1
1.1 Latar Belakang
Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yang terkandung di dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami di lahan yang relatif datar atau cekung dengan endapan mineral atau gambut, dan ditumbuhi vegetasi, yang merupakan suatu ekosistem (Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2013 tentang Rawa). Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah tersebut, rawa dikuasai oleh negara dan hal ini mengandung makna negara menjamin hak setiap orang dalam pemanfaatan rawa sebagai sumberdaya air dan lahan bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. Rawa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu rawa pasang surut dan rawa lebak. Rawa pasang surut merupakan rawa yang terletak di tepi pantai atau dekat pantai, di muara sungai atau dekat muara sungai, dan tergenangi air yang dipengaruhi pasang surut air laut, sedangkan rawa lebak merupakan rawa yang terletak jauh dari pantai dan tergenangi air akibat luapan air sungai dan/atau air hujan yang menggenang secara periodik atau menerus.
Pada mulanya rawa lebak (selanjutnya disebut rawa) merupakan lahan
perairan marjinal dan kurang dimanfaatkan masyarakat. Seiring dengan
berkembangnya kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup, rawa mulai dimanfaatkan
sebagai sumber penghidupan masyarakat, baik secara in-situ (di dalam perairan
rawa) maupun ex-situ (di luar perairan rawa). Perkembangan pemanfaatan rawa,
khususnya secara in-situ yang tidak terkendali menyebabkan munculnya berbagai permasalahan lingkungan seperti yang terjadi di Rawa Jombor.
Rawa Jombor yang terletak di Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten pada mulanya hanya dimanfaatkan sebagai sumber air irigasi bagi lahan pertanian di wilayah Kecamatan Bayat dan Kecamatan Cawas, serta sebagai tempat penangkapan ikan. Masyarakat sekitar rawa selanjutnya memanfaatkan perairan rawa sebagai lahan budidaya ikan dalam karamba jaring tancap (selanjutnya disebut jaring tancap) dan karamba jaring apung (selanjutnya disebut jaring apung) serta kegiatan wisata kuliner warung apung. Di perairan Rawa Jombor terdapat 21 warung apung, sedangkan masyarakat yang mengusahakan jaring tancap (sebelum adanya larangan penggunaan jaring tancap pada tahun 2011) berjumlah 525 orang dan tergabung dalam 13 kelompok petani karamba, namun sampai dengan bulan Agustus 2012 masyarakat Desa Krakitan yang telah mengusahakan budidaya ikan dengan jaring apung berjumlah 66 orang (PPL Perikanan Kecamatan Bayat, 2013).
Kegiatan pemanfaatan Rawa Jombor secara in-situ menghasilkan limbah
organik yang terakumulasi di dasar rawa dan selanjutnya mengalami proses
dekomposisi dan menyebabkan terjadinya eutrofikasi dan blooming eceng
gondok. Pertumbuhan populasi eceng gondok yang berlebihan akan mengurangi
volume air rawa melalui proses evapotranspirasi, menurunkan atraksi dan
keindahan rawa, serta mengganggu kegiatan pariwisata, kegiatan perikanan dan
kegiatan pertanian. Fenomena tersebut akan menimbulkan berbagai permasalahan
lingkungan, yaitu:
1. lingkungan abiotik berupa penurunan kualitas air rawa, pendangkalan rawa dan berkurangnya luasan perairan rawa, serta perubahan rawa menjadi daratan, dan selanjutnya menimbulkan ancaman banjir terhadap wilayah sekitar rawa terutama pada musim hujan,
2. lingkungan biotik berupa ancaman hilangnya keanekaragaman hayati ekosistem rawa, dan
3. lingkungan sosial berupa ancaman konflik horisontal masyarakat, yaitu antara petani pemakai air dan pelaku usaha jaring tancap maupun warung apung (Kedaulatan Rakyat, 15 Mei 2010), selain itu terjadi penurunan jumlah wisatawan, penurunan hasil produksi perikanan dan pertanian, dan pada akhirnya penghidupan masyarakat sekitar menjadi tidak berkelanjutan.
