ANALISA KADAR AIR DAN KADAR ABU PADA SIMPLISIA TEMU GIRING (Curcumae heyneana) DAN SIMPLISIA
KUNYIT (Curcumae domestica) DI BALAI RISET DAN STANDARISASI INDUSTRI MEDAN
TUGAS AKHIR
Oleh:
SISWATI NIM 162410018
PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN
FAKULATAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan anugerah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul
“analisa kadar air dan kadar abu pada simplisia temu giring (Curcumae heyneana) dan simplisia kunyit (Curcumae domestica) di Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan”. Percobaan ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas dan masukan selama masa pendidikan dan penelitian, kepada Bapak Popi Patilaya, S.Si., M.Sc., Apt selaku Ketua Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan. Terimakasi kepada Ibu Dra. Sudarmi, M.Si., Apt selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dengan ikhlas dan sabar. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Bapak M. Nilzam, kepala Baristand Industri Medan dan Bapak Muhammad Al Amin Nasution, kepala Seksi Standardisasi dan Sertifikasi Baristand Industri Medan. Terima kasih kepada Bapak Hari Mulyadi Falah, Ibu Sri Chasnawati dan Bapak Handrian Syahputra Siregar selaku pembimbing PKL di Baristand Industri Medan.
Penulis juga menyampaikan rasan terimakasih serta penghargaan yang tulus dan tak terhingga kepada orang tua tersayang Ayahanda Suwarno dan
Ibunda Marsinah atas doa dan dukungan baik moril maupun materil dan teman- teman semua atas motivasi dan segala bantuan dalam penyelesaian tugas akhir ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan tugas akhir ini. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak guna memperbaiki tugas akhir ini. Akhir kata penulis berharap semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang farmasi.
Medan, 2020 Penulis,
Siswati
NIM 162410018
ANALISA KADAR AIR DAN KADAR ABU PADA SIMPLISIA TEMU GIRING (Curcumae heyneana) DAN SIMPLISIA
KUNYIT (Curcumae domestica) DI BALAI RISET DAN STANDARISASI INDUSTRI MEDAN
Abstrak
Latar Belakang: Produk obat-obat herbal yang berkualitas di tentukan oleh mutu dari bahan baku simplisia yang digunakan. Kunyit dan temu giring merupakan salah satu bahan baku produk herbal yang banyak penggunaannya di Indonesia.
Menurut SNI 01-2891-1992 salah satu persyaratan mutu simplisia adalah kadar air dan kadar abu. Penetapan kadar air simplisia sangat penting karena jumlah air yang tinggi dapat menjadi media tumbuhnya bakteri dan jamur yang dapat merusak senyawa yang terkandung di dalam simplisia. Penetapan kadar abu dilakukan untuk mengetahui kandungan komponen yang tidak mudah menguap yang tetap tinggal pada pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Semakin rendah kadar abu suatu bahan, maka semakin tinggi kemurniannya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kadar air dan kadar abu pada simplisia kunyit dan temu giring.
Metode: Sampel diambil dari Laboratorium Makanan Minuman Hasil Pertanian Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan. Analisa kadar air dilakukan dengan metode destilasi dan kadar abu total dilakukan dengan metode gravimetri sesuai dengan prosedur yang digunakan di laboratorium makanan minuman hasil pertanian Baristand Medan.
Hasil: Hasil kadar air pada simplisia kunyit dan temu giring sebesar 9,99% dan 7,97% sedangkan menurut Farmakope Herbal Indonesia maksimal 10,00%, maka memenuhi persyaratan. Hasil kadar abu simplisia kunyit dan temu giring sebesar 6,43% dan 7,25% sedangkan menurut Farmakope Herbal Indonesia simplisia kunyit dan temu giring maksimal 8,20% dan 9,80%, maka memenuhi persyaratan.
Kesimpulan: Kadar air dan kadar abu pada simplisia kunyit dan temu giring memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia (FHI) tahun 2008.
Kata kunci: simplisia, kadar air, kadar abu, kunyit, temu giring
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ... ... ..v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan Penelitian ... 3
1.3 Manfaat Penelitian ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1 Simplisia ... 4
2.1.1 Simplisia nabati ... 4
2.1.2 Simplisia hewani ... 4
2.1.3 Simplisia pelikan atau mineral ... 5
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Simplisia ... 5
2.3 Kunyit ... 10
2.3.1 Uraian tumbuhan ... 10
2.3.2 Sistematika tumbuhan ... 11
2.4 Temu Giring ... 11
2.4.1 Uraian tumbuhan ... 11
2.4.2 Sistematika tumbuhan ... 12
2.5 Perbedaan Tumbuhan Curcuma ... 12
2.5.1 Kunyit ... 12
2.5.2 Temu lawak ... 13
2.5.3 Temu hitam ... 13
2.5.4 Temu mangga ... 13
2.5.5 Temu putih ... 13
2.5.6 Temu giring ... 14
2.6 Penentuan Kadar Air ... 14
2.6.1 Metode oven ... 14
2.6.2 Metode desrilasi ... 14
2.7 Penetapan Kadar Abu Total ... 15
2.8 Analisis Gravimetri ... 17
2.8.1 Teknik analisis gravimetri khusus ... 18
2.8.1.1 Pengendapan homogen... 18
2.8.1.2 Penguapan ... 19
BAB III METODELOGI PENELITIAN ... 20
3.1 Tempat dan Waktu ... 20
3.2 Pengambilan Sampel ... 20
3.3 Alat dan Bahan ... 20
3.3.1 Alat ... 20
3.3.2 Bahan... 20
3.4 Prosedur Kerja ... 21
3.4.1 Penetapan kadar air pada simplisia ... 21
3.4.2 Penetapan kadar abu pada simplisia ... 21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22
4.1 Hasil ... 22
4.2 Pembahasan ... 23
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 25
5.1 Kesimpulan ... 25
5.2 Saran ... 25
DAFTAR PUSTAKA ... 26
DAFTAR TABEL
4.1 Hasil penetapan kadar air dan kadar abu pada simplisia kunyit dan
temu giring ... 23
DAFTAR LAMPIRAN
1. Perhitungan Penetapan Kadar Air pada Simplisia ... 28 2. Perhitungan Penetapan Kadar Abu pada Simplisia ... 30 3. Gambar Penentuan Kadar Air dan Kadar Abu pada Simplisia ... 32
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu simplisia tidak dapat dikatakan bermutu jika tidak memenuhi persyaratan mutu yang tertera dalam monografi simplisia. Persyaratan mutu yang tertera dalam monografi simplisia antara lain susut pengeringan, kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, kadar sari larut etanol, kadar sari larut air dan kandungan kimia simplisia meliputi kadar minyak atsiri dan kadar kurkuminoid.
