PERNYATAAN ... i
LEMBAR PERSEMBAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
KATA PENGANTAR ... v
UCAPAN TERIMA KASIH... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ... xxv
BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Manfaat Penelitian ... 17
E. Definisi Operasional ... 18
BAB III STUDI LITERATUR A. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual ... 20
B. Pembelajaran Matematika dengan Metode Jigsaw II ... 28
C. Pembelajaran Matematika secara Konvensional ... 35
D. Pemahaman Matematis ... 36
E. Belajar Matematika dengan Pemahaman ... 44
I. Penelitian yang Relevan ... 75
J. Hipotesis ... 80
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 87
B. Variabel Penelitian ... 88
C. Populasi dan Sampel ... 90
D. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ... 90
1. Tes Pengetahuan Awal ... 91
2. Instrumen Skala Disposisi Matematis ... 95
3. Format Observasi ... 97
4. Format Wawancara ... 98
5. Soal Pretes dan Postes ... 99
6. Pengembangan Bahan Ajar dan Desainnya ... 108
7. Kegiatan Pembelajaran ... 109
8. Teknik Pengolahan Data ... 113
9. Prosedur Penelitian ... 120
E. Jadwal Penelitian ... 123
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Pengetahuan Awal Matematis Siswa ... 125
1. Analisis Perbedaan Hasil Skor PAM Siswa pada Sekolah Level Tengah ... 127
B. Analisis Data Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa
untuk Setiap Pembelajaran ... 133 1. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPM Siswa
pada Sekolah Level Tengah ... 137 2. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPM Siswa
pada Sekolah Level Atas ... 149 3. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPM Siswa
Secara Keseluruhan ... 160 C. Analisis Data Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Siswa untuk Setiap Pembelajaran ... 181 1. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPMM Siswa
pada Sekolah Level Tengah ... 184 2. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPMM Siswa
pada Sekolah Level Atas ... 196 3. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPMM Siswa
Secara Keseluruhan ... 207 D. Analisis Data Kemampuan Disposisi Matematis Siswa untuk
Setiap Pembelajaran ... 227 1. Analisis Data Peningkatan KDM Siswa pada Sekolah
Level Tengah ... 228 2. Analisis Data Peningkatan KDM Siswa pada Sekolah
Level Atas ... 234 3. Analisis Data Peningkatan KDM Siswa secara Keseluruhan ... 239 E. Hubungan KPM. KPMM, KDM dan PAM Siswa ... 249
1. Analisis Korelasi KPM. KPMM, KDM dan PAM Siswa
Pada Pendekatan CTLJ ... 250 2. Analisis Korelasi KPM. KPMM, KDM dan PAM Siswa
Pada Pendekatan CTL ... 253 2. Analisis Korelasi KPM. KPMM, KDM dan PAM Siswa
Pada Pendekatan PK ... 255 F. Rekapitulasi Hasil Analisis Pengujian Hipotesis ... 258 G. Respon terhadap Pembelajaran dengan Pendekatan CTLJ
4. Respon Siswa berdasarkan Hasil Jurnal ... 274
H. Pembahasan ... 276
1. PAM Siswa berdasarkan Level Sekolah ... 276
2. Peningkatan dan Pencapaian KPM Siswa ... 279
3. Peningkatan dan Pencapaian KPMM Siswa ... 286
4. Peningkatan KDM Siswa ... 292
5. Hubungan antara KPM, KPMM dan KDM Siswa Ditinjau dari Pendekatan Pembelajaran dan Faktor PAM ... 296
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 299
B. Implikasi ... 302
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang benar-benar unggul
dan dapat diandalkan dalam menghadapi persaingan bebas di segala bidang
kehidupan yang kian ketat sebagai akibat dari globalisasi dunia, merupakan tugas
semua pihak. Penanganannya harus dilakukan secara simultan, berkesinambungan
dan terarah, sehingga keterpurukan bangsa Indonesia segera dapat diatasi guna
mencapai kejayaan bangsa.
Pendidikan yang baik dan tepat dipandang sebagai aset dari sektor yang
strategis adalah untuk mempersiapkan SDM yang berbudi pekerti luhur serta
mumpuni dalam menyelesaikan setiap permasalahan, harus benar-benar ditangani
secara profesional. Hal ini terbukti dengan dilakukannya pembenahan sektor
pendidikan di semua lini oleh pemerintah, baik dari kesejahteraan, sarana dan
prasarana pendidikan, maupun kompetensi pendidiknya.
Usaha-usaha yang intensif dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil
pendidikan sudah selayaknya lebih diperhatikan, karena melalui pendidikan
diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi siswa sebagai calon
SDM yang handal untuk dapat bersikap dan berprilaku kritis, kreatif, logis dan
inovatif dalam menghadapi serta menyelesaikan setiap permasalahan. Hal tersebut
senada dengan pendapat Ruseffendi (1991) yang menyatakan bahwa hasil dari
pendidikan matematika yaitu siswa diharapkan memiliki kepribadian yag kreatif,
mempunyai perasaan keadilan, dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
bangsa dan negara. Begitu juga Sumarmo (2004: 1) menyatakan bahwa
pendidikan matematika sebagai proses yang aktif, dinamik, dan generatif melalui
kegiatan matematika (doing math) memberikan sumbangan yang penting kepada
siswa dalam pengembangan nalar, berfikir logis, sistematik, kritis dan cermat,
serta bersikap obyektif dan terbuka dalam menghadapi berbagai permasalahan.
Melalui pengembangan program pendidikan matematika yang berfokus
pada pengkonstruksian, pengembangan pemahaman dan pemecahan masalah
matematis, siswa akan terdorong untuk berpikir matematis secara sistematis, logis
dan cermat. Melalui cara berpikir tersebut, maka di dalam pola pikir siwa akan
tumbuh berbagai doing math, yang mendorong motivasi para siswa untuk bekerja
keras dalam menerapkan hasil belajarnya di kehidupan sehari-hari serta sebagai
bekal untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi dalam peran mereka sebagai anggota keluarga, masyarakat dan warga
negara. Sebagaimana tujuan pembelajaran matematika yang merupakan bagian
kelompok program adaptif di tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
(Depdiknas, 2006) yaitu berfungsi untuk membentuk peserta didik sebagai
individu agar memiliki dasar pengetahuan yang luas dan kuat untuk menyesuaikan
diri atau beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungan sosial,
lingkungan kerja, serta mampu mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Selain itu, tujuan pembelajaran matematika tingkat SMK kelompok
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah
2. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
3. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
4. Menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah
5. Menalar secara logis dan kritis serta mengembangkan aktivitas kreatif dalam memecahkan masalah dan mengkomunikasikan ide. Di samping itu memberi kemampuan untuk menerapkan matematika pada setiap program keahlian.
Oleh karena itu, salah satu tujuan yang harus menjadi prioritas dalam
pembelajaran matematika adalah kemampuan pemahaman dan pemecahan
masalah matematis. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sabandar (2006) yang
menyatakan bahwa pemecahan masalah matematis merupakan suatu kemampuan
yang harus dicapai dan peningkatan berpikir matematis tersebut merupakan
prioritas tujuan dalam pembelajaran matematika. Demikian pula Devlin (2007)
menegaskan pemahaman dan pemecahan masalah matematis merupakan unsur
penting dalam setiap pembelajaran di semua jenjang pendidikan, baik jenjang
persekolahan maupun perguruan tinggi. Bahkan ia menyatakan bahwa
kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis merupakan salah
satu kekuatan yang menjadi tujuan pembelajaran matematika pada level sekolah
menengah, yang memberi peluang besar pada siswa untuk dapat memecahkan
permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, dunia kerja dan ilmu
pengetahuan lainnya.
Kemampuan pemahaman matematis (KPM) penting untuk dimiliki siswa,
kemampuan pemecahan masalah matematis ((KPMM), ketika seseorang belajar
matematika memahami konsep-konsep, maka saat itulah orang tersebut mulai
merintis kemampuan-kemampuan berpikir matematis yang lainnya, salah satunya
adalah pemecahan masalah matematis. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Sumarmo (2003b) yang menyatakan pemahaman matematis penting dimiliki
siswa karena diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika, masalah
dalam disiplin ilmu lain, dan masalah dalam kehidupan sehari-hari, yang
merupakan visi pengembangan pembelajaran matematika untuk memenuhi
kebutuhan masa kini.
