasiswa : 121501076 Program Studi : Reguler Farmasi

Judul Skripsi : Studi Pembuatan Sediaan Tablet Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dengan menggunakan berbagai jenis bahan pengikat.

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini ditulis berdasarkan data dari hasil pekerjaan yang saya lakukan sendiri, dan belum pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruantinggi lain, dan bukan plagiat karena kutipan yang ditulis telah disebutkan sumbernya di dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari ada pengaduan dari pihak lain karena di dalam skripsi ini ditemukan plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia menerima sanksi apapun oleh Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dan bukan menjadi tanggung jawab pembimbing.

Demikianlah surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya untuk dapat digunakan jika diperlukan sebagaimana mestinya.

Medan, Agustus 2016 Yang membuat pernyataan,

Noviana Pratiwi Ginting NIM 121501076

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena limpahan rahmat, kasih, dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Studi Pembuatan Sediaan Tablet Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb.) dengan Menggunakan Berbagai Jenis Bahan Pengikat”.

Pada kesempatan ini dengan segala ketulusan hati penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kepada Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan, kepada Bapak Drs. Agusmal Dalimunthe, M.S., Apt dan Bapak Dr. Panal Sitorus, M.Si., Apt., yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggungjawab selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini,. Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., Ibu Drs. Nazliniwaty, M.Si., Apt., dan Bapak Drs. Suryanto, M.Si.,Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran, dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan yang telah mendidik selama perkuliahan dan Bapak Drs. Rasmadin Mukthar., M.S., Apt., selaku penasehat akademik yang selalu memberikan bimbingan, perhatian, dan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan.

(6)

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan tiada terhingga kepada Ayahanda Mimpin Ginting dan Ibunda Lusiana Sitepu yang telah memberikan cinta dan kasih sayang yang tidak ternilai dengan apapun, pengorbanan baik materi maupun motivasi beserta doa yang tulus yang tidak pernah berhenti. Adikku tercinta (Ryan dan Ghisa), serta seluruh keluarga yang selalu mendoakan dan memberikan semangat. Sahabat-sahabat saya (Holong, Maria, Mitra, dan Nia), Tourmaline serta teman-teman Farmasi stambuk 2012 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2016 Penulis

Noviana Pratiwi Ginting NIM 121501076

(7)

STUDI PEMBUATAN SEDIAAN TABLET EKSTRAK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) DENGAN MENGGUNAKAN BERBAGAI JENIS BAHAN PENGIKAT

ABSTRAK

Latar Belakang: Saat ini sudah banyak produk olahan temulawak yang telah beredar dipasaran yang dikemas dalam bentuk emulsi, sirup, kapsul, serbuk, namun untuk tablet masih sangat sedikit di produksi. Dalam komposisi formula tablet bahan pengikat merupakan salah satu bahan tambahan pada tablet yang membantu meningkatkan perlekatan partikel serta kekompakan massa tablet.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis dan konsentrasi bahan pengikat terhadap sifat fisik tablet ekstrak temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb.) serta untuk mengetahui Formula yang menunjukkan hasil evaluasi tablet ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang terbaik.

Metode: Ekstrak diperoleh dengan maserasi menggunakan pelarut etanol 96%.

Tablet temulawak dibuat menggunakan metode granulasi basah dalam 9 formula dengan variasi bahan pengikat Amilum (10, 12, 14)%, Na CMC (2, 4, 6)%, dan PVP (4, 5, 6)%, kemudian dilakukan uji preformulasi terhadap granul serta uji evaluasi tablet.

Hasil: Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa amilum manihot sebagai bahan pengikat menghasilkan tablet dengan rentang kekerasan 0,40-1,07 kg, kerapuhan 0,81-0,84% dan waktu hancur 3,25-4,55 menit. Na CMC sebagai bahan pengikat menghasilkan kekerasan 0,80-1,05 kg, kerapuhan 0,02-0,06%, waktu hancur 11,52-17,24 menit. PVP sebagai bahan pengikat menghasilkan tablet dengan kekerasan 1,55-3,13 kg, kerapuhan 0,04-0,37% dan waktu hancur 5,92-8,41 menit.

Kesimpulan: Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan berbagai jenis bahan pengikat memberikan pengaruh sifat fisik yang berbeda terhadap tablet temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Dari kesembilan formula, didapat bahwa formula 9 (PVP 6%) menunjukkan hasil evaluasi yang paling memenuhi persyaratan dari kesembilan formula yang ada.

Kata kunci: Temulawak (Curcuma xanthorrhiza, Roxb.), Na CMC, amilum, PVP .

(8)

FORMULATION STUDY OF TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) RHIZOME EXTRACT TABLET BY USING VARIOUS TYPES OF

BINDERS ABSTRACT

Background: Nowdays there are a lot of temulawak dossages has been created such as emulsion, syrup, capsule, powder, but less production of tablet. In tablet composition, binder is one of additional ingredient used to improve particles bond and the cohesiveness of the tablet .

Objective: The purpose of this study is to determine the various type binders effect for tablet extract of temulawak rhizome physical properties and to determine the best formula forming temulawak rhizome extract tablet.

Methods: Extract was obtained by maceration methode using ethanol 96%.

Temulawak tablets were made by wet granulation method in nine formula with binders variations such as Starch (10, 12, 14)%, Na CMC (2, 4, 6)%, and PVP (4, 5, 6%), continued with preformulations and evaluation test of tablet.

Result: Based on experimental results, starch as a binder showed hardness range between 0.40-1.07 kg, friability range between 0.81-0.84% and disintegration time 3.25-4.55 minutes. Na CMC as a binder showed 0.80-1.05 kg of hardness, 0.02-0.06% friability and 11.52-17.24 minutes of desintegration time. PVP as a binder showed 1.55-3.13 kg hardness, 0.04-0.37% friability and 5.92-8.41 minutes desintegration time.

Conclusion: It can be concluded various types of binders gave different result of tablet physical properties, and formula 9 (PVP 6%) showed the most meet evaluation requirements result compared with the other formula.

Keywords: Temulawak (Curcuma xanthorrhiza, Roxb.), Na CMC, amilum, PVP.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tanaman ... 5

2.1.1 Klasifikasi tanaman ... 5

2.1.2 Sinonim tanaman ... 6

2.1.3 Nama asing tanaman ... 6

(10)

2.1.4 Nama daerah ... 6

2.1.5 Morfologi tanaman ... 6

2.1.6 Kandungan kimia ... 7

2.1.7 Manfaat temulawak ... 7

2.2 Ekstraksi ... 8

2.3 Uraian Sediaan Tablet ... 10

2.3.1 Pengertian tablet ... 10

2.3.2 Metode pembuatan ... 11

2.3.3 Uraian bahan pengikat ... 13

2.3.4 Komposisi tablet ... 15

2.3.5 Uji preformulasi ... 16

2.3.6 Evaluasi tablet ... 17

BAB III METODE PENELITIAN ... 20

3.1 Alat-Alat Yang Digunakan ... 20

3.2 Bahan-Bahan Yang Digunakan ... 20

3.3 Pembuatan Larutan Pereaksi ... 21

3.3.1. Pereaksi Mayer ... 21

3.3.2 Pereaksi natrium hidroksida ... 21

3.3. 3 Perekasi Bouchardat ... 21

3.3. 4 Pereaksi Dragendorff ... 21

3.3. 5 Pereaksi besi (III) klorida 1% ... 21

3.3. 6 Pereaksi asam klorida 2 N ... 22

3.3. 7 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M ... 22

3.3. 8 Pereaksi Liebermann-Burchard ... 22

(11)

3.3.9 Pereaksi Molisch ... 22

3.3. 10 Pereaksi kloralhidrat ... 22

3.4 Pembuatan Bahan Pengikat ... 22

3.4.1 Pasta amilum manihot ... 22

3.4.2 Pasta natrium CMC ... 23

3.4.3 PVP ... 23

3.5 Prosedur Kerja ... 23

3.5.1 Pengumpulan bahan tanaman ... 23

3.5.2 Identifikasi tanaman ... 23

3.5.3 Pembuatan simplisia ... 23

3.6 Karakterisasi Simplisia ... 24

3.6.1 Pemeriksaan makroskopik ... 24

3.6.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 24

3.6.3 Penetapan kadar air ... 24

3.6.4 Penetapan kadar sari larut dalam air ... 25

3.6.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol ... 25

3.6.6 Penetapan kadar abu total ... 26

3.6.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut asam ... 26

3.7 Pembuatan Ekstrak ... 26

3.8 Skrining Fitokimia ... 27

3.8.1 Pemeriksaan alkaloida ... 27

3.8.2 Pemeriksaan flavonoida ... 28

3.8.3 Pemeriksaan saponin ... 28

3.8.4 Pemeriksaan tanin ... 28

(12)

