SISTEM HUKUM INDONESIA
JURNAL ILMIAH
Oleh :
MUH. FAISAL RAHMAN HAKIM D1A017188
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM 2021
KONSEP HUKUM TENTANG APLIKASI E-COMMERCE MENURUT SISTEM HUKUM INDONESIA
JURNAL ILMIAH
Oleh :
MUH. FAISAL RAHMAN HAKIM D1A017188
MUH. FAISAL RAHMAN HAKIM D1A017188
Fakultas Hukum Universitas Mataram ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan konsep hukum tentang aplikasi e-commerce menurut sistem hukum Indonesia, dan untuk mengetahui penyelesaian sengketa jika terjadi wanprestasi dalam jual beli melalui aplikasi e- commerce ini. Penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya dalam hukum perjanjian yang berkaitan dengan konsep hukum, jual beli melalui aplikasi e-commerce dan bagaimana penyelesaian sengketa jika terjadi wanprestasi dalam jual beli melalui aplikasi e-commerce. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif-empiris dengan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan yuridis sosiologis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bagaimana konsep hukum aplikasi e-commerce menurut sistem hukum Indonesia, dimana aplikasi e- commerce ini sebagai media perantara yang mempertemukan antara penjual dan pembeli yang ingin melakukan perbuatan hukum
Kata kunci: Aplikasi E-commerce, Konsep Hukum, Penyelesaian Sengketa THE LEGAL CONCEPT OF E-COMMERCE APPLICATIONS
ACCORDING TO THE INDONESIAN LEGAL SYSTEM ABSTRACT
This research aims to explain the legal concept of e-commerce application according to Indonesia legal system and to find out the dispute resolution when there is default in buying and selling through e-commerce application. This research has utility to develop science specifically in agreement law related with legal concept in buying and selling through e-commerce application and how the dispute resolution if there is default in buying and selling through e-commerce application. The method of this research is normative-empirical legal research using statute, conceptual, and sociological approaches. The result of this research experienced that legal concept of e-commerce application according to Indonesia legal system where e-commerce application as an intermediary media that bring together sellers and buyers who want to take legal action.
Keywords: E-commerce Applications, Legal Concept, Dispute Resoluti
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara hukum sebagaimaa yang di amanatkan dalam Pasal 2 ayat (3) UUD 1945.1 Hal ini berarti bahwa segala aspek kehidupan bernegara harus didasarkan pada hukum. Akan tetapi pada kenyataannya, ada beberapa hal yang sampai saat ini tidak jelas pengaturannya yang disebabkan oleh perkembangan zaman dan diikuti pula oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta perilaku hidup yang ada di masyarakat. Sehingga menimbulkan banyak penafsiran- penafsiran akan hal tersebut karena tidak ada aturan yang secara eksplisit mengatur hal tersebut.
Dalam hal ini salah satunya adalah aplikasi e-commerce, dimana sampai saat ini tidak ada aturan yang jelas yang mengaturnya, apakah aplikasi e-commerce ini dikatergorikan sebagai benda atau bukan, sehingga ia bisa di jual belikan dan/atau di sewakan. Adapun pokok permasalahannya yaitu bagaimana konsep hukum aplikasi e- commerce menurut sistem hukum Indonesia serta bagaimana legalitasnnya. Di
Indonesia sendiri perkembangan e-commerce sangat pesat, dimana bisa kita lihat dari banyaknya inovasi-inovasi aplikasi yang menyediakan jasa e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, Lazada dan lain sebagainya.
Secara umum, perdagangan elektronik atau yang biasa disebut e-commerce adalah penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran, barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet, televise, world wide web (www), atau jaringan komputer
1 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat (3).
lainnya yang dimana perdagangan elektronik ini juga melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis. Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyatakan bahwa,2 “Sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkam, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik.” E-commerce menghubungkan pelaku usaha, konsumen, dan komunitas lainnya melalui transaksi elektonik untuk melakukan perdagangan barang, jasa, dan informasi lainnya. Kondisi ini menyebabkan jarak bukan lagi hambatan.