Persyaratan mutu ini berlaku bagi simplisia yang digunakan dengan tujuan pengobatan dan pemeliharaan kesehatan (Azizah, 2013).
Pengembangan obat tradisional diusahakan agar dapat sejalan dengan pengobatan modern. Menteri Kesehatan Republik Indonesia mendukung pengembangan obat tradisional yaitu fitofarmaka yang berarti diperlukan adanya pengendalian mutu simplisia yang akan digunakan untuk bahan baku obat atau sediaan galenik (Febriani, 2015).
Produk obat-obat herbal yang berkualitas di tentukan salah satunya oleh mutu dari bahan baku (simplisia) atau ekstrak yang digunakan. Kunyit merupakan salah satu bahan baku produk herbal yang banyak penggunaannya di Indonesia.
Komponen utama kunyit yang di ketahui memiliki berbagai aktivitas adalah kurkumin, antara lain adalah anti virus, anti jamur, anti oksidan, anti kanker, antibiotik, antiseptik, anti inflamasi, anti diabetes, anti imunodefisiensi, anti aging, neuroprotective, anti koagulan dan menurunkan lipid darah (Azizah, 2013). Temu giring disebut juga temu reng. Temu giring mengandung minyak atsiri, zat pati
dan piperazin sitrat yang diketahui dapat menangkal serangan cacing gelang (Ascaris). Temu giring yang biasa digunakan untuk pengobatan adalah bagian akarnya. Akar rimpang yang pahit dikombinasi dengan tanaman obat lainnya digunakan untuk mendegenerasi lemak dan menjaga stamina.Akar rimpangnya juga dianggap sebagai pendingin dan sabun pembersih yang berguna untuk mengatasi penyakit kulit, luka tergores ringan dan juga sebagai obat cacing (Agoes, 2010).
Penetapan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui kandungan komponen yang tidak mudah menguap (komponen anorganik atau garam mineral) yang tetap tinggal pada pembakaran dan pemijaran senyawa organic. Semakin rendah kadar abu suatu bahan, maka semakin tinggi kemurniannya. Tinggi rendahnya kadar abu suatu bahan antara lain disebabkan oleh kandungan mineral yang berbeda pada sumber bahan baku dan juga dapat dipengaruhi oleh proses demineralisasi pada saat pembuatan. Menurut Farmakope Herbal Indonesia (FHI) Tahun 2008 kadar abu pada simplisia kunyit maksimal 8,20% dan temu giring maksimal 9,80%
(Rachmania, 2013). Penetapan kadar air simplisia sangat penting untuk memberikan batasan maksimal kandungan air di dalam simplisia, karena jumlah air yang tinggi dapat menjadi media tumbuhnya bakteri dan jamur yang dapat merusak senyawa yang terkandung di dalam simplisia. Menurut Farmakope Herbal Indonesia (FHI) Tahun 2008 kadar air pada simplisia kunyit dan temu giring maksimal 10,00% (Febriani, 2015).
Berdasarkan uraian di atas penulis perlu melakukan percobaan pada simplisia kunyit dan temu giring. Parameter yang diuji dalam percobaan ini adalah kadar air dan kadar abu.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kadar air dan kadar abu pada simplisia kunyit dan temu giring memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia (FHI) tahun 2008.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang kadar air dan kadar abu pada simplisia kunyit dan temu giring.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Simplisia
Simplisia adalah bentuk jamak dari kata simpleks yang berasal dari kata simple, berarti satu atau sederhana.Istilah simplisia dipakai untuk menyebut
bahan-bahan obat alam yang masih berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk. Simplisia adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses apapun dan kecuali dinyatakn lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Berdasarkan hal itu maka simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan/mineral (Gunawan, 2004).
2.1.1 Simplisia nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian tanaman, eksudat tanaman atau gabungan antara ketiganya. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu sengaja di keluarkan dari selnya. Eksudat tanaman dapat berupa zat-zat atau bahan-bahan nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan/diisolasi dari tanamannya (Gunawan, 2004).
2.1.2 Simplisia hewani
Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum bahan kimia murni. Contohnya adalah minyak ikan dan madu (Gunawan, 2004).
2.1.3 Simplisia pelikan atau mineral
Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah atau telah dioleh dengan cara sederhana dan belum berupa bahan kimia murni. Contohnya serbuk seng dan serbuk tembaga (Gunawan, 2004).
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Simplisia
Kualitas simplisia dipengaruhi oleh faktor bahan baku dan proses pembuatannya.
a. Bahan baku simplisia
Berdasarkan bahan bakunya, simplisia bisa diperoleh dari tanaman liar dan atau dari tanaman yang dibudidayakan. Jika simplisia diambil dari tanaman budi daya maka keseragaman umur, masa panen dan galur (asal usul, garis keturunan) tanaman dapat dipantau. Sementara jika diambil dari tanaman liar maka banyak kendala yang tidak bisa dikendalikan seperti asal tanaman, umur dan tempat tumbuh.
b. Proses pembuatan simplisia
Dasar pembuatan simplisia meliputi beberapa tahapan. Adapun tahapan tersebut dimulai dari pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, pengubahan bentuk, pengeringan, sortasi kering, pengepakan dan penyimpanan.
Berikut ini dasar pembuatan simplisia:
1. pengumpulan bahan baku
Tahap pengumpulan bahan baku sangat menentukan kualitas bahan baku.
Faktor yang paling berperan dalam tahap ini adalah masa panen. Berdasarkan
garis besar pedoman panen, pengambilan bahan baku tanaman dilakukan sebagai berikut.
