• Tidak ada hasil yang ditemukan

Swara Rahima. No. 3 Th. I, November 2001 Swara Rahima -1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Swara Rahima. No. 3 Th. I, November 2001 Swara Rahima -1"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

No. 3 Th. I, November 2001 Swara Rahima -1-1-1-1-1

Swara Rahima

(2)

2- 2- 2- 2-

2-Swara Rahima No. 3 Th. I, November 2001

Swara Rahima

FOKUS

Pemimpin Perempuan

dalam Wacana Agama dan politik Dialektika Kepemimpinan Perempuan dalam Islam

OPINI

Pemimpin Perempuan : Kontroversi Dalam Ruang Politik Patriaki!.

Wawancara dengan DR. Chusnul Mar’iyyah

FIKRAH

Konsep Darurat Dalam Fikih Kita Oleh: Marzuki Wahid

TEROPONG DUNIA

Kepemimpinan Perempuan di Bangladesh:

(Bukan) Simbol Kemenangan Gerakan Perempuan?

DUNIA PEREMPUAN Kepemimpin Perempuan dan Otonomi Diri

Oleh: Neng Dara Affiah

OBROLAN

Obrolan dengan DR. Martin Van Bruinessen:

“Tantangan Melahirkan Urf Baru”

DaftarIsi

7

14

21 24 26 28

30 34

36 37 39 42

TANYA JAWAB

Warisan Anak Perempuan:

Syari’at “Satu Banding Satu” ?

KIPRAH

z Pemimpim Perempuan : “Bukan Bagian dari Gerakan Perempuan?”

z Menuju Pendidikan Islam Berkeadilan Gender

INFO

Pengakuan Thaliban

tentang Perlakuan terhadap Perempuan

KHAZANAH

Kepemimpinan Perempuan dan Ambiguitas Politik Islam

TAFSIR AL-QUR’AN Sekali Lagi:

Pemimpin Perempuan!

Oleh: KH. Hussein Muhammad

DIRASAH HADIS Hadis-hadis Tentang Kepemimpinan Perempuan Oleh: Faqihuddin A. Qodir, MA.

REFLEKSI

Tolong Jawab Saya ! Oleh: Nefisra Viviani

KIPRAH KIPRAH

Diskusi Reguler Rahima tentang Kepemimpinan

Perempuan.

Hal. 30

Suasana Pelatihan Gender di Jember yang di adakan oleh Rahima.

Hal. 31

(3)

No. 3 Th. I, November 2001 Swara Rahima -3-3-3-3-3

Swara Rahima

ASSALAMU’ALAIKUM WR.WB.

ASSALAMU’ALAIKUM WR.WB.ASSALAMU’ALAIKUM WR.WB.

ASSALAMU’ALAIKUM WR.WB.ASSALAMU’ALAIKUM WR.WB.

Rahima Swara

PEMIMPIN UMUM/

PENANGGUNG JAWAB KH. Hussein Muhammad

PEMIMPIN REDAKSI Farha Ciciek

DEWAN REDAKSI Wahyu Budi Santoso, A.Dewi Eridani, Syafiq Hasyim (non aktif), AD. Kusumaningtyas, Dwi Rubiyanti, Helmy Ali.

REDAKTUR PELAKSANA Nefisra Viviani

REDAKTUR TAMU Faqihuddin Abdul Qodir MA

DEWAN AHLI Prof.Dr. Saparinah Sadli, KH. Muhyiddin Abdussomad, Nyai. Hj. Nafisah Sahal, Dr. Mansour Faqih, Prof.Dr. Azyumardi Azra, Dr. Kamala Chandra Kirana.

ILUSTRASI Mufidz Aziz

DISAINER GRAFIS Maman A. Rahman

PUSDOK Widaningrum

KEUANGAN M. Syafran

DISTRIBUSI Imam Siswoko, Sanim.

JARINGAN Emma Marhummah (Yogyakarta), Djudju Zubaidah (Tasikmalaya), Mahrus El Mawa (Cirebon), Ruqayyah Ma’shum (Bondowoso), Kholillah Mawardi (Jepara), Hindun (Mataram), Zohra A. Baso (Makasar).

Jl. Pancoran Timur IIA No. 10 Perdatam Pasar Minggu Jakarta Selatan Telp. 021-7984165 Fax. 021 - 798 2955 Email:rahima2000@cbn.net.id Website: www.rahima.or.id

SWARA RAHIMA adalah majalah berkala terbitan Yayasan RAHIMA untuk memenuhi kebutuhan dia- log dan informasi tentang Islam dan hak-hak perem- puan. SWARA RAHIMA berusaha menghadirkan fakta dan analisis berita, serta wacana Islam, gender dan hak-hak perempuan. SWARA RAHIMA mengharapkan partisipasi melalui saran dan kritik. SWARA RAHIMA juga menanti kiriman tulisan dari pembaca, bagi yang dimuat diberi imbalan ala kadarnya.

Pembaca yang berbahagia,

Bersamaan dengan kehadiran bulan suci Ramadhan, alhamdulillah, syukur kepada Allah, Swara Rahima edisi ke 3 kembali hadir dihadapan anda. Pada kesempatan khusus ini, seluruh keluarga besar Rahima mengucapkan selamat menunaikan ibadah Puasa. Ada harapan yang hadir sebagai do’a di kesempatan mulia ini. Semoga kesu- cian Ramadhan 1422 H ini akan memberi berkat khusus kepada kita semua dimanapun kita berada. Amin ya rabbal alamin

Marhaban ya Ramadhan. Marhaban ya Syahrul kiram.

Seiring kedatangan bulan mulia ini, kami ingin mengajak anda berefleksi tentang jagad kepemimpinan perempuan.

Melalui kebeningan Ramadhan, kami himbau anda untuk menuai berkah melalui proses belajar bersama ini. Untuk itu, sebagai rumah belajar Rahima dan Swara Rahima akan berupaya memberikan yang terbaik bagi pembaca dalam rangka ikhtiar kami untuk menegakan hak-hak perempuan dalam sinaran keadilan.

Pembaca yang kami kasihi

Sekilas telah kami singgung bahwa edisi Swara Rahima kali ini mengangkat sebuah tema yang terbilang klasik yakni masalah kepemimpinan perempuan.

Mengapa ? Bukan semata mata karena mbak Megawati kini telah berhasil menjadi orange nomor satu di Indone- sia tetapi lebih sebagai sebuah bentuk keprihatinan yang mendalam akan kondisi dan posisi kaum perempuan dari masa ke masa.Terutama, sejauh terkait dengan masalah kekuasan dalam (tradisi) agama Islam yang seringkali dianggap kurang berpihak kepada kepentingan perempuan. Semua itu berpusat pada kenyataan bahwa masyarakat Islam masih tunduk pada titah kuasa patriar- ki. Sebuah pranata yang sama sekali tidak mengindahkan keberadaan perempuan.Dalam masyarakat yang didominasi oleh nilai nilai dan praktek hidup yang patriarkis ini, disegala lini kehidupan keberadaan perem- puan selalu disorot dan dikontrol. Tak ada arena yang lolos dari perhatian, mulai dari ruang tidur hingga sing- gasana kepemimpinan.

Oleh sebab itu, dalam soal yang disebut terakhir, mes- kipun fakta sejarah telah menyuguhkan sejumlah kenya- taan bahwa perempuan pemimpin itu sungguh-sungguh ada, hingga kini masih saja terjadi perdebatan tentang boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin. Baik di ranah publik maupun domestik. Beragam alasan dike- mukakan, mulai yang bersifat duniawi (sekular) sampai yang ukhrawi (sakral). Dalam sejarah Islam, masalah

(4)

4- 4- 4- 4-

4-Swara Rahima No. 3 Th. I, November 2001

Swara Rahima

ASSALAMU’ALAIKUM WR.WB.

ASSALAMU’ALAIKUM WR.WB.

ASSALAMU’ALAIKUM WR.WB.

ASSALAMU’ALAIKUM WR.WB.

ASSALAMU’ALAIKUM WR.WB.

kontroversial ini cukup menyita energi sosial masyarakat dalam skala yang luas. Tak jarang malah masalah ini dijadikan katub konflik antar golongan dalam Islam sendiri.

Apalagi jika arena “pertarungan” itu sampai di tingkat negara.

Dari peristiwa kontemporer yang terjadi di Pakistan, ketika Benazir Bhutto terpilih sebagai Perdana menteri, atau peristiwa abad ke 17 ketika sultanah Kamalat Syah dari Aceh lengser, bahkan dari kisah tempo doeloe tentang Ratu Saba’ yang “berserah diri” kepada nabi Sulaiman as sebagaimana diabadikan al-Qur’an, semestinya kita bisa banyak belajar. Mengapa perempuan diha- langi untuk menjadi pemimpin? Apa “salah”

mereka? Mengapa mereka diperlakukan demikian? Bukankah ini sesuatu yang tidak fair?

Pertanyaan yang sejatinya berisi gugatan itu semakin nyaring dan sering terdengar akhir-akhir ini. Untuk itu secara terbuka marilah kita telusuri “medan berbahaya”

bernama dunia politik publik melalui pembacaan yang jujur dan kritis terhadap lingkar kehidupan para pemimpin yang perempuan itu.

Pembaca yang dirahmati Allah Dalam realitas bangsa Indonesia, per- debatan boleh tidaknya perempuan menjadi presiden masih tetap berlangsung meski Megawati telah menduduki pucuk pimpinan negara ini. Padahal jauh-jauh hari sebelum penobatan presiden perempuan Indonesia yang ke 5 ini (dan tampaknya tak banyak orang tahu) pada tahun 1959 Indonesia telah meratifikasi konvensi mengenai hak-hak politik perempuan. Dalam pasal III konvensi tersebut menyebutkan bahwa “Perempuan berhak memegang jabatan publik dan menjalankan semua fungsi publik yang diatur oleh hukum nasional dengan syarat syarat yang sama dengan laki laki tanpa ada diskriminasi” .Di tahun 1979 Indonesia kem- bali menegaskan hak hak perempuan (termasuk hak politik) dengan merativikasi

Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi itu bahkan telah dikukuhkan dalam dunia hukum Nasional dalam bentuk UU NO 7 tahun 1984.

