PEMANFAATAN LIMBAH KULIT TALAS KIMPUL
(Xanthosoma sagittifolium) MELALUI PROSES PENGOMPOSAN DENGAN PENAMBAHAN EM4 UNTUK TANAMAN SAWI ( Brassica juncea L. )
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Oleh
Diva Aprilia Afifah NIM 13308141052
PROGRAM STUDI BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
MOTTO
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS.Ash-Sharh: 5-6)
“Lakukan bagianmu semampumu yang kamu bisa, selanjutnya biarkan Allah melakukan bagian yang tak kamu bisa ”
“Tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau jadikan mudah. Sedang yang sulit bisa Engkau jadikan Mudah”
“Belajarlah dari sebuah kesalahan dan berusahalah untuk menjadi lebih baik.
Karena selalu ada jalan yang Allah berikan untuk segala sesuatu yang diniatkan
dengan baik”
vi
PERSEMBAHAN
Penulisan TAS (Tugas Akhir Skripsi) ini tidak dapat berjalan lancar tanpa ridho
Allah serta dukungan dan bantuan orang-orang di sekitar saya, khususnya kedua
orang tua.
Karya ini saya persembahkan untuk:
1. Kedua orang tua tercinta, Bapak Taufik Hidayat dan Ibu Siti Aryani yang telah
memberikan dukungan penuh dan kasih sayang yang tidak terkira. Terimakasih
sudah mengajari untuk tidak pernah lelah dan menyerah apapun kondisinya.
2. Keluarga kecilku, Mbak dika, Almira, Mas Reyki yang sudah memberikan
semangat dengan kebahagiaan yang tiada tara.
3. Sahabatku tercinta Rizky dan Insiwi yang sudah rela meluangkan waktu untuk
bertukar pikiran, berbagi cerita, canda hingga tak ada kata lelah dan bosan dari
semester satu hingga akhir. Terimakasih untuk tetap ada disaat apapun kondisi
saya.
4. Teman-teman yang sudah membantu dalam skripsi saya, ibu-ibu tim produksi
keripik seruni, ullah, lilik dan mas ari. Terimakasih sudah meluangkan waktu
untuk membantu dalam menyusun skripsi saya.
5. Teman teman kos Asrama Putri Nadia lantai 1, Mbak Vega, Mbak Nina, Mbak
Lintang, Mbak Sri dan Mbak Risma. Terimakasih sudah menjadi keluarga kecil
vii
6. Keluarga Biologi E 2013, terimakasih sudah menjadi keluarga kecil yang luar
biasa yang menjadi saksi perjalanan untuk mendapatkan gelar S1. Berjuang
bareng dari semester satu hingga akhir. See you on top all.
7. Keluarga Besar Jurusan Biologi FMIPA UNY, yang selama 4 tahun sudah
menjadi saksi perjalanan S1 saya. Tempat untuk mencari pengalaman dalam
berbagai kegiatan, belajar lebih dewasa menghadapi banyak hal dan tentunya
tempat untuk mencari ilmu dan wawasan. Terimakasih pula diucapkan untuk
seluruh dosen-dosen, asdos dan laboran yang sudah membimbing saya,
viii
PEMANFAATAN LIMBAH KULIT TALAS KIMPUL (Xanthosoma sagittifolium) MELALUI PROSES PENGOMPOSAN
DENGAN PENAMBAHAN EM4 UNTUK TANAMAN SAWI ( Brassica juncea L. ) Oleh
Diva Aprilia Afifah NIM 13308141052
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1pengaruh variasi konsentrasi EM4 terhadap kualitas hasil pengomposan kulit kimpul (Xanthosoma sagittifolium), 2
perbedaan kandungan unsur hara pupuk kompos dengan perlakuan EM4 dan tanpa perlakuan EM4, 3pengaruh pupuk kompos kulit talas terhadap pertumbuhan tanaman sawi ( Brassica juncea L.).
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, masing-masing dilakukan tiga ulangan yaitu P0 (kontrol tanpa penambahan EM4), P1 (penambahan EM4 4%), P2 (penambahan EM4 6%), P3 (penambahan EM4 8%).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian EM4 berpengaruh terhadap kualitas hasil pengomposan dengan hasil terbaik terdapat pada perlakuan penambahan EM4 8%. Kandungan unsur hara pupuk kompos tanpa perlakuan EM4 dan dengan perlakuan EM4 terdapat perbedaan meskipun tidak terlalu fluktuatif. Pemberian pupuk kulit talas kimpul berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman sawi. Hal ini dilihat dari hasil pengukuran jumlah daun, tinggi tanaman, berat segar dan berat kering sawi terbaik pada perlakuan EM4 8%, sedangkan secara statistik tidak menunjukkan hasil yang signifikan untuk semua parameter.
ix
UTILIZATION OF “TALAS KIMPUL” PEEL (Xanthosoma sagittifolium) ON COMPOSTING PROCESS BY ADDING EM4 FOR Brassica juncea L.
By
Diva Aprilia Afifah NIM 13308141052
ABSTRACT
This research aimed to determine: 1the effect of EM4 variation towards the results of “talas kimpul” peel composting quality, 2the difference of compos fertilizer nutrients with or without adding EM4,3 the effect of “talas kimpul” peel compos fertilizer towards the mustard greens growth.
This research used Completely Randomized Design. It consisted of control group and treatment group; each is performed by third repetitions which are P0 (by controlling without adding EM4), P1 (by adding EM4 4%), P2 (by adding EM4 6%), P3 (by adding EM4 8%).
The results show that the addition of EM4 influences the quality of “talas kimpul” peel compost. The best result is at the treatment of P3. There are several differences in nutrients of “talas kimpul” peel compost between with or without adding EM4, but it’s not too significant. The addition of compost fertilizer can affect the growth of plants (plant height, number of leaves, fresh weight, and dry weight of plants) and the best treatment is P3.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
kesehatan, hidayah dan inayahNya, sehingga pelaksanaan dan penyusunan
skripsi dapat berjalan lancar. Skripsi ini saya ajukan sebagai syarat utama untuk
menyelesaikan tugas akhir guna meraih gelar Sarjana Sains pada jurusan
Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Negeri Yogyakarta.
Penyusun menyadari banyak bantuan dari berbagai pihak yang
berupa bimbingan, informasi, arahan, koreksi, kritik dan saran.
Oleh karena itu, penyusun mengucapkan banyak terima kasih
sebesar-besarnya kepada :
1. Orang tua penyusun yang selalu mendukung baik do’a maupun materi dari awal perkuliahan hingga selesainya tugas akhir ini.
2. Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd, sekalu rektor Universitas Negeri
Yogyakarta
3. Dr. Hartono, M.Si, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta.
4. Dr. Paidi, selaku ketua Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta.
5. Dr. Tien Aminatun, M.Si., selaku ketua Program Studi Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta.
6. dr. Tutiek Rahayu, M.Kes selaku dosen penasehat akademik yang selalu
memberi masukan yang positif mengenai masalah perkuliahan dari awal
hingga penyusunan Tugas akhir ini.
7. Dr. Ir. Suhartini, MS., selaku pembimbing utama dalam penyusunan tugas
akhir skripsi yang selalu memberi arahan, masukan, semangat dan motivasi
dari awal sampai selesainya penyususnan skripsi ini.
8. Lili Sugiyarto,S.Si.,M.Si selaku pembimbing kedua dalam penyusunan
tugas akhir skripsi yang selalu memberi arahan, masukan, semangat dan
xi
9. Teman-teman saya Rizky, Insiwi, dan Lilik yang sudah mendukung saya
dalam mengerjakan skripsi saya.
10.Teman-teman Biologi E 2013 yang telah menemani dan mendukung selama
pembuatan Tugas Akhir ini. Serta terimakasih untuk kebersamaan selama
ini.
11.Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah
berkontribusi dalam penyusunan Tugas akhir ini sehingga dapat berjalan
dengan lancar.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwasannya dalam proses
penyususnan skripsi ini masih ada kekurangannya dan jauh dari kesempurnaan.
Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi
memperbaiki kesalahan yang ada dalam skripsi ini, semoga apa yang saya
susun ini bermanfaat bagi para pembaca.