- Biji
Pengambilan biji dapat dilakukan pada saat mulai mengeringnya buah atau sebelum semuanya pecah.
- Buah
Pengambilan buah tergantung tujuan dan pemanfaatan kandungan aktifnya. Panen buah bisa dilakukan saat menjelang masak, setelah benar-benar masak atau dengan cara melihat perubahan warna/bentuk dari buah yang bersangkutan.
- Bunga
Panen dapat dilakukan pada saat menjelang penyerbukan, saat bunga masih kuncup atau saat bunga sudah mulai mekar.
- Daun atau herba
Panen daun atau herba dilakukan pada saat proses fotosintesis berlangsung maksimal, yaitu ditandai dengan saat-saat tanaman mulai berbunga atau buah mulai masak. Untuk pengambilan pucuk daun berubah menjadi daun tua.
- Kulit batang
Pemanenan kulit batang hanya dilakukan pada tanaman yang sudah cukup umur.Saat panen yang paling baik adalah awal musim kemarau.
- Umbi lapis
Panen umbi dilakukan pada saat akhir pertumbuhan.
- Rimpang
Panen rimpang dilakukan pada saat awal musim kemarau.
2. Sortasi basah
Sortasi basah adalah pemilihan panen ketika tanaman masih segar. Sortasi dilakukan terhadap tanah dan kerikil, rumput-rumputan, bahan tanaman lain atau bagian lain dari tanaman yang tidak di gunakan dan bagian tanaman yang rusak (dimakan ulat dan sebagainya) (Gunawan, 2004)..
3. pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan kotoran lain yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih misalnya dari mata air, air sumur atau air PAM. Cara sortasi dan pencucian sangat mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba awal simplisia. Misalnya jika air yang digunakan untuk pencucian kotor maka jumlah mikroba pada permukaan bahan simplisia dapat bertambah dan air yang terdapatpada permukaan bahan tersebut dapat mempercepat pertumbuhan mikroba.Bateri yang umum terdapat dalam air adalah Pseudomonas, Proteus, Micrococcus, Bacillus, Streptococcus, Escherchia (Prasetyo, 2013).
4. Perajangan
Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan.
Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Tanaman yang baru diambil jangan langsung dirajang tetapi dijemur terlebih dahulu dalam keadaan utuh selama satu hari.
Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin perajang khusus sehingga di peroleh irisan tipis atau potongan dengan ukuran yang dikehendaki (Prasetyo, 2013).
Semakin tipis bahan yang dikeringkan, semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat yang berkhasiat yang mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, bau dan rasa yang diinginkan. Oleh karena itu bahan simplisia seperti temulawak, temu giring, jahe, kencur dan bahan sejenis lainnya di hindari perajangan terlalu tipis untuk mencegah berkurangnya minyak atsiri (Prasetyo, 2013).
5. Pengeringan
Berikut ini faktor yang mempengaruhi pengeringan
− Waktu pengeringan. Semakain lama dikeringkan akan semakin kering bahan tersebut.
− Suhu pengeringan. Semakin tinggi suhunya semakin cepat kering tetapi harus di pertimbangkan daya tahan kandungan zat aktif di dalam sel yang kebanyakkan tidak tahan panas.
− Kelembapan udara di sekitarnya dan kelembapan bahan atau kandungan air dari bahan.
− Ketebalan bahan yang dikeringkan.
− Sirkulasi udara.
− Luas permukaan bahan. Semakin luas permkaan bahan semakin mudah kering (Gunawan, 2004).
Pengeringan bagian tanaman yang akan diekstrak perlu dilakukan dengan teknik, suhu dan waktu yang tepat agar bahan aktifnya tidak rusak. Pengeringan biasanya dilakukan dengan pemaparan bagian tanaman terhadap aliran udara yang dingin atau panas yang disirkulasi dengan baikdalam ruangan hangat yang
tertutup/gelap hingga benar-benar kering. Jika bagian tanaman berupa rimpang atau kulit buah dan batang, maka irisan dari bagian-bagian tanaman tersebut disusun secara merata pada talam-talam pengering yang dialiri dengan udara pengering pada suhu kamar atau lebih tinggi agar pengeringan berlangsung secara merata/seragam. Pengeringan dengan panas matahari sebaiknya dihindari karena sinar UV dalam cahaya matahari cenderung merusak senyawa bahan aktif (Kumoro, 2015).
Air yang masih tersisa dalam simplisia dalam kadar tertentu dapat merupakan media pertumbuhan kapang dan jasad renik lainnya. Enzim tertentu dalam sel, masih dapat berkerja menguraikan senyawa aktif sesaat setelah sel mati dan selama bahan simplisia tersebut masih mengandung kadar air tertentu (Prasetyo, 2013).
6. sortasi kering
Sortasi kering adalah pemilihan bahan setelah mengalami proses pengeringan. Pemilihan di lakukan terhadap bahan-bahan yang terlalu gosong, bahan yang rusak akibat terlindas roda kendaraan (misalnya dikeringkan di tepi jalan raya)atau dibersihkan dari kotoran hewan (Gunawan, 2004).
7. pengepakkan dan penyimpanan
Setelah tahap pengeringan dan sortasi kering selesai maka simplisia perlu di tempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling bercampur antara simplisia satu dengan yang lainnya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengepakan dan penyimpanan simplisia yaitu cahaya, oksigen atau sirkulasi udara, reaksi kimia yang terjadi antara kandungan aktif tanaman dengan wadah, penyerapan air, kemungkianan terjadi proses dehidrasi, pengotoran atau
pencemaran baik yang di akibatkan oleh serangga, kapang,bulu-bulu tikus atau binatang lain (Gunawan, 2004).
Penyimpanan sebaiknya tidak dilakukan dalam jangka panjang, karena senyawa bahan aktif dapat mengalami degradasi selama waktu penyimpanan.
Untuk menjaga agar udara dalam kemasan tetap kering, maka uap air di dalam kemasan dapat dijerap dengan menambahkan silica gel yang dibungkus rapi (Kumoro, 2015).
