• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGKAJIAN KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (STUDI TENTANG KEKERASAN TERHADAP ANAK DI LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN MODERN PROVINSI SUMATERA BARAT).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGKAJIAN KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (STUDI TENTANG KEKERASAN TERHADAP ANAK DI LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN MODERN PROVINSI SUMATERA BARAT)."

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah

PENGKAJIAN KESEJAHTERAAN DAN

PERLINDUNGAN ANAK

(STUDI TENTANG KEKERASAN TERHADAP ANAK DI LINGKUNGAN

PONDOK PESANTREN MODERN PROVINSI SUMATERA BARAT)

Oleh:

Tim Peneliti

Drs. Wahyu Pramono, MSi

Prof. Dra. Sjahridal Dahlan, MS

Prof. Dr. Hj. Siti Salmah

Indraddin, S.Sos, MSi

PUSAT STUDI WANITA (PSW)

UNIVERSITAS ANDALAS

Bekerjasama dengan

Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Propinsi Sumatera

Barat

Tahun 2009

BAB I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Kekerasan terhadap anak nampaknya sudah menjadi fenomena sosial yang sangat mengkawatirkan berkembang di dalam masyarakat. Di tingkat nasional, data yang dimiliki Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) misalnya tercatat, 780.000 kekerasan terhadap anak terjadi di sekolah. Pernyataan tersebut disampaikan pada seminar nasional “Tindak Kekerasan (Bullying) di Sekolah” yang diselenggarakan Program Studi Pendidikan Fisika, Universitas Muhammadiyah Purworejo (Mashar, 2008). Data di Komnas Perlindungan Anak, sepanjang Januari-Juni 2008 ada 21.872 anak menjadi korban kekerasan fisik dan psikis dan 12.726 anak korban kekerasan seksual di rumah, sekolah, dan lingkungan sosial anak. Sementara 70.000 sampai 95.000 anak diculik dan diperdagangkan untuk tujuan seksual komersial.

(2)

kekerasan pisik, psikologis, seksual, ekonomi dan penelantaran. Sedangkan 134 sisanya merupakan kekerasan yang dialami oleh perempuan (Mufianti, 2008). Fenomena kekerasan terhadap anak pada dasarnya merupakan fenomena gunung es yang nampak tidak sebesar kenyataanya. Artinya data-data yang diungkap oleh LSM tersebut dalam kenyataanya akan lebih besar jumlahnya.

Lingkup tindak kekerasan terhadap anak juga mengalami perluasan, dari lingkungan keluarga ke lingkungan sekolah atau lingkungan sosial lainnya. Anak tidak hanya mendapat ancaman kekerasan di lingkungan keluarganya sendiri akan tetapi juga di lingkungan sekolah, pondok pesantren, rumah, maupun di lingkungan sosial. Data yang dikemukakan oleh Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukan tingkat kekerasan terhadap anak di sekolah ada 780 ribu kasus dan setiap tahunnya selalu bertambah. Angka terbesar bentuk kekerasan terhadap anak berasal dari orang lain sebesar 39,1 persen, dengan usia pada 13 sampai 15 tahun sebesar 44,1 persen, dan kekerasan seksual sebanyak 56,8 persen (Wiyoga, 2006).

Terungkapnya kasus kekerasan anak mengindikasikan dua hal. Pertama, dari tahun ketahun, kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan yang cukup tajam. Kedua terungkapnya kasus kekerasan terhadap anak mengindikasikan makin tingginya kesadaran masyarakat melaporkan kejadian itu. Selama ini kekerasan anak dianggap persoalan domestik dan rumah tangga. Padahal UU 23/2002 tentang perlindungan anak mengamanatkan tindak kekerasan anak masuk dalam ranah pidana.

(3)

cemas, menjadi kurang percaya diri, rendah diri maupun merasa tidak berarti dalam lingkungannya sehingga tidak termotivasi untuk mewujudkan potensi-potensi yang dimilikinya (Adi, 2006).

2. Perumusan Masalah

Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa, “Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak” (ayat 1). Lebih jauh, “Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak” (ayat 2). Bahkan, Pasal 28 B atau 2 UUD 1945, secara eksplisit menjamin perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Pasal tersebut memberikan tugas kepada Negara untuk menjamin anak dapat hidup dengan aman dan tentram terhindar dari tindak kekerasan.

Disamping UU No 23 tahun 2002 tersebut, berbagai undang-undang yang berskala nasional juga telah dibuat utuk melindungi anak dari tindak kekerasan misalnya UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Keluarga, UU No 27 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Keppres RI No 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak. Di Sumatra Barat juga telah dilaksanakan beberapa kegiatan dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan terhadap anak seperti pembentukan Tim Koordinasi Penanganan Anak Bermasalah Hukum. Forum Anak, Forum Perlindungan Anak Sekolah, dan juga telah difasilitasi Pengembangan Telepon Sahabat Anak serta melakukan seminar, sosialisasi, dan pelatihan.

Berbagai peraturan tersebut pada dasarnya bertujuan menciptakan situasi yang kondusif agar anak terlindung dari tindak kekerasan sehingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi generasi penerus bangsa yang kuat dan tangguh. Akan tetapi, gambaran dari data-data mengenai kekerasan terhadap anak nampaknya memberikan makna bahwa kondisi ideal yang diamanatkan oleh Undang Undang tersebut masih belum dapat dicapai dengan baik. Kasus-kasus kekerasan terhadap anak masih menjadi berita sehari-hari baik di media cetak maupun media elektronik. Tempat terjadinya kekerasan terhadap anak tidak lagi hanya terbatas di lingkungan keluarga, tetapi hampir di semua lingkungan dimana anak-anak berinteraksi yaitu lingkungan sekolah, lingkungan pondok pesantren, lingkungan tempat kerja, dan lingkungan sosial lainnya.

(4)

memperlihatkan terjadinya tindak kekerasan terhadap anak. Pondok Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan pun tidak luput dari tudingan yang berlaku pada dunia pendidikan umumnya yang memperlakukan anak secara “tidak benar”, bahkan kekerasan seakan-akan telah melekat dengan lembaga pendidikan pondok pesantren.

Menurut Mashar (2008) Ketua KPAI, bullying (tindak kekerasan) nyaris sudah terjadi di banyak sekolah selama bertahun-tahun. Kasus bunuh diri yang dialami beberapa siswa sekolah sebagian diakibatkan adanya bullying yang dialami anak. Fakta ini jelas memperihatinkan karena dampaknya sangat luar biasa terutama bagi korban (http://www.suaramerdeka.com). Kejadian kekerasan terhadap para santri di pondok pesantren banyak menghiasi berita-berita di media cetak maupun elektronik. Misalnya berita pencabulan dan kekerasan fisik yang dilakukan salah seorang kiai kepada belasan siswanya di Pati, Jawa Tengah (http://www.vhrmedia.com). Sementara di Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalam, dua orang santri senior memukuli santri yunior (http://www.eramuslim.com). Peristiwa kekerasan seksual dan fisik di pesantren ibarat sebuah gunung es yang memiliki akar kokoh, namun tak terlihat. Bisa dilihat tapi sulit dibuktikan, sering terjadi namun juga sering diselesaikan secara kekeluargaan.

Aktor yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak justru orang-orang yang sangat dekat dengan anak. Para pelaku utama berasal dari lingkungan dekat si anak, yakni orangtua, anggota keluarga (adik, kakak, tante, om, nenek, kakek), teman, guru, pengurus pondok pesantren, atau santri senior). Di pondok pesantren segala bentuk tindak kekerasan dapat dilakukan oleh ustadz tetapi kebanyakan dilakoni oleh santri senior dengan alasan penanaman kedisiplinan dan terbentuknya santri yang berkualitas (Nurhilaliati, 2005). Selain itu ancaman hukuman yang diberikan tersebut dianggap tindakan mendidik. Kekerasan terhadap anak di sekolah/pondok pesantren seringkali dilakukan dengan dalih untuk mendisiplinkan anak murid atau membuat para santri patuh tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap anak.

Kekerasan guru atau ustad terhadap siswa/santri sangat berdampak pada perkembangan psikologis anak. Keengganan anak untuk terus belajar mata pembelajaran yang diajarkan oleh seorang guru akan berbuah pada tidak bertambahnya pengetahuan anak terhadap mata pembelajaran tersebut. Selain juga, traumatik berkelanjutan akan tercipta pada jiwa anak. Padahal bila diperhatikan pada pasal 28 (2) Konvensi tentang Hak-Hak Anak

(5)

menghinakan. Tindakan penegakan disiplin ataupun peningkatan daya serap anak, harusnya tidak dilakukan dengan kekerasan.

Berdasarkan hal tersebut masalah akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan melalui pertanyaan berikut: Bagaimana tindak kekerasan terhadap anak dapat terjadi di lingkungan pondok?; Siapa aktor-aktor yang terlibat dalam tindak kekerasan tersebut?; apa faktor-faktor dan kondisi yang mendorong terjadinya tindak kekerasan?; bagaimana mencegah dan mengatasi meningkatnya jumlah tindak kekerasan terhadap anak?

3. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan tindak kekerasan terhadap anak dan upaya pencegahan serta penanggulanganya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendapatkan gambaran kondisi anak di lingkungan pondok pesantren modern, Sumatera Barat.