Namun pada kenyataannya, dalam praktiknya aplikasi e-commerce ini ternyata banyak terjadi sengketa-sengketa seperti wanprestasi, penipuan, barang yang cacat, akun bodong dan lain sebagainya. Sehingga perlu juga untuk dikaji terkait bagaimana penyelesaian sengketa jika terjadi wanprestasi dalam jual beli melalui aplikasi e- commerce ini.
Dari uraian latar belakang diatas, maka penyusun tertarik untuk mengangkat dua pokok permasalahan yaitu : bagaimana konsep hukum aplikasi e-commerce menurut sistem hukum Indonesia dan bagaiamana penyelesaian sengketa jika terjadi wanprestasi dalam jual beli melalui aplikasi e-commerce.
2 Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, (LNRI No. 58 Tahun 2008 TLNRI No. 4843) Pasal 1 angka (5).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan konsep hukum tentang aplikasi e-commerce menurut sistem hukum Indonesia dan untuk menjelaskan bagaimana cara penyelesaian sengketa jika terjadi wanprestasi dalam jual beli melalui aplikasi e-commerce ini apabila sewaktu-waktu terjadi sengketa.
Untuk menjawab rumusan permasalahan tersebut diatas, penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif-empiris dengan menggunakan tiga metode pendekatan yaitu pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach), pendekatan konseptual (Conceptual Approach), dan pendekatan Yuridis Sosiologis (Sociology Legal Approach). Jenis dan sumber data/bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer, yang mempunyai kekuatan hukum mengikat berupa peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, dan lain sebagainya, selanjutnya bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang dapat menjelaskan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, yang berupa kamus hukum dan ensiklopedia, kemudian data primer yaitu yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau di lapangan, dan data sekunder, yaitu data yang mencakup dokumen- dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya. Teknik pengumpulan data/bahan hukum dilakukan dengan studi kepustakaan, melalui media elektronik, wawancara dan observasi. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif kualitatif menggunakan nalar deduktif yaitu menarik kesimpulan dari yang bersifat umum ke khusus.
II. PEMBAHASAN
A. Konsep Hukum Aplikasi E-commerce Menurut Sistem Hukum Indonesia Sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang dapat diartikan sebagai keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian. Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terdapat suatu pertentangan antara bagian-bagian itu.3 Menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Zainal Asikin Pengantar Tata Hukum Indonesia, bahwa sistem adalah tatanan atau kesatuan yang utuh yang terdiri dari
bagian-bagian atau unsur-unsur yang berkaitan erat satu sama lain yaitu kaidah dan pernyataan tentang apa yang seharusnya sehingga sistem hukum merupakan sistem hukum normatif. Dengan kata lain, sistem hukum adalah kumpulan unsur- unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan kerja sama ke arah tujuan kesatuan.4
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa sistem hukum merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari beberapa komponen- komponen hukum yang berkaitan erat satu sama lain yang memiliki tugas dan fungsi masing-masing untuk mencapai suatu tujuan. Sistem hukum yang dianut oleh Indonesia sendiri adalah sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law.
Adapun Konsep hukum merupakan rancangan ide atau gagasan yang konstruktif dan sistematis yang dijadikan sebagai landasan yang sah untuk
3 Fajar Nurhardianto, Sistem Hukum dan Posisi Hukum Indonesia. Jurnal TAPIs Vol.11 No.1 Januari-Juni 2015, hlm. 35.
4 Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Cet. Ke-3, Rajawali Pers, Jakarta, 2016, hlm. 79.
memahami sebuah aturan hukum agar nantinya tidak terjadi penafsiran yang sembarangan dalam memahami sebuah aturan hukum.
Secara umum, Electronic Commerce atau disingkat e-commerce adalah kegiatan-kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen (consumers), manufaktur (manufactures), services providers dan pedagang perantara (intermediateries) dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer (computernetwork) yaitu internet. Penggunaan sarana internet merupakan suatu kemajuan teknologi yang dapat dikatakan menunjang secara keseluruhan spektrum kegiatan komersial.5 Secara sederhana e-commerce dapat diartikan sebagai aktifitas transaksi jual beli barang dan/atau jasa, servis atau transmisi dana atau data dengan menggunakan elektronik yang terhubung dengan internet.
Dasar hukum yang mengatur tentang e-commerce adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana yang telah diubah ke dalam Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dimana dalam Pasal 1 angka 5 mendefinisakan sebagai berikut:6
“Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik.”
