• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 752015025 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 752015025 BAB IV"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

73

BAB IV

MAKNA PULAU SABU DAN NARASI TEMPAT DAN IDENTITAS KULTURAL

ORANG SABU DIASPORA

Masyarakat suku Sabu memiliki banyak warisan kebudayaan yang masih tetap dipelihara dan dilaksanakan hingga saat ini. Warisan kebudayaan tersebut adalah benda-benda peninggalan, tari-tarian, ritual, dan lain sebagainya. Benda-benda peninggalan dari suku Sabu yang ada hingga saat ini adalah kebudayaan megalitik yang berada di kampung adat namata, batu-batu keramat yang terdapat di Raijua sebagai tempat persembahan kepada raja Majapahit, dll. Tari-tarian yang biasa digunakan dalam setiap ritual dari masyarakat suku Sabu adalah tarian padoa dan tarian ledo hawu. Ritual-ritual yang digunakan dalam masyarakat suku Sabu adalah ritual yang sesuai dengan siklus hidup manusia mulai dari ketika seseorang dilahirkan sampai meninggal.

Salah satu ritual dari masyarakat suku Sabu yang masih dilaksanakan hingga saat ini adalah pebale rau kattu do made. Ritual ini dilaksanakan oleh orang Sabu diaspora terutama bagi mereka yang hidup agar mereka mengadopsi nilai-nilai persaudaraan ketika mereka kembali ke pulau Sabu untuk melaksanakan ritual ini. Selanjutnya, nilai-nilai tersebut bermakna dalam kehidupan mereka ketika mereka kembali dalam masyarakat diaspora tempat mereka tinggal. Sementara bagi orang yang meninggal, pelaksanaan ritual ini bertujuan agar orang Sabi diaspora tersebut meninggal dalam memori keluarga.

1. MAKNA PULAU SABU

(2)

74

teori diaspora maka Sheffer mendefinisikan diaspora modern sebagai emigran yang berasal dari kelompok etnis yang menetap di negara tempat tinggal (host country), namun masih menjaga hubungan sentimental yang kuat dengan negara asal dan kampung halamannya.1 Berdasarkan hasil temuan dari penulis, orang Sabu diaspora adalah orang Sabu yang lahir di Sabu, tetapi karena tuntutan hidup dan pekerjaan akhirnya harus merantau ke luar pulau Sabu dan bahkan menetap di tanah rantau. Sekalipun orang Sabu telah merantau dan menetap di tanah rantau, tetapi mereka masih menjaga hubungan sentimental dengan kampung halamannya. Hal itu terlihat dari kebiasaan orang Sabu yang tetap menjalankan ritual-ritual yang ada. Salah satu ritual yang masih tetap dijalankan oleh orang sabu diaspora adalah ritual pebale rau kattu do made.

Hubungan sentimental yang dibangun tidak saja dengan kampung halaman tempat orang Sabu diaspora berasal tetapi juga dengan keluarga yang berada di tempat asal. Hal itu dapat dilihat dari pemahaman orang Sabu bahwa pulau Sabu itu sebagai rumah. Rumah dimana seorang Sabu diaspora dilahirkan sehingga ketika meninggal, ia juga harus kembali ke dalam rumah. Rumah dalam pemahaman baik masyarakat primitif, modern dan religius adalah pusat dunia (axis mundi). Pulau Sabu juga dimaknai sebagai pusat dunia (axis mundi). Oleh karena itu, kehidupan manusia dimulai dari dalam rumah, berlangsung di rumah dan berakhir di rumah. Rumah orang Sabu sama dengan sebuah perahu yang dari luar nampaknya tertutup/terbalik. Rumah juga dimaknai sebagai tempat tinggal baik bagi orang yang sudah meninggal maupun yang masih hidup bersama dengan yang Ilahi. Oleh karena itu, ketika seorang Sabu diaspora yang meninggal maka ia harus kembali ke rumah yang merupakan tempat berkumpul keluarga yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Tujuan untuk berkumpul dalam rumah bagi orang Sabu diaspora adalah bagi orang yang hidup adalah agar mengambil nilai-nilai kehidupan seperti

1 G. Sheffer, A New Field of Study: Modern diasporas in international politics (Croom Helm, London and

(3)

75

persaudaraan, dan lain-lain untuk dipakai ketika kembali dalam kehidupan diaspora. Sementara bagi orang yang meninggal, ia ingin meninggal dalam memori keluarga. Hubungan sentimental dengan kampung halamannya juga terlihat dalam ritual pebale rau kattu do made yang dilaksanakan di Sabu dan dihadiri oleh anak cucu dan keluarga inti dari yang meninggal di tanah rantau, keluarga di Sabu, pemerintah dan pemimpin agama.

Dalam kehidupan masyarakat diaspora memiliki ciri-ciri khusus dibandingkan dengan masyarakat dimana tempat mereka tinggal menetap. Menurut William Safran mendefinisikan orang-orang yang merupakan diaspora dengan menampakkan enam ciri utama: mereka (atau nenek moyang mereka) yang tersebar dari satu pusat asli untuk dua atau lebih lokasi asing, memiliki memori kolektif tentang tanah asli mereka, mereka tidak sepenuhnya percaya dan mereka tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat tuan rumah mereka, menganggap tempat asal mereka sebagai rumah mereka yang sebenarnya (mereka atau keturunan mereka akhirnya akan kembali), secara kolektif berkomitmen untuk pemeliharaan tanah air mereka, dan terus berhubungan dengan tanah air yang dalam satu atau lain cara.2 Demikian pula yang terjadi dalam kehidupan orang Sabu diaspora, orang Sabu disapora menetap hampir tersebar di seluruh Indonesia bahkan sampai di luar negeri. Khusus di Nusa Tenggara Timur (NTT) sendiri hampir di setiap daerah atau kabupaten tempat orang Sabu diaspora tinggal, Mereka membentuk

komunitas sendiri yang biasa dinamakan sebagai “kampung Sabu”. Tujuan pembentukkan

komunitas tersebut adalah untuk menjaga kesatuan identitas mereka. Khusus untuk orang Sabu diaspora yang masih hidup, cara mereka mengingat tanah leluhur atau kampung halaman mereka adalah dengan nyanyian lagu Elemoto. Lagu ini menggambarkan agar seorang Sabu yang telah

2Yolanda Covington-Ward, Transforming Communities, Recreating Selves: Interconnected Diasporas,

(4)

76

merantau dan telah mengalami keberhasilan di tanah rantau, tidak boleh melupakan Sabu sebagai tanah tuak dan gula. Sementara untuk orang Sabu yang telah meninggal, mereka juga tidak akan melupakan tanah leluhur atau pulau Sabu. Hal itu tergambar dari ritual pebale rau kattu do made yang dilaksanakan oleh keluarga yang masih hidup terhadap orang Sabu diaspora yang telah meninggal di tanah rantau. Tujuan pelaksanaan ritual pebale rau kattu do made di Sabu adalah orang Sabu diaspora yang telah merantau dan meninggal di tanah rantau telah kembali dalam rumah dan persekutuan keluarga di tempat asal atau pulau Sabu.

