• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Masyarakat Etnis Tionghoa terhadap Panggilan "Cina".

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Masyarakat Etnis Tionghoa terhadap Panggilan "Cina"."

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Nama : Erinna

Program Studi: S1 Sastra China

Judul :RESPON MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA TERHADAP PANGGILAN “CINA”

Skripsi ini membahas mengenai panggilan yang sopan dan tepat untuk memanggil etnis Tionghoa di Indonesia. Dengan melakukan penelitian ke sekelompok masyarakat etnis Tionghoa di Bandung, peneliti ingin meneliti apakah etnis Tionghoa di Bandung ingin menggunakan panggilan “Cina” atau “Tionghoa” untuk menyebut mereka. Peneliti juga ingin meneliti apakah sebenarnya makna panggilan “Cina”terdapat konotasi negatif di dalamnya. Peneliti menggunakan tiga sisi penelitian untuk membahasnya,pertama melaluisisi sejarah; kedua, menggunakan teori penelitian budaya yaitu teori fungsionalis struktural oleh Talcott Parsons; ketiga, menggunakan teori linguistik yaitu teori pragmatik. Teknik pengumpulan data yang dipakai oleh peneliti adalah kuisioner dan wawancara. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.Berdasarkan hasil dari penelitian dari kuesioner dan wawancara, peneliti mendapat kesimpulan bahwa sebagian besar dari mereka tidak suka dan tidak ingin dipanggil dengan sebutan “Cina”.

Kata kunci: Etnis Tionghoa Indonesia; Sejarah Indonesia; Cara Panggilan;

(2)

vii

Universitas Kristen Maranatha

Name : Erinna

Program Study : S1 Chinese Literature

Title : The Responses of Chinese Ethnic Community with the “Cina”Call

This thesis discusses about the polite and proper way to call the Chinese ethnic in Indonesia. By doing researched to a group of Chinese ethnic community in Bandung, researchers wanted to know whether the ethnic of Chinese in Bandung want to use "Cina" or "Tionghoa" better. Researchers also want to examine whether the actual meaning of the call "China" there is a negative connotation in it or not. To get the conclusion, researcher used three theory in it. First, the history background; second, using one of the cultural studies theory, the theory is the structural functionalist theory by Talcott Parsons; Third, using one of the linguistic theory, named as theory of pragmatics. Data collection techniques used by the researchers are questionnaires and interviews. The method used in this thesis is descriptive qualitative.Based on the results of the questionnaires and interviews, the researcher got the conclusion that most of them do not like and do not want to be called as "Cina".

Key words: Indonesian Chinese Ethnic; Indonesia History; the appropiate call;

(3)

摘要

名字 :Erinna 专业 : 中文系

题目 :华裔对 “Cina”这个称呼的反应

这本论文的研究是关于印尼华人最礼貌的称呼。研究者在万隆的华人 之 民 进 行 研 究 , 研 究 者 想 要 知 道 的 是 万 隆 华 人 是 否 跟 喜 欢 别 人 称 他 们 为

“Cina”或者“Tionghoa”。同时也想要研究“Cina”这个字的概念到底是有

什么含义。研究者以三个方面进行分析,第一个是历史方面;第二个是用文 化的其中一个理论,就是塔尔科特·帕森斯(Talcott Parsons) 的社会学功能 理论 (Fungsionalis Struktural)和语言的其中一个研究理论是语用学(Pragmatik)。 研究者使用两个收集资料的方式,第一个是调查表和面试。研究者使用 写 方法的研究方式来进行研究。按照调查表和面试的所得到的结果,研究者可 以知道万隆华人大部分不喜欢别人称呼他们为“Cina”。

(4)

ix

Universitas Kristen Maranatha

HALAMAN JUDUL i

LEMBAR PENGESAHAN... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN...…………... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...…………...…….………... iv

