Carpal Tunnel Syndrome
BACKGROUND
CARPAL tunnel syndrome (CTS) atau sindroma terowongan Carpal adalah suatu kelainan yang sering dijumpai dalam praktik kedokteran. Sindroma ini muncul karena adanya penekanan pada nervus medianus yang terletak di antara ligamentum transversus carpalis, yang disebut juga fleksor retinakulum pada bagian atas, dan tendo muskulus digitorum superficialis, muskulus digitorum profundus, muskulus fleksor policis longus, dan tulang-tulang carpal (scaphoid dan trapesium) di bagian bawahnya.
Secara anatomi, serabut saraf nervus medianus berasal dari ramus cervicalis ke lima, enam, tujuh, dan delapan, serta ramus thoracalis pertama dan melewati sebeah lateral dan medial dari pleksus brachialis. Cabang saraf motorik menginervasi muskulus abductor policis brevis, opponenspollicis, serta dua lumbrikalis lateral tangan. Serabut saraf sensorik menginervasi sisi volar dari tiga jari lateral dan separuh lateral dari jari ke ke empat, termasuk palmar dan sis distal dorsal dari jari-jari tersebut melampaui ujung dari sendi interfalanx 1. (Gambar 1)
Gambar 1. Innervasi serabut saraf sensorik dari nervus medianus pada tangan
CTS adalah kumpulan dari tanda dan gejala yang timbul setelah terjadinya penekanan pada nervus medianus yang terletak pada terowongan carpal.
Gejalanya berupa mati rasa, kesemutan, dan nyeri pada daerah distribusi persarafan n.medianus. Gejala tersebut bisa disertai dengan perubahan pada sensasi dan kekuatan struktur yang disarafi oleh n.medianus.
ETIOLOGI
Pada CTS isi dari terowongan carpal meningkat. Gelbermen dkk menunjukkan bahwa besar tekanan pada terowongan carpal sekitar 3mmHg dibandingkan dengan pasien dengan CTS yang memiliki besar tekanan 32mmHg, dengan pergelangan tangan pada posisi yang netral.8patofisiologi dari lesi saraf ini adalah iskemik, serta penekanan dari vasa dan nervus sehingga meningkatkan tekanan.
Faktor predisposisi dari terjepitnya n.medianus mungkin disebabkan karena gerakan berulang pada pergelangan tangan, seperti merajut, mengetik, mencuci, berkendara, melukis, dan berkebun. Hal ini disimpulkan dari pengalaman klinik dokter yang menangani sindroma seperti ini.
Beberapa kondisi medis turut dihubungkan dengan CTS, seperti kehamilan, menyusui, siklus menstruasi, penggunaan kontrasepsi oral, menopause, diabetes mellitus, kekurangan vitamin B, toxic shock syndrome, hemodialisis dalam waktu lama, osteoartritis pada pergelangan tangan, artritis reumatoid, obesitas, amiloidosis, mukolipidosis, kondromalasia, myxedema, akromegali, kelainan ukuran carpal tunnel bawaan, dan athetoid dystonic cerebral palsy. Kondisi-kondisi ini biasanya didiagnosis lebih awal dibandingkan CTS sehingga etiologi dari CTS akan telah ditetapkan.
Kondisi-kondisi yang mungkin dapat meningkatkan volume dari carpal tunnel adalah arteri madiana persisten, aneurisma atau malformasi arteri-vena,
anomali otot dan tendo, infeksi, perdarahan, kecil ukuran carpal tunnel bawaan, neurofibroma, hemangioma, lipoma, ganglion, xanthoma, dan topus gout.
Kondisi-kondisi medis tersebut sangat langka. Kondisi tersebut mungkin dicurigai ketika kondisi di atas merupakan faktor predisposisi dan ketika penyakit tidak muncul, dan ketika pasien telah gagal untuk dilakukan terapi CTS secara konservatif. Sejak CTS diterapi dengan pembedahan, data-data sebelumnya tentang penyebab dari CTS mungkin tidak dibutuhkan lagi, dan etiologinya akan ditemukan intraoperatif.
PATOFISIOLOGI
Sampai munculnya uji elektrofisiologi pada tahun 1940, CTS umunya dicurigai sebagai hasil dari penekanan pada pleksus brachialis oleh tulang-tulang iga dan struktur lain pada regio depan leher. Sekarang diketahui bahwa n.medianus mengalami kerusakan karena tertekan batas-batas carpal tunnel yang keras, yang menyebabkan demielinisasi yang diikuti dengan degenerasi axonal.
Serabut saraf sensorik mungkin akan terkena lebih dahulu, diikuti dengan serabut saraf motorik. Serabut saraf otonom mungkin juga dapat terpengaruh.
Penyebab dari kerusakan n.medianus masih diperdebatkan, bagaimanapun peningkatan tekanan yang abnormal pada carpal tunnel terjadi pada pasien CTS.
Tekanan ini menyebabkan obstruksi aliran darah vena, edema, hingga iskemik dari saraf.
Resiko berkembangnya CTS mungkin dihubungkan, paling tidak satu dari beberapa faktor-faktor epidemiologi yang lain, seperti genetik, kesehatan, sosial, vokasi, avokasi,dan demografis.1 Mungkin terdapat hubungan yang kompleks antara beberapa atau bahkan keseluruhan dari faktor tersebut, yang akhirnya mengarah pada berkembangnya CTS, sehingga faktor kausatif masih sulit untuk dijelaskan.
EPIDEMIOLOGI Amerika Serikat
Insidensi dari CTS 1 – 3 kasus tiap 1000 orang setiap tahunnya, prevalensinya mencapai sekitar 50 kasus tiap 1000 orang pada populasi umum.
Insidensi dapat meningkat hingga 150 kasus tiap 1000 orang per tahun, dengan angka prevalensi hingga 500 kasus tiap 1000 orang pada kelompok dengan resiko tinggi.
Internasional
Penelitian berbasis populasi tentang CTS masih kurang, bagaimana pun, insidensi dan prevalensi pada negara berkembang tampaknya sama dengan Amerika Serikat ( contoh : angka insidensi di negara Belanda mencapai 2,5 kasus tiap 1000 orang per tahun, prevalensi di negara Inggris 70 – 160 kasus tiap 1000 orang).2,3,4 CTS hampir tidak pernah terdengan dari beberapa negara berkembang ( misalnya, di antara orang-orang kulit hitam di negara Afrika Selatan)
Mortalitas/Morbiditas
CTS bukanlah penyakit yang berakibat fatal, namun dapat menyebabkan kerusakan yang irreversibel dari n.medianus, dengan konsekuensi berat berupa kehilangan fungsi tangan, apabila tidak dilakukan terapi.