Lalu apa artinya semua ini ? Dalam kehi- dupan berbangsa dan bernegara, kenyataan ini menandaskan bahwa sesungguhnya menjadi pemimpin perempuan adalah sesuatu yang absah dan nyata secara politis maupun empiris. Tetapi ironisnya posisi politik tertinggi bagi kaum perempuan ini masih tetap dipermasalahkan secara teologis. Khususnya bagi perempuan Islam. Jika demikian adanya sebenarnya sejauh mana Islam memberikan hak-hak politik kepada kaum perempuan ? Mengapa Islam menolak perempuan untuk menjadi pemimpin khususnya pemimpin negara? Beberapa kalangan baik yang berlatar belakang sekular maupun religius

“awam” seringkali bertanya demikian. Mereka umumnya beranggapan bahwa secara asali Islam memang melarang perempuan tampil menjadi pemimpin negara.

Akhirul kalam

Sebelum masuk kepembahasan yang lebih rinci tampaknya harus ditegaskan kembali bahwa dalam tradisi Islam tak pernah ada kesepakatan bulat bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin (tertinggi) sebuah negara atau komunitas. Sejarah masa lampau dan hari ini telah membuktikan itu.

Swara Rahima kini menyuguhkan special menu tersebut kehadapan sidang pembaca.

Akhirnya, di penghujung mukaddimah ini, seluruh keluarga besar Rahima mengucap- kan selamat menyambut ’Idul Fitri. Semoga kita semua akan memasuki gerbang hari raya dengan penuh rahmah dan maghfirahNya.

Meneruskan mandat kita sebagai khilafah fil ardh. Meniti jalan baru. Menuju dunia yang lebih peduli kepada keadilan perempuan dan lelaki. Lahir dan batin.

Wassalam Redaksi

(5)

No. 3 Th. I, November 2001 Swara Rahima -5-5-5-5-5

Swara Rahima

SURAT PEMBACA SURAT PEMBACASURAT PEMBACA SURAT PEMBACASURAT PEMBACA

TENTANG JILBAB

Kepada Yth.

Redaksi Swara Rahima

Assalamualaikum Wr.Wb.

Atas nama Pusat Studi Wanita Universitas Is- lam Attahirriyah (PSW UNIAT), rasanya belum terlambat mengucapkan selamat atas terbitnya majalah Swara Rahima sebagai media penegakan hak-hak kaum perempuan.

Ketika saya membaca topik "Jilbab" pada kolom Tafsir Al-Quran, "Aurat Perempuan batasan yang tak bertepi" pada majalah Rahima No. 2 th 1, Agus- tus 2001, saya memperoleh jawaban dari pertanya- an yang selama ini mengganjal di benak saya. Tapi karena bahasannya cukup singkat, saya merasa belum memperoleh jawaban yang jelas dan leng- kap. Bagaimana caranya saya bisa dapat menda- pat jawaban yang lebih komprehensif ? Terima kasih atas segala perhatiannya.

Wassalam

Humairo Fitriah PSW UNIAT

Jl. Melayu Kecil III/15, Bukit Duri Jakarta Selatan 12840 Telp. 829 1018

Anda bisa membaca buku Fiqh perempuan : Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender karya KH. Hussein Muhammad atau buku Hal-Hal yang tak Terpikirkan tentang Isu Keperempuan dalam Islam karya Syafiq Hasyim. Kedua buku itu bisa didapatkan di Rahima.

PROFISIAT ATAS KEHADIRAN SWARA RAHIMA

Kepada Yth.

Redaksi Swara Rahima

Saya baru saja membaca majalah Swara Rahi- ma, edisi no.2, 1 Agustus 2001, tentang syariat Islam dalam kaitan dengan hak perempuan. Isi ma- jalah ini sangat bagus dan berkualitas. Hal ini tentu saja berguna dan menambah wawasan, termasuk bagi saya yang non Islam. Semoga kualitas Swara

Rahima tetap dipertahankan dan membawa pen- cerahan bagi semua orang, baik itu perempuan maupun kaum laki-laki, apapun agamanya dalam rangka membangun kesadaran gender!!!

Daniel B. Kotan

<komkat@kawali.org>

Terima kasih atas apresiasinya !

SWARA RAHIMA UNTUK PIKIR

Kepada Yth.

Redaksi Swara Rahima

Assalamu'aliku wr. wb

Perkenalkan saya Rosmalinda, Kord. Divisi.

Advokasi Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA). Saat kursus metodologi seksulitas yang lalu (September 2001), di hari terakhir saya melihat Mas Irwan Hidayana memegang Swara Rahima.

Sayangnya mas Irwan hanya memiliki satu dan mempersilahkan saya untuk mengontak "Rahima"

langsung untuk bisa memperolehnya.

Melalui e-mail ini saya berharap dapat mempe- roleh Swara Rahima secara regular, mengingat saat ini saya dan teman-teman di Pusat Informasi Kese- hatan Reproduksi dan Jender (PIKIR) yang meru- pakan program PKPA untuk pendidikan kesehatan reproduksi dan Jender sangat membutuhkan me- dia seperti Swara Rahima. Saat ini PIKIR ada di tiga daerah (Langkat, Medan dan Deli Serdang) un- tuk Langkat dan Deli Serdang ada di sekolah se- dangkan di Medan sebagai pusat dapat dihubungi dengan alamat :

Pusat Informasi Kesehatan Reproduksi dan Jender (PIKIR-PKPA)

Jl. Amaliun No 54 Medan 20215 telp (061) 7346717

Kontak person

Rosmalinda atau Siti Khadijah "Kordinator wilayah Medan"

Insya Allah untuk edisi mendatang akan kami kirimi.

(6)

6- 6- 6- 6-

6-Swara Rahima No. 3 Th. I, November 2001

Swara Rahima

INGIN BERLANGGANAN

Kepada Yth.

Redaksi Swara Rahima

Assalamualaikum wr.wb.

Saya sangat bangga dan kagum pada buletin Rahima yang menyajikan isu-isu seputar wacana perempuan dalam konteks keagamaan (agama Is- lam). Cukup lama saya mencari informasi tentang agama Islam yang pro - perempuan dan berkeadilan gender.

Kami yang tinggal di Kendari "kebetulan" terasa sedikit berat dalam berjuang memperbaiki posisi kaum perempuan karena masih kuatnya pemaha- man - pemahaman agama bias gender. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya akses informasi tentang bahan bacaan yang pro perempuan dari sudut pandang agama. Untuk itu, saya ingin me- nanyakan cara berlangganan Swara Rahima agar kami yang jauh di Kendari tidak ketinggalan dalam hal informasinya.

Salam hangat,

Emmy Astuti

<a.emmy@lycos.com>

Kirimkan pada kami alamat lengkap anda. Insya Allah, di masa-masa yang akan datang, anda akan dikirimi Swara Rahima.

MOHON PENGIRIMAN MAJALAH UNTUK KOHATI

Kepada YTH.

Pimpinan Redaksi Swara Rahima di Tempat

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Do'a dan harapan kami semoga segenap staf Swara Rahima senantiasa dilindungi Allah dalam menjalankan amanah sehari-hari. Amin.

Kami pernah mendapatkan majalah Swara Rahima dan sangat tertarik dengan isinya. Sebagai salah satu organisasi perempuan Islam kami sangat butuh informasi-informasi seputar perkem- bangan gerakan perempuan Islam di Indonesia.

Karena itu kami mohon agar organisasi kami dapat dikirimi majalah Swara Rahima setiap kali pener- bitannya.

Demikian permohonan kami, atas kerjasama yang baik kami ucapkan terima kaish.

Wassalamu'alaikum Wr.Wb.

PENGURUS KOHATI HMI CABANG PADANG

Elsy Varinia

kohaticapad@yahoo.com

Terima kasih atas perhatian anda. Jika per- sediaan masih ada, Insya Allah untuk edisi menda- tang akan kami kirimi.

RAHIMA & ISLAM INKLUSIF

Kepada Yth.

Pemimpin Redaksi Swara Rahima Di Tempat

Assalamualaikum Wr.Wb.

Perkenalkan, kami adalah santri yang tertarik dengan wawasan Islam Inklusif & toleran seperti yang di sebarkan oleh KH. Abdurahman Wahid, KH. Masdar F. Masudi, KH. Hussein Muhammad dengan Rahimanya. Dan saya yakin inilah Islam yang rahmatan lil alamin, dan shalihun fii kulli zamanin wa makanin. Karena Islam bukan terletak pada simbol atau benderanya, tapi pada nilai-nilai kebenaran, kemaslahatan dan keadilan, yang sah- sah saja meskipun dibungkus oleh “waran” yang bermacam asalkan subtansinya tidak berubah.

Untuk itu kami merasa gembira dengan terbitnya Swara Rahima sebagai media kasih sayang. Se- moga ini dapat mewarnai wacana pemikiran masya- rakat Islam sehingga dapat tercipta perdamaian dan keadilan dimuka bumi Indonesia ini.

Kami membaca Swara Rahima edisi No. 1 dengan meminjam dari teman. Dan kami langsung tertarik. Jika persediaan masih ada, kami juga mohon dikirimi.

Wassalam

Makmun Alfikri Ponpes Bahrul Ulum

Awipari-Cibeureum-Tasikmalaya SURAT PEMBACA

SURAT PEMBACA SURAT PEMBACA SURAT PEMBACA SURAT PEMBACA

(7)

No. 3 Th. I, November 2001 Swara Rahima -7-7-7-7-7

Swara Rahima

F O K U S F O K U SF O K U S F O K U SF O K U S

D

alam masyarakat muslim, ada beberapa konfigurasi pemikiran keagamaan tentang keterlibatan perempuan dalam dunia politik.

Pandangan pertama, menyatakan bahwa perem- puan diharamkan untuk terjun di dunia politik, karena politik merupakan wilayah publik dan wilayah kekuasaan laki-laki. Apalagi sampai menjadi pemim- pin politik atau kepala negara, hal ini sangat tidak dibenarkan. Argumen yang seringkali digunakan adalah teks Surat An Nisa’ ayat 34: Ar Rijaalu Qaw- waamuuna ‘alaa An Nisaa’ yang diartikan secara zakelijk “laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan”. Selain itu juga ada hadits Nabi saw : Lan yufliha qaumun wallau amrahum imra’atan (Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan) .

Pandangan kedua, menyatakan perempuan bi- sa terlibat dalam dunia politik dan bahkan memim- pin negara dengan alasan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama diciptakan Allah sebagai Khali- fah di muka bumi. Kata Ar Rijaalu dalam QS. An Nisa’ 34 dianggap tidak merujuk pada laki-laki seca- ra fisik, tapi keksatriaan sebagai sifat maskulin po- sitif yang bisa dimiliki lelaki maupun perempuan.

Pandangan ketiga, menyatakan perempuan dapat terjun ke dunia politik seperti halnya laki-laki, tetapi tidak dapat menjadi pemimpin tertinggi atau kepala negara.

Seperti isu-isu perempuan lainnya dalam Islam, isu kepimpinan perempuan mengikuti garis paraleli- tas dengan isu politik yang sedang aktual. Isu ke- pemimpinan perempuan dalam Islam, seringkali mengalami pasang surut mengikuti realitas politik yang ada (Syafiq Hasyim, dalam sambutan tertulis Peluncuran Buku : 2001).

Perempuan dalam Pentas Politik Indone- sia

Dalam sejarah Indonesia, kemunculan perem- puan dalam dunia politik bukan hal baru. Di kerajaan Kalingga, ada Ratu Shima yang dikenal sebagai pemimpin negara yang adil dan bijaksana. Juga ada Ratu Suhita dari Majapahit dan Ratu Kalinyamat dari Mataram yang menjadi tokoh spiritual yang disegani. Di Aceh, Cut Njak Dhien dan Nyi Ageng Serang dari Banten, yang tampil sebagai panglima perang yang menentang penjajah Belanda.

Pasca kemerdekaan Indonesia, kita mengenal nama-nama seperti; Maria Oelfah Soebadio, SK.

Trimurti, Lasiyah Soetanto, Khofifah Indar Parawan- sa sampai MS. Soewandi, yang menunjukan ke- mampuan mereka sebagai menteri. Sayangnya, tugas yang diembankan pada mereka tak bisa lepas dari streotype tugas-tugas domestik seperti peng- asuhan atau pemeliharaan, pelayanan, dan amal (nurturing, caring and charity).

Perbincangan tentang keterlibatan perempuan dalam dunia politik mencapai titik kulminasi saat kemunculan Megawati sebagai pemimpin Partai De- mokrasi Indonesia. Keberhasilan Megawati dalam Munas PDI di Surabaya, cukup membuat ciut nyali Soeharto yang menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya.Tapi saat itu na- ma Megawati belum cukup diperhitungkan dalam kancah perpolitikan dalam nasional. Namun, ketika kasus 27 Juli meletus, nama Megawati melambung karena dianggap sebagai simbol perlawanan bagi rezim Soeharto yang otoriter.

Keharuman nama Mega ternyata tak hanya membuat gundah Soeharto. Setelah opini massa mulai memunculkan nama Megawati sebagai pe-

Pemimpin Perempuan dalam Wacana Agama dan politik

Dalam sejarah Indonesia, kemunculan perempuan dalam dunia politik bukan hal baru. Di kerajaan Kalingga, ada Ratu Shima yang dikenal sebagai pemimpin negara yang adil dan bijaksana. Juga ada Ratu Suhita

dari Majapahit dan Ratu Kalinyamat dari Mataram yang menjadi tokoh spiritual yang disegani. Di Aceh, Cut Njak Dhien dan Nyi Ageng Serang

dari Banten, tampil sebagai panglima perang yang menentang penjajah Belanda.

(8)

8- 8-8- 8-

8-Swara Rahima No. 3 Th. I, November 2001

Swara Rahima

F O K U S F O K U S F O K U S F O K U S F O K U S mimpin baru, berbagai upaya terkesan sengaja di- buat untuk menghadang kekuatannya. Kita pernah mendengar statemen tokoh PPP, AM. Syaefuddin, yang menyatakan bahwa Megawati tidak layak me- mimpin negara karena ia seorang perempuan dan agamanya tidak jelas: Hindu atau Islam. Kejelasan identitas agama Megawati menjadi penting untuk menggoyahkan pendukungnya dari kelompok Islam dan mengetahui keperpihakannya terhadap Islam.

Tak lama setelah itu, Kongres Umat Islam Indone- sia (KUII) tahun 1998 merekomendasikan bahwa presiden Indonesia haruslah seorang pria muslim.

Dan untuk melemahkan posisi Megawati sebagai pemimpin partai, KPU pada masa pemerintahan Pre- siden Habibie mempersyaratkan agar PDI Megawati dapat melakukan pendaftran ulang partainya dengan nama lain yaitu PDI Perjuangan.

Tapi tak semua orang menggunakan isu agama untuk menghadang Megawati. Sosok Megawati yang miskin inisiatif dan lebih banyak diam- bahkan pada saat ia harus bicara - cukup memunculkan keraguan sebagian kalangan. Berbagai undangan yang mengajaknya untuk berdialog disambut Mega dengan dingin. Mega hanya mengirim orang-orang seperti Tarto Soediro, Alex Litaay, maupun Kwik Kian Gie. Hal ini sempat memunculkan dugaan bahwa Mega tak bisa apa-apa tanpa bantuan or- ang-orang itu.

Anggapan seperti ini bukan hanya tak mengun- tungkan bagi Megawati. Kemunculan Mega kepang- gung elit politik di Indonesia, bagaimanapun bisa dianggap sebagai ‘uji kemampuan’ bagi perempuan Indonesia untuk tampil dalam dunia yang selama ini hanya dianggap sebagai milik laki-laki. Tapi ke- lambanan Mega mau tak mau semakin mengukuh- kan kekuatan wacana patriarkhis bahwa dunia itu memang bukan tempat perempuan. Kalaupun ada perempuan yang sampai ke posisi yang bergengsi itu, mereka menganggap bukan karena akibat logis dari sebuah pertarungan yang mengikuti kaedah- kaedah perpolitikan sejati. Karenanya, kemudian banyak yang menganggap kenaikan Megawati lebih karena pengaruh kharisma nama besar sang ayah dalam panggung politik di Indonesia.Sebuah anggapan patriarkis yang sangat menyedihkan !

Komparasi Beberapa Tokoh Politik Dunia Jauh sebelum kemunculan Megawati di Indone- sia, beberapa tokoh perempuan dunia telah mem- buktikan kepiawaiannya dalam politik. Sebutlah beberapa nama seperti Indira Gandhi di India, Golda

Meir di Israel atau Margareth Tatcher di Inggris yang dianggap sebagai salah seorang pemimpin yang berhasil di Inggris setelah Churchill.

Selain itu ada tokoh-tokoh perempuan yang dianggap sukses menjadi simbol penentangan ter- hadap status quo penguasa seperti Aung San Suu Kyi dari Myanmar dan Corazon Aquino penentang rezim Ferdinand Marcos dari Philipina, yang oleh publik sering dijuluki sebagai “ibu rumah tangga biasa”. Namun kenyataannya, justru dari keber- sahajaan itulah mereka dapat menjadi tokoh politik yang cukup disegani.

Di kalangan dunia Islam Benazir Bhutto, puteri mendiang Presiden Zulfikar Ali Bhutto, sempat menjadi Perdana Menteri Pakistan selama dua periode yang berbeda, meski mendapatkan resistensi yang cukup kuat dari kalangan kelompok fundamentalis di negeri itu. Begum Khaleda Zia dan Haseena Wajeed, dua orang Srikandi politik Bangla- desh juga “bertarung” memperebutkan posisi Per- dana Menteri. Bahkan di negara yang sempat dijuluki “sangat fundamentalis” seperti Iran, kran demokratis yang tak lagi membedakan jenis ke- lamin, telah memunculkan kandidat presiden perempuan yang cukup diperhitungkan.

Berbagai ilustrasi di atas menunjukkan bahwa perempuan telah membuktikan kemampuannya un- tuk memimpin berbagai ruang publik, baik di tingkat legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Tapi itu memang bukan hal yang mudah. Kans perempuan di dunia politik memang lebih berat dibandingkan dari laki-laki. Perempuan seringkali dihadapkan pada dua kendala besar ketika tampil sebagai pemimpin publik. Pertama, terlebih dahulu ia harus menyadarkan masyarakat dan mengubah pan- dangan masyarakat untuk dapat menerima keha- diran seorang perempuan secara sosio-kultural. Ke- dua, ia harus membuktikan kemampuannya sebagai seorang pemimpin. Sayangnya, standar-standar

“leadership” itu harus mengikuti kriteria publik yang mayoritas disuarakan oleh kaum lelaki. Di sini dominasi wacana patriaki kembali mencengkeram!

! AD Kusumaningtyas

“Orang yang tidak pernah menunjukan kasih sayang, tidak akan pernah menerima kasih sayang”

(Nabi Muhammad Saw)

(9)

No. 3 Th. I, November 2001 Swara Rahima -9-9-9-9-9

Swara Rahima

F O K U S F O K U SF O K U S F O K U S F O K U S

D

i dalam kitab Minhaj al-Thalibin, misalnya, salah satu rujukan utama tradisi pesantren yang ditulis oleh Imam al-Nawawi al- Dimasyqi (676 H), disebutkan bahwa syarat-syarat pemimpin tertinggi (imamat al-uzma) adalah muslim, bukan budak, dari suku Quraisy, orang dewasa, berjenis kelamin laki-laki dan cerdas. Ketika mengo- mentari pernyataan ini Khathib al-Syarbini mene- gaskan bahwa kelelakian adalah merupakan syarat mutlak untuk kepemimpinan tertinggi. Alasannya, hanya laki-laki yang bisa bergumul dengan politik yang nota bene dianggap sebagai dunia laki-laki.