2. Mendeskripsikan bentuk dan aktor-aktor yang terlibat dalam tindak kekerasan terhadap anak di lingkungan pondok pesantren modern, propinsi Sumatera Barat .

3. Mengungkapkan dan menganalisis faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan terhadap anak di lingkungan pondok pesantren modern propinsi Sumatera Barat.

4. Merumuskan upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi meningkatnya jumlah tindak kekerasan terhadap anak di lingkungan pondok pesantren modern propinsi Sumatera Barat.

4. Manfaat Penelitian

Anak adalah harapan bangsa di masa depan yang akan melanjutkan estafet perjalanan dan kelangsungan hidup bangsa sebagai generasi penerus cit-cita bangsa serta sumber daya manusia masa depan. Oleh karena begitu pentingnya anak bagi perkembangan bangsa di masa depan maka anak harus dipersiapkan dengan baik agar dapat memikul beban berat meneruskan cita-cita bangsa tersebut. Lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pondok pesantren dan lingkungan sosial lainnya sebagai tempat dimana anak berinteraksi dan bergaul harus dapat memberikan rasa aman dan nyaman terbebas dari ancaman dan tindakan kekerasan.

(6)

juga sebagai masukan dalam mencegah dan mengatasi meningkatnya jumlah kekerasan terhadap anak.

5. Tinjauan Pustaka dan Kerangka pemikiran

Kekerasan terhadap anak dalam penelitian ini akan difahami sebagai salah satu bentuk masalah sosial dengan menggunakan perspektif teori masalah sosial. Persoalan yang muncul ketika memahami masalah kekerasan terhadap anak dalam perspektif masalah sosial adalah mendudukan apakah fenomena kekerasan terhadap anak sudah berubah menjadi masalah sosial yang memerlukan pemecahan?

5.1. Kekerasan terhadap Anak sebagai Masalah Sosial.

Dalam kajian sosiologi, mendefinisikan masalah sosial merupakan bagian yang tersulit karena masalah sosial merupakan fenomena multidimensional. Dengan demikian ketika mencoba untuk mendefinisikan masalah sosial berbagai hambatan dihadapi. Subyektifitas dalam menentukan standard ukuran yang digunakan dalam menetapkan sebagai masalah sosial, distribusi penguasaan power yang tidak merata dalam masyarakat, darimana masalah mulai dirumuskan dari pendapat umum atau individu, dan luasnya cakupan ruang lingkup, dan banyaknya dimensi dan aspek yang terkait dengan gejala merupakan kendala-kendala yang harus dipecahkan terlebih dahulu ketika masalah tersebut akan ditetapkan sebagai masalah sosial. Menurut Parrilo (1987) terdapat 4 komponen yang perlu diperhatikan dalam mendefinisikan masalah sosial yaitu: bertahan untuk suatu periode tertentu, dirasakan dapat merugikan fisik, mental individu atau masyarakat, merupakan pelangaran terhadap nilai-nilai atau standard sosial, dan menimbulkan kebutuhan untuk pemecahan.

Sedangkan Weinberg (1981) mengatakan bahwa masalah sosial adalah situasi yang dinyatakan sebagai yang bertentangan dengan nilai-nilai oleh sejumlah orang yang cukup signifikan dimana mereka sepakat dibutuhkan tindakan untuk merubah situasi tersebut. Orang yang dianggap signifikan adalah orang-orang yang mempunyai pengaruh kuat dalam masyarakat, misalnya ulama, pejabat pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat. Mengikuti batasan-batasan yang diberikan oleh para ahli tersebut maka kekerasan terhadap anak merupakan gejala sosial yang sudah dapat dikategorikan sebagai masalah sosial.

Kekerasan terhadap anak merupakan fenomena yang sudah sejak lama ada yang dikhawatirkan akan dapat merusak mental individu. Menurut Riana Ketua KPAI, bullying

(7)

bagi korban (http://www.suaramerdeka.com). Disamping itu perilaku kekerasan terhadap anak merupakan perilaku yang melanggar standar nilai-nilai umum yang berlaku di masyarakat yaitu undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang no 23 tahun 2004 tentang PKDRT, Undang-Undang no 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Konvensi tentang Hak-Hak Anak sehingga memerlukan pemecahan. Para pakar pendidikan, tokoh masyarakat, dan pemerintah telah menyatakan bahwa tindakan kekerasan terhadap anak merupakan penyakit masyarakat yang harus diberantas karena akan dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Hasil penelitian Adi dkk (2006) menunjukkan bahwa perlakuan kekerasan yang diterima anak dapat memberikan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak. Anak yang mengalami kekerasan akan mendapat gangguan psikologis seperti anak merasa takut dan cemas, menjadi kurang percaya diri, rendah diri maupun merasa tidak berarti dalam lingkungannya sehingga tidak termotivasi untuk mewujudkan potensi-potensi yang dimilikinya.

Meskipun kekerasan terhadap anak dapat dikategorikan sebagai masalah sosial akan tetapi dalam menelaah masalah sosial, perlu dilakukan secara hati-hati, perlu memperhatikan empat asumsi yang harus dijadikan sebagai dasar dalam mendefinisikan masalah sosial. Keempat asumsi tersebut adalah: a) Masalah sosial dalam kadar yang berbeda-beda merupakan hasil efek tidak langsung dan tidak diharapkan dari pola tingkah laku yang ada; b). Struktur sosial budaya dapat menyebabkan masyarakat menyesuaikan diri atau menyimpang. c). Perbedaan strata akan menyebabkan pengalaman dan pemahaman yang berbeda terhadap masalah sosial. c). Perbedaan strata juga mempunyai aspirasi yang berbeda sehingga akan menyulitkan pemecahan masalah (Julian dalam Soetomo, 1995:9).

Berdasarkan asumsi tersebut maka mendefiniskan dan mencari penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak harus memperhatikan perbedaan strata yang ada di masyarakat. Adanya perbedaan strata yang ada tersebut menyebabkan perbedaan dalam pengalaman dan pemahaman sehingga menghasilkan perbedaan aspirasi, persepsi yang berbeda terhadap kekerasan anak. Disamping itu perlu disadari bahwa kekerasan terhadap anak tidak hanya disebabkan oleh pengaruh dari budaya luar akan tetapi juga merupakan hasil efek tidak langsung dan tidak diharapkan dari pola tingkah laku masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mencari penyebab maraknya kekerasan anak tidak hanya terfokus pada faktor eksternal tetapi juga faktor internal masyarakat itu sendiri.

(8)

Terdapat dua konsep yang perlu dijelaskan dalam kontek kekerasan terhadap anak yaitu konsep kekerasan dan anak. Anak dalam undang-undang tentang Pelrindungan Anak didefinisikan dengan menggunakan batasan usia. Batasan usia anak dalam undang-undang no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat pada pasal 1 bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Definisi tersebut sejalan dengan pengertian anak menurut Konvensi Hak Anak (KHA) yang menyatakan anak berarti setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun kecuali, berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat.

Sedangkan konsep kekerasan terhadap anak dalam undang-undang tersebut tidak diberi pengertian yang jelas. Konsep kekerasan lebih jelas didefinisikan dalam UU no 23 tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Menurut undang-undang tersebut kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Bentuk-bentuk KDRT yang dimaksudkan dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 adalah: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Sedangkan kekerasan seksual meliputi : (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

(9)

pengertian tersebut maka bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dapat berupa fisik, seksual, psikologis/verbal.

Kekerasan terhadap anak menurut Keppres RI no 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (trafiking) Perempuan dan Anak berbentuk perdagangan manusia. Perdagangan (trafiking) manusia adalah rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memberi kendali atas orang lain tersebut, untuk kepentingan eksploitasi yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau layanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ-organ tubuh (Sagala dan Rozana, 2007:19-20)

Berdasarkan hasil penelitian Adi dkk. (2008) bentuk-bentuk kekerasan yang secara prosentase banyak diterima anak baik di rumah maupun di sekolah adalah: dipukul/disabet dan dicubit (kekerasan fisik); dicolek dan disingkap roknya (kekerasan seksual); dimarahi, diejek dan dimaki (kekerasan verbal/psikis). Diantara tiga kelompok bentuk kekerasan tersebut yang paling sering dialami anak adalah kekerasan verbal. Anak laki-laki pada umumnya lebih besar prosentasenya mendapat kekerasan fisik dibandingkan anak perempuan. Sedangkan hasil penelitian Putri (2008) menemukan dua bentuk kekerasan terhadap anak dengan dalih memberi hukuman yang mendidik yaitu hukuman fisik, seperti: dicubit/dijewer,

push up, lari keliling lapangan, dilempar menggunakan alat tulis, dijemur, ditampar/dipukul, ditendang dan hukuman non-fisik, seperti: mencemooh/diejek dan mengancam.

Sementara hasil penelitian di pondok pesantren Pesantren Nurul Hakim Kediri menunjukkan bahwa tindakan yang menyertai penanaman kedisiplinan dan dikategorikan sebagai tindak kekerasan dalam proses pembelajaran dapat disaksikan dalam proses pembelajaran formal maupun non formal. Tindak kekerasan pada proses pembelajaran non-formal ketika berada di lingkungan pondok atau asrama lebih banyak terjadi dibanding pada proses pembelajaran formal. Bentuk hukuman yang diberikan beragam mulai dari bentakan, cubitan sampai pukulan dan bahkan digunduli rambutnya bagi yang laki-laki. Sedangkan pelaksana hukuman adalah ustad, santri-santri senior dari berbagai departemen yang ditempatkan dalam setiap ruangan (Nurhilaliati, 2005).