UCAPAN TERIMA KASIH...………... . v

ABSTRAK………... vi

DAFTAR ISI………... ix

1. PENDAHULUAN... 1

1.1.Latar Belakang...1

1.2.Pembatasan Masalah...2

1.3.Rumusan Masalah... 4

1.4.Tujuan dan Kontribusi Penelitian...4

1.5.Metode Penelitian... 5

1.5.1. Prosedur Penelitian…………... 5

1.5.1.1. Teknik PengumpulanData...……….... 5

1.5.1.1.1. Kuisioner………... 6

1.5.1.1.2. Wawancara………... 6

2. TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1.Teori Budaya... 11

2.1.1. Teori Fungsionalis Struktural... 11

2.1.1.1. Fungai Imperatif Sistem Tindakan... 12

2.2.Teori Linguistik... 13

2.2.1. Pragmatik...13

2.3. Tahap-tahap Perkembangan Manusia 17

3. PEMBAHASAN... 18

3.1. Data Penelitian... 18

3.2.Analisis Data... 18

3.2.1. Sudut Pandang Sejarah... 25

3.2.2. Sudut Pandang Budaya... 28

3.2.3. Sudut Pandang Linguistik... 30

3.2.3.1. Prinsip Kerja Sama... 33

3.2.3.2. Prinsip Sopan Santun... 35

4. KESIMPULAN... 40

5. DAFTAR PUSTAKA... 46

(5)
(6)

1

Universitas Kristen Maranatha

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penggunaan panggilan “Cina” sering kali menjadi suatu keambiguan bagi

masyarakat Indonesia, sehingga banyak dari mereka yang salah mengartikan kata

tersebut sebagai kata yang mencemooh etnis “Cina”. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI), kata “Cina” mempunyai arti: (1) sebuah negeri di Asia;

Tiongkok; (2) bangsa yang tinggal di Tiongkok; Tionghoa. Sama sekali tidak

terlihat adanya makna yang negatif menurut pengertian di KBBI.

Hingga sekarang tidak semua masyarakat yang beretnis Tionghoa di

Indonesia mau dan senang dipanggil dengan panggilan “Cina”. Menurut Leo

Suryadinata (2002: 100), “hal ini dikarenakan sejak zaman kolonial Belanda,

istilah ‘Cina’ mengandung arti yang merendahkan, dan dianggap oleh orang yang

bersangkutan sebagai sebutan yang bersifat menghina dan meremehkan”.

Ketidaksukaan etnis Tionghoa di Indonesia dengan panggilan “Cina” sama

halnya dengan sebutan Nigger untuk orang kulit hitam di Amerika. Mereka tidak

ingin dipanggil demikian karena mereka juga menganggap bahwa istilah Nigger

mengandung makna meremehkan dan merendahkan.

Masalah penyebutan yang paling tepat dan sopan ini tidak bisa dipandang

sebelah mata. Kecemburuan sosial yang berujung pada diskriminasi etnis sangat

mungkin terjadi apabila kita tidak segera mencari cara jalan tengahnya. Apabila

kita membiarkannya begitu saja, maka Indonesia tidak akan bisa disebut sebagai

suatu sistem. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan dalam teori Talcott Parsons

mengenai fungsionalis struktural.

Leo Suryadinata (2002) mengatakan, “Pada tahun 1928, anggaran dasar

THHK juga mengalami amandemen, istilah Tjina secara resmi diganti dengan

Tionghoa.” Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya panggilan “Cina” seharusnya

sudah tidak dipakai lagi. Akan tetapi menurut KBBI, panggilan tersebut tidaklah

mengandung suatu penghinaan atau ejekan, sehingga masih tetap digunakan.

Inilah yang menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas oleh peneliti.