5 Abdul Halim Barkatullah, Hukum Transaksi Elektronik Di Indonesia, Cet. Ke-1, Nusa Media, Bandung, 2017, hlm. 11.
6 Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, (LNRI No. 58 Tahun 2008 TLNRI No. 4843) Pasal 1 angka (5).
Selain itu, di dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang berbunyi:7 “Perdagangan melalui sistem elektronik adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan peosedur elektronik.” Sehingga dapat dikatakan yang dimaksud dengan perdagangan melalui sistem elektronik adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi barang dan/atau jasa di dalam negeri dan melampui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan/atau jasa untuk memperoleh imbalan dan serangkaian kompensasi yang dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.8
E-commerce jika ditinjau dari aspek hukumnya apabila dilihat dari segi
keabsahan perjanjian atau kontrak elektronik, maka e-commerce lahir berdasarkan kontrak jual beli melalui media elektronik antara penjual dan pembeli. Dikarenakan keterbatasan dalam hukum di Indonesia yang belum mengakomodir tentang syarat-syarat sahnya suatu kontrak elektronik secara khusus, maka kembali lagi ke prinsip dasar keberlakuan suatu kontrak di Indonesia yang berpedoman pada Pasal 1320 KUH Perdata, sehingga dapat juga diterapkan di kontrak elektronik. Adapun syarat-syarat sahnya suatu kontrak atau perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah:9
7 Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, (LNRI No. 45 Tahun 2014 TLNRI No. 5512), Pasal 1 angka 24.
8 Made Wahyu Arthaluhur, Perbedaan Perdagangan Elektronik dengan Transaksi Elektronik, https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt56751b3083cb0/perbedaan-perdagangan-elektronik- dengan-transaksi-elektronik/. Diakses pada tanggal 10 April 2021 pukul 15:21 wita.
9 Ardiana Hidayah, Konsep Pembangunan Hukum E-commerce, Jurnal Vol. 17 No. 2 Mei 2019, hlm. 108-109.
1. Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya
Keberadaan suatu unsur kesepakatan dalam e-commerce diukur melalui pembeli yang mengakses dan menyetujui penawaran melalui internet. Hal ini dapat diterjemahkan sebagai penerimaan untuk menyepakati sebuah hubungan hukum. E-commerce ini secara tertuang dalam kontrak baku dengan prinsip take it or leave it, sebab seluruh penawaran beserta persyaratan pembelian suatu produk sudah tercantum dan pembeli dapat menyetujuinya atau tidak. Persetujuan yang diberikan oleh pembeli ini menjadi dasar dari kesamaan kehendak para pihak, sehingga kesepakatan dalam kontrak elektronik lahir.
2. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap menurut hukum adalah orang yang telah dewasa menurut hukum, yaitu seseorang yang telah berumur 21 tahun dan telah kawin, serta tidak di bawah pengampuan. Unsur kecakapan dalam e-commerce sulit untuk diukur, karena setiap orang (tanpa dibatasi dengan umur tertentu) dapat menjalankan transaksi elektronik sesua dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: “Undang-Undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.” Berdasarkan ketentuan
ini, anak-anak yang masih dibawah umur dapat melakukan e-commerce dan tidak memenuhi syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Oleh karena itu, kontrak ini dapat dibatalkan melalui seseorang yang mengajukan pembatalan di pengadilan.
3. Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan dan dapat ditentukan jenisnya. Produk yang ditawarkan secara online melalui e- commerce ini tertuang dalam bentuk gambar atau foto yang disertai dengan
spesifikasi produk tersebut dengan jelas dan detail. Namun, tidak ada jaminan bahwa produk tersebut pasti dikirimkan kepada pembeli sekalipun telah membayar melalui sistem pengiriman uang atau transaksi elektronik.
4. Suatu Sebab Yang Halal
Maksud dari suatu sebab yang halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan kepentingan umum. Dalam e-commerce harus dipastikan bahwa transaksi jual beli dilakukan dengan prinsip itikad baik oleh penjual dan pembeli. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka kontrak elektronik tersebut batal demi hukum.
