• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematis melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Sekolah Menengah Kejuruan No Panggil D MAT KUR p-2010.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematis melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Sekolah Menengah Kejuruan No Panggil D MAT KUR p-2010."

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

PERNYATAAN ... i

LEMBAR PERSEMBAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 17

E. Definisi Operasional ... 18

BAB III STUDI LITERATUR A. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual ... 20

B. Pembelajaran Matematika dengan Metode Jigsaw II ... 28

C. Pembelajaran Matematika secara Konvensional ... 35

D. Pemahaman Matematis ... 36

E. Belajar Matematika dengan Pemahaman ... 44

(2)

I. Penelitian yang Relevan ... 75

J. Hipotesis ... 80

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 87

B. Variabel Penelitian ... 88

C. Populasi dan Sampel ... 90

D. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ... 90

1. Tes Pengetahuan Awal ... 91

2. Instrumen Skala Disposisi Matematis ... 95

3. Format Observasi ... 97

4. Format Wawancara ... 98

5. Soal Pretes dan Postes ... 99

6. Pengembangan Bahan Ajar dan Desainnya ... 108

7. Kegiatan Pembelajaran ... 109

8. Teknik Pengolahan Data ... 113

9. Prosedur Penelitian ... 120

E. Jadwal Penelitian ... 123

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Pengetahuan Awal Matematis Siswa ... 125

1. Analisis Perbedaan Hasil Skor PAM Siswa pada Sekolah Level Tengah ... 127

(3)

B. Analisis Data Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa

untuk Setiap Pembelajaran ... 133 1. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPM Siswa

pada Sekolah Level Tengah ... 137 2. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPM Siswa

pada Sekolah Level Atas ... 149 3. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPM Siswa

Secara Keseluruhan ... 160 C. Analisis Data Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Siswa untuk Setiap Pembelajaran ... 181 1. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPMM Siswa

pada Sekolah Level Tengah ... 184 2. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPMM Siswa

pada Sekolah Level Atas ... 196 3. Analisis Data Peningkatan dan Pencapaian KPMM Siswa

Secara Keseluruhan ... 207 D. Analisis Data Kemampuan Disposisi Matematis Siswa untuk

Setiap Pembelajaran ... 227 1. Analisis Data Peningkatan KDM Siswa pada Sekolah

Level Tengah ... 228 2. Analisis Data Peningkatan KDM Siswa pada Sekolah

Level Atas ... 234 3. Analisis Data Peningkatan KDM Siswa secara Keseluruhan ... 239 E. Hubungan KPM. KPMM, KDM dan PAM Siswa ... 249

1. Analisis Korelasi KPM. KPMM, KDM dan PAM Siswa

Pada Pendekatan CTLJ ... 250 2. Analisis Korelasi KPM. KPMM, KDM dan PAM Siswa

Pada Pendekatan CTL ... 253 2. Analisis Korelasi KPM. KPMM, KDM dan PAM Siswa

Pada Pendekatan PK ... 255 F. Rekapitulasi Hasil Analisis Pengujian Hipotesis ... 258 G. Respon terhadap Pembelajaran dengan Pendekatan CTLJ

(4)

4. Respon Siswa berdasarkan Hasil Jurnal ... 274

H. Pembahasan ... 276

1. PAM Siswa berdasarkan Level Sekolah ... 276

2. Peningkatan dan Pencapaian KPM Siswa ... 279

3. Peningkatan dan Pencapaian KPMM Siswa ... 286

4. Peningkatan KDM Siswa ... 292

5. Hubungan antara KPM, KPMM dan KDM Siswa Ditinjau dari Pendekatan Pembelajaran dan Faktor PAM ... 296

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 299

B. Implikasi ... 302

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang benar-benar unggul

dan dapat diandalkan dalam menghadapi persaingan bebas di segala bidang

kehidupan yang kian ketat sebagai akibat dari globalisasi dunia, merupakan tugas

semua pihak. Penanganannya harus dilakukan secara simultan, berkesinambungan

dan terarah, sehingga keterpurukan bangsa Indonesia segera dapat diatasi guna

mencapai kejayaan bangsa.

Pendidikan yang baik dan tepat dipandang sebagai aset dari sektor yang

strategis adalah untuk mempersiapkan SDM yang berbudi pekerti luhur serta

mumpuni dalam menyelesaikan setiap permasalahan, harus benar-benar ditangani

secara profesional. Hal ini terbukti dengan dilakukannya pembenahan sektor

pendidikan di semua lini oleh pemerintah, baik dari kesejahteraan, sarana dan

prasarana pendidikan, maupun kompetensi pendidiknya.

Usaha-usaha yang intensif dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil

pendidikan sudah selayaknya lebih diperhatikan, karena melalui pendidikan

diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi siswa sebagai calon

SDM yang handal untuk dapat bersikap dan berprilaku kritis, kreatif, logis dan

inovatif dalam menghadapi serta menyelesaikan setiap permasalahan. Hal tersebut

senada dengan pendapat Ruseffendi (1991) yang menyatakan bahwa hasil dari

pendidikan matematika yaitu siswa diharapkan memiliki kepribadian yag kreatif,

(6)

mempunyai perasaan keadilan, dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan

bangsa dan negara. Begitu juga Sumarmo (2004: 1) menyatakan bahwa

pendidikan matematika sebagai proses yang aktif, dinamik, dan generatif melalui

kegiatan matematika (doing math) memberikan sumbangan yang penting kepada

siswa dalam pengembangan nalar, berfikir logis, sistematik, kritis dan cermat,

serta bersikap obyektif dan terbuka dalam menghadapi berbagai permasalahan.

Melalui pengembangan program pendidikan matematika yang berfokus

pada pengkonstruksian, pengembangan pemahaman dan pemecahan masalah

matematis, siswa akan terdorong untuk berpikir matematis secara sistematis, logis

dan cermat. Melalui cara berpikir tersebut, maka di dalam pola pikir siwa akan

tumbuh berbagai doing math, yang mendorong motivasi para siswa untuk bekerja

keras dalam menerapkan hasil belajarnya di kehidupan sehari-hari serta sebagai

bekal untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang

lebih tinggi dalam peran mereka sebagai anggota keluarga, masyarakat dan warga

negara. Sebagaimana tujuan pembelajaran matematika yang merupakan bagian

kelompok program adaptif di tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

(Depdiknas, 2006) yaitu berfungsi untuk membentuk peserta didik sebagai

individu agar memiliki dasar pengetahuan yang luas dan kuat untuk menyesuaikan

diri atau beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungan sosial,

lingkungan kerja, serta mampu mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan

ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

Selain itu, tujuan pembelajaran matematika tingkat SMK kelompok

(7)

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah

2. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

3. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah

4. Menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah

5. Menalar secara logis dan kritis serta mengembangkan aktivitas kreatif dalam memecahkan masalah dan mengkomunikasikan ide. Di samping itu memberi kemampuan untuk menerapkan matematika pada setiap program keahlian.

Oleh karena itu, salah satu tujuan yang harus menjadi prioritas dalam

pembelajaran matematika adalah kemampuan pemahaman dan pemecahan

masalah matematis. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sabandar (2006) yang

menyatakan bahwa pemecahan masalah matematis merupakan suatu kemampuan

yang harus dicapai dan peningkatan berpikir matematis tersebut merupakan

prioritas tujuan dalam pembelajaran matematika. Demikian pula Devlin (2007)

menegaskan pemahaman dan pemecahan masalah matematis merupakan unsur

penting dalam setiap pembelajaran di semua jenjang pendidikan, baik jenjang

persekolahan maupun perguruan tinggi. Bahkan ia menyatakan bahwa

kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis merupakan salah

satu kekuatan yang menjadi tujuan pembelajaran matematika pada level sekolah

menengah, yang memberi peluang besar pada siswa untuk dapat memecahkan

permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, dunia kerja dan ilmu

pengetahuan lainnya.

Kemampuan pemahaman matematis (KPM) penting untuk dimiliki siswa,

(8)

kemampuan pemecahan masalah matematis ((KPMM), ketika seseorang belajar

matematika memahami konsep-konsep, maka saat itulah orang tersebut mulai

merintis kemampuan-kemampuan berpikir matematis yang lainnya, salah satunya

adalah pemecahan masalah matematis. Hal tersebut sesuai dengan pendapat

Sumarmo (2003b) yang menyatakan pemahaman matematis penting dimiliki

siswa karena diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika, masalah

dalam disiplin ilmu lain, dan masalah dalam kehidupan sehari-hari, yang

merupakan visi pengembangan pembelajaran matematika untuk memenuhi

kebutuhan masa kini.