3.8.5 Pemeriksaan glikosida ... 29

3.8.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoida ... 30

3.9 Formula Sediaan Tablet ... 29

3.9.1 Formula tablet ekstrak rimpang temulawak... 30

3.9.2 Pembuatan ekstrak kering temulawak ... 31

3.9.3 Pembuatan tablet ekstrak temulawak ... 32

3.10 Uji Preformulasi ... 31

3.10.1 Sudut diam granul ... 31

3.10.2 Waktu alir granul ... 32

3.10.3 Indeks tap granul ... 32

3.11 Uji Evaluasi Tablet ... 32

311.1 Uji kekerasan tablet ... 33

3.11.2 Uji friabilitas tablet ... 33

3.11.3 Uji waktu hancur ... 33

3.11.4 Uji keseragaman bobot ... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Hasil Identifikasi Sampel ... 35

4.2 Hasil Pemeriksaan Karakterisasi ... 36

4.3 Hasil Pembuatan Ekstrak ... 37

4.4 Hasil Skrining Fitokimia ... 37

4.5 Hasil Uji Preformulasi ... 38

4.5.1 Sudut diam granul ... 38

4.5.2 Waktu alir granul ... 39

4.5.3 Indeks tap granul ... 40

(13)

4.6 Hasil Uji Evaluasi Tablet ... 41

4.6.1 Uji kekerasan tablet ... 41

4.6.2 Uji friabilitas tablet ... 43

4.6.3 Uji waktu hancur tablet ... 43

4.6.4 Uji keseragaman bobot ... 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

LAMPIRAN ... 51

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Persyaratan keseragaman bobot .. ... 19

3.1 Formula tablet ekstrak rimpang temulawak ... 30

4.1 Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia temulawak ... 35

4.2 Hasil skrining fitokimia ekstrak rimpang temulawak ... 37

4.3 Hasil uji sudut diam granul ... 38

4.4 Hasil uji waktu alir granul ... 39

4.5 Hasil uji indeks tap granul ... 40

4.6 Hasil uji kekerasan tablet ... 42

4.7 Hasil uji friabilitas tablet ... 43

4.8 Hasil uji waktu hancur ... 44

4.9 Hasil uji keseragaman bobot ... 45

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

4.1 Histogram sudut diam massa granul ... 38

4.2 Histogram waktu alir massa granul ... 40

4.3 Histogram indekstap massa granul ... 41

4.4 Histogram kekerasan tablet ... 42

4.5 Histogram friabilitas tablet ... 43

4.6 Histogram waktu hancur tablet ... 44

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Hasil identifikasi tumbuhan ... 51

2 Tumbuhan, rimpang, dan simplisia temulawak ... 52

3 Bagan pembuatan simplisia ... 53

4 Gambar hasil mikroskopik temulawak ... 54

5 Bagan pembuatan ekstrak etanol temulawak ... 55

6 Penetapan hasil karakterisasi ... 56

7 Perhitungan bahan tablet ... 59

8 Hasil uji preformulasi granul ... 62

9 Gambar tablet ekstrak temulawak ... 64

10 Hasil uji evaluasi tablet ... 65

11 Alat evaluasi tablet ... 74

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan hasil alam yang cukup melimpah terutama pada sektor pertanian. Menurut World Health Organization (WHO), sebanyak 20.000 jenis tumbuhan dibumi dapat dimanfaatkan sebagai obat dan lebih dari 2.200 jenis tumbuhan obat tersebut terdapat di Indonesia. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu tumbuhan obat yang terdapat di Indonesia yang berdasarkan penelitian dan pengalaman, telah terbukti berkhasiat dalam menyembuhkan berbagai jenis penyakit seperti obat gangguan hati, kolagoga, yaitu meningkatkan produksi dan sekresi empedu, obat antiinflamasi, penambah nafsu makan, batuk, asma, sariawan, diare, rematik, penghillang lelah, penghilang rasa sakit, anti bakteri, anti jamur, antidiabetes, anti diare, anti oksidan, anti tumor, diuretik, anti depresi dan lain sebagainya (Munir, 2012; Hayani, 2006).

Umumnya masyarakat masih mengasumsikan temulawak sebagai jamu yang kurang enak dan kurang praktis untuk dikonsumsi, padahal jika dikonsumsi secara rutin dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan, namun asumsi tersebut dapat dibantahkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat di bidang farmasi yang juga menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan formulasi yang tepat dalam mengolah bahan alam menjadi bentuk sediaan yang mudah diterima. Oleh sebab itu perlu adanya

(18)

upaya perbaikan secara terus menerus, sehingga diperoleh formulasi sediaan yang memenuhi parameter kualitas serta dapat meningkatkan minat masyarakat dalam mengkonsumsi obat-obatan bahan alam (Afifah, 2003; Ariswati, dkk., 2010).

Saat ini sudah ada beberapa produk olahan temulawak yang telah beredar dipasaran yang dikemas dalam bentuk emulsi, sirup, kapsul, serbuk dan tablet, tetapi untuk tablet temulawak masih sangat sedikit di produksi sementara sediaan tablet sendiri semakin terkenal pemakaiannya dan merupakan sediaan yang paling banyak diproduksi dan banyak mengalami perkembangan dari segi formulasi, tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya dibuat dengan penambahan bahan tambahan farmasetik yang sesuai (Ansel, 1989).

Beberapa keunggulan tablet adalah: biaya produksinya paling murah, bentuk sediaan oral yang paling ringan dan paling kompak, mudah dan murah untuk dikemas dikirim, mudah untuk diproduksi secara besar - besaran, memiliki sifat pencampuran kimia, mekanik dan stabilitas mikrobiologi yang paling baik, selain itu tablet juga memiliki penampilan yang menarik, pemakaiannya mudah dan stabil secara fisika dan kimia (Lachman, dkk., 1994; Voight, 1995).

Zat tambahan dibutuhkan untuk menghasilkan tablet yang baik, seperti bahan pengisi, bahan pengikat, desintegran, lubrikan dan dapat juga mengandung bahan warna yang diizinkan, bahan pengaroma dan bahan pemanis. Kekompakan tablet dapat dipengaruhi, baik oleh tekanan pencetakan maupun bahan pengikat.

Bahan pengikat merupakan salah satu bahan tambahan pada tablet yang sangat mempengaruhi hasil akhir dari suatu tablet karena bahan pengikat berfungsi menjaga keterpaduan, kekompakan dan daya tahan tablet serta menjamin

(19)

penyatuan beberapa partikel serbuk dalam sebuah butir granulat. Bahan pengikat dalam jumlah yang memadai ditambahkan ke dalam bahan yang akan ditabletasi melalui bahan pelarut atau mealui larutan bahan perekat yang digunakan pada saat granulasi (Ansel, 1989).

Berdasarkan uraian diatas peneliti merasa perlu diadakan penelitian tentang pengaruh penambahan bahan pengikat terhadap pembuatan tablet ekstrak temulawak. Berdasarkan orientasi yang sudah dilakukan diperoleh dosis ekstrak yang optimal untuk digunakan adalah sebesar 125 mg. Adapun bahan pengikat yang digunakan dalam pembuatan tablet ekstrak rimpang temulawak ini adalah Na CMC, Amilum dan PVP. Konsentrasi bahan pengikat yang digunakan yaitu Amilum (10, 12, 14)%, Na CMC (2, 4, 6)%, dan PVP (4, 5, 6)%. Pemilihan konsentrasi bahan pengikat didasarkan pada konsentrasi optimal setiap bahan pengikat, menurut Ariswati dan kawan-kawan (2010) PVP 5% memberikan hasil yang paling optimum, Permata dan kawan-kawan (2015) menyatakan konsentrasi amilum yang baik berada diatas 10% sedangkan menurut Novia dan kawan-kawan (2015) konsentrasi Na-CMC yang memberikan hasil evaluasi terbaik yaitu pada konsentrasi 3,5%. Amilum sebagai bahan pengikat menghasilkan tablet yang rapuh sehingga waktu disintregannya lebih singkat tetapi sulit dikeringkan. PVP (polivinilpirolidon) menghasilkan tablet yang tidak keras, dan waktu disintegrasinya cepat tetapi sedikit higroskopis. Na CMC (natrium karboksimetil selulosa) sebagai pengikat menghasilkan granul yang lebih rapuh dari PVP, namun waktu desintegrasinya lebih lama (Ariswati, dkk., 2010).