Ras
Orang-orang kulit putih kemungkinan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terkena CTS.sindroma ini sangat jarang terkena pada beberapa ras ( misal : pada orang Afrika Selatan yang berkulit hitam).4 Di Amerika Utara, anggota tentara US yang berkulit putih terkena CTS 2-3 kali lebih banyak dibandingkan anggota tentara yang berkulit hitam.5
Jenis Kelamin
Rasio insidensi CTS pada wanita dan pria adalah 3-10 : 1.
Umur
Puncak rentang usia untuk berkembangnya CTS adalah pada umur 45 – 60 tahun. Hanya 10% pasien dengan CTS yang berumur kurang dari 31 tahun.
TANDA KLINIS
CTS lebih umum terjadi pada wanita daripada pria, dengan rasio perbandingan 7 : 3. Walaupun prevalensinya lebih tinggi pada usia dekade ke enam dan delapan, namun semua kelompok usia dapat terkena.
Manifestasi klinik dari CTS bermacam-macam. Kebanyakan pasien mengeluh sakit, panas, kesemutan, dan baal pada bagian tangan yang bersifat lokal pada tiga jari pertama dan sisi lateral dari jari ke empat, dengan sesekali melibatkan sisi telapak tangan. Gejala biasanya memburuk pada malam hari, diperberat dengan gerakan pada pergelangan tangan yang berlebihan, dan menjadi menetap ketika semakin terjepit.2,3
Semakin parah CTS maka gejala yang timbul mungkin dapat menjalar ke bagian tubuh yang lebih proksimal, hinggal mencapai lengan bawah, siku, lengan atas, dan bahu. Kelemahan dalam menggenggam dan kebalikannya mungkin juga dapat muncul dan penyakit ini mungkin dapat salah didiagnosis sebagai cervical radiculopathy, shoulder bursitis, thoracic outlet syndrome, transient ischaemic attack, coronary artery ischaemia, tendinitis, fibrositis atau lateral epicondylitis.1,4,5
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan fungsi motorik dan sensorik dari saraf yang terkena dibandingkan dengan saraf sisi ulna ipsilateral. Tinel’s sign ( ketukan pada n.medianus setinggi lipatan karpal untuk memicu timbulnya paraesthesiae pada dermatom n.medianus) dan Phalen’s sign (menahan pergelangan tangan pada kondisi fleksi maksimal selama 30 – 60 detik untuk menimbulkan paraesthesiae pada n.medianus) adalah dua test provokatif untuk mengetahui terjepitnya n.medianus. 2,3
Tingkat keparahan dan spesifisitas dari gambaran klinik dan tes provokatif berbeda antara satu studi dengan studi yang lainnya. Satu studi menyarankan untuk melakukan uji Tinel’s sign, dan bukan Phalen’s sign, berhubungan secara signifikan dengan parameter elektrofisiologi yang abnormal.
Studi lain menyatakan bahwa gambaran klinis dari CTS lebih spesifik (66 – 87%) dan kurang sensitif (23 – 69%) untuk CTS.7 Lebih lanjut lagi, kelemahan pada m.abductor pollicisbrevis lebih sensitif daripada hyparaesthesiae dari n.medianus dan dermatomnya (masing-masing 66% dan 50%). Di sisi lain, Phalen’s sign, ketika positif untuk CTS, memiliki spesifisitas 75% dan sensitivitas 50%, sedangkan Thinel’s sign hanya memiliki sensitivitas 23%.7 Kami berpendapat bahwa tanda dan gejala motorik, sensorik, serta perjalanan penyakit lebih penting dan lebih dapat dipercaya daripada Phalen’s sign dan Thinel’s sign sebagai ujia untuk diagnosis CTS.
DIAGNOSIS Anamnesis
Riwayat perjalanan penyakit pasien kadang lebih penting dibandingkan dengan pemeriksaan fisik untuk menentukan diagnosis dari CTS.
Mati rasa dan kesemutan
- Diantara keluhan-keluhan yang umum, pasien mengungkapkan bahwa tangan mereka seperti terjatuh atau sering menjatuhkan sesuatu tanpa mereka sadari ( kehilangan kekuatan menggenggam, menjatuhkan sesuatu), mati rasa dan kesemutan juga sering dideskripsikan oleh pasien.
- Gejala biasanya bersifat hilang timbul dan berhubungan dengan aktivitas ( seperti : mengemudi, membaca koran, merajut, dan melukis). Gejala yang timbul pada malam hari lebih spesifik untuk CTS, terutama bila pasien berusaha mengurangi gejala tersebut dengan menggetarkan tangan / pergelangan tangan. CTS bilateral sering terjadi, walaupun tangan yang
dominan biasanya terkena terlebih dahulu dan lebih parah dibandingkan dengan tangan sisi lainnya.
- Keluhan biasanya bersifat lokal pada sisi palmar dari jadi pertama sampai ke kempat dan palmar distal (distribusi sensorik dari n.medianus). Mati rasa yang terjadi pada jari ke lima atau regio tenar serta punggung tangan sebaiknya menjadi pertimbangan untuk memikirkan diagnosis banding yang lain. Hal yang mengejutkan, di mana pada beberapa pasien CTS tidak dapat melokalisasi keluhan (misalnya : seluruh tangan / lengan terasa mati rasa). Mati rasa yang bersifat general (seluruh tangan) mungkin mengindikasikan keterlibatan serabut saraf otonom, dan tidak mengeluarkan CTS dari diagnosis.
Nyeri
- Gejala-gejala sensorik di atas sering disertai dengan rasa nyeri pada daerah ventral dari pergelangan tangan. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke distal mencapai telapak tanga dan jari atau, lebih sering, menjalar ke arah proksimal sepanjang sisi ventral dari lengan bawah.