Pemahaman matematis suatu konsep dan pemecahan masalah matematis,

baik yang rumit maupun yang tidak rumit, akan mudah dipahami oleh para siswa

jika mereka diberikan kesempatan untuk memperoleh contoh-contoh kongkrit

yang pernah dikenalinya. Selain itu, dalam pembelajarannya mereka harus

diberikan kesempatan untuk proaktif terlibat secara langsung dalam menemukan

kembali konsep-konsep matematis, serta mempraktekkannya untuk memecahkan

permasalahan dari situasi dan kondisi yang diberikan. Agar memiliki pemahaman

dan pemecahan masalah matematis Ruseffendi (1991) menyarankan sebaiknya

guru mengorganisir sekolah bukan untuk guru mengajar tetapi untuk anak-anak

belajar. Menempatkan anak-anak kepada pusat kegiatan belajar, membantu dan

mendorong anak-anak untuk belajar, bagaimana menyusun pertanyaan, bagaimana

membicarakan dan menemukan jawaban-jawaban persoalan, agar siswa

diaktifkkan menyelesaikan problema-problema matematika dalam

(9)

menarik, menumbuhkan orginalitas berpikir, menemukan sesuatu, menemukan

kembali sesuatu, membuktikan sesuatu dengan cara barunya.

Namun berdasarkan kenyataan di lapangan pendidikan menunjukkan

indikasi yang berbeda, guru terbiasa melakukan pembelajaran secara

konvensional, guru hanya sekedar penyampai pesan pengetahuan, sementara

siswa cenderung sebagai penerima pengetahuan dengan cara mencatat,

mendengarkan dan menghapal, serta berlatih mengerjakan soal-soal yang

disampaikan oleh gurunya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Sumarmo

(1993) yang mengungkapkan bahwa pada umumnya kondisi saat ini dilapangan

pendidikan, diindikasikan pembelajaran matematika kurang melibatkan aktivitas

siswa secara optimal sehingga siswa kurang aktif dalam belajar, begitupula

Wahyudin (1999) menyatakan bahwa guru matematika pada umumnya mengajar

dengan metode ceramah dan ekspositori.

Hasil laporan Trends in International Mathematics and Sciences Study

(TIMSS) tahun 1999 (Suryadi, 2005) menegaskan bahwa secara umum

pembelajaran matematika di Indonesia masih terdiri atas rangkaian kegiatan

berikut: awal pembelajaran dimulai dengan sajian masalah oleh guru, selanjutnya

dilakukan demonstrasi penyelesaian masalah tersebut, dan terakhir guru meminta

siswa untuk melakukan latihan penyelesaian soal. Selain itu hasil penilaian

TIMSS tahun 2003 dengan penekanan pada kemampuan pengetahuan fakta,

prosedur, konsep, pemahaman dan aplikasi matematika serta penalaran ternyata

siswa kelas 8 Indonesia berada pada posisi ke-30 dari 34 negara (Mullis et al,

(10)

meskipun jumlah jam pelajaran matematika sekolah di Indonesia lebih banyak

dibandingkan Malaysia dan Singapura, namun rata-rata prestasi matematika siswa

Indonesia lebih rendah dibandingkan kedua negara tersebut. Hal ini

mengindikasikan bahwa waktu belajar yang digunakan siswa-siswa di sekolah kita

tidak sebanding dengan perolehan prestasi matematika yang dicapainya,

diantaranya kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematisnya.

Walaupun dalam beberapa tahun terakhir anak-anak Indonesia untuk

jenjang olimpiade matematika SMA sudah menunjukkan prestasi yang

menggembirakan, antara lain dengan diperolehnya medali perunggu, serta medali

emas untuk jenjang SD (Suryadi, 2005) namun pada umumnya penggunaan

orginalitas strategi dalam pemecahan masalah tak rutin serta prestasi anak-anak

Indonesia masih jauh ketinggalan dengan negara-negara Asia lainnya.

Hal tersebut, didukung fakta belum memuaskannya kemampuan

pemahaman matematis terlihat dalam nilai rata-rata matematika siswa SMK pada

Ujian Nasional lima tahun terakhir, relatif merupakan nilai terendah dari semua

mata pelajaran yang diujiankan (Depdiknas, 2008). Rendahnya kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa terlihat juga dari rendahnya prestasi

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di ajang Internasional dalam

Program for International Assesment (PISSA) tahun 2003 bahwa Indonesia masih

berada pada peringkat ke 38 dari 40 negara yang berpartisipasi (Syaban, 2008).

Dalam kaitannya hasil pembelajaran terhadap kemampuan disposisi

matematis, seperti siswa mampu menunjukan gairah dalam belajar, menunjukkan

(11)

berbagi dengan orang lain, ternyata pada umunya hasil pembelajaran masih belum

berkotribusi secara memuaskan terhadap kemampuan disposisi matematis siswa.

Hasil penelitian Syaban (2008) mengungkapkan bahwa siswa-siswa yang belajar

matematika dengan pembelajaran konvensional ternyata kurang berkontribusi

terhadap pencapaian kemampuan disposisi matematisnya. Padahal kemampuan

disposisi matematis tersebut akan dapat membuat siswa lebih aktif dalam belajar

matematika, dan jika siswa sudah aktif belajar maka siswa diharapkan akan

meningkat prestasi belajar matematikanya. Sebagaimana National Council of

Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) menyarankan bahwa salah satu penilaian

hasil belajar matematika siswa dapat juga ditinjau dari kemampuan disposisi

matematisnya.

Alasan lain, penelitian tentang peningkatan kemampuan pemahaman dan

pemecahan masalah matematis perlu mendapat perhatian yang lebih serius, karena

hasil sejumlah penelitian pembelajaran matematika (Suryadi, 2005) pada

umumnya masih terfokus pada pengembangan berpikir matematis yang bersifat

prosedural, padahal hasil laporan TIMSS mengungkapkan bahwa pembelajaran

matematika yang lebih menekankan aspek penalaran dan pemecahan masalah

matematis akan mampu menghasilkan siswa berprestasi tinggi. Soedjadi (Nanang,

2009) mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis bagi

seseorang akan membantu keberhasilan orang tersebut dalam kehidupan

sehari-hari.

Berdasarkan fakta-fakta tentang proses dan hasil belajar yang diuraikan di

(12)

inovasi pendekatan pembelajaran yang penekanannya kepada student centred

sehingga kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis, serta

disposisi matematis dapat ditumbuhkembangkan. Salah satu pembelajaran dengan

ciri-ciri tersebut adalah pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.

Pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual disesuaikan

dengan tumbuh-kembangnya ilmu pengetahuan. Konsep/pengetahuan yang akan

dipelajari dibangun oleh siswa, melalui proses tanya jawab dalam bentuk diskusi

kelompok kecil, atau dapat juga siswa diberi materi pelajaran melalui konteks

permasalahan-permasalahan sehari-hari serta aplikasinya dalam bentuk lembar

kerja siswa yang didiskusikan secara berkelompok dengan bimbingan guru.

Dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual, guru

tidak serta merta secara langsung memberi tahu solusi suatu permasalahan yang

disajikannya, tetapi guru menggunakan teknik Scaffolding yaitu membimbing

siswa dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka (divergen) yang

mengarah pada jawaban, memberikan bantuan secara terstruktur pada awal

pembelajaran, kemudian secara bertahap mengaktifkan siswa untuk belajar

mandiri. Selain itu, dengan bimbingan guru pula, siswa dalam

kelompok-kelompok kecil akan saling bertukar pikiran dan saling membantu dalam

memecahkan masalah yang dihadapinya.

Melalui proses pembelajaran tersebut, guru memberi peluang yang lebih

besar agar siswa dapat secara aktif mengkonstruksi, menemukan dan memahami

konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah secara

(13)

aktif terlibat dalam menemukan suatu prinsip dasar, siswa itu akan mengerti

konsep tersebut lebih baik, daya mengingat lebih baik dan mampu menggunakan

konsep tersebut dalam konteks yang lain”

Dengan demikian, melalui pendekatan kontekstual maka konsep-konsep

matematika dan pengetahuan lainnya akan dibangun oleh siswa tahap demi tahap

melalui suatu proses pengkonstruksian pengetahuan secara bermakna. Walaupun,

mungkin pada tahap proses pengkonstruksian pengetahuan untuk memecahkan

permasalahan tidak selalu mulus dilakukan siswa, namun melalui proses

pembelajaran secara berkelompok dan tehnik Scaffolding, siswa akan selalu

tertantang dan berpeluang memiliki kemampuan disposisi matematis.