(20)

1.2 Perumusan Masalah

a. Bagaimanakah pengaruh perbedaan jenis dan konsentrasi bahan pengikat terhadap sifat fisik tablet ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)?

b. Formula manakah yang menunjukkan hasil evaluasi sifat fisik tablet terbaik?

1.3 Hipotesis

a. Perbedaan jenis dan konsentrasi bahan pengikat memeberikan pengaruh yang berbeda terhadap sifat fisik tablet ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.).

b. Salah satu dari kesembilan formula menunjukkan hasil evaluasi sifat fisik tablet yang terbaik.

1.4 Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pengaruh jenis dan konsentrasi bahan pengikat terhadap sifat fisik tablet ekstrak temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb.)

b. Untuk mengetahui Formula yang memberikan hasil terbaik terhadap evaluasi sifat fisik tablet ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.).

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu sebagai bahan informasi tentang pengaruh jenis dan konsentrasi bahan pengikat terhadap sifat fisik tablet ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) serta untuk mengetahui formula terbaik dalam pembuatan tablet ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.).

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tanaman

Temulawak berasal dari kawasan Indonesia dan telah tersebar diseluruh nusantara. Banyak dimanfaatkan masyarakat dalam bentuk jamu dan obat lainnya.

Temulawak hanya bisa tumbuh dan berproduksi dengan baik di daratan rendah sampai pegunungan (daratan tinggi) yakni mulai 5–1200 m di atas permukaan laut, tumbuh liar di tempat yang agak terlindung, seperti di bawah naungan hutan jati juga cocok dibudidayakan di lahan perkarangan dan dikebun. Tumbuhan ini hidup pada berbagai jenis tanah seperti tanah liat, berpasir, tetapi untuk mendapatkan rimpang yang berkualitas baik diperlukan tanah yang subur yang mengandung banyak unsur hara (Rukmana, 2006).

2.1.1 Klasifikasi tanaman

Klasifikasi tanaman temulawak menurut Rukmana (2006) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb.

(22)

2.1.2 Sinonim tanaman

Sinonim tanaman temulawak menurut Dalimartha (2006) adalah C.

Zerumbed majus Rumph.

2.1.3 Nama asing tanaman

Kiang huang (China), harida; haldi (India Pakistan), halud (Bengali), kurkum (Arab), zardcchobacch (Persia), menjal (Tamil), kunong-huyung (Indochina) (Dalimartha, 2006).

2.1.4 Nama daerah tanaman

Nama daerah tumbuhan temulawak adalah koneng gede (Jawa Barat), temulabak (Jawa tengah), tetemulawak (Sumatera) dan kunyit ketumbu (Aceh) (Tommo (Bali), tommon (Sulawesi Selatan), karbanga (Ternate), temolobak (madura) (Afifah, 2003; Dalimartha, 2006).

2.1.5 Morfologi tanaman

Temulawak merupakan tanaman tahunan, berbatang semu, berwarna hijau dan cokelat gelap. Tinggi batangnya antara 1,5 cm sampai 2 cm, paling tinggi dibanding kerabat-kerabat semarganya. Batangnya tersusun atas upih-upih daun, seperti halnya upih-upih daun yang ada dalam pisang tegak lurus dan berumpun.

Daunnya berbentuk seperti mata lembing jorong agak melonjong (oblong elliptic).

Telapak daunnya berwarna hijau tua, bergaris-garis cokelat, lebarnya antara 1 cm sampai 2,5 cm dan berbintik-bintik jernih hijau muda (Ahmad, 2007).

Sebagai tanaman monokotil, temulawak tidak memiliki akar tunggang.

Akar yang dipunya adalah rimpang. Rimpang ialah bagian batang yang terletak di bawah tanah. Rimpang disebut juga umbi akar atau umbi batang. Rimpang

(23)

temulawak berukuran paling besar diantara semua rimpang genus Curcuma. Oleh karena itu walau nama daerah temulawak bermacam-macam tetap mengandung arti yang sama, yaitu temu yang besar (Ahmad, 2007).

Rimpang temulawak terdiri atas rimpang induk (empu) dan rimpang anakan (cabang). Rimpang induknya berbentuk bulat seperti telur dan berwarna kuning tua atau cokelat kemerahan. Bagian dalamnya berwarna jingga kecokelatan. Dari rimpang induk ini, keluar rimpang kedua yang lebih kecil. Arah pertumbuhannya ke samping, berwarna lebih muda dengan bentuk bermacam- macam dan jumlahnya sekitar 3-7 buah. Jika dibiarkan tumbuh lebih dari satu tahun, akan tumbuh banyak rimpang lagi. Ujung rimpang cabang membengkak menjadi umbi kecil. Rimpang ini baunya harum dan rasanya agak pahit agak pedas (Ahmad, 2007).

Bunga temulawak pendek dan lebar, berkembang secara teratur, berwarna putih kuning atau kuning muda bercampur warna merah di puncaknya. Bunga mekar satu persatu secara bergiliran dari kantung-kantung daun pelindung yang memiliki 3-5 kuntum bunga (Ahmad, 2007).

2.1.6 Kandungan kimia

Kandungan kimia rimpang temulawak menurut Hayani (2006) adalah sebagai berikut zat warna kuning (kurkumin), serat, pati, kalsium oksalat, minyak atsiri, pati, alkaloid, flavonoid, triterpenoid dan glikosida lebih dominan dibanding tannin, saponin dan steroid.

2.1.7 Manfaat tanaman temulawak

Temulawak mempunyai khasiat sebagai antiinflamasi, tonikum, obat gangguan hati, kolagoga, yaitu meningkatkan produksi dan sekresi empedu,

(24)

penambah nafsu makan, pereda batuk, asma, sariawan, diare, rematik, lelah, penghilang rasa sakit, anti bakteri/jamur, antidiabetes, antidiare, anti oksidan, anti tumor, diuretik, depresi dan lain sebagainya. Minyak atsiri temulawak berkhasiat sebagai fungistatik pada beberapa jenis jamur dan bakteriostatik pada mikroba Staphyllococcus sp. dan Salmonella sp, mengurangi perut kembung akibat

metabolisme lemak dan menurunkan kadar kolesterol darah yang tinggi dan antitumor (Dalimartha, 2006).

Konsumsi temulawak pada orang sehat juga sangat penting untuk memelihara kesehatan fungsi hati dan menjaga stamina tubuh. Usia antara 20-60 tahun merupakan usia produktif untuk melakukan berbagai aktivitas yang berat dan melelahkan. Salah satu penyebab menurunnya fungsi hati adalah faktor kelelahan sehingga kerja hati menjadi bertambah berat. Hal ini menyebabkan tubuh rentan untuk tertular virus hepatitis yang berbahaya karena virus ini mampu bertahan dan menetap di dalam tubuh, bersifat kronis serta dalam perjalanan selanjutnya berpotensi merusak hati, ukurannya mengecil dan mengeras (sirosis hati) dan dapat berakhir menjadi kanker hati (Suharjo, 2010).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Dengan diketahui senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat. Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudia semua atau hampir semua pelarut

(25)

diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 2000).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2000), beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu:

a. Cara dingin

1. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruang (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus menerus).

Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.

2. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru samai sempurna

(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahaan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perklorat) yang jumlahnya 1–5 kali bahan.

b. Cara panas

1. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses

(26)

pada residu pertama samai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi semurna.

2. Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

3. Digesti adalah maserasi kinetik atau dengan pengadukan yang kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50 oC.

4. Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98 oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).

5. Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.

2.3 Uraian Sediaan Tablet 2.3.1 Pengertian tablet

Definisi tablet menurut Farmakope Indonesia edisi III adalah sediaan padat

kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaannya rata atau cembung, mengandung satu jenis obat atau lebih, dengan atau tanpa bahan tambahan. Bahan tambahan yang dapat berfungsi sebagai bahan pengisi, bahan pengembang, bahan pengikat, bahan pelicin, bahan pembasah atau bahan lain yang cocok. Sedangkan menurut Farmakope Indonesia

(27)

edisi IV tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi.