Pemahaman matematis suatu konsep dan pemecahan masalah matematis,
baik yang rumit maupun yang tidak rumit, akan mudah dipahami oleh para siswa
jika mereka diberikan kesempatan untuk memperoleh contoh-contoh kongkrit
yang pernah dikenalinya. Selain itu, dalam pembelajarannya mereka harus
diberikan kesempatan untuk proaktif terlibat secara langsung dalam menemukan
kembali konsep-konsep matematis, serta mempraktekkannya untuk memecahkan
permasalahan dari situasi dan kondisi yang diberikan. Agar memiliki pemahaman
dan pemecahan masalah matematis Ruseffendi (1991) menyarankan sebaiknya
guru mengorganisir sekolah bukan untuk guru mengajar tetapi untuk anak-anak
belajar. Menempatkan anak-anak kepada pusat kegiatan belajar, membantu dan
mendorong anak-anak untuk belajar, bagaimana menyusun pertanyaan, bagaimana
membicarakan dan menemukan jawaban-jawaban persoalan, agar siswa
diaktifkkan menyelesaikan problema-problema matematika dalam
menarik, menumbuhkan orginalitas berpikir, menemukan sesuatu, menemukan
kembali sesuatu, membuktikan sesuatu dengan cara barunya.
Namun berdasarkan kenyataan di lapangan pendidikan menunjukkan
indikasi yang berbeda, guru terbiasa melakukan pembelajaran secara
konvensional, guru hanya sekedar penyampai pesan pengetahuan, sementara
siswa cenderung sebagai penerima pengetahuan dengan cara mencatat,
mendengarkan dan menghapal, serta berlatih mengerjakan soal-soal yang
disampaikan oleh gurunya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Sumarmo
(1993) yang mengungkapkan bahwa pada umumnya kondisi saat ini dilapangan
pendidikan, diindikasikan pembelajaran matematika kurang melibatkan aktivitas
siswa secara optimal sehingga siswa kurang aktif dalam belajar, begitupula
Wahyudin (1999) menyatakan bahwa guru matematika pada umumnya mengajar
dengan metode ceramah dan ekspositori.
Hasil laporan Trends in International Mathematics and Sciences Study
(TIMSS) tahun 1999 (Suryadi, 2005) menegaskan bahwa secara umum
pembelajaran matematika di Indonesia masih terdiri atas rangkaian kegiatan
berikut: awal pembelajaran dimulai dengan sajian masalah oleh guru, selanjutnya
dilakukan demonstrasi penyelesaian masalah tersebut, dan terakhir guru meminta
siswa untuk melakukan latihan penyelesaian soal. Selain itu hasil penilaian
TIMSS tahun 2003 dengan penekanan pada kemampuan pengetahuan fakta,
prosedur, konsep, pemahaman dan aplikasi matematika serta penalaran ternyata
siswa kelas 8 Indonesia berada pada posisi ke-30 dari 34 negara (Mullis et al,
meskipun jumlah jam pelajaran matematika sekolah di Indonesia lebih banyak
dibandingkan Malaysia dan Singapura, namun rata-rata prestasi matematika siswa
Indonesia lebih rendah dibandingkan kedua negara tersebut. Hal ini
mengindikasikan bahwa waktu belajar yang digunakan siswa-siswa di sekolah kita
tidak sebanding dengan perolehan prestasi matematika yang dicapainya,
diantaranya kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematisnya.
Walaupun dalam beberapa tahun terakhir anak-anak Indonesia untuk
jenjang olimpiade matematika SMA sudah menunjukkan prestasi yang
menggembirakan, antara lain dengan diperolehnya medali perunggu, serta medali
emas untuk jenjang SD (Suryadi, 2005) namun pada umumnya penggunaan
orginalitas strategi dalam pemecahan masalah tak rutin serta prestasi anak-anak
Indonesia masih jauh ketinggalan dengan negara-negara Asia lainnya.
Hal tersebut, didukung fakta belum memuaskannya kemampuan
pemahaman matematis terlihat dalam nilai rata-rata matematika siswa SMK pada
Ujian Nasional lima tahun terakhir, relatif merupakan nilai terendah dari semua
mata pelajaran yang diujiankan (Depdiknas, 2008). Rendahnya kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa terlihat juga dari rendahnya prestasi
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di ajang Internasional dalam
Program for International Assesment (PISSA) tahun 2003 bahwa Indonesia masih
berada pada peringkat ke 38 dari 40 negara yang berpartisipasi (Syaban, 2008).
Dalam kaitannya hasil pembelajaran terhadap kemampuan disposisi
matematis, seperti siswa mampu menunjukan gairah dalam belajar, menunjukkan
berbagi dengan orang lain, ternyata pada umunya hasil pembelajaran masih belum
berkotribusi secara memuaskan terhadap kemampuan disposisi matematis siswa.
Hasil penelitian Syaban (2008) mengungkapkan bahwa siswa-siswa yang belajar
matematika dengan pembelajaran konvensional ternyata kurang berkontribusi
terhadap pencapaian kemampuan disposisi matematisnya. Padahal kemampuan
disposisi matematis tersebut akan dapat membuat siswa lebih aktif dalam belajar
matematika, dan jika siswa sudah aktif belajar maka siswa diharapkan akan
meningkat prestasi belajar matematikanya. Sebagaimana National Council of
Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) menyarankan bahwa salah satu penilaian
hasil belajar matematika siswa dapat juga ditinjau dari kemampuan disposisi
matematisnya.
Alasan lain, penelitian tentang peningkatan kemampuan pemahaman dan
pemecahan masalah matematis perlu mendapat perhatian yang lebih serius, karena
hasil sejumlah penelitian pembelajaran matematika (Suryadi, 2005) pada
umumnya masih terfokus pada pengembangan berpikir matematis yang bersifat
prosedural, padahal hasil laporan TIMSS mengungkapkan bahwa pembelajaran
matematika yang lebih menekankan aspek penalaran dan pemecahan masalah
matematis akan mampu menghasilkan siswa berprestasi tinggi. Soedjadi (Nanang,
2009) mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis bagi
seseorang akan membantu keberhasilan orang tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
Berdasarkan fakta-fakta tentang proses dan hasil belajar yang diuraikan di
inovasi pendekatan pembelajaran yang penekanannya kepada student centred
sehingga kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis, serta
disposisi matematis dapat ditumbuhkembangkan. Salah satu pembelajaran dengan
ciri-ciri tersebut adalah pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.
Pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual disesuaikan
dengan tumbuh-kembangnya ilmu pengetahuan. Konsep/pengetahuan yang akan
dipelajari dibangun oleh siswa, melalui proses tanya jawab dalam bentuk diskusi
kelompok kecil, atau dapat juga siswa diberi materi pelajaran melalui konteks
permasalahan-permasalahan sehari-hari serta aplikasinya dalam bentuk lembar
kerja siswa yang didiskusikan secara berkelompok dengan bimbingan guru.
Dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual, guru
tidak serta merta secara langsung memberi tahu solusi suatu permasalahan yang
disajikannya, tetapi guru menggunakan teknik Scaffolding yaitu membimbing
siswa dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka (divergen) yang
mengarah pada jawaban, memberikan bantuan secara terstruktur pada awal
pembelajaran, kemudian secara bertahap mengaktifkan siswa untuk belajar
mandiri. Selain itu, dengan bimbingan guru pula, siswa dalam
kelompok-kelompok kecil akan saling bertukar pikiran dan saling membantu dalam
memecahkan masalah yang dihadapinya.
Melalui proses pembelajaran tersebut, guru memberi peluang yang lebih
besar agar siswa dapat secara aktif mengkonstruksi, menemukan dan memahami
konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah secara
aktif terlibat dalam menemukan suatu prinsip dasar, siswa itu akan mengerti
konsep tersebut lebih baik, daya mengingat lebih baik dan mampu menggunakan
konsep tersebut dalam konteks yang lain”
Dengan demikian, melalui pendekatan kontekstual maka konsep-konsep
matematika dan pengetahuan lainnya akan dibangun oleh siswa tahap demi tahap
melalui suatu proses pengkonstruksian pengetahuan secara bermakna. Walaupun,
mungkin pada tahap proses pengkonstruksian pengetahuan untuk memecahkan
permasalahan tidak selalu mulus dilakukan siswa, namun melalui proses
pembelajaran secara berkelompok dan tehnik Scaffolding, siswa akan selalu
tertantang dan berpeluang memiliki kemampuan disposisi matematis.