- Rasa nyeri pada regio epicondylus dari siku, lengan atas, bahu, atau leher lebih mengarah pada diagnosis penyakit muskuloskeletal yang lain ( misal, epikondilitis) dimana sering berhubungan dengan CTS. Nyeri yang lebih proksimal tersebut sebaiknya dilakukan pemeriksaan yang lebih teliti untuk diagnosis penyakit neurologik yang lain ( misal, cervical radikulopathy)
Gejala otonom
- Tidak sedikit pasien yang mengeluhkan gejala terjadi di seluruh tangannya. Banyak pasien dengan CTS juga mengeluhkan perasaan keras/kaku atau bengkak pada tangannya dan/atau perubahan suhu (misal, tangan menjadi dingin atau panas)
- Banyak juga pasien yang melaporkan perubahan sensitivitas tangan terhadap suhu (biasanya dingin) dan perbedaan warna kulit. Kasus yang
jarang, dimana beberapa pasien mengeluhkan terjadinya perubahan dalam hal keluarnya keringat. Kemungkinan besar, gejala-gejala tersebut berhubungan dengan keterlibatan serabut saraf otonom dari n.medianus.
Kelemahan / kekakuan – Kehilangan kekuatan tangan (khususnya ketepatan menggenggam yang melibatkan jempol) sering terjai; pada prakteknya, kehilangan sensasi dan rasa nyeri sering menjadi penyebab yang lebih penting dari kelemahan dan kekakuan, daripada kehilangan kekuatan tangan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penting dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis neurologis dan muskuloskeletal yang lainnya, namun pemeriksaan fisik kadang hanya berkontribusi sedikit dalam mengkonfirmasi diagnosis CTS.
Pemeriksaan sensorik
- Abnormalitas dari modalitas sensorik mungkin dapat terlihat pada regio palmar (telapak) dari tiga jari pertama dan setengah sisi radial dari jari ke kempat. Uji monofilamen Semmes-Weinstein atau diskriminasi 2 titik mungkin lebih sensitif, namun berdasarkan pengalaman penulis, uji pinprick sama baiknya dengan uji yang lain.
- Uji sensorik paling berguna untuk menentukan bahwa area distal dari persarafan n.medianus masih dalam kondisi normal (misal, tenar, hypotenar, dorsum, dll)
Pemeriksaan motorik – Kelelahan dan kelemahan otot tangan yang diinervasi oleh n.medianus dapat diketahui (otot LOAF)
- L - First and second lumbricals - O - Opponens pollicis
- A - Abductor pollicis brevis - F - Flexor pollicis brevis
Tes Khusus – Tidak ada uji klinis yang baik untuk mendukung diagnosis CTS - Hoffmann – Tinel sign
Menekan secara gentle pada n.medianus di regio carpal tunnel akan menimbulkan kesemutan pada daerah distribusi saraf
Ui ini masih sering dilakukan, meskipun memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah
- Phalen sign
Rasa kesemutan pada area distribusi n.medianus yang dirangsang dengan fleksi maksimal (atau ekstensi maksimal untuk reverse Phalen) dari pergelangan tangan lebih dari 60 detik.
Uji ini memiliki spesifisitas 80% namun sensitivitas yang lebih rendah
- The carpal compression test
Tes ini dlakukan dengan melakukan tekanan kuat langsung di atas carpal tunnel, biasanya dengan ibu jari, selama 30 detik untuk menimbulkan gejala
Laporan menunjukkan bahwa tes ini memiliki sensitivitas hingga 89% dan spesifisitas 96%.
- Palpatory diagnosis
Tes ini dilakukan dengan memeriksa secara langsung jaringan lunak yang melapisi n.medianus pada pergelangan tangan, untuk restriksi mekanik.
Tes ini trercatat memiliki sensitivitas lebih dari 90% dan spesifisitas 75% atau lebih besar.
- The Square wrist sign
Uji ini dilakukan dengan mengukur rasio ketebalan pergelangan tangan dengan lebar pergelangan tangan, dimana hasilnya lebih besar dari 0,7
Tes ini memiliki sensitivitas/spesifisitas 70%
Beberapa tes khusus telah dianjurkan, tetapi jarang memberikan informasi tambahan
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada tes darah untuk diagnosis CTS, namun uji laboratorium untuk kondisi-kondisi yang berhubungan (misal, diabetes) mungkin dapat dilakukan ketika ada indikasi.
Studi Pencitraan
Tidak ada studi pencitraan yang rutin dilakukan dalam diagnosis CTS Magnetic Resonance Imagin (MRI) dari carpal tunnel sangat berguna sebelung dilakukan operasi jika dicurigai terdapat space-occupying lesion.
pada beberapa kasus CTS, ketidaknormalan dari n.medianus dapat dideteksi, maun bagaimana hubungan kondisi tersebut dengan tingkat keparahan diagnosis dan fisiologis belum jelas. MRI tidak dapat menyingkirkan diagnosis banding dan membutuhkan waktu serta sumber daya yang banyak.10
Banyak laboratorium klinik neurofisiologi menggunakan USG sebagai studi elektrodiagnostik. USG memiliki potensi untuk mengidentifikasi space- occupying lesion yang terletak pada dan di sekitar n.medianus, mengkonfirmasi kelainan dari n.medianus (misal, peningkatan area cross sectional) yang dapat berupa diagnosis dari CTS, dan sebagai pemandu dalam injeksi steroid pada carpal tunnel.11,12,13
Uji lainnya
- Elektroneurografi
Studi konduksi saraf didasarkan pada prinsip stimulasi saraf di daerah tertentu. Dalam mempelajari status dari n.medianus pada carpal tunnel, saraf distimulasi ke arah proksimal menuju ke CL dan senyawa potensial aksi otot (CMAP) diangkut oleh skinelektroda yang terletak pada eminensia tenar. CMAP merefleksikan status dari serabut saraf motorik n.medianus. Amplitudo dari CMAP menggambarkan jumlah serabut saraf motorik yang distimulasi. Durasi menggambarkan konduksi kecepatan konduksi antar serat-serat yang berbeda. Latensi antara titik rangsangan saraf dengan timbulnya CMAP tersebut, menggambarkan kecepatan tercepat dari serabut saraf motorik pada carpal tunnel (Gambar 2).
Serabut saraf sensorik dari n.medianus dapat pula dipelajari.