Tablet merupakan jenis sediaan yang banyak digunakan sampai sekarang karena memberikan dosis yang tepat pada pemakaiannya, mudah pemakaiannya, mudah pengemasannya, stabilitas kimia dan aktifitas fisiologis dari bahan-bahan obat cukup baik, sebagai bentuk sediaan solid yang mengandung satu atau lebih zat aktif dengan atau tanpa berbagai eksipien (yang meningkatkan mutu sediaan tablet, kelancaran sifat aliran bebas, sifat kohesifitas, kecepatan disintegrasi dan sifat antilekat) dan dibuat dengan mengempa campuran serbuk dalam mesin tablet. Tablet kempa adalah unit bentuk sediaan solid, dibuat dengan mengempa suatu campuran serbuk yang mengandung zat aktif dengan atau tanpa bahan tanbahan atau bahan tertentu yang dipilih guna membantu dalam proses pembuatan dan untuk menciptakan sifat-sifat sediaan tablet yang dikehendaki (Banker dan Anderson, 1994; Siregar dan Wikarsa, 2010).

Menurut Banker dan Anderson (1994), tablet yang dinyatakan baik harus memenuhi syarat, yaitu:

a. Memiliki kemampuan dan daya tahan terhadap pengaruh mekanis selama proses produksi, pengemasan dan distribusi.

b. Bebas dari kerusakan seperti pecah pada permukaan dari sisi-sisi tablet.

c. Dapat menjamin kestabilan fisik maupun kimia dari zat berkhasiat yang terkandung didalamnya.

d. Dapat membebaskan zat berkhasiat dengan baik sehingga memberikan efek pengobatan seperti yang dikehendaki.

2.3.2 Metode pembuatan tablet

(28)

Menurut Ansel (1989), ada tiga metode pembuatan tablet kompresi yang berlaku yaitu metode granulasi basah, metode granulasi kering dan cetak langsung.

a. Granulasi basah

Metode ini merupakan metode pembuatan yang paling banyak digunakan dalam memproduksi tablet kompresi. Langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan tablet dengan metode ini dapat dibagi sebagai berikut: menimbang dan mencampur bahan-bahan, pembuatan granulasi basah, pengayakan granul basah, pengeringan, pengayakan granul kering, pencampuran bahan pelicin dan bahan penghancur, pembuatan tablet dengan kompresi (Ansel, 1989).

Bahan aktif, pengisi dan disintegran dicampur hingga homogen. Bahan pengikat ditambahkan untuk mencampur serbuk dengan cara pengadukan. Massa serbuk terbasahi oleh bahan pengikat hingga massa tersebut mempunyai konsistensi lembab. Kemudian massa lembab tersebut dilewatkan pada mesh.

Setelah itu ditempatkan pada wadah yang sesuai dan dimasukkan dalam lemari pengering. Setelah kering, granul tersebut dikurangi ukuran partikelnya dengan melewatkannya pada pengayakan mesh yang ukurannya lebih kecil. Ukuran ayakan tergantung pada diameter punch. Kemudian ke dalam granul kering ditambahkan lubrikan atau glidan sebagai serbuk fine untuk meningkatkan aliran granul, kemudian dicetak menjadi tablet (Sahoo, 2007).

b. Granulasi kering

Metode granulasi kering disebut juga slugging, merupakan salah satu metode pembuatan tablet dengan cara mengempa campuran bahan kering (zat aktif dan eksipien) menjadi massa padat yang selanjutnya dipecah lagi untuk

(29)

menghasilkan partikel yang berukuran lebih besar (granul). Dengan metode ini, baik bahan aktif ataupun bahan pengisi harus memiliki sifat kohesif supaya massa yang jumlahnya besar dapat dibentuk. Metode ini khususnya untuk bahan-bahan yang tidak dapat diolah dengan metode granulasi basah, karena kepekaannya terhadap uap air atau karena tidak tahan terhadap pemanasan (Ansel, 1989).

c. Kompresi/cetak langsung

Cetak langsung berarti mengompres tablet secara langsung dari bahan bubuk tanpa memodifikasi sifat fisik bahan tablet tersebut. Metode ini berlaku untuk bahan kimia berbentuk kristal yang memiliki karakteristik kompresibilitas dan sifat alir yang baik seperti: garam kalium (klorat, klorida, bromida), natrium klorida, amonium klorida, methenamine, kalsium laktat, asetosal dan lain-lain (Sahoo, 2007).

Kompresi langsung merupakan metode pilihan dalam manufaktur tablet apabila proses itu dapat digunakan untuk memproduksi produk jadi bermutu tinggi. Metode ini paling tepat karena menggunakan penanganan bahan-bahan paling sedikit dan tidak melibatkan tahap pengeringan. Oleh karena itu, metode ini paling efisien energi, paling cepat dan paling ekonomis untuk memproduksi tablet. Sebaliknya, banyak situasi ketika cetak langsung tidak dapat dilakukan pada zat aktif dengan dosis kecil, zat aktif dengan masalah pemisahan dan keseragaman kandungan; zat aktif dosis besar yang tidak dapat dikompresi langsung atau yang mempunyai sifat aliran yang buruk; dalam pembuatan tablet tertentu atau dalam banyak pengoperasian manufaktur tablet tertentu (Siregar dan Wikarsa, 2010).

(30)

2.3.3 Uraian bahan pengikat 2.3.3.1 Amilum manihot

Amilum manihot berbentuk serbuk, tidak berbau dan tidak berasa berwarna putih atau sedikit putih dengan pH 4,5-7,0 dan mengandung 17-20% amilosa.

Tidak larut dalam etanol 96% dan air dingin, amilum mengembang secara langsung dalam air pada suhu 37°C. Larut dalam pelarut dimetilsulfoksida dan dimetilformamida. Amilum mengandung amilosa linear dan amilopektin bercabang, yaitu dua polisakarida dengan dasar a-(D)-glukosa. Amilum manihot juga disebut tapioka (Rowe, dkk., 2009).

Amilum merupakan suatu bahan tambahan farmasi yang biasa digunakan sebagai bahan pengembang, pengering(diluen), serta bahan pengikat pada tablet maupun kapsul. Pada penggunaannya sebagai diluen pati digunakan untuk persiapan pada ekstrak herbal dan memfasilitasi pencampuran pada proses formulasi. Penggunaanya sebagai lubrikan jumlah amilum yang digunakan biasanya 3-10%, sedangkan pada pembuatan pasta amilum sebagai pengikat granulasi basah tablet biasanya digunakan pada konsentrasi 3-20% (tergantung pada tipe amilum) dan sebagai desintegran biasanya digunakan pada konentrasi 3- 25%. Amilum sangat baik jika digunakan sebagai bahan penghancur, namun pada penggunaan konsentrasi yang terlalu tinggi dapat meningkatkan friabilitas serta capping pada tablet (Rowe, dkk., 2009).

2.3.3.2 Polivinilpirolidon (PVP)

PVP (polivinilpirrolidon) atau biasa disebut sebagai povidon merupakan suatu polimer sintesis yang mengandung gugus rantai esensial 1-vinil-2- pirolidinon denga bobot molekul 2.500-3000000. PVP merupakan serbuk amorp

(31)

berwarna putih kekuningan, tidak berbau dan hampir tidak berasa dan merupakan serbuk yang higroskopis (Rowe, dkk., 2009).

PVP merupakan salah satu bahan tambahan farmasi yang biasanya digunakan sebagai desintegran, agen pensuspensi, bahan tambahan granulasi dan sebagai bahan pengikat tablet baik dalam cetak langsung maupun granulasi basah.

Povidon di tambahkan pada campuran serbuk pada bentuk kering ataupun digranulasi dengan penambahan alkohol atau larutan hidroalkoholik. Obat atau zat aktif dengan kelarutan rendah dapat meningkat apabila dicampur dengan povidon.

Sebagai bahan pengikat konsentrasi yang digunakan adalah 0,5-5% Povidon biasanya menghasilkan sifat adesi, elastisitas dan kekerasan yang baik . Povidon larut dalam asam, kloroform, etanol, keton, metanol dan air; praktis tidak larut dalam eter, hidrokarbon dan minyakk mineral (Rowe, dkk., 2009).