Upaya pelestarian Rawa Jombor telah mendapat perhatian dari pemerintah. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Klaten pada tahun 2010 mengajukan anggaran revitalisasi Rawa Jombor sebesar Rp 85 milyar kepada Kementerian Pekerjaan Umum. Kegiatan revitalisasi rawa tersebut selanjutnya dilakukan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (BBWSBS) secara bertahap sejak tahun 2011, yaitu menggunakan dana sebesar Rp 12 milyar dan pada tahun 2012 sebesar 7 milyar. Revitalisasi Rawa Jombor yang dilakukan meliputi pengerukan sedimen, pembersihan eceng gondok, pembangunan talud dan penataan warung apung (Solopos.com, 6 April 2012).
Mulai bulan Juni 2013 kegiatan revitalisasi Rawa Jombor dilaksanakan kembali
dengan menggunakan dana sebesar Rp 12 milyar, dengan pekerjaan utama berupa
pengerukan sedimen dan pembuatan talud. Dana yang dibutuhkan guna
revitalisasi Rawa Jombor ternyata lebih besar dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Klaten tahun 2010 – 2012 seperti terlihat pada Tabel 1.1
Tabel 1.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Klaten Tahun 2010 - 2012
No Tahun PAD
1 2010 Rp 61.743.899.429,-
2 2011 Rp 72.293.789.848,-
3 2012 Rp 80.222.210.544,-
Sumber: Bappeda Klaten 2013
Kontribusi sektor pertanian (dalam arti luas) terhadap perekonomian Kabupaten Klaten tahun 2010 menurut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 sebesar 19,61% seperti ditunjukkan Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Klaten Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2010 (Jutaan Rupiah)
Lapangan Usaha Tahun 2010 %
1 Pertanian 949.998,50 19,61
1.1 Tanaman bahan makanan 682.814,48 14,10
1.2 Perkebunan 33.251,64 0,87
1.3 Peternakan 182.982,00 3,78
1.4 Kehutanan 35.554,75 0,93
1.5 Perikanan 15.395,63 0,32
2 Penggalian 69.776,92 1,44
3 Industri pengolahan 978.879,71 20,21
4 Listrik dan air bersih 37.084,34 0,77
5 Bangunan / konstruksi 353.549,64 7,30
6 Perdagangan, hotel dan restoran 1.399.425,71 28,90
7 Angkutan dan komunikasi 144.864,43 3,00
8 Keuangan, persewaan & jasa perusahaan 191.236,65 3,95
9 Jasa-jasa 718.431,38 14,83
Produk Domestik Regional Bruto 4.843.247,28
Penduduk Pertengahan Tahun (Jiwa) 1.305.383
PDRB Per Kapita (Rupiah) 3.710.211,70
Sumber: Bappeda Klaten, 2013
Tanaman bahan pangan memberikan sumbangan terbesar pada sektor pertanian tersebut, yaitu sebesar 14,10%, sedangkan perikanan memberikan sumbangan terkecil, yaitu sebesar 0,32%. Kontribusi sektor perikanan tersebut di samping berasal dari hasil budidaya ikan di kolam daratan, juga berasal dari hasil budidaya dengan jaring tancap dan jaring apung, serta penangkapan ikan di Rawa Jombor.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengamanatkan bahwa masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu bentuk peranserta masyarakat tersebut adalah kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Fenomena yang banyak dijumpai saat ini terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup adalah kegiatan pemanfaatan lingkungan hidup lebih banyak dilakukan masyarakat (lebih dipentingkan) dibandingkan dengan kegiatan pelestariannya. Hal tersebut pada akhirnya akan menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi masyarakat, yang dikenal dengan The tragedy of the common (Hardin, 1968).
Menurut Hardin (1968), adanya kebebasan dalam pemanfaatan
sumberdaya bersama akan membawa kerugian bagi semuanya, karena
sumberdaya akan habis terpakai. Hal tersebut telah dialami perairan Rawa
Jombor yang dianggap sebagai sumberdaya milik bersama, namun saat ini
pemanfaatannya tidak terkendali dan mengakibatkan berbagai permasalahan
lingkungan, termasuk di antaranya menimbulkan kerugian dan mengancam
penghidupan masyarakat. Fenomena The tragedy of the common di perairan Rawa Jombor tersebut dapat dicegah dengan beberapa upaya, di antaranya adalah dengan pemanfaatan rawa secara terkendali dan pelestarian rawa.