Selain itu, pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dalam

menyelesaikan permasalahannya dapat melalui proses penemuan

pengetahuan/konsep-konsep matematika yang diperoleh melalui proses

pengkonstruksian berdasarkan pengaktifan dan pengkaitan pengetahuan yang

dimiliki siswa sebelumnya, sehingga siswa akan memiliki peluang besar untuk

dapat memiliki kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis. Hal

ini sejalan dengan pendapat Sumarmo (2005) yang menyatakan bahwa

pembelajaran dengan menerapkan pendekatan Scaffolding, menyajikan

permasalahan non-rutin yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari/aplikasi

matematika dan kegiatan belajar dalam kelompok kecil akan mendorong siswa

memiliki berpikir tingkat tinggi. Salah satu berpikir matematis tingkat tinggi

(14)

Salah satu kekuatan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yaitu

pada awal pembelajarannya siswa diberi permasalahan-permasalahan situasional

yang dikemas dalam bentuk basis-basis konteks permasalahan yang berkaitan

dengan konsep matematika, ilmu pengetahuan lain atau kehidupan nyata, dimana

cara penyelesaiannya dapat dilakukan mandiri atau melalui diskusi, sharing idea

dengan teman, melakukan ekplorasi, investigasi serta pemecahan masalah yang

dapat melibatkan bukan saja satu bidang studi tetapi bila diperlukan mungkin

bidang studi lain, sehingga proses kegiatan tersebut akan merangsang siswa

menggunakan segala kemampuannya dalam menyelesaikan permasalahan.

Sebagaimana Sabandar (2005) menyatakan bahwa situasi pemecahan masalah

merupakan tahapan dimana ketika individu dihadapkan kepada suatu masalah ia

tidak serta merta mampu menemukan solusinya, bahkan dalam proses

penyelesaiannya ia masih mengalami kebuntuan. Pada saat itulah terjadi konflik

kognitif yang berpeluang memaksa siswa untuk berpikir matematis. Berpikir

matematis diantaranya yaitu kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah

matematis serta disposisi matematis.

Seting pembelajaran kontekstual melalui diskusi kelompok dapat dikemas

dengan metode jigsaw II. Dengan metode pembelajaran jigsaw II, selain siswa

mempunyai kelebihan kerjasama tim dalam kelompok, mereka juga dituntut untuk

memahamai spesialisasi tugas/suatu materi yang berbeda-beda dalam

memecahkan suatu permasalahan dengan berdiskusi atau mempelajari suatu

materi pelajaran lebih dari dua kali. Dengan demikian, pembelajaran kontekstual

(15)

pengetahuannnya dengan permasalahan-permasalahan kontekstual, juga mereka

dituntut harus mampu memahami materi secara keseluruhan dan menyampaikan

suatu materi/permasalahan hasil diskusi di kelompok ahli pada teman-teman

anggota kelompok asalnya. Dengan cara tersebut, siswa dapat terlibat secara

proaktif dalam pembelajaran dan siswa akan terlatih menemukan

konsep/pengetahuan sehingga konsep-konsep pengetahuan yang dipelajari siswa

akan menjadi lebih bermakna dalam ingatannya. Hal tersebut senada dengan

Ruseffendi (1991: 330) yang menyatakan : “...menemukan sesuatu oleh sendiri

dapat menumbuhkan rasa percaya terhadap dirinya sendiri, dapat meningkatkan

motivasi (termasuk motivasi intrinsik), melakukan pengkajian lebih lanjut, dapat

menumbuhkan sikap positif terhadap matematika”. Sikap positif tersebut adalah

bagian dari disposisi matematis yang diindikasikan berpeluang guna

meningkatkan prestasi belajar matematika.

Dalam implementasi kolaborasi pembelajaran kontekstual dan metode

jigsaw II perlu memperhatikan peringkat kelompok siswa ataupun level sekolah.

Bagi siswa kelompok tinggi (pandai), pendekatan pembelajaran yang dilakukan

bukanlah suatu hal utama dalam pencapaian ataupun peningkatan kemampuan

pemahaman, pemecahan masalah matematis ataupun disposisinya. Walaupun

demikian, penelitian tentang penerapan kolaborasi pembelajaran kontesktual

dengan metode jigsaw II akan lebih berpeluang dilakukan pada siswa kelompok

tinggi dan sedang, karena pada kelompok ini diprediksi siswa akan lebih mampu

menjelaskan kembali tentang konsep-konsep matematis ataupun cara-cara

(16)

masing-masing, dari materi yang telah didiskusikan dalam kelompok ahlinya. Oleh karena

itu, salah satu pertimbangan terpilihnya sekolah level atas dan menengah yang

dijadikan subjek penelitian, khususnya dalam pengembangan model pendekatan

pembelajaran baru perlu mendapat perhatian. Hal tersebut sesuai dengan pendapat

Suryadi (2005) yang menyatakan bahwa kenyataan menunjukkan bahwa peringkat

sekolah berkaitan dengan kemampuan siswa secara umum (termasuk matematika).

Selain itu, karena sifat ilmu matematika adalah ilmu yang terstruktur dengan ketat.

antara konsep yang satu dengan konsep yang lainnya saling berkaitan, maka

faktor pengetahuan awal matematis perlu mendapat kajian pula dalam suatu

penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Arends (2008: 268), yang menyatakan

bahwa kemampuan awal siswa untuk mempelajari ide-ide baru bergantung pada

pengetahuan awal mereka sebelumnya dan struktur kognitif yang sudah ada.

Penelitian dengan subjek populasi siswa SMK, khususnya pada SMK

kelompok teknologi harus segera dilaksanakan, hal tersebut karena berdasarkan

pada program pemerintah bidang kependidikan yang akan membuka sekolah

kejuruan, sehingga prosentase antara sekolah kejuruan dan sekolah umum adalah

70% berbanding 30%. Selain itu, agar dapat lebih mempersiapkan para lulusannya

untuk memiliki dasar pengetahuan yang luas dan kuat dalam menyesuaikan diri

dengan perubahan yang terjadi di lingkungan sosial, lingkungan kerja, serta

mampu mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan,

teknologi dan seni. Berkaitan dengan dipilihnya subjek populasi, menurut

(17)

dilakukan, karena penelitian-penelitian pada sekolah kejuruan masih sedikit, yaitu

sekitar 5% dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan mahasiswa.

Menyimak harapan dan tujuan pendidikan, kenyataan pahit di lapangan

pendidikan matematika dewasa ini, subjek penelitian, serta gambaran tentang

pendekatan pembelajaran kontekstual yang diharapkan dapat meningkatkan

disposisi matematis siswa dalam mengkonstruksi dan mengeksplorasi konsep,

sehingga siswa diduga mampu memiliki pemahaman matematis serta

meningkatkan pemecahan masalahnya, maka penulis termotivasi untuk meneliti

pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan implementasinya dalam upaya

meningkatkan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis pada

siswa Sekolah Menengah Kejuruan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan, maka rumusan dan

batasan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah ada perbedaan peningkatan KPM siswa yang memperoleh kolaborasi

pembelajaran kontekstual dan metode jigsaw II (CTLJ), pendekatan

kontekstual (CTL) dan pembelajaran konvensional (PK) ditinjau dari sekolah

level tengah (ST), sekolah level atas (SA) maupun secara keseluruhan

(gabungan ST dan SA)?

2. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan kelompok siswa

yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah (PAM) terhadap peningkatan

(18)

3. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah

terhadap peningkatan KPM siswa secara keseluruhan?

4. Apakah ada perbedaan pencapaian KPM siswa yang memperoleh

pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun secara

keseluruhan?

5. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan kelompok siswa

yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah (PAM) terhadap pencapaian

KPM siswa ditinjau dari ST, SA dan secara keseluruhan?

6. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah

terhadap pencapaian KPM siswa secara keseluruhan?

7. Apakah ada perbedaan peningkatan KPMM siswa yang memperoleh

pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun secara

keseluruhan?

8. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan PAM siswa terhadap

peningkatan KPMM siswa ditinjau dari ST, SA maupun secara keseluruhan?

9. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah

terhadap peningkatan KPMM siswa secara keseluruhan?

10. Apakah ada perbedaan pencapaian KPMM siswa yang memperoleh

pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun secara

keseluruhan?

11. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan PAM siswa terhadap

(19)

12. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah

terhadap pencapaian KPMM siswa secara keseluruhan?

13. Apakah ada perbedaan peningkatan KDM siswa yang memperoleh

pembelajaran CTLJ, memperoleh CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun

secara keseluruhan?

14. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan kelompok siswa

yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah (PAM) terhadap peningkatan

KDM siswa ditinjau dari ST, SA dan secara keseluruhan?

15. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah

terhadap peningkatan KDM siswa secara keseluruhan?

16. Apakah ada hubungan antara KPM, KPMM dan KDM siswa setelah

pembelajaran CTLJ, CTL dan PK?

17. Bagaimanakah respon siswa terhadap pembelajaran CTLJ dan CTL

berdasarkan siswa secara keseluruhan?

D. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini

bertujuan untuk:

1. Menganalisis apakah ada perbedaan peningkatan serta pencapaian KPM siswa

yang memperoleh pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST, SA

maupun secara keseluruhan.

2. Menganalisis interaksi antara model pembelajaran dengan PAM siswa

terhadap peningkatan serta pencapaian KPM siswa ditinjau dari ST, SA

(20)

3. Menganalisis interaksi interaksi antara model pembelajaran dengan level

sekolah terhadap peningkatan serta pencapaian KPM siswa secara

keseluruhan.

4. Menganalisis apakah ada perbedaan peningkatan serta pencapaian KPMM

siswa yang memperoleh pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST,

SA maupun secara keseluruhan.

5. Menganalisis interaksi antara model pembelajaran dengan PAM siswa

terhadap peningkatan serta pencapaian KPMM siswa ditinjau dari ST, SA

maupun secara kesluruhan.

6. Menganalisis interaksi interaksi antara model pembelajaran dengan level

sekolah terhadap peningkatan serta pencapaian KPMM siswa secara

keseluruhan.

7. Menganalisis apakah ada perbedaan peningkatan KDM siswa yang

memperoleh pembelajaran CTLJ, CTL dan PK ditinjau dari ST, SA maupun

secara keseluruhan.

8. Menganalisis interaksi antara model pembelajaran dengan PAM siswa

terhadap peningkatan KDM siswa ditinjau dari ST, SA maupun secara

kesluruhan.

9. Menganalisis interaksi interaksi antara model pembelajaran dengan level

sekolah terhadap peningkatan KDM siswa secara keseluruhan.

10.Menganalisis bagaimanakah hubungan antara KPM, KPMM dan KDM siswa

setelah memperoleh pembelajaran CTLJ, CTL maupun PK.

(21)

E. MANFAAT PENELITIAN

Seperti yang telah dikemukakan dalam latar belakang masalah, dengan

dilakukannya penelitian ini diharapkan bermanfaat:

1. Bagi siswa SMK, diharapkan pembelajaran kontekstual menyediakan suatu

pengalaman yang banyak berkaitan dengan situasi kontekstual dalam dunia

nyata, sehingga diharapkan bila mereka telah lulus sekolah dapat menerapkan

pengetahuannya di dunia kerja dan kehidupan sehari-harinya tanpa mendapat

hambatan yang berarti.

2. Bagi para pendidik matematika, diharapkan pembelajaran kontekstual ini

dapat menjadi salah satu sumber rujukan dalam menerapkan pembelajaran

matematika pada suatu materi tertentu agar peserta didik dapat lebih

memahami konsep dan mampu memecahkan masalah matematis, dalam

rangka mempersiapkan peserta didiknya memasuki dunia kerja.

3. Bagi peneliti, merupakan pengalaman yang berharga sehingga penelitian ini

dapat dijadikan salah satu rujukan teori mengenai pembelajaran matematika

yang bersifat konstruktivitis kontekstual, serta membuka suatu wawasan

penelitian pendidikan matematika dalam mengembangkan kemampuan

pemahaman dan pemecahan masalah matematis pada jenjang pendidikan

lainnya.

4. Bagi para pengambil kebijakan pendidikan, agar lebih memahami

pembelajaran kontekstual serta implementasinya sehingga pendekatan

pembelajaran tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah rujukan dalam

(22)

F. DEFINISI OPERASIONAL

Untuk memperoleh kesamaan persepsi tentang definisi operasional yang

digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan istilah yang digunakan,

yaitu:

1. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah suatu konsep proses

kegiatan belajar-mengajar yang diawali dengan menghadapkan siswa pada

masalah nyata atau yang disimulasikan, dikemas dalam suatu konteks sosial

dan fisik yang menantang siswa, kemudian diangkat kedalam konsep yang

akan dipelajari. Pembelajaran kontekstual ini berisikan karakterisitik sebagai

berikut: berbasis masalah kontekstual terstruktur, berpandangan

konstruktivisme (constructivism), mengajukan pertanyaan (questioning),

menemukan (inquiry), komunitas belajar (learning community), menggunakan

model (modeling), melaksanakan refleksi (reflection) dan authentic

assessment.

2. Kolaborasi pembelajaran kontekstual dengan metode jigsaw II adalah

pembelajaran matematika yang menggunakan karakteristik pendekatan

kontesktual dalam seting pembelajaran kooperatif dengan metode jigsaw II.

3. Kemampuan pemahaman matematis siswa adalah suatu kemampuan

menginterpretasikan, memberikan contoh, mengklasifikasikan, merangkum,

dan membandingkan suatu konsep matematik dalam menyelesaikan persoalan.

4. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa adalah suatu kemampuan

mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan serta kecukupan unsur

(23)

matematika, menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah

(sejenis dan masalah baru) di dalam atau di luar matematika, menjelaskan atau

menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, menyusun model

matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata serta menggunakan

matematika secara bermakna (meaningful).

5. Disposisi matematis adalah kecenderungan siswa untuk berpikir dan bertindak

dengan cara yang positif, dengan aspek: (1) keluwesan serta kepedulian siswa

untuk belajar serta mengeksplorasi penyelesaian soal,; (2) keingintahuan dan

kegigihan siswa dalam belajar matematika; (3) kepercayaan diri siswa; (4)

kecenderungan merefleksikan buah pikiran dan hasil kerjanya; (5)

(24)

8

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen. Data penelitian ini

dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Tujuan dari metode penelitian ini

adalah untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemahaman, pemecahan

masalah dan disposisi matematis siswa SMK kelompok teknologi sebagai akibat

dari suatu pembelajaran matematika dengan menggunakan tiga pembelajaran yang

berbeda, yaitu kolaborasi pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan jigsaw

II (CTLJ), pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (CTL), serta

pembelajaran konvensional (PK).

Pada penelitian ini ada tiga kelompok siswa yang dipilih secara acak kelas,

yaitu Kelompok I (kelompok eksperimen 1), kelompok II (kelompok eksperimen

2) dan kelompok III (kelompok kontrol). Kelompok I memperoleh perlakuan

berupa pembelajaran matematika dengan pendekatan CTLJ, kelompok II

menggunakan pendekatan CTL, sedangkan kelompok III menggunakan

pendekatan PK.

Sebelum perlakuan, ketiga kelompok diberi tes pengetahuan awal

matematis (PAM), pretes dan nontes berupa skala psikologi tentang kemampuan

disposisi matematis (KDM). Tujuan dilakukannya tes PAM adalah untuk memilah

siswa kedalam peringkat tinggi, sedang dan rendah. Pretes dilakukan hanya pada

materi Bilangan Real, tetapi tidak untuk materi Program linier. Hal ini dilakukan

(25)

8

materi Program Linier belum dimiliki dan diajarkan pada siswa sebelumnya.

Berbeda dengan materi Bilangan Real, mereka sudah pernah mengenalnya pada

jenjang sekolah sebelumnya (ada dalam materi bahasan matematika SMP).

Kemudian setelah ketiga kelompok diberikan perlakuan, maka masing-masing

kelompok diberikan postes dan nontes skala KDM. Materi soal postes terdiri dari

materi Bilangan Real dan Program Linier. Soal pretes dan postes untuk materi

Bilangan Real memiliki kiteria kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah

matematis yang ekuivalen.

Berdasarkan uraian di atas, maka desain penelitian eksperimennya adalah

sebagai berikut:

O1 X1 O1,2

O1 X2 O1,2

O1 O1,2

Keterangan:

O1 = Pretes materi Bilangan Real

O1,2 = Postes materi Bilangan Real dan Program Linier

X1 = Perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan CTLJ

X2 = Perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan CTL

B. Variabel Penelitian

Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel manipulasi (bebas). Variabel ini adalah pembelajaran CTLJ, CTL

(26)

8

2. Variabel respon (terikat). Varibel terikat adalah hasil belajar siswa berupa

KPM, KPMM dan KDM.

3. Variabel kontrol. Variabel kontrol terdiri atas: (1) Kategori/level sekolah

(sekolah level atas dan level tengah); (2) Pengetahuan awal matematis siswa

(peringkat tinggi. sedang dan rendah); (3) Waktu yang digunakan untuk KBM.