2.3.3.3 Natrium karboksimetilselulosa (Na CMC)

Na CMC berbentuk serbuk dengan warna putih atau hampir putih, tidak berasa dan tidak berbau, titik didih 227°C, pH antara 6,0-8,5, mengandung air kurang dari 10%. Na CMC bersifat higroskopis dan menyerap air secara cepat pada suhu diatas 37°C, praktis tidak larut dalam aseton, etanol, eter dan toluen serta sangat mudah terdispersi dalam air pada segala temperatur. Na CMC merupakan salah satu bahan tambahan farmasi yang biasanya digunakan sebagai agen emulsi, agen penstabiliasi, desintegran, pengikat dan diluen. Penggunaanya sebagai bahan pengikat pada konsentrasi 1-4%, penggunaan diatas 15% dapat menurunkan kekerasan tablet. (Rowe, dkk., 2009).

2.3.4 Komposisi tablet

Umumnya di samping zat aktif tablet oral mengandung, pengisi, pengikat,

(32)

penghancur dan pelincin. Tablet tertentu mungkin memerlukan pemacu aliran, zat warna, zat perasa dan pemanis (Lachman, dkk., 1994).

Komposisi umum dari tablet adalah zat berkhasiat, bahan pengisi, bahan pengikat atau perekat, bahan pengembang dan bahan pelicin. Kadang-kadang dapat ditambahkan bahan pewangi (flavoring agent), bahan pewarna (colouring agent) dan bahan-bahan lainnya (Ansel, 1989).

a. Pengisi

Pengisi diperlukan bila dosis obat tidak cukup untuk membuat bulk. Selain itu pengisi dapat juga ditambahkan untuk memperbaiki daya kohesi sehingga dapat dicetak langsung atau untuk memacu aliran (Lachman, dkk., 1994). Bahan- bahan pengisi yaitu: laktosa, amilum, manitol, sorbitol, avicel, kalsium sulfat dihidrat, kalsium karbonat dan lain-lain (Siregar dan Wikarsa, 2010).

b. Pengikat

Bahan pengikat digunakan untuk memberikan kekompakan dan daya tahan tablet, juga menjamin penyatuan beberapa partikel serbuk dalam butir granulat (Voigt, 1995).

Pengikat yang umum digunakan yaitu: amilum, gelatin, glukosa, gom arab, natrium alginat, Na CMC, PVP dan veegum (Soekemi, dkk., 1987)

c. Penghancur/disintegran

Disintegran digunakan agar memudahkan pecahnya tablet ketika berkontak dengan cairan saluran pencernaan dan mempermudah absorpsi (Lachman, dkk, 1994). Bahan yang digunakan sebagai pengembang yaitu:

amilum, gom, derivat selulosa, alginat dan clays (Soekemi, dkk., 1987).

(33)

d. Pelicin

Bahan pelicin ditambahkan untuk meningkatkan daya alir granul-granul pada corong pengisi, mencegah melekatnya massa pada punch dan die, mengurangi pergesekan antara butir-butir granul dan mempermudah pengeluaran tablet dari die. Bahan pelicin yaitu: metalik stearat, talk, asam stearat, senyawa lilin dengan titik lebur tinggi, amilum maydis (Soekemi, dkk., 1987).

2.3.5 Uji preformulasi

Sebelum dicetak menjadi tablet, massa granul perlu diperiksa apakah memenuhi syarat untuk dapat dicetak. Preformulasi ini menggambarkan sifat massa sewaktu pencetakan tablet, meliputi waktu alir, sudut diam dan indeks tap.

Pengujian waktu alir dilakukan dengan mengalirkan 100 gram massa granul melalui corong. Waktu yang diperlukan tidak lebih dari 10 detik, jika tidak maka akan dijumpai kesulitan dalam hal keseragaman bobot tablet. Hal ini dapat diatasi dengan penambahan bahan pelicin (Cartensen, 1977).

Pengukuran sudut diam digunakan metode corong tegak, granul dibiarkan mengalir bebas dari corong ke atas dasar. Serbuk akan membentuk kerucut, kemudian sudut kemiringannya diukur. Semakin datar kerucut yang dihasilkan, semakin kecil sudut diam, semakin baik aliran granul tersebut (Voigt, 1995).

Indeks tap adalah uji yang mengamati penurunan volume sejumlah serbuk atau granul akibat adanya gaya hentakan. Indeks tap dilakukan dengan alat volumenometer yang terdiri dari gelas ukur yang dapat bergerak secara teratur ke atas dan ke bawah. Serbuk atau granul yang baik mempunyai indeks tap kurang dari 20% (Cartensen, 1977).

(34)

2.3.6 Evaluasi tablet a. Kekerasan tablet

Kekerasan adalah parameter yang menggambarkan ketahanan tablet dalam melawan tekanan mekanik seperti goncangan, kikisan dan terjadi keretakan talet selama pembungkusan, pengangkutan dan pemakaian. Kekerasan ini dipakai sebagai ukuran dari tekanan pengempakan. Kekerasan tablet biasanya 4 – 8 kg, tablet dengan kekerasan kurang dari 4 kg akan didapatkan tablet yang cenderung rapuh, tapi bila kekerasan tablet lebih besar dari 8 kg akan didapatkan tablet yang cenderung keras (Parrot, 1971).

Kekerasan tablet dipengaruhi oleh perbedaan massa granul yang mengisi die pada saat pencetakan tablet dan tekanan kompressi. Selain itu, berbedanya nilai kekerasan juga dapat diakibatkan oleh variasi jenis dan jumlah bahan tambahan yang digunakan pada formulasi. Bahan pengikat adalah contoh bahan tambahan yang bisa menyebabkan meningkatnya kekerasan tablet bila digunakan terlalu pekat (Lachman, dkk., 1994).

b. Friabilitas

Friabilitas menunjukkan ketahanan tablet pada saat perpindahan dilakukan baik itu dari proses pencetakan, pengemasan serta pendistribusian tablet. Tablet mengalami capping atau hancur akibat adanya goncangan dan gesekan, selain itu juga dapat menimbulkan variasi pada berat dan keseragaman isi tablet. Pengujian dilakukan pada kecepatan 25 rpm, menjatuhkan tablet sejauh 6 inci pada setiap putaran, dijalankan sebanyak 100 putaran. Kehilangan berat yang dibenarkan yaitu lebih kecil dari 0,5 sampai 1% (Lachman, dkk., 1994).

(35)

c. Waktu hancur

Supaya komponen obat sepenuhnya tersedia untuk diabsorpsi dalam saluran pencernaan, maka tablet harus hancur dan melepaskan obatnya ke dalam cairan tubuh untuk dilarutkan. Daya hancur tablet juga penting untuk tablet yang mengandung bahan obat (seperti antasida atau diare) yang tidak dimaksudkan untuk diabsorpsi tetapi lebih banyak bekerja setempat dalam saluran cerna. Dalam hal ini daya hancur tablet memungkinkan partikel obat menjadi lebih luas untuk bekerja secara lokal dalam tubuh (Ansel, 1989).

Waktu hancur tablet adalah waktu yang dibutuhkan untuk hancurnya tablet dalam medium yang sesuai sehingga tidak ada bagian tablet yang tertinggal diatas kasa alat pengujian. Faktor-faktor yang mempengaruhi waktu hancur adalah sifat fisika kimia granul dan kekerasan tablet, kecuali dinyatakan lain, waktu hancur tablet tidak bersalut tidak boleh lebih dari 15 menit. Waktu hancur yang semakin cepat maka akan semakin cepat pula pelarutan dari bahan berkhasiat sehingga akan lebih cepat berkhasiat dalam tubuh (Lachman, dkk., 1994).

d. Keseragaman bobot

Timbang 20 tablet, hitung bobot rata-rata tiap tablet. Jika ditimbang satu persatu, tidak boleh lebih dari 2 tablet yang masing-masing bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya yang lebih besar dari harga yang ditetapkan kolom A dan tidak satu tabletpun yang bobotnya menyimpang dari bobot rata- ratanya lebih dari harga yang ditetapkan kolom B. Jika tidak mencukupi 20 tablet, dapat digunakan 10 tablet; tidak satu tabletpun yang bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot rata-rata yang ditetapkan kolom A dan tidak satupun yang

(36)

bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot rata-rata yang ditetapkan kolom B (Ditjen POM, 1979).