Stimulasi dilakukan pada lokasi yang sama dengan stimulasi serabut saraf motorik dan potensial aksi serabut saraf sensorik (SNAP) direkam dari ujung distal jari ke dua atau ke tiga. Studi mengenai saraf sensorik n.medianus ini dapat dilakukan secara orthodromical atau anti- orthodromical (Gambar 2)10
Abnormalitas karakteristik dari CMAP dan SNAP dibandingkan dengan data normatif yang didapatkan sebelumnya, sama baiknya dengan n.ulnaris sisi yang sama dan n.medianus pada sisi kontralateral, menggambarkan status fungsional dari n.medianus (Tabel 1)
Studi elektrofisiologi, 14, 15, 16
termasuk elektromiografi (EMG) dan studi konduksi saraf (NCS), adalah pemeriksaan utama yang dilakukan pada kasus-kasus yang dicurigai sebagai CTS.17 Abnormalitas hasil dari uji elektrofisiologi, berkaitan dengan tanda dan gejala yang spesifik, dianggap sebagai kriteria standar untuk diagnosis CTS. Selain itu, diagnosis neurologis lainya dapat disingkirkan dengan hasil tes tersebut. NCS pada pasien dengan CTS dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Studi konduksi sensorik dari tangan kiri pasien dengan riwayat mati rasa dan kelemahan dalam jangka waktu beberapa tahun (respons dari n.medianus tangan kanan benar-benar tidak ada). Perhatikan melambatnya kecepatan konduksi (CV) menjadi 29,8 dan 25,5 m/s untuk jari 3 dan 1, masing-masing (normal >50 m/s). Amplitudo untuk keduanya juga berkurang secara tajam (normal >10). Temuan-temuan ini sesuai dengan CTS.
Studi konduksi saraf motorik dari tangan kiri pasien dengan riwayat baal dan lemah dalam waktu beberapa tahun (respons dari n.medianus tangan kanan benar-benar tidak ada). Perhatikan bahwa kecepatan konduksi (CV) pada segmen carpal tunnel menurun tajam menjadi 18,3 m/s (normal >50 m/s) dan latensi neuron motorik pada daerah distal dperpanjang menjadi 6,3 ms (normal <4,2 ms). Amplitudo rendah pada titik rangsangan pergelangan tangan dan siku dengan nilai 4,7 mV (normal >5 mV), tetapi amplitudo meningkat 31% lebih tinggi pada distal dari carpal tunnel (pada telapak tangan). Perbedaan ini dapat mungkin menunjukkan blok konduksi (neuropraxia) setinggi carpal tunnel atau koaktivasi dari cabang n.ulnaris pada m.aductor pollicis.
Elektromiografi jarum dibutuhkan untuk menentukan apakah terdapat kerusakan axonal.
Pemeriksaan elektrofisiologi juga dapat memberikan penaksiran yang akirat mengenai derajat kerusakan pada saraf, sehingga dapat mengarahkan ke pengelolaan dan memberikan kriteria yang objektif untuk menentukan prognosis. CTS biasanya dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat, namun, kriteria untuk pengelolaan biasanya bermacam-macam untuk setiap laboratorium. Secara umum, pasien dengan CTS ringan hanya memiliki kelainan sensorik saja pada pemeriksaan elektrofisiologi, dan pasien dengan kelainan sensorik dan motorik biasanya memiliki CTS sedang. Namun, adanya kerusakan axonal ( misalnya penurunan atau hilangnya respons sensorik atau motorik distal dari carpal tunnel atau kelainan neuropathic pada EMG) diklasifikasikan ke dalam CTS derajat berat.
Perubahan pada hasil elektrofisiologi dari waktu ke waktu dapat digunakan untuk menilai keberhasilan berbagai modalitas pengobatan.
The American Association of Electrodiagnostic Medicine telah mengeluarkan standar dan pedoman yang mengatur jumlah minimum studi yang harus dilakukan untuk mendiagnosis CTS.15
Tes kuantitatif lainnya, seperti termografi dan Vibrometri, telah terbukti akan lebih inferior dibandingkan dengan pemeriksaan elektropsikologi dan, karena tes tersebut belum didukung oleh studi terkontrol, maka tidak dianjurkan.
- Elektromiografi
Elektromiografi merupakan tes pelengkap dan bukan tes yang diwajibkan selain elektroneurografi. Tes ini biasanya dilakukan pada otot yang diinervasi oleh n.medianus pada tangan dan lengan bawah. Tes ini menunjukkan status dari serat otot yang bergantung pada persarafan oleh akson motorik. Aktivitas denervasi pada elektromiogram menggambarkan
kerusakan akut dari saraf. Perubahan neurogenik dan potensi reinervasi menggambarkan patologi kerusakan saraf kronik. 11
Elektromiografi juga digunakan untuk menunjukkan lesi saraf lainnya pada tangan yang terlibat ketika temuan dari pemeriksaan neurografi tidak konsisten dengan CTS. Termasuk di dalamnya adalah terjepitnya saraf pada lengan bawah, lesi pada pleksus atau penyakit pada cervical root.11
Pemeriksaan elektrofisiologi sensitif untuk CTS, mudah untuk dilakukan, dan murah, serta tidak menyakitkan. Pada kasus-kasus lanjut hasil yang didapat mungkin jelas tapi pada kasus-kasus baru kemungkinan terdapat hasil negatif palsu. Buch dkk, melaporkan bahwa pemeriksaan elektrofisiologis hanya mengkonfirmasi diagnosis CTS sebesar 61% dari kasus klinis yang diduga merupakan sindroma ini (CTS).12
Penulis berpendapat bahwa pemeriksaan elektrofisiologi sebaiknya dilakukan pada kondisi-kondis : suspek CTS, sebelum intervensi bedah yang melibatkan pergelangan tangan, dan pasca operasi jika gejala menetap atau kambuh. Manfaat dari pemeriksaan elektrofisiologi banyak, meliputi : pemeriksaan ini mampu mengkonfirmasi atau menyingkirkan diagnosis CTS, menentukan tingkat keparahan dari terjepitnya saraf sehingga mampu memberikan petunjuk pemilihan terapi, mampu menggambarkan status dasar dari fungsi motorik dan sensorik dari n.medianus sebelum intervensi bedah, mampu menunjukkan kemungkinan trauma intraoperatif, atau dekompresi yang tidak adekuat dari n.medianus pada kegagalan terapi bedah, dan memungkinkan diagnosis rekompresi atau kegagalan dekompresi pada sekambuhan.