(10)

bekerja. Hasil penelitian Hanandini (2004) menunjukan bahwa berbagai bentuk tindak kekerasan dan pelecehan seksual dialami oleh anak jalanan oleh para preman. Sementara hasil penelitian lain memperlihatkan anak-anak jalanan kurang mendapatkan perlindungan dari pemerintah dari tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh para preman tersebut (Hanandini, 2005). Hasil penelitian Hanandini tersebut nampak sejalan dengan temuan Adi (2006) yang melakukan penelitian kekerasan yang dialami anak di rumah dan sekolah di tiga kota Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara. Hasil dari kajian ini menemukan: (1) bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak di rumah dan sekolah berbeda dengan bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak di masyarakat; (2) kekerasan yang dialami anak dari orang tuanya atau guru dianggap hukuman dalam rangka mendidik anak, hal tersebut masih merupakan kebiasaan (budaya) mereka; (3) perlindungan anak terhadap kekerasan yang terjadi di lingkungan keluarga dalam prakteknya belum tersentuh karena masih dianggap sebagai urusan (hak) keluarga.

Kekerasan terhadap anak akan berdampak secara fisik, psikologis, dan sosial. Kekerasan secara fisik mengakibatkan organ-organ tubuh siswa mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka. Siswa yang mengalami hukuman fisik akan memakai kekerasan di keluarganya nanti, sehingga siklus kekerasan makin kuat. Dampak secara psikologis akan menimbulkan trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, dendam, menurunnya semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya inisiatif, serta daya tahan (mental) siswa, menurunnya rasa percaya diri, inferior, stress, depresi. Dalam jangka panjang, dampak ini bisa terlihat dari penurunan prestasi, perubahan perilaku yang menetap. Secara sosial siswa yang mengalami tindakan kekerasan tanpa ada penanggulangan, bisa saja menarik diri dari lingkungan pergaulan, karena takut, merasa terancam dan merasa tidak bahagia berada diantara temantemannya. Mereka juga jadi pendiam, sulit berkomunikasi baik dengan guru maupun dengan sesama teman. Bisa jadi mereka jadi sulit mempercayai orang lain, dan semakin menutup diri dari pergaulan.

(11)

tindak kekerasan dari pengalaman masa lalu mereka. Dampak lain dari tindak kekerasan atau hukuman kepada para peserta didik adalah tertanamnya jiwa yang keras dan ingin menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan kekerasan.

5.3. Penyebab Dan Upaya Pemecahan Kekerasan terhadap Anak dalam Perspektif Teori Masalah Sosial.

Dalam studi masalah sosial dikenal dua pendekatan untuk mendiagnosis penyebab terjadinya masalah sosial (kekerasan terhadap anak) yaitu person blame approach dan system blame approach. Pendekatan pertama beranggapan bahwa sumber masalah sosial terdapat pada penyandang masalah (aktor pelaku tindak kekerasan). Diagnosis masalah sosial difokuskan pada faktor-faktor yang melatarbelakangi kehidupan penyandang masalah tersebut. Pendekatan kedua mempunyai anggapan bahwa sumber masalah sosial terletak pada level sistem. Diagnosa dan upaya pemecahan masalah difokuskan pada penanganan sistemnya (Sutomo, 2008:209). Kedua pendekatan tersebut dituangkan dalam berbagai perspektif teori yang berkembang dalam studi masalah sosial. Terdapat tiga perspektif teori yang dapat digunakan untuk memahami masalah sosial yaitu teori struktural fungsional, teori konflik dan teori interaksi simbolik.

Penelitian ini akan menggunakan teori struktural fungsional dan interaksi simbolik untuk memahami kekerasan terhadap anak. Berdasarkan asumsi-asumsi teori struktural fungsional masalah sosial difahami sebagai patologi sosial, disorganisasi sosial, dan perilaku menyimpang. Dalam penelitian ini untuk memahami kekerasan terhadap anak lebih tepat digunakan perspektif teori patologi sosial dan perilaku menyimpang.

Menurut Soetomo (1995) perspektif pathologi sosial menggunakan “medical model” dalam memecahkan masalah sosial artinya memecahkan masalah sosial beserta segala implikasinya sama halnya dengan mengobati masyarakat yang sakit. Pada mulanya social pathologist cenderung membuat diagnosa bahwa individu merupakan sumber masalah dalam masyarakat. Tetapi dalam perkembangannya, perspektif ini juga menganalisis masyarakat sebagai sumber masalah sosial.

(12)

gagal dalam memahami nilai-nilai dan aturan-aturan sosial yang mengatur proses pendidikan yang berlaku di sekolah, keluarga atau lingkungan sosial lainya. Aktor karena cacat yang dimiliki dalam bersikap dan berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai sosial dan aturan sosial yang berlaku tersebut. Kondisi tersebut akan mengganggu atau menghancurkan bekerjanya sistem sosial.

Untuk mencegah pewarisan cacat individual (tingkah laku kekerasan terhadap anak) dari generasi ke generasi, aktor pelaku tindak kekerasan perlu diisolasi agar penyakitnya tidak menular. Bentuk isolasi misalnya dimasukan ke penjara. Disamping itu juga dilakukan proses resosialisasi yang mencakup aspek moral dan kondisi tubuh melalui pendidikan. Dengan demikian asumsi pendekatan ini sebenarnya adalah bahwa sistemlah yang paling benar, masalah kekerasan anak muncul karena kesalahan individu (orangtua, anggota keluarga (adik, kakak, tante, om, nenek, kakek), teman atau guru).

Dalam perkembangan yang terbaru teori pathologi sosial tidak hanya menyalahkan aktor sebagai sumber penyakit masyarakat akan tetapi juga dapat bersumber dari masyarakat itu sendiri. Masalah kekerasan terhadap anak dilihat melalui cacat yang ada di masyarakat atau institusi. Masyarakat yang immoral akan menghasilkan individu yang immoral yang mengakibatkan munculnya masalah sosial. Dengan demikian aktor yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak merupakan konsekuensi dari kondisi masyarakat yang sedang sakit atau cacat. Akan tetapi perlu dipahami bahwa aktor potensial untuk mengalami patologi dalam dimensi waktu dan tempat yang berebda. Oleh karena itu diagnosa terhadap perilaku kekerasan terhadap anak sebagai perilaku patologis sebaiknya berdasarkan pertanyaan: Mengapa individu-individu melakukan tindakan kekerasan terhadap anak? Bagaimana prosesnya mereka mengadopsi suatu kondisi yang dianggap gaya hidup menyimpang (kekerasan terhadap anak)? Mengapa peraturan yang melarang tindakan kekerasan anak lebih banyak dilanggar dibandingkan peraturan yang lain? Mengapa orang-orang tertentu lebih banyak melanggar peraturan mengenai kekerasan anak? Apa dan bagaimana lingkungan sosial banyak menumbuhkan perilaku kekerasan terhadap anak?

(13)

sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.

Perilaku kekerasan terhadap anak dalam perspektif perilaku menyimpang dianggap sebagai perilaku yang menyimpang dari aturan-aturan atau pranata sosial yang berlaku dalam sistem sosial. Pranata sosial berperan sebagai penegak keteraturan dan keseimbangan sistem sosial dengan cara membatasi sikap tindakan anggota masyarakat sebagai pedoman tingkah laku atau aturan main. Penyimpangan terjadi apabila individu menyimpang dari aturan yang ada sehingga dianggap sebagai sumber masalah.

Sementara itu menurut Parsons (dikutip Ritzer, 1985), pranata sosial adalah kompleks peranan yang telah melembaga dalam sistem sosial. Pranata harus dianggap sebagai satu tatanan yang lebih tinggi dari struktur sosial. Setiap unit sosial selalu bersesuaian dengan status dari struktur sosial yang ada tersebut. Konsep pranata sosial (social institution) tidak bisa dipisahkan dari konsep struktur sosial (social structure). Struktur sosial merupakan jaringan hubungan-hubungan sosial yang interkasi sosial berproses dan menjadi terorganisasi, serta melalui mana posisi sosial dari individu dan sub-kelompok dapat dibedakan. (Ritzer, 1985: 22)

Perilaku menyimpang mempunyai dua tipe yaitu penyimpangan murni dan penyimpangan tersembunyi. Penyimpangan murni terjadi apabila individu berperilaku tidak taat aturan dan orang lain juga menganggap demikian. Sedangkan penyimpangan tersembunyi adalah perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh individu tetapi tidak ada reaksi atau melihatnya sehingga oleh masyarakat seolah-olah tidak ada. Dalam konteks perilaku menyimpang, tindakan kekerasan terhadap anak dapat berupa penyimpangan tersembunyi atau menyimpangan murni.

(14)

karena itu perlu dipahami mengapa melakukan tindakan menyimpang? apa motivasinya? Dalam hubunganya dengan tindakan kekerasan terhadap anak perlu difahami apakah tindakan tersebut merupakan tindakan yang disengaja atau tidak sengaja, mengapa mereka melakukan tindakan kekerasan terhadap anak, apa motivasi yang mendasari tindakan tersebut, apakah aturan-aturan yang ada tidak bersifat ambivalen, apakah kelompok-kelompok mempunyai aturan-aturan yang berbeda dalam mengatur masalah kekerasan terhadap anak tersebut?