Yogyakarta, 22 Mei 2017
Penyusun
xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 4
C. Pembatasan Masalah ... 4
D. Perumusan Masalah ... 5
E. Tujuan Penelitian ... 5
F. Manfaat Penelitian ... 5
G. Batasan Operasional ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Talas Kimpul ... 7
B. Kandungan Kimia Talas Kimpul ... 10
C. Manfaat Talas kimpul ... 12
D. Pengomposan ... 13
xiii
F. Standar SNI ... 25
G. Unsur Hara ... 26
H. Tanaman sawi ... 33
I. Kerangka Berpikir ... 35
J. Hipotesis Penelitian ... 38
BAB III METODE A. Waktu dan Tempat ... 39
B. Objek Penelitian ... 39
C. Variabel Penelitian ... 39
D. Desain/Rancangan Penelitian ... 40
E. Alat dan Bahan ... 42
F. Cara Kerja ... 43
G. Metode Pengumpulan data ... 46
H. Teknik Analisis Data ... 46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Kimia Pupuk 1. Hasil Analisis Kandungan Karbohidrat Kulit Talas Kimpul ... 48
2. Hasil Analisis Pupuk Sesudah dan Sebelum Perlakuan ... 49
3. Hasil Pengaruh Penambahan EM4 terhadap Nilai Karbon ... 52
4. Hasil Pengaruh Penambahan EM4 terhadap Nilai Nitrogen ... 53
5. Hasil Pengaruh Penambahan EM4 terhadap Nilai Phospor ... 55
6. Hasil Pengaruh Penambahan EM4 terhadap Nilai Kalium ... 56
7. Hasil Pengaruh Penambahan EM4 terhadap Nilai C/N rasio ... 58
B.Hasil Analisis Fisika Pupuk 1. Hasil Pengaruh Penambahan EM4 terhadap Suhu Pengomposan ... 59
2. Hasil Pengaruh Penambahan EM4 terhadap pH Pengomposan... 61
3. Hasil Pengaruh Penambahan EM4 terhadap Kelmbaban Pengomposan ... 63
xiv
C. Faktor Abiotik Media Tanam Sawi ( Brassica juncea L.)
1. Hasil Pengukuran Faktor Abiotik Lingkungan ... 67
D. Pengaruh pupuk kulit talas kimpul terhadap pertumbuhan tanaman sawi 1. Hasil Pengaruh Kompos Kulit Talas Kimpul terhadap Jumlah Daun Tanaman Sawi ... 69
2. Hasil Pengaruh Kompos Kulit Talas Kimpul terhadap Tinggi Tanaman Sawi. ... 72
3. Hasil Pengaruh Kompos Kulit Talas Kimpul terhadap Berat Basah Tanaman Sawi. ... 74
4. Hasil Pengaruh Kompos Kulit Talas Kimpul terhadap Berat Kering Tanaman Sawi ... 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 80
B. Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 82
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Komposisi Gizi Umbi Talas Kimpul dalam 100 gram Bahan... 12
Tabel 2. Standar Kualitas Kompos Menurut SNI 19-7030-2004 : 6. ... 26
Tabel 3. Hasil Analisis Kandungan Karbohidrat pada Berat Basah 100 gram Kulit Talas Kimpul ... 47
Tabel 4. Hasil Analisis Pupuk Sesudah dan Sebelum Perlakuan ... 50
Tabel 5. Perubahan Warna, Bau, dan Struktur Kompos pada Proses Pengomposan. ... 66
Tabel 6. Data Pengukuran Faktor Abiotik Lingkungan Tanaman Sawi ... 68
Tabel 7. Hasil Analisis Ragam Jumlah Daun. ... 69
Tabel 8. Hasil Analisis Ragam Tinggi Tanaman. ... 72
Tabel 9. Hasil Analisis Ragam Berat Basah Sawi. ... 75
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Talas kimpul (Xanthosoma sagittifolium) ... 8
Gambar 2. Kerangka Berpikir ... 37
Gambar 3. Rancangan Denah Penelitian Pembuatan Pupuk Kompos Kulit Talas ... 41
Gambar 4. Rancangan Denah Penelitian Penanaman Tanaman Sawi ... 41
Gambar 5. Grafik Pengaruh Penambahan EM4 terhadap Karbon pada berbagai variasi konsentrasi EM4 pupuk kulit talas kimpul ... 52
Gambar 6. Grafik Pengaruh Penambahan EM4 terhadap Nitrogen pada Berbagai Variasi Konsentrasi EM4 Pupuk Kulit Talas Kimpul ... 53
Gambar 7. Grafik Pengaruh Penambahan EM4 terhadap Phospor pada Berbagai Variasi Konsentrasi EM4 Pupuk Kulit Talas Kimpul ... 55
Gambar 8. Grafik Pengaruh Penambahan EM4 terhadap Kalium pada Berbagai Variasi Konsentrasi EM4 Pupuk Kulit Talas Kimpul ... 57
Gambar 9. Grafik Pengaruh Penambahan EM4 terhadap C/N rasio pada berbagai variasi konsentrasi EM4 pupuk Kulit Talas Kimpul ... 58
Gambar 10. Grafik Pengaruh EM4 Terhadap Suhu pada Berbagai Variasi Konsentrasi EM4 Pupuk Kulit Talas Kimpul ... 60
Gambar 11. Grafik Pengaruh EM4 Terhadap pH pada Berbagai Variasi Konsentrasi EM4 Pupuk Kulit Talas Kimpul ... 62
Gambar 12. Grafik Pengaruh EM4 Terhadap Kelembaban pada Berbagai Variasi Konsentrasi Em4 Pupuk Kulit Talas Kimpul ... 64
Gambar 13. Grafik Rerata Jumlah Daun (Helai) pada Berbagai Variasi Konsentrasi EM4 Pupuk Kompos Kulit Talas ... 70
Gambar 14. Grafik Rerata Tinggi Tanaman (cm) pada Berbagai Variasi Konsentrasi EM4 Pupuk Kompos Kulit Talas ... 73
Gambar 15. Grafik Berat Segar Sawi 29 Hst dari Berbagai Variasi Konsentrasi EM4 Pupuk Kulit Talas. ... 75
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Hasil Analisis Uji Kandungan Kulit Talas ... 88
Lampiran 2. Data Hasil Analisis Jaringan Kulit Talas... 89
Lampiran 3. Data Hasil Analisis Pupuk Kulit Talas Kimpul ... 90
Lampiran 4. Data Keseluruhan Hasil Pengukuran ... 91
Lampiran 5. Hasil Analisis Statistik ... 94
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Limbah bisa dihasilkan dari kegiatan rumah tangga, pasar,
perkantoran, hotel, rumah makan maupun industri. Salah satu kota yang
menghasilkan limbah ialah Muntilan. Banyaknya jenis industri rumah
tangga di kota Muntilan menjadikan kota ini juga menghasilkan banyak
limbah, mulai dari limbah industri makanan hingga industri furnitur yang
mengakibatkan volume limbah yang ada semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Salah satu indusri rumah tangga di kota Muntilan yang
menghasilkan limbah ialah industri rumah tangga keripik talas kimpul.
Industri rumah tangga ini memiliki sedikitnya 2 jenis limbah organik yang
harus diolah setiap harinya agar tidak menjadi sampah. Limbah cair yang
dihasikan berupa sisa pencucian talas kimpul (Xanthosoma sagittifolium)
sudah dibuatkan saluran tersendiri sedangkan limbah padat berupa kulit
talas kimpul belum ada penanganan atau hanya dibuang begitu saja. Selain
terdapat rumah produksi talas, di daerah sekitar juga banyak dihasilkan
sekam padi dan dedak dari hasil penggilingan padi. Sekam padi dibiarkan
menumpuk di gudang dan dedaknya digunakan sebagai pakan ternak,
sementara itu belum ada solusi penanganan limbah tersebut. Beberapa
limbah organik seperti kulit talas, sekam padi dan dedak tersebut bisa
dijadikan alternatif dalam pembuatan pupuk organik/ kompos.
Setiap harinya kurang lebih 80 kg talas kimpul (Xanthosoma
2
limbah padat kurang lebih 15 kg. Menurut hasil analisis primer yang
dilakukan mengenai kandungan kulit talas kimpul, kulit talas kimpul
mengandung gula total sebesar 2,502% dan pati sebesar 9,769. Kandungan
karbohidrat ini yang menjadi dasar kulit talas kimpul bisa digunakan
sebagai kompos karena mengandung nutrisi yang dibutuhkan
mikroorganisme dalam melakukan perombakan bahan organik.
Kompos adalah hasil pembusukan sisa–sisa tanaman yang
disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme pengurai (Ridzany, 2015: 4).
Dalam pembuatan kompos, biasanya melibatkan beberapa bahan campuran
dalam pengolahannya. Selain bahan utama, perlu juga adanya bahan
pelengkap yang dapat mempengaruhi struktur hasil pengomposan.
Bahan-bahan seperti sekam padi, dedak, jerami, serat kayu dan Bahan-bahan organik
lainnya bisa digunakan sebagai bahan pelengkap dalam pengomposan kulit
talas. Dalam pengomposan dikenal istilah bulking agent (bahan tambahan atau pelengkap dalam pengomposan), dedak atau bekatul merupakan
bulking agent yang berfungsi sebagai sumber protein sedangkan sekam padi sebagai bulking agent utama (Nugroho., dkk, 2010: 607). Menurut Graha., dkk (2015: 142), hasil akhir dari proses perombakan bahan organik
menjadi kompos ini memiliki rasio C/N yang stabil dan jauh lebih rendah
dari bahan awalnya. Bahan yang ideal untuk dikomposkan memiliki nisbah
C/N sekitar 30, sedangkan kompos yang dihasilkan memiliki nisbah < 20.