Alasan lain adalah teks hadis yang melarang kepe- mimpinan perempuan (Mughni al-Muhtaj, IV:129).

Kitab-kitab lain dalam literatur Islam klasik juga menyatakan hal yang sama. Dalam penelusuran DR. Wahbah al-Zuhaili, tak ditemukan satupun ula- ma yang membenarkan kepemimpinan perem- puan. Dikatakan bahwa ulama Islam telah konsen- sus (ijma’) dengan pernyataan bahwa kelelakian merupakan salah satu syarat utama bagi kepemim- pinan tertinggi (al-Fiqh al- Islami, VII: 6179). Para penulis fiqh politik Islam pada masa lalu, seperti Mawardi dan al- Abu Ya’la, juga bersikeras mensya- ratkan laki-laki dalam kepemimpinan politik. Se- mentara pemikir Islam kontemporer juga tidak sedi- kit yang menyuarakan hal yang sama. Sebutlah misalnya Syah Waliyullah al-Dahlawi, al-Mawdudi dan yang lain. Dengan demikian, apakah berarti bahwa perempuan dalam pandangan Islam tidak dibenarkan untuk menduduki kepemimpinan politik tertinggi ?.

Pada masa kehidupan baginda Nabi Muham- mad Saw, perilaku kepemimpinan telah dipraktek- kan oleh segenap perempuan-perempuan mulia. Siti

Dialektika Kepemimpinan Perempuan dalam Islam

Dalam pentas sejarah Islam klasik, banyak kisah sukses yang diukir para perempuan. Sebutlah, misalnya, Siti Aisyah , isteri baginda Nabi Muhammad

Saw, yang dengan sukses dapat memimpin puluhan ribu pasukan perang di bawah kendali perintahnya. Tetapi, ‘Agama’ diyakini banyak orang, menegaskan bahwa kepemimpinan perempuan paralel dengan ketidak- suksesan dan kesengsaraan. Sehingga, tidak ditemukan satupun literatur

Islam klasik yang membenarkan kepemimpinan selain untuk laki-laki.

Dalam surat al-Nisa, 4:34

dinyatakan bahwa laki-laki

adalah qawwam (pemimpin)

bagi perempuan.Teks ini

secara eksplisit menegaskan

kepemimpinan laki-laki

terhadap perempuan, se-

hingga dipahami sebagai

penolakan terhadap segala

bentuk kepemimpinan

perempuan.Penolakan

kepemimpinan perempuan

dengan rujukan ayat ini tidak

pernah dikritisi oleh ulama-

ulama terdahulu. Tetapi saat

ini tidak sedikit ulama yang

berkompeten mengkritisi

referensi tersebut. Mereka

berpendapat bahwa ayat ini

tidak tepat untuk dijadikan

rujukan bagi penolakan

kepemimpinan perempuan.

(10)

10- 10- 10- 10-

10-Swara Rahima No. 3 Th. I, November 2001

Swara Rahima

F O K U S F O K U SF O K U S F O K U S F O K U S Khadijah bint Khuwailid ra, isteri pertama Nabi, perempuan mulia, pengusaha, yang ‘melamar dan meminang Nabi Saw. Ia menenangkan, mendukung dan memprakarsai aktivitas-aktivitas da’wah yang pada awalnya Nabi Saw merasa ragu untuk melaku- kannya. Nusaibah bint Ka’ab ra memimpin pasukan perlindungan Nabi Saw pada saat-saat kritis para sahabat terdesak dalam perang Uhud. Umm Sala- mah ra, isteri Nabi yang memimpin perempuan- perempuan Madinah menyuarakan aspirasi mereka kepada Nabi Saw, sehingga turun ayat-ayat kese- taraan laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal, Siti Aisyah ra, juga melakukan hal yang sama, bahkan lebih nyata lagi pada masa akhir pemerin- tahan Khulafa Rasyidin.

Aktifitas seperti diatas, terutama kepemimpinan Siti Aisyah pada perang Unta, setidaknya bisa men- jadi pendulum untuk mengkritisi wacana kepemim- pinan politik laki-laki dalam Islam. Argumentasi- argumentasi yang diajukan untuk mendukung peno- lakan kepemimpinan perempuan saat ini bisa didis- kusikan kembali, sama seperti permasalahan-per- masalahan lain yang pada awalnya diterima secara bulat, tetapi pada perkembangannya berikutnya didiskusikan kembali kebenarannya setelah muncul perubahan-perubahan sosial yang cukup berarti.

Misalnya, hampir seribu tahun lebih, mayoritas ula- ma berpendapat bahwa kepemimpinan politik hanya dimiliki oleh suku Quraisy. Hal ini dinyatakan oleh ulama seperti Imam al-Nawawi di atas dan dinya- takan juga oleh Imam al-Baqillani dan Imam al- Ghazali-, dengan alasan teks hadis Nabi Saw yang disampaikan oleh Khalifah Abu Bakr ra. Suku diluar Quraisy, apalagi yang bukan Arab, tidak diperke- nankan ‘Islam’ untuk memegang tampuk kepe- mimpinan tertinggi.

Tetapi ketika realitas sosial menunjukkan bah- wa kelayakan kepemimpinan politik tidak hanya dimiliki oleh keturunan Quraisy, bahkan pentas po- litik secara nyata hanya bisa dikendalikan dan telah diambil oleh orang-orang dari keturunan lain, perma- salahan kepemimpinan suku Quraisy didiskusikan kembali. Ibn Khaldun, penulis kitab al-Muqaddimah, pertama kali menawarkan pemahaman substansial terhadap teks-teks kepemimpinan suku Quraisy.

Menurutnya, kepemimpinan suku Quraisy berarti kepemimpinan ‘sifat-sifat’ suku Quraisy, seperti berani, tegas, cerdas dan tangkas, bukan berarti kepemimpinan ‘orang-orang’ Quraisy. Saat ini, kepemimpinan politik suku selain Quraisy sudah tidak lagi menjadi permasalahan yang krusial da-

lam diskusi kepemimpinan politik Islam. Mayoritas ulama telah menerima hal ini dengan surat bulat, sebagai suatu keniscayaan realitas yang tidak ber- lawanan dengan ajaran agama. Sama halnya kepe- mimpinan perempuan, yang saat ini telah menjadi suatu keniscayaan, bahkan kemaslahatan masya- rakat banyak. Banyak perempuan yang nyata-nyata memiliki kelayakan untuk mengelola pekerjaan- pekerjaan politik, sama seperti laki-laki. Karena itu, penolakan ‘agama’ terhadap kepemimpinan perem- puan perlu didiskusikan kembali.

Dalam teologi kelompok Khawarij dan Mu’tazilah, mendirikan pemerintahan dan kepemimpinan ter- tinggi (Imamt al-Uzma) tidak termasuk urusan yang harus didasarkan kepada teks-teks agama. Perma- salahan seperti ini merupakan urusan sosial kema- nusiaan yang didasarkan kepada keperluan, ke- baikan dan kemaslahatan sesuai ukuran rasionali- tas sosial setempat. Pembicaraan mengenai perlu tidaknya mendirikan pemerintahan; siapa yang ber- hak menjabat kepemimpinan tertinggi; dan bagai- mana cara memimpin suatu pemerintahan adalah termasuk wilayah rasio kemaslahatan manusia. Se- mua itu bukan wilayah teks-teks literal agama. Jika masyarakat sudah aman, saling tolong menolong dan sejahtera tanpa pemerintahan, maka mendirikan pemerintahan bisa menjadi tidak perlu.

Syarat bahwa pemimpin harus berasal dari suku Quraisy juga tidak diterima kelompok ini. Dalam pandangan mereka, semua orang memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin, asal sesuai dengan kualifikasi kepemimpinan yang diperlukan masyarakat. Dengan logika yang sama, sekalipun secara eksplisit tidak mereka nyatakan, perempuan dibenarkan untuk menjadi pemimpin, sama seperti laki-laki. Karena dasar kelayakan kepemimpinan adalah kemaslahatan dan kebaikan. Ketika seorang perempuan dianggap baik, layak, cerdas, bijak, adil dan diterima untuk menjadi pemimpin suatu bangsa, maka tidak ada alasan teks agama yang dibenar- kan untuk membatalkan kepemimpinannya. Arti- nya, di antara sekian banyak ulama klasik yang menolak kepemimpinan perempuan dengan dasar agama, ada sejumlah pandangan dari ulama klasik juga yang tidak sependapat dan tidak sejalan.

Mengkritisi Argumentasi Penolakan Kepe- mimpinan Perempuan dalam Islam

Sejumlah argumentasi telah diusung, baik dalam literatur klasik maupun kontemporer, untuk mendu- kung penolakan kepemimpinan politik tertinggi bagi

(11)

No. 3 Th. I, November 2001 Swara Rahima -11-11-11-11-11

Swara Rahima

F O K U S F O K U SF O K U S F O K U S F O K U S perempuan. Argumentasi itu meliputi ayat al-Qur’an (al-Nisa, 4:34), hadis-hadis Nabi Saw, konsensus (ijma’) ulama, kemaslahatan umat dan prefensi ke- burukan yang mungkin akan muncul (Sadd al- Dzara’i). Argumentasi ini pada waktu yang cukup lama tidak tersentuh nalar kritis dari para ulama.

Akan tetapi kemudian muncul sejumlah ulama yang mencoba mengkritisi argumentasi tersebut dari berbagai pendekatan.

Dalam surat al-Nisa, 4:34 dinyatakan bahwa laki-laki adalah qawwam (pemimpin) bagi perem- puan.Teks ini secara eksplisit menegaskan ke- pemimpinan laki-laki terhadap pe-

rempuan, sehingga dipahami se- bagai penolakan terhadap segala bentuk kepemimpinan perempuan.