Ketika pemeriksaan elektrofisiologi gagal untuk mengkonfirmasi CTS atau bahkan memunculkan etiologi lain dari keluhan pasien, maka diagnosis sebaiknya diambil berdasarkan temuan klinis. Terapi konservatif sebaiknya diterapkan pada pasien dengan kecurigaan klinis yang tinggi akan CTS walaupun pemeriksaan elektrofisiologi menunjukkan hasil yang
negatif. Disisi lain, dokter dapat mempertimbangkan untuk memulai terapi konservatif pada pasien, atau memberikan injeksi steroid pertama tanpa melakukan pemeriksaan elektrik atau radiografi, jika terdapat tanda klinis klasik dari CTS. Apabila hal tersebut gagal, dan akan dilakukan operasi, kami (penulis) merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan elektrofisiologi.
DIAGNOSIS BANDING
Carpal Tunnel Syndrome adalah kondisi klinis yang umum, terjadi pada 5 orang dalam tiap penduduk. 1,2 Meskipun kondisi yang umum ditemukan, diagnosis bandingnya dapat menjadi sangat kompleks. Hal ini disebabkan karena kriteria diagnosis dari CTS masih subjektif.
CTS didiagnosis berdasarkan pola khas gejala, termasuk parestesi pada malam hari di daerah distribusi n.medianus, dan parestesia yang diperparah dengan aktivitas tertentu, seperti menggenggam terlalu lama yang dapat terjadi ketika membaca buku atau koran atau mengendarai mobil 3. Pasien kadang- kadang mengibaskan tangannya untuk menghilangkan gejala. Beberapa pasien mendeskripsikan nyeri yang menjalar ke lengan atas, bahkan sampai ke bahu.
Kadang pasien tidak jelas, baik pemikirannya maupun komunikasi, sehubungan dengan lokasi gejala secara spesifik pada distribusi n.medianus.
Selain itu pasien mungkin tidak jelas mengenai sifat dari gejala, kesulitan untuk menjelaskan rasa nyeri, mati rasa, kesemutan atau lainnya, dan bahkan mungkin pasien tidak mengerti bahwa dokter memiliki perbedaan penjelasan yang signifikan antara ketiga istilah, sedangkan pasien menganggapnya identik.
Kelemahan, kekakuan, dan kurangnya ketangkasan adalah gejala umum yang dapat dihubungkan dengan CTS, tapi tentu saja, dapat juga berhubungan dengan kondisi lainnya.3,4
Seperti yang telah dibahas, pada banyak kasus diagnosis dari CTS sangatlah jelas. Pasien dengan pasrestesia pada malam hari yang terbatas pada
daerah distribusi n.medianus, diperberat dengan gejala yang spesifik, dan dengan temuan klinis yang terbatas pada n.medianus setinggi pergelangan tangan, umum ditemukan. Pada pasien dengan kondisi demikian, dokter cukup yakin untuk memberikan diagnosis.
Pada kebanyakan pasien lainnya, diagnosis tidak terlalu jelas, karena muncul variasi dari gejala. Rasa nyeri adalah gejala yang paling membingungkan.
Banyak kondisi spesifik dan non-spesifik muncul bersamaan dengan nyeri, CTS salah satu di antaranya. Apabila nyeri adalah gejala satu-satunya dan tidak terdapat temuan klinis lainnya, maka diagnosis CTS sangat tidak mungkin.
Namun, pasien atau dokter mungkin percaya bahwa ada kemungkinan diagnosis CTS karena beberapa kondisi yang berhubungan, seperti pekerjaan. Pada beberapa kasus, penting untuk menentukan diagnosis dengan cara lain, sepeti pemeriksaan elektrodiagnostik5-til.
Mati rasa dan parestesia adalah gejala yang umum dari CTS, tetapi mungkin juga disebabkan oleh kelainan neurologik dan non-neurologik lainnya, terutama ketika gejalanya menetap dan tidak diikuti dengan pola khas berupa memberat di malam hari atau memberat dengan aktivitas seperti yang terjadi pada CTS.5 Pemeriksaan elektrodiagnostik kadang membantu untuk membedakan kondisi-kondisi tersebut dari CTS.
Kelemahan, atrofi, dan kehilangan ketangkasan juga merupakan gejala yang dapat dihubungkan dengan CTS, tetapi mungkin juga dapat muncul pada kondisi lain, baik kelainan neurologik maupun non-neurologik lainnya. Cedera atau bahkan kelainan kongenital dapat mengacaukan diagnosis CTS, terutama ketika diagnosis diambil berdasarkan keluhan kelemahan dan kehilangan ketangkasan.
Ada beberapa pemeriksaan untuk mengakkan diagnosis CTS. Yang paling baik adalah elektrodiagnostik5. Pemeriksaan elektromiografi dan studi konduksi saraf telah dijelaskan dengan baik dan bagi beberapa klinis merupakan gold standard untuk diagnosis. Namun, banyak nilai negatif palsu11, di mana diagnosis sangat jelas namun hasil pengujian elektrodiagnostik normal. Hal ini diharapkan, pemeriksaan elektrodiagnostik menggambarkan kelainan neorofisiologis yang
signifikan. Ketika temuan lebih ringa atau kurang kronis, perubahan elektrodiagnostik mungkin tidak tampak.
Ada tes-tes lain yang sangat berguna untuk membantu menyingkirkan diagnosis CTS12. Sinar “Ji” pada pergelangan tangan dapat menggambarkan fraktur atau kelainan lainnya untuk menjelaskan gejala nyeri dan kelemahan, atau bahkan parestesia karena pekerjaan. Sinar “K” pada cervical spine dapat menunjukkan gambaran spondilosis cervikalis. Pemeriksaan laboratorium mampu menunjukkan adanya ketidaknormalan gula darah, penanda inflamasi seperti faktor rheumatoid atau tingkat sedimentasi, ata marker endokrin seperti tingkat hormon tiroid, dimana mamou menjelaskan gejala tanpa perlu menerapkan pendekatan diagnosis CTS13. Pada beberapa kasus, magnetic resonance imaging (MRI) atau pemeriksaan lainnya mungkin berguna untuk mengingkirkan diagnosis seperti tumor, terutama pada daerah pleksus brachialis14.