Tabel 2.1 Persyaratan keseragaman bobot

Bobot Rata-rata

Penyimpangan terhadap bobot rata-rata

A B

25 mg atau kurang 15% 30%

26 mg sampai 15 mg 10% 20%

151 mg sampai 300 mg 7,5% 15%

Lebih dari 300 mg 5% 10%

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang meliputi tahap penyiapan sampel, indentifikasi sampel, pembuatan simplisia, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak, uji preformulasi massa cetak tablet, pencetakan tablet dan evaluasi tablet. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Teknologi Sediaan Farmasi II dan Laboratorium Farmakognosi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara pada bulan Februari hingga Juni 2016.

3.1 Alat- alat yang digunakan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Blender (Philips), corong pisah, cawan porselen, penjepit tabung, cawan porselen berdasar rata, desikator, rotary evaporator (Haake D), mikroskop, kertas saring, oven (Memmert), pipet tetes, neraca kasar, penangas air, ayakan mesh 12, mesh 20, mesh 100, batang pengaduk, hardness tester (Copley), lemari pengering, mesin cetak tablet single punch (Erweka), lumpang dan alu, kertas perkamen, neraca analitis (Ohaus), Roche friabilator (Erweka), spatula, spatel, stopwatch dan sejumlah alat gelas lainnya.

3.2 Bahan-bahan yang digunakan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.), etanol 96%, air suling, laktosa,

(38)

polivinilpirolidon (PVP), amilum manihot, natrium karboksimetil selulosa (Na CMC), talkum, Magnesium stearat dan bahan-bahan berkualitas proanalisa : α- naftol, amil alkohol, asam nitrat pekat, asam asetat anhidrat, asam klorida pekat, asam sulfat pekat, besi (III) klorida, bismuth nitrat, iodium, isopropanol, kalium iodida, kloroform, metanol, natrium hidroksida, natrium klorida, n-heksana, raksa (II) klorida, serbuk magnesium, timbal (II) asetat dan toluen.

3.3 Pembuatan Larutan Pereaksi 3.3.1 Pereaksi Mayer

Sebanyak 2,266 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml dan pada wadah lain dilarutkan 50 g kalium iodida dalam 100 ml air suling. 60 ml larutan I dicampurkan dengan 10 ml larutan II dan ditambahkan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM RI, 1995).

3.3.2 Pereaksi natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8,002 g natrium hidroksida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml (Ditjen POM RI, 1979).

3.3.3 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dan 2 g iodium dilarutkan dalam air suling secukupnya hingga 100 ml (Ditjen POM RI, 1995).

3.3.4 Pereaksi Dragendorff

Pereaksi dibuat dua larutan persediaan : (1) 0,6 g bismut nitrat dalam 2 ml HCl pekat dan 10 ml air; (2) 6 g kalium iodida dalam 10 ml air. Larutan persediaan ini dicampur dengan 7 ml HCl pekat dan 15 ml air (Harborne, 1987).

(39)

3.3.5 Pereaksi besi (III) klorida 1%

Sebanyak 1 g besi (III) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml, lalu disaring (Ditjen POM RI, 1979).

3.3.6 Pereaksi asam klorida 2 N

Asam klorida pekat sebanyak 16,6 ml ditambahkan air suling sampai 100 ml (Ditjen POM RI, 1979).

3.3.7 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling bebas karbon dioksida hingga 100 ml (Ditjen POM RI, 1995).

3.3.8 Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 10 tetes asam asetat anhidrat dicampur dengan 1 tetes asam sulfat pekat. Ditambahkan dengan hati-hati asetat anhidrida ke dalam campuran tersebut, didinginkan (Ditjen POM RI, 1995)

3.3.9 Pereaksi Molisch

Sebanyak 3 g alfa naftol dilarutkan dalam 15 ml etanol 95 % ditambahkan dengan asam nitrat 0,5 N secukupnya hingga diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM RI, 1995).

3.3.10 Pereaksi kloralhidrat

Pereaksi kloralhidrat dibuat dengan cara melarutkan kloralhidrat sebanyak 50 g dalam 20 ml air (Ditjen POM RI, 1995).

3.4 Pembuatan Bahan Pengikat 3.4.1 Pasta amilum manihot

Amilum manihot ditimbang sesuai jumlah yang dibutuhkan dimasukkan

(40)

kedalam beaker glass ditambahkan sama banyak air suling sehingga terbentuk seperti suspensi. Kemudian dipanaskan langsung dengan api sambil diaduk-aduk sampai mendidih hingga terbentuk pasta. Ditimbang dan dicek bobotnya, dicukupkan dengan air suling panas sehingga diperoleh massa amilum manihot yang dibutuhkan (Cartensen, 1977).

3.4.2 Pasta Na CMC

Na CMC ditimbang sesuai jumlah yang dibutuhkan, dikembangkan CMC dengan cara ditabur merata diatas permukaan air suling yang telah dipanaskan, setelah semua CMC terbasahi lalu di aduk dengan cepat hingga terbentuk suspensi yang homogen (Setiadi, 2013).

3.4.3 PVP (polivinilpirolidon)

PVP ditimbang sesuai jumlah yang dibutuhkan dimasukkan kedalam beaker glass ditambahkan sama banyak etanol 96% sehingga PVP terlarut.

Diaduk perlahan-lahan hingga etanol menguap.

3.5 Prosedur kerja

3.5.1 Pengumpulan bahan tanaman

Pengambilan bahan tanaman dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan tanaman yang sama dengan daerah lain. Bahan tanaman yang digunakan adalah rimpang temulawak yang diperoleh dari daerah Pematang Raya, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.

3.5.2 Identifikasi tanaman

Identifikasi bahan tanaman dilakukan di “Herbarium Medanense”, Universitas Sumatera Utara. Hasil Identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1.

(41)

3.5.3 Pembuatan simplisia

Rimpang temulawak yang masih segar di sortasi dan ditimbang, dicuci bersih dari pengotor dengan air dan ditiriskan, selanjutnya rimpang diiris melintang dengan ketebalan 2-5 mm, kemudian dikeringkan di lemari pengering dengan suhu ±40o, irisan rimpang temulawak yang telah kering ditandai dengan rapuh saat dipatahkan. Kemudian simplisia diserbuk menggunakan blender sehingga diperoleh serbuk simplisia dan disimpan dalam wadah yang tertutup rapat (Meilisa, 2009). Gambar simplisia dan serbuk simplisia dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.6 Karakterisasi Simplisia 3.6.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia rimpang temulawak dengan mengamati bentuk, bau, rasa dan warna.

3.6.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia rimpang ekstrak temulawak. Serbuk simplisia ditaburkan di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, kemudian diamati di bawah mikroskop. Untuk pati dilihat dalam air (Meilisa, 2009). (Hasil dapat dilihat pada Lampiran 3).

3.6.3 Penetapan kadar air a. Penjenuhan toluen

Sebanyak 200 ml toluen dimasukkan ke dalam labu alas bulat, lalu ditambahkan 2 ml air suling, kemudian alat dipasang dan dilakukan destilasi

(42)

selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama ± 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.

b. Penetapan kadar air simplisia

Labu berisi toluen tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, dipanaskan hati-hati selama 15 menit, setelah toluene mendidih, kecepatan toluen diatur 2 tetes per detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes per detik dan setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen.

Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kadar air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO., 1998).

3.6.4 Penetapan kadar sari larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air- kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dengan menggunakan botol bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam dan disaring. Sebanyak 20 ml filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara.

Residu dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC sampai diperoleh bobot tetap.

Kadar sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI., 1995).

3.6.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml

(43)

etanol 96 % dengan menggunakan botol bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam dan disaring. Sebanyak 20 ml filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Residu dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC sampai diperoleh bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI., 1995).

3.6.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2,5 g serbuk simplisia yang telah digerus dan ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Kurs porselin bersama isinya dipijarkan perlahan hingga arang habis, didinginkan, ditimbang sampai diperoleh bobot yang tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM RI, 1995).

3.6.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut asam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total dididihkan dengan 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam dikumpulkan, disaring dengan kertas saring, lalu cuci dengan air panas. Residu dan kertas saring dipijarkan sampai diperoleh bobot yang tetap, dinginkan, dan ditimbang beratnya.