1.2 Permasalahan Penelitian
Pemanfaatan perairan Rawa Jombor sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat melalui kegiatan budidaya ikan dengan jaring apung dan wisata kuliner warung apung telah menyebabkan terjadinya pencemaran dan degradasi lingkungan perairan rawa, dan selanjutnya menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan, baik lingkungan abiotik, biotik dan manusia, serta menimbulkan kerugian dan ancaman bencana bagi masyarakat. Berdasarkan fenomena tersebut bagaimana dengan penghidupan berkelanjutan masyarakat terkait dengan pemanfaatan rawa sebagai sumber penghidupannya. Hal ini menarik untuk dikaji lebih mendalam.
Rawa Jombor selain dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan
masyarakat, juga sangat potensial untuk dikembangkan sebagai obyek wisata
unggulan di Kabupaten Klaten, namun pada sisi lain menghadapi berbagai
permasalahan lingkungan dan ancaman bencana yang dapat timbul di wilayah
tersebut. Hal tersebut mengharuskan Rawa Jombor dikelola dengan baik dan
dijaga kelestariaannya, agar penghidupan masyarakat terkait dengan pemanfaatan
rawa dapat berjalan secara berkelanjutan. Melihat arti pentingnya Rawa Jombor
bagi masyarakat, khususnya yang memanfaatkan rawa sebagai lahan usaha, maka
perlu dikaji bagaimana dengan persepsi dan peranserta masyarakat dalam
pelestarian rawa.
Pemerintah telah menyediakan anggaran yang besar guna merevitalisasi Rawa Jombor sehingga dapat berfungsi kembali seperti kondisi semula, namun program tersebut tidak akan berjalan dengan baik jika tidak didukung peranserta masyarakat. Oleh karena itu diperlukan arahan kebijakan bagaimana masyarakat dapat berperanserta dalam pemanfaatan dan pelestarian Rawa Jombor.
1.3 Keaslian Penelitian
Penelitian tentang peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan maupun secara khusus penelitian tentang Rawa Jombor telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1.3. Penelitian- penelitian tersebut lebih banyak terkait dengan aspek pengelolaan lingkungan (konservasi dan rehabilitasi), pariwisata, dan biologi lingkungan, sedangkan penelitian yang terkait dengan penghidupan berkelanjutan masyarakat terkait dengan pemanfaatan dan pelestarian rawa belum pernah dilakukan peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pemanfaatan dan Pelestarian Rawa Jombor guna Mendukung Penghidupan Berkelanjutan Masyarakat Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabuapaten Klaten”
dengan fokus kajian: penghidupan berkelanjutan masyarakat terkait dengan
pemanfaatan rawa, persepsi dan peranserta masyarakat dalam pelestarian rawa,
serta arahan kebijakan pemanfaatan dan pelestarian rawa.
Tabel 1.3 Perbandingan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian yang Dilakukan
NO NAMA,
TAHUN JUDUL TUJUAN METODE HASIL
1 Abdillah, 2006
Pengelolaan Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Tanah Bumbu, Propinsi Kalimantan Selatan
1. Mengindentifikasi permasalahan lingkungan dan pengaruhnya pada ekosistem mangrove 2. Mengetahui tingkat
partisipasi masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan mangrove
3. Mengetahui bentuk konsep ko-manajemen pengelolaan mangrove antara
masyarakat dan pemerintah
Survei 1. Terjadi kerusakan pesisir karena faktor alam dan manusia
2. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove tergolong sedang 3. Pemerintah membuat
progam konservasi dan kelompok pemerhati mangrove, sedangkan proses perencanaan rehabilitasi bersifat top down (peran pemerintah masih dominan)
2 Rahandekut, 2008
Konservasi Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Desa Paso, Propinsi Maluku
1. Menganalisis tingkat persepsi masyarakat terhadap pentingnya konservasi hutan mangrove 2. Menganalisis partisipasi
masyarakat terkait konservasi hutan mangrove 3. Menganalisis penerapan
konservasi hutan mangrove dengan penekanan pada konsep ko-manajemen
Survei 1. Persepsi masyarakat terhadap pentingnya konservasi hutan mangrove tergolong tinggi
2. Partisipasi masyarakat untuk upaya konservasi hutan mangrove terkategori sedang 3. Penerapan penerapan
konservasi hutan mangrove dengan pendekatan ko- manajemen tergolong sedang
3 Narsuka, 2009
Persepsi dan Peranserta Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi (Kasus Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman)
1. Mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat tentang TNGM dari segi status penetapan dan pengelolaannya 2. Mengetahui persepsi
masyarakat tentang TNGM 3. Mengetahui tingkat
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNGM 4. Mengetahui pengaruh
tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat ekonomi serta jarak tempat tinggal dengan batas TNGM terhadap persepsi dan tingkat peran serta masyarakat dalam pengelolaan TNGM.