Keterkaitan antara variabel bebas, variabel terikat dan variabel kontrol

disajikan dalam model Weiner pada tabel 3.1.

Tabel 3.1

Keterkaitan antara Kemampuan Pemahaman, Pemecahan Masalah, Disposisi Matematis, Kelompok Pembelajaran, Level Sekolah dan PAM

Level

Kemampuan pemahaman matematis kelompok tinggi dengan menggunakan pendekatan CTLJ pada siswa level sekolah atas.

(27)

8

C. Populasi dan Sampel

Populasi yang terlibat dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMK

kelompok teknologi se-Kabupaten Majalengka, sedangkan SMK yang dijadikan

sampel adalah sekolah yang berada pada sekolah level atas dan level tengah

dengan pertimbangan bahwa di Majalengka sekolah kelompok teknologi berada

pada sekolah level atas dan level tengah. Selain itu, pemilihan kategori/level

sekolah ditetapkan menurut klasifikasi sekolah dari Dinas Pendidikan Nasional

setempat dan berdasarkan hasil Ujian Nasional tahun pelajaran 2007/2008.

Pemilihan sampel sekolah dalam penelitian ini diambil secara purposive

sampling untuk memilih satu sekolah level atas dan satu sekolah level tengah.

Selanjutnya dipilih secara acak kelas, tiga kelas sampel dari tiap level SMK yang

akan mempelajari materi Bilangan Real dan Program Linier sesuai kurikulum

yang berlaku, sehingga kelompok sampel kelas penelitian tidak membentuk kelas

baru, tetapi menggunakan kelas yang sudah ada di SMK yang terpilih tersebut.

D. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya

Untuk memperoleh data yang diperlukan, penelitian ini menggunakan

instrumen penelitian berupa tes pengetahuan awal matematis, disposisi matematis,

format observasi selama proses pembelajaran berlangsung, format wawancara,

lembar junal, serta tes untuk hasil belajar (pretes dan postes). Untuk patokan

kegiatan pembelajarandibuat rencana pembelajaran dengan pendekatan CTLJ dan

CTL serta bahan ajar yang disertai soal-soal yang berpeluang menumbuhkan

(28)

8

1. Tes Pengetahuan Awal

Tes pengetahuan awal adalah tes yang berisikan soal-soal yang berkaitan

dan dapat menunjang pemahaman materi kompetensi dasar tentang pemecahan

masalah yang berkaitan dengan aturan konsep pada materi Bilangan Real dan

Program Linier kelas X SMK kelompok teknologi. Tujuan tes ini untuk

mengetahui pengetahuan yang dimiliki siswa sebelum pembelajaran berlangsung

serta kesiapan siswa menguasai materi yang akan dipelajari, yaitu materi Bilangan

Real dan Program Linier. Selain itu, hasil tes pengetahuan awal digunakan juga

untuk mengetahui kelompok siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan rendah

(PAM siswa) serta kesetaraan rerata pengetahuan awal matematis antara

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Untuk tujuan tersebut, peneliti membuat 15 buah soal uraian tes PAM dari

materi pokok bahasan matematika SMP seperti irisan himpunan, operasi bilangan

bulat dan pecahan, skala dan perbandingan, pertidaksaman linier satu dan dua

variabel, persamaan linier dua variabel, sistem persamaan linier satu dan dua

variabel, operasi dasar logaritma serta bilangan berpangkat dan bentuk akar.

Secara lengkap instrumen tes PAM dapat dilihat pada Lampiran B.2.a.

Masing-masing skor soal tes PAM berkisar antara 3 hingga 4, sehingga

setiap siswa akan memperoleh skor maksimal adalah 49. Untuk pembentukan

anggota kelompok belajar pada kelas eksperimen, nilai tes PAM tersebut

ditambah dengan nilai rerata harian yang dilakukan oleh guru matematika di kelas

yang bersangkutan. Dengan demikian, peringkat siswa, khusus pada sekolah level

(29)

8

nilai rerata harian yang sudah ada sebelumnya, sehingga penentuan klasifikasi

PAM siswa mendekati yang sebenarnya. Tetapi untuk pengelompokkan, siswa

secara keseluruhan (gabungan sekolah level atas dan level tengah) klasifikasi

peringkat siswa hanya berdasarkan hasil tes PAM, hal ini dilakukan dengan

pertimbangan bahwa nilai-nilai harian dari guru matematika di kedua level

sekolah penelitian itu berbeda dalam cara pembobotannya. Kriteria PAM siswa

adalah sebagai berikut.

PAM ≥27% KSST : Siswa kelompok tinggi

27% KSSD ≤ PAM < 27% KSST : Siswa kelompok sedang

PAM < 27% KSSD : Siswa kelompok rendah

Keterangan:

KSST : Kelompok dari siswa yang memperoleh skor tertinggi

KSSD : Kelompok dari siswa yang memperoleh skor terendah

Namun sebelum tes PAM digunakan, dilakukan Validasi secara logis

(validasi konstruk dan isi) melalui bimbingan para pembimbing serta penimbang

dari dua orang dosen dan tiga guru matematika SMK dan 1 guru SMP. Validasi

konstruk (muka), meliputi: kejelasan dari segi bahasa, kejelasan dari sisi format

penyajian, kejelasan dari segi gambar/representasi. Validasi isi, meliputi:

kesesuaian dengan materi pokok yang akan diajarkan, kesesuaian dengan

indikator pencapaian hasil belajar, serta tingkat kesukaran yang mungkin dicapai.

(30)

8

Tabel 3.2

Hasil Pertimbangan Validasi Konstruk Tes PAM

No.

Hasil Pertimbangan Validasi Isi Tes PAM

No.

Hasil analisis uji statistik Cochran-Q dari para penimbang dilakukan

dengan tujuan untuk mengetahui apakah para penimbang telah melakukan

(31)

8

Ringkasan hasil uji keseragaman pertimbangan para penimbang

disajikan pada Tabel 3.4

Tabel 3.4

Uji Cochran’s Q Keseragaman Pertimbangan terhadap Validitas Konstruk dan Validitas Isi Tes PAM

Aspek

Validasi Hasil Uji Keseragaman

Validitas

disimpulkan bahwa enam penimbang telah memberikan pertimbangan yang

seragam terhadap setiap butir tes PAM. Dengan demikian, instrumen tes PAM

yang disusun layak digunakan dalam penelitian ini.

Dari hasil pengelompokkan berdasarkan hasil tes PAM, diperoleh jumlah

siswa yang berada pada PAM berkategori tinggi, sedang dan rendah sesuai dengan

klasifikasi level sekolah, disajikan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5

(32)

8

2. Instrumen Skala Disposisi Matematis

Instrumen skala kemampuan disposisi matematis (KDM) berupa skala

Likert. Skala disposisi matematis ini berisi daftar pertanyaan atau pernyataan yang

sudah ada pilihan jawaban dan diberikan kepada responden baik secara langsung

atau tidak langsung sehingga peneliti dapat mengetahui keadaan responden lebih

mendalam. Instrumen skala disposisi matematis yang digunakan adalah skala

Likert dengan 4 item pilihan jawaban yaitu SS (sangat setuju), S (setuju), TS

(tidak Setuju) dan STS (sangat tidak setuju), 4 item pilihan ini berguna untuk

menghindari responden ragu-ragu atau rasa aman untuk tidak memihak pada suatu

pernyataan yang diajukan. Skala disposisi matematis model Likert dalam

penelitian ini berguna untuk mengetahui respon atau disposisi matematis sebelum

dan sesudah perlakuan. Secara lengkap instrumen skala KDM dapat dilihat pada

Lampiran B.2.e.

Skala KDM terdiri atas 50 item. Instrumen ini diberikan sebelum dan

setelah pelaksanaan penelitian tes KPMM yang sebelumnya divalidasi secara logis

oleh para pembimbing, dosen-dosen matematika STKIP Yasika Majalengka,

rekan-rekan mahasiswa Prodi Matematika Pasca Sarjana UPI Bandung serta tiga

orang guru matematika SMK Majalengka. Setelah validitas isi dipenuhi, maka

langkah selanjutnya adalah melakukan uji validitas empiris yang diujicobakan

pada subyek penelitian sebelum pembelajaran. Validitas butir tes skala KDM

diestimasi dan dilakukan berdasarkan “Cara Pemberian Skor Butir Skala

Psikologik” sesuai analisis statistik distribusi normal (Azwar,2008:142). Dengan

(33)

8

pernyataan dan bobot skor setiap option pilihan dari tiap item pernyataan (SS, S,

T, ST).