(15)

Sistem pendidikan nasional yang berubah-ubah dengan ditandai oleh silih bergantinya kurikulum dalam waktu singkat, merupakan salah satu aspek kegagalan sistem pendidikan. Belum terimplementasikannya suatu kurikulum hingga kegagalan perbaikan kurikulum merupakan beban baru bagi siswa. Termasuk ketika sistem ujian nasional diberlakukan, yang menjadikan ketidakjujuran sebagai sebuah bagian dari proses belajar mengajar. Kekerasan menjadi sebuah pilihan beberapa guru, dikarenakan tingginya beban pengetahuan yang harus dipindahkan ke siswa. Keterbatasan ruang kreasi pun terkadang menjadi sebuah hambatan tersendiri dalam proses belajar mengajar. Pemahaman substansi pendidikan telah sangat jauh ditinggalkan oleh guru sebagai pendidik.

Sementara menurut Mashar (2008), ada dua faktor penyebab bullying, yakni kepribadian dan situasional. Faktor kepribadian terjadi karena pengaruh dari pola asuh orang tua terhadap anak. Pola asuh yang otoriter terbukti mengakibatkan anak memiliki peluang menjadi pelaku bullying. Tayangan sinetron juga membentuk skema kognitif pada anak yang mengakibatkan mereka cenderung menjadi pelaku bullying. Cirinya anak memiliki kecendrungan motif dasar agresivitas, rasa rendah diri yang berlebihan, dan kecemasan. Sedang faktor situasional, sebagai anak remaja mereka berkecenderungan untuk mengikuti perilaku kelompok di lingkungannya. Apalagi jika di sekolah nyata-nyata memiliki tradisi bullying, maka tradisi tersebut akan menurun terus kepada yuniornya.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan menurut teori perilaku menyimpang untuk mengembalikan tindakan kekerasan terhadap anak tersebut adalah dengan meresosialisasi aktor yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak. Pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak dapat dilakukan dengan cara penyadaran kepada anggota masyarakat bahwa kebiasaan (budaya) perlakuan kekerasan terhadap anak akan berakibat buruk bagi masa depan anak. Untuk menghilangkan tindak kekerasan dalam proses pendidikan di pondok pesantren, perlu sebuah penyadaran paradigma pikir dan aksi para ustadz dan seluruh santri yang ada di pesantren tentang dampak jangka pendek dan panjang yang mungkin akan ditimbulkan dari tindak kekerasan.Untuk itu, diperlukan kontrol berjenjang yang cukup ketat dari seluruh elemen Pondok Pesantren dalam proses pembelajaran santri terutama oleh pimpinan dan pengasuh pondok. Kontrol ini dilakukan untuk menghindari terjadinya tindak kekerasan pada lapisan ustadz dan santri senior yang setiap hari berhadapan langsung dengan kondisi riil di lapangan (Nurhilaliati, 2005).

(16)

Berdasarkan temuan yang diperoleh dalam penelitian yang dilakukan oleh Adi dkk (2006), direkomendasikan agar dilakukan usaha-usaha untuk menghapuskan kekerasan melalui Sosialisasi KHA di berbagai lapisan masyarakat. Sosialisasi KHA bagi anak, guru dan orangtua dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Misalnya dengan memasukkan materi KHA dalam kurikulum sekolah. Sekolah dalam hal ini berperan mendidik dan memberikan contoh pendidikan tanpa kekerasan kepada anak didiknya. Sedangkan sosialisasi KHA pada aparat pemerintah khususnya mereka yang melakukan pelayanan terpadu bagi anak agar pelayanan yang dilakukan membantu proses recovery korban kekerasan.

Sedangkan untuk meningkatkan lingkungan sosial yang konformiti terhadap nilai-nilai anti kekerasan terhadap anak diperlukan penyuluhan terutama terhadap orang tua dan guru mengenai ketidakbenaran anggapan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan hukuman dalam rangka mendidik anak. Penyadaran pada orang tua dan guru untuk sebisa mungkin meminimalisir pemberian hukuman dan menggantinya dengan pendekatan negative reinforcement. Cara ini dianggap dapat membantu proses pendidikan tanpa berdampak pada terjadinya kekerasan terhadap anak.

Menurut Saifullah (2008) penyebab terjadinya kekerasan seksual dan fisik di pesantren dapat dicari dari salah satu faktor berikut: Pertama, pesantren pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan lain seperti sekolah. Keterbatasan sarana dan fasilitas pendukung penginapan seringkali membuat para santri harus tidur berdesakan dan mandi bersama-sama, tidak ada wilayah privat di pesantren. Interaksi fisik antar santri terjadi dalam interaksi tinggi. Pada waktu bersamaan, mayoritas santri sedang mengalami masa-masa pubertas. Mereka sedang asyik mencari tahu tentang fungsi dan perkembangan alat-alat reproduksinya. Dengan demikian tidak heran jika mereka saling memperhatikan atau membandingkan antara organ vital miliknya dengan teman-temannya. Bahkan ketika bergurau topik pembahasan pun mengarah pada seksualita. Keterbatasan sarana dan fasilitas ini juga memicu terjadinya kekerasan fisik karena perebutan wilayah kekuasaan' oleh raja-raja kecil.

(17)

belum ada test masuk. Sehingga semua orang bebas masuk asal membayar biaya administrasi. Para pelajar dari keluarga broken home dan anak-anak nakal pun seringkali dititipkan ke pesantren agar insaf. Keempat, di pesantren juga terdapat materi pelajaran seksualita dengan merujuk pada literatur dari kitab-kitab kuning. Pelajaran ini sejatinya khusus untuk santri dan santriwati senior. Namun, santri-santri junior juga sering menyamar untuk mengikuti pengajian yang digelar tengah malam ini. Tidak menutup kemungkinan kekerasan fisik dan seksual juga dilakukan oleh para staf pengajar. Pasalnya, di pesantren dituntut adanya ketaatan penuh.

Berbeda dengan perspektif pathologi sosial, teori interaksi simbolik melihat perilaku sebagai hasil dari proses interaksi sosial dengan orang lain. Dalam proses interaksi tersebut individu mendapatkan makna dari setiap tindakan dan menggunakanya sebagai alat untuk melakukan tindakan selanjutnya. Makna tersebut akan terus berubah sepanjang individu melakukan interaksi sosial. Oleh karena itu dalam memahami masalah tindakan kekerasan terhadap anak bersifat relatif tergantung pada interpretasi masyarakat tertentu atau tergantung pada bagaimana masyarakat memberi makna terhadap situasi kekerasan anak tersebut.

Dalam lingkungan atau masyarakat tertentu bisa jadi perilaku tertentu tidak diangap sebagai tindak kekerasan, tetapi di masyarakat yang lain perilaku tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak. Oleh karena itu persoalan kekerasan anak seringkali muncul karena perbedaan interpretasi antara individu dengan masyarakat. Individu memberikan makna bahwa apa yang dilakukan sebagai sesuatu yang wajar bukan merupakan tindakan kekerasan, sedangkan masyarakat memberi makna dan memberikan label sebagai tindakan kekerasan. Perbedaan interpretasi dan pemberian label tersebut karena adanya perbedaan referensi atau kerangka pengalaman yang dijadikan referensi dalam menginterpretasikan tindakan tersebut.

(18)

Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10 tahun dan idhribuu (pukullah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak diperkenankan menggunakan kekerasan dalam masalah shalat, apalagi dalam masalah selain shalat, yaitu dalam proses pendidikan. Mendidik mereka yang berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan pemberian motivasi dan ancaman. Kebolehan memukul bukan berarti harus/wajib memukul. Maksud pukulan/tindakan fisik disini adalah tindakan tegas “bersyarat”, yaitu: pukulan yang dilakukan dalam rangka ta’dîb (mendidik, yakni agar tidak terbiasa melakukan pelanggaran yang disengaja); pukulan tidak dilakukan dalam keadaan marah (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak sampai melukai atau (bahkan) membunuh; tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh melebihi 10 kali, diutamakan maksimal hanya 3 kali; tidak menggunakan benda yang berbahaya (sepatu, bata dan benda keras lainnya) (http://pa-lubukbasung.pta-padang.go.id/ diakses tgl 3-2-2009).

Dunia pendidikan Islam juga telah memiliki kitab “wasiat” tersendiri yang berisi doktrin tentang kepatuhan atau etika terhadap guru seperti yang termaktub dalam kitab ta’lîm wa al-muta’allim. Berdasarkan hasil beberapa penelitian, ada yang menganggap bahwa kitab ini adalah salah satu sumber munculnya kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan, yang belakangan ini sudah banyak dikritisi oleh para pakar pendidikan modern (Nurhilaliati, 2005).

Perbedaan persepsi dan interpretasi tidak hanya antara agama, tetapi juga dapat terjadi dalam lingkup budaya, mendidik anak dengan memberikan hukuman fisik merupakan bagian dari budaya. Hasil kajian yang dilakukan oleh Adi dkk. (2008) menemukan kekerasan yang dialami anak dari orang tuanya atau guru dianggap hukuman dalam rangka mendidik anak, hal tersebut masih merupakan kebiasaan (budaya) mereka. Sedangkan perlindungan anak terhadap kekerasan yang terjadi di lingkungan keluarga dalam prakteknya belum tersentuh karena masih dianggap sebagai urusan (hak) keluarga.