Survei 1. Pengetahuan masyarakat mengenai status dan manfaat TNGM terkategori sedang, pengetahuan mengenai kondisi TNGM tinggi, dan pengetahuan mengenai pengelolaan TNGM tinggi 2. Persepsi masyarakat
tergolong sedang, dan tingkat pengetahuan berpengaruh positif terhadap persepsi masyarakat
3. Peranserta masyarakat dalam pengelolaan TNGM tergolong sedang 4. Tingkat pengetahuan dan
jarak tempat tinggal dengan batas TNGM berpengaruh positif terhadap tingkat peranserta masyarakat
4 Kaharuddin, 2005
Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Pariwisata Alam Lereng Selatan Gunungapi Merapi, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
1. Mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pariwisata alam 2. Mengetahui perbedaan
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pariwisata alam berdasarkan faktor sosial ekonomi
3. Mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pariwisata alam
Survei 1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pariwisata alam tergolong rendah 2. Masyarakat tidak
memiliki akses dalam perencanaan program dan pengaturan manfaat 3. Partisipasi masyarakat
dipengaruhi faktor eksternal, yaitu pola pengelolaan berjalan sendiri-sendiri dan ruang partisipasi kurang tersedia
5 Prabowo, 2006
Arahan Pengembangan Obyek Wisata Rawa Jombor Klaten melalui Pendekatan Community Based Development
1. Mengetahui peran masyarakat dan pemerintah dalam pengembangan obyek wisata Rawa Jombor 2. Mengetahui tingkat potensi
yang dimiliki obyek wisata Rawa Jombor
3. Menemukan arahan pengembangan obyek wisata air Rawa Jombor melalui pendekatan Community Based Development
Survei dan observasi
1. Peran masyarakat dalam pengembangan obyek wisata tergolong self mobilitation (swadaya), peran pemerintah minim 2. Tingkat potensi tergolong
tinggi (potensial), dilihat dari aksesbilitas, sarana akomodasi dan sarana dasar
3. Pengembangan diarahkan pada peningkatan kualitas SDM dan kualitas komunitas lokal 6 Indrayani,
2008
Biomassa Zoobentos, Kandungan Nutrien Sedimen dan Kualitas Air Berdasarkan Zonasi di Rawa Jombor, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah
1. Mengkaji biomassa zoobentos berdasarkan perbedaan zonasi 2. Mengkaji kandungan
nutrien dalam sedimen berdasarkan zonasi di Rawa
Jombor
3. Mengkaji kualitas perairan secara umum di Rawa Jombor
Survei 1. Biomassa zoobentos tertinggi adalah zona eceng gondok, zona karamba jaring apung, zona warung apung 2. Kandungan nutrien N
total sedimen tertinggi di zona KJA, P total sedimen tertinggi di zona warung apung dan C- organik sedimen tertinggi di zona KJA 3. Kualitas air tergolong baik, dan merupakan perairan oligotrofik yang mengarah ke mesotrofik 7 Noordin,
2013
Pemanfaatan dan Pelestarian Rawa Jombor guna Mendukung Penghidupan Berkelanjutan Masyarakat Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten
1. Mengkaji penghidupan berkelanjutan masyarakat sekitar terkait dengan pemanfaatan rawa 2. Mengkaji persepsi dan
peranserta masyarakat dalam pelestarian rawa 3. Menyusun arahan
kebijakan pemanfaatan dan pelestarian rawa
Survei 1. Masyarakat telah menerapkan kerangka kerja penghidupan berkelanjutan dalam mengatasi berbagai bentuk kerentanan 2. Persepsi dan peranserta
masyarakat dalam pelestarian rawa tergolong tinggi 3. Penataan ulang dan
pembatasan lahan usaha bagi masyarakat pelaku usaha menjadi arahan utama kebijakan pemanfaatan dan pelestarian rawa