Proses perhitungan validasi tes KDM menggunakan bantuan Microsoft

Office Excel 2007. Selanjutnya, setelah pemberian skor dan validasi instrumen

KDM, ternyata terdapat dua buah item pernyataan instrumen KDM yang tidak

valid, yaitu no 31, dan 46. Data hasil uji coba, proses perhitungan penskoran dan

validitas setiap item pernyataan KDM secara lengkap terdapat pada Lampiran C.7.

Rekapitulasi hasil uji validitas item pernyataan KDM disajikan pada Tabel 3.6,

sedangkan rekapitulasi perolehan skor KDM disajikan pada Tabel 3.7.

Tabel 3.6

Rekapitulasi Hasil Uji Coba Validitas Item Pernyataan KDM Siswa

No.

SV = Signifikan Valid; TSV = Tidak Signifikan Valid

(34)

8

Tabel 3.7

Skor Setiap Item Skala KDM yang Valid

No

Format observasi digunakan untuk mengetahui tentang bagaimanakah

tingkat aktivitas siswa selama proses belajar mengajar ketika bahan ajar

kontekstual (CTLJ dan CTL) diterapkan. Dalam penelitian ini aktivitas siswa

diamati oleh peneliti yang berperan sebagai guru maupun oleh 3 orang pengamat

yang telah mendapatkan pengetahuan tentang pembelajaran matematika dengan

pendekatan CTLJ dan CTL, sehingga hal tersebut memungkinkan secara cermat

dalam mengungkap tentang bagaimanakah tingkat aktivitas siswa selama proses

belajar mengajar ketika bahan ajar CTLJ dan CTL diterapkan. Selain itu,

(35)

8

Hal ini dilakukan untuk mengontrol peneliti agar tetap sesuai dengan model

pembelajaran yang dieksperimenkan.

Pedoman observasi berupa daftar cek dengan lima pilihan tingkat aktivitas:

(1) A = Sangat Baik; (2) B = Baik; (3) C = Sedang; (4) D = Jelek; (5) E = Sangat

Jelek, serta dilengkapi dengan catatan singkat dari observer. Gejala/peristiwa yang

diamati dalam pedoman obervasi, yaitu merujuk pada aktivitas-aktivitas guru dan

siswa berkaitan dengan kegiatan pendekatan pembelajaran CTLJ dan CTL. Selain

itu, format observasi divalidasi secara logis, berdasarkan studi literatur dan saran

dari rekan-rekan dosen STKIP Yasika, pertimbangan dari dosen pembimbing serta

saran dari teman-teman mahasiswa matematika pasca sarjana UPI dan tiga orang

guru SMK. Dengan demikian bentuk format, kalimat dan gejala/peristiwa yang

akan diamati serta hasil dari pengamatan dapat dipertanggungjawabkan. Format

observasi dapat dilihat pada Lampiran B.5.

4. Format Wawancara

Agar informasi yang akan didapatkan tidak melebar tapi terfokus pada

penelitian maka dibuatlah pedoman format wawancara yang berguna untuk

mengetahui respon siswa terhadap pendekatan pembelajaran CTLJ dan CTL, serta

respon siswa terhadap unsur-unsur KDM.

Wawancara dilakukan setelah pembelajaran berakhir. Wawancara hanya

dilakukan pada kelas eksperimen dan subyek yang akan diwawancarai diambil

secara acak dari kelas eksperimen berdasarkan peringkat kemampuan

matematisnya. Format wawancara, disusun atas saran dari tiga orang guru SMK,

(36)

8

bimbingan dosen pembimbing. Format wawancara dapat dilihat pada Lampiran

B.6.

5. Soal Pretes dan Postes

Soal tes digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman dan

pemecahan masalah matematis siswa. Soal ini disusun dalam bentuk tes uraian

untuk pretes dan postes yang dibagi dalam dua kelompok:

1. Kelompok pertama adalah soal untuk mengukur peningkatan KPM dan

KPMM siswa, terdiri dari lima buah soal pretes-postes KPM dan KPMM pada

materi Bilangan Real.

2. Kelompok kedua adalah soal-soal untuk mengukur pencapaian KPM dan

KPMM siswa pada gabungan materi Bilangan Real dan Program Linier, yaitu

terdiri dari lima buah soal postes KPM dan KPMM pada materi Bilangan

Real, serta empat buah soal postes KPM dan KPMM pada materi Program

Linier.

Pretes dilakukan hanya dilakukan untuk materi Bilangan Real, tidak untuk

materi Program linier. Hal ini dilakukan karena kemampuan pemahaman dan

pemecahan masalah pada materi Program Linier belum dimiliki dan diajarkan

pada siswa sebelumnya. Berbeda dengan materi Bilangan Real, mereka sudah

pernah mengenalnya pada jenjang sekolah sebelumnya (ada dalam bahasan materi

matematika SMP). Secara lengkap instrumen tes ada pada Lampiran B.2.b-2.d.

Namun sebelum instrumen tes tersebut digunakan, dilakukan uji coba soal.

Uji coba soal dimaksudkan untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya validitas

(37)

8

divalidasi secara logis untuk melihat validitas isi dan validitas muka. Dengan

demikian pengembangan kedua tes ini, dilakukan melalui langkah-langkah

sebagai berikut: (1) Membuat kisi-kisi soal berdasarkan materi yang akan dicapai;

(2) Menyusun soal tes; (3) Konsultasi dan revisi berdasarkan pertimbangan dosen

pembimbing serta saran rekan-rekan mahasiswa pasca sarjana UPI dan dosen

matematika STKIP Yasika; (4) Melakukan uji coba soal. Uji coba dilaksanakan di

SMKN 1 Panyingkiran dan SMK PUI Majalengka pada kelas XII yang sudah

mempelajari materi Bilangan Real dan Program Linier. Kemudian ditindaklanjuti

dengan revisi ulang soal tes.

a) Analisis Validitas Tes

Suatu alat evaluasi disebut valid jika alat tersebut mampu mengukur apa

yang semestinya diukur. Sedangkan validitas tes yang akan dikaji dalam

penelitian ini terdiri dari: (1) validitas logis; (2) validitas empiris.

Validitas logis. Validitas ini berupa validitas isi dan validitas

konstruk/muka. Validitas alat evaluasi/instrumen dalam penelitian ini di peroleh

berdasarkan saran, arahan rekan-rekan dosen STKIP Yasika, rekan-rekan

mahasiswa S3 Pascasarjana UPI Bandung dan pertimbangan dosen pembimbing,

sehingga ketepatan alat evaluasi instrumen penelitian ditinjau dari segi materi,

keabsahan susunan kalimat yang dipakai merupakan alat yang representatif untuk

mengetahui pengetahuan, KPM dan KPMM yang akan dicapai.

Validitas empiris (kriterium). Validitas empiris, yaitu berupa validitas

butir soal. Ukuran validitas butir soal adalah seberapa jauh soal tersebut mengukur

(38)

8

mempunyai dukungan yang besar terhadap skor totalnya. Perhitungan validitasnya

dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi produk moment. Rumusnya

adalah sesuai dengan pendapat Arikunto (2002 : 75-78), yaitu:

RX,Y =

validitas alat evaluasi sesuai dengan pendapat Guilford (Suherman, 2003:113)

adalah:

Reliabilitas tes adalah tingkat keajegan suatu tes. Analisis reliabilitas tes

uraian, menurut Arikunto (2002 : 109) menggunakan rumus Alpha berikut:

(39)

8

2

i

σ = jumlah varians skor tiap-tiap item

2 t

σ = varians total

Penentuan tolak ukur koefisien reliabilitas menurut Guilford (Suherman,

2003: 139) adalah sebagai berikut:

r11≤ 0,20 derajad reliabilitas sangat rendah

0,20 ≤ r11 < 0,40 derajad reliabilitas rendah

0,40 ≤ r11 < 0,70 derajad reliabilitas sedang

0,70 ≤ r11 < 0,90 derajad reliabilitas tinggi

0,90 ≤ r11 ≤1,00 derajad reliabilitas sangat tinggi.

Selanjutnya menurut Arikunto (2002: 112), dengan diperolehnya koefisien

korelasi yakni r11 sebenarnya baru diketahui tinggi rendahnya koefisien tersebut.