(19)

5.4. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan kajian pustaka tersebut maka kerangka berpikir untuk memecahkan masalah kekerasan terhadap anak yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Keterangan:

UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Keluarga

(20)

UU No 27 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

Keppres RI No 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak.

FPAS = Forum Perlindungan Anak Sekolah

TKPABH = Tim Koordinasi Penanganan Anak Bermasalah Hukum

BAB II. METODE PENELITIAN 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan didukung dengan pendekatan kuantitatif dengan tipe deskriptif. Penggabungan dua pendekatan tersebut dimungkinkan menurut beberapa faktor. Faktor pertama menyangkut arti penting yang diberikan pada masing-masing pendekatan dalam keseluruhan proyek. Faktor kedua menyangkut urutan waktu, jangka waktu untuk mana kedua metode ditempuh secara simultan. Faktor ketiga, terkait dengan urutan waktu dan menyangkut tahapan dalam proses penelitian saat kedua metode digunakan atau dihentikan. Faktor keempat menyangkut pembagian ketrampilan dalam tim (Brannen, 2005:37). Dalam penelitian ini, kedua pendekatan digunakan secara simultan, mengingat tujuan penelitianya maka penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini lebih dominan.

Pendekatan kuantitatif deskripitif digunakan untuk mendeskripsikan kondisi, bentuk dan aktor yang menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap anak. Penelitian kuantitatif deskriptif bertujuan hanya menggambarkan gejala sosial apa adanya, tanpa melihat hubungan-hubungan yang ada (Bungin, 2005:171). Sementara menurut Singarimbun (1995) penelitian survai dapat digunakan untuk maksud (1) eksploratif, (2) deskriptif, (3) explanatory, (4) evaluasi, (5) prediksi, (6) penelitian operasional, dan (7) pengembangan indikator-indikator sosial.

Sedangkan tujuan penggunaan pendekatan kualitatif agar dapat mengungkap dan memahami secara cermat proses dan kondisi yang mendorong terjadinya trindak kekerasan terhadap anak dan merumuskan solusi untuk mengatasi meningkatnya jumlah tindak kekerasan terhadap anak. Penelitian kualitatif merupakan tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan tentang manusia dalam ruang lingkupnya dan peneliti berhubungan dengan orang tersebut dalam bahasa mereka. (Kirk and Miller, 1989). Menurut Mulyana (2001) tujuan pendekatan kualitatif adalah untuk memperoleh pemahaman yang otentik mengenai pengalaman orang-orang sebagaimana dirasakan oleh yang bersangkutan.

(21)

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer didapat dengan menggunakan daftar pertanyaan, wawancara mendalam, dan pengamatan langsung di lapangan. Daftar pertanyaan diberikan kepada responden, wawancara mendalam dilakukan terhadap para informan, pengamatan langsung dilakukan terhadap anak ketika berinteraksi dengan teman dan guru.

Pengumpulan data dilaksanakan dua tahap, pertama dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner disebarkan di empat lokasi penelitian dengan sistem sampling. Untuk lancarnya pengisian kuesioner akan dibantu oleh beberapa orang tenaga surveyor. Kedua dengan wawancara mendalam. Agar pelaksanaan wawancara lebih terfokus sesuai masalah penelitian, maka informasi yang digali berdasarkan informasi awal yang dijaring lewat kuesioner. Wawancara diharapkan dapat memberikan data yang saling melengkapi sehingga dalam menyimpulkan hasil penelitian lebih terfokus.

Jenis data yang dikumpulkan bersifat etic dan emic. Data etic adalah data yang dikumpulkan berdasarkan pandangan peneliti yang diperoleh berdasarkan kajian pustaka, sedangkan data emic adalah data atau informasi yang diperoleh berdasarkan pandangan informan. Oleh karena itu teknik pengumpulan data yang digunakan juga berdasarkan sifat datanya. Data etic dikumpulkan dengan menggunakan teknik survai dan menggunakan alat wawancara berstruktur atau kuesioner. Sedangkan data emic dikumpulkan dengan observasi, wawancara mendalam (in-depth interview). Sementara data sekunder atau bahan dokumen dikumpulkan dengan cara mencatat atau menfotocopy bahan-bahan yang relevan dengan masalah penelitian. Kegunaan data atau informasi yang diperoleh dari masing-masing teknik pengumpulan data yang digunakan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Survai dilakukan kepada responden yang telah ditetapkan sesuai kriteria dengan menggunakan kuesioner. Survai dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum kondisi anak, bentuk dan aktor pelaku tindak kekerasan, jenis-jenis hukuman.

b. Observasi berguna untuk melakukan pengamatan terhadap perilaku anak, guru, orang tua dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Data hasil pengamatan lebih berfungsi sebagai triangulasi terhadap data dan informasi yang diperoleh melalui wawancara mendalam. Pengamatan diharapkan dapat mengungkap fenomena yang dilakukan secara spontan oleh subyek penelitian.

(22)

dilakukan tidak mesti sekali, kalau belum ditemukan informasi yang dibutuhkan bisa saja wawancara dilakukan berulang kali.

Data sekunder yang dikumpulkan digunakan untuk mendukung dan memperkuat argumentasi yang diperoleh dari data primer (lapangan).

3. Responden dan Informan

Responden penelitian adalah anak yang berumur 7-18 tahun tinggal di pondok. Sedangkan informan penelitian adalah pejabat dinas pendidikan, orangtua, guru, tokoh agama, masyarakat/adat, pimpinan sekolah, pengurus pesantren dan tokoh pendidikan. Informan penelitian dapat berkembang sejalan dengan hasil penelitian di lapangan yang terjaring melalui teknik snowball sampling.

4. Populasi, Sampel, Teknik Penarikan Sampel

Populasi penelitian ini adalah seluruh anak yang berumur 7-18 tahun yang tinggal di pondok. Besar sampel ditetapkan sebesar 100 orang yang dibagi secara proporsional di empat lokasi penelitian, dengan demikian masing-masing ponpes diambil sampel sebanyak 25 orang siswa.

Teknik pengambilan sampel dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah area sampling. Tahap kedua, menetapkan nama-nama responden yang akan menjawab pertanyaan dalam kuesioner. Penetapan sampel area dilakukan berdasarkan lokasi penelitian. Setelah itu baru ditetapkan responden penelitian. Penetapan nama-nama responden yang akan menjawab pertanyaan dalam kuesioner dilakukan dengan cara sistematic random sampling.

Sedangkan penentuan sampel dalam penelitian kualitatif tidak didasarkan perhitungan statistik. Sampel yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum, bukan untuk generalisasi. Dalam penelitian kualitatif, teknik pengambilan sampel yang sering digunakan adalah teknik purposive sampling dan snowball sampling (Sugiyono, 2005:53-54). Teknik purposive sampling menetapkan sampel dengan pertimbangan tertentu. Sedangkan snowball sampling menetapkan sampel dari awal sedikit, lama-lama menjadi besar seperti bola salju yang menggelinding, dari bola yang kecil lama-lama menjadi besar. Teknik

(23)

dengan menggunakan responden selanjutnya boleh dikatakan tidak lagi diperoleh tambahan informasi baru yang berarti (Nasution, 1988).

5. Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dilakukan melalui dua tahap. Tahap I, adalah analisis data kuantitatif. Pada penelitian kuantitatif pengolahan data dilaksanakan dengan melalui tahap pemeriksaan

(editing), proses pemberian identitas (coding), dan proses pembeberan (tabulating). Ada dua model pengolahan dan analisis data statistik yaitu pengolahan data dengan menggunakan statistik deskriptif dan inferensial (Bungin, 2005:171). Dalam penelitian ini pengolahan data yang diperoleh dari kuesioner menggunakan statistik deskriptif dengan dibantu program SPSS, lalu dianalisis dengan menggunakan tabel frekuensi dan tabel silang.

Tahap II, adalah analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif dilakukan sejak awal pengumpulan data di lapangan hingga diperoleh kesimpulan atas sejumlah fenomena yang telah diamati. Pengolahan dan interpretasi data mengandung pengertian sebagai usaha menyederhanakan sekaligus menjelaskan bagian-bagian dari keseluruhan. Miles and Huberman (1984) mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas, datanya sampai jenuh. Aktifitas dalam analisis data yaitu data

reduction, data display, dan conclusion drawing. Data kualitatif yang diperoleh dari wawancara mendalam diinterpretasi dan digunakan untuk mendalami data yang diperoleh melalui kuesioner. Data yang berupa catatan lapangan dan data sekunder dikumpulkan untuk kemudian digolong-golongkan berdasarkan tema dan masalah penelitian dengan mengacu kepada rencana (outline) laporan penelitian. Data yang sudah diklasifikasi tersebut baru kemudian diinterpretasi dan dikaitkan dengan asumsi teoritis dan hipotesis kerja.

6. Penentuan Lokasi Penelitian

(24)

perkembangan informasi dan tindak kekerasan terhadap anak relative lebih tinggi dibandingkan dengan kota-kota lain di propinsi Sumatra Barat. Sedangkan Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar dipilih karena merupakan kabupaten yang secara tradisionil merupakan daerah darek dalam budaya Minangkabau.