Adanya kebutuhan kompos yang meningkat di pasaran, maka
3
untuk mempercepat proses pengomposan umumnya menggunakan bantuan
effective microorganism (EM4). Penggunaan EM4 digunakan sebagai formula tambahan untuk meningkatkan keragaman dan populasi
mikroorganisme yang mampu membantu dekomposisi atau perombakan
bahan dalam pembuatan pengomposan
Kandungan mikroorganisme dalam EM4 yaitu bakteri fotosintetik,
Lactobacillus sp, Streptomyces sp, Ragi (yeast) dan Actinomycetes. Kandungan mikroorganisme tersebut dapat mempercepat pengomposan
sehingga dapat mengatasi permasalahan faktor lamanya pengomposan
secara konvensional (Hidayat., dkk, 2014: 2). Selain itu, hasil
pengomposan tidak panas, tidak berbau busuk, tidak mengandung hama
dan penyakit, serta tidak membahayakan pertumbuhan atau produksi
tanaman. Secara langsung EM4 juga mampu menambah unsur hara tanah
dan memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah (Sucipto, 2012: 60).
Dosis EM4 yang selama ini digunakan bervariasi, dimulai dari 0,5-10%
untuk beberapa varian bahan pengomposan. Namun, belum ada variasi
penggunaan EM4 dalam pengomposan kulit talas kimpul. Oleh karena itu,
perlu diketahui konsentrasi EM4 yang efektif untuk proses pengomposan
kulit talas kimpul.
Pembuatan kompos kulit talas kimpul (Xanthosoma sagittifolium) diharapkan dapat menghasilkan kompos dengan kandungan yang sesuai
dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga dapat dijadikan media
4
Pemilihan tanaman sawi sebagai objek penelitian ini dikarenakan
tanaman sawi banyak diminati dipasaran serta belum banyak
dibudidayakan di daerah Muntilan padahal menurut Koppen dan Geiger,
Kota Muntilan memiliki suhu rata-rata tahunan 24,9 ℃ dan suhu ini cocok
untuk menanam sawi. Selain itu, tanaman sawi memiliki morfologi yang
mudah diamati serta memiliki umur panen yang relatif pendek.
B. Identifikasi Masalah
1. Perlu adanya pengolahan limbah kulit talas yang masih dibiarkan
menumpuk.
2. Kulit talas dapat digunakan sebagai kompos.
3. Perlu adanya pemanfaatan dari sekam yang dibiarkan menumpuk di
penggilingan padi.
4. Perlu adanya aktivator tambahan yang mampu mempercepat proses
pengomposan bahan organik yang selama ini dirasa cenderung
memakan waktu lama.
5. Hasil Pengomposan perlu diujikan dengan melihat kondisi
pertumbuhan tanaman.
6. Kompos yang dihasilkan pada pengomposan belum tentu sesuai
dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Pementan.
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah diperlukan agar tidak meluasnya masalah
5
mengenai pengaruh Effective Microorganisme (EM4) pada pengomposan
limbah kulit talas (Xanthosoma sagittifolium) dan pengaruh hasil kompos
pada pertumbuhan tanaman sawi (Brassica juncea L.).
D. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi EM4 terhadap kualitas hasil
pengomposan kulit talas kimpul?
2. Bagaimana perbedaan kandungan unsur hara pupuk kompos dengan
perlakuan EM4 dan tanpa perlakuan EM4 ?
3. Bagaimanakah pengaruh variasi konsentrasi EM4 pada pupuk kompos
kulit talas kimpul terhadap pertumbuhan tanaman sawi ?
E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi EM4 terhadap kualitas
hasil pengomposan kulit talas kimpul
2. Mengetahui perbedaan kandungan unsur hara pupuk kompos
dengan perlakuan EM4 dan tanpa perlakuan EM4.
3. Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi EM4 pada pupuk kompos
kulit talas kimpul terhadap pertumbuhan tanaman sawi.
F. Manfaat Penelitian
1. Bagi Industri Rumah tangga “Seruni “ dan Masyarakat
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai cara pemanfaatan limbah organik
6
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
pembuatan kompos yang berbahan limbah rumah tangga
khususnya limbah organik menggunakan EM4.
c. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan dan
informasi mengenai dosis atau konsentrasi yang baik dalam
pemberian EM4 pada pengomposan kulit talas kimpul.
d. Penelitian diharapkan menjadi rekomendasi industri rumah
tangga “Seruni” dalam memanfaatkan limbahnya menjadi
kompos.
2. Bagi Peneliti
a. Penelitian ini diharapkan dapat mendorong para saintis untuk
lebih mengeksplorasi alternatif lain selain pembuatan kompos
dalam mengurangi jumlah limbah organik .
G. Batasan Operasional
1. Limbah kulit talas yang digunakan merupakan jenis talas kimpul
(Xanthosoma sagittifolium) yang merupakan limbah dari industri
rumah tangga keripik “seruni” dan dikumpulkan selama satu
minggu produksi kemudian dicampur hingga homogen.
2. Jenis EM4 yang digunakan adalah EM4 untuk tanaman yang
diproduksi oleh PT.SONGGOLANGIT PERSADA Jakarta.
3. Tanaman Sawi yang digunakan adalah tanaman sawi hijau
7
Xanthosoma sagittifolium. Talas kimpul sering disebut juga dengan talas Belitung. Talas ini merupakan tumbuhan yang dapat tumbuh sepanjang
tahun di wilayah tropis maupun subtropis. Talas kimpul merupakan
tanaman yang mudah ditanam, sehingga sangat layak untuk
dikembangkan. Umumnya talas kimpul ditanam sebagai tanaman sela di
antara tanaman palawija lain atau di pekarangan (Wariyah, 2012: 17).
Tinggi tanaman talas kimpul dapat mencapai dua meter, tangkai
daun tegak, tumbuh dari tunas yang berasal dari umbi yang merupakan
batang dari bawah tanah. Secara anatomi, umbi talas kimpul tersusun atas
parenkim yang tebal, terbungkus kulit berwarna coklat pada bagian luar
dan umbi berpati pada bagian dalamnya (Jatmiko., dkk., 2014: 128).
Menurut Rodriguez., et al (2009: 1), taksonomi dari tanaman talas kimpul
adalah :
Kingdom : Plantae
8
Gambar 1. Tanaman Talas Kimpul Sumber : Dokumen Pribadi (2017)
Kimpul termasuk dalam tumbuhan berbunga (Spermathophyta) yang
berbiji tertutup (Angiospermae), dan berkeping satu (Monocotylae). Komposisi gizi dan kimia umbi kimpul tergantung dari varietas, iklim,
kesuburan tanah, dan umur panen (Jatmiko., dkk, 2014: 128)
Xanthosoma merupakan suatu tumbuhan daerah hutan hujan tropis,
membutuhkan suhu antara 25° - 29°C. Xanthosoma merupakan tanaman
daerah dataran rendah tetapi adakalanya tumbuh pada ketinggian 2000 m
dan juga hidup pada kelembaban tanah cukup. Tidak seperti pada
Colocasia, Xanthosoma tidak tahan terhadap kelebihan air. Xanthosoma
tumbuh dengan baik pada lahan yang subur dengan drainasi baik, pada pH
5,5 – 6,5. Tumbuhan ini tahan terhadap naungan dan lahan yang bersifat
garam (Nurmiyati, 2009: 19).
Tinggi tanaman berkisar antara 50-100 cm. Panjang tangkai daun
9
sagittifolium yaitu hijau. Lebar daun berkisar antara 12-44 cm, panjang daun antara 20-63 cm (Nurmiyati, 2009: 19).
Umbi induk biasanya bulat atau silindris dengan bobot umbi berkisar
antara 125-563 g, panjang umbi antara 8,0-16,8 cm, dan diameter umbi
antara 5,7-9,3 cm (Nurmiyati, 2009: 20). Kimpul dapat menghasilkan
umbi berdaging yang membesar sebagai tempat penimbunan pati. Akar
yang berkembang dari bawah umbi adalah akar serabut dan agak dangkal.
Umbi induk merupakan bagian berdaging yang membesar dari pangkal
batang yang mampat. Umbi anakan merupakan tunas aksiler yang
membesar dari batang atau umbi induk. Secara morfologi, umbi induk dan
umbi anakan adalah jaringan batang (Rubatzky et al., 1998 : Nurmiyati, 2009: 2).
Umbi induk biasanya kurang layak santap sehingga umumnya
digunakan sebagai pakan ternak, sedangkan yang umum dikonsumsi
adalah umbi anakannya. Warna dagingnya pada umumnya berwarna putih,
beberapa berwarna krem, kuning dan kadang-kadang berwarna pink
(Rubatzky et al., 1998 : Nurmiyati, 2009: 21). Kimpul atau Xanthosoma sagitiffolium lebih besar daripada Talas Colocasia esculenta yang salah satunya dikenal sebagai talas bogor. Perbedaan talas taro dengan kimpul
adalah dari segi umbi, bentuk daun dan letak tangkai daun. Kimpul yang
dimakan adalah umbi anaknya sedangkan talas yang dimakan adalah umbi
induknya. Kimpul memiliki daun berbentuk panah, pangkal daunnya
10
daun berbentuk perisai yang pangkalnya teriris berbentuk segitiga. Ciri
lain yang dimiliki oleh tanaman, bunga kimpul adalah sebagian batangnya
berada diatas tanah. Getah berwarna putih agak kental, cormel banyak dan
berkumpul sehingga dinamakan kimpul (Nurmiyati, 2009 : 21).