2.3 Kunyit
2.3.1 Uraian tumbuhan
Kunir atau kunyit (Curcuma longa Linn. Sinonim dengan Curcuma domestia Val.) termasuk salah satu tanaman rempah dan obat asli dari wilayah
Asia Tenggara. Tanaman ini tumbuh dengan baik di Indonesia. Tanaman tumbuh tegak dengan mencapai ketinggian 1,0-1,5 m. Warna bunga putih atau putih bergaris hijau dan terkadang ujung bunga berwarna merah jambu. Bagian utama dari tanaman adalah rimpangnya yang berada didalam tanah (Agoes, 2010).
Kandungan utama dalam rimpang kunyit adalah kurkumin dan minyak atsiri, yang berfungsi untuk pengobatan hepatitis, anti-oksidan, gangguan pencernaan, antimikroba, antikolestrol, anti-HIV, antitumor, menghambat sel tumor payudara, menghambat ploriferasi sel tumor pada usus besar dan anti rematik. Kurkumin atau kurkuminoid adalah suatu campuran yang kompleks berwarna kuning oranye yang diisolasi dari tanaman kunyit telah dikenal di kalangan industri jamu atau obat tradisional dan banyak digunakan sebagai bahan baku dalam ramuan jamu (Rukmana, 2016).
2.3.2 Sistematika tumbuhan
Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman kunyit diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta Superdevisi : Spermatophyta Devisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Subkelas : Commelinidae Ordo : Zingiberales Family : Zingiberaceae Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma longa L. sin. Curcuma domestica Val. (Rukmana, 2016).
2.4 Temu Giring
2.4.1 Uraian tumbuhan
Temu giring (Curcuma heyneana) disebut juga temu reng. Tanaman ini merupakan semak semusim dan berbatang semu yang terdiri atas pelepah daun, permukaannya licin, berwarna hijau, serta berdaun tunggal. Perbungaannya majemuk dan mahkotanya berwarna kuning muda. Temu giring tumbuh liar di perkarangan dan ladang pada tanah yang lembab dengan ketinggian sampai 900 mdpl serta di tempat yang sedikit cahaya (Agoes, 2010).
Kandungan kimia temu giring yang sudah diketahui antara lain minyak atsiri, amilum dammar, lemak, tannin, saponin dan flavonoid. Anggota famili Zingiberaceae bersifat pahit sekali dan dingin. Khasiatnya sebagai antelmitikum dan adipositas. Bagian tanaman bermanfaat sebagai obat adalah rimpang untuk mengatasi berbagai penyakit seperti cacingan, cacar air, pelangsing, koreng, luka dan penyakit kulit (Hariana, 2014).
2.4.2 Sistematika tumbuhan
Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman kunyit diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta Superdevisi : Spermatophyta Devisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Subkelas : Commelinidae Ordo : Zingiberales Family : Zingiberaceae Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma heyneana Val. (Plantamor, 2019).
2.5 Perbedaan Tumbuhan Marga Curcuma 2.5.1 Kunyit
Tanaman kunyit memiliki ketinggian lebih kurang 1 meter dengan bunga berwarna putih. Rimpang luar berwarna jingga kecoklatan serta daging buah
berwarna kuning hingga merah jingga. Biasanya rimpang bergerombol dan bercabang (Hayati, 2003).
2.5.2 Temu lawak
Temu lawak memiliki ketinggian mencapai 1-2 meter. Daun temu lawak berwarna hijau dan di tengah-tangahnya terdapat guratan merah kecoklatan. Temu lawak memiliki mahkotanya berwarna putih kekuningan atau kuning tua (Hayati, 2003).
2.5.3 Temu hitam
Tanaman ini memiliki ciri-ciri, yaitu tinggi mencapai 2 meter, daun lebar berbentuk lanset berwarna hijau,tulang daun berwarna coklat bersemu hitam.
Warna rimpang jika diiris terlihat agak biru. Bunga berwarna putih agak merah, tumbuh di ketiak daun (Hayati, 2003).
2.5.4 Temu mangga
Tanaman ini memiliki ketinggian bisa mencapai 2 meter, rimpang berwarna putih. Daun berwarna hijau, berbentuk bulat lonjong penuh dengan bintik-bintik keil berwarna putih jernih. Mahkota berwarna kuning muda atau hijau keputihan.
Daging rimpang berwarna kuning seperti mangga, beraroma harum dan rasanya gurih seperti mangga (Hayati, 2003).
2.5.5 Temu putih
Rimpang temu putih berwarna putih, rasanya pedas, sangat pahit dan aromanya sangat tajam. Warna daun hijau lembayung disatu sisi dan di sisi lain merah gelap. Rimpang berwarna putih pucat. Bunga berwarna merah keunguan (Hayati, 2003).
2.5.6 Temu giring
Tumbuhan temu giring warna daunnya lebih terkesan hijau pucat dan tipis dengan urat daun berwarna hijau muda.Tinggi tanaman ini dapat mencapai 2 meter. Daging rimpang berwarna kuning muda. Tanaman ini memiliki bunga majemuk yang keluar dari batang semu dengan mahkota berwarna merah. (Hayati, 2003).
2.6 Penentuan Kadar Air 2.6.1 Metode oven
Penentuan kadar air di dasarkan pada penimbangan berat bahan. Selisih berat bahan segar dan berat keringnya merupakan kadar air yang dicari yang terkandung dalam bahan yang diperiksa. Pada metode ini pengeringan bahan dilakukan dengan menggunakan pemanasan bahan. Kehilangan berat akibat proses pengeringan dianggap sebagai berat kandungan air yang terdapat dalam bahan yang menguap selama pemanasan. Analisis kadar air bahan dengan pengeringan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan karakter bahan, kondisi oven dan penanganan bahan yang telah dikeringkan (Nadia, 2010).
2.6.2 Metode destilasi
Prinsip yang digunakan adalah penguapan air dari bahan bersama pelarut yang bersifat immiscible pada suatu pendinginan yang tetap. Uap bahan dan uap air pelarut dikondensasi dan ditampung dalam labu destilat. Jumlah air hasil destilasi bahan dapat langsung ditentukan dengan membaca miniskus pada labu destilat (Nadia, 2010).
Metode ini digunakan untuk bahan-bahan mengandung lemak dan kompenen-kompenen lain selain air yang mudah menguap pada perlakuan suhu tinggi. Pada metode destilasi ini, proses destilasi bahan dilakukan dengan menggunakan pelarut yang bersifat immiscible yaitu jenis pelarut yang tidak dapat bercampur dengan air. Selama proses destilasi, pelarut tersebut bersama air dalam bahan akan menguap pada suhu lebih rendah dari suhu didih air. Uap yang terbentuk mengalami kondensasi yang ditampung dalam labu penampung destilat (Nadia, 2010).
Penentuan kadar air metode destilasi merupakan jumlah volume air hasil destilasi bahan yang dapat langsung diketahui dengan membaca miniskus labu penampung destilat dan bukan karena kehilangan berat (Nadia, 2010).
2.7 Penentuan Kadar Abu Total
Analisis kandungan mineral suatu makanan dilakukan dengan cara didestruksi terlebih dahulu. Destruksi merupakan suatu perlakuan untuk melarutkan atau mengubah sampel menjadi bentuk materi yang dapat diukur sehingga kandungan berupa unsur-unsur di dalamnya dapat dianalisis. Dasarnya ada dua jenis destruksi yang dikenal yaitu destruksi kering dan destruksi basah (Rahmelia, 2015).
Penentuan kadar abu secara destruksi kering ditentukan dengan cara mengabukan atau membakar dalam tanur sejumlah berat makanan pada suhu 500- 600oC sampai semua karbon hilang dari bahan makanan tersebut. Sisanya adalah abu dan dianggap mewakili bagian anorganik makanan.Waktu lamanya pengabuan tiap bahan berbeda-beda dan berkisar antara 2-8 jam. Pengabuan
dilakukan pada alat pengabuan yaitu tanur yang dapat diatur suhunya. Pengabuan dianggap selesai apabila diperoleh sisa pembakaran yang umumnya berwarna putih abu-abu dan beratnya konstan dengan selang waktu 30 menit. Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam keadaan dingin, untuk itu cawan berisi abu yang ada dalam tanur harus lebih dahulu dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105oC agar suhunya turun menyesuaikan dengan suhu di dalam oven, selanjutnya dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin, kemudian abunya dapat ditimbang hingga hasil timbangannya konstan. Kadar abu ditentukan berdasarkan kehilangan berat setelah pembakaran dengan syarat titik akhir pembakaran dihentikan sebelum terjadi dekomposisi dari abu tersebut. Fungsi dari kadar abu tersebut yaitu mengetahui bahwa semakin tinggi kadar abu suatu bahan pangan, maka semakin buruk kualitas dari bahan pangan tersebut (Amelia, 2005).
Abu adalah zat anorganik dari sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kadar abu ditentukan berdasarkan kehilangan berat setelah pembakaran dengan syarat titik akhir pembakaran dihentikan sebelum terjadi dekomposisi dari abu tersebut. Fungsi dari kadar abu tersebut yaitu mengetahui bahwa semakin tinggi kadar abu suatu bahan pangan, maka semakin buruk kualitas dari bahan pangan tersebut (Amelia, 2005).
Destruksi basah adalah proses perombakan logam organik dengan menggunakan asam kuat, baik tunggal maupun campuran, kemudian dioksidasi menggunakan zat oksidator sehingga dihasilkan logam anorganik bebas. Destruksi basah sangat sesuai untuk penentuan unsur-unsur logam yang mudah menguap.
Metode destruksi basah merupakan metode yang menggunakan larutan asam kuat berupa HNO3 (Dini, 2014).
2.8 Analisis Gravimetri
Analisis gravimetri adalah cara analisis kuantitatif berdasarkan berat tetap (berat konstan)-nya. Dalam analisis ini, unsur atau senyawa yang dianalisis dipisahkan dari sejumlah bahan yang dianalisis. Bagian terbesar analisis gravimetri menyangkut perubahan unsur atau gugus dari senyawa yang dianalisis menjadi senyawa lain yang murni dan mantap (stabil), sehingga dapat di ketahui berat tetapnya. Berat unsur atau gugus yang dianalisis selanjutnya dihitung dari rumus senyawa serta berat atom penyusunnya (Gandjar, 2007).
Bobot tetap atau berat konstan pada penetapan susut pengeringan dan penetapan sisa pemijaran dimaksudkan bahwa dua kali penimbangan berturut- turut berbeda tidak lebih dari 0,5 mg tiap gram sisa yang ditimbang. Penimbangan dilakukan setelah zat dikeringkan atau dipijarkan lagi selama 1 jam. Dengan pernyataan bobot yang dapat di abaikan, di maksudkan bobot yang tidak lebih dari 0,5 mg (Dirjen POM, 1979).
Langkah penentuan secara gravimetri sangat sederhana, yaitu dimulai dari pelarutan sampel yang akan dianalisis di dalam pelarut tertentu sehingga diyakinkan bahwa semua senyawa target dapat larut secara sempurna di dalam pelarut yang dipergunakan, kemudian dilanjutkan dengan penambahan senyawa pengendap dalam jumlah berlebihan, yaitu senyawa tertentu (khusus) yang dapat secara selektif mengendapkan seluruh senyawa target sampai terbentuk endapan yang stabil dan dapat dipisahkan dari komponen senyawa lain dengan cara menyaring. Senyawa endapan yang berhasil dipisahkan kemudian dicuci, dikeringkan dan ditimbang menggunakan neraca analitik sampai diperoleh berat senyawa target. Dari berat endapan yang diperoleh akan dapat dihitung berat ion
target yang dianalisis, sehingga data yang diperoleh selanjutnya akan dapat dipergunakan untuk menghitung komposisi senyawa di dalam sampel (Situmorang, 2012).
Beberapa persyaratan yang diperlukan agar penentuan suatu senyawa secara analisis gravimetri dapat berhasil dengan baik diaplikasikan dalam analisis, diantaranya:
1. Senyawa yang akan ditentukan harus mengendap sempurna setelah penambahan senyawa pengendap khusus dalam jumlah berlebih. Perlu juga di ingat bahwa banyak senyawa yang mempunyai kelarutan sangat rendah di dalam pelarut tertentu, sehingga kehilangan senyawa akibat kelarutan di dalam pelarut dapat di abaikan.
2. Endapan senyawa yang akan ditimbang (dari hasil pengendapan) harus diketahui komposisinya dengan benar, sehingga kesalahan dalam perhitungan dalam perhitungan dapat di hindari.
3. Endapan yang terbentuk harus dalam keadaan murni dan mudah (dapat) disaring. Sering sekali dengan penambahan larutan pengendap segera terbentuk endapan, akan tetapi sangat sulit untuk mendapatkan endapan yang bebas dari kontaminasi (Situmorang, 2012).
2.8.1 Teknik analisis gravimetri khusus 2.8.1.1 Pengendapan homogen
Tujuan penentuan gravimetri adalah untuk menghasilkan endapan senyawa target dalam jumlah besar dan mudah disaring untuk selanjutnya dapat ditimbang.
Untuk mendapatkan endapan dalam jumlah besar diperlukan rasio supersaturasi rendah pada proses pengendapan, sehingga lebih cenderung untuk pertumbuhan
Kristal dibanding nukleasi. Pada senyawa pengendap ditambahkan ke dalam sampel, apabila konsentrasi senyawa yang ditambahkan besar akan menyebabkan rasio supersaturasi menjadi besar, sehingga kecenderungan nukleasi lebih besar di banding pertumbuhan kristal. Akan tetapi, apabila dalam proses pengendapan di lakukan dengan menggunakan larutan encer (konsentrasi rendah), misalnya melalui penambahan senyawa pengendap secara perlahan tetapi disertai dengan pengadukan yang cepat, proses ini juga tidak akan banyak menolong dalam mengatasi permasalahan supersaturasi. Salah satu teknik yang paling efisien untuk menghindari supersaturasi tinggi adalah dengan membentuk endapan secara perlahan (lambat) pada larutan, yaitu dengan cara reaksi kimia, proses ini disebut pengendapan homogen. Pembentukan endapan dengan cara lambat dan merata akan dapat menghasilkan nukleasi rendah, tetapi proses pertumbuhan kristal besar, sehingga akhirnya akan diperoleh endapan yang lebih murni dan mudah disaring (Situmorang, 2012).
2.8.1.2 Penguapan
Penentuan dengan cara penguapan adalah berdasarkan pengukuran berat sampel (yang mudah menguap) yang hilang setelah pemanasan. Prosedur ini sangat sederhana, yaitu melalui penimbangan senyawa (sebelum pemanasan), kemudian dilanjutkan dengan pemanasan, lalu didinginkan dan akhirnya dilakukan penimbangan kembali (sesudah pemanasan). Agar teknik ini dapat dilakukan dengan berhasil dengan baik maka senyawa yang akan ditentukan harus dalam bentuk senyawa tunggal dan akan menguap total bila dipanaskan. Teknik penguapan ini hanya berlaku untuk sampel-sampel tertentu saja, misalnya air yang terikat pada sampel tertentu (Situmorang, 2012).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Makanan Minuman Hasil Pertanian Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan yang berada di jalan Sisingamangaraja No.24 Medan pada tanggal 23 Februari sampai 1 Maret 2019.
3.2 Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah simplisia kunyit dan temu giring yang berasal dari Laboratorium Makanan Minuman Hasil Pertanian Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan.
3.3 Alat dan Bahan 3.3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat Aufhauser,batang pengaduk, batu didih, bola hisap, cawan pengabuan, corong, eksikator, gelas piala, gelas ukur, kaki tiga, labu leher tiga, neraca analitik,penjepit krus, pipet volume, pendingin tegas, penangas air listrik, spatel, statif, stopwatch, dan tanur listrik.
3.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air, serbuk simplisia kunyit, serbuk simplisia temu giring dan Xylol.
3.4 Prosedur Kerja
3.4.1 Penetapan kadar air pada simplisia
Metode destilasi: Timbang dengan seksama 5-10 gram cuplikan, masukkan ke dalam labu didih dan tambahkan 300 ml xylol serta batu didih. Sambungkan dengan alat Aufhauser dan panaskan di atas penangas listrik selama 1 jam dihitung sejak mulai mendidih. Setelah cukup 1 jam matikan penangas listrik dan biarkan alat Aufhauser mendingin. Bilas alat pendingin dengan xylol murni/toluene. Baca jumlah volume air (Badan Standar Nasional, 1992).
Perhitungan:
Kadar air = V
W x 100%
W = bobot cuplikan, dalam gram
V = volume air yang dibaca pada alat Aufhauser, dalam ml 3.4.2 Penetapan kadar abu pada simplisia
Timbang dengan seksama 2-3 gram contoh ke dalam sebuah cawan porselin yang telah diketahui bobotnya, untuk contoh cairan, uapkan di atas penangas air sampai kering. Arangkan di atas nyala pembakar, lalu abukan dalam tanur listrik.
Pada suhu maksimum 550oC sampai pengabuan sempurna (sekali-kali pintu tanur di buka sedikit, agar oksigen bisa masuk). Dinginkan dalam eksikator, lalu timbang dengan bobot tetap (Badan Standar Nasional, 1992).
Perhitungan:
Kadar Abu = W1- W2
W x 100%
W = bobot contoh sebelum diabukan, dalam gram
W1 = bobot contoh + cawan sesudah diabukan, dalam gram W2 = bobot cawan kosong, dalam gram
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Penetapan kadar air dan kadar abu pada sampel simplisia kunyit dan temu giring dilakukan di Laboratorium Makanan Minuman Hasil Pertanian Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan, sampel yang digunakan berasal dari Laboratorium Makanan Minuman Hasil Pertanian Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan. Metode yang digunakan yaitu metode destilasi dan penetapan kadar abu total secara langsung.
Penentuan kadar air metode destilasi digunakan untuk bahan-bahan mengandung lemak dan komponen-komponen lain selain air yang mudah menguap pada perlakuan suhu tinggi. Pada metode destilasi ini, proses destilasi bahan dilakukan dengan menggunakan pelarut yang bersifat immiscible yaitu jenis pelarut yang tidak dapat bercampur dengan air. Selama proses destilasi, pelarut tersebut bersama air dalam bahan akan menguap pada suhu lebih rendah dari suhu didih air. Uap yang terbentuk mengalami kondensasi yang ditampung dalam labu penampung destilat (Nadia, 2010).
Penentuan kadar abu secara langsung adalah mengoksidasikan senyawa organik pada suhu yang tinggi yaitu sekitar 500-600oC dan melakukan penimbangan zat yang tersisa setelah proses pembakaran tersebut. Waktu lamanya pengabuan tiap bahan berbeda-beda dan berkisar antara 2-8 jam.Pengabuan dilakukan pada alat pengabuan yaitu tanur yang dapat diatur suhunya. Pengabuan dianggap selesai apabila diperoleh sisa pembakaran yang umumnya berwarna
putih abu-abu dan diperoleh berat konstan dengan selang waktu 30 menit.
Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam keadaan dingin, untuk itu cawan berisi abu yang ada dalam tanur harus lebih dahulu dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105oC agar suhunya turun menyesuaikan dengan suhu di dalam oven, selanjutnya dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin, kemudian abunya dapat ditimbang hingga hasil timbangannya konstan (Amelia, 2005).
Hasil penetapan kadar air dan kadar abu pada simplisia kunyit dan temu giring dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.1 Hasil penetapan kadar air dan kadar abu pada simplisia kunyit dan temu giring.
No. Sampel Kadar Air (%) Kadar Abu (%)
1. Kunyit 9,99% 6,43%
2. Temu giring 7,97% 7,25%
4.2 Pembahasan
Hasil kadar air yang didapat pada percobaan simplisia kunyit dan temu giring berturut-turut adalah 9,99% dan 7,97%, menurut Farmakope Herbal Indonesia persyaratan kadar air untuk simplisia tersebut maksimal 10,00%, jadi hasil kadar air pada percobaan ini memenuhi persyaratan.
Hasil kadar abu yang didapat pada percobaan simplisia kunyit dan temu giring berturut-turut adalah 6,43% dan 7,25%, menurut Farmakope Herbal Indonesia persyaratan kadar abu untuk simplisia tersebut maksimal 8,20% dan 9,80%, jadi hasil kadar abu pada percobaan ini memenuhi persyaratan.
Kandungan air yang berlebihan pada bahan atau sediaan obat tradisional akan mempercepat pertumbuhan mikroba dan juga dapat mempermudah terjadinya hidrolisa terhadap kandungan kimianya sehingga dapat mengakibatkan penurunan mutu dari obat tradisional. Tujuan dari penetapan kadar air adalah untuk mengetahui batasan maksimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan. Hal ini terkait dengan kemurnian dan adanya kontaminan dalam simplisia tersebut. Dengan demikian, penghilangan kadar air hingga jumlah tertentu berguna untuk memperpanjang daya tahan bahan selama penyimpanan (Handayani, 2017).
Menurut Anonimous, kadar air simplisia sebaiknya lebih kecil dari 10,00%.
Apabila kadar air lebih besar dari 10,00% akan menyebabkan terjadinya proses enzimatik dan kerusakan oleh mikroba. Simplisia yang disimpan dalam waktu yang lama, enzim akan merubah kandungan kimia yang telah terbentuk menjadi produk lain yang mungkin tidak lagi memiliki efek farmakologi seperti senyawa asalnya. Hal ini tidak akan terjadi jika bahan yang telah dikeringkan mempunyai kadar air yang rendah. Berupa enzim perusak kandungan kimia antara lain adalah hidrolase, oksidase dan polymerase (Manoi, 2006).
Penetapan kadar abu total dilakukan dengan tujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal daro proses awal sampai terbentuknya simplisia. Kadar abu total berkaitan dengan mineral baik senyawa organik maupun anorganik yang diperoleh secara internal maupun eksternal (Febriani, 2015).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan hasil kadar air pada simplisia kunyit 9,99% dan pada simplisia temu giring 7,97%. Sedangkan hasil kadar abu pada simplisia kunyit 6,43% dan temu giring 7,25%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air dan kadar abu pada simplisia kunyit dan temu giring memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia (FHI) tahun 2008.
5.2 Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut yaitu kadar sari larut air, kadar sari larut etanol dan kadar abu tak larut asam guna untuk mengetahui apakah simplisia yang diuji dapat digunakan sebagai obat tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, A. (2010). Tanaman Obat Indonesia. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Halaman: 67-68, 99-100.
Amelia, M.R., dkk. (2014). Penentuan Kadar Abu (AOAC 2005). Fakultas Ekologi Manusia. 1-3.
Azizah, B., Nina, S. (2013). Standarisasi Parameter Non Spesifik dan Perbandingan Kadar Kurkumin Ekstrak Etanol dan Ekstrak Terpurifikasi Rimpang Kunyit.Jurnal Ilmiah Kefarmasian. 3(11): 22.
Badan Standar Nasional.(1992). Cara Uji Makanan dan Minuman. SNI 01-2891- 1992. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. Halaman 3-4.
Dirjen POM. (1979). Farmakope Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman: XXXIII.
Dini, K., dkk. (2014). Preparasi Sampel untuk Analisis Mineral. Fakultas Ekologi Manusia. 1-2.
Febriani, D., dkk. (2015). Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona muricata Linn.).Prosiding Penelitian SPeSIA Unisba. 475, 477- 478.
Gandjar, I.G dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Halaman: 91.
Gunawan, D., Sri, M. (2004).Ilmu Obat Alam. Jakarta: Penebar Swadaya.
Halaman: 9, 11,13.
Handayani, S., dkk.(2017). Penapisan Fitokimia dan Karakterisasi Simplisia Daun Jambu Mawar (Syzygium jambos Aiston).Jf Fik Uninam. 5(3): 179-180.
Hariana, A. (2014). Tumbuhan Obat & Khasiatnya.Seri 3. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman: 126.
Hayati, M. (2003).Terampil Membuat Ekstrak Temu-temuan. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Halaman: 15-16, 27-32.
Kumoro, A.C. (2015). Teknologi Ekstraksi Senyawa Bahan Aktif dari Tanaman Obat. Yogyakarta: Plantaxia. Halaman: 17, 21.
Manoi, F. (2006).Pengaruh Cara Pengeringan terhadap Mutu Simplisia Sambiloto.Bul Littro. 17(1): 3.
Nadia, L., dkk. (2010). Praktikum Kimia dan Analisis Pangan. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. Halaman: 3, 14-15.
Plantamor.(2019). Situs Dunia Tumbuhan.Diakses dari http:/www.
Plantamor.com/species/info/curcuma/heyneana. Pada tanggal 14 Mei 2019.
Prasetyo., Entang, I. (2013). Pengelolaan Budidaya Tanaman Obat-obatan.
Bengkulu: Badan Penerbit Fakultas Pertanian UNIB. Halaman: 18-19.
Rachmania, R.A., Fatimah, N., Elok, M. (2013). Ekstraksi Gelatin dari Tulang Ikan Tenggiri Melalui Proses Hidrolisis Menggunakan Larutan Basa.
Media Farmasi.10(2): 26.
Rahmelia, D., Anang, W.M., Diah., Irwan, S. (2015). Analisis Kadar Kalium (K) dan kalsium (Ca) dalam Kulit dan Daging Buah Terung Kopek Ungu (Solanum melongena) Asal Desa Nupa Bomba Kecamatan Tanantovea Kabupaten Donggala. J. Akad Kim. 4(3): 145, 147.
Rukmana, R., Herdi, Y. (2016). Budi Daya dan Pascapanen Tanaman Obat Unggulan. Yogyakarta: Lily Publisher. Halaman: 196-197.
Situmorang, M. (2012). Kimia Analitik I (Kimia Analitik Dasar). Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan.
Halaman: 87,106-108.
LAMPIRAN
Lampiran 1.Perhitungan Penetapan Kadar Air pada Simplisia
Kadar air = V
W x 100%
Keterangan:
W = bobot cuplikan, dalam gram
V = volume air yang dibaca pada alat Aufhauser, dalam ml NB: 1 mililiter setara dengan 1 gram
Contoh perhitungan:
1. Penetapan kadar air simplisia kunyit Kadar air (U-1) = 1.00 ml
10.0016 g x 100%
= 1.00 g
10.0016 g x 100%
= 0.10 x 100%
= 10.00%
Kadar air (U-2) = 1.00 ml
10.0154 g x 100%
= 1.00 g
10.0154 g x 100%
= 0.0998 x 100%
= 9.98%
Kadar Air = 10.00%+ 9.98%
2
= 19.98%
2
= 9.99%
2. Penetapan kadar air simplisia temu giring Kadar air (U-1) = 0.80 ml
10.0118 g x 100%
= 0.80 g
10.0118 g x 100%
= 0.0799 x 100%
= 7.99%
Kadar air (U-2) = 0.80 ml
10.0545 g x 100%
= 0.80 g
10.0545 g x 100%
= 0.0796 x 100%
= 7.96%
Kadar Air = 7.99%+ 7.96%
2
= 15.95%
2
= 7.97%
Sampel Volume air (ml) Berat contoh (g) Hasil kadar air (%)
kunyit
1.00 ml 10.0016 g 10.00 %
1.00 ml 10.0154 g 9.98 %
Rata-rata 9.99 %
Temu giring
0.80 ml 10.0118 g 7.99 %
0.80 ml 10.0545 g 7.96 %
Rata-rata 7.97 %
Lampiran 2. Perhitungan Penetapan Kadar Abu pada Simplisia Kadar Abu = W1- W2
W x 100%
Keterangan:
W = bobot contoh sebelum diabukan, dalam gram
W1 = bobot contoh + cawan sesudah diabukan, dalam gram W2 = bobot cawan kosong, dalam gram
Perhitungan:
1. Penetapan kadar abu pada simplisia kunyit Kadar Abu (U-1) = 38.3487 g - 38.2197 g
2.0014 g x 100%
= 0.1290 g
2.0014 g x 100%
= 0.0645 x 100%
= 6.45%
Kadar Abu (U-2) = 36.8278 g – 36.6993 g
2.0008 g x 100%
= 0.1285 g
2.0008 g x 100%
= 0.0642 x 100%
= 6.42%
Kadar Abu = 6.45%+ 6.42%
2
= 12.87%
2
= 6.43%
2. Penetapan kadar abu pada simplisia temu giring Kadar Abu (U-1) = 37.7740 g – 37.6702 g
1.4334 g x 100%
= 0.1038 g
1.4334 g x 100%
= 7.24%
Kadar Abu (U-2) = 39.1159 g – 39.0069 g
1.5009 g x 100%
= 0.109 g
1.5009 g x 100%
= 0.0726 x 100%
= 7.26%
Kadar Abu =7.24% + 7.26%
2
= 14.5%
2
= 7.25%
Sampel Berat cawan kosong(g)
Berat contoh (g)
Berat + cawan setelah dikeringkan
(g)
Hasil kadar abu (%)
kunyit
38.2197 g 2.0014 g 38.3487 g 6.45 %
36.6993 g 2.0008 g 36.8278 g 6.42 %
Rata-rata 6.43 %
Temu giring
37.6702 g 2.0007 g 37.7740 g 7.99 %
39.0069 g 2.0002 g 39.1159 g 7.96 %
Rata-rata 7.25 %
Lampiran 3. Gambar penentuan kadar air dan kadar abu
Gambar a. tanaman kunyit Gambar b. rimpang kunyit
Gambar c. simplisia kunyit Gambar d. serbuk simplisia kunyit
Gambar e. tanaman temu giring Gambar f. rimpang temu giring
Gambar g. simplisia temu giring Gambar h. serbuk simplisia temu giring
Gambar i. labu didih berisi serbuk simplisia kunyit dan xylo
Gambar j. penentuan kadar air metode destilasi dengan alat Aufhauser
Gambar k. cawan porselen + Gambar l. pengarangan di atas nyala
serbuk simplisia pembakar
Gambar m. pengabuan dalam tanur listrik
Gambar n. hasil kadar abu pada Gambar o. hasil kadar abu pada
Kunyit temu giring