Lebih sempurnanya penghitungan reliabilitas sampai pada kesimpulan, sebaiknya

hasil tersebut dikonsultasikan dengan tabel r product moment. Jika r11 > r tabel

maka tolak ukur reliabilitas yang dihitung adalah signifikan.

c) Analisis Daya Pembeda

Daya pembeda soal, adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan

antara siswa yang berkemampuan tinggi (pandai) dengan siswa yang memiliki

kemampuan rendah (kurang). Sebuah soal dikatakan mempunyai daya pembeda

yang baik jika siswa yang pandai dapat mengerjakan dengan baik, dan siswa yang

(40)

8

Menurut Suherman (2003: 161) klasifikasi interpretasi untuk daya

pembeda (DP) adalah:

Cara menentukan daya pembeda dibedakan antara kelompok kecil

(responden kurang dari 30) dan kelompok besar (30 orang ke atas). Menurut

Arikunto (2002: 212) dengan jumlah responden yang kecil, maka pembagian

kelompok tinggi dengan kelompok rendah dilakukan dengan membagi dua sama

banyak, yuaitu 50% kelompok atas dan 50% kelompok bawah, sedangkan untuk

kelompok besar biasanya diambil 27% skor teratas sebagai kelompok atas (JA)

dan 27% skor terbawah sebagai kelompok bawah (JB).

Rumus untuk mencari indeks diskriminasi daya pembeda (DP), menurut

Arikunto (2002 : 213) adalah:

DP =

JA = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal itu dengan benar.

JB = banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar.

PA = proporsi peserta kelompok atas.

PB = proporsi peserta kelompok bawah.

BA = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar

(41)

8

d) Analisis Tingkat Kesukaran Tes

Tingkat kesukaran soal adalah peluang untuk menjawab benar suatu soal pada

tingkat kemampuan tertentu, yang biasanya dinyatakan dengan indeks atau

prosentase. Semakin besar prosentasenya tingkat kesukaran maka semakin mudah

soal tersebut.

Untuk menghitung tingkat kesukaran soal uraian dapat ditempuh dengan

langkah sebagai berikut:

1. Menghitung jumlah skor-skor peserta didik pada suatu soal ( JSP).

2. Menghitung jumlah skor maksimum peserta didik pada suatu soal (JSM)

3. Menghitung tingkat kesukaran soal (TK). TK =

JSM JSP

x 100%

4. Menentukan kriteria/proporsi dalam menafsirkan tingkat kesukaran.

Menurut Subino (1987: 95), tingkat kesukaran suatu butir soal tes

berbentuk esai dapat digolongkan sebagai kualifikasi sukar apabila siswa dapat

menjawab dengan benar hanya sampai dengan 27%, kualifikasi sedang apabila

proporsi tersebut berentangan antara 28% sampai dengan 72%, dan kualifikasi

mudah apabila proporsi tersebut minimum 73%.

Perhitungan validitas butir soal, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya

pembeda soal menggunakan Microsoft Office Excel 2007. Hasil perhitungannya

secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran C.2 s.d C.5, sedangkan rekapitulasi

(42)

8

Tabel 3.8

Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Soal Tes KPM dan KPMM dari Materi Bilangan Real dan Program Linier

Materi Aspek No

Keterangan: ST= Sangat Tinggi; T=Tinggi; Sd= Sedang; Sig=Signifikan

Untuk memperoleh data kemampuan pemecahan masalah matematis

dilakukan skala penskoran KPMM terhadap jawaban siswa tiap butir soalnya.

Menurut Szetela dan Nicol (Chicago Public Schools Buraeu of Student

Assesment, 2009) rubrik skala penskoran penyelesaian/pemecahan masalah

matematis dan pedoman penilaiannya terdiri dari tiga aspek, yaitu (1) aspek

memahami masalah, (2) aspek menyelesaikan masalah, (3) aspek menjawab

(43)

8

Dengan demikian, rubrik skala penskoran KPMM tersebut adalah sebagai

berikut:

Skala I: Memahami Masalah

4 : Memahami permasalahan secara lengkap

3 : Sebagian kecil salah interpretasi permasalahannya 2 : Sebagian besar salah interpretasi permasalahan 1 : Salah interpretasi permasalahan secara lengkap 0 : Sama sekali tak memahami masalah

Skala II: Menyelesaikan Permasalahan

4 : Membuat rencana yang dapat memberi petunjuk penyelesaian yang benar tanpa kesalahan perhitungan/secara aritmatika

3 : Secara substansial membuat prosedure yang benar dengan kesalahan prosedur yang kecil.

2 : Sebagian prosedur benar tapi melakukan kegagalan/kesalahan besar 1 : Secara total membuat perencanaan yang tak lengkap

0 : Tak ada perencanaan sama sekali

Skala III: Menjawab Permasalahan

2 : Menjawab permasalahan secara benar

1 : Melakukan kesalahan-keselahan berulang; kesalahan perhitungan, menjawab sebagian permasalahan dari berbagai jawaban; Tak ada pernyataan jawaban; jawaban dengan label yang tidak benar

0 : Tak ada jawaban atau jawaban salah yang dilandasi perencanaan yang tidak tepat

Secara lengkap, pedoman skala penskoran KPMM disajikan sesuai Tabel

3.9.

Tabel 3.9

Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

(44)

8 prosedure yang benar dengan kesalahan prosedur yang kecil.

Skor maksimal 4 Skor maksimal 4 Skor maksimal 2

Interpretasi dari Szetela, W dan Nicol, C dalam buku Evaluating Problem Solving in Mathematics. Educational Leadership.hal..42-45 (Chicago Public Schools Bureau of Student Assesment, 2009) http:/ intranet.cps.k12.il.us / Assessments/Ideas_and_Rubrics/ Rubric _Bank/ MathRubrics.pdf. .

Diakses April 2009.

Kriteria penskoran KPM merupakan modifikasi dari penskoran KPMM.

Dengan demikian, perolehan skor KPM tergantung dari langkah-langkah konsep

penyelesaian matematisnya. Sebagai contoh soal dan pemberian skor KPM adalah

sebagai berikut:

(45)

8

Langkah-langkah rubrik penyelesaian untuk soal tersebut adalah sebagai berikut:

Langkah

Total skor maksimum 8

Rata-rata jumlah total skor maksimum (TSM) jawaban KPM untuk materi Bilangan Real adalah delapan dengan TSM 40, sedangkan rata-rata jumlah total skor maksimum jawaban materi Program Linier adalah tujuh setengah dengan TSM 30.

6. Pengembangan Bahan Ajar dan Desainnya

(46)

8

pembelajaran CTLJ dan CTL agar siswa memperoleh KPM dan KPMM serta

KDM pada materi Bilangan Real dan Program Linier.

Sebelum bahan ajar digunakan pada kelas eksperimen, terlebih dahulu

dilakukan validasi oleh berbagai pihak yang berkompeten, yakni pembimbing,

pakar pendidikan matematika, guru matematika SMKN 1 Panyingkiran dan SMK

PUI Majalengka. Dengan demikian, pendisainan bahan ajar kontekstual (CTLJ

dan CTL) merupakan suatu bahan ajar yang benar-benar sesuai materi yang akan

diteliti dan diperkirakan dapat memenuhi target penelitian. Aktifitas

pengembangan terus dilakukan sampai desain bahan ajar kontekstual dirasakan

cukup memadai untuk diujicobakan di lapangan. Uji coba pembelajaran dilakukan

pada subyek sekolah tempat penelitian di kelas yang berbeda dengan sampel

penelitian yang terpilih. Setelah dirasa cukup memadai maka bahan ajar tersebut

digunakan dalam penelitian.

7. Kegiatan Pembelajaran

Proses kegiatan pembelajaran dalam penelitian ini dilakukan pada tingkat

1 (kelas X) kelompok teknologi program Teknik Mesin Otomotif (TMO1, TMO2,

TMO4 SMK PUI) serta program Rekayasa Perangkat Lunak (RPL1, RPL2) dan

program Teknik Komputer Jaringan (TKJ2) SMKN 1 Panyingkiran Majalengka.

Kelompok eksperimen-1 adalah kelas TKJ2 dan TMO4, yang para

siswanya memperoleh pendekatan CTLJ. Kelompok eksperimen-2 adalah kelas

RPL1 dan TMO2, yang para siswanya memperoleh pendekatan CTL, sedangkan

kelas RPL2 dan TMO1 adalah kelompok kontrol yang pembelajarannya secara

(47)

8

Berikut ini, disajikan langkah-langkah kegiatan guru dan siswa dalam

kegiatan kolaborasi/gabungan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan

Jigsaw II.

a) Pendahuluan

1) Guru dan siswa membentuk kelompok komunitas belajar dengan tingkat

kemampuan tiap kelompoknya heterogen.

2) Guru menginformasikan tentang pendekatan pembelajaran yang akan

diberikan serta tata cara pembelajaran siswanya

3) Guru memberitahu tentang tugas-tugas yang akan diberikan serta aturan

cara mengerjakan dan bentuk penilaiannya.