Mungkin diagnosis banding yang paling umum dan membingungkan akan terjadi ketika memilah CTS dari gangguan neurologis. Ada banyak gangguan neurologis yang menimbulkan gejala nyeri, mati rasa, atau kelemahan pada tangan (tabel 12.1)
Keganasan intrakranial kadang hadir pada riwayat mati rasa atau kesemutan pada tangan, kelemahan pada tangan, atau kehilangan koordinasi dari tangan. 45,15-I”i”. Temuan ini akan dihubungkan dengan hiperrefleksia, sehingga mengindikasikan bahwa diagnosis lebih ke arah central. Selain itu, pola dari kelemahan atau hipoestesia biasanya tidak terbatas pada distribusi persarafan n.medianus. dengan demikian, pemeriksaan neurologis secara teliti, dikombinasikan dengan pemeriksaan pencitraan, merupakan faktor kunci untuk memilah keganasan CNS dari CTS.
Multiple sklerosis dapat mengacaukan diagnosis CTS, tetapi dapat dengan mudah dibedakan dengan pemeriksaan neurologis yang seksama, karena diagnosis dari multiple sklerosis membutuhkan, seperti namanya, beberapa kelainan dan gambaran patologis, tidak ada satupun yang khas untuk CTS. Kelainan CNS yang lainnya, seperti amyotrophicolateral sklerosis atau penyakit Charcot-Marie- Tooth, adalah murni neuropati motorik, dan mempengaruhi otot-otot di daerah distal secara acak (diffuse), sehingga semua otot intrinsik menunjukkan kelemahan, tidak hanya tempat-tempat tertentu saja.
Cervical radikulopathy mungkin adalah kondisi neurologis yang paling umum yang dapat mengacaukan diagnosis CTS, atau malah dapat berdampingan dengan CTS. Pemeriksaan neurologis yang teliti akan menunjukkan kelemahan atau kebaalan pada dermatom atau miotom proksimal, tidak konsisten dengan diagnosis dari neuropati median fokal. Rasa nyeri atau gejala yang terjadi di leher, terutama yang diperberat dengan gerakan atau penekanan pada leher juga merukapakan petunjuk yang berguna. Gejala yang bertambah berat dengan batuk atau bersin lebih mengarah pada cervical radikulopathy dibandingkan dengan CTS.
Cervical syringomyelia juga dapat mengacaukan diagnosis CTS.
Karakteristik dari rasa baal atau kelemahan, sangat berbeda, menggambarakan bahwa gejala berasal dari cervical spine.
Kelainan pleksus brachialis jga dapat membuat bingung diagnosis CTS.
pada thoracic outlet syndrome, gejala terutama dirasakan pada distribusi n.ulnaris, namun demikian dapat ditentukan dengan pemeriksaan neurologis yang seksama
IS. Tumor Pancoast juga demikian, gejala mungkin dapat muncul pada tangan, tetapi distribusi neurologisnya berbeda, tergantung pada lokasi yang spesifik dari tumor19. Ini akan menjadi sangat tidak mungkin untuk tumor pada puncak paru- paru untuk secara khusus hanya mempengaruhi serabut saraf median, terutama karena beberapa berasal dari n.medianus dan beberapa dari ramus lateral pleksus brakialis. Demikian pula, neuritis pleksus brakialis pasca radiasi bisa menyebabkan nyeri pada ekstremitas, kesemutan, dan kelemahan pada tangan, tapi polanya tidak terbatas pada distribusi saraf median, dan pemeriksaan elektrodiagnostik akan melokalisasi ke pleksus dan tidak pergelangan tangan 1-It .
Plexitis brachialis idiopatik, atau yang dikenal dengan Parsonage-Turner syndrome atau neuralgic amyotrophy adalah kondisi lain yang hampir sama dengan CTS, tetapi tanda klinisnya sedikit berbeda. Sindroma ini biasanya diawali dengan nyeri prodromal pada tungkai proksimal yang berat, diikuti dengan kelemahan pada distribusi saraf yang lebih perifer, dengan sedikit rasa kesemutan.
Distribusi secara khas tidak spesifik pada distribusi n.medianus, walaupun cabang proksimal dari n.medianus, seperti n.intraosseus anterior bisa terlibat. Temuan tersebut, dari distribusi n.medianus pada carpal tunnel, menentang keras diagnosis CTS. dalam kasus yang meragukan, pemeriksaan elektrodiagnostik dapat membantu memilah kelainan.
Tumor pada saraf perifer juga dapat mensimulasikan CTS [4]. Ini akan sangat sulit jika tumor berada dalam carpal tunnel, seperti pada sepuluh kasus dengan hamartoma lipofibromatous saraf [21]. Kunci perbedaan di sini adalah perjalanan penyakit dari massa tersebut. Berbeda dengan pembengkakan fiexorsynovium yang dapat dilihat pada CTS, pembesaran tumor saraf tidak akan bergerak dengan gerakan jari aktif. Ml-ti sering kali berguna dalam memilah diagnosis lebih spesifik.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada CTS fokus pada dekompresi dari n.medianus pada kanal.
Pada kasus-kasus ringan sampai sedang dekompresi dapat dilakukan dengan modifikasi ergonomis sederhana, bidai pergelangan tangan, pengobatan dengan obat anti-inflamasi atau injeksi steroid lokal. Pada kasus yang berat, pembedahan adalah terapi satu-satunya18,19.
Dilaporkan bahwa dari 82% tangan dengan CTS memiliki respons terhadap pengobatan konservatif. Namun, 80% darinya akan kambuh setelah satu tahun, dan akan membutuhkan pembedahan.20
Program Rehabilitasi
Modifikasi Ergonomis dan Bidai
Tujuan dari terapi jenis ini adalah untuk menghindari fleksi yang berulang atau rotasi dari pergelangan tangan. Elevasi dari tangan dan obat NSAID mungkin dapat membantu pada kasus dengan pembengkakan jaringan lunak atau tenosynovitis. Pembidaian pada malam hari pada pergelangan tangan kadang- kadang membantu untuk kasus-kasus ringan.
Posisi netral dari pembidaian menurunkan potensi dari saraf untuk teregang sehingga mengurangi gejala. Efek dari pembidaian akan tampak dalam delapan minggu setelah penggunaan. Keuntungan dari pembidaian tergantung dari beratnya jepitan bukan dari lamanya penyakit. Jepitan yang berat tidak respons dengan pembidaian pergelangan tangan.