Penolakan kepemimpinan perem- puan dengan rujukan ayat ini tidak pernah dikritisi oleh ulama-ulama terdahulu.Tetapi saat ini tidak se- dikit ulama yang berkompeten mengkritisi referensi tersebut. Me- reka berpendapat bahwa ayat ini tidak tepat untuk dijadikan rujukan bagi penolakan kepemimpinan perempuan.

Pengkritisan referensi ini oleh beberapa ulama dan pemikir kontemporer dilakukan melalui dua pendekatan, literal dan konteks-

tual. Pendekatan literal dengan melakukan peng- galian makna kembali terhadap literasi teks ayat 34, dari sura al-Nisa. Ia mencoba menelusuri dan mengurai akar-akar kata yang digunakan dalam ayat tersebut, untuk kemudian menawarkan pemaknaan baru yang berbeda dengan pemaknaan yang telah berkembang sebelumnya. Misalnya, qawwam tidak berarti pemimpin, tetapi pengayom atau pengelola, seperti yang ditawarkan oleh Muhammad Abduh dan Abdullah Yusuf Ali. Menurut mereka ayat tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan rujukan untuk keharusan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan.

Menurut Nasaruddin Umar, kata rijal dalam bahasa Arab, tidak hanya berarti jenis kelamin laki- laki, tetapi juga berarti sifat-sifat maskulinitas. Nisa juga tidak hanya diartikan dengan perempuan, tetapi juga sifat-sifat feminitas. Yang dimaksud ayat tersebut, kepemimpinan harus mendahulukan sifat- sifat maskulinitas (rujuliyyah) –yang bisa dimiliki oleh laki-laki atau perempuan-, daripada sifat-sifat

feminitas (nasawiyyah) –yang juga bisa dimiliki oleh laki-laki atau perempuan. Ayat ini, tidak bisa dipahami untuk penolakan kepemimpinan seseorang karena jenis kelamin perempuan, tetapi seseorang yang didominasi oleh sifat-sifat feminitas, seperti lembut, emosional dan lembat membuat keputusan. Sifat-sifat ini bisa dimiliki oleh perempuan, dan bisa juga oleh laki-laki.

Ada juga yang menyatakan bahwa wilayah ayat tersebut hanya sebatas urusan-urusan domestik, bukan urusan publik. Kepemimpinan untuk urusan domestik, karena pertimbangan sesuatu dan lain hal, diserahkan kepada laki-laki- laki. Sedang, kepemimpinan publik diserahkan mengikut kela- yakan dan kemampuan sese- orang, yang bisa saja dilakukan oleh laki-laki perempuan. Demi- kian dinyatakan oleh Hibah Rauf Izzat.

Selain itu, ada pendekatan kontekstual, yang dikembangkan KH Husein Muhammad. Pende- katan ini membiarkan pemaknaan ayat seperti apa adanya, tanpa penguraian makna kata perkata dari lafal ayat. Tetapi, pemaknaan ulang dilakukan dengan penyer- taan konteks di mana ayat terse- but turun. Ayat (QS, 4:34) ditu- runkan pada saat budaya patriarkal Arab masih sangat kental, sehingga wajar laki-laki menjadipe- mimpin bagi perempuan. Ia diturunkan untuk mengakomodasi penolakan budaya setempat saat itu terhadap pesan-pesan transformatif Islam ke arah keadilan dan kesetaraan. Tetapi ketika pesan- pesan transformatif telah menguat di masyarakat, maka ayat tersebut tidak bisa lagi disertakan dalam pembicara kepemimpinan perempuan. Ia hanya merupakan contoh saja dari sebuah proses trans- formatif, yang hanya sesuai untuk konteks dan zaman tertentu. Untuk konteks lain yang lebih luas, harus merujuk kepada prinsip-prinsip Islam yang universal dan mendasar, yaitu kesetaraan dan keadilan. Menurut KH Husein Muhammad, QS 4:34 merupakan ayat parsial yang hanya berlaku bagi kondisinya. Ketika kondisi sudah tidak memung- kinkan maka yang berlaku adalah ayat-ayat uni- versal, yang memberi kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempunan, seperti QS al- Ahzab 33:35, al-Taubah 9:71 dan al-Nahl 16:97.

Menurut Nasaruddin Umar, kata rijal dalam

bahasa Arab, tidak hanya berarti jenis kelamin laki-laki, tetapi

juga berarti sifat-sifat maskulinitas.Nisa juga

tidak hanya diartikan dengan perempuan, tetapi juga sifat-sifat

feminitas.

(12)

12- 12- 12- 12-

12-Swara Rahima No. 3 Th. I, November 2001

Swara Rahima

F O K U S F O K U SF O K U S F O K U S F O K U S

Argumentasi berikutnya adalah hadis, atau ujaran Nabi Muhammad Saw. Dinyatakan , saat Nabi mendengar kabar suksesi kekaisaran Per- sia kepada putrinya, beliau bersabda: “Tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkannya kepemimpinan mereka kepada perempuan”. Hadis ini diriwayatkan oleh orang yang dianggap memiliki otoritas tertinggi dalam penulisan hadis, yaitu Imam Bukhari. Sangat sedikit, terutama di kalangan Sunni, yang mengkritisi hadis ini. Bagi kalangan Syi’ah, ada kritikan terhadap perawi hadis, yang secara tidak langsung bisa menurunkan keab- sahannya. Mereka menilai, bahwa orang seperti Abi Bakarah –perawi hadis ini- tidak layak untuk menerima dan menyebarkan hadis. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, Abi Bakrah telah menuduh berzina seorang sahabat lain, tanpa bisa mendatangkan saksi yang cukup ke depan pengadilan.

Fatimah Mernisi melansir Abi Bakarah meriwa- yatkan hadis setelah merasakan kebingunan yang cukup dalam. Pada saat itu, ia tinggal di Kufah dan dituntut oleh kondisi politik untuk mendukung pasukan Aisyah menentang Ali bin Abi Thalib.

Tetapi ia tidak mendukugn Aisyah dan tidak juga mendukung Ali bin Abi Thalib. Awalnya ia memilih diam, tetapi setelah kekalahan Aisyah, ia menye- barkan hadis tentang kepemimpinan perempuan yang menyengsarakan rakyat. Kondisi politiklah yang memaksa Abi Bakarah meriwayatkan hadis, padahal tak satupun sahabat yang mendengar,

apalagi meriwayatkan hadis tersebut.

Dalam pandangan Muhammad al- Syawaribi, hadis tersebut tidak bisa dijadikan rujukan, karena diriwa- yatkan secara individual (ahad).

Padahal untuk hal-hal yang sangat prinsip, seperti kepemimpinan terting- gi, dalam kaidah Ushul Fiqh dise- butkan harus berlandaskan kepada teks yang diriwayatkan secara kolektif (mutawatir). Sementara Hibat Rauf Izzat, menyatakan bahwa hadis ini bisa diterima, tetapi tidak bisa dipahami untuk menolak kepemim- pinan perempuan. Hadis ini, seperti dinyatakan oleh Imam Ibn Hajar, diungkapkan berkaitan dengan hadis- hadis lain tentang kisah kesewenang- wenangan Kaisar Persia. Ia kemudian di kudeta dan dibunuh, daan kemu- dian terjadi pelimpahan kekuasaan ketangan puteri kaisar yang juga cukup otoriter dan represif. KH Husein mendukung pernyataan ini dan menegaskan bahwa hadis ini hanya merupakan teks informatif (ikhbariyah), bukan teks normatif (ilzamiyah), se- hingga tidak memiliki konsekwensi hukum apapun.

Mengomentari kesepakatan (ijma) ulama berkaitan penolakan kepemimpinan perempuan, Quraish Shihab menyatakan bahwa kesepakatan umat Islam ditekankan pada kemaslahatan dan kebaikan. “Apa yang dianggap baik oleh orang-or- ang Islam adalah baik bagi Allah”, kata Nabi saw.

Artinya kesepakatan itu ada ketika ada kebaikan.

Jika kebaikan sudah tidak ada dalam suatu kesepa- katan, maka ia bisa berubah kepada kesepakatan baru yang bisa menjamin kebaikan dan kemas- lahatan umat.

Bagi Hibat, dalih konsensus (ijma’) untuk peno- lakan kepemimpinan perempuan tidak sepenuhnya benar. Dalam beberapa literatur fiqh disebutkan bahwa Imam Ibn Jarir al-Thabari memilih pandangan yang membenarkan kepemimpinan perempuan.

Dengan demikian, dalih adanya konsensus itu tidak bisa diterima. Kalaupun harus diterima, maka dasar konsensus untuk hal-hal yang berkaitan dengan urusan sosial adalah kemaslahatan publik.

Legitimasi suatu konsensus masih bisa dibenar- kan selama memberikan jaminan kemaslahatan dan keadilan. Jika tidak ada jaminan, maka konsen- sus tidak lagi memiliki legitimasi penuh, apalagi sakralitas untuk tidak dikritik dan diperbaharui.

(13)

No. 3 Th. I, November 2001 Swara Rahima -13-13-13-13-13

Swara Rahima

F O K U S F O K U SF O K U S F O K U S F O K U S Sebagian orang mendasarkan penolakan kepe- mimpinan perempuan kepada kenyataan bahwa Nabi Saw tidak menyerahkan kepemimpinannya kepada Siti Fathimah, sang puteri yang cerdas, bijak dan mulia. Keengganan ini diasumsikan karena Siti Fathimah seorang perempuan. Tetapi apakah setiap yang tidak dilakukan Nabi merupakan pelarangan agama. Kaedah Ushul Fiqh menega- sikan pernyataan ini. Karena terlalu banyak perbuat- an yang tidak dilakukan, yang kalau dilarang agama justru akan mempersulit kehidupan manusia. Pada- hal agama datang tidak untuk mempersulit (haraj) manusia, sebaliknya untuk kemudahan (yusrun), kemaslahatan dan kasih sayang (rahmatan lil alamin). Dalam pandangan politik Sunni, Nabi Saw tidak menyerahkan kepemimpinan kepada keluarga beliau, tetapi tidak berarti kepemimpinan keluarga Nabi tidak diperkenankan oleh agama.