Pemberitaan terbaru mengenai penggunaan kata mana yang digunakan di

(7)

SE-2

06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 dan diganti dengan dikeluarkannya

Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 yang ditandatangani pada tanggal 14

Maret 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Setkab). Presiden

menganggap bahwa penggunaan kata Tjina / China / Cina adalah panggilan yang

mengandung diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia, khususnya

masyarakat Tionghoa Indonesia. Dengan demikian kedepannya kata-kata tersebut

akan diganti dengan kata Tionghoa, termasuk penyebutan kata Republik Rakyat

China akan diganti menjadi Republik Rakyat Tiongkok. Keputusan Presiden ini

berlaku pada tanggal penetapan keputusan tersebut, yaitu pada tanggal 14 Maret

2014 (“Setkab”).

Peneliti merasa perlu melakukan penelitian terhadap masalah ini untuk

memberi penjelasan yang rasional dan jelas terhadap masyarakat Indonesia

mengenai penggunaan panggilan “Cina”, baik penjelasan dari teori linguistiknya

maupun dari teori budayanya.

Panggilan “Cina” masih sering dianggap sebagai suatu hinaan, apakah harus

didiamkan demikian saja. Apabila masalah lambat laun bisa menghilang dengan

sendirinya, tentu hal ini tidak akan membawa masalah besar di kemudian hari.

Namun, kemungkinan terjadi hal yang sebaliknya juga tetap ada. Maka dari itu,

daripada menunggu masalah penggunaan tersebut mempengaruhi sistem kesatuan

masyarakat Indonesia, ada baiknya kita secepat mungkin memperjelas duduk

persoalan dan mengambil kesimpulan sebijak-bijaknya.

Penulis menggunakan kata Tionghoa dalam penelitian ini bukan karena

penulis sudah menentukan bahwa penggunaan kata Tionghoa lebih baik dari

penggunaan panggilan “Cina”. Penulis hanya ingin memperjelas kelompok

masyarakat yang sedang dijadikan sebagai objek penelitian. Apabila penulis

menggunakan “Cina” maka akan terjadi keambiguan penyebutan antara orang

Cina asli yang tinggal di Indonesia dengan orang keturunan “Cina”.

1.2 Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengidentifikasi mengenai masalah

panggilan “Cina”, apakah masih dianggap sebagai suatu hinaan atau tidak dan apa

(8)

Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan penelitian yang berjudul “Respon Masyarakat Etnis Tionghoa

Terhadap Panggilan ‘Cina’”. Peneliti akan membatasi masalah yang akan diteliti

yaitu membahas dengan menggunakan teori kebudayaan yang dianut Talcott

Parsons (fungsionalis struktural) dan teori linguistik (pragmatik).

Dalam teori kebudayaan, peneliti menggunakan teori yang dianut oleh

Talcott Parsons yaitu teori fungsionalis struktural. Teori ini mengatakan bahwa

masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem yang saling berhubungan satu

sama lain (H. Peter, 1990: 60).

Teori tersebut memperkenalkan empat macam fungsi imperatif tindakan

untuk mencapai kesatuan dalam masyarakat, yaitu adaptasi (adaptation),

pencapaian tujuan (goal), integrasi (integration), dan latensi (latency), disingkat

sebagai AGIL (George Ritzer & Douglas J. Goodman, 2008: 121).

Alasan peneliti menggunakan teori ini adalah dikarenakan peneliti setuju

dengan pernyataan bahwa suatu masyarakat yang utuh adalah masyarakat yang

saling berhubungan. Apabila masyarakat Indonesia benar-benar paham dan sadar

maksud dan fungsi pernyataan itu, maka akan terjadi keharmonisan pada

masing-masing individunya. Peneliti ingin melihat apakah masyarakat Indonesia sudah

bisa dikatakah bersatu atau tidak.