7. Definisi Konsep yang Digunakan.

a. Anak didefinisikan berdasarkan batas usianya mengikuti batasan usia anak dalam undang-undang no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat pada pasal 1 bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

b. Kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap seorang anak, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran anak termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup keluarga, sekolah dan lingkungan sosial lainnya.

(25)

BAB III. TEMUAN DAN ANALISA DATA

1. Karakteristik Responden.

Responden penelitian adalah para siswa yang berada di empat pondok pesantren yang telah ditetap sebagai lokasi penelitianya. Sebagian besar responden adalah laki-laki (63%) dan perempuan (37%). Para responden kebanyakan berasal dari dalam propinsi Sumatera Barat. Responden berasal dari tingkat sekolah SD sampai SMA dengan jumlah responden terbesar (83%) di tingkat SMP.

Responden sebagian besar (22%) berumur 16 tahun dengan umur terkecil responden pada umur 12 tahun (8%) dari seluruh sampel yang diambil. Gambaran ini memberikan makna bahwa umur responden masih dalam batas-batas usia sekolah yang sesuai dengan tingkatan sekolahnya, tidak terdapat responden yang melebihi umur sekolah yang ditetapkan.

Sejalan dengan umur, responden sebagian besar berada di klas 7 (29%) atau klas 1 SMP sedangkan jumlah responden terkecil berada di klas 9 (2%) dan klas 12 (1%) atau klas 3 SMA. Jumlah respoden pada klas 3 SMP dan klas 3 SMA tersebut lebih kecil karena saat ini mereka sudah menyelesaikan ujian akhir nasional sehingga jarang dapat ditemui di sekolah.

2. Kehidupan Anak di Lingkungan Pondok Pesantren.

Pondok pesantren merupakan sebuah lingkungan sosial yang dihuni oleh sekolompok orang yang berasal dari berbagai latar belakang sosial budaya. Sistem pendidikan yang diterapkan agak berbeda dan lebih berat dibandingkan dengan sistem pendidikan yang diberlakukan di sekolah umum. Hubungan-hubungan sosial yang terjadi juga berbeda dengan lingkungan di luar pondok, ketaatan terhadap peraturan-peraturan yang diberlakukan merupakan keharusan bagi para penghuninya. Disiplin terhadap waktu dan jadwal kegiatan merupakan perilaku yang harus dijalankan setiap hari agar dapat mengikuti semua kegiatan di pondok. Oleh karena itu tinggal di pondok pesantren seringkali merupakan pengalaman baru bagi kebanyakan anak-anak. Informasi mengenai gambaran kehidupan di pondok seringkali kurang diperoleh secara lengkap oleh anak.

(26)

pondok. Pengalaman baru bagi anak-anak yang seringkali menjadi persoalan ketika pertama kali masuk pesantren adalah bangun pagi. Disamping itu juga disiplin terhadap jadwal waktu yang telah ditetapkan merupakan persoalan yang seringkali menjadi kendala pada awal-awal pertama kali masuk pondok pesantren.

Disiplin dan pengawasan yang ketat dari pihak pondok pesantren pada awalnya menjadi faktor yang seringkali membuat anak-anak yang baru masuk pondok menjadi tidak betah. Kondisi ini apabila tidak disikapi dengan bijak oleh pengurus pondok dan orangtua santri akan membuat anak-anak meminta untuk pulang kerumah atau keluar dari pondok. Anak-anak seringkali mengadu ke orang tua mengenai perubahan kebiasaan tersebut dan berharap orangtuanya dapat menariknya keluar dari pondok. Hasil wawancara dengan orangtua santri di Pondok Thawalib mengatakan bahwa sebenarnya yang harus siap untuk memasukan anak ke pondok pesantren tidak hanya anaknya tetapi juga orangtuanya. Para orangtua yang tidak tahan mendengar keluhan-keluhan anak yang berada di pondok karena perubahan kebiasaan tersebut seringkali akan memenuhi permintaan anaknya untuk keluar dari pondok.

Pondok Pesantren Modern Nurul Ikhlas di Kabupaten Tanah Datar misalnya mewajibkan penghuninya bangun pukul 4.30 untuk melakukan sholat subuh dan wirid subuh kemudian dilanjutkan pemberian kosa kata bahasa Arab dan Inggris pada pukul 5.30-6.00. Pada pukul 6.00-7.00 para santri baru diperbolehkan mandi, makan pagi dan persiapan untuk sekolah dengan diawali apel pagi pukul 7.00-7.15. Belajar dimulai pukul 7.15-15.40 dengan diselingi sholat zhuhur dan makan siang pada pukul 12.30-14.15. Dengan jadwal kegiatan yang cukup ketat tersebut, apabila anak tidak mempunyai kemauan yang kuat untuk tinggal di pondok akan menyebabkan anak cepat sekali meminta untuk keluar dari pondok. Beberapa anak menurut penuturan orangtua anak sudah banyak yang meminta untuk keluar dari pondok akibat tidak tahan dengan ketatnya jadwal kegiatan dan dinginya udara di Kota Padang Panjang kalau harus bangun pada waktu pagi subuh. Kondisi ini juga dialami oleh para penghuni Pondok Pesantren Thawalib Padang Panjang dan Muhammad Natsir di Alahan Panjang, Solok

Keinginan untuk belajar di pondok pesantren sebagian besar (83%) didorong oleh kemauan sendiri. Gambaran data tersebut memberikan makna bahwa sebagian besar anak-anak yang sekolah di pondok atas dasar keinginan sendiri, hanya sebagian kecil atas kemauan orang lain. Meskipun demikian orangtua juga masih mempunyai peranan yang penting dalam mengarahkan pendidikan anak-anaknya. Orang tua nampaknya menjadi faktor pendorong bagi anak-anak masuk ke pondok pesantren. Bagi anak-anak yang berasal dari luar daerah dimana pondok pesantren berada, informasi mengenai sekolah di pondok seringkali berasal dari orangtua atau guru-guru sekolah. Pondok pesantren seperti Nurul Ikhlas memang telah mempunyai website di internet dan brosur, sehingga banyak anak-anak sekolah yang menggunakan website tersebut untuk mencari informasi mengenai pondok pesantern yang akan dimasuki. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau sebagian besar (90%) anak-anak yang bersekolah di pondok merasa cocok karena berdasarkan keinginanya sendiri, hanya 1% yang mengatakan tidak cocok hidup di pondok. Anak-anak yang merasa kurang cocok atau tidak cocok hidup di pondok biasanya mempunyai pengalaman buruk selama berada di pondok. Pengalaman kehilangan barang di asrama, mata pelajaran di pondok yang lebih banyak penekananya pada pelajaran agama dibandingkan pelajaran umum, dan latar belakang keluarganya yang kebanyakan bersekolah di sekolah umum merupakan alasan responden yang merasa tidak cocok atau kurang cocok belajar di pondok.

(27)

dapat juga melanjutkan ke sekolah umum. Sesuai dengan keadaan dan kebutuhan sekolah, waktu pembelajaran efektif belajar ditetapkan sebanyak 49 jam pelajaran formal dan 8 jam pelajaran tambahan per minggu untuk setiap tahun pelajaran. Sebagian besar ( 60% ) pondok pesantren menggunakan waktu belajar selama 7-8 jam dalam sehari dari pukul 7.00 sampai 15.40. Jadwal tersebut sangat ketat diberlakukan untuk semua siswa pondok.

Waktu belajar di Pondok Pesantren Nurul Ikhlas misalnya menggunakan sistem semester yang membagi 1 tahun pelajaran menjadi semester 1 (satu) dan semester 2 (dua). Kegiatan pembelajaran dilaksanakan selama 6 hari. Sementara daftar kegiatan sehari-hari di pondok pesantren dr. M. Natsir, jadwal kegiatan belajar lebih ketat, dimulai pukul 4.30 waktu bangun dan diakhiri waktu tidur malam mulai pukul 1.30. Ketatnya jadwal pelajaran yang ada di pondok pesantren menyebabkan sebagian jumlah tidur para siswa menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan rata-rata waktu tidur 8 jam sehari, 36% siswa tidur selama kurang dari 6 jam sehari, kebanyakan siswa (59%) tidur 7-10 jam perhari.

Kebanyakan (82%) para siswa pondok baru mulai tidur pukul 9-11 malam, dan 79% siswa mengatakan bangun pagi pada pukul 4.00. Waktu bangun yang cukup pagi dengan kondisi cuaca yang sangat dingin membuat siswa seringkali malas. Pondok pesantren Nurul Ikhlas, Thawalib, dan Muhammad Natsir terletak di daerah penggunungan dengan suhu yang cukup dingin. Siswa yang baru pertama kali masuk pondok dan berasal dari luar daerah kota Padang Panjang dan Solok (Alahan Panjang) seringkali menghadapi persoalan ketika harus bangun pagi pada waktu tersebut. Di Pondok Pesantren Muhammad Natsir kegiatan siswa baru berakhir pada jam 22.00 dengan istirahat di dalam asrama sambil mengulang pelajaran atau menghafal.

Muatan kurikulum yang dikembangkan di pondok pesantren berisi muatan kurikulum nasional dan muatan lokal. Muatan kurikulum SMA Nurul Ikhlas misalnya meliputi mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya sesuai dengan Standar Kompetensi Dasar yang ditetapkan oleh Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP), muatan lokal yang dikembangkan oleh sekolah serta kegiatan pengembangan diri. Mata pelajaran terdiri dari mata pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan.