Kadar abu yang tidak larut asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM RI, 1995).

3.7 Pembuatan Ekstrak

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Cara kerja :

(44)

Sebanyak 900 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 75 bagian pelarut (6,75 liter ) etanol 96%, dimasukkan ke dalam bejana bertutup dan dibiarkan pada suhu kamar selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, kemudian setelah 5 hari hasil maserasi disaring dan diperas. Ampas ditambah dengan cairan penyari etanol 96% hingga diperoleh 100 bagian (9 liter) maserat kemudian dibiarkan di tempat sejuk dan terlindung dari cahaya selama 2 hari dan dienaptuangkan atau saring (Ditjen POM RI, 1979). Seluruh maserat digabungkan lalu diuapkan dengan alat rotary evaporator pada temperatur kurang lebih 40o C dan diperoleh ekstrak etanol kental Bagan pembuatan ekstrak etanol secara maserasi dapat dilihat pada Lampiran 4.

Rendemen dari ektrak kemudian dihitung dengan rumus:

% Rendemen = berat ekstrak yang diperoleh

berat bahan yang diekstrak x 100%

3.8 Skrining Fitokimia Ekstrak Temulawak

Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terkandung di dalam ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza).

Golongan senyawa kimia yang diperiksa meliputi senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, tanin dan steroid/triterpenoid.

3.8.1 Pemeriksaan alkaloida

Ekstrak ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanasakan di atas penangas air selama 2 menit.

Didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan sebagai berikut : a. Filtrat sebayak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Meyer,

(45)

b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam.

c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Dragendorff, akan terbentuk endapan merah atau jingga.

Ekstrak mengandung alkaloida jika sekurang-kurangnya terbentuk endapan dengan menggunakan dua golongan larutan percobaan yang digunakan.

Tetapi jika reaksi 1 dan 2 hanya terjadi kekeruhan dilanjutkan pemeriksaan berikut:

Sebanyak 8 ml filtrat ditambahkan 2 ml ammonia pekat dan dikocok dengan 5 ml campuran eter-kloroform (3:1) dan dibiarkan memisah, diambil lapisan eter- kloroform, ditambahkan sedikit natrium sulfat anhidrat, disaring dan diuapkan filtrat di dalam gelas arloji di atas penangas air, dilarutkan residunya dengan sedikit HCl 2N. Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling banyak dua dari tiga percobaan di atas (Farnsworth, 1966).

3.8.2 Pemeriksaan flavonoida

Sebanyak 0,5 g ekstrak ditambahkan 20 ml air panas, dididihkan selama 10 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif jika terjadi warna merah, kuning, jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966).

3.8.3 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok selama 10 detik, jika terbentuk busa setinggi 1 sampai 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak

(46)

hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Ditjen POM RI, 1995).

2.8.4 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g ekstrak disari dengan 10 ml air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1 %. Jika terjadi warna hijau, biru, atau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.8.5 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 gram ekstrak disari dengn 30 ml campuran etanol 95% dengan air suling (7:3), fitambahkan asam sulfat pekat hingga diperoleh pH 2, kemudian direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Sebanyak 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3), dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Kumpulan sari air diuapkan dengan temperatur tidak lebih dari 50 oC. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol.

Larutan sisa dipakai untuk percobaan berikut:

a. Larutan sisa dimasukkan ke dalam tabung reaksi selanjutnya diuapkan di atas penangas air, pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molish.

Tambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuk cincin ungu pada batas kedua cairan, menunjukkan adanya ikatan gula.

b. Larutan percobaan diuapkan di atas penangas air. Larutkan sisa dalam 5 ml asam asetat anhidrat. Tambahkan 10 tetes asam sulfat pekat, akan terjadi warna biru atau hijau, menunjukkan adanya glikosida (Ditjen POM., 1995).

(47)

3.8.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Sebanyak 1 g sampel dimaserasi dengan n-heksana selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbul warna biru atau hijau menunjukkan adanya steroid dan timbul warna merah, pink atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid (Farnsworth, 1966).

3.9 Formula Sediaan Tablet

Tablet dibuat dengan menggunakan metode granulasi basah sebanyak 9 formula berbeda yang masing-masing terdiri dari 100 tablet. Perbedan masing- masing formula terdapat pada jenis serta konsentrasi bahan pengikat pada setiap formula, yaitu: mucillago amilum (10, 12, 14)%, Natrium CMC (2, 4, 6)%, dan PVP (4, 5, 6)%. Masing-masing tablet dibuat dengan bobot 625 mg dan diameter tablet sebesar 13 mm.

3.9.1 Formula tablet ekstrak rimpang temulawak

R/ Ekstrak kering rimpang temulawak 375 mg

Pengikat x

Talk 1%

Magnesium stearat 1%

Laktosa ad 625 mg

m.f tab dtd No C Keterangan x :

F1 = Formula tablet ekstrak temulawak dengan konsentrasi amilum 10%

F2 = Formula tablet ekstrak temulawak dengan konsentrasi amilum 12%

F3 = Formula tablet ekstrak temulawak dengan konsentrasi amilum 14%

F4 = Formula tablet ekstrak temulawak dengan konsentrasi Na CMC 2%

F5 = Formula tablet ekstrak temulawak dengan konsentrasi Na CMC 4%

F6 = Formula tablet ekstrak temulawak dengan konsentrasi Na CMC 6%

F7 = Formula tablet ekstrak temulawak dengan konsentrasi PVP 4%

F8 = Formula tablet ekstrak temulawak dengan konsentrasi PVP 5%

F9 = Formula tablet ekstrak temulawak dengan konsentrasi PVP 6%

(48)

Formula tablet ekstrak rimpang temulawak dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut :

Tabel 3.1 Formula tablet esktrak rimpang temulawak per satuan tablet

Bahan Jumlah (mg)

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9

Ekstrak

kering 375 375 375 375 375 375 375 375 375

PVP - - - 25 31,25 37,5

CMC - - - 3,75 7,5 11,25 - - -

Amilum 18,75 22,5 26,25 - - - -

Talkum 6,25 6,25 6,25 6,25 6,25 6,25 6,25 6,25 6,25 Mg stearat 6,25 6,25 6,25 6,25 6,25 6,25 6,25 6,25 6,25 Laktosa 218,75 215 211,25 233,75 230 226,25 212,5 206,25 200 Jumlah 625 625 625 625 625 625 625 625 625

3.9.2 Pembuatan ekstrak kering temulawak

Ekstrak kental temulawak dikeringkan dengan menambahkan sedikit demi sedikit amilum manihot perbandingan 1:2 hingga diperoleh ekstrak kering, lalu disimpan dalam lemari pengering.

3.9.3 Pembuatan tablet ekstrak temulawak

Pembuatan sediaan tablet dilakukan dengan menggunakan metode granulasi basah dimana zat berkhasiat, zat pengisi (laktosa) dan zat penghancur (pada penelitian ini, amilum pada pengeringan ekstrak kental juga dianggap sebagai bahan pengembang) dicampur baik-baik, lalu dibasahi dengaan larutan bahan pengikat. Setelah itu diayak menjadi granul dan dikeringkan dalam lemari pengering pada suhu 40-50oC. Setelah kering diayak lagi untuk memperoleh granul dengan ukuran yang diperlukan dan ditambahkan bahan pelicin dan dicetak menjadi tablet dengan mesin tablet (Anief, 1993).

(49)

Massa granul diuji preformulasi meliputi waktu alir, sudut diam dan indeks tap. Dicetak menjadi tablet dengan bobot tablet 625 mg dan diameter 13 mm.

3.10 Uji Preformulasi 3.10.1 Sudut diam granul

Penentuan sudut diam granul dilakukan dengan cara:

Ditimbang 100 g granul kemudian dimasukkan ke dalam corong alir yang telah dirangkai, permukaan granul diratakan, lalu penutup corong dibuka, sehingga granul mengalir sampai habis. Tinggi tumpukan granul yang terbentuk diukur. Sudut diam dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Tg θ= 2H D

Granul yang mempunyai daya alir bebas akan mempunyai sudut diam antara 20°

sampai 40° (Banker dan Anderson, 1994).