Rekonstruksi Fiqh Kepemimpinan

Dengan mengkritisi argumentasi-argumentasi ini, kepemimpinan perempuan bisa dibenarkan oleh agama, sama seperti kepemimpinan laki-laki.

Beberapa penulis telah membuat landasan teologis yang afirmatif dan lebih jelas. Menurut DR. Quraish Shihab, ayat 71 dari surat al-Taubah bisa dijadikan dasar atas pembenaran kepemimpinan perempuan:

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah auliya bagi sebagian yang lain. Menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Dari ayat ini, menurut mantan menteri agama ini, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam urusan politik. Kata auliya memiliki berbagai pengertian mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan. Kalimat “menyuruh me- ngerjakan yang ma’ruf” juga mencakup segala segi kebaikan/perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat, perintah kekuasaan, kritik kepada peng- uasa dan lain-lain.

Bila pandangan ini dikembangkan lagi akan lebih jelas bagaimana ayat QS 9:71 mengafirmasi kepe- mimpinan perempuan, sama seperti kepemimpinan laki-laki. Dalam ayat ini, laki-laki dan perempuan disebut sebagai auliya, atau memiliki hak yang sa- ma untuk menjadi auliya. Kata auliya merupakan bentuk plural dari wali, yang bisa berarti pemimpin,

pengayom, penguasa, pembantu dan penanggung jawab. Nabi menyebut dirinya sebagai wali terhadap orang-orang beriman. Pemimpin tertinggi dalam ba- hasa fiqh juga disebut waliy al-amri (pemegang kekuasaan). Gubernur daerah dalam fikih politik dipanggil wali, seperti wali Madinah, wali Kufah, wali Basrah dan lain-lain. Dengan demikian, ayat QS 9:71 menjadi sangat tepat untuk mendasari kese- taraan hak perempuan dan laki-laki dalam wilayah politik, baik terlibat secara langsung atau tidak langsung, baik untuk menjadi pemimpin atau rakyat biasa.

Menurut KH Husein Muhammad, persoalan- persoalan yang menyangkut kemasyarakatan dan politik, harus didasarkan pada faktor kemaslahatan dan kebaikan. Karena itu, dalam fikih dikenal kaidah

“tasharrfu al-imam manuthun bi al-mashlahah”, atau tindakan seorang penguasa atas rakyatnya (aktifitas politik) harus didasarkan atas kemas- lahatan mereka. Kemaslahatan dalam kekuasaan umum/publik antara lain dapat ditegakkan melalui cara-cara kepemimpinan yang demokratis dan berdasarkan konstitusi, serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dan bukan pada kekua- saan tiranik, otoriter dan sentralistik. Jadi, kepe- mimpinan publik tidak ada kaitannya sama sekali dengan urusan jenis kelamin, melainkan pada kua- lifikasi pribadi, integritas intelektual dan moral serta nilai-nilai sosial dan sistim politik yang mendukung- nya.

Pernyataan Ibn al-Qayyim al-Jawzi sangat tepat untuk dijadikan penutup tulisan ini:

“Dalam urusan-urusan politik, yang diperlukan adalah cara-cara yang dapat mengantarkan masyarakat pada kehidupan yang menjamin kemaslahatan dan menjauh- kan mereka dari kerusakan dan kebinasan, meskipun cara-cara itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan tidak ada aturan wahyu dari Allah”.

Artinya, berbicara kepemimpinan politik adalah berbicara mengenai kemaslahatan publik. Sehingga yang dituntut adalah kualifikasi yang bisa menjamin ke arah kebaikan dan kemaslahatan. Tidak ada kaitannya dengan suku atau ras bangsa tertentu dan juga tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin tertentu. Laki-laki dan perempuan adalah setara dalam wilayah ini, dan kesetaraan ini dijamin oleh syari’at Islam yang tercermin dalam surat al-Taubah (QS 9:71) dan pandangan-pandangan keagamaan yang universal, berdasar keadilan dan kemasla-

hatan. Faqihuddin a. Qodir

(14)

14- 14-14- 14-

14-Swara Rahima No. 3 Th. I, November 2001

Swara Rahima

O P I N I O P I N I O P I N I O P I N I O P I N I

Pemimpin Perempuan :

Kontroversi Dalam Ruang Politik Patriarki!

Swara Rahima (SR) : Pada Pemilu 1999, PPP dan PBB menyatakan penolakan terhadap pe- mimpin perempuan dengan menggunakan ar- gumen-argumen keagamaan (Islam). Bisa dipas- tikan hal itu ditujukan pada Megawati yang men- jadi lawan politik mereka saat itu. Menurut anda, apa yang melatar belakangi penolakan itu ?

Chusnul Mar’iyah (CM): Sebenarnya, Amien Rais juga sempat menyampaikan statemen bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin selama sudah tak ada laki-laki. Secara legal formal PAN tak meno- lak pemimpin perempuan. Meski Amien menyata- kan hal itu sebagai pernyataan pribadi, tapi jangan lupa ia adalah simbol PAN. Kembali pada pertanya- an, kenapa PPP dan PBB menolak kepemimpinan perempuan. Itu mungkin ada hubungannya dengan pemahaman keagamaan patriarkis yang dimiliki oleh sekelompok orang di partai tersebut. Tapi ma- yoritas, yang bermain adalah kepentingan politik.

Agama hanya digunakan untuk melegitimasi kepen- tingan politik tersebut. Jadi, dalam hal ini yang ber- peran adalah pemahaman agama yang patriarkis berpadu dengan kepentingan politik.

SR :Tapi, mengapa penolakan serupa tak dilakukan partai seperti PKB yang dipimpin para kiyai ?

CM : Itu sangat tergantung siapa yang berada dalam elit partai tersebut karena budaya politik kita masih sangat patron klien. Kebetulan PKB dipimpin oleh Gus Dur dan kelompok-kelompok yang cukup terbuka dalam wacana keagamaan. Padahal, kalau kita lihat ke dalam, mayoritas pengurus belum tentu bersikap sama. Nah, sementara PPP dan PBB, yang sangat patriarkal itu justru kalangan elitnya.

Di PPP, misalnya, cuma ada tiga perempuan dari 60 anggota DPR pusatnya. Dan salah satu dari yang tiga itu adalah Ibu Aisyah Amini yang sangat ka- wakan dalam berpolitik. Itu memperlihatkan bagai- mana political will dari elit politik di PPP masih sa- ngat patriarkal. Orang-orang yang menguasai pro- ses pengambilan keputusan di partai-partai tersebut bukanlah orang terbuka atau luas pandangannya tentang perempuan. Tapi sekali lagi saya katakan, penolakan itu bukan hanya semata-mata tradisi agama. Ada faktor budaya patriakis yang masih sangat kuat. Dan semua itu bersatu. Penolakan terhadap pemimpin perempuan tak hanya terjadi pada partai yang berbasis agama, tapi juga partai non agama. Kenapa, misalnya PDI- P memilih Megawati ? Itu bukan karena PDIP tak punya persoalan dengan pemimpin perempuan. Mereka memilih Megawati karena Megawati punyai hu- bungan dengan Soekarno. Faktor itu juga harus Setiap kemunculan pemimpin perempuan dalam dunia Islam hampir dipastikan akan menimbulkan reaksi penolakan dari sebagian kelompok masyarakat. Mereka melandaskan sikap mereka pada beberapa teks agama yang mereka anggap melarang perempuan menjadi pemimpin. Seandainya suatu saat mereka menerima pemimpin perempuan, itu karena kepentingan politik tertentu. Dan mereka menggunakan alasan darurat atau berbagai dalih agama lainnya untuk pembenaran sikapnya. Jadi, penerimaan perempuan sebagai pemimpin bukan mengindikasikan kemajuan wacana yang lebih pro perempuan, kata DR. Chusnul Mar’iyyah. Wawancara Nefisra Viviani dari Swara Rahima dengan Kepala Jurusan Ilmu Politik Pasca Sarjana UI ini, banyak memunculkan analisis tajam tentang permainan politik seputar kemunculan pemimpin perempuan dalam masyarakat Islam.

Wawancara dengan DR. Chusnul Mar’iyyah

Kepala Jurusan Ilmu Politik Pasca Sarjana UI

(15)

No. 3 Th. I, November 2001 Swara Rahima -15-15-15-15-15

Swara Rahima

O P I N I O P I N IO P I N I O P I N I O P I N I diperhatikan.

SR : Artinya kalau Mega bukan anak Soekarno, belum tentu ia bisa memimpin PDIP?

CM :Ya….. keuntungan Megawati adalah kare- na ia memiliki kekuasaan laki-laki yaitu kekuasaan bapaknya. Dalam politik, ini juga menentukan.

SR : Kembali pada partai- partai Islam tadi. Ketika Mega- wati menjadi pesiden meng- gantikan Gus Dur, beberapa partai Islam yang awalnya menolak, akhirnya menerima kepemimpinan Mega. Bagai- mana anda melihat fenomena ini ?

CM : Lagi-lagi, seperti saya katakan tadi, kepentingan politik lebih menonjol dibanding dengan kepentingan-kepentingan lainnya.

Orang bisa merobah wacana ke- agamaan untuk melegitimasi ting- kah laku politiknya. Jadi kita perlu mempertanyakan konsistensi par- tai-partai Islam tersebut dalam

mengaplikasikan atau menjalankan syariat Islam.

Kalau perubahan itu kearah yang positif, kita sih senang-senang saja. Tapi saya yakin, yang terjadi bukan perubahan mindset mereka. Mereka mulai berubah karena dalam masyarakat Islam mulai mun- cul kesadaran bahwa bahwa mendiskriminasikan perempuan itu tidak adil, termasuk dalam soal kepe- mimpinan perempuan.

SR : Kepentingan politik apa yang membuat partai-partai tersebut ‘menerima’ kepemimpinan perempuan (Megawati) ?