Menurut Hans Ucko, masyarakat diaspora dalam suatu negara dapat dikategorikan sebagai masyarakat minoritas. Sering kali dalam situasi mayoritas-minoritas ada perasaan curiga bahwa kelompok minoritas tidak memiliki kesetiaan apapun, dan mereka mengajukan agendanya sendiri, yang kalau diterima dan diberi kesempatan akan mengganggu keamanan dan melenyapkan stabilitas. Sering juga kita menganggap kelompok minoritas sebagai kelompok yang lemah, yang membutuhkan perlindungan dari yang mayoritas. Perlindungan tersebut sering dalam bentuk kemurahan yang berubah-ubah, bahkan bisa menjadi suatu penganiayaan. Semakin kelompok minoritas ditekan, semakin pula anggotanya memberi diri untuk mempertahankan eksistensi kelompoknya.3 Berdasarkan temuan dari penulis, orang Sabu diaspora yang terdapat di Kupang, mereka menjadi masyarakat yang minoritas. Hal itu dapat dilihat dari kelompok tempat mereka tinggal adalah hanya khusus dihuni oleh orang-orang Sabu. Dalam keberadaannya sebagai yang minoritas ditengah masyarakat yang beragam suku dan budaya maka orang Sabu diaspora juga dapat menjadi ancaman yang berarti bagi masyarakat disekitarnya. Mereka juga hidup dalam budaya yang mereka bentuk sendiri, cara hidup dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan. Contohnya, kejadian yang terjadi di kampung Sabu, Kabupaten Timor Tengah

3

(5)

77

Selatan (TTS) yaitu kejadian terkait ada isu yang beredar via SMS tentang penikaman terhadap 2 (dua) pemuda asal TTS di yang ditikam di Naibonat. Setelah dikonfirmasi dengan Kapolres TTS Bapak Agus Hermawan dan koordinasi dengan Kapolres Babau, diperoleh jawaban pasti isu tersebut tidak benar. Sebelum diketahui bahwa isu ini tidak benar, keadaan kampung Sabu cukup mencekam. Beberapa warga setempat bersiaga di sejumlah sudut kampung sambil mempersentajai diri dengan batu, parang, panah, potongan kayu, potongan pipa besi, tombak, senapan angin dan benda lainnya. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka polisi mengadakan razia terhadap warga luar yang melintasi jalan masuk ke lingkungan kampung Sabu di belakang RSUD Soe. Selain itu, polisi bersiaga di sejumlah titik dalam lingkungan kampung tersebut.4 Inilah yang dikatakan oleh Hans Ucko bahwa masyarakat diaspora itu sebagai masyarakat minoritas. Sekalipun sebagai masyarakat minoritas tetapi masyarakat dispora itu juga dapat menjadi ancaman bagi orang-orang yang berada disekitarnya. Kampung Sabu di Soe, TTS itu adalah salah satu contoh dari orang Sabu diaspora. Khusus untuk komunitas Sabu diaspora dalam contoh ini terlihat bahwa mereka menjadi ancaman bagi masyarakat Soe secara keseluruhan. Dilihat dari kasus yang dilakukan oleh warga kampung Sabu tersebut sudah jelas mengganggu keamanan dan ketertiban dari masyarakat TTS secara keseluruhan. Untuk menjaga eksistensi kelompoknya dalam kasus tentang isu pembunuhan terhadap 2 warganya maka kita bisa melihat bahwa warga kampung Sabu mempersenjatai diri mereka dengan berbagai benda tajam, dan lain-lain.

Yudaisme dalam banyak aspek adalah agama dari umat yang hidup dengan suatu ingatan atau kenangan akan sejarah. Ia adalah suatu agama yang mengenang. Salah satu kunci dalam Yudaisme adalah perintah Zakor! “Ingatlah”! Ingatlah masa ketika diperbudakan dan dalam

4https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=txzRV_-LB8HRvgSHp4PQCA#q=kampung+Sabu+Soe

(6)

78

kurungan! Ingatlah bahwa engkau dibawa keluar dari perbudakan! Ingatlah kesulitan-kesulitan dalam perjalanan di padang gurun! Ingatlah bahwa engkau menjadi umat Tuhan ketika berada di gurun pasir. Ingatlah bahwa engkau dibebaskan agar menjadi umat yang terpilih! Ingatlah identitasmu sebagai umat yang terpilih. 5 Jika membandingkan antara Yudaisme dengan Sabu diaspora maka ada kesamaan diantaranya yaitu cara mereka mengekspresikan kerinduan terhadap tempat asal mereka adalah dengan ingatan atau kenangan akan sejarah. Ingatan dimulai dari orang Sabu diaspora tidak melupakan sejarah pulau Sabu dari masa ke masa. Ingatan itu juga berkenaan dengan orang-orang yang berjasa terhadap Sabu dan perkembangannya. Seperti contoh nama-nama besar seperti Bapak El Tari, Piet Alexander Tallo, Is Tiboeloedi, R. Riwu Kaho, dan lain-lain. Ingatan terhadap nama-nama besar tersebut sebenrnya mau menjelaskan bahwa orang Sabu diaspora telah berdiaspora sejak lama tetapi juga orang-orang Sabu diaspora tersebut juga mengalami kesuksesan dan keberhasilan di tanah rantau. Hal itu terlihat dari jabatan-jabatan penting yang dipegang oleh orang-orang Sabu diaspora tersebut seperti gubernur, kakanwil depdikbud NTT, pimpinan perusahan daerah NTT, dan lain-lain. Ingatan yang lain dari orang Sabu diaspora yang masih hidup terhadap tempat asal atau pulau Sabu adalah dengan penggunaan bahasa Sabu di tanah rantau, lagu elemoto yang tetap dinyanyikan dan ritual pebale rau kattu do made yang dilaksanakan oleh keluarga yang masih hidup. Selain itu juga, ingatan terhadap pulau Sabu tidak akan pernah hilang dari kehidupan orang Sabu diaspora. Hal itu terlihat dari ketika keluarga Riwu Kaho dan Tiboeloedji datang ke Sabu. Mereka tidak saja membawa rau kattu dari tanah rantau tetapi juga berbagi rejeki melalui talenta yang mereka miliki. Rejeki yang dibagi adalah berupa pengobatan gratis yang dilakukan oleh keluarga dan seminar berupa penyadaran gender. Ingatan terhadap pulau Sabu membuat generasi penerus