B. Kandungan Kimia Talas kimpul
Talas Belitung atau talas kimpul termasuk jenis umbi-umbian yang
mempunyai sumber karbohidrat sebesar 34.2 gram dari total umbi mentah.
Komposisi gizi dan kimia talas kimpul tergantung dari varietas, iklim,
kesuburan tanah dan umur panen, sedangkan menurut Jatmiko., dkk
(2014: 128) salah satu keunggulan yang terdapat pada umbi kimpul adalah
adanya kandungan senyawa bioaktif yaitu senyawa diosgenin. Senyawa
diosgenin diketahui bermanfaat sebagai anti kanker.
Talas kimpul juga mengandung senyawa antigizi berupa kalsium
oksalat yang dapat menimbulkan rasa gatal, sensasi terbakar dan iritasi
pada kulit, mulut, tenggorokan dan saluran cerna pada saat dikonsumsi
(Ayu., dkk, 2014: 111). Senyawa antigizi adalah senyawa kimia yang dapat
mengganggu fungsi dan atau ketersediaan hayati zat gizi. Konsentrasi
asam oksalat dalam dosis tinggi bersifat merusak karena dapat
menyebabkan gastroenteritis, shok, kejang, rendahnya kalsium plasma,
tingginya oksalat plasma dan kerusakan jantung. Efek yang dapat
disebabkan jika mengkosumsinya yaitu terjadinya endapan kristal kalsium
oksalat dalam ginjal dan membentuk batu ginjal. Adapun dosis yang dapat
11
kimpul kalsium oksalat yang terkandung masih di bawah titik aman yaitu
1.83 mg dalam 100 gram bahan.
Dalam penanganannya kalsium oksalat dapat dihilangkan dengan
cara fisik, mekanis, dan kimiawi. Yang dimaksud dengan cara fisik yaitu
dengan cara perebusan dengan api yang besar sampai kulitnya dapat
dikelupas. Sedangkan cara mekanis yaitu dengan menggunakan bantuan
alat seperti Stamp Mill dan Blower. Prinsip kerja dari alat tersebut yaitu menghancurkan bahan menjadi partikel berukuran kecil untuk
mengekstrak komponen bahan pangan dari bahan pangan utuh dan
memisahkan kontaminan dari bahan campuran kering berdasarkan
perbedaan ukuran dengan diberikan aliran udara yang bergerak,
sedangakan secara kimiawi dengan menggunakan garam dapur karena
selama proses penggaraman akan terjadi proses osmosa yaitu air dalam
12
Berikut merupakan kandungan gizi talas kimpul dalam 100 gram
bahan.
Table 1 .Komposisi Gizi Umbi Kimpul Dalam 100 Gram Bahan
Komposisi Gizi Jumlah %
Protein 2.81
ternyata didalamnya masih terdapat kandungan karbohidrat.
C. Manfaat Talas kimpul
Kimpul merupakan tanaman yang mudah ditanam, sehingga sangat
layak untuk dikembangkan. Umumnya kimpul ditanam sebagai tanaman
sela di antara tanaman palawija lain atau di pekarangan. Umbi kimpul
biasanya diolah secara sederhana dengan dikukus, direbus atau dengan
sedikit variasi dibuat berbagai produk olahan antara lain getuk, keripik,
perkedel dan sebagainya.Sebagai pangan sumber karbohidrat, produksi
kimpul dapat mencapai 4-5 ton/Ha, sehingga berpotensi untuk
dikembangkan menjadi pangan alternatif pengganti beras, mengingat
13
jumlah tersebut Indonesia masih harus mengimpor beras sebagai cadangan
sebanyak 0,8 juta ton atau dalam bentuk GKG sebanyak 1,3 juta ton
(Wariyah,2012: 18).
Menurut Khotmasari, (2013: 4), talas kimpul dapat digunakan
sebagai bahan subtitusi tepung terigu. Penggunaan tepung talas kimpul
sebagai bahan subtitusi tepung terigu dalam pengolahan aneka kue dapat
mencapai 100%, tergantung pada produk yang akan dihasilkan.
Pemanfaatan talas kimpul sebagai bahan pangan saat ini sudah banyak
dilakukan oleh banyak masyarakat, hanya saja masih tergolong sederhana.
Seperti halnya di indonesia talas kimpul diolah dengan cara direbus,
digoreng, dikeripik dan biasanya daun dan batangnya digunakan sebagai
sAyu., dkkr, padahal selain itu talas kimpul dapat diolah menjadi tepung
sebagai bahan baku dalam pembuatan suatu olahan makanan yang
bervariasi dan beragam, seperti cake, roti, donat dan lain-lain dengan
meningkatkan nilai gizi yang ada.
D. Pengomposan
Menurut Dwicaksono., dkk (2014: 2), pupuk adalah material yang
ditambahkan pada media tanam atau tanaman untuk mencukupi kebutuhan
hara yang diperlukan tanaman sehingga mampu berproduksi dengan baik.
Material pupuk dapat berupa bahan organik ataupun nonorganik (mineral).
Pupuk digolongkan menjadi dua jenis berdasarkan sumber bahan
14
Pupuk organik adalah sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas
bahan organik yang berasal dari tanaman atau hewan yang telah melalui
proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan
menyuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi
tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih
ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan organik dari pada kadar
haranya. Nilai Corganik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk
organik (Simanungkalit., dkk, 2006: 2).
Pupuk organik atau sering disebut kompos merupakan bahan
organik, seperti daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput rumputan,
dedak padi, batang jagung, sulur, carang-carang serta kotoran hewan yang
telah mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai,
sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah. Kompos
mengandung hara-hara mineral yang esensial bagi tanaman.
Adapun dekomposisi tersebut secara garis besar menurut
Yulipriyanto (2005: 30) dapat dituliskan sebagai berikut :
Bahan organik MikAk ivi aga i e> H2O + CO2 + Hara +
Humus + Enersi
Menurut Gaur, 1981 (Mulyadi, 2008: 15), pengomposan merupakan
metode yang aman bagi daur ulang bahan organik menjadi pupuk.
Unsur-unsur yang terkandung dalam bahan organik yang ditambahkan ke dalam
tanah akan diubah dalam bentuk yang dapat digunakan tanaman (menjadi
15
Apabila dilihat dari penggunaan oksigen, pegomposan terdiri dari
pengomposan aerob dan anaerob. Hasil metabolisme bahan organik oleh
mikroorganisme secara aerobik yang utama adalah CO2, H2O dan panas,
sedangkan dari proses anaerobik adalah gas metana (CH4), CO2, dan
berbagai hasil antara seperti asam-asam organik yang mempunyai berat
molekul rendah (asam asetat, asam propionate, asam butirat, asam laktat,
asam suksinat, dan lain lain) (Yulipriyanto, 2005:31). Pengomposan
anaerob yaitu proses pengomposan yang menggunakan mikroorganisme
yang hidup tanpa membutuhkan oksigen. Karakteristik dari pengomposan
anaerob adalah temperature rendah atau dingin tidak terjadi fluktuasi suhu.
Pengomposan aerob yaitu proses pengomposan yang menanfaatkan
mikroorganisme yang kehidupannya membutuhkan oksigen untuk
mendekomposisi limbah padat. Karakteristik dari pengomposan aerob
adalah temperature tinggi, tidak timbul bau dan proses cepat (21-41 hari).
Pada pengomposan aerob terjadi interaksi antara unsur organik, air dan
mikroorganisme serta oksigen. Dalam hidupnya, mikroorganisme
mengambil air dan oksigen dari udara. Makanannya diperoleh dari bahan
organik yang akan siubah menjadi produk metabolisme berupa
karbondioksida (CO2), uap air (H2O), humus dan energi. Sebagian energi
yang dihasilkan digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi, sedangkan
sisanya dibebaskan ke lingkungan sebagai panas (Siswati., dkk., dkk., dkk,
2009: 64)
16
kompos dapat dilakukan dengan cara yang sederhana yaitu :
1. Mencium/membaui
Kompos yang sudah matang berbau seperti tanah dan harum. Apabila
kompos tercium bau yang tidak sedap, berarti terjadi fermentasi
anaerobik dan menghasilkan senyawa-senyawa berbau yang
mungkin berbahawa bagi tanaman. Apabila kompos masih berbau
seperti bahan mentahnya berarti kompos belum matang.
2. Melihat warna kompos
Warna kompos yang sudah matang adalah coklat kehitam-hitaman.