Selain itu, pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dalam
menyelesaikan permasalahannya dapat melalui proses penemuan
pengetahuan/konsep-konsep matematika yang diperoleh melalui proses
pengkonstruksian berdasarkan pengaktifan dan pengkaitan pengetahuan yang
dimiliki siswa sebelumnya, sehingga siswa akan memiliki peluang besar untuk
dapat memiliki kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis. Hal
ini sejalan dengan pendapat Sumarmo (2005) yang menyatakan bahwa
pembelajaran dengan menerapkan pendekatan Scaffolding, menyajikan
permasalahan non-rutin yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari/aplikasi
matematika dan kegiatan belajar dalam kelompok kecil akan mendorong siswa
memiliki berpikir tingkat tinggi. Salah satu berpikir matematis tingkat tinggi
Salah satu kekuatan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yaitu
pada awal pembelajarannya siswa diberi permasalahan-permasalahan situasional
yang dikemas dalam bentuk basis-basis konteks permasalahan yang berkaitan
dengan konsep matematika, ilmu pengetahuan lain atau kehidupan nyata, dimana
cara penyelesaiannya dapat dilakukan mandiri atau melalui diskusi, sharing idea
dengan teman, melakukan ekplorasi, investigasi serta pemecahan masalah yang
dapat melibatkan bukan saja satu bidang studi tetapi bila diperlukan mungkin
bidang studi lain, sehingga proses kegiatan tersebut akan merangsang siswa
menggunakan segala kemampuannya dalam menyelesaikan permasalahan.
Sebagaimana Sabandar (2005) menyatakan bahwa situasi pemecahan masalah
merupakan tahapan dimana ketika individu dihadapkan kepada suatu masalah ia
tidak serta merta mampu menemukan solusinya, bahkan dalam proses
penyelesaiannya ia masih mengalami kebuntuan. Pada saat itulah terjadi konflik
kognitif yang berpeluang memaksa siswa untuk berpikir matematis. Berpikir
matematis diantaranya yaitu kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah
matematis serta disposisi matematis.
Seting pembelajaran kontekstual melalui diskusi kelompok dapat dikemas
dengan metode jigsaw II. Dengan metode pembelajaran jigsaw II, selain siswa
mempunyai kelebihan kerjasama tim dalam kelompok, mereka juga dituntut untuk
memahamai spesialisasi tugas/suatu materi yang berbeda-beda dalam
memecahkan suatu permasalahan dengan berdiskusi atau mempelajari suatu
materi pelajaran lebih dari dua kali. Dengan demikian, pembelajaran kontekstual
pengetahuannnya dengan permasalahan-permasalahan kontekstual, juga mereka
dituntut harus mampu memahami materi secara keseluruhan dan menyampaikan
suatu materi/permasalahan hasil diskusi di kelompok ahli pada teman-teman
anggota kelompok asalnya. Dengan cara tersebut, siswa dapat terlibat secara
proaktif dalam pembelajaran dan siswa akan terlatih menemukan
konsep/pengetahuan sehingga konsep-konsep pengetahuan yang dipelajari siswa
akan menjadi lebih bermakna dalam ingatannya. Hal tersebut senada dengan
Ruseffendi (1991: 330) yang menyatakan : “...menemukan sesuatu oleh sendiri
dapat menumbuhkan rasa percaya terhadap dirinya sendiri, dapat meningkatkan
motivasi (termasuk motivasi intrinsik), melakukan pengkajian lebih lanjut, dapat
menumbuhkan sikap positif terhadap matematika”. Sikap positif tersebut adalah
bagian dari disposisi matematis yang diindikasikan berpeluang guna
meningkatkan prestasi belajar matematika.
Dalam implementasi kolaborasi pembelajaran kontekstual dan metode
jigsaw II perlu memperhatikan peringkat kelompok siswa ataupun level sekolah.
Bagi siswa kelompok tinggi (pandai), pendekatan pembelajaran yang dilakukan
bukanlah suatu hal utama dalam pencapaian ataupun peningkatan kemampuan
pemahaman, pemecahan masalah matematis ataupun disposisinya. Walaupun
demikian, penelitian tentang penerapan kolaborasi pembelajaran kontesktual
dengan metode jigsaw II akan lebih berpeluang dilakukan pada siswa kelompok
tinggi dan sedang, karena pada kelompok ini diprediksi siswa akan lebih mampu
menjelaskan kembali tentang konsep-konsep matematis ataupun cara-cara
masing-masing, dari materi yang telah didiskusikan dalam kelompok ahlinya. Oleh karena
itu, salah satu pertimbangan terpilihnya sekolah level atas dan menengah yang
dijadikan subjek penelitian, khususnya dalam pengembangan model pendekatan
pembelajaran baru perlu mendapat perhatian. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Suryadi (2005) yang menyatakan bahwa kenyataan menunjukkan bahwa peringkat
sekolah berkaitan dengan kemampuan siswa secara umum (termasuk matematika).
Selain itu, karena sifat ilmu matematika adalah ilmu yang terstruktur dengan ketat.
antara konsep yang satu dengan konsep yang lainnya saling berkaitan, maka
faktor pengetahuan awal matematis perlu mendapat kajian pula dalam suatu
penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Arends (2008: 268), yang menyatakan
bahwa kemampuan awal siswa untuk mempelajari ide-ide baru bergantung pada
pengetahuan awal mereka sebelumnya dan struktur kognitif yang sudah ada.
Penelitian dengan subjek populasi siswa SMK, khususnya pada SMK
kelompok teknologi harus segera dilaksanakan, hal tersebut karena berdasarkan
pada program pemerintah bidang kependidikan yang akan membuka sekolah
kejuruan, sehingga prosentase antara sekolah kejuruan dan sekolah umum adalah
70% berbanding 30%. Selain itu, agar dapat lebih mempersiapkan para lulusannya
untuk memiliki dasar pengetahuan yang luas dan kuat dalam menyesuaikan diri
dengan perubahan yang terjadi di lingkungan sosial, lingkungan kerja, serta
mampu mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni. Berkaitan dengan dipilihnya subjek populasi, menurut
dilakukan, karena penelitian-penelitian pada sekolah kejuruan masih sedikit, yaitu
sekitar 5% dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan mahasiswa.
Menyimak harapan dan tujuan pendidikan, kenyataan pahit di lapangan
pendidikan matematika dewasa ini, subjek penelitian, serta gambaran tentang
pendekatan pembelajaran kontekstual yang diharapkan dapat meningkatkan
disposisi matematis siswa dalam mengkonstruksi dan mengeksplorasi konsep,
sehingga siswa diduga mampu memiliki pemahaman matematis serta
meningkatkan pemecahan masalahnya, maka penulis termotivasi untuk meneliti
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan implementasinya dalam upaya
meningkatkan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis pada
siswa Sekolah Menengah Kejuruan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan, maka rumusan dan
batasan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah ada perbedaan peningkatan KPM siswa yang memperoleh kolaborasi
pembelajaran kontekstual dan metode jigsaw II (CTLJ), pendekatan
kontekstual (CTL) dan pembelajaran konvensional (PK) ditinjau dari sekolah
level tengah (ST), sekolah level atas (SA) maupun secara keseluruhan
(gabungan ST dan SA)?
2. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan kelompok siswa
yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah (PAM) terhadap peningkatan
3. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah
terhadap peningkatan KPM siswa secara keseluruhan?
4. Apakah ada perbedaan pencapaian KPM siswa yang memperoleh
pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun secara
keseluruhan?
5. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan kelompok siswa
yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah (PAM) terhadap pencapaian
KPM siswa ditinjau dari ST, SA dan secara keseluruhan?
6. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah
terhadap pencapaian KPM siswa secara keseluruhan?
7. Apakah ada perbedaan peningkatan KPMM siswa yang memperoleh
pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun secara
keseluruhan?
8. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan PAM siswa terhadap
peningkatan KPMM siswa ditinjau dari ST, SA maupun secara keseluruhan?
9. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah
terhadap peningkatan KPMM siswa secara keseluruhan?
10. Apakah ada perbedaan pencapaian KPMM siswa yang memperoleh
pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun secara
keseluruhan?
11. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan PAM siswa terhadap
12. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah
terhadap pencapaian KPMM siswa secara keseluruhan?
13. Apakah ada perbedaan peningkatan KDM siswa yang memperoleh
pembelajaran CTLJ, memperoleh CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun
secara keseluruhan?
14. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan kelompok siswa
yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah (PAM) terhadap peningkatan
KDM siswa ditinjau dari ST, SA dan secara keseluruhan?
15. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah
terhadap peningkatan KDM siswa secara keseluruhan?
16. Apakah ada hubungan antara KPM, KPMM dan KDM siswa setelah
pembelajaran CTLJ, CTL dan PK?
17. Bagaimanakah respon siswa terhadap pembelajaran CTLJ dan CTL
berdasarkan siswa secara keseluruhan?
D. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Menganalisis apakah ada perbedaan peningkatan serta pencapaian KPM siswa
yang memperoleh pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST, SA
maupun secara keseluruhan.
2. Menganalisis interaksi antara model pembelajaran dengan PAM siswa
terhadap peningkatan serta pencapaian KPM siswa ditinjau dari ST, SA
3. Menganalisis interaksi interaksi antara model pembelajaran dengan level
sekolah terhadap peningkatan serta pencapaian KPM siswa secara
keseluruhan.
4. Menganalisis apakah ada perbedaan peningkatan serta pencapaian KPMM
siswa yang memperoleh pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST,
SA maupun secara keseluruhan.
5. Menganalisis interaksi antara model pembelajaran dengan PAM siswa
terhadap peningkatan serta pencapaian KPMM siswa ditinjau dari ST, SA
maupun secara kesluruhan.
6. Menganalisis interaksi interaksi antara model pembelajaran dengan level
sekolah terhadap peningkatan serta pencapaian KPMM siswa secara
keseluruhan.
7. Menganalisis apakah ada perbedaan peningkatan KDM siswa yang
memperoleh pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun
secara keseluruhan.
8. Menganalisis interaksi antara model pembelajaran dengan PAM siswa
terhadap peningkatan KDM siswa ditinjau dari ST, SA maupun secara
kesluruhan.
9. Menganalisis interaksi interaksi antara model pembelajaran dengan level
sekolah terhadap peningkatan KDM siswa secara keseluruhan.
10.Menganalisis bagaimanakah hubungan antara KPM, KPMM dan KDM siswa
setelah memperoleh pembelajaran CTLJ, CTL maupun PK.
E. MANFAAT PENELITIAN
Seperti yang telah dikemukakan dalam latar belakang masalah, dengan
dilakukannya penelitian ini diharapkan bermanfaat:
1. Bagi siswa SMK, diharapkan pembelajaran kontekstual menyediakan suatu
pengalaman yang banyak berkaitan dengan situasi kontekstual dalam dunia
nyata, sehingga diharapkan bila mereka telah lulus sekolah dapat menerapkan
pengetahuannya di dunia kerja dan kehidupan sehari-harinya tanpa mendapat
hambatan yang berarti.
2. Bagi para pendidik matematika, diharapkan pembelajaran kontekstual ini
dapat menjadi salah satu sumber rujukan dalam menerapkan pembelajaran
matematika pada suatu materi tertentu agar peserta didik dapat lebih
memahami konsep dan mampu memecahkan masalah matematis, dalam
rangka mempersiapkan peserta didiknya memasuki dunia kerja.
3. Bagi peneliti, merupakan pengalaman yang berharga sehingga penelitian ini
dapat dijadikan salah satu rujukan teori mengenai pembelajaran matematika
yang bersifat konstruktivitis kontekstual, serta membuka suatu wawasan
penelitian pendidikan matematika dalam mengembangkan kemampuan
pemahaman dan pemecahan masalah matematis pada jenjang pendidikan
lainnya.
4. Bagi para pengambil kebijakan pendidikan, agar lebih memahami
pembelajaran kontekstual serta implementasinya sehingga pendekatan
pembelajaran tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah rujukan dalam
F. DEFINISI OPERASIONAL
Untuk memperoleh kesamaan persepsi tentang definisi operasional yang
digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan istilah yang digunakan,
yaitu:
1. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah suatu konsep proses
kegiatan belajar-mengajar yang diawali dengan menghadapkan siswa pada
masalah nyata atau yang disimulasikan, dikemas dalam suatu konteks sosial
dan fisik yang menantang siswa, kemudian diangkat kedalam konsep yang
akan dipelajari. Pembelajaran kontekstual ini berisikan karakterisitik sebagai
berikut: berbasis masalah kontekstual terstruktur, berpandangan
konstruktivisme (constructivism), mengajukan pertanyaan (questioning),
menemukan (inquiry), komunitas belajar (learning community), menggunakan
model (modeling), melaksanakan refleksi (reflection) dan authentic
assessment.
2. Kolaborasi pembelajaran kontekstual dengan metode jigsaw II adalah
pembelajaran matematika yang menggunakan karakteristik pendekatan
kontesktual dalam seting pembelajaran kooperatif dengan metode jigsaw II.
3. Kemampuan pemahaman matematis siswa adalah suatu kemampuan
menginterpretasikan, memberikan contoh, mengklasifikasikan, merangkum,
dan membandingkan suatu konsep matematik dalam menyelesaikan persoalan.
4. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa adalah suatu kemampuan
mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan serta kecukupan unsur
matematika, menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah
(sejenis dan masalah baru) di dalam atau di luar matematika, menjelaskan atau
menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, menyusun model
matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata serta menggunakan
matematika secara bermakna (meaningful).
5. Disposisi matematis adalah kecenderungan siswa untuk berpikir dan bertindak
dengan cara yang positif, dengan aspek: (1) keluwesan serta kepedulian siswa
untuk belajar serta mengeksplorasi penyelesaian soal,; (2) keingintahuan dan
kegigihan siswa dalam belajar matematika; (3) kepercayaan diri siswa; (4)
kecenderungan merefleksikan buah pikiran dan hasil kerjanya; (5)
8
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen. Data penelitian ini
dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Tujuan dari metode penelitian ini
adalah untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemahaman, pemecahan
masalah dan disposisi matematis siswa SMK kelompok teknologi sebagai akibat
dari suatu pembelajaran matematika dengan menggunakan tiga pembelajaran yang
berbeda, yaitu kolaborasi pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan jigsaw
II (CTLJ), pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (CTL), serta
pembelajaran konvensional (PK).
Pada penelitian ini ada tiga kelompok siswa yang dipilih secara acak kelas,
yaitu Kelompok I (kelompok eksperimen 1), kelompok II (kelompok eksperimen
2) dan kelompok III (kelompok kontrol). Kelompok I memperoleh perlakuan
berupa pembelajaran matematika dengan pendekatan CTLJ, kelompok II
menggunakan pendekatan CTL, sedangkan kelompok III menggunakan
pendekatan PK.
Sebelum perlakuan, ketiga kelompok diberi tes pengetahuan awal
matematis (PAM), pretes dan nontes berupa skala psikologi tentang kemampuan
disposisi matematis (KDM). Tujuan dilakukannya tes PAM adalah untuk memilah
siswa kedalam peringkat tinggi, sedang dan rendah. Pretes dilakukan hanya pada
materi Bilangan Real, tetapi tidak untuk materi Program linier. Hal ini dilakukan
8
materi Program Linier belum dimiliki dan diajarkan pada siswa sebelumnya.
Berbeda dengan materi Bilangan Real, mereka sudah pernah mengenalnya pada
jenjang sekolah sebelumnya (ada dalam materi bahasan matematika SMP).
Kemudian setelah ketiga kelompok diberikan perlakuan, maka masing-masing
kelompok diberikan postes dan nontes skala KDM. Materi soal postes terdiri dari
materi Bilangan Real dan Program Linier. Soal pretes dan postes untuk materi
Bilangan Real memiliki kiteria kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah
matematis yang ekuivalen.
Berdasarkan uraian di atas, maka desain penelitian eksperimennya adalah
sebagai berikut:
O1 X1 O1,2
O1 X2 O1,2
O1 O1,2
Keterangan:
O1 = Pretes materi Bilangan Real
O1,2 = Postes materi Bilangan Real dan Program Linier
X1 = Perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan CTLJ
X2 = Perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan CTL
B. Variabel Penelitian
Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel manipulasi (bebas). Variabel ini adalah pembelajaran CTLJ, CTL
8
2. Variabel respon (terikat). Varibel terikat adalah hasil belajar siswa berupa
KPM, KPMM dan KDM.