5Ucko, Akar Bersama. 38.

(7)

79

dapat mengabdikan talenta yang dimiliki dan menggunakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada untuk membangun masyarakat yang ada di Sabu.

Perintah untuk mengingat inilah yang biasa dikenal dengan nama menyimpan memori. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan orang Israel yaitu ketika mereka meninggal di tanah diaspora maka mereka harus membawa pulang sesuatu ke kampung halaman mereka. Sebagai contoh, ada kisah dari keluarga Yakub atau Israel dimana di akhir hidupnya ia meminta kepada anak-cucu di Mesir tepatnya di wilayah Gosyen yang subur agar suatu hari nanti Yakub di bawa pulang ke Kanaan. Bahkan ia meminta dibuat sebuah janji atau sumpah. Demikian juga Yusuf melakukan hal yang sama agar ia pun dibawa pulang untuk menikmati persekutuan dengan para leluhurnya di Kanaan. Bukankah Mesir lebih mewah dibanding Kanaan? Yakub meminta Yusuf untuk

memenuhi kerinduannya seperti ini: “ketika hampir waktunya bahwa Israel akan mati,

dipanggilnya anaknya Yusuf, dan berkata kepadanya: “jika aku mendapatkan kasihmu, letakkanlah kiranya tanganmu di bawa pangkal pahaku, dan bersumpahlah, bahwa engkau akan menunjukkan kasih dan setiamu: jangan kiranya kuburkan aku di Mesir, karena aku mau mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangku. Sebab itu angkutlah aku dari

Mesir dan kuburkanlah aku dalam kubur mereka. jawabnya: “aku akan berbuat seperti katamu

itu. Kemudian kata Yakub: “bersumpahlah kepadaku”. Maka Yusuf pun bersumpah kepadanya

(8)

80

negeri yang dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub; pada waktu itu kamu harus membawa tulang-tulangku dari sini”. Rindu ke rumah dan berkumpul dengan keluarga, tanah dan air adalah semangat dari permintaan bapak leluhur Israel. Harapan itu dilegalkan menjadi wadah ziarah tiap generasi ke tanah air perjanjian yang telah diwariskan kepada anak cucu mereka. Ketika Yusuf meninggal di tanah diaspora yaitu di tanah Mesir maka saudara-saudaranya harus membawa tulang-tulangnya untuk dikuburkan di Israel. Artinya bahwa ketika Yusuf menjadi seorang diaspora di tanah Mesir dan waktu ia meninggal harus membawa sesuatu puulang ke tanah leluhur atau tempat asal dari Yusuf. Yakub dan Yakub menginginkan bahwa tulang-tulangnya dikuburkan di Israel. Ketika Yakub meminta Yusuf bersumpah untuk membawa tulangnya ke Israel.

(9)

81

pulau Sabu. Beberapa daerah rantau orang Sabu diaspora yang pernah melaksanakan ritual pebale rau kattu do made adalah Kupang, Flores, Jakarta, dan lain-lain.

Tempat asal itu berhubungan dengan tempat dimana seseorang dilahirkan. Dalam pandangan orang Sabu jika ia dilahirkan di tempat asalnya atau tanah lelehurnya maka dengan sendirinya ketika ia meninggal ia harus kembali ke tempat asalnya. Alasan orang Sabu harus meninggal dan kembali ke Sabu karena tali plasentanya dikuburkan di Sabu. Bagi orang Sabu diaspora yang merantau di sebelah timur pulau Sabu dan meninggal di tanah rantau maka harus melaksanakan ritual pebale rau kattu do made. Ritual ini dilaksanakan karena jenazah orang Sabu diaspora tidak dapat kembali ke Sabu. Jadi, rau kattu dianggap mewakili diri si mati untuk kembali ke kampung halaman, rumah dan persekutuan keluarga. Tempat asal juga sering digambarkan sebagai sebuah tempat dimana banyak memori tersimpan didalamnya.6 Bagi orang Sabu diaspora, di pulau Sabu terdapat rumah yang menjadi tempat dimana banyak memori tersimpan didalamnya. Rumah di Sabu bukan saja tempat dimana orang Sabu sebelum merantau dilahirkan tetapi menjadi ruang dimana masa kecil dihabiskan bersama dengan seluruh keluarga. Kerinduan untuk kembali dalam rumah yang merupakan tempat dilahirkan juga menjadi kerinduan orang Sabu diaspora yang merantau ketika ia meninggal agar ia dapat kembali ke dalam rumah dan persekutuan keluarga. Rumah juga tidak saja menjadi tempat beristirahat bagi orang yang telah meninggal tetapi juga rumah menjadi tempat pertemuan antara keluarga yang masih hidup baik itu keluarga dari tanah rantau maupun keluarga yang ada di Sabu. Selain itu juga, rumah orang Sabu terdapat kolong rumah yang merupakan tempat bagi orang Sabu dikuburkan. Bagi orang Sabu diaspora, jika meninggal kembali ke rumah maka kembali untuk dikuburkan di bagian kolong rumah. Kolong rumah orang Sabu terdiri dari bagian wui (buritan)

(10)