CM : Kita lihat, dalam voting di MPR yang lalu. Siapa yang mendukung PPP ? Siapa pendukung Hamzah Haz ? PDIP ! Orang PDI-P selalu bilang merdeka dan itu terjadi ketika suara diberikan untuk Hamzah Haz. Tapi ini juga bagian dari strategi PDI-P. Mengapa mereka memilih PPP, bukan Golkar ? Ini untuk keamanan PDIP sendiri.

Golkar dianggap bermasalah karena dianggap mewarisi dosa orde baru. Dengan merangkul PPP, imejnya ia merangkul potensi Islam. Apakah ini intruksi dari Megawati atau elit PDIP ? Saya tidak tahu. Tapi realitas politik menunjukan sebagian

besar orang PDIP memilih Hamzah Haz.

SR : Apakah tidak ada kekhawatiran dari Megawati atau PDIP, kalau Hamzah Haz bisa menjadi ‘musuh dalam selimut’ dengan memainkan kartu agama ? Karena penolakan terhadap kepemimpinan perempuan pernah disuarakan kelompok ini ?

CM : Kekhawatiran itu mung- kin-mungkin saja. Tapi realitas politik berjalan sedemikian. Dan tidak bisa tidak, Mega harus me- rangkul Islam. Saya yakin PDIP belajar dari pengalaman Soeharto.

Dulu, Soeharto menghancurkan politik Islam habis-habisan. Itu terjadi sejak meleburnya partai- partai Islam dalam PPP. Dan itu tidak kondusif. Maka pada akhir 80-an, Soeharto kembali merang- kul Islam dengan mendirikan ICMI.

Jadi merupakan kerugian besar kalau meminggirkan kelompok Is- lam. Dan itu realitas politik di In- donesia.

SR : Tapi Soeharto tak mengalami konflik gender, karena ia laki-laki.

CM : Saya pikir justru disitu kekuatan daya tawar Mega. Dengan merangkul kelompok Islam, ia mem- peroleh dukungan dari mereka. Dan itu adalah legiti- masi politik luar biasa untuk ukuran saat ini. Kalau ia tidak memilih Hamzah Haz, berarti ia menafikan kekuatan potensial Islam di Indonesia. Justru di situ letak strategisnya pilihan yang diambil Mega.

Bahkan Yusril pun dimasukan ke dalam jajaran kabi- netnya. Memang, seperti yang anda katakan, awal- nya PPP dan PBB adalah partai yang paling keras menolak kepemimpinan perempuan.Tapi yang bermain di sini adalah kepentingan politik. Dengan merekrut orang-orang yang dulu menentangnya, Me- gawati memperluas dukungan dan legitimasi untuk posisinya. Dalam politik, yang dibutuhkan kan legitimasi.

SR : Tapi ada beberapa fakta yang perlu kita cermati. Tidak lama setelah Hamzah menjadi wakil presiden, ia menerima pimpinan laskar Jihad. Menurut laskar Jihad, umat Islam telah kecolongan dua kali. Kecolongan pertama ,

Penolakan terhadap pemimpin perempuan tak

hanya terjadi pada partai yang berbasis

agama, tapi juga partai non

agama.

(16)

16- 16-16- 16-

16-Swara Rahima No. 3 Th. I, November 2001

Swara Rahima

O P I N I O P I N I O P I N I O P I N I O P I N I ketika Gus Dur menjadi presiden. Gus Dur dianggap telah mengkhianati umat Islam saat ia menjalin hubungan dengan Israel dan mene- rapkan kebijakan yang dianggap merugikan umat Islam. Kecolongan kedua, adalah naiknya perempuan sebagai presiden. Dan saat itu Hamzah kelihatan tak bersikap tegas. Bahkan di salah satu harian ibu kota, Hamzah menga- takan, kepemimpinan Mega bisa diterima kare- na alasan darurat. Meski kemudian pernyataan itu diralat Ali Marwan Hanan dan mengatakan pendapat Hamzah bukan pendapat partai.

Bagaimana anda melihat fenomena ini ? CM : Kelompok muslim di Indonesia ini khan banyak. Ada bermacam-macam, dari kiri sampai yang kanan. Pertanyaannya, apakah Laskar Jihad itu satu-satunya stakeholders dan jadi juru bicara kelompok muslim di Indonesia? Tentu tidak. Bagi saya, laskar Jihad itu hanya salah satu dari kelom- pok muslim yang ada di Indonesia. Mereka sah- sah saja bicara seperti itu. Tapi dalam realitas politik Indonesia, orang bisa bertanya mereka bicara atas nama kelompok mana ? Di sini letak persoalan- nya. Masyarakat Islam di Indonesia khan sangat heterogen, beda dengan Malaysia yang relatif lebih homogen. Di Indonesia, ada muslim abangan sam- pai fundamentalis atau fanatik. Anda bisa lihat par- tai yang menggunakan simbol Islam jumlahnya puluhan. Itukan refleksi bagaimana kelompok- kelompok muslim di Indonesia terpecah-pecah da- lam kekuatan politik yang berbeda. Nah, kalau mereka merasa kalah, mereka harus lebih aktif terlibat bermain dalam aturan-aturan hukum dan aturan-aturan politik di negeri ini. Itu kesepakatan bersama di negeri ini. Untuk bisa menjadi presiden, ia harus dipilih oleh MPR. Dan Mega didukung oleh mayoritas anggota MPR dan karenanya ia legitima- te. Itu harus kita hormati. Kalau nggak setuju, ubah- lah UUD.

SR :Meski kelompok Islam garis keras jum- lahnya belum cukup signifikan di Indonesia, tapi cara-cara yang mereka gunakan untuk menyuarakan aspirasi mereka cukup mengkha- watirkan banyak pihak. Dalam isu pelaksanaan syari’at Islam di beberapa daerah, misalnya, mereka melakukan pembakaran tempat-tempat hiburan, men’sweeping’ perempuan yang keluar malam dan lain-lain. Dalam beberapa konteks tertentu, mereka sangat bisa memain-

kan emosi umat Islam. Apalagi sejak peristiwa pemboman WTC dan penyerangan Amerika terhadap Afghanistan, bukan tidak mungkin mereka semakin bisa memainkan emosi massa dan melakukan tekanan pada Mega, apalagi kalau Mega tak pandai-pandai bersikap terhadap mereka.

CM : Saya fikir, hak setiap kelompok meng- aspirasikan kepentingannya, tapi kalau mereka mengaspirasikannya melalui tindakan-tidakan kekerasan, itu kriminal namanya. Dan kita punya aturan-aturan main dalam bernegara. Bila mereka punya perspektif atau memiliki pemikiran bahwa rumah bordil itu haram , lalu mereka membakar atau membunuhi WTS; itu kriminal namanya. Saya tidak menuding siapapun, apakah itu kelompok muslim, kelompok kristen, kelompok adat, kelom- pok perempuan, kelompok mahasiswa atau siapa- pun. Selama mereka melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan menghancurkan kepentingan orang lain, itu tetap tak bisa diterima. Pertanyaan saya, kalau mereka mau menghilangkan prostitusi, me- ngapa tidak melihat akar persoalannya; kenapa sampai perempuan masuk ke dunia itu ? Akar persoalan sebenarnya kan ekonomi dan cara untuk mengatasi itu ya dengan membuat kebijakan ekonomi yang mampu mengatasi persoalan mereka. Pemerintah wajib menyediakan lapangan pekerjaan yang menyebabkang perempuan tidak masuk ke dunia itu. Terus yang kedua, persoalan- nya adalah kalau ada yang jual itu karena ada beli.

Kenapa yang menjadi target hanya PSK (pekerja seks komersil), tapi pria pengguna jasa mereka tidak. Seharusnya yang dipikirkan orang-orang itu adalah bagaimana meminimalkan perempuan yang terjebak ke dalam dunia prostitusi tersebut. Ke- banyakan mereka kan awalnya dijanjikan untuk mendapat pekerjaan, tapi tiba-tiba mereka sudah terjaring dalam mafia yang disebut ’women traffick- ing’ (perdagangan perempuan). Dan fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Dulu ada musli- mah Bosnia yang diperkosa oleh orang-orang Ser- bia, kemudian dijual pada tentara Jerman dan men- jadi WTS.

SR : Saya hanya kuatir dengan ‘sosial cost’, jika Islam garis keras tetap menggunakan cara- cara kekerasan. Apalagi mereka merasa mendapat pembenaran dari penafsiran agama yang mereka yakini. Apakah cara yang sama

(17)

No. 3 Th. I, November 2001 Swara Rahima -17-17-17-17-17

Swara Rahima

O P I N I O P I N IO P I N I O P I N I O P I N I akan digunakan untuk mendelegitimasi kepemimpinan Mega ?

CM : Ini persoalan klasik. Sejak dulu perem- puan selalu di pinggirkan dalam proses politik dan agama selalu digunakan untuk pembenaran. Per- soalannya, siapa yang menginterpretasikan aga- ma ? Waktu diskusi di Grand Hyat beberapa waktu lalu, Musda Mulia dari Departemen Agama mem- presentasikan penelitiannya tentang jumlah ulama perempuan di Indonesia.Ternyata

sedikit sekali ulama perempuan, malah bisa dikatakan nihil. Dan itu artinya terminologi Islam sangat didominasi laki-laki. Tidak heran kalau penterjemahan Islam ke da- lam realitas sosial sangat berbau patriakis Ini juga yang awalnya luput dari gerakan perempuan di Indonesia. Dulu mereka mengang- gap agama itu sumber subordinasi.

Dan mereka menghindar untuk ngomong agama. Nah, baru pada awal 92-an terjadi perubahan.

Banyak aktivis perempuan mulai mempelajari agama dan kemudian mereka mencoba membuat tafsir baru tentang agama yang lebih pro

perempuan. Jadi sekarang sudah mulai tumbuh diskursus baru agama tentang perempuan yang tak lagi patriakis.

SR : Tapi banyak orang melihat perkem- bangan baru ini masih berputar di kalangan elit perempuan seperti kalangan kampus, LSM atau para intelektual.