3. Variabel kontrol. Variabel kontrol terdiri atas: (1) Kategori/level sekolah
(sekolah level atas dan level tengah); (2) Pengetahuan awal matematis siswa
(peringkat tinggi. sedang dan rendah); (3) Waktu yang digunakan untuk KBM.
Keterkaitan antara variabel bebas, variabel terikat dan variabel kontrol
disajikan dalam model Weiner pada tabel 3.1.
Tabel 3.1
Keterkaitan antara Kemampuan Pemahaman, Pemecahan Masalah, Disposisi Matematis, Kelompok Pembelajaran, Level Sekolah dan PAM
Level
Kemampuan pemahaman matematis kelompok tinggi dengan menggunakan pendekatan CTLJ pada siswa level sekolah atas.
8
C. Populasi dan Sampel
Populasi yang terlibat dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMK
kelompok teknologi se-Kabupaten Majalengka, sedangkan SMK yang dijadikan
sampel adalah sekolah yang berada pada sekolah level atas dan level tengah
dengan pertimbangan bahwa di Majalengka sekolah kelompok teknologi berada
pada sekolah level atas dan level tengah. Selain itu, pemilihan kategori/level
sekolah ditetapkan menurut klasifikasi sekolah dari Dinas Pendidikan Nasional
setempat dan berdasarkan hasil Ujian Nasional tahun pelajaran 2007/2008.
Pemilihan sampel sekolah dalam penelitian ini diambil secara purposive
sampling untuk memilih satu sekolah level atas dan satu sekolah level tengah.
Selanjutnya dipilih secara acak kelas, tiga kelas sampel dari tiap level SMK yang
akan mempelajari materi Bilangan Real dan Program Linier sesuai kurikulum
yang berlaku, sehingga kelompok sampel kelas penelitian tidak membentuk kelas
baru, tetapi menggunakan kelas yang sudah ada di SMK yang terpilih tersebut.
D. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya
Untuk memperoleh data yang diperlukan, penelitian ini menggunakan
instrumen penelitian berupa tes pengetahuan awal matematis, disposisi matematis,
format observasi selama proses pembelajaran berlangsung, format wawancara,
lembar junal, serta tes untuk hasil belajar (pretes dan postes). Untuk patokan
kegiatan pembelajarandibuat rencana pembelajaran dengan pendekatan CTLJ dan
CTL serta bahan ajar yang disertai soal-soal yang berpeluang menumbuhkan
8
1. Tes Pengetahuan Awal
Tes pengetahuan awal adalah tes yang berisikan soal-soal yang berkaitan
dan dapat menunjang pemahaman materi kompetensi dasar tentang pemecahan
masalah yang berkaitan dengan aturan konsep pada materi Bilangan Real dan
Program Linier kelas X SMK kelompok teknologi. Tujuan tes ini untuk
mengetahui pengetahuan yang dimiliki siswa sebelum pembelajaran berlangsung
serta kesiapan siswa menguasai materi yang akan dipelajari, yaitu materi Bilangan
Real dan Program Linier. Selain itu, hasil tes pengetahuan awal digunakan juga
untuk mengetahui kelompok siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan rendah
(PAM siswa) serta kesetaraan rerata pengetahuan awal matematis antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Untuk tujuan tersebut, peneliti membuat 15 buah soal uraian tes PAM dari
materi pokok bahasan matematika SMP seperti irisan himpunan, operasi bilangan
bulat dan pecahan, skala dan perbandingan, pertidaksaman linier satu dan dua
variabel, persamaan linier dua variabel, sistem persamaan linier satu dan dua
variabel, operasi dasar logaritma serta bilangan berpangkat dan bentuk akar.
Secara lengkap instrumen tes PAM dapat dilihat pada Lampiran B.2.a.
Masing-masing skor soal tes PAM berkisar antara 3 hingga 4, sehingga
setiap siswa akan memperoleh skor maksimal adalah 49. Untuk pembentukan
anggota kelompok belajar pada kelas eksperimen, nilai tes PAM tersebut
ditambah dengan nilai rerata harian yang dilakukan oleh guru matematika di kelas
yang bersangkutan. Dengan demikian, peringkat siswa, khusus pada sekolah level
8
nilai rerata harian yang sudah ada sebelumnya, sehingga penentuan klasifikasi
PAM siswa mendekati yang sebenarnya. Tetapi untuk pengelompokkan, siswa
secara keseluruhan (gabungan sekolah level atas dan level tengah) klasifikasi
peringkat siswa hanya berdasarkan hasil tes PAM, hal ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa nilai-nilai harian dari guru matematika di kedua level
sekolah penelitian itu berbeda dalam cara pembobotannya. Kriteria PAM siswa
adalah sebagai berikut.
PAM ≥27% KSST : Siswa kelompok tinggi
27% KSSD ≤ PAM < 27% KSST : Siswa kelompok sedang
PAM < 27% KSSD : Siswa kelompok rendah
Keterangan:
KSST : Kelompok dari siswa yang memperoleh skor tertinggi
KSSD : Kelompok dari siswa yang memperoleh skor terendah
Namun sebelum tes PAM digunakan, dilakukan Validasi secara logis
(validasi konstruk dan isi) melalui bimbingan para pembimbing serta penimbang
dari dua orang dosen dan tiga guru matematika SMK dan 1 guru SMP. Validasi
konstruk (muka), meliputi: kejelasan dari segi bahasa, kejelasan dari sisi format
penyajian, kejelasan dari segi gambar/representasi. Validasi isi, meliputi:
kesesuaian dengan materi pokok yang akan diajarkan, kesesuaian dengan
indikator pencapaian hasil belajar, serta tingkat kesukaran yang mungkin dicapai.
8
Tabel 3.2
Hasil Pertimbangan Validasi Konstruk Tes PAM
No.
Hasil Pertimbangan Validasi Isi Tes PAM
No.
Hasil analisis uji statistik Cochran-Q dari para penimbang dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui apakah para penimbang telah melakukan
8
Ringkasan hasil uji keseragaman pertimbangan para penimbang
disajikan pada Tabel 3.4
Tabel 3.4
Uji Cochran’s Q Keseragaman Pertimbangan terhadap Validitas Konstruk dan Validitas Isi Tes PAM
Aspek
Validasi Hasil Uji Keseragaman
Validitas
disimpulkan bahwa enam penimbang telah memberikan pertimbangan yang
seragam terhadap setiap butir tes PAM. Dengan demikian, instrumen tes PAM
yang disusun layak digunakan dalam penelitian ini.
Dari hasil pengelompokkan berdasarkan hasil tes PAM, diperoleh jumlah
siswa yang berada pada PAM berkategori tinggi, sedang dan rendah sesuai dengan
klasifikasi level sekolah, disajikan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5
8
2. Instrumen Skala Disposisi Matematis
Instrumen skala kemampuan disposisi matematis (KDM) berupa skala
Likert. Skala disposisi matematis ini berisi daftar pertanyaan atau pernyataan yang
sudah ada pilihan jawaban dan diberikan kepada responden baik secara langsung
atau tidak langsung sehingga peneliti dapat mengetahui keadaan responden lebih
mendalam. Instrumen skala disposisi matematis yang digunakan adalah skala
Likert dengan 4 item pilihan jawaban yaitu SS (sangat setuju), S (setuju), TS
(tidak Setuju) dan STS (sangat tidak setuju), 4 item pilihan ini berguna untuk
menghindari responden ragu-ragu atau rasa aman untuk tidak memihak pada suatu
pernyataan yang diajukan. Skala disposisi matematis model Likert dalam
penelitian ini berguna untuk mengetahui respon atau disposisi matematis sebelum
dan sesudah perlakuan. Secara lengkap instrumen skala KDM dapat dilihat pada
Lampiran B.2.e.