82

dan d’uru (haluan) dengan lantai tanah. Memori yang lain yang tersimpan dalam ingatan orang Sabu diaspora adalah kembali ke tempat asal atau pulau Sabu berarti kembali kepada kendaraan milik dari Ama Piga Laga. Dalam pemahaman orang Sabu diaspora khususnya bagi mereka yang merantau, jika meninggal dan tidak melaksanakan ritual pebale rau kattu do made maka arwah dari orang yang meninggal belum tenang. Alasannya, karena di Sabu terdapat kendaraan dari Ama Piga Laga yang akan mengantarkan menuju tempat berkumpulnya roh para leluhur di Tanjung Sasar, Juli-Haha. Memori yang tersimpan dalam rumah orang Sabu adalah tentang seorang ibu yang melahirkan. Oleh karena itu, pulau Sabu juga memiliki makna sebagai rahim ibu. Ketika seseorang dilahirkan oleh ibu, ibu tidak sendiri tetapi bersama dengan beberapa perempuan dan bidan, sehingga ketika seseorang Sabu diaspora meninggal juga harus kembali ke rahim atau rumah ibu. Selain itu juga, ketika seorang perempuan melahirkan dalam budaya Sabu dalam posisi duduk sehingga ketika seorang Sabu diaspora meninggal juga ketika dikuburkan dalam keadaan duduk seperti waktu melahirkan dalam posisi duduk di rahim ibu. Pulau Sabu sebagai tempat dimana banyak deposit memori kehidupan yang tersimpan di dalamnya. Hal itu tergambar dari kehidupan baik itu orang Sabu diaspora yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Bagi orang yang hidup ketika mereka pulang ke Sabu dan melaksanakan ritual ini berarti mereka mengambil nilai-nilai kekeluargaan, persaudaraan, dan lain-lain yang akan mereka bawa kembali ketika mereka berada kembali dalam kehidupan diaspora. Bagi orang yang meninggal, mereka ingin meninggal dalam memori keluarga.

(11)

83

disambut oleh keluarganya. Kedatangan kembali ke tempat asal menggambarkan bahwa seseorang kembali ke dalam cinta kasih keluarganya.7 Dalam kehidupan orang Sabu diaspora yang pulang kembali ke tempat asal bukan hanya orang yang telah meninggal tetapi juga bersama dengan keluarga dari diaspora. Bagi orang Sabu diaspora, kembali ke tempat asal seperti kembali ke dalam rumah dan persekutuan keluarga. Hal itu dapat dilihat dari cara bagaimana orang Sabu ketika menyambut orang yang telah meninggal didahului dengan ritus pelango do made (menyambut si mati) kembali dalam persekutuan keluarga. Bukan hanya orang yang telah meninggal telah kembali ke rumah berkumpul dengan keluarga, tetapi keluarga yang dari rantau juga turut serta berziarah ke kampung halaman.

2. NARASI TEMPAT DAN IDENTITAS KULTURAL ORANG SABU DIASPORA

Makna tempat dan ruang dikonseptualisasikan, sebagai ruang kebebasan manusia untuk dapat melekat pada identitas satu dengan yang lainnya.8 Identitas yang melekat pada diri seseorang tidak saja identitas pribadi tetapi identitas sosial. Secara harafiah identitas adalah ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri seseorang yang melekat pada sesuatu atau seseorang yang membedakannya dengan yang lain, baik secara fisik maupun secara non-fisik. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa identitas sebagai ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang.9 Berdasarkan hasil penelitian, salah satu nilai luhur yang terkandung dalam ritual pebale raukattu do made adalah identitas. Identitas sebagai orang Sabu melekat dalam diri seseorang mulai dari seseorang itu dilahirkan sampai seseorang itu meninggal.10 Sekalipun seseorang setelah dilahirkan dan dalam perkembangan kehidupannya ia menjadi seorang perantau tetapi identitas dari tempat asal (identitas sebagai orang Sabu) tidak

7

Hook, Belonging: A Culture of Place. 24.

8 Anastasia Christou, Narratives of Place, Culture and Identity (Amsterdam: 2006), 33.

(12)

84

akan pernah hilang. Identitas orang Sabu diaspora di tanah rantau dapat dilihat ketika seseorang diaspora hidup dan waktu meninggal. Ketika seorang Sabu diaspora hidup maka ia tidak akan melupakan identitasnya. Hal itu terlihat dari pengamalan terhadap nilai-nilai yang dianut oleh orang Sabu seperti kekerabatan atau kekeluargaan, cinta kasih, dan lain-lain. Selain itu, orang

Sabu diaspora tetap menjaga identitas mereka dengan membentuk “kampung sabu”. Identitas

orang Sabu diaspora yang hidup juga tergambar dalam lirik lagu Elemoto. Lirik lagu elemoto menggambarkan agar orang Sabu yang telah merantau dan mengalami kemakmuran di tanah rantau untuk tidak boleh melupakan kampung halaman beserta dengan adat-istiadatnya. Ketika seorang Sabu diaspora meninggal di tanah rantau maka ia tetap memiliki identitas. Hal itu terlihat ketika keluarga dari rantau tetap melaksanakan ritual pebale rau kattu do made. Pelaksanaan ritual ini untuk menegaskan bahwa sekalipun orang Sabu diaspora telah meninggal di tanah rantau tetapi identitas sebagai orang Sabu tetap melekat dalam dirinya.

(13)

85

juga berarti pulang dalam memori keluarga, pulang dalam rahim ibu dan tempat terdapat energi yang paling dahsyat yaitu kekeluargaan dan persaudaraan. Jadi, bagi orang Sabu diaspora tidak sekedar ketika orang diaspora kembali ke pulau Sabu berarti kembali ke rumah, tetapi lebih dari itu orang Sabu diaspora yang meninggal dapat meninggal dalam memori keluarga. Bagi orang Sabu diaspora yang hidup dapat menemukan energi yang dahsyat di dalam rumah yaitu kekeluargaan dan persaudaraan yang dapat digunakan ketika mereka kembali bersosialisasi dalam masyarakat diaspora.