3.10.2 Waktu alir granul

Penentuan waktu alir granul dilakukan dengan cara: Ditimbang 100 g granul, kemudian dimasukkan ke dalam corong yang telah dirangkai kemudian permukaanya diratakan. Penutup bawah dibuka bersamaan dengan dihidupkan stopwatch. Stopwatch dihentikan tepat pada saat garnul habis melewati corong dan dicatat waktu alirnya. Syarat waktu alir granul lebih kecil dari 10 detik (Voight, 1995).

3.10.3 Indeks tap granul

Penentuan indeks tap dilakukan dengan cara: Dimasukkan granul ke dalam gelas ukur sampai garis tanda dan dinyatakan sebagai volume awalnya (V

0), kemudian gelas ukur dihentakkan sebanyak 20 kali dengan alat yang dimodifikasi

Keterangan : θ = sudut diam

H = tinggi tumpukan granul (cm) D = diameter tumpukan granul

(50)

sehingga diperoleh volume akhir (V

1). Syarat indeks tap lebih kecil dari 20 % (Voight, 1995).

Indeks tap dapat dihitung dengan rumus : Indeks Tap = V

1-V

0

V0

X 100%

3.11 Uji Evaluasi Tablet

Evaluasi tablet yang dilakukan adalah pemeriksaan kekerasan, kerapuhan, waktu hancur , serta keseragaman bobot tablet.

3.11.1 Uji kekerasan tablet

Penetapan kekerasan tablet menggunakan alat hardness tester (Copley).

Cara: Diambil tablet, masing-masing diletakkan pada tempat yang tersedia pada alat dengan posisi tidur, alat diatur, kemudian ditekan tombol start. Pada saat tablet pecah angka yang tertera pada layar digital dicatat. Percobaan ini dilakukan untuk 5 tablet. Syarat kekerasan tablet yaitu: 4-8 kg (Abu-Izza dan Matthew, 2004)

3.11.2 Uji friabilitas tablet

Penetapan friabilitas tablet menggunakan alat Roche friabilator. Cara:

ditimbang 20 tablet yang telah dibersihkan dari, dimasukkan ke dalam alat dan diputar selama 4 menit (100 kali putaran). Setelah batas waktu yang ditentukan tablet dikeluarkan dan dibersihkan dari debu kemudian ditimbang (Banker dan Anderson, 1994). Siregar dan Wikarsa (2010) menjelaskan bahwa persyaratan friabilitas yaitu maksimal 1% untuk tablet konvensional.

Friabilitas dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan :

V0= volume sebelum hentakan V1= volume setelah hentakan

(51)

Friabilitas= A -B

B x 100%

3.11.3 Uji waktu hancur

Penetapan waktu hancur tablet menggunakan alat Disintegration tester.

Alat ini terdiri rangkaian keranjang, gelas piala 1000 ml thermostat dengan suhu 35-39°C dan alat untuk menaik turunkan keranjang dengan frekuensi 29-32 kali per menit. Cara : masukkan 1 tablet pada masing-masing tabung dan keranjang, masukkan 1 cakram pada tiap tabung dan alat, gunakan air bersuhu 37°±2°C, pada akhir batas waktu angkat keranjang dan amati semua tablet: semua tablet harus hancur sempurna, ulangi pengujian dengan 12 tablet lainnya: tidak kurang dari 16 dari 18 tablet yang diuji harus hancur sempurna (Ditjen POM RI, 1995).

3.11.4 Uji keseragaman bobot

Ditimbang 20 tablet, kmudian dihitung bobot rata-rata pada tiap tablet, lalu ditimbang tablet satu persatu.

Deviasi = Bobot tablet – bobot rata-rata

bobot rata-rata x 100%

Persyaratan tidak boleh lebih dari 2 tablet yang masing-masing bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata dari harga yang ditetapkan pada kolom A dan tidak boleh satu tablet yang menyimpang dari bobot rata-rata dari harga yang ditetapkan pada kolom B. Jika tidak mencukupi 20 tablet, dapat digunakan 10 tablet dengan persyaratan: Tidak satu tabletpun yang bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot rata-rata yang ditetapkan pada kolom A dan kolom B (Ditjen POM RI, 1979).

Keterangan : A = bobot sebelum

B = bobot sesudah

(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Sampel

Hasil identifikasi tanaman yang dikirim ke Laboratorium Herbarium Medanese, Universitas Sumatera Utara, menyatakan bahwa tumbuhan yang digunakan adalah rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb,) dari famili Zingiberaceae.

4.2 Hasil Pemeriksaan Karakterisasi

Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia rimpang temulawak yang meliputi hasil uji organoleptis dan makroskopik rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) menunjukkan bahwa rimpang berbentuk bulat memanjang, warna kuning di bagian luar, warna daging kuning kecoklatan, dengan panjang rimpang kurang lebih 5-9 cm. Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia diperoleh bentuk rajangan warna kuning kecoklatan, berbau khas, rasa pahit, getir dan sedikit pedas, serta permukaan luar berkerut.

Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia rimpang temulawak dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia rimpang temulawak

No Parameter Hasil diperoleh(%) MMI

1 Kadar Air 7,19% < 10%

2 Kadar sari larut air 28,65% < 8,9%

3 Kadar sari larut etanol 22,23% < 3,5 %

4 Kadar Abu Total 13,99% < 4,4%

5 Kadar Abu Tidak Larut Asam 0,70% < 0,74%

(53)

Penetapan kadar air pada simplisia temuulawak dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang terkandung dalam simplisia yang digunakan. Kadar air simplisia ditetapkan untuk menjaga kualitas simplisia karena kadar air berkaitan dengan kemungkinan pertumbuhan jamur/kapang. Hasil penetapan kadar air diperoleh lebih kecil dari 10% yaitu 7,19%. Kadar air yang melebihi 10% dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan mikroba, keberadaan jamur atau serangga, serta mendorong kerusakan mutu simplisia (WHO., 1998).

Penetapan kadar sari dilakukan menggunakan dua pelarut, yaitu air dan etanol. Penetapan kadar sari larut air adalah untuk mengetahui kadar senyawa kimia bersifat polar yang terkandung di dalam simplisia, sedangkan kadar sari larut dalam etanol dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa larut dalam etanol, baik senyawa polar maupun non polar. Hasil karakterisasi simplisia rimpang temulawak menunjukkan kadar sari yang larut dalam air sebesar 28,65%, sedangkan kadar sari yang larut dalam etanol sebesar 22,23 %. Menurut pesryaratan kadar sari yang larut dalam air tidak kurang dari 8,9% dan kadar sari yang larut dalam etanol tidak kurang dari 3,5% (Depkes RI., 2000).

Penetapan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui kandungan mineral setelah pemijaran yang meliputi baik abu fisiologis yang berasal dari jaringan tanaman itu sendiri yang terdapat di dalam sampel maupun yang non fisiologis yang merupakan residu dari proses pengkestraksian (WHO., 1998). Kadar abu tidak larut asam untuk menunjukkan jumlah silikat, khususnya pasir yang ada pada simplisia dengan cara melarutkan abu total dalam asam klorida (WHO., 1998). Penetapan kadar abu pada simplisia rimpang temulawak menunjukkan kadar abu total sebesar 13,99% dan kadar abu tidak larut dalam asam sebesar

Gambar

Tabel 2.1 Persyaratan keseragaman bobot
Tabel 3.1 Formula tablet esktrak rimpang temulawak per satuan tablet
Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia rimpang temulawak
Tabel 4.3 Hasil uji sudut diam granul  Uji  pre-formulasi  Formula   Persyaratan F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9  Sudut  diam  (  o  )  36,13  37,23  35,75  28,37  27,02  25,64  26,10  28,81  29,69  20 o -40 o
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

169 Emulator Aplikasi Game Java Pada Handphone Yang Dijalankan Pada Komputer PDF 170 Aplikasi Jaringan Saraf Tiruan Untuk Prakiraan Beban Listrik Se Malang Raya PDF 171 Rancang

[r]

modul aplikasi yang berguna untuk melakukan penawaran barang dapat digunakan dengan baik.. modul aplikasi yang berguna untuk menampilkan reporting penawaran barang dapat

[r]

Peningkatan Lembaga Usaha Industri Forum Rembug Klaster FPESD Jawa Tengah, Sekretariat ( Minus 23,75%) Pelaksanaan Pelatihan Teknis bagi Klaster pisang raja bulu Kendal

Berdasarkan temuan hasil penelitian mengenai pengaruh supervisi akademik dan kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru dalam pengelolaan pembelajaran di SDN