Skala KDM terdiri atas 50 item. Instrumen ini diberikan sebelum dan
setelah pelaksanaan penelitian tes KPMM yang sebelumnya divalidasi secara logis
oleh para pembimbing, dosen-dosen matematika STKIP Yasika Majalengka,
rekan-rekan mahasiswa Prodi Matematika Pasca Sarjana UPI Bandung serta tiga
orang guru matematika SMK Majalengka. Setelah validitas isi dipenuhi, maka
langkah selanjutnya adalah melakukan uji validitas empiris yang diujicobakan
pada subyek penelitian sebelum pembelajaran. Validitas butir tes skala KDM
diestimasi dan dilakukan berdasarkan “Cara Pemberian Skor Butir Skala
Psikologik” sesuai analisis statistik distribusi normal (Azwar,2008:142). Dengan
8
pernyataan dan bobot skor setiap option pilihan dari tiap item pernyataan (SS, S,
T, ST).
Proses perhitungan validasi tes KDM menggunakan bantuan Microsoft
Office Excel 2007. Selanjutnya, setelah pemberian skor dan validasi instrumen
KDM, ternyata terdapat dua buah item pernyataan instrumen KDM yang tidak
valid, yaitu no 31, dan 46. Data hasil uji coba, proses perhitungan penskoran dan
validitas setiap item pernyataan KDM secara lengkap terdapat pada Lampiran C.7.
Rekapitulasi hasil uji validitas item pernyataan KDM disajikan pada Tabel 3.6,
sedangkan rekapitulasi perolehan skor KDM disajikan pada Tabel 3.7.
Tabel 3.6
Rekapitulasi Hasil Uji Coba Validitas Item Pernyataan KDM Siswa
No.
SV = Signifikan Valid; TSV = Tidak Signifikan Valid
8
Tabel 3.7
Skor Setiap Item Skala KDM yang Valid
No
Format observasi digunakan untuk mengetahui tentang bagaimanakah
tingkat aktivitas siswa selama proses belajar mengajar ketika bahan ajar
kontekstual (CTLJ dan CTL) diterapkan. Dalam penelitian ini aktivitas siswa
diamati oleh peneliti yang berperan sebagai guru maupun oleh 3 orang pengamat
yang telah mendapatkan pengetahuan tentang pembelajaran matematika dengan
pendekatan CTLJ dan CTL, sehingga hal tersebut memungkinkan secara cermat
dalam mengungkap tentang bagaimanakah tingkat aktivitas siswa selama proses
belajar mengajar ketika bahan ajar CTLJ dan CTL diterapkan. Selain itu,
8
Hal ini dilakukan untuk mengontrol peneliti agar tetap sesuai dengan model
pembelajaran yang dieksperimenkan.
Pedoman observasi berupa daftar cek dengan lima pilihan tingkat aktivitas:
(1) A = Sangat Baik; (2) B = Baik; (3) C = Sedang; (4) D = Jelek; (5) E = Sangat
Jelek, serta dilengkapi dengan catatan singkat dari observer. Gejala/peristiwa yang
diamati dalam pedoman obervasi, yaitu merujuk pada aktivitas-aktivitas guru dan
siswa berkaitan dengan kegiatan pendekatan pembelajaran CTLJ dan CTL. Selain
itu, format observasi divalidasi secara logis, berdasarkan studi literatur dan saran
dari rekan-rekan dosen STKIP Yasika, pertimbangan dari dosen pembimbing serta
saran dari teman-teman mahasiswa matematika pasca sarjana UPI dan tiga orang
guru SMK. Dengan demikian bentuk format, kalimat dan gejala/peristiwa yang
akan diamati serta hasil dari pengamatan dapat dipertanggungjawabkan. Format
observasi dapat dilihat pada Lampiran B.5.
4. Format Wawancara
Agar informasi yang akan didapatkan tidak melebar tapi terfokus pada
penelitian maka dibuatlah pedoman format wawancara yang berguna untuk
mengetahui respon siswa terhadap pendekatan pembelajaran CTLJ dan CTL, serta
respon siswa terhadap unsur-unsur KDM.
Wawancara dilakukan setelah pembelajaran berakhir. Wawancara hanya
dilakukan pada kelas eksperimen dan subyek yang akan diwawancarai diambil
secara acak dari kelas eksperimen berdasarkan peringkat kemampuan
matematisnya. Format wawancara, disusun atas saran dari tiga orang guru SMK,
8
bimbingan dosen pembimbing. Format wawancara dapat dilihat pada Lampiran
B.6.
5. Soal Pretes dan Postes
Soal tes digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman dan
pemecahan masalah matematis siswa. Soal ini disusun dalam bentuk tes uraian
untuk pretes dan postes yang dibagi dalam dua kelompok:
1. Kelompok pertama adalah soal untuk mengukur peningkatan KPM dan
KPMM siswa, terdiri dari lima buah soal pretes-postes KPM dan KPMM pada
materi Bilangan Real.
2. Kelompok kedua adalah soal-soal untuk mengukur pencapaian KPM dan
KPMM siswa pada gabungan materi Bilangan Real dan Program Linier, yaitu
terdiri dari lima buah soal postes KPM dan KPMM pada materi Bilangan
Real, serta empat buah soal postes KPM dan KPMM pada materi Program
Linier.
Pretes dilakukan hanya dilakukan untuk materi Bilangan Real, tidak untuk
materi Program linier. Hal ini dilakukan karena kemampuan pemahaman dan
pemecahan masalah pada materi Program Linier belum dimiliki dan diajarkan
pada siswa sebelumnya. Berbeda dengan materi Bilangan Real, mereka sudah
pernah mengenalnya pada jenjang sekolah sebelumnya (ada dalam bahasan materi
matematika SMP). Secara lengkap instrumen tes ada pada Lampiran B.2.b-2.d.
Namun sebelum instrumen tes tersebut digunakan, dilakukan uji coba soal.
Uji coba soal dimaksudkan untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya validitas
8
divalidasi secara logis untuk melihat validitas isi dan validitas muka. Dengan
demikian pengembangan kedua tes ini, dilakukan melalui langkah-langkah
sebagai berikut: (1) Membuat kisi-kisi soal berdasarkan materi yang akan dicapai;
(2) Menyusun soal tes; (3) Konsultasi dan revisi berdasarkan pertimbangan dosen
pembimbing serta saran rekan-rekan mahasiswa pasca sarjana UPI dan dosen
matematika STKIP Yasika; (4) Melakukan uji coba soal. Uji coba dilaksanakan di
SMKN 1 Panyingkiran dan SMK PUI Majalengka pada kelas XII yang sudah
mempelajari materi Bilangan Real dan Program Linier. Kemudian ditindaklanjuti
dengan revisi ulang soal tes.
a) Analisis Validitas Tes
Suatu alat evaluasi disebut valid jika alat tersebut mampu mengukur apa
yang semestinya diukur. Sedangkan validitas tes yang akan dikaji dalam
penelitian ini terdiri dari: (1) validitas logis; (2) validitas empiris.
Validitas logis. Validitas ini berupa validitas isi dan validitas
konstruk/muka. Validitas alat evaluasi/instrumen dalam penelitian ini di peroleh
berdasarkan saran, arahan rekan-rekan dosen STKIP Yasika, rekan-rekan
mahasiswa S3 Pascasarjana UPI Bandung dan pertimbangan dosen pembimbing,
sehingga ketepatan alat evaluasi instrumen penelitian ditinjau dari segi materi,
keabsahan susunan kalimat yang dipakai merupakan alat yang representatif untuk
mengetahui pengetahuan, KPM dan KPMM yang akan dicapai.
Validitas empiris (kriterium). Validitas empiris, yaitu berupa validitas
butir soal. Ukuran validitas butir soal adalah seberapa jauh soal tersebut mengukur
8
mempunyai dukungan yang besar terhadap skor totalnya. Perhitungan validitasnya
dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi produk moment. Rumusnya
adalah sesuai dengan pendapat Arikunto (2002 : 75-78), yaitu:
RX,Y =
validitas alat evaluasi sesuai dengan pendapat Guilford (Suherman, 2003:113)
adalah:
Reliabilitas tes adalah tingkat keajegan suatu tes. Analisis reliabilitas tes
uraian, menurut Arikunto (2002 : 109) menggunakan rumus Alpha berikut:
8
∑
2i
σ = jumlah varians skor tiap-tiap item
2 t
σ = varians total
Penentuan tolak ukur koefisien reliabilitas menurut Guilford (Suherman,
2003: 139) adalah sebagai berikut:
r11≤ 0,20 derajad reliabilitas sangat rendah
0,20 ≤ r11 < 0,40 derajad reliabilitas rendah
0,40 ≤ r11 < 0,70 derajad reliabilitas sedang
0,70 ≤ r11 < 0,90 derajad reliabilitas tinggi
0,90 ≤ r11 ≤1,00 derajad reliabilitas sangat tinggi.