Berdasarkan uraian tersebut, maka e-commerce secara hukum telah sah jika telah memenuhi syarat sah perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif, sebab melekat pada pihak-pihak yang terlibat dalam e-commerce. Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, karena melekat pada objek dalam e-commerce. Apabila syarat
subjektif ini tidak terpenuhi, maka kontrak elektronik tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang berkepentingan. Sedangkan apabila syarat objektif ini tidak terpenuhi, maka kontrak elektronik tersebut batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada.
Dasar hukum dalam e-commerce memiliki dasar hukum yang sama dengan perdagangan biasa (perdagangan konvensional atau jual beli biasa). Akan tetapi, e-commerce juga merupakan perdagangan konvensional yang bersifat khusus
karena sangat dominan peranan media dan alat-alat elektronik.
Adapun jika ditinjau berdasarkan hukum kebendaan, hukum benda adalah keseluruhan aturan normatif hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum antara sesama subjek hukum yang berkenaan dengan benda hak-hak kebendaan.10 Berdasarkan Pasal 499 KUH Perdata yang menjelaskan definisi dari benda adalah sebagai berikut: “Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah, tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.” Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa aplikasi e-commerce ini merupakan suatu benda karena dapat dimiliki oleh hak milik.
Sehingga bisa di juall belikan dan/atau disewakan.
Menurut perspektif hukum kebendaan, dapat dipahami bahwa, apakah aplikasi e-commerce ini sebagai benda atau bukan, dimana aplikasi e-commerce ini termasuk ke dalam benda berdasarkan Pasal 499 KUH Perdata karena ia bisa dimiliki oleh hak milik dan masuk kedalam kategori benda tidak bergerak
10 Dominikus Rato, Loc. Cit.
berdasarkan sifatnya berdasarkan Pasal 504 KUH Perdata karena aplikasi e- commerce ini merupakan software atau perangkat lunak yang ada di dalam
sebuah jaringan atau sistem sehingga tidak dapat dipindah-pindah. Selain itu aplikasi e-commerce ini juga termasuk kedalam benda yang tidak berwujud berdasarkan Pasal 503 KUH Perdata karena bentuknya yang abstrak dan tidak dapat di lihat secara ilmiah. Dengan demikian aplikasi e-commerce ini bisa disewakan dan/atau dijual belikan karena termasuk kedalam benda yang tidak bergerak berdasarkan sifatnya dan termasuk ke dalam benda tidak berwujud.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa konsep hukum aplikasi e-commerce adalah sebuah aplikasi dimana bertindak sebagai media perantara saja yang mempertemukan antara penjual dan pembeli yang ingin melakukan perbuatan hukum, bukan berarti pihak aplikasi e-commerce ini yang menjual barang termasuk mengirim dan menyiapkan barang melainkan hanya sebagai media perantara saja yang memfasilitasi penjual dan pembeli. Adapun legalitas dari e-commerce ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.
B. Penyelesaian Sengketa Jika Terjadi Wanprestasi Dalam Jual Beli Melalui
Aplikasi E-commerce
Transaksi e-commerce di dunia maya dimungkinkan terjadi sengketa seperti halnya sengketa yang terjadi dalam suatu hubungan hukum yang dilakukan secara konvensional. Semakin banyak dan luas kegiatan perdagangan di aplikasi e-commerce, maka frekuensi terjadinya sengketa semakin tinggi, hal ini berarti akan banyak sengketa yang harus diselesaikan. Sengketa ini dapat terjadi karena wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Sengketa- sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non litigasi). Namun demikian bahwa e-commerce ini dilahirkan dengan maksud untuk meniadakan hambatan-hambatan dalam model transaksi yang konvensional, berupa pertemuan langsung, sehingga dibatasi oleh waktu dan tempat, serta diperlukan kertas-kertas sebagai suatu dokumen. Model e- commerce dalam hal ini dapat dilakukan secara non face dan non sign.