4) Guru memberi pelatihan pada siswa tentang tata cara belajar pada

kelompok asal, kelompok ahli, diskusi kelas dan presentasi serta

bagaimana cara mengemukakan pertanyaan dan menjawab pertanyaan.

b) Diskusi

1) Guru menjelaskan tujuan indikator pembelajaran yang akan dicapai.

2) Guru memberikan motivasi atau apersepsi dengan pengajuan beberapa

pertanyaan akan manfaat materi pelajaran serta menggali untuk

mengingatkan pengetahuan prasyarat yag berkaitan dengan materi ajar

yang diberikan.

3) Penyajian masalah kontekstual, yaitu: (a) Guru menyajikan masalah

kontekstual pada LKS; (b) Siswa membaca, memahami masalah dan

(48)

8

kesempatan untuk bertanya, dan guru bertindak sebagai fasilitator dan

negoisator pada seluruh siswa dalam mempelajari materi tersebut.

4) Siswa memahami dan menyelesaikan masalah kontekstual, terdiri dari: (a)

Siswa berdiskusi pada anggota kelompok ahlinya, berbagi pengetahuan,

sharing idea dalam menjawab persoalan-persoalan terpilih; (b) Guru

berkeliling pada setiap kelompok ahli untuk memberi bantuan jika

diperlukan dengan cara scaffolding dan melakukan pertanyaan bantuan

umpan balik; (c) Siswa diberikan peluang yang seluas-luasnya agar dapat

menyelesaikan masalah dengan cara lain dan modelnya sendiri; (d) Guru

selalu memonitor pemodelan dan evaluasi jawaban masalah dari kelompok

ahli atau kelompok asal; (e) Melalui penemuan terbimbing baik dalam

lembar LKS maupun diskusi terbatas pada kelompok-kelompok ahli atau

kelompok asal, siswa didorong agar mampu menjawab permasalahan yang

disajikan.

5) Membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah, terdiri atas: (a)

Guru memberi kesempatan pada siswa untuk mendiskusikan jawaban; (b)

Siswa berdiskusi dan menjelaskan materi hasil diskusi dari kelompok ahli

pada anggota kelompok asalnya, berinetraksi, melakukan negoisasi dan

adaptasi serta berbagi pengetahuan dalam menjawab seluruh

persoalan-persoalan terpilih; (c) Melalui penemuan terbimbing baik dalam lembar

LKS maupun diskusi terbatas pada kelompok-kelompok ahli atau

kelompok asal, siswa didorong agar mampu menjawab permasalahan

(49)

8

memberikan kesempatan siswa dalam mempresentasikan hasil kerja

kelompok asalnya ke depan kelas; (e) Guru memberikan kesempatan pada

kelompok lain dalam menanggapi hasil presentasi (diskusi kelas).

c) Belajar Mandiri.

1) Pada saat siswa mempelajari materi awal, dan bagaimana mencari jawaban

penyelesaian dari soal-soal terpilih.

2) Menyelesaikan soal-soal latihan pada LKS Mandiri atau buku pelajaran.

3) Menyelesaikan soal Quiz setelah pembelajaran.

d) Tahap Refleksi dan Penyimpulan.

Tahapan refleksi dan penyimpulan dilakukan melalui:

1) Melalui metode penemuan, guru membantu siswa untuk menarik

kesimpulan bagaimana konsep matematika dapat menyelesaikan dan

menjawab persoalan terpilih.

2) Melalui tanya jawab guru membantu siswa melakukan evaluasi terhadap

jawaban yang sudah ada, apakah ada cara lainnya, bagaimanakah jika…?

Coba kerjakan…!

3) Melalui presentasi siswa mengungkapkan strategi atau konsep-konsep

khusus dalam menjawab permasalah terpilih.

4) Guru mengulas kembali tentang konsep yang baru dipelajari, dan

mengarahkan siswa agar merangkum materi pelajara serta memberikan

(50)

8

5) Siswa menuliskan atau mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan mengenai

materi yang belum dipahami serta menuliskan strategi-strategi

penyelesaian masalah yang sudah dipahaminya pada lembar jurnal.

Perbedaan pendekatan pembelajaran CTLJ dan CTL terletak pada saat

mempelajari materi awal, intervensi guru dan diskusi pada tahap proses

pemahaman dan pemecahan masalah yang disajikan. Dengan demikian, tahapan

pembelajaran CTL lainnya adalah serupa dengan CTLJ.

Sedangkan, kegiatan pada pembelajaran konvensional (PK) dilakukan

guru dengan menjelaskan materi/konsep, membahas contoh soal dari yang tidak

kontekstual dilanjutkan dengan contoh-contoh lainnya. Membahas permasalahan

kontesktual hanya dilakukan pada materi konsep pamuncak. Kemudian guru

memberi soal-soal untuk latihan, guru berperan sentral dalam setiap pembelajaran,

sebagai nara sumber utama pembelajaran. Siswa pada umumnya berperan sebagai

penerima informasi pengetahuan, interaksi monoton, sekali-kali ada tanya jawab

tetapi bersifat satu arah dan didominasi guru.

8. Tehnik Pengolahan Data

a. Data Hasil Tes dan Nontes

Data hasil tes berupa skor hasil pretes dan postes digunakan untuk

mengetahui tingkat kualitas gain dan pencapaian KPM, KPMM dan KDM siswa,

yang kemudian dilanjutkan dengan penafsirannya sesuai dengan kelompok

pendekatan pembelajaran (CTLJ, CTL dan PK), kategori/level sekolah (SA, ST,

serta gabungan SA dan ST), dan peringkat kelompok PAM siswa (tinggi, sedang

(51)

8

hipotesis penelitian, diawali dengan pengujian normalitas data dan homogenitas

data baik terhadap bagian-bagiannya maupun secara keseluruhan. Uji normalitas

data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov Z (K-S-Z) dan homogenitas data

diuji dengan menggunakan uji Lavene. Akan tetapi, apabila data tidak tersebar

secara homogen tetapi sepuluh kali simpangan baku terkecilnya masih lebih besar

dari simpangan baku terbesarnya (Widhiarso, 2008), maka pengolahan data

selanjutnya dilakukan uji anova dua jalur serta dilanjutkan dengan uji post hoc

Shceffe atau Tamhane yang disesuaikan dengan rumusan permasalahannya.

Seluruh perhitungan statistik menggunakan bantuan komputer program SPSS 16,

dengan tingkat signifikansi 5%. Selain dilakukan analisis kuantitatif, peneliti juga

melakukan analisis kualitatif berupa analisis respon siswa terhadap pembelajaran

(CTLJ dan CTL) dan KDM siswa berdasarkan lembar jurnal siswa, lembar

obersvasi aktivitas guru dan siswa wawancara, skala KDM serta analisis korelasi

antara KPM, KPMM dan KDM siswa.

Kualitas peningkatan KPM, KPMM dan KDM dilakukan dengan

menggunakan gain yang ternormalisasi (g). Rumus gain menurut Meltzer (2002)

adalah:

g =

pretes skor -ideal skor

pretes skor -postes skor

Kategori gain yang ternormalisasi (g) adalah:

g < 0,3 ; rendah

0,3 ≤ g < 0,7 ; sedang

Gambar

Tabel 3.1 Keterkaitan antara Kemampuan Pemahaman, Pemecahan Masalah,
Hasil Pertimbangan Validasi Konstruk Tes PAMTabel 3.2
Tabel 3.4 Uji Cochran’s Q Keseragaman Pertimbangan
Tabel 3.6
+7

Referensi

Dokumen terkait

description to the messages written in the novel ‘The Scarlet letter’ by its author. Nathaniel Hawthorne to

Mahasuci Engkau, maka jagalah kami dari siksa neraka” (QS. Al -Imran: 190- 191) Mengutip ayat dalam Surat Ali-Imran, Allah SWT menciptakan seluruh alam semesta

Penelitian ini bertujuan untuk membuat suatu prototipe kursi roda berupa robot beroda sebagai sarana mempelajari mobilasi secara otomatis orang yang menderita

[r]

Menyikapi permasalahan yang timbul dalam pendidikan matematika sekolah seperti yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait

Penulisan ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pentingnya suatu pemasaran guna meningkatkan hasil dari penjualan suatu produk barang yang diproduksi oleh perusahaan,

Kini dengan tiga lapis sistem keamanan yang membentuk suatu piramida keamanan yang terdiri dari penggunaan SIM card, proses authhentikasi yang akan memeiksa terlebih dahulu

Demikian juga dengan Kalpataru Rent Car, dimana dalam kegiatannya juga memerlukan pencatatan-pencatatan transaksi penyewaan yang terjadi dan mengelola data tersebut menjadi