Selanjutnya menurut Arikunto (2002: 112), dengan diperolehnya koefisien
korelasi yakni r11 sebenarnya baru diketahui tinggi rendahnya koefisien tersebut.
Lebih sempurnanya penghitungan reliabilitas sampai pada kesimpulan, sebaiknya
hasil tersebut dikonsultasikan dengan tabel r product moment. Jika r11 > r tabel
maka tolak ukur reliabilitas yang dihitung adalah signifikan.
c) Analisis Daya Pembeda
Daya pembeda soal, adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan
antara siswa yang berkemampuan tinggi (pandai) dengan siswa yang memiliki
kemampuan rendah (kurang). Sebuah soal dikatakan mempunyai daya pembeda
yang baik jika siswa yang pandai dapat mengerjakan dengan baik, dan siswa yang
8
Menurut Suherman (2003: 161) klasifikasi interpretasi untuk daya
pembeda (DP) adalah:
Cara menentukan daya pembeda dibedakan antara kelompok kecil
(responden kurang dari 30) dan kelompok besar (30 orang ke atas). Menurut
Arikunto (2002: 212) dengan jumlah responden yang kecil, maka pembagian
kelompok tinggi dengan kelompok rendah dilakukan dengan membagi dua sama
banyak, yuaitu 50% kelompok atas dan 50% kelompok bawah, sedangkan untuk
kelompok besar biasanya diambil 27% skor teratas sebagai kelompok atas (JA)
dan 27% skor terbawah sebagai kelompok bawah (JB).
Rumus untuk mencari indeks diskriminasi daya pembeda (DP), menurut
Arikunto (2002 : 213) adalah:
DP =
JA = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal itu dengan benar.
JB = banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar.
PA = proporsi peserta kelompok atas.
PB = proporsi peserta kelompok bawah.
BA = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar
8
d) Analisis Tingkat Kesukaran Tes
Tingkat kesukaran soal adalah peluang untuk menjawab benar suatu soal pada
tingkat kemampuan tertentu, yang biasanya dinyatakan dengan indeks atau
prosentase. Semakin besar prosentasenya tingkat kesukaran maka semakin mudah
soal tersebut.
Untuk menghitung tingkat kesukaran soal uraian dapat ditempuh dengan
langkah sebagai berikut:
1. Menghitung jumlah skor-skor peserta didik pada suatu soal ( JSP).
2. Menghitung jumlah skor maksimum peserta didik pada suatu soal (JSM)
3. Menghitung tingkat kesukaran soal (TK). TK =
JSM JSP
x 100%
4. Menentukan kriteria/proporsi dalam menafsirkan tingkat kesukaran.
Menurut Subino (1987: 95), tingkat kesukaran suatu butir soal tes
berbentuk esai dapat digolongkan sebagai kualifikasi sukar apabila siswa dapat
menjawab dengan benar hanya sampai dengan 27%, kualifikasi sedang apabila
proporsi tersebut berentangan antara 28% sampai dengan 72%, dan kualifikasi
mudah apabila proporsi tersebut minimum 73%.
Perhitungan validitas butir soal, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya
pembeda soal menggunakan Microsoft Office Excel 2007. Hasil perhitungannya
secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran C.2 s.d C.5, sedangkan rekapitulasi
8
Tabel 3.8
Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Soal Tes KPM dan KPMM dari Materi Bilangan Real dan Program Linier
Materi Aspek No
Keterangan: ST= Sangat Tinggi; T=Tinggi; Sd= Sedang; Sig=Signifikan
Untuk memperoleh data kemampuan pemecahan masalah matematis
dilakukan skala penskoran KPMM terhadap jawaban siswa tiap butir soalnya.
Menurut Szetela dan Nicol (Chicago Public Schools Buraeu of Student
Assesment, 2009) rubrik skala penskoran penyelesaian/pemecahan masalah
matematis dan pedoman penilaiannya terdiri dari tiga aspek, yaitu (1) aspek
memahami masalah, (2) aspek menyelesaikan masalah, (3) aspek menjawab
8
Dengan demikian, rubrik skala penskoran KPMM tersebut adalah sebagai
berikut:
Skala I: Memahami Masalah
4 : Memahami permasalahan secara lengkap
3 : Sebagian kecil salah interpretasi permasalahannya 2 : Sebagian besar salah interpretasi permasalahan 1 : Salah interpretasi permasalahan secara lengkap 0 : Sama sekali tak memahami masalah
Skala II: Menyelesaikan Permasalahan
4 : Membuat rencana yang dapat memberi petunjuk penyelesaian yang benar tanpa kesalahan perhitungan/secara aritmatika
3 : Secara substansial membuat prosedure yang benar dengan kesalahan prosedur yang kecil.
2 : Sebagian prosedur benar tapi melakukan kegagalan/kesalahan besar 1 : Secara total membuat perencanaan yang tak lengkap
0 : Tak ada perencanaan sama sekali
Skala III: Menjawab Permasalahan
2 : Menjawab permasalahan secara benar
1 : Melakukan kesalahan-keselahan berulang; kesalahan perhitungan, menjawab sebagian permasalahan dari berbagai jawaban; Tak ada pernyataan jawaban; jawaban dengan label yang tidak benar
0 : Tak ada jawaban atau jawaban salah yang dilandasi perencanaan yang tidak tepat
Secara lengkap, pedoman skala penskoran KPMM disajikan sesuai Tabel
3.9.
Tabel 3.9
Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
8 prosedure yang benar dengan kesalahan prosedur yang kecil.
Skor maksimal 4 Skor maksimal 4 Skor maksimal 2
Interpretasi dari Szetela, W dan Nicol, C dalam buku Evaluating Problem Solving in Mathematics. Educational Leadership.hal..42-45 (Chicago Public Schools Bureau of Student Assesment, 2009) http:/ intranet.cps.k12.il.us / Assessments/Ideas_and_Rubrics/ Rubric _Bank/ MathRubrics.pdf. .
Diakses April 2009.
Kriteria penskoran KPM merupakan modifikasi dari penskoran KPMM.
Dengan demikian, perolehan skor KPM tergantung dari langkah-langkah konsep
penyelesaian matematisnya. Sebagai contoh soal dan pemberian skor KPM adalah
sebagai berikut:
8
Langkah-langkah rubrik penyelesaian untuk soal tersebut adalah sebagai berikut:
Langkah
Total skor maksimum 8
Rata-rata jumlah total skor maksimum (TSM) jawaban KPM untuk materi Bilangan Real adalah delapan dengan TSM 40, sedangkan rata-rata jumlah total skor maksimum jawaban materi Program Linier adalah tujuh setengah dengan TSM 30.
6. Pengembangan Bahan Ajar dan Desainnya
8
pembelajaran CTLJ dan CTL agar siswa memperoleh KPM dan KPMM serta
KDM pada materi Bilangan Real dan Program Linier.
Sebelum bahan ajar digunakan pada kelas eksperimen, terlebih dahulu
dilakukan validasi oleh berbagai pihak yang berkompeten, yakni pembimbing,
pakar pendidikan matematika, guru matematika SMKN 1 Panyingkiran dan SMK
PUI Majalengka. Dengan demikian, pendisainan bahan ajar kontekstual (CTLJ
dan CTL) merupakan suatu bahan ajar yang benar-benar sesuai materi yang akan
diteliti dan diperkirakan dapat memenuhi target penelitian. Aktifitas
pengembangan terus dilakukan sampai desain bahan ajar kontekstual dirasakan
cukup memadai untuk diujicobakan di lapangan. Uji coba pembelajaran dilakukan
pada subyek sekolah tempat penelitian di kelas yang berbeda dengan sampel
penelitian yang terpilih. Setelah dirasa cukup memadai maka bahan ajar tersebut
digunakan dalam penelitian.
7. Kegiatan Pembelajaran
Proses kegiatan pembelajaran dalam penelitian ini dilakukan pada tingkat
1 (kelas X) kelompok teknologi program Teknik Mesin Otomotif (TMO1, TMO2,
TMO4 SMK PUI) serta program Rekayasa Perangkat Lunak (RPL1, RPL2) dan
program Teknik Komputer Jaringan (TKJ2) SMKN 1 Panyingkiran Majalengka.