Mata pelajaran wajib adalah mata pelajaran yang wajib diambil oleh siswa berdasarkan kurikulum nasional misalnya untuk Kelas X :Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Biologi, Kimia, Fisika, Sejarah, Ekonomi, Geografi, Sosiologi, Seni dan Budaya, dan Tekonologi Informasi komunikasi. Kelas XI dan XII IPA : Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Biologi, Kimia, Fisika, Sejarah Seni dan Budaya, dan Tekonologi Informasi komunikasi. Kelas XI dan XII IPS : Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Sejarah, Ekonomi, Geografi, Sosiologi, Seni dan Budaya, dan Tekonologi Informasi komunikasi.

Sedangkan mata pelajaran pilihan diberikan untuk semua tingkatan kelas yaitu Bahasa Arab, Ketrampilan Kaligrafi /Khot, dan Ketrampilan Bahasa Inggris, Masing-masing mata pelajaran pilihan tersebut dilaksanakan secara formal disekolah dan non formal di asrama. Muatan lokal di SMA Nurul Ikhlas berada dalam lingkungan Pondok Pesantren Modern Nurul Ikhlas yang dipilih adalah Budaya Alam Minangkabau ( BAM ) dan Ketrampilan Bahasa Arab. Sementara di Pondok Pesantren Sabbihisma mengunggulkan Tahfiz Alquran, Ilmu Pengetahuan dan Penguasaan Teknologi, Ketrampilan, Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sebagai kegiatan ekstrakurikulernya.

(28)

Menurut sebagian besar (84%) siswa, pelajaran tambahan tersebut sangat diperlukan karena untuk menambah pengetahuan dan memperdalam materi pelajaran yang telah diterima. Meskipun jam pelajaran sehari-hari sudah cukup padat, para siswa menilai jam pelajaran tambahan dianggap tidak memberatkan. Mereka menganggap jam pelajaran sebagai kegiatan yang biasa saja, hanya 4% siswa yang menganggap jam pelajaran tambahan memberatkan bagi siswa.

Disamping diberi pelajaran yang bersifat akademik siswa di pondok pesantren juga diberikan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan softskill atau pengembangan diri. Pengembangan diri diarahkan untuk pengembangan karakter peserta didik yang ditujukan untuk mengatasi persoalan dirinya, persoalan masyarakat di lingkungan sekitarnya, dan persoalan kebangsaan. Kegiatan pengembangan diri dilaksanakan sebagian besar di dalam kelas (intrakurikuler) dengan alokasi waktu 2 jam tatap muka. Sedangkan pengembangan diri yang dilaksanakan di luar kelas (ekstrakurikuler) diasuh oleh guru pembina. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan berupa bola volley, bola kaki, bola basket, bola takraw, pramuka yang dilaksanakan secara reguler setiap hari Sabtu.

Disamping pelajaran sekolah, para siswa juga mengikuti kegiatan di luar sekolah yang cukup padat dan beragam. Kursus atau les untuk memperdalam mata pelajaran yang diuji dalam UAN, olah raga, dan kesenian merupakan kegiatan-kegiatan yang cukup diminati oleh para siswa.

Sekolah juga memfasilitasi kegiatan pengembangan diri melalui kegiatan bimbingan konseling dan program pembiasaan. Bimbingan Konseling, mencakup hal-hal yang bekenaan dengan pribadi, kemasyarakatan, belajar, dan konsep peserta didik. Bimbingan Konseling diasuh oleh guru yang ditugaskan sebagai guru BK. Meskipun hampir semua pondok pesantren mempunyai lembaga BK, tetapi tidak semua berfungsi dengan baik. Sedangkan program pembiasaan mencakup kegiatan yang bersifat pembinaan karakter peserta didik yang dilakukan secara rutin, spontan, dan keteladanan. Pembiasaan ini dilaksanakan sepanjang waktu belajar di sekolah. Seluruh guru ditugaskan untuk membina Program Pembiasaan yang telah ditetapkan oleh sekolah.

Pada umumnya pondok pesantren menggunakan sistem boarding school, seperti Pondok Pesantren Nurul Ikhlas, dimana pada pagi sampai siang hari para siswa mengikuti proses belajar mengajar di klas dibawah koordinasi bagian akademik pada sore hari sampai pagi hari mereka dibawah koordinasi asrama. SMA Nurul Ikhlas misalnya adalah sekolah yang berada dalam lingkungan Pondok Pesantren Modern Nurul Ikhlas dengan sistem pendidikan boarding school dimana seluruh siswanya tinggal dalam satu kompleks asrama. Kondisi ini sangat memungkinkan dilaksanakannya program pendidikan dengan struktur dan muatan kurikulum yang lebih padat dengan memanfaatkan waktu tidak hanya pada pagi dan siang hari tetapi juga pada sore dan malam hari.

Penempatan murid baik di klas maupun di asrama dilakukan secara terpisah antara putra dan putri. Di pondok pesantren Nurul Ikhlas para siswa hanya diwajibkan untuk belajar tanpa dibebani dengan pekerjaan lainnya (memasak, mencuci). Demikian juga di Pondok Pesantren Sabbihisma semua kebutuhan siswa dipenuhi oleh sekolah, mulai dari makan, obat-obatan sampai untuk cuci dan gosok pakaian. Sementara di Pondok Pesantren Thawalib para santri masih diwajibkan untuk mencuci baju sendiri, sedangkan untuk makan disediakan melalui katering. Sedangkan di Pondok Pesantren Muhammad Natsir disamping para murid wajib mengerjakan pekerjaan pribadinya juga diajari untuk bertani menanam tomat, lobak dan sebagainya. Hasil dari bertani tersebut digunakan untuk membiayai pondok.

(29)

dapat memenuhi semua kebutuhan anak didiknya dengan fasilitas yang cukup lengkap disamping fasilitas pendidikan juga terdapat fasilitas kesehatan, olah raga, ibadah, laundry , dapur, ruang makan dan wisma untuk tamu yang berkunjung sehingga para santri hanya fokus untuk belajar saja.

Sistem pemondokan di Pondok Pesantren pada umumnya memisahkan antara asrama santri laki-laki dan perempuan (anta dan anti) baik dalam satu kompleks maupun dalam kompleks yang berbeda. Pondok pesantren Nurul Ikhlas, Sabbihisma, dan Muhamamad Natsir misalnya memisahkan antara santri laki-laki dan perempuan dalam asrama yang berbeda tetapi masih dalam satu kompleks pondok pesantren. Sedangkan Pondok Pesantren Thawalib, memisahkan asrama santri laki-laki dan perempuan dalam kompleks pondok pesantren yang berbeda atau terpisah.

Para santri ditempatkan dalam asrama yang dibagi dalam kamar-kamar. Dalam satu kamar dihuni oleh 8 orang santri dengan menggunakan tempat tidur susun yang diletakan menempel di salah satu dinding kamar. Siswa atau santri tidak dibenarkan untuk tidur berdua, mereka harus tidur ditempat tidur masing-masing. Di pondok Pesantren Muhammad Natsir, penyusunan tempat tidur juga berbeda antara laki-laki dan perempuan. Dalam satu kamar hanya terdapat 8-10 tempat tidur sederhana yang dihuni oleh 20-30 orang santri. Bahkan ada sebagian anak yang tidur di tikar, tidak ada bantal atau selimut.

Di sebagian ruang kamar digunakan untuk meletakan lemari pakaian para santri. Para santri yang berada dalam satu kamar didampingi oleh satu orang wali asrama (ustad atau ustadzah) serta kakak kelas. Para wali asrama (Ustadz/ Ustadzah ) juga menetap di asrama sehingga setiap saat dapat mengawasi para santrinya. Apapun yang akan dilakukan oleh santri (diluar kegiatan belajar) seperti untuk keluar pondok, dan lain-lainya harus sepengetahuan dan seizin wali asrama. Pengawasan di asrama putri agak ketat di bandingkan asrama laki laki. Tamu untuk wanita sangat di seleksi, yang diperbolehkan hanyalah keluarga/muhrim dari santri tersebut. Di pondok pesantren Sabbihisma, bahkan santri laki laki dan santri putri tidak pernak bertemu walau dengan keadaan apapun.

Kehidupan para siswa di pondok pesantren pada dasarnya dapat dipisahkan antara kehidupan di sekolah dan di asrama. Kehidupan di sekolah dijalani ketika para siswa mengikuti pelajaran di sekolah seperti layaknya sekolah umum lainnya. Sedangkan kehidupan di asrama merupakan kehidupan setelah pelajaran di sekolah selesai.

Para siswa akan diberikan pelajaran-pelajaran yang menyangkut keagamaan. Pola interaksi antara laki-laki dan perempuan di pondok pesantren Pondok Pesantren Nurul Ikhlas misalnya dikoordinir oleh Dewan Pembina Santri/Santri Putri (DPS/DPSP). Aktifitas murid di asrama diarahkan untuk: a). Menanamkan nilai-nilai agama dan akhlak melalui pemahaman Al Quran, b). Meningkatkan ibadah dan membina disiplin murid, c). Menciptakan kemandirian dan menanamkan keberanian menghadapi tantangan, d). Menumbuhkan rasa persaudaraan yang mendalam dan membatasi serta mengatisipasi diri dan pergaulan bebas remaja yang cenderung mengarah kepada penggunaan narkoba dan kenakalan remaja lainnya.