CM : Tidak apa-apa, sejak dulu seluruh gerak- an revolusioner di dunia ini, awalnya elitis. Artinya, semua itu berasal dari pemikiran kelompok elit yang memang mempunyai waktu untuk berfikir. Ra- sulullah sendiri apakah dia orang biasa ? Khan tidak ! Dia dari suku Quraisy, suku yang terpilih, walaupun itu sebetulnya juga pilihan dari Tuhan.

Jadi seluruh gerakan sosial itu elitis awalnya. Bu- kan hanya gerakan perempuan, gerakan maha- siswa juga elitis, gerakan buruh….anda jangan ber- pikir buruhnya, pikir elitnya ! Siapa itu Mukhtar Pak- pahan, siapa itu Dita Indah Sari ?

SR : Tapi mereka kan punya massa….

CM : Anda bicara gerakan perempuan yang mana dulu ? Banyak gerakan perempuan yang

berbasis massa seperti Muslimat, Fatayat, Aisiyah , dan lain-lain.

SR : Gerakan perempuan sering mengguna- kan pendekatan dialogis dalam mensosiali- sasikan wacana gender. Dan itu biasanya membutuhkan waktu yang lama. Sementara kekuatan kelompok Islam garis keras yang tidak pro perempuan semakin menguat.

CM :Karena mereka membo- dohi rakyat. Gerakan fundamen- talis itu bukan mencerdaskan umatnya. Anda bicara GAM, mi- salnya, lihat cara mereka mela- kukan aktivitasnya. Apakah itu dalam rangka mencerdaskan rakyat Aceh ? Tidak ! Yang mere- ka lakukan adalah culture of fear, budaya ketakutan. Mereka meng- kampanyekan; kalau kita tidak merdeka seperti apa, atau, kalau kita merdeka, setiap orang di Aceh mendapatkan uang dua juta setiap bulan bahkan menda- patkan mobil kijang selama tujuh tahun dengan tidak kerja. Nah gerakan perempuan tidak seperti itu. Mereka bicara pada tingkat yang dialogis.

Misalnya, kenapa selama ini hak-hak kita diperkosa

? Karena kita tak punya hak politik. Kenapa sih kita berbicara sedikitnya jumlah perempuan anggota DPR dari DPRD- II sampai dengan DPR pusat ? Kenapa sih perempuan buruh di ekploitasi

? Kenapa sih TKW-TKW di luar negeri di ekpoitasi dan diperkosa ? Itu kita bicarakan dengan cara yang dialogis. Kita tidak bilang, ayo bakar ini ! Ayo perang

! Dan semua itu dalam kerangka pendidikan dan proses penyadaran, dan itu butuh waktu Proses penyadaran itu membutuhkan mindset atau otak yang dirubah. Dan itu bisa satu generasi. Apalagi bicara soal kepercayaan yang sulit untuk diubah.

Tetapi saya lihat sekarang, pengembangan wacana gender pada tingkat politik Islam atau fiqih nisa (fikih perempuan) lebih agresif.

SR : Tapi masih kalah cepat dibanding gerakan Islam garis keras.

CM : Menurut saya sih, sesuatu yang cepat dengan violence (kekerasan) itu enggak tahan lama.

Anda lihat saja, tiga puluh negara ini dibesarkan dengan cara militeristik akhirnya hancur juga. Tapi

hak setiap kelompok meng-

aspirasikan kepentingannya, tapi kalau mereka mengaspirasikannya

melalui tindakan- tidakan kekerasan,

itu kriminal

namanya.

(18)

18- 18-18- 18-

18-Swara Rahima No. 3 Th. I, November 2001

Swara Rahima

O P I N I O P I N I O P I N I O P I N I O P I N I kita memang harus terus menerus speak up, menyusun strategi, bukan hanya pada tingkat prac- tical neednya tapi juga strategical need . Dan jika dua-duanya dilakukan itu akan sangat mencer- daskan sekali. Jadi, menurut saya, aktivis perempu- an itu jangan menghabiskan energinya untuk saling menjatuhkan. Kalau kita fighting each other itu me- lemahkan posisi kita dalam menghadapi subor- dinasi koordinasi patriaki. Kita membutuhkan ke- cerdasan leadership dari kelompok perempuan un- tuk berbicara lebih terarah apa sebetulnya goalnya kita..Nah ini agak sulit. Sejak kecil perempuan, pada semua level, tidak diajarkan win lose, tidak diajarkan fair game. Jadi bukan social capital kita yang lemah, tapi kitanya yang lemah. Social capital itu trust atau saling percaya. Dari kelompok-kelompok yang ada, yang dibangun adalah princess sindrom, sayalah ratunya. Padahal yang kita butuhkan ada- lah banyak princess. Kalau social capital, atau saling percaya kita tingkatkan, kita akhirnya bisa mencapai tujuan bersama. Tujuan kita bersama kan keadilan gender, karena seluruh persoalan yang kita perjuangkan itu bermula dari injustice (ketidak adilan). Persoalan ketidak adilan berawal dari aturan main. Kenapa kita termarjinalkan dalam aturan main, karena perempuan jarang terlibat dalam aturan main. Untuk bisa membangun masyarakat yang adil perempuan harus pandai-pandai membuat aturan main. Dan semua itu butuh stategi, taktik, sumber daya dan kerja sama. Kenapa ? Karena selama ini anda selalu dianggap tidak mampu.

Meski anda sudah Phd, anda tetap dianggap tak mampu. Saya pernah ditulis media menjelang kompetisi anggota KPU (Komite Pemilihan Umum).

Mereka bilang, rumah besar Chusnul di Menteng tak terurus. Saya membaca between the lines;

ngurus rumah aja nggak mampu, apalagi ngurus KPU.

SR : Ini menarik. Pada diskusi kepemim- pinan perempuan yang diadakan Rahima, Ita F. Nadia dari Komnas Perempuan bilang kalau Megawati itu bukan representasi gerakan perempuan. Kemenangan Megawati sebagai presiden perempuan bukan otomatis keme- nangan gerakan perempuan.

CM : Saya juga suka bilang kalau Megawati bisa menduduki kursi kepresidenan karena hubungannya dengan kekuasaan laki-laki. Tapi dia juga menjadi simbol dari ketidak adilan yang selama ini di terima oleh banyak rakyat kecil atas

rezim Soeharto. Megawati memang tidak bebas dari sosialisasi di dalam masyarakat patriarki, jadi tak mungkin tiba-tiba dia punya sensitive gender.

Megawati adalah produk dari masyarakat patriarki sehingga ketika ia berkuasa tidak mungkin dong otomatis ia punya perspektif gender. Persoalannya, apakah kemudian kita merasa memiliki identifikasi pada Megawati ? Kalau saya, ada ! Setidaknya sebagai simbol karena Mega perempuan, meski belum tentu dia akan memperhatikan apa yang kita perjuangkan. Makanya kita perlu mendorong cukup banyak perempuan di DPR. Tahap berikutnya, jangan biarkan Megawati sendiri. Seluruh kelompok gerakan perempuan harus mem’push’ Megawati.

Kalau tidak, dia akan merasa apa yang dilakukan- nya sudah benar.

SR : Bagaimana anda memprediksikan si- kap Megawati terhadap gerakan perempuan di masa-masa yang akan datang ?

CM : Saya pernah mengkritisi pidato pertama Megawati sebagai presiden, tak satupun kata yang menyinggung tentang perempuan. Dia tak pernah bicara tentang TKW, perkosaan terhadap perem- puan, kekerasan domestik dan lain-lain. Kita tak pernah mendengar atau baca, dia pernah menghadiri kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan itu. Nah, karena dia presiden, mau tak mau gerakan perempuan harus mem’pressure’ dia ke arah itu. Kita harus menekan dia terus. Gerakan perempuan harus menjadi pressure group (kelom- pok penekan) terhadap Megawati. Ini memang tak bisa diramalkan sampai kapan akan berhasil.

Gerakan mahasiswa sudah menekan Soeharto sejak tahun 1974 tapi baru berhasil pada tahun 1998.

SR : Tadi ada mengatakan bahwa PDIP mene- rima kepemimpinan Megawati lebih karena dia anak Soekarno, bukan karena berkembangnya wacana yang lebih pro perempuan di sana.

Bagaimana anda melihat di partai-partai Islam, PKB misalnya ? Apakah ada peluang Khofifah menjadi Ketua Umum PKB ?

CM : Ketua umum mungkin agak sulit. Ini me- narik di kalangan NU. Mereka bisa sangat terbuka dalam wacana, tapi pada tingkat praktis sangat sulit.

Kehidupan kiyai NU itu khan sangat hirarkis dan sangat sulit ditembus, apalagi oleh perempuan.

Sebagai salah satu ketua, mungkin bisa (Khofifah salah satu ketua DPP PKB-red). Tapi itu juga

Referensi

Dokumen terkait

Begitu pula para sahabat radhiallahu anhum, mereka adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Diantara akhlak Salafush

Guru Bertugas 6 Nov RM3.50 setiap murid / PIBG Pelaksanaan rancangan berjalan dengan baik – 80% Perlaksanaan rancangan berjalan dengan baik – 90% Kelancaran

M.PH dengan penyakit hipertensi, tiga (3) masalah keperawatan yang berurutan sesuai dengan prioritas masalah keperawatan yaitu nyeri akut, defisit pengetahuan dan

Indeks perilaku finansial (financial behaviour) diukur dengan total skor jawaban responden dari skor total tujuh pertanyaan terkait kehati-hatian dalam memutuskan pembelian

Dilihat dari indikator kemampuan untuk menilai memperoleh skor 228 dengan persentase 79.15% berada pada kategori “Baik”.Dilihat dari indikator keterampilan

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh perawat untuk memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit diabetes melitus, pentingnya dukungan keluarga dan gaya hidup yang

Maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana merancang sistem informasi klinik untuk Klinik Bengawan Medistra yang berbasis web, dapat

1853 PDF(2) 795 Upaya Peningkatan Hasil Belajar Siswa terhadap Materi Pokok Binatang yang Halal dan Haram melalui Strategi Pembelajaran Index Card Match pada Mata