Terapi Fisik
Mengingat bahwa CTS berhubungan dengan kebugaran fisik yang rendah dan peningkatan BMI, masuk akal jika menyarankan pasien untuk olah raga dan mengurangi berat badan. Sepeda statis, bersepeda, atau olahraga lain yang menimbulkan reganyan pada pergelangan tangan sebaiknya dihindari.
Penggunaan modalitas (terutama terapi ultrasound) mungkin dapat memberikan bantuan jangka pendek pada pasien.18,19,20 Selain itu, yoga dan mobilisasi tulang karpal memiliki beberapa bukti yang lemah untuk mengurangi gejala untuk jangka pendek.20,21
Terapi Occupational
Pembidaian pergelangan tangan dengan sendi berada pada posisi netral atau ekstensi ( disarankan pada malam hari dengan minimal selama 3-4 minggu ) memiliki bukti keberhasilan. Tentunya, hanya memakan biaya yang rendah dan resiko efek samping yang minimal sehingga dapat dijadikan untuk terapi awal.22 Tidak ada bukti yang menyarankan bahwa program peregangan secara spesifik pada tangan dan pergelangan tangan bermanfaat untuk pengobatan CTS.21 Pemijatan saraf juga tidak menunjukkan manfaat20,21 Pekerjaan yang ergonomis, peralatan dan/atau posisi yang ergonomis tampaknya tidak memberikan manfaat apapun.19,23
Komplikasi
Kebanyakan individu dengan CTS ringan sampai sedang (CTS, berdasarkan data elektrofisiologi) memberikan respons dengan manajemen konservatif, biasanya terdiri dari pembidaian pada pergelangan tangan minimal selama 3 minggu. Pembidaian secara mandiri tampaknya juga berhasil dengan baik, walaupun secara teori, pembidaian dengan posisi netral mungkin merupakan pilihan yang terbaik.
Injeksi steroid ke dalam carpal tunnel telah menunjukkan manfaat jangka panjang dan dapat dilakukan jika terapi konservatif telah gagal.25 Injeksi juga bermanfaat ketika terapi pembedahan memiliki kontraindikasi relatif (misal, karena kehamilan).25,26 Pemeriksaan ultrasound pada n.medianus dapat membantu untuk memprediksikan respons dari injeksi steroid.27
Non Steroid Anti-Inflamatory Drugs (NSAID) dan/atau diuretik memberikan manfaat pada beberapa populasu (misal, pasien dengan retensi cairan atau dengan tendinitis pergelangan tangan). Vitamin B-6 atau B-12 tidak terbukti memberikan manfaat.20
Kurangnya olah raga (bersamaan dengan peningkatan BMI) tampaknya menjadi faktor resiko untuk berkembangnya CTS dan sebaiknya ditangani.
Intervensi Pembedahan
Pasien dengan kondisi yang tidak membaik setelah terapi konservatif dan pasien dengan CTS berat (sesuai dengan pemeriksaan elektrofisiologi) sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan pembendahan. Pembedahan dengan melepaskan ligamentum transversum terbukti memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi (lebih dari 90%), dengan komplikasi yang rendah, namun, kemungkinan keberhasilan untuk jangka panjang mungkin lebih rendah dari dugaan (kira-kira 60% untuk 5 tahun). Keberhasilan juga sangat rendag pada pasien dengan hasil pemeriksaan elektrofisiologi yang normal.28,29,30
Dekompresi n.medianus secara pembedahan, dengan transeksi CL, diperuntukkan bagi pasien yang tidak membaik dengan terapi konservatif dan untuk pasien dengan klinis atau hasil pemeriksaan elektrofisiologi yang menunjukkan jepitan yang berat dengan motorik fokal, atau kerusakan serabut sensorik. Dekompresi bedah dilakukan dengan anestesi regional dengan teknik pembukaan atau dengan teknik endoskopi.
Pembebasan Carpal Tunnel dengan Bedah Terbuka
Insisi dilakukan sepanjang 3 cm, secara linier atau longitudinal, dari palmar distal di antara thenar dan hypothenar ke arah retinakulum proksimal.
Seluruh retinakulum fleksorum dilakukan transaksi. Beberapa komplikasi dari pembedahan ini termasuk bekas luka dan nyeri neuralgia kutaneus. Kekambuhan setelah pembedahan jarang terjadi dan biasanya merupakan hasil dari ketidaksempurnaan transaksi dari retinakulum fleksorum atau trauma iatrogenik dari n.medianus.
Pembebasan Carpal Tunnel secara Endoskopi
Teknik ini diperkenalkan pada tahun 1989 oleh Okutsu dkk untuk mengurangi morbiditas dari pembedahan dan mempercepat pemulihan. Ada dua teknik endoskopi: sistem pelepasan satu portal dan sistem pelepasan dua portal.
Studi kasus membandingkan pembebasan carpal tunnel dengan teknik pembedahan terbuka dan endoskopi menunjukkan tingkat keberhasilan yang sama dalam hal pengurangan gejala dan kepuasan dari pasien. Teknik terbuka menimbulkan bekas luka yang lebih besar, sedangkan endoskopi menimbulkan resiko cedera saraf yang lebih besar.
Konsultasi
Merujuk pasien dengan suspek CTS ke spesialis yang telah terlatih dalam neurofisiologi klinis (biasanya neurolog, fisiatris, atau spesialis kedoktgeran fisik dan rehabilitasi) untuk dilakukan pemeriksaan elektrofisiologik.hasil pemeriksaan ini penting untuk diagnosis, pemilihan perawatan yang tepat, penentuan prognosis dan tindak lanjut jangka panjang.
Terapi lainnya
Teknik dan alat untuk meregangkan atau memanipulasi carpal tunnel tampaknya menjanjikan tetapi belum dapat diterima secara luas.21
TERAPI MEDIKASI Injeksi Steroid
Injeksi steroid di bawah CL mampu menimbulkan dekompresi pada n.medianus dengan mengurangi edema pada jaringan sekitar. Hal ini kadang- kadang membantu pada kasus dengan klasifikasi sedang. Jarum dimasukkan pada distal pergelangan tangan, baik bagian medial atau lateral dari tendo palmaris longus dengan sudut 45 derajat diarahkan ke distal. Penyuntikan secara tegak lurus melalui retinakulum fleksorum kadang-kadang digunakan tapi membawa resiko tinggi cedera n.medianus. Pengalaman klinis menyatakan bahwa respons terapi biasanya tergantung dari tingkat kompresi. Pada kasus yang parah infiltrasi steroid tidak cukup untuk meringankan tekanan pada saraf. Pada kompresi dengan tingkat sedang, respons positif dapat dirasakan beberapa hari setelah injeksi, tetapi biasanya menghilang dalam waktu enam bulan. Suntikan steroid kedua dianjurkan setidaknya enam bulan setelah injeksi yang pertama dan hanya jika respons pada injeksi memuaskan secara klinis. Ketika terdapat kebutuhan untuk suntikan ketiga, dekompresi secara bedah harus dipertimbangkan dengan serius.
Nonsteroid anti-inflamatory drugs
Program jangka pendek pemberian NSAID (1 – 2 minggu) secara teratur dapat bermanfaat jika curiga terdapat peradangan pada daerah pergelangan tangan (misalnya, fleksor tenosinovitis, rheumatoid arthritis). Demikian juga jika terdapat edema, maka program pemberian diuretik jangka pendek mungin bermanfaat.
NSAID mengurangi rasa sakit dan mengurangi peradangan. Mengurangi peradangan pada struktur carpal tunnel menurunkan dan mengurangi kompresi dari saraf.
Ibuprofen (Ibuprin, Motrin)
DOC unruk pasien dengan nyeri tingkat ringan sampai sedang.
Menghambat reaksi inflamasi dan rasa nyeri dengan menurunkan sintesis prostaglandin.
Cyclooxygenase -2 inhibitors
Walaupun peningkatan biaya dapat menjadi faktor negatif, insidensi potensial terjadinya perdarahan GI yang fatal jelas berkurang dengan pemberian COX-2 inhibitors daripada NSAID tradisional. Analisis yang sedang berjalan mengenai pencegahan perdarahan GI akan ditentukan lebih jauh pada populasi subjek sehingga dapat diketahui COX-2 inhibitor yang paling menguntungkan.
Celecoxib (Celebrex)
Inhibitor primer COX-2. Tersusun atas isoenzyme terinduksi, COX-2 terinduksi selama nyeri dan stimulus inflamasi. Inhibisi dari COX-1 mungkin berkontribusi pada toksisitas NSAID pada GI. Pada sosis terapeutik, isoenzyme COX-1 tidak terinhibisi, sehingga toksisitas pada GI dapat dikurangi. Carilah dosis terendah dari clecoxib untuk tiap pasien.
Agen Diuretik
Kondisi yang menyebabkan edema mampu meningkatkan tekanan pada carpal tunnel. Diuretik memungkinkan untuk mengurangi edema.
Hydrochlorotiazide (Esidrix, HydroDIURIL, Microzide)
Menginhibisi resorpsi sodium pada tubulus distal, menyebabkan peningkatan ekskresi dari sodium dan air, demikian pula potasium dan ion hidrogen.
FOLLOW UP
Perawatan Pasien lebih lanjut
Pasien dengan pengobatan konservatif untuk CTS sebaiknya dilakukan pemantauan 4-6 minggu sehingga keberhasilan terapi dapat dinilai. Pasien yang tidak mencapai hasil yang diharapkan dari terapi konservatif sebaiknya dipertimbangkan untuk pilihan terapi bedah.
Gejala lanjutan setelah dilakukan pembebasan carpal tunnel sebaiknya dirujuk untuk mengulang studi elektrofisiologik.
Pencegahan
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa intervensi dapat mencegah terjadinya CTS.
Komplikasi
CTS mungkin dapat berlanjut menjadi cedera n.medianus yang akan menyebabkan kerusakan permanen dan menyebabkan kecacatan.
Beberapa individu dapat berkembang menjadi kronik, nyeri pada pergelangan tangan dan tangan ( dengan atau tanpa distrofi refleks simpatik )
Prognosis
CTS tampaknya menjadi progresif dari waktu ke waktu ( walaupun dengan fluktuasi dari minggu ke minggu ) dan dapat mengarah pada kerusakan n.medianus yang permanen. Apakah manajemen konservatif dapat mencegah progresivitas belum jelas. Walaupun dengan operasi bedah,
tampaknya terjadi rekurensi sindroma ini pada beberapa derajat dalam sejumlah besar kasus ( mungkin satu per tiga setelah 5 tahun).29
Awalnya, sekitar 90% kasus CTS ringan sampai sedang respons dengan manajemen konservatif. Seiring waktu, bagaimanapun, sejumlah pasien memerlukan terapi bedah.
Pasien dengan CTS dengan kelainan yang mendasari (misal, diabetes, patah tulang pergelangan) cenderung memiliki prognosis yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan pasien tanpa penyakit lain.
Pasien dengan pemeriksaan elektrofisiologi yang normal secara konsisten memiliki hasil operasi yang kurang menguntungkan (dan lebih banyak komplikasi) dibandingkan pasien dengan hasil pemeriksaan elektrofisiologi yang tidak normal. Axonal loss pada pemeriksaan elektrofisiologi juga mengindikasikan prognosis yang kurang menguntungkan.
Edukasi Pasien
Asosiasi dibandingkan penyebab - Asosiasi 2 fenomena tidak menyiratkan hubungan sebab akibat. Menggunakan tangan terlalu sering membawa pada gejala carpal tunnel syndrome (CTS), dengan cara yang sama bahwa olahraga membawa pada angina pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Asosiasi ini, bagaimanapun, tidak berarti bahwa kerusakan n.medianus disebabkan oleh penggunaan atau akan bertambah buruk.
(olahraga, pada kenyataannya, baik untuk penyakit arteri koroner.)
Menghindari penggunaan ekstrem - Jika pekerjaan pasien / kegemaran yang melibatkan kekuatan ekstrem / pengulangan / postur / getaran melalui pergelangan tangan, maka tampaknya bijaksana untuk mencari cara menghindari faktor-faktor yang menyebabkan atau memperburuk CTS.
Olahraga - BMI dan tingkat kebugaran yang rendah tampaknya terkait dengan perkembangan CTS.