Hubungan antara santri laki-laki dan santri perempuan sangat diatur di dalam lingkungan pondok. Mereka dipisahkan dalam segala hal kegiatan baik kegiatan esktra maupun belajar, meskipun berada dalam satu kompleks. Santri laki-laki dan santri perempuan tidak dibolehkan berkomunikasi secara bebas tanpa ada izin dari wali asrama, kecuali bagi santri yang memiliki hubungan saudara, namun tetap seizin wali asrama terlebih dahulu. Masing-masing pesantren mempunyai peraturan atau kode etik untuk mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan.

(30)

berteman selayaknya murid di sekolah biasa. Interaksi antara siswa laki-laki dan perempuan dibolehkan selama masih dalam batas kode etik yang telah ditetapkan. Di asrama antara murid laki-laki dan perempuan memang dipisah karena antara murid laki-laki dan perempuan mempunyai kegiatan berbeda kecuali dalam hal shalat berjamaah.

Pondok pesantren mengiktui ketentuan hari libur sekolah yang didasarkan pada ketetapan sekolah, pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk tidak diadakan proses pembelajaran di sekolah. Penentuan hari libur memperhatikan ketentuan Libur Idul Fitri, Libur Idul Adha, Libur Semester 2, dan Hari libur yang ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Pusat. Dalam satu minggu, siswa hanya belajar selama 6 hari, sehingga ada 1 hari libur dalam seminggu.

Khusus untuk Pondok Pesantren Nurul Ikhlas hari libur siswa ditetapkan pada hari Kamis, sebelumnya libur pada hari Minggu/Jum’at. Para pengunjung atau keluarga hanya diijinkan untuk menjenguk siswa pada hari libur. Berdasarkan hasil wawancara dengan wakil kepala sekolah kebijakan perubahan hari libur ini diambil untuk menghindari siswa yang berlibur pergi bermain-main ke pasar Padang Panjang karena hari Jum,at adalah hari pasar Kota Padang Panjang. Sementara siswa tidak diliburkan pada hari Minggu, untuk menghindarkan para santri sering-sering dijenguk oleh keluarga atau diajak pulang. Kebiasaan terlalu sering pulang justru akan membuat semangat belajar siswa menjadi berkurang dan siswa juga menjadi tidak betah tinggal di pondok.

Sedangkan Pondok Pesantren Thawalib, Muhammad Natsir, dan Sabhihisma menetapkan hari libur pada hari Jum’at. Pada hari libur tersebut anak-anak boleh dijenguk keluarganya atau dibawa pulang kerumah.

Sarana kesehatan yang ada di pondok cukup memadai, sebagian besar (79%) siswa menganggap pondok pesantren sudah menyediakan sarana kesehatan. Pondok pesantren Nurul Ikhlas misalnya menyediakan Poliklinik Ar Razi bagi siswanya dan penghuni pondok lainya untuk memeriksa kesehatanya.

Pemeriksaan kesehatanya dilakukan oleh sebagian besar (56%) responden sekali sebulan, hanya 11% siswa yang tidak secara rutin memeriksakan kesehatanya. Kesehatan para santri banyak mendapat perhatian pondok pesantren dengan mewajibkan para santri untuk membayar biaya kesehatan, khususnya di Pondok Pesantren Sabbihisma.

Pondok Pesantren Thawalib misalnya berdasarkan wawancara dengan Kepala Sekolah hanya menganggarkan untuk makan Rp.350.000/bln untuk siswanya. Siswa pondok pesantren Thawalib diminta untuk biaya bulanan sebesar Rp. 525.000/bln untuk MTs dan Rp. 535.000 untuk MA. Biaya tersebut digunakan untuk uang makan, SPP, asrama, uang sosial/OSIS/Pustaka, Ekstrakurikuler tanpa ada anggaran untuk kesehatan siswanya. Anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu oleh Pondok diberi kelonggaran hanya diminta untuk membayar uang makan saja. Sebagian besar siswa pondok ini berasal dari kalangan keluarga yang tidak mampu.

(31)

3. Bentuk dan Aktor-Aktor Yang Terlibat Dalam Tindak Kekerasan terhadap Anak. 3.1. Bentuk Tindak Kekerasan

Roberta M. Berns dalam bukunya Child-Family-School-community: Socializatioin and Support mengatakan bahwa kekerasan dapat didefinisikan sebagai perlakuan tidak wajar yang melibatkan fisik, seksual, psikologis atau emosional (dikutip dari Lusiana: 2008). Terdapat tiga jenis kekerasan. Pertama, kekerasan fisik yaitu perlakuan tidak wajar yang menyakiti fisik anak seperti memukul, mencubit, menjewer. Kedua, kekerasan seksual adalah tindakan yang menekan, menipu atau menekan anak untuk berhubungan seksual. Termasuk di dalamnya tingkah laku "tidak menyentuh" seperti orang dewasa menunjukkan pada anak atau meminta anak untuk menyaksikan hal-hal yang berhubungan dengan pornografi. Ketiga, kekerasan psikologis atau emosional adalah perilaku yang menghancurkan non fisik anak, seperti menyerang kompetensi sosial dan diri; bentuk dari kekerasan ini adalah penolakan, mengisolasi, meneror, menghindari, dan mencela anak.

Tindak kekerasan terhadap anak dapat berupa kekerasan fisik yang mengakibatkan terjadinya luka-luka tubuh, kekerasan psikis yang mengakibatkan anak secara psikis tersakiti, tetapi juga berupa kekerasan seksual. Kekerasan seksual dapat terjadi tidak hanya terhadap perempuan tetapi juga anak laki-laki. Ketiga tindak kekerasan tersebut dapat saling berhubungan satu sama lain, kekerasan psikologis berhubungan dengan kekerasan fisik dan seksual.

a. Tindak Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik yaitu perlakuan tidak wajar yang menyakiti fisik anak seperti memukul, mencubit, menjewer. Siswa di pondok pesantren yang mengaku pernah mengalami tindak kekerasan fisik cukup besar, 73% siswa mengaku pernah mengalami tindak kekerasan, hanya 27% yang mengaku tidak pernah mengalami tindak kekerasan fisik.

Tindak kekerasan fisik yang diterima oleh siswa pondok pesantren tidak hanya satu macam bentuk tetapi seringkali lebih dari satu bentuk dan dialami lebih dari satu kali. Dari 73 siswa yang pernah mengalami tindak kekerasan tersebut mereka mengalami kekerasan berupa dipukul, ditendang, ditampar, dijewer, dicubit, dan disabet. Tindak kekerasan yang banyak dialami siswa adalah dicubit (55%) dan yang paling sedikit ditendang (15%).

Tabel 1: Bentuk Tidak Kekerasan Fisik

Perlakuan 1- 2 3- 4 Pernah< 4 Jml Tidak Jml

Dipukul 7 (7%) 4 (4%) 12 (12%) 23 (23%) 77 (77%) 100 (100%)

Ditendang 8 (8%) 1 (1%) 6 (6%) 15 (15%) 85 (85%) 100 (100%)

Ditampar 9 (9%) 2 (2%) 5 (5%) 16 (16%) 84 (84%) 100 (100%)

Dijewer 25 (25%) 4 (4%) 10 (10%) 39 (39%) 61 (61%) 100 (100%)

Dicubit 34 (34%) 5 (5%) 16 (16%) 55 (55%) 45 (45%) 100 (100%)

Disabet 12 (12%) 3 (3%) 6 (6%) 21 (21%) 79 (79%) 100 (100%)

Sumber data: Kuesioner (pertanyaan no III.18)

Gambar

Tabel 1: Bentuk Tidak Kekerasan Fisik
Tabel 3: Tempat Mengadu
Tabel 4: Bentuk Hukuman
Tabel 5: Kesalahan Siswa

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menitikberatkan pada anteseden orientasi pasar yang terdiri dari variabel-variabel tekanan manajer, formalization, centralization, dan sistem reward

Pada kasus Patroli dan Pengawalan (PATWAL) sudah dilindungi dalam pasal 134 tentang Pengguna Jalan yang Memperoleh Hak Utama karena Petugas Kepolisian Republik Indonesia

Saksi menaiki kendaraan omprengan Daihatsu Luxio di UKI dan benar terjadi kecelakaan terhadap kendaraan yang ditumpangi oleh saksi.Pada saat kejadian saksi tidak

Katanya, beberapa pegawai dari pejabat Pelajaran Daerah Miri menemui pengurusan sekolah berkenaan apabila beberapa pelajar yang dipercayai terbabit dalam insiden itu sudah

Bandar Serai sendiri perlu mengoptimalkan gedung Anjung Seni Idrus Tintin selain dengan menggunakan media surat kabar juga mengembangkan kerjasama dengan pihak ±

Pada tulisan ini akan diuraikan tentang definisi dan transformasi wavelet, bagaimana wavelet digunakan sebagai alat analisis (tools) dalam terapan matematika, serta ranah

Prestasi loji kompos yang terlibat diukur melalui empat parameter iaitu kandungan nutrien seperti nitrogen dan kalium, nisbah karbon kepada nitrogen, kandungan kelembapan dan

Pengujian filter pada domain waktu menunjukan sistem mampu memfilter sinyal dengan frekuensi cut-off berbeda-beda, namun sinyal keluaran memiliki fasa tidak sama.. Kata