Selain teori budaya, peneliti juga akan mengkaji masalah dengan

menggunakan teori linguistik. Dalam teori linguistik peneliti menggunakan teori

pragmatik. Peneliti menggunakan teori ini karena teori pragmatik adalah telaah

umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi cara kita

menafsirkan kalimat (Tarigan, Henry Guntur, 2009: 31). Peneliti ingin melihat

apakah kalimat yang mengandung panggilan “Cina” itu pada saat diutarakan, di

dalamnya memang memiliki konteks negatif atau tidak dan bagaimana penafsiran

orang-orang terhadap kalimat tersebut. Dalam teori tersebut terdapat

prinsip-prinsip yang bekerja, yaitu prinsip-prinsip kerjasama dan prinsip-prinsip sopan santun. Lewat

teori ini peneliti ingin mengetahui apakah ungkapan panggilan “Cina” di

masyarakat digunakan secara sembarangan dan tidak mengandung sopan santun

atau tidak sama sekali.

Tempat penelitiannya adalah di Yayasan Budhi Dharma, jalan Suryani no

(9)

4

penelitian, peneliti juga sudah mengenal baik tempat penelitian tersebut, dan

adanya keberanekaragaman umur, agama dan budaya. Keberanekaragaman

budaya yang dimaksud adalah orang-orang yang beribadat di tempat ini ada yang

berasal dari Jawa, Sunda, Sumatera dan Bali, kemudian adanya

keberanekaragaman agama karena di tempat ini tidak mengharuskan orang-orang

untuk berpindah agama. Tempat ini khusus mengajarkan bagaimana kita menjadi

manusia yang berbudi luhur dan berbakti pada orang tua. Penganut agama yang

datang ke tempat ini adalah orang-orang yang beragama Budha, Kristiani dan

Muslim. Alasan yang paling penting peneliti menjadikan tempat ini sebagai

tempat penelitian adalah karena sebagian besar orang yang rutin mengunjungi

Yayasan Budhi Dharma ini adalah orang-orang yang beretnis Tionghoa.

1.3 Rumusan Masalah

1. Apa tanggapan masyarakat Tionghoa tentang panggilan “Cina”?

2. Apa penyebab yang mendasari perasaan masyarakat Tionghoa tersebut?

1.4 Tujuan dan Kontribusi Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

• Untuk mengetahui apa tanggapan masyarakat Tionghoa tentang panggilan “Cina”,

• untuk mengetahui penyebab yang mendasari perasaan masyarakat Tionghoa tersebut.

Harapan peneliti melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

• Diharapkan agar masyarakat Indonesia paham akan makna panggilan “Cina”

• Diharapkan dapat meminimalisir kesalahpahaman penggunaan kata yang dapat menyinggung perasaan masyarakat etnis Tionghoa.

• Diharapkan agar masyarakat etnis non Tionghoa bisa lebih mengerti penggunaan sebutan yang sopan dan tepat bagi masyarakat etnis

(10)

Universitas Kristen Maranatha • Diharapkan agar masyarakat etnis Tionghoa bisa lebih memahami lagi

arti sebenarnya dari penggunaan panggilan “Cina”.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan dipakai untuk mengkaji masalah ini adalah

deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan

memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena.

(Bambang Prasetyo dan Lina Miftahlul Jannah, 2005: 42). Fenomena yang

dimaksud disini adalah fenomena mengenai panggilan “Cina”, apakah panggilan

tersebut dirasa mengandung penghinaan ras atau tidak. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk menggambarkan mekanisme sebuah proses dan untuk menciptakan

seperangkat kategori atau pola (Bambang Prasetyo dan Lina Miftahlul Jannah,

2005: 42). Peneliti akan memberikan gambaran mengapa panggilan “Cina” yang

menurut akar katanya tidak mengandung makna negatif, namun sampai saat ini

masih ada saja yang menganggap panggilan itu adalah panggilan yang menghina

etnis “Tionghoa”. Setelah itu, peneliti akan membuat seperangkat kategori kalimat

mana saja yang di dalamnya terdapat kata “Cina” dan terkesan menghina.

Peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan mengacu pada

pengertian dari penelitian kualitatif itu sendiri yang bermakna sebagai suatu

penelitian yang menekankan hal yang terpenting dari suatu barang / jasa. Hal

terpