41 PENERAPAN ANALISIS REGRESI SPASIAL PADA PERSENTASE
ANGKA GIZI BURUK DI PROVINSI SUMATERA BARAT
Rahmayeti, Dony Permana
Universitas Negeri Padang, Jln. Prof. Dr. Hamka Air Tawar Barat, Padang [email protected]
Abstract. One of the health problems in Indonesia is malnutrition in children under five. As a result of poor nutrition is susceptibility to infectious diseases that can cause death. The purpose of this study was to determine the characteristics of spatial patterns and the dominant factors affecting the rate of malnutrition. This study uses spatial regression analysis to map malnutrition rates. The data used were sourced from the Health Profile of the Province of West Sumatra in 2017. The response variable used was the percentage of malnutrition and there were several independent variables, namely the percentage of babies with low body weight, the percentage of infants aged 0-6 months still given exclusive breastfeeding, the percentage of children under five who were receive vitamin A, the percentage of children under five getting complete immunization, the percentage of antenatal visits (K4) to pregnant women, the percentage of households having PHBS, and the percentage of the population with access to proper sanitation. The results showed that the highest percentage of malnutrition was found in the Mentawai Islands Regency, which had no neighbors, while the lowest was in South Solok District which had the highest number of neighbors. The most dominant factor influencing the percentage of malnutrition is the percentage of babies with low birth weight. It was concluded that more and more an area has neighbors it can reduce the percentage of malnutrition in the region..
Keywords: Malnutrition, Mapping, Spatial Regression, SEM.
Abstrak. Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah gizi buruk pada balita.
Akibat yang ditimbulkan dari gizi buruk adalah kerentanan terhadap penyakit infeksi yang dapat menyebabkan kematian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pola spasial dan faktor yang dominan berpengaruh terhadap angka gizi buruk. Penelitian ini menggunakan analisis regresi spasial untuk pemetaan angka gizi buruk. Data yang digunakan bersumber dari Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2017. Variabel respon yang digunakan adalah persentase angka gizi buruk dan terdapat beberapa variabel bebas yaitu persentase bayi dengan berat badan rendah, persentase bayi umur 0-6 bulan masih diberi Asi Ekslusif, persentase balita yang menerima vitamin A, persentase balita mendapatkan imunisasi lengkap, persentase kunjungan antenatal (K4) pada Ibu hamil, persentase rumah tangga ber-PHBS, dan persentase penduduk dengan akses sanitasi layak. Hasil penelitian menunjukkan persentase angka gizi buruk tertinggi terdapat pada Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan kabupaten yang tidak memiliki wilayah tetangga, sedangkan terendah terdapat pada Kabupaten Solok Selatan yang memiliki jumlah tetangga terbanyak.
Faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap persentase gizi buruk adalah persentase bayi dengan berat badan lahir rendah. Maka dapat disimpulkan semakin banyak suatu wilayah memiliki tetangga maka dapat mengurangi persentase gizi buruk pada wilayah tersebut
Kata kunci: Gizi Buruk, Pemetaan, Regresi Spasial, SEM.
42 PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah meningkatnya angka kematian anak dibawah usia 5 tahun (balita). Menurut Dewi (2012) salah satu penyebab kematian balita adalah kejadian gizi buruk pada balita. Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya dibawah standar rata-rata (Kurniawati, 2016). Status gizi buruk pada balita dapat menghambat pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berpikir yang akan menurunkan produktivitas kerja (Dewi, 2012). Gizi yang baik akan menurunkan kesakitan, kecacatan, dan kematian sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Suharidewi, 2017). Pada data Riset Kesahatan Dasar tahun 2018 balita yang mengalami masalah gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia pada tahun 2017 mencapai 17,8%, sedangkan pada tahun 2018 sebesar 17,7% mengalami sedikit penurunan sebesar 0,1%. Namun angka tersebut masih tinggi, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) di Indonesia pada tahun 2019 adalah 17% (Departemen Kesehatan RI, 2018).
Berdasarkan data laporan Riset Kesehatan Dasar diantara semua Provinsi di Indonesia, Provinsi dengan proporsi gizi buruk dan gizi kurang pada balita tertinggi adalah Provinsi dengan proporsi gizi buruk dan gizi kurang pada balita tertinggi adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 29,5 %, terendah adalah Kepulauan Riau sebesar 13%. Sementara Sumatera Barat termasuk dalam kelompok menengah yakni sebesar 19,6% balita ditemukan mengalami masalah gizi. Sumatera Barat yang merupakan provinsi berbasis pangan, kawasan Sumatera Barat seharusnya menjadi daerah yang memiliki proporsi gizi buruk terendah. Ironisnya pada data Riset Kesehatan Dasar menunjukkan proprsi gizi buruk pada balita di Sumatera Barat masih terbilang tinggi.
Menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF, 1998) ada dua penyebab yang mempengaruhi status gizi yaitu (1) Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan makanan yang dikonsumsi tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan. (2) Akibat gejala penyakit yang mengakibatkan infeksi. Pada penelitian ini, yang menjadi objek penelitian adalah data persentase gizi buruk di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Barat.
Sehingga pengamatannya berupa wilayah atau spasial. Dengan adanya aspek spasial maka faktor kedekatan antar wilayah juga perlu diperhitungkan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka didapatkan permasalahan untuk mengembangkan pemodelan balita gizi
43 buruk dengan mempertimbangkan adanya aspek spasial. Permasalahan dapat dikatakan memiliki aspek spasial jika datanya berupa data spasial.
Menurut Lee and Wong (2001), bentuk distribusi pola data spasial diantaranya yaitu pola random, dispersed dan clustered. Pola random adalah beberapa area terletak secara acak di beberapa lokasi, sementara pola disperse adalah setiap area berada secara merata dan berjauhan dengan area lainnya atau mengelompok. Sedangkan pola clustered adalah beberapa area membentuk suatu kelompok dan saling berdekatan.
Salah satu metode yang dapat menganalisis adanya aspek spasial adalah regresi spasial.
Regresi spasial merupakan pengembangan dari model regresi linier, pengembangan ini karena adanya pengaruh tempat atau spasial pada data yang dianalisis (Wang, 2016). Perbedaannya, pada regresi linier model yang diperoleh berlaku secara umum terhadap semua lokasi pengamatan, sedangkan regresi spasial menggunakan pembobotan berdasarkan lokasi tiap pengamatan sehingga model yang diperoleh akan berlaku hanya untuk lokasi tersebut (Cahyani, 2018). Beberapa model dari regresi spasial dengan pendekatan area yaitu Spatial Autoregressive Model (SAR), dan Spatial Error Model (SEM).
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat diketahui pola sebaran persentase gizi buruk dan faktor-faktor yang mempengaruhi angka gizi buruk paling dominan di Provinsi Sumatera Barat sebagai bentuk antisipasi terhadap kejadian gizi buruk dalam menangggapi fenomena spasial yang terjadi pada setiap Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat.
METODE PENELITIAN
Tahapan analisis pada penelitian ini menggunakan analisis regresi spasial dengan pendekatan area yaitu model SAR dan SEM. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Melakukan ekspolarasi terhadap datasebaran angka gizi buruk berupa peta tematik 2. Membentuk matriks pembobot spasial dengan menggunakan metode Queen
Contiquity untuk mengetahui hubunngan antar wilayah amatan dilihat dari persinggungan sisi dan titik sudut.
3. Menguji efek heterogenitas spasial dengan uji Breush-Pagan untuk mengetahi adanya efek heterogenitas spasial dan mengukur autokorelasi menggunakan indeks Moran’s. Hipotesis untuk uji Breush-Pagan sebagai berikut :
44 Hipotesis :
: Terdapat homoskedasititas spasial : Terdapat heteroskedasititas spasial
Statistik uji: = ′′′ + [′]~ + 1 (1) Dengan :
= . − 1 = !"[′ + ]
Menolak H0 jika > $%, atau nilai P-value < α maka dapat disimpulkan bahwa terdapatnya keheterogenitasan/keragaman spasial.
Hipotesis untuk uji indeks Moran’s :
: ' = 0 (tidak ada autokorelasi antar wilayah)
: ' ≠ 0 (ada autokorelasi antar wilayah)
Statistik uji: = +,+ -./+ ≈ 10,1 (2)
Pengambilan keputusan tolak jika > % 2 atau dengan menggunakan P-value
< α, bearti terdapat autokorelasi spasial.
4. Melakukan pemodelan regresi spasial dengan uji Langrange Multiplier (LM) untuk mengetahui model apa yang sesuai prosedur.
a. Langrange Multiplier untuk lag Hipotesis:
: 3 = 0 (tidak ada ketergantungan spasial pada variabel respon)
: 3 = 0 (ada ketergantungan spasial pada variabel respon) Statistik uji : 45 =6
789 787/;<
= (3) Keputusan tolak jika 45 > $%> atau menggunakan nilai p-value < α bearti model yang akan dibuat adalah model SAR
b. Langrange Multiplier untuk error Hipotesis:
: ? = 0 (Tidak ada ketergantungan spasial pada error)
: ? ≠ 0 (ada ketergantungan spasial pada error) Statistik uji :
45 45 =@8A B
(4) Keputusan tolak jika 45 > $%> atau menggunakan nilai p-value < α bearti model yang akan dibuat adalah model SEM.
5. Melakukan pendugaan parameter regresi spasial dan pengujian signifikansi parameter regresi spasial.
6. Pemilihan model terbaik menggunakan nilai AIC terkecil.
HASIL DAN PEMBAHASAN Ekspolarasi Data
Ekspolarasi data pola spasial sebaran persentase angka gizi buruk di setiap kabupaten/kota di Sumatera Barat berupa peta tematik sebagai berikut.
Gambar 1. Peta Tematik Persentase Angka Gizi Buruk di Sumatera Barat Pada Gambar 1 persentase angka gizi buruk di Sumatera Barat membentuk pola mengelompok, dapat dilihat dari daerah yang berdekatan berada pada kelompok yang sama dengan 3 kategori yaitu hitam, abu-abu, dan putih. Untuk warna hitam persentase angka gizi buruk di Sumatera Barat tersebar pada Kabupaten Kepulauan Mentawai termasuk kategori tinggi. Untuk Warna abu-abu tersebar pada daerah Kabupaten Sijunjung. Sedangkan untuk warna putih terdapat pada Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman Barat, Kota Bukittinggi, Kota Padang Panjang, Kota Payakumbuh, Kota Sawahlunto, Kota Pariaman, Kota Padang, Kota Solok, Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Dharmasraya.
Matriks Pembobot Spasial ()
Pada tahap ini, akan dibentuk matriks berukuran 19 × 19 yang menggunakan pembobot spasial Queen Contiguity. Kabupaten/Kota yang paling banyak
46 ketetanggannya (contiguity) terletak pada Kabupaten Solok sedangkan jumlah tetangga yang paling sedikit atau tidak memiliki tetangga terletak pada Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kemudian dibentuk matriks pembobot spasial EFGdengan ordo 19 × 19.
Pengujian Efek Spasial
Pengujian efek spasial dilakukan untuk melihat apakah data setiap variabel memiliki pengaruh spasial pada lokasi. Pengujian efek spasial dapat dilakukan dengan pengujian menggunakan Breush-pagan (BP) untuk mengetahui adanya efek heterogenitas spasial dan untuk menganalisis pola spasial menggunakan Indeks Moran’s dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut.
Table 1. Pengujian Efek Spasial
Uji Nilai P-value
Breush-pagan 5,504 0,598
Indeks Moran’s -2,247 0,024
α = 0,05
Hasil Pengujian Breush-Pagan (BP) sebesar 5,504 dengan p-value lebih besar dari H = 0,05 sehingga terdapat kesamaan karakteristik antar wilayah amatan. Untuk hasil hitungan indeks moran dihasilkan nilai indeks moran sebesar −2,247 dengan p-value sebesar 0,024 maka adanya autokorelasi spasial antar wilayah di Provinsi Sumatera Barat.
Uji Langrange Multiplier
Lagrange Multiplier digunakan untuk mendeteksi autokorelasi spasial dengan lebih spesifik yaitu lag dan error. Hasil pengujian Lagrange Multiplier disajikan pada Tabel 2.
Table 2. Pengujian Efek Spasial
Uji Langrange Multiplier Nilai P-value Lagrange Multiplier (Lag) 3,271 0,070 Lagrange Multiplier (Error) 6,166 0,013 Taraf signifikan α = 0,05
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa nilai p-value dari Lagrange Multiplier (error) sebesar 0,013 lebih kecil dari H (0,05) sehingga terdapat ketergantungan spasial pada error, maka pemodelan harus dilanjutkan dengan pembentukan model Spatial
47 Error Model (SEM). Pengujian signifikansi parameter digunakan untuk melihat pengaruh masing-masing variabel bebas. Uji signifikansi parameter model SEM dapat dilihat pada Tabel 3. Pengujian signifikansi model SEM dapat dilakukan dengan melihat nilai p-value pada koefisien lambda.
Tabel 3. Pengujian Signifikansi Parameter Model SEM Seluruh Variabel Bebas Variabel Koefisien Std Eror Z-value P-value
Lambda -0,940 0,202 -4,641 0,000
Konstanta -5,090 1,058 -4,808 0,000
X1 0,492 0,097 5,032 0,000
X2 0,012 0,016 0,749 0,453
X3 0,040 0,014 2,815 0,091
X4 -0,110 0,033 -3,587 0,000
X5 0,134 0,026 4,981 0,000
X6 -0,012 0,016 -0,857 0,391
X7 -0,063 0,010 -6,641 0,000
Berdasarkan Tabel 3 hasil menunjukkan bahwa koefisien lambda nyata dengan nilai p-value < α (0,05) artinya koefisien regresi spasial layak digunakan pada model.
Kemudian untuk pengujian signifikasi parameter variabel bebasnya dilihat dari nilai nilai p-value < α (0,05) pada Tabel 3 terlihat bahwa tidak semua variabel bebas memberikan pengaruh signifikan terhadap variabel respon. Sehingga harus direduksi untuk mendapatkan nilai signifikansi yang lebih kecil dari 0,05 dengan mengeluarkan satu persatu variabel bebas (X) yang memiliki nilai p-value yang lebih besar dari taraf nyata 0,05 maka diperoleh Tabel 4 sebagai berikut.
Tabel 4. Hasil Analisis SEM direduksi
Variabel Koefisien Std Eror Z -value P-value
Lambda -0,952 0,199 -4,263 0,000
Konstanta -4,911 1,049 -2,659 0,000
X1 0,458 0,103 5,433 0,000
X4 -0,103 0,031 5,145 0,000
X5 0,128 0,026 4,892 0,000
X7 -0,060 0,011 -4,998 0,000
Pada Tabel 4 diatas nilai koefisien lambda adalah −0,952 dengan nilai p-value sebesar 0,000 yang bearti bahwa model reduksi yang diperoleh sama baiknya dengan melibatkan seluruh variabel bebas. Semua variabel bebas sudah memiliki nilai signifikansi kecil dari 0,05 sehingga menjadi variabel bebas untuk model terbaik dalam penelitian ini.
Pemilihan Model Terbaik dengan Nilai AIC Terkecil
48 Hasil output nilai AIC dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut ini.
Tabel 5. Nilai AIC
Variabel Nilai AIC
Y, X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7 56,070 Y, X1, X3, X4, X5, X6, X7 54,667 Y, X1, X4, X5, X7 52,884
Berdasarkan Tabel 5 Nilai AIC yang terkecil pada model Spatial Error Model (SEM) adalah 52,884. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6 sebagai berikut.
Tabel 6. Hasil Model Terbaik Berdasarkan Nilai AIC Variabel Koefisien Std Eror Z -value P-value
Lambda -0,952 0,199 -4,762 0,000
Konstanta -4,911 1,049 -4,678 0,000
X1 0,458 0,090 5,057 0,000
X4 -0,103 0,030 -3,441 0,000
X5 0,128 0,026 4,892 0,000
X7 -0,060 0,009 -6,346 0,000
Berdasarkan Tabel 6, diperoleh model Spatial Error Model terbaik dengan variabel bebas yang signifikan adalah sebagai berikut:
MN = −4,911 − 0,952O + 0,458− 0,103R+ 0,128S− 0,060U
Koefisien lambda yang nyata menunjukkan bahwa jika suatu wilayah yang dikelilingi oleh tetangga. Maka akan mengurangi peresentase gizi buruk masing-masing wilayah sebesar 0,952 %..
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, pola sebaran persentase angka gizi buruk di Provinsi Sumatera Barat membentuk pola mengelompok maka terdapat kesamaan karakteristik antar lokasi yang berdekatan. Kabupaten yang tidak mempunyai wilayah tetangga adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang mana wilayah tersebut termasuk dalam kategori tinggi memiliki persentase gizi buruk.
Sementara Kabupaten Solok memiliki wilayah tetangga terbanyak, wilayah tersebut termasuk kategori terendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin banyak suatu wilayah memiliki wilayah tetangga maka akan mengurangi persentase gizi buruk pada wilayah tersebut.
49 Faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap persentase angka gizi buruk di Provinsi Sumatera Barat adalah persentase bayi dengan berat badan lahir rendah(), persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap (R), persentase kunjungan antenatal (K4) pada Ibu hamil (S), dan persentase penduduk dengan akses sanitasi layak (U).
Sedangkan Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi persentase angka gizi buruk di Provinsi Sumatera Barat adalah persentase bayi dengan berat badan lahir rendah ().
DAFTAR PUSTAKA
Cahyani Rizky dan Sutikno. 2018. Pemodelan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Kota Surabaya Menggunakan Regresi Spasial. Jurnal Sains dan Seni ITS. Vol. 7, No. 2. ISSN:2337-3520.
Dewi Kurnia R. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Angka Gizi Buruk di Jawa Timur dengan Pendekatan Regresi Nonparametrik Spline. Jurnal Sains dan Seni ITS. Vol. 1, No. 1. ISSN: 2301-928X.
Departemen Kesehatan RI. 2018. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2018. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. 2018. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Barat Tahun 2017. Padang : Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat.
Kurniawati A. 2016. Pemetaan Angka Gizi Buruk pada Balita di Jawa timur dengan Geographically Weighted Regression. Jurnal Sains dan Seni ITS. Vol. 5. No. 2.
Lee, J and Wong, D. W. S. 2011. Statistical Analysis with Arcview GIS. New York : John Wiley And Sons.
Suharidewi Triana. 2017. Gambaran Status Gizi pada Anak TK di Wilayah Kerja UPT Kesmas Blahbatuah II Kabupaten Gianyar Tahun 2015. E-Jurnal Medika. Vol.
6. No. 6. ISSN: 2303-1395.
UNICEF. 1998. The State of The World’s Children. NewYork : UNICEF (Online).
Diperoleh pada 23 April 2019 http://www.unicef.org/sowc98/fs01.htm.
Wang, C. 2016. The Impact of car ownership and public transport usage on cancer screening coverage : Empirical evidence using a spatial analysis in England.
Journal of transport geography. University of london, page 15-22.