Apabila kompos masih berwarna hijau atau warnanya mirip dengan
bahan mentahnya berarti kompos tersebut belum matang.
3. Melihat penyusutan volume bahan
Terjadi penyusutan volume/bobot kompos seiring dengan
kematangan kompos. Besarnya penyusutan tergantung pada
karakteristik bahan mentah dan tingkat kematangan kompos.
Penyusutan berkisar antara 20 – 40 %. Apabila penyusutannya masih
kecil/sedikit, kemungkinan proses pengomposan belum selesai dan
kompos belum matang.
Dekomposisi bahan organik dapat berlangsung dalam lingkungan
yang bervariasi dalam kondisi aerobik ke anaerobik dan dari temperatur
mesofilik ke termofilik, tergantung pada mikroorganisme yang terlibat,
aerasi dan tingkat kelembaban kompos. Pengomposan mesofilik yaitu
-17
40℃ , dan pengomposan termofilik yaitu pengomposan dengan
mikroorganisme yang hidup pada temperature 40-75℃ (Dalzell et al., 1987 : Yulipriyanto 2005: 52).
Pada awal proses bakteri mesofilik akan tampak yaitu saat terjadi
kenaikkan temperature. Fungi mesofilik akan tampak setelah 5-10 hari
dan Actinomycetes menjadi jelas saat sebelum temperatur puncak tercapai.
Pada temperatur 60-70℃ bakteri, fungi, Actinomycetes tidak aktif,
beberapa pathogen mati. Pada akhir fase termofilik yang ditunjukkan
dengan penurunan temperatur, jenis Actinomycetes akan tampak lagi
dengan timbulnya warna putih atau abu abu pada material limbahnya.
Disinilah diperoleh hasil akhir yaitu kompos/humus yang terbebas dari
pathogen dan cukup terjamin kesehatannya (Siswati., dkk., dkk., dkk 2009:
65).
Salah satu produk dekomposisi bahan organik yang terpenting adalah
untuk pertanian yang berupa kompos. Kompos memiliki sifat fisik dan
kimia seperti humus yang lebih resisten dari bahan organik asalnya. Untuk
memperoleh produk kompos yang memuaskan harus di ciptakan kondisi
yang optimal bagi pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme dekomposer
seperti unsur hara, udara, kelembaban, dan temperatur.
Laju dekomposisi bahan organik menuju kearah kematangan produk
kompos yang baik tergantung pada beberapa factor antara lain suplai hara,
C/N ratio, ukuran partikel/ bahan yang didekomposisikan, kelembaban,
18 2005: 33-35).
Menurut Sucipto (2012: 57), hal- hal yang perlu diperhatikan dalam
pengomposan yaitu :
1. Nilai C/N bahan
Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N ratio bahan
organik hingga sama dengan C/N tanah (<20). Semakin rendah nilai
C/N bahan, waktu yang diperlukan untuk pengomposan semakin cepat.
Hal ini dikarenakan C/N yang semakin mendekati atau sama dengan
C/N tanah (< 20) maka bahan tersebut dapat langsung diserap dan
digunakan untuk tanaman.
2. Ukuran bahan
Bahan yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat proses
pengomposannya karena semakin luas bahan yang tersentuh dengan
bakteri. Untuk itu bahan organik perlu dicacah hingga berukuran kecil.
Bahan yang keras sebaiknya di cacah hingga berkuran 0,5-1 cm ,
sedangkan bahan yang tidak keras dicacah sekitar 5 cm. Pencacahan
bahan yang tidak keras tidak terlalu tinggi agar bahan tidak terlalu
hancur (banyak air) kurang baik bagi kelembabannya.
3. Komposisi bahan
Pengomposan dari beberapa macam bahan organik akan lebih
baik dan lebih cepat. Menurut Mulyadi (2008:13), bahan organik secara
19
karena disusun oleh senyawa sederhana yang terdiri dari C, O dan H,
yang termasuk di dalamnya adalah senyawa selulosa, pati, gula dan
senyawa protein; dan bahan organik yang sukar terdekomposisi karena
disusun oleh senyawa siklik yang sukar diputus atau dirombak menjadi
senyawa yang lebih sederhana, termasuk di dalamnya adalah bahan
organik yang banyak mengandung senyawa lignin, minyak, lemak, dan
resin yang umumnya ditemui pada jaringan tumbuh-tumbuhan.
Pengomposan bahan organik dari tanaman akan lebih cepat bila
ditambah kotoran hewan. Ada juga yang menambahkan makanan dan
zat pertumbuhan yang dibutuhkan mikroorganisme sehingga selain dari
bahan organik, mikroorganisme juga mendapatkan bahan makanan dari
luar.
4. Ketersediaan mikroorganisme
Biasanya dalam proses pengomposan terdapat beberapa
mikroorganisme yang berperan diantaranya bakteri, fungi,
Actinomycetes, dan protozoa. Bila semua faktor lingkungan sesuai
maka aktivitas mikroorganisme dalam melakukan dekomposisi akan
semakin optimal. Peranan bakteri mesofilik meliputi : menaikkan
temperature bahan kompos untuk perkembangan bakteri thermofilik.
Bakteri thermofilik yang berkembang selama batas waktu tertentu akan
mampu mengkonsumsi protein dan karbohidrat sekaligus merombaknya
secara cepat, sedangkan actinomycetes sangat aktif dalam perombakan
20
padat terlarut. Bakteri thermofilik lebih banyak menyerang protein,
lemak dan hemiselulosa tetapi tidak seefisien yang dilakukan fungi
thermofilik (Gaur, 1982 : Yulipriyanto, 2005: 52). Fungi thermofilik
aktif dalam temperature 40 ℃ - 60 ℃.
5. Kelembaban dan aerasi
Umumnya mikroorganisme dapart bekerja dengan kelembaban
sekitar 40-60%. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme dapat
bekerja secara optimal. Artinya dibawah ambang tersebut, kerja
mikroorganisme dalam merombak akan lamban dan mempengaruhi
waktu proses pengomposan. Adapun kebutuhan aerasi tergantung dari
proses berlangsungnya pengomposan tersebut. Bila tidak ada udara
(anaerobik) maka akan mengahasilkan perbedaan tipe mikroorganisme
yang berkembang,yang menyebabkan keadaan masam atau bau busuk
yang tidak menyenangkan dari tumpukan bahan. Pengaturan aerasi dan
kelembaban dalam praktek pengomposan dilakukan dengan pembalikan
bahan secara regular yang dilakukan dengan atau tanpa mesin
(Yulipriyanto , 2005: 35-36).
6. Temperatur
Bahan organik yang sudah mengalami perombakan oleh
mikroorganisme, maka akan dibebaskan sejumlah energi dalam bentuk
panas dan menaikkan temperature bahan kompos dalam tumpukan.
21
awal pemanasan, mikroorganisme memperbanyak diri secara cepat
sehingga menaikkan temperatur bahan. Pada periode ini senyawa
senyawa yang sangat reaktif seperti gula, karbohidrat dan lemak
dirombak. Bila temperatur mencapai 40 ℃ mikroorganisme mesofilik
digantikan oleh mikroorganisme thermofilik. Bila temperature mencapai
60℃ fungi berhenti bekerja dan proses perombakan dilanjutkan oleh
Actinomycetes dan strain bakteri pembentuk spora (spore forming
bacteri ).
Temperatur yang muncul selama pengomposan tergantung dari tipe
dan ukuran bahan organik dalam tumpukan. Gaur, 1982 (Yulipriyanto,
2005: 36), menyatakan bahwa pada pengomposan bahan organik yang
C/N ratio tinggi seperti jerami padi dan tangkai sorgum yang mempunyai
nisbah C/N ratio antara 48-50, temperatur bahan kompos tidak boleh
lebih dari 52℃. Sedangkan menurut Sucipto (2012:58) temperatur
optimal dalam pengompoan sekitar 30-50 ℃.
7. Keasaman / pH
Kisaran pH optimum untuk bakteri adalah 6,0-7,5. Sedangkan untuk
fungi dapat hidup pada pH 5,5-8,0, dan Aktinomycetes terhambat
kegiatannya jika pH kurang dari 5,0 (Yulipriyanto, 2005: 37).
Pada permulaan dekomposisi, pH bahan organik sedikit masam
diakibatkan karena asam –asam organik sederhana yang dihasilkan dari
perombakan bahan tahap awal. pH bahan tumpukan akan kembali
22
dan amoniak dibebaskan. Kemasaman yang terlalu tinggi pada tahap
awal akan menghalangi aktivitas mikroorganisme dan panas yang
dibebaskan oleh reaksi biokimia yang akan terjadi.
Dalam pengomposan istilah bulking agent sudah tidak asing. Bulking agent adalah bahan tambahan yang menyebabkan tumpukan
material menjadi terlihat lebih besar/mengembang (bulk). Bulking agent
adalah bahan tambahan yang ditambahkan dengan cara menggiling atau
mencampurkan dengan material kompos, sehingga membentuk struktur,
porositas, dan struktur yang mempengaruhi proses pengomposan karena
keterkaitannya dengan aerasi. Fungsi bulking agent adalah menyediakan
struktur pendukung bagi tumpukan bahan, menyediakan pori udara
diantara partikel, meningkatkan ukuran ruang pori, dan memudahkan
pergerakan udara melewati campuran bahan. Bulking agent bisa berupa
serut kayu., jerami, sabut kelapa, sekam padi, dan ampas tebu (Nugroho.,
dkk, 2010 : 606-607).
E. Effetive Microorganism (EM4)
Proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung dalam
jangka waktu yang cukup lama, ada yang 2-3 bulan bahkan hingga
mencapai kurun waktu 6-12 bulan, tergantung dari bahannya. Tenggang
waktu pembuatan pupuk yang cukup lama, sementara kebutuhan pupuk
terus meningkat maka kemungkinan akan terjadi kekosongan pupuk.
Oleh karena itu, para ahli melakukan upaya untuk mempersingkat waktu
23
hasil penelitian menunjukkan proses pengomposan dapat dipercepat
menjadi 2-3 minggu atau 1-1,5 bulan, tergantung pada bahan dasarnya
(Sucipto, 2012: 54).
Untuk mempercepat proses pengomposan umumnya dilakukan
dalam kondisi aerob namun menimbulkan bau. Dalam kondisi anaerob
proses pengomposan dapat dipercepat dengan bantuan EM4. Bau yang
dihasilkan dapat hilang bila proses berlangsung dengan baik. Jumlah
mikroorganisme fermentasi di dalam EM4 sangat banyak, 80 genus.
Mikroorganisme tersebut dipilih yang dapat bekerja secara effektif
dalam memfermentasikan bahan organik.
Dari sekian banyak mikroorganisme yang ada, ada 5 golongan
bakteri yang pokok diantaranya yaitu bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp., Streptomyces sp., Ragi (yeast) dan Actinomycetes. Hasil pengomposan menggunakan EM4 sering disebut bokashi.
Menurut Sucipto, (2012: 59-60), secara global terdapat 5 golongan
bakteri yang pokok yaitu :
1. Bakteri fotosintetik
Bakteri ini merupakan bakteri yang bebas yang dapat
mensintesis senyawa nitrogen, gula, dan substansi bioaktif lainnya.
Hasil metabolit yang memproduksi dapat diserap secara langsung oleh
tanaman dan tersedia sebagai substrat untuk perkembangbiakan
24 2. Lactobacillus sp.
Bakteri yang memproduksi asam laktat sebagai hasil penguraian
Gula dan karbohidrat lain yang bekerja sama dengan bakteri
fotosntesis dan ragi. Asam laktat ini merupakan bahan sterilisasi yang
kuat yang dapat menekan mikroorganisme berbahaya dan dapat
menguraikan bahan organik dengan cepat.
3. Streptomycetes sp.
Bakteri ini mampu mengeluarkan enzim streptomisin yang
bersifat racun terhadap hama dan penyakit yang merugikan.
4. Ragi ( yeast )
Ragi memproduksi substansi bagi tanaman dengan cara
fermentasi. Substansi bioaktif yang dihasilkan oleh ragi berguna
untuk pertumbuhan sel dan pembelahan akar. Ragi ini juga berperan
dalam perkembangan atau pembelahan mikroorganisme
menguntungkan lain seperti Actinomycetes dan bakteri asam laktat.
5. Actinomycetes
Actinomycetes merupakan organisme peralihan antara bakteri
dan jamur yang mengambil asam amino dan zat serupa yang
diproduksi bakteri fotosintesis dan merubahnya menjadi antibiotik
untuk mengendalikan pathogen, menekan jamur dan bakteri
berbahaya dengan cara menghancurkan khitin yaitu zat esensial untuk
25
Formula EM4 dalam bentuk cairan yang berwarna kuning
kecoklatan. Cairan ini berbau sedap dengan rasa asam manis dan tingkat
keasaman (pH) kurang dari 3,5. Apabila tingkat keasaman melebihi 4,0
maka cairan ini tidak dapat digunakan lagi. Sebelum digunakan, EM4
perlu diaktifkan dahulu karena mikroorganisme di dalam larutan EM4
berada dalam keadaan tidur (dorman). Pengaktifan mikroorganisme di
dalam EM4 dapat dilakukan dengan cara memberikan air dan makanan
(molase) (Yuniwati., dkk. 2012:175)
Menurut Sucipto (2012: 60), selain berfungsi dalam proses
fermentasi dan dekomposisi bahan organik, EM4 juga mempunyai
manfaat yang lain, seperti :
1. Memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah
2. Menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman, dan
3. Menekan pertumbuhan jamur yang bersifat pathogen
F. Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Peraturan Menteri Pertanian Dalam rangka pengaturan mutu produk kompos agar dapat melindungi
konsumen dan mencegah pencemaran lingkungan, maka Standar Nasional
Indonesia (SNI) membuat spesifikasi kompos dari sampah organik domestik.
Standar ini dapat digunakan sebagai acuan bagi produsen kompos dalam
26
adalah sumber nutrisi yang dibutuhkan bagi tanaman.
No Parameter Satuan Minuman Maksimum
1 Kadar Air % - 50
2 Temperatur C Suhu air tanah
3 Warna Kehitaman
4 Bau Berbau tanah
5 Ukuran Partikel Mm 0,55 25
6 Kemampuan ikat air % 58 -
31 Salmonella sp MPN/4 gr 3
27 1. Unsur hara makro
Suatu unsur hara disebut makro esensial jika dibutuhkan dalam
jumlah besar, biasanya diatas 500 ppm. Unsur hara makro esensial
meliputi karbon (C). hidrogen (H) dan oksigen (O). Unsur makro
esensial terbatmeliputi nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), belerang
(S), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg).
a. Nitrogen (N)
Nitrogen merupakan salah satu unsur yang paling luas di
alam. Di atmosfer terdapat sekitar 3,8 x 1015 ton nitrogen
molekuler, sedangkan pada litosfer terdapat 4,74 kalinya. Unsur N
di dalam tanaman dijumpai dalam bentuk anorganik atau organik
yang bergabung dengan C, H, O dan kadangkala dengan S untuk
membentuk asam-asam amino, enzim-enzim amino, asam nukleat,
klorofil, alkaloid dan basa purin. Tanaman menyerap N dalam
bentuk N-amonium (NH4+) maupun N-nitrat (NO3-), tetapi tanaman
lebih banyak menyerap N-amonium dibanding N-nitrat dan total N
tanaman berkorelasi lebih erat dengan N-amonium dibanding N
-nitrat (Hanafiah, 2005: 275-284).
Nitrogen pada umumnya diperlukan untuk pembentukan atau
pertumbuhan bagian-bagian vegetative tanaman, seperti daun,
batang dan akar. Fungsi nitrogen bagi tanaman diantaranya dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan kadar protein
28
akan menjadi lebar dengan warna yang lebih hijau (Sutejo, 1995:
24). Tumbuhan yang mengandung cukup nitrogen untuk sekedar
tumbuh saja akan menunjukkan gejala kekhatan, yakni klorosis
biasa terutama pada daun tua. Pada kasus yang parah, daun
menjadi kuning seluruhnya lalu agak kecoklatan saat mati.
Biasanya, daun gugur pada fase kuning atau kuning kecoklatan.
Daun muda tetap hijau lebih lama karena mendapatkan nitrogen
larut yang berasal dari daun tua. Tumbuhan yang mendapatkan
nitrogen biasanya mempunyai daun berwarna hijau tua dan lebat,
dengan sistem akar yang kerdil ( Salisbury & Ross, 1995 : 143)
b. Fosfor (P)
Fosfor (P) termasuk unsur hara makro esensial yang sangat
penting untuk pertumbuhan tanaman, namun kandungannya
didalam tanah lebih rendah dibanding nitrogen (N), kalium (K),
dan kalsium (Ca). Fosfor sebagian besar berasal dari pelapukan
batuan mineral alami sisanya berasal dari pelapukan bahan organik.
Sebagian besar fosfor yang mudah larut diambil oleh
mikroorganisme tanah untuk pertumbuhan. Unsur P diambil
tanaman dalam bentuk ion orthofosfat primer dan sekunder
(H2PO4- dan HPO42-). Proporsi penyerapan kedua ion ini
dipengaruhi pH area perakaran tanaman. Pada pH lebih rendah
tanaman lebih banyak menyerap ion orthofosfat primer dan pada
29
diserap tanaman (Hanafiah, 2005: 288-292). Menurut Salisbury &
Ross (1995: 143), fosfor lebih cepat diserap tanaman dalam bentuk
senyawa fosfat primer dan diserap lebih lambat dalam bentuk anion
fofat sekunder. Banyak fosfat diubah menjadi bentuk organik
ketika masuk ke dalam akar atau sesudah diangkut melalui xilem
menuju tajuk.
Fosfor terdapat dalam bentuk phitin, nuklein dan fosfatide,
merupakan bagian dari inti sel dan protoplasma. Sebagai bagian
dari inti sel sangat penting dalam pembelahan sel, demikian pula
jaringan meristem. Secara umum, fungsi fosfor adalah dapat
mempercepat pertumbuhan akar semai, memperkuat pertumbuhan
tanaman muda menjadi dewasa, mempercepat pembungaan dan
pemasakan buah, biji atau gabah serta meningkatkan produksi biji
-bijian ( Sutejo, 1995 : 25-26).
Tumbuhan yang kahat fosfor akan menjadi kerdil dan
berwarna hijau tua, daun tua berwarna coklat gelap saat mati.
Fosfat tersebar dengan mudah pada sebagian besar tumbuhan, dari
organ yang satu ke organ yang lainnya, dan menghilang dari daun
tua menumpuk di daun muda dan bunga serta biji yang sedang
berkembang. Akibatnya, gejala kekhatan mula-mula terlihat pada
30 c. Kalium (K)
Kalium merupakan unsur makro terbesar setelah N yang
paling banyak diserap tanaman. K berfungsi dalam mekanisme
fotosintesis, trsanslokasi karbohidrat, sehingga mempercepat
penebalan dinding-dinding sel dan ketegaran tangkai bunga
bunga/buah/cabang (Hanafiah, 2005 : 295-303).
Kalium dapat dikatakan bukan elemen yang langsung
pembentuk bahan organik. Kalium berperan dalam membantu
pembentukan protein dan karbohidrat. Kalium diserap dalam
bentuk K+ terutama pada tanaman muda. Kalium banyak terdapat
pada sel-sel muda atau bagian tanaman yang mengandung protein
(Sutejo, 1995 : 27). Unsur kalium ini berlimpah jumlahnya
sehingga menjadi penentu utama potensial osmotik, dan karena itu
juga penentu tekanan turgornya hal ini berkaitan dengan proses
membuka dan menutupnya stomata (Salisbury & Ross, 1995: 145).
Ion K+ dengan mudah disalurkan dari organ dewasa ke organ
muda, sehingga gejala kekhatan pertama kali tampak pada daun
tua. Pada monokotil, sel diujung dan tepi daun mula-mula mati dan
nekrosis meluas ke bawah sepanjang tepi menuju daun bagian
muda di dasar daun (Salisbury & Ross, 1995 : 145). Kekurangan
unsur K dapat menyebabkan melemahnya batang sehingga
tanaman mudah rebah dan terserang penyakit. Kandungan Kalium
31
tanaman terhadap penyakit karena dinding sel tanaman semakin
tebal (Ruhnayat 2007: 55).
d. Belerang (S)
Jumlah unsur S hampir sama dengan jumlah unsur P di
alam. Unsur ini diambil tanaman dalam bentuk SO42- dan sedikit
dalam bentuk gas belerang (SO2) diserap melalui daun dari
atmosfer. Berperan penting sebagai komponen asam-asam amino
esensial penyusunan protei tanaman maupun hewan. Gejala
defisiensi unsur ini sama dengan unsur N, sehingga dapat
menimbulkan kerancuan penyebabnya. Perbedaannya terletak pada
sifat unsur S yang immobile, sedangkan unsur N bersifat mobil.
Gejala awal defisiensi N dimulai pada dedaunan tua sedangkan
gejala defisiensi S terjadi pada dedaunan muda. Defisiensi S
menyebabkan tanaman tumbuh terhambat dan kerdil dengan batang
kecil dan pendek serta klorotik (Hanafiah,2005: 307-309).
e. Kalsium (Ca)
Kalsium diambil tanaman dalam bentuk ion Ca2+ berperan
sebagai komponen dinding sel, dalam pembentukan struktur dan
permeabilitas membran. Kalsium rata-rata menyusun 0,5% tubuh
tanaman, banyak terdapat pada daun dan pada beberapa tanaman
mengendap sebagai Ca-oksalat dalam sel-sel. Kekurangan unsur ini
32
terganggunya pembentukan pucuk tanaman dan ujung-ujung akar
(titik-titik tumbuh), serta jaringan penyimpanan (Hanafiah 2005:
303-305)
f. Magnesium (Mg)
Magnesium diambil tanaman dalam bentuk ion Mg2+,
terutama berperan sebagai penyusun klorofil (satu-satunya
mineral), tanpa klorofil fotosintesis tanaman tidak akan
berlangsung dan sebagai aktivator enzim. Defisiensi Mg ditandai
dengan gejala klorosis diantara tetulangan dedaunan tua yang tetap
hijau, kemudian menguning atau lembAyu., dkkng merah
(Hanafiah 2005: 306).
2. Unsur hara mikro
Unsur hara disebut mikro esensial jika dibutuhkan dalam jumlah
sedikit, biasanya kurang dari 50 ppm. Beberapa unsur yang termasuk
didalamnya adalah Boron (Bo), Besi (Fe), Mangan (Mn), Tembaga
(Cu), Seng (Zn), Klorin (Cl), Molibdenum (Mo) dan Co (koblat).
Peranan unsur hara mikro bagi tanaman adalah sebagai berikut:
a. Sintesis klorofil adalah Fe, Mn, Cu dan Zn
b. Fotosintesis adalah Fe, Mn, Cu dan Cl
c. Sistem respirasi adalah B, Fe dan Cu
d. Metabolisme karbohidrat adalah B dan Cu
33
f. Fiksasi dan asimilasi N adalah Fe, Cu, Mo, dan Co
g. Aktivasi seluler/membran meliputi B dan Cl.
H. Tanaman Sawi
Sawi (Brassica juncea L.) masih satu famili dengan kubis-krop,
kubis bunga, brokoli dan lobak atau rades, yakni famili cruciferae
(Brassicaceae) oleh karena itu sifat morfologis tanamannya hampir sama,
terutama pada sistem perakaran, struktur batang, bunga, buah maupun
bijinya.
Klasifikasi sawi dalam (Rukmana, 2007: 4) sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Sub-kelas : Dicotyledonae
Ordo : Papavorales
Famili : Brassicaceae
Genus : Brassica
Spesies : Brassica juncea L.
Secara umum tanaman sawi mempunyai daun lonjong, halus dan
tidak berbulu. Tangkai daunnya panjang, berwarna putih kehijauan.
Daunnya lebar memanjang, tipis dan berwarna hijau. Rasanya renyah,
segar dengan sedikit rasa pahit. Sawi memiliki akar tunggang (radix
primaria) dan cabang-cabang akar yang bentuknya bulat panjang (silindris) meyebar ke semua arah pada kedalaman antara 30-50 cm. Akar
34
serta menguatkan berdirinya batang tanaman (Syahputra, 2007: 1).
Sawi termasuk tanaman sayuran yang tahan terhadap hujan.
sehingga ia dapat ditanaman di sepanjang tahun, dengan syarat pada saat
musim kemarau disediakan air yang cukup untuk penyiraman. Tanaman
sawi hijau dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada tanah yang
gembur, subur, mudah menyerap air dan kedalaman tanah sekitar 5 cm.
menyatakan bila pH tanah dibawah 6,0 maka tanaman sawi akan lAyu.,
dkk, bila pH tanah diatas 7,0 akan terjadi klorosis atau dau berwarna putih
kekuningan terutama daun yang masih muda (Syahputra, 2007: 13).
Pada umumnya benih sawi hijau memiliki bentuk bulat, kecil, warna
coklat kehitaman, agak keras dan permukaannya kecil mengkilat.
Penyemaian benih sawi hijau dilakuan dengan beberapa tahap, yaitu mulai
membuat media penyemaian , penaburan benih, dan penyemaian. Media
penyemaian dapat menggunakan tanah dan humus atau lebih baiknya
menggunakan kompos. Apabila sudah melakukan penyemaian, maka
selanjutnya melakukan penyiraman. Sawi Hijau baru bisa ditanam pada
umur 3-4 minggu .
Penanaman sawi hijau dapat menggunakan media organik seperti
tanah, pupuk kandang dan arang sekam atau bisa juga menggunaan sabut
kelapa. Perbandingan bahan media tanam tersebut 2:1:1. Bahan dicampur
rata dan didiamkan selama 3 hari, setelah itu bisa digunaan untuk
menanam. Pupuk organik bisa ditambahkan, dalam hal ini pupuk organik
35
juga harus diperhatikan, tanaman sawi yang masih kecil ditempatan pada
daerah yang tidak terlalu terpapar matahari dan tidak ternanungi hujan.
Peyiraman tanaman dilakukan menurut musim. Jika tidak terlalu panas,
penyiraman dilakukan sehari sekali, bisa pada pagi atau sore hari. Sawi
dapat dipanen pada umur 40-50 hari setelah tanam dengan cara memotong
pangkal batang atau dengan mencabut seluruh tanaman (Budianto, 2016:
44-49). Namun dalam penelitian Manullang., dkk dkk., (2014: 35)
menyebutkan bahwa pemanenan bisa dilakukan pada saat tanaman sawi
berumur 26 hari dengan melihat jumlah daun, tinggi tanaman dan warna
daun.
Sawi hijau memerlukan cahaya matahari tinggi berkisar antara 250
-400 cal/cm2. Kondisi iklim yang cocok untuk pertumbuhan tanaman sawi
adalah daerah yang mempunyai suhu antara 21,1℃-32℃ (Fransisca 2009:
6)
I. KERANGKA BERPIKIR
Limbah kulit talas kimpul yang dihasilkan oleh home industri keripik talas setiap hari volumenya selalu bertambah. Selain limbah
tersebut, di lingkungan sekitar juga terdapat limbah sisa penggilingan padi
berupa dedak dan sekam yang belum termanfaatkan. Kedua bahan ini
dapat dijadikan sebagai bahan campuran pembuat kompos organik. Kulit
talas kimpul dijadikan bahan utama pembuatan kompos dengan melihat
kandungan karbohidrat (C) yang cukup tinggi didalamnya, sedangkan
36
dedak atau bekatul berfungsi sebagai sumber protein (N) sedangkan sekam
padi sebagai bulking agent utama. Pada umumnya pengomposan membutuhkan waktu yang lama, maka dibutuhkan aktivator yang mampu
mempercepat proses pengomposan salah satu produk aktivator adalah
EM4. Formula EM4 berisi banyak mikroorganisme yang mampu
mempercepat proses perombakan bahan organik dalam pengomposan.
Dari hasil pengomposan diharapkan bisa menjadi tambahan penyedia
unsur hara bagi tanaman. Oleh karena itu perlu diketahui kandungan unsur
hara yang banyak dibutuhkan tanaman meliputi unsur N, P, K dan C/N
ratio pupuk. Untuk mengetahui optimalisasi unsur hara pupuk kulit talas
kimpul, maka harus dikorelasikan dengan standar yang sudah ditetapkan
mengenai peraturan produksi pupuk organik yang tertuang dalam Standar
Nasional Indonesia. Unsur hara pupuk inilah yang nantinya akan berperan
dalam pertumbuhan tanaman salah satu fungsinya yaitu berperan dalam
pembentukan sel, jaringan dan organ tanaman. Pertumbuhan tanaman
dapat dilihat dari tinggi tanaman, jumlah daun, berat basah, dan berat
37
Gambar 2. Bagan Kerangka Berpikir Pertumbuhan Tanaman Sawi (Brassica juncea L)
Tinggi
Tanaman(cm) Jumlah Daun ( helai ) Bobot Basah(gram) Bobot Kering (gram) Limbah Organik
Home industri Limbah organik penggilingan
Kulit talas kimpul
(Xanthosoma sagitifolium) Dedak dan sekam
Pengomposan Sumber
karbohidrat ( C) Sumber protein (N)
Kecepatan
pengomposan Unsur hara bagi tanaman EM4
(Mikroorganisme dan nutrisi)
N, P, K dan C/N ratio SNI
38 J. HIPOTESIS
1. Effective Mikroorganisme (EM4) berpengaruh terhadap kualitas hasil pengomposan kulit talas kimpul, semakin tinggi konsentrasi
EM4 maka unsur hara hasil pengomposan semakin baik.
2. Kandungan unsur hara dan C/N ratio pupuk kulit talas kimpul
dengan perlakuan EM4 lebih mendekati SNI dibandingkan tanpa
perlakuan EM4.
3. Pupuk kulit talas kimpul berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman sawi, semakin tinggi konsentrasi EM4 maka pertumbuhan
39
BAB III METODE
A. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu Penelitian : 3 bulan ( Januari-Maret)
2. Tempat Penelitian : Padukuhan Mutihan, Desa Gunungpring,
Kecamatan Muntilan, Magelang dan Laboratorium FMIPA UNY.
B. Objek Penelitian
1. Objek
Objek dalam penelitian ini adalah kulit talas kimpul (Xanthosoma
sagittifolium) dan tanaman sawi hijau (Brassica juncea L.) yang
berumur 21 hari.
C. Variabel Penelitian
1. Pembuatan Kompos Kulit Talas Kimpul
a. Variabel bebas: Variasi Konsentrasi EM4 (0%, 4%, 6% dan 8%)
1) P0: Kontrol ( pupuk tanpa penambahan EM4)
2) P1: Bahan campuran (kulit talas, dedak, dan sekam) dicampur
dengan EM4 sebanyak 4%
3) P2: Bahan campuran (kulit talas, dedak, dan sekam) dicampur
dengan EM4 sebanyak 6%
4) P3: Bahan campuran (kulit talas, dedak, dan sekam) dicampur
40
b. Variabel terikat: warna, bau, struktur, suhu, pH, C/N ratio, nitrogen,
phospor, kalium.
2. Perlakuan Kompos Kulit Talas pada Tanaman Sawi
a. Variabel bebas: Variasi kompos dengan EM4 (0%, 4%, 6%, 8%)
1) P0 : Kontrol (tanah dan kompos tanpa penambahan EM4)
2) P1: Bahan campuran (tanah dan kompos dengan campuran
EM4 sebanyak 4%)
3) P2: Bahan campuran (tanah dan kompos dengan campuran
EM4 sebanyak 6%)
4) P3: Bahan campuran (tanah dan kompos dengan campuran
EM4 sebanyak 8%)
b. Variabel terikat: bobot basah, bobot kering, jumlah daun, dan tinggi tanaman.
D. Desain/Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan design penelitian eksperimen yang
terdiri dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Jenis rancangan
41
Gambar 3. Rancangan Denah Penelitian Pembuatan Pupuk Kompos Kulit Talas Keterangan :
P0 = Perlakuan tanpa EM4 (0%) P1 =Perlakuan EM4 4%
P2 =Perlakuan EM4 6% P3 =Perlakuan EM4 8 %
Gambar 4. Rancangan Denah Penelitian Penanaman Tanaman Sawi Keterangan :
P0 = Perlakuan tanpa EM4 (0%) P1 =Perlakuan EM4 4%
P2 =Perlakuan EM4 6% P3 =Perlakuan EM4 8
11
P31 P22 P33
P23 P32
P21 P01
P11 P02 P13
42
10. Gelas ukur 10 ml Polybag 11. Baki semai / tray semai
1. Kulit Talas kimpul (Xanthosoma sagittifolium)
2. EM4 1 botol
43
F. Cara Kerja
I. Pembuatan pupuk kulit talas
1. Memilah kulit talas kimpul yang sudah dikumpulkan kurang lebih .
selama satu minggu. Kulit talas kimpul yang dipilih adalah yang
memiliki kenampakan sama dengan tekstur dan warna dari kulit talas
kimpul yang baru atau belum mengalami dekomposisi dan tidak
lembek.
2. Merendam kulit talas kimpul dalam drum selama kurang lebih 12 jam
untuk menghilangkan lendir dan tanah yang masih menempel.
3. Membuat larutan bioaktivator dengan cara melarutkan EM4 dengan
gula dan air hingga merata kemudian memeram selama kurang lebih
24 jam dalam gelas plastik. Fungsi dari gula adalah untuk menambah
nutrisi mikroba yang ada di dalam EM4 agar cepat memperbanyak diri
dan mampu melakukan perombakan bahan secara cepat. Larutan EM4
dibuat 4 variasi 0%, 4%, 6%, 8% masing-masing 3 ulangan.
Perbandingan takaran EM4, gula dan air ialah 1:1:50 sesuai dengan
petunjuk pemakaian.
Penentuan variasi konsentrasi EM4 berdasarkan penelitian
pendahuluan yang menggunakan konsentrasi EM4 2%, 4%,
6% dan 8%. Dari hasil penelitian pendahuluan tersebut,
44
6% yang ditunjukkan dari tingkat degradasi bahan, pengukuran
suhu serta kelembaban pupuk. Sehingga dalam penelitian ini
diambil konsentrasi 6% serta satu konsentrasi di bawah dan
satu konsentrasi diatasnya yaitu 4% dan 8%.
4. Setelah direndam kemudian dikeringanginkan agar air tidak berlebih,
sesekali dilakukan pembalikan agar merata.
5. Apabila air sudah tidak berlebih, kemudian mencacah kulit talas
kimpul hingga berukuran kurang lebih 0,5 cm menggunakan pisau
pencacah.
6. Mencampur kulit talas kimpul dengan dedak dan sekam hingga merata
(Masing-masing bagian terdapat kulit talas kimpul sebanyak 4 kg,
dedak 3 ons, sekam 1 ons ).
7. Mencampur bahan dengan larutan bioaktivator dengan kadar 0%, 4%,
6% dan 8 % hingga merata.
8. Memasukkan masing-masing bahan campuran ke dalam drum cat
25kg dan ditutup hingga rapat.
9. Melakukan pengecekan suhu, pH, kelembaban serta pengecekan
warna, bau serta struktur kompos setiap 3 hari sekali
10. Melakukan pembalikan setiap seminggu sekali selama 2 minggu. 11. Setelah umur pupuk 2 minggu, kemudian membuka penutup dan