Menurut Richard Jenkins, apapun identitas itu, dalam dirinya sendiri, dapat dipastikan menyebabkan tindakan.11 Dalam hubungan yang telah dikemukakan oleh Jenkins ini tampaknya ia mengandaikan identitas sebagai sebuah kategori, entah sebagai individual ataupun sosial, yang menuntut seseorang untuk berperilaku sesuai dengan identitas yang ia miliki. Pada sisi lain mungkin juga hubungan ini memahami identitas adalah peran yang dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Identitas yang dimiliki seseorang ada 2 (dua) yaitu identitas pribadi dan sosial. Identitas pribadi adalah identitas yang melekat pada diri seseorang. Identitas itu juga terdapat dalam diri orang Sabu. Identitas sosial adalah identitas yang dimiliki oleh suatu kelompok. Dalam hal ini dapat dilihat dari contoh orang Sabu diaspora yang telah merantau dan

membentuk komunitas “kampung Sabu”. Identitas yang dimiliki oleh seseorang dapat

menyebabkan tindakan. Tindakan tersebut dalam kehidupan kultur orang Sabu diaspora adalah dengan terlibat di dalam sebuah ritual. Salah satu ritual yang harus dilaksanakan oleh orang Sabu diaspora adalah ritual pebale rau kattu do made.

Dalam pemahaman Richard Jenkins, ia menyatakan bahwa identitas manusia selalu merupakan identitas sosial karena selalu berkaitan dengan keberadaan orang lain yang ada

11

(14)

86

disekitar. Mengidentifikasi diri sendiri, atau mengidentifikasi orang lain, adalah persoalan pemaknaan. Selanjutnya, pemaknaan selalu melibatkan interaksi, persetujuan atau ketidaksetujuan, perjanjian, inovasi, komunikasi, dan negosiasi.12 Identitas sosial adalah ciri-ciri atau keadaan khusus sekelompok masyarakat. Identitas ini menunjukkan cara-cara di mana individu dan kolektivitas-kolektivitas dibedakan dalam hubungan mereka dengan individu dan kolektivitas lain.13 Identitas yang melekat dalam diri orang Sabu diaspora adalah bukan saja identitas pribadi tetapi juga identitas sosial. Hal itu terlihat dalam kehidupan sehari-hari orang

Sabu diaspora yang tinggal dan membentuk komunitas “kampung Sabu”. Pembentukkan

komunitas sekaligus menjelaskan bahwa mereka hidup dengan orang lain yang berbeda suku di sekitar mereka. Dengan adanya identitas kultural yang berbeda-beda dalam masyarakat menimbulkan interaksi dalam komunitas tersebut. Dalam interaksi yang dilakukan diantara orang-orang yang berbeda kulturnya dalam sebuah komunitas maka akan terjadi berbagai negoisasi, kesepakatan, perjanjian dan komunikasi. Hal itu juga yang terjadi dalam kehidupan

komunitas “kampung Sabu”, mereka hidup bersama namun juga disekitar kehidupan mereka ada

masyarakat lain. Di tengah kehidupan bersama tersebut maka harus diadakan berbagai komunikasi, persetujuan, negoisasi dan perjanjian, jika tidak maka masyarakat Sabu diaspora atau masyarakat minoritas ini dapat menjadi ancaman bagi masyarakat lain ditengah-tengah kehidupan mereka. Hal ini dapat dilihat dari kasus kampung Sabu yang berada di Soe, TTS. Ketika orang-orang yang berada dalam komunitas mereka diganggu maka mereka akan menjadi ancaman bagi masyarakat yang berada di sekitar mereka. Ancaman itu dapat dilihat dari para warga yang tetap berjaga-jaga dan mempersenjatai diri mereka dengan senjata api, batu, parang, dan lain-lain. Oleh karena itu, agar masyarakat diaspora atau masyarakat minoritas tidak menjadi

12

Jenkins, Social Identity. 17.

(15)

87

ancaman bagi masyarakat di sekitarnya maka perlu diadakan berbagai komunikasi, negoisasi, kesepakatan dan perjanjian.

Dalam pemahaman Barth, identifikasi dan kolektifitas itu dihasilkan atau muncul dari proses transaksi dan negosiasi individu dalam memenuhi kepentingannya. Orang-orang melakukan sesuatu berdasarkan identitas mereka, khususnya keanggotaan mereka dalam kelompok atau budaya tertentu, misalnya garis keturunan, klan, dan suku.14 Identifikasi dan kolektifitas orang Sabu diaspora itu sangat kuat. Hal itu dapat dilihat kehidupan sehari-hari orang Sabu diaspora yang hidup secara berkelompok dalam sebuah komunitas yang dinamakan

komunitas “kampung Sabu”. Dalam kehidupan komunitas itulah orang Sabu diaspora tetap

menjaga identitas mereka dengan melakukan berbagai aktifitas budaya seperti tradisi, ritual dan lain sebagainya. Sementara dalam pemahaman Tafjel, ia berpendapat bahwa keanggotaan kelompok adalah cukup dalam dirinya sendiri untuk menghasilkan identifikasi dengan kelompok tersebut dan meneruskan perilaku terhadap anggota kelompoknya untuk melawan yang bukan anggota kelompok. Hal ini mengikuti pemahaman psikologi sosial yang menekankan persaingan yang realistis dan konflik kepentingan sebagai dasar bagi kerja sama dan pembentukkan kelompok.15 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, mitos tentang ritual pebale rau kattu do made ini berasal dari cerita tentang dua orang kakak beradik yaitu Jawa Miha dan Hawu Miha yang berkonflik. Konflik yang dialami adalah perebutan pengetahuan dari ayah mereka. Identifikasi dengan kelompok bukan berarti didalam kelompok tidak terjadi konflik.

Konsep identitas juga bersifat dinamis seperti yang diungkapkan oleh Anthony Giddens, bahwa memahami identitas diri merupakan suatu keahlian bernarasi tentang diri dan

14

Jenkins, Social Identity. 7. 15

(16)

88

menceritakan perasaan yang konsisten tentang kontinyuitas biografi. Seperti cerita identitas yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis: apa yang dikerjakan? Bagaimana melakukan? Siapa yang menjadi? Seseorang berusaha mengkonstruksikan cerita identitas dengan saling bertalian dimana diri seseorang membentuk lintasan suatu perkembangan dari pengalaman-pengalaman di masa lalu menuju ke masa depan.16 Sementara itu, konstruksi identitas harus dilihat sebagai konstruksi makna dan representasi terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Identitas yang dikonstruksi oleh individu atau kelompok tertentu memiliki dampak positif dan negatif atas mereka yang menggunakannya.17 Identitas juga terkait dengan persoalan apa yang dimiliki, atau tentang apa yang menjadi kebiasaan dan apa yang membedakan seorang individu dengan individu lain, atau etnik yang satu dengan etnik yang lain.18 Ritual pebale rau kattu do made adalah sebuah ritual yang tidak saja menegaskan bahwa orang yang meninggal tersebut memiliki identitas sebagai orang Sabu. Melalui rau kattu yang dibawa ke Sabu sebenarnya mau menggambarkan tentang identitas sosial sebagai orang Sabu. Identitas itu bersifat dinamis karena bukan saja identitas dari orang yang meninggal tersebut tetapi juga identitas dari keluarga. Keluarga yang datang tidak saja membawa rau kattu tapi juga biasanya untuk menegaskan identitas. Penegasan identitas itu diperlihatkan oleh anak cucu yang datang ke pulau Sabu untuk tidak saja bertemu dengan keluarga, tetapi juga anak cucu yang telah mengalami keberhasilan di tanah rantau dapat mengabdikan talentanya kepada orang-orang dan sanak keluarga di Sabu.

Dalam pemahaman Van Gennep, pelaksanaan ritus-ritus itu berkaitan dengan peralihan suatu masyarakat atau kelompok masyarakat ke dalam status yang baru. Seperti contoh,

16 Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity (London: Cambridge Polity Press, 1991), 75.

17 Yance Z. Rumahuru, Ritual Ma’atenu sebagai Media Konstruksi Identitas Komunitas Muslim Hatuhaha

di Pelauw Maluku Tengah, Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM. Vol.2 No. 1, April 2012, 36-47.

18 Cris Weedon. Identity and Culture: Narative of Difference and Belonging, (UK: Open University Press,

(17)

89

kehamilan, kelahiran, perkawinan dan pemakaman. Tujuan pelaksanaan ritus adalah agar orang masuk dalam sebuah status yang baru tanpa terjadi sesuatu hal yang tidak dinginkan. Contohnya, agar seseorang tidak diganggu oleh roh leluhur. Hal ini juga terjadi dalam kehidupan orang Sabu diaspora. Khusus untuk orang Sabu diaspora yang merantau di sebelah timur pulau Sabu harus mengadakan ritual pebale rau kattu do made. Salah satu alasan agar ritual ini dilaksankan adalah agar keluarga yang masih hidup tidak diganggu oleh arwah orang yang meninggal. Dalam pemahaman orang Sabu jika belum melaksanakan ritual ini maka arwah orang yang meninggal belum tenang karena belum bersama dengan arwah para leluhur. Oleh karena itu, ritual ini harus dilaksanakan di Sabu, sebab di Sabu ada kendaraan dari Ama Piga Laga yang akan menghantarkan arwah orang yang meninggal menuju tempat berkumpulnya para arwah di Tanjung Sasar Sumba, Juli-Haha.

Dalam pemahaman Van Gennep, ia membagi tiga proses dalam ritus peralihan yaitu pertama, ritus pemisahan (ritus separation); kedua, ritus transisi; ketiga, ritus inkorporasi. Ritus pemisahan menonjol dalam upacara pemakaman, karena di sini manusia benar-benar dipisahkan dengan orang yang meninggal. Ritus pemisahan diartikan sebagai ritus yang diadakan sebagai tanda adanya pemisahan dengan dunia sebelumnya. Subjek ritual dipisahkan dari dunia fenomenal yang ada, kemudian masuk ke dunia yang lain. Dalam hal ini kita bisa membedakan antara situasi yang satu dengan situasi yang lain. Upacara itu sendiri mencerminkan adanya suatu keterpisahan itu. Nampaklah keterpisahan yang nyata.19 Ritus pemisahan dalam kehidupan orang Sabu diaspora adalah ritual pebale rau kattu do made. Ritus pemisahan ini tergambar dalam kehidupan untuk memisahkan hubungan antara orang yang hidup dan orang yang meninggal. Salah satu nilai yang terdapat dalam ritual pebale rau kattu do made adalah

(18)

90

pemulihan. Pemulihan ini nampak dalam pembawaan rau kattu dalam bentuk batu kuburan yang kecil menandakan bahwa diantara keluarga terjadi konflik. Pemulihan bukan karena konflik, tetapi pemulihan karena konsolidasi.

Ritus-ritus kematian menjaga kelangsungan kehidupan manusia dengan mencegah orang-orang yang berdukacita dari penghentian entah dorongan untuk lari terpukul-panik dari keadaan itu atau sebaliknya, dorongan untuk mengikuti almarhum ke kubur.20 Itu berarti bahwa praktik-praktik ritus kematian sebagai ekspresi cinta kasih keluarga terhadap orang yang meninggal dan untuk mencegah keluarga dari dorongan perasaan untuk mengikuti orang yang meninggal ke kubur. Selain itu juga praktik ritus kematian juga untuk menghindari agar keluarga terhindar dari roh-roh orang yang meninggal atau leluhur jika tidak melaksanakan ritual tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ritus kematian itu memiliki fungsi ganda. Pertama, untuk orang yang hidup atau keluarga sebagai bentuk cinta kasih keluarga terhadap orang yang meninggal. Selain itu, pelaksanaan ritual kematian dalam hal ini ritual pebale rau kattu do made adalah agar orang atau keluarga yang masih hidup dapat mengatasi krisis akibat peristiwa kematian dan dorongan untuk mengikuti almarhum ke kubur. Kedua, untuk orang yang meninggal pelaksanaan ritus kematian adalah untuk menghantarkan orang yang telah meninggal agar dapat tenang di alamnya. Itulah juga yang terjadi dalam ritual pebale rau kattu do made, jika keluarga belum melaksanaan ritual ini maka arwah dianggap belum tenang dan dapat menganggu keluarga, anak dan cucu.

Dalam pemahaman Dillistone, ia mengatakan bahwa: Kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan memakai simbol… Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi, dan landasan

(19)

91

pemahaman bersama… Setiap komunikasi, dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan

simbol-simbol. Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol.21 Nilai budaya dalam sebuah masyarakat dinyatakan melalui simbol. Simbol yang menjadi pusat perhatian dalam masyarakat Sabu adalah rambut (rau kattu). Simbol ini menjadi sebuah sarana komunikasi bersama dalam kebudayaan Sabu. Dalam komunikasi tersebut maka semua orang Sabu memiliki pemahaman yang sama tentang simbol rau kattu ini dalam ritual pebale rau kattu do made. Simbol rambut ini memiliki makna yang sangat dalam. Rambut adalah bagian tubuh yang paling ringan, awet, terhadap cuaca selain api. Rambut, juga sangat sederhana (simple) dan mudah dibawa. Mengingat konteks pada waktu dahulu dimana teknologi dan komunikasi yang belum memadai, selain dengan perahu layar (kowa) maka dapat dipahami pilihan rambut sebagai simbol diri yang meninggal.22 Rambut menjadi pilihan sebagai lambang diri yang meninggal untuk dibawa pulang ke Sabu. Bagi keluarga di Sabu, melihat rambut sama dengan melihat si mati. Rau kattu adalah salah satu bagian dari kepala yang dapat direfleksikan sebagai pusat pikiran manusia. Pikiran adalah tanda kemanusiaan yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Orang yang sehat pikiran adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mengingat atau mengenang masa lalu, bertindak hari ini dan berharap di hari esok. Rambut (rau) bagian dari kepala (kattu) menjadi simbol dari sebuah pikiran untuk mengingat dan memelihara hubungan kekerabatan dalam keluarga daan dengan lingkungan alamnya (sebagai ibu yang mengandung dan menghidupkan). Rau kattu adalah saat kembali ke rumah atau rahim ibu (b’alle

la da’ara kad’o ina).23

21 R.M. Maclver, Society, (Macmillan, 1950), 340 dalam W. Dillistone, The Power of Symbols, Ibid., 15. 22 Hasil wawancara dengan Ibu Pdt. Paoina Bara Pa 10 Juli 2016

(20)

92

Simbol ritual dalam pemahaman Turner dapat dilihat dan dipahami sebagai manifestasi yang tampak dari ritus. Melalui simbol-simbol orang dapat mengungkapkan dan mengalami sesuatu yang transenden. Simbol ritual bagi Turner tidak hanya berperan sebagai istilah atau abstraksi saja, tetapi harus dilihat juga sebagai sesuatu yang hidup, terlibat dalam proses hidup sosial, kultural dan religius. Bagi Turner simbol ritual merupakan faktor dalam tindakan sosial, struktur dan sifat adalah entitas dinamis. Simbol ini merupakan kekuatan yang independen dengan dirinya sendiri adalah produk dari pasukan lawan banyak. Konsepsi dinamisme, menghasilkan tindakan, adalah pusat dari analisis simbolis Turner. Simbol menarik tindakan, menghasilkan emosi yang kuat.24 Simbol tidak dapat berdiri sendiri namun simbol harus ada dalam sebuah ruang ritual. Demikian juga dengan simbol rau kattu (rambut), simbol ini tidak berarti apa-apa jika ia tidak terlibat dalam sebuah ruang ritual. Simbol ini menjadi bermakna ketika ia ada dalam ritual pebale rau kattu do made. Simbol rambut ini hanya berarti sebagai salah satu aspek yang terdapat dalam anggota tubuh manusia, namun rambut memiliki arti yang lebih ketika dalam ritual pebale rau kattu do made sebagai lambang dari diri si mati. Simbol rau kattu ini tidak hanya dipahami dalam ruang kultural saja, tetapi dalam perkembangannya nilai-nilai dari simbol ini dapat diterapkan dalam kehidupan sosial maupun kehidupan beragama dan hubungan antar agama. Dalam kehidupan sosial kita dapat melihat simbol rau kattu ini memiliki nilai berbagi rejeki. Kehadiran dari keluarga dari rantau juga berdampak secara ekonomi. Mereka datang tentu dengan membawa rejeki yang mereka dapatkan di rantau untuk berbagi dalam bentuk misalnya, pakaian, makanan, kolekte dan perlengakapan rau-kattu. Tidak saja hal-hal fisik yang dapat dibagi oleh keluarga dari rantau tetapi juga seperti pengetahuan dan

24 As Turner states, the ritual symbol is a factor in social action; its structure and properties are those of

dynamic entities. The symbol is an independent force with itself is the product of many opposed forces. This conception of dynamism, of generating action is central to Turner’s symbolis analysis. Symbol entice action, generate strong emotions. H. Barbara Boudewijnse, The Ritual studies of Victor Turner: An Antropological

(21)

93

keterampilan pun dapat dibagi. Anak-anak rantau yang datang pun dapat memberi dirinya sebagai sumber daya untuk membangun kampung halamannya sesuai dengan talenta setelah melihat kampung halamannya dari dekat.

Simbol rau kattu memiliki nilai-nilai luhur yang dapat diterapkan dalam kehidupan beragama. Hal itu dapat dilihat dalam pelaksanaan ritual pebale rau kattu do made dalam versi Kristen. Nili-nilai luhur yang ada dalam ritual ini adalah kekerabatan di perbaharui, pemulihan, perdamaian, dan lain-lain. Nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi dasar bagi gereja dalam memaknai pelaksaan ritual ini. Sebagai Gereja dalam hal ini Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) menerima ritual ini hanya sebagai bentuk penyertaan Tuhan dalam kehidupan keluarga yang meninggal dan mensyukuri pertemuan keluarga yang dari rantau bertemu dengan keluarga di Sabu.25 Dalam pelaksanaannya tidak ada praktek terpisah yang dilaksanakan oleh gereja sehubungan dengan ritual ini. Gereja hanya berupaya mengadopsi nilai-nilai yang baik atau luhur yang terdapat didalam ritual ini. Gereja tidak mengarahkan jemaatnya untuk melakukan praktek agama suku, namun memahami praktek-praktek agama suku itu dalam bingkai iman Kristen.26 Jadi, dapat disimpulkan bahwa gereja menerima pelaksanaan sebuah ibadah dalam ritual ini hanya sebagai bentuk mensyukuri penyertaan Tuhan dan nilai-nilai positif dalam ritual ini.

Fungsi pertama yang tersirat dalam simbol adalah fungsi perwakilan. Simbol merupakan sesuatu yang tidak berdiri sendiri, namun ada kekuatan dan makna yang berpartisipasi didalamnya. Ini adalah fungsi dasar dari setiap simbol, dan oleh karena itu, jika kata yang belum digunakan dalam banyak cara lainnya, salah satu bisa mungkin bahkan menerjemahkan

(22)

94

"simbolis" sebagai " perwakilan," tapi untuk beberapa alasan yang tidak memungkinkan.27 Simbol rau kattu ini berfungsi sebagai perwakilan yaitu sebagai simbol diri dari orang yang telah meninggal. Simbol diri ini juga mau menggambarkan bahwa seseorang tersebut telah ada dalam persekutuan bersama dengan keluarga di tanah leluhurnya atau di Pulau Sabu. Dalam simbol rau kattu ini juga tersingkap beberapa simbol lainnya yang juga sangat berarti dalam kehidupan orang Sabu. Pertama, simbol rumah (kelaga), simbol ini memiliki fungsi yaitu jika seseorang Sabu diaspora telah meninggal di tanah rantau maka ia harus kembali ke rumah. Rumah disini yang dimaksudkan adalah rumah yang berada di tempat asal (pulau Sabu) untuk berkumpul bersama dengan keluarga dan leluhurnya. Rumah dalam pemahaman orang Sabu juga adalah sebagai pusat dunia (axis mundi). Kehidupan dimulai dari rumah, berlangsung dalam rumah dan berakhir di rumah. Rumah tidak hanya menjadi tempat untuk beristirahat bagi orang yang telah meninggal tetapi juga rumah bermakna bagi ruang pertemuan bagi orang (keluarga) yang masih hidup. Rumah sebagai ruang pertemuan bagi orang yang hidup karena di dalam rumah terdapat energi dan kekuatan yang paling dahsyat yaitu persaudaraan dan kekeluargaan. Rumah juga adalah simbol persatuan yang menghimpun, memelihara dan melindungi semua keluarga baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Rumah orang Sabu berbentuk perahu. Struktur rumah dalam masyarakat Sabu terdiri atas buritan dan haluan. Buritan diatur menjadi bagian perempuan mulai dari kegiatan harian, upacara, penyimpan benih dan logistik, melahirkan, tidur, dan kematian. Haluan diatur menjadi milik laki-laki mulai dari kegiatan harian, upacara, tidur, dan kematian. Keseimbangan laki-laki dan perempuan ditandai dengan tiang nok/tiang induk, yaitu gela bani-gela mone (tiang layar perempuan dan tiang layar laki-laki). Dasar (kolong) rumah sebagai tempat untuk kembali kepada asal (kematian) dibagi untuk perempuan (wui) dan

27 Fredik Bath dalam Michael Peterson, Philosophy of Religion, (New York: Oxford University Press,

(23)

95

laki-laki (d’uru). 28 Kedua, simbol dari pulau Sabu itu sendiri adalah rahim ibu. Ketika seseorang dilahirkan seperti dalam posisi jongkok atau duduk dalam rahim ibu maka ketika seseorang meninggal juga harus dikuburkan dalam posisi duduk seperti dalam rahim ibu.

Simbol rau kattu ini dalam perkembangannya mengalami pergeseran. Pada awalnya rau kattu itu adalah rambut. Alasan penggunaan rambut adalah sesuatu yang ada dalam diri si mati, mudah dibawa dalam perjalanan yang panjang dengan menggunakan perahu layar (kowa), tahan terhadap cuaca dan api serta awet. Pada masa sekarang dalam ritual pebale rau kattu do made yang dibawa pulang ke Sabu bukan rambut, tetapi bisa dalam bentuk sarung atau selimut, kain, batu kuburan yang kecil, pakaian dari yang meninggal dan tulang. Sekalipun rau kattu dapat diganti dengan barang-barang yang lain, tetapi makna dari simbol rau kattu itu tidak berubah yaitu sebagai simbol diri dari orang yang telah meninggal.

Kesimpulan

Orang Sabu diaspora adalah orang Sabu yang lahir di Sabu tetapi karena tuntutan hidup dan pekerjaan menetap di tanah rantau. Orang Sabu diaspora memaknai pulau Sabu dalam 3 pengertian yaitu pulau Sabu sebagai rumah, rahim ibu dan banyak deposito memori kehidupan. Melalui makna pulau Sabu dalam tiga hal tersebut menjadikan orang Sabu diaspora menjaga

identitas mereka melalui komunitas “kampung Sabu”, solidaritas dalam kehidupan di diaspora,

pelaksanaan nilai-nilai kehidupan seperti kekeluargaan, persaudaraan, dan lain-lain. Identitas itu dimiliki oleh orang Sabu diaspora sejak ia lahir sampai ia meninggal dan keluarga melaksanakan ritual pebale rau kattu do made.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Tempat yang diharapkan dalam proses menghadapi kematian, partisipan ingin meninggal di panti saja tetapi ada partisipan yang lain mengatakan ingin meninggal

Bona Taon di Yogyakarta merupakan sebuah acara ritual berbentuk ritual sakral dan ritual sekuler yang dilaksanakan sebagai sarana ucapan syukur dan doa harapan

Setelah memperhatikan penyajian data tentang keberagamaan waria di Desa Rantau Karau Tengah Kecamatan Sungai Pandan Kabupaten Hulu Sungai UtaraProvinsi

Dari hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan penulis pada guru Pendidikan Agama Islam SMA Negeri 1 Rantau Tapin Selatan dapat diketahui bahwa mereka

Selain mitos, ritual-ritual dan simbol-simbol yang mereka kenal, masyarakat primitif atau leluhur telah mengambil tindakan yang tepat dalam membangun

salah satu faktor pendukung terjadinya akulturasi dalam komunitas Sabu di Sumba ialah karena keterlibatan peran para raja atau penguasa yang terlebih dahulu telah

Ritual Sosial (social ritual) adalah sebuah rutinitas yang melibatkan hubungan antar anggota di Departemen On Air Promotion SCTV. Biasanya di Departemen tersebut rutinitas

Berdasarkan dari upacara ngaben bagi masyarakat hindu di bali di Era pandemi Covid- 19, Upacara Ngaben sendiri merupakan sebuat ritual pembakaran jenazah orang yang telah meninggal yang