Penyelesaian sengketa e-commerce pada dasarnya termasuk ke dalam ranah hukum perjanjian sehingga berlaku asas kebebasan berkontrak, artinya bahwa para pihak bebas melakukan pilihan hukum dan pilihan forum untuk penyelesaian sengketa yang akan dipakai apabila terjadi sengketa keperdataan diantara mereka.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa yang terjadi dalam aplikasi e-commerce cenderung menggunakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Mediasi menjadi salah satu cara yang
paling sering digunakan dan dipilih oleh para pihak yang bersengketa dalam aplikasi e-commerce. Melalui pihak ketiga yang netral akan duduk bersama-sama dengan para pihak yang bersengketa dan secara aktif membantu para pihak dalam upaya menemukan kesepakatan yang adil dan memuaskan bagi kedua belah pihak. Dalam proses mediasi, seorang mediator dalam hal ini adalah pihak aplikasi e-commerce hanya berperan sebagai fasilitator lebih condong kepada membantu merumuskan kesepakatan damai antara para pihak yang bersengketa dengan posisi netral dan tidak mengambil keputusan.
III. PENUTUP Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka penyusun dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. konsep hukum aplikasi e-commerce adalah sebuah aplikasi dimana bertindak sebagai media perantara saja yang mempertemukan antara penjual dan pembeli yang ingin melakukan perbuatan hukum, bukan berarti pihak aplikasi e- commerce ini yang menjual barang termasuk mengirim, packing barang
melainkan hanya sebagai media perantara saja yang memfasilitasi penjual dan pembeli. Adapun legalitas dari e-commerce ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.
Penyelesaian sengketa dalam penggunaan aplikasi e-commerce lebih banyak menggunakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan karena lebih cepat, praktis, dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Dimana penyelesaiannya dilakukaan secara damai yaitu menggunakan pola penyelesaian mediasi. Mediasi merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai mediator. Mediator tidak memiliki wewenang untuk mengambil
keputusan dan bersifat netral untuk menfasilitasi para pihak yang bersangkutan guna menemukan solusi terbaik untuk kedua belah pihak yang bersengketa.
Adapun yang menjadi mediator dalam hal ini adalah pihak penyedia layanan e- commerce itu sendiri.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, adapun saran-saran penulis dalam skripsi ini sebagai berikut :
1. Mengingat bahwa perkembangan e-commerce di Indonesia sangat pesat apalagi di era globalisasi yang sekarang, maka sudah seharusnya pemerintah membuat regulasi yang jelas untuk mengatur terkait dengan aplikasi e-commerce yang sampai saat ini masih tidak ada aturan yang jelas yang mengaturnya. Sehingga perlu kiranya pemerintah bergerak cepat untuk membuat konsep dan regulasi tentang aplikasi e-commerce ini guna untuk mengaturnya demi tercapainya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
2. Pemerintah seyogyanya membuat regulasi khusus yang mengatur semua tentang e-commerce baik dari tata cara, mekanisme, cara penyelesaian sengketa dan
sanksinya agar lebih teratur secara spesifik dan tidak tumpang tindih. Sehingga akan mempermudah masyarakat dalam melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan e-commerce untuk menjadi pedoman dan rujukan dalam melakukan kegiatan myang berkaitan dengan e-commerce guna mencapai
kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
DAFTAR PUSTAKA Buku
Abdul Halim Barkatullah, 2017,Hukum Transaksi Elektronik Di Indonesia, Cet.
Ke-1, Nusa Media, Bandung.
Dominikus Rato, 2016, Hukum Benda dan Harta Kekayaan Adat, Laksbang Yustitia, Surabaya.
Zainal Asikin, 2016, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Cet. Ke-3, Rajawali Pers, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. LN No. 58 Tahun 2008, TLN No. 4883.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. LN Nomor 45 tahun 2014, TLN Nomor 5512.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. LN No. 138 tahun 1999, TLN No. 3872.
Jurnal
Ardiana Hidayah, Konsep Pembangunan Hukum E-commerce, Jurnal Vol. 17 No. 2 Mei 2019, hlm. 108-109.
Fajar Nurhardianto, Sistem Hukum dan Posisi Hukum Indonesia. Jurnal TAPIs Vol.11 No.1 Januari-Juni 2015.
Kamus
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), http://kbbi.web.id/. Diakses pada tanggal 5 April 2021 pukul 10:08 wita.
Artikel
Made Wahyu Arthaluhur, Perbedaan Perdagangan Elektronik dengan Transaksi Elektronik,https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt56751b3083cb0/
perbed aan-perdagangan-elektronik-dengan-transaksi-elektronik/. Diakses pada tanggal 10 April 2021 pukul 15:21 wita.