Kelompok eksperimen-1 adalah kelas TKJ2 dan TMO4, yang para
siswanya memperoleh pendekatan CTLJ. Kelompok eksperimen-2 adalah kelas
RPL1 dan TMO2, yang para siswanya memperoleh pendekatan CTL, sedangkan
kelas RPL2 dan TMO1 adalah kelompok kontrol yang pembelajarannya secara
8
Berikut ini, disajikan langkah-langkah kegiatan guru dan siswa dalam
kegiatan kolaborasi/gabungan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan
Jigsaw II.
a) Pendahuluan
1) Guru dan siswa membentuk kelompok komunitas belajar dengan tingkat
kemampuan tiap kelompoknya heterogen.
2) Guru menginformasikan tentang pendekatan pembelajaran yang akan
diberikan serta tata cara pembelajaran siswanya
3) Guru memberitahu tentang tugas-tugas yang akan diberikan serta aturan
cara mengerjakan dan bentuk penilaiannya.
4) Guru memberi pelatihan pada siswa tentang tata cara belajar pada
kelompok asal, kelompok ahli, diskusi kelas dan presentasi serta
bagaimana cara mengemukakan pertanyaan dan menjawab pertanyaan.
b) Diskusi
1) Guru menjelaskan tujuan indikator pembelajaran yang akan dicapai.
2) Guru memberikan motivasi atau apersepsi dengan pengajuan beberapa
pertanyaan akan manfaat materi pelajaran serta menggali untuk
mengingatkan pengetahuan prasyarat yag berkaitan dengan materi ajar
yang diberikan.
3) Penyajian masalah kontekstual, yaitu: (a) Guru menyajikan masalah
kontekstual pada LKS; (b) Siswa membaca, memahami masalah dan
8
kesempatan untuk bertanya, dan guru bertindak sebagai fasilitator dan
negoisator pada seluruh siswa dalam mempelajari materi tersebut.
4) Siswa memahami dan menyelesaikan masalah kontekstual, terdiri dari: (a)
Siswa berdiskusi pada anggota kelompok ahlinya, berbagi pengetahuan,
sharing idea dalam menjawab persoalan-persoalan terpilih; (b) Guru
berkeliling pada setiap kelompok ahli untuk memberi bantuan jika
diperlukan dengan cara scaffolding dan melakukan pertanyaan bantuan
umpan balik; (c) Siswa diberikan peluang yang seluas-luasnya agar dapat
menyelesaikan masalah dengan cara lain dan modelnya sendiri; (d) Guru
selalu memonitor pemodelan dan evaluasi jawaban masalah dari kelompok
ahli atau kelompok asal; (e) Melalui penemuan terbimbing baik dalam
lembar LKS maupun diskusi terbatas pada kelompok-kelompok ahli atau
kelompok asal, siswa didorong agar mampu menjawab permasalahan yang
disajikan.
5) Membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah, terdiri atas: (a)
Guru memberi kesempatan pada siswa untuk mendiskusikan jawaban; (b)
Siswa berdiskusi dan menjelaskan materi hasil diskusi dari kelompok ahli
pada anggota kelompok asalnya, berinetraksi, melakukan negoisasi dan
adaptasi serta berbagi pengetahuan dalam menjawab seluruh
persoalan-persoalan terpilih; (c) Melalui penemuan terbimbing baik dalam lembar
LKS maupun diskusi terbatas pada kelompok-kelompok ahli atau
kelompok asal, siswa didorong agar mampu menjawab permasalahan
8
memberikan kesempatan siswa dalam mempresentasikan hasil kerja
kelompok asalnya ke depan kelas; (e) Guru memberikan kesempatan pada
kelompok lain dalam menanggapi hasil presentasi (diskusi kelas).
c) Belajar Mandiri.
1) Pada saat siswa mempelajari materi awal, dan bagaimana mencari jawaban
penyelesaian dari soal-soal terpilih.
2) Menyelesaikan soal-soal latihan pada LKS Mandiri atau buku pelajaran.
3) Menyelesaikan soal Quiz setelah pembelajaran.
d) Tahap Refleksi dan Penyimpulan.
Tahapan refleksi dan penyimpulan dilakukan melalui:
1) Melalui metode penemuan, guru membantu siswa untuk menarik
kesimpulan bagaimana konsep matematika dapat menyelesaikan dan
menjawab persoalan terpilih.
2) Melalui tanya jawab guru membantu siswa melakukan evaluasi terhadap
jawaban yang sudah ada, apakah ada cara lainnya, bagaimanakah jika…?
Coba kerjakan…!
3) Melalui presentasi siswa mengungkapkan strategi atau konsep-konsep
khusus dalam menjawab permasalah terpilih.
4) Guru mengulas kembali tentang konsep yang baru dipelajari, dan
mengarahkan siswa agar merangkum materi pelajara serta memberikan
8
5) Siswa menuliskan atau mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan mengenai
materi yang belum dipahami serta menuliskan strategi-strategi
penyelesaian masalah yang sudah dipahaminya pada lembar jurnal.
Perbedaan pendekatan pembelajaran CTLJ dan CTL terletak pada saat
mempelajari materi awal, intervensi guru dan diskusi pada tahap proses
pemahaman dan pemecahan masalah yang disajikan. Dengan demikian, tahapan
pembelajaran CTL lainnya adalah serupa dengan CTLJ.
Sedangkan, kegiatan pada pembelajaran konvensional (PK) dilakukan
guru dengan menjelaskan materi/konsep, membahas contoh soal dari yang tidak
kontekstual dilanjutkan dengan contoh-contoh lainnya. Membahas permasalahan
kontesktual hanya dilakukan pada materi konsep pamuncak. Kemudian guru
memberi soal-soal untuk latihan, guru berperan sentral dalam setiap pembelajaran,
sebagai nara sumber utama pembelajaran. Siswa pada umumnya berperan sebagai
penerima informasi pengetahuan, interaksi monoton, sekali-kali ada tanya jawab
tetapi bersifat satu arah dan didominasi guru.
8. Tehnik Pengolahan Data
a. Data Hasil Tes dan Nontes
Data hasil tes berupa skor hasil pretes dan postes digunakan untuk
mengetahui tingkat kualitas gain dan pencapaian KPM, KPMM dan KDM siswa,
yang kemudian dilanjutkan dengan penafsirannya sesuai dengan kelompok
pendekatan pembelajaran (CTLJ, CTL dan PK), kategori/level sekolah (SA, ST,
serta gabungan SA dan ST), dan peringkat kelompok PAM siswa (tinggi, sedang
8
hipotesis penelitian, diawali dengan pengujian normalitas data dan homogenitas
data baik terhadap bagian-bagiannya maupun secara keseluruhan. Uji normalitas
data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov Z (K-S-Z) dan homogenitas data
diuji dengan menggunakan uji Lavene. Akan tetapi, apabila data tidak tersebar
secara homogen tetapi sepuluh kali simpangan baku terkecilnya masih lebih besar
dari simpangan baku terbesarnya (Widhiarso, 2008), maka pengolahan data
selanjutnya dilakukan uji anova dua jalur serta dilanjutkan dengan uji post hoc
Shceffe atau Tamhane yang disesuaikan dengan rumusan permasalahannya.
Seluruh perhitungan statistik menggunakan bantuan komputer program SPSS 16,
dengan tingkat signifikansi 5%. Selain dilakukan analisis kuantitatif, peneliti juga
melakukan analisis kualitatif berupa analisis respon siswa terhadap pembelajaran
(CTLJ dan CTL) dan KDM siswa berdasarkan lembar jurnal siswa, lembar
obersvasi aktivitas guru dan siswa wawancara, skala KDM serta analisis korelasi
antara KPM, KPMM dan KDM siswa.
Kualitas peningkatan KPM, KPMM dan KDM dilakukan dengan
menggunakan gain yang ternormalisasi (g). Rumus gain menurut Meltzer (2002)
adalah:
g =
pretes skor -ideal skor
pretes skor -postes skor
Kategori gain yang ternormalisasi (g) adalah:
g < 0,3 ; rendah
0,3 ≤ g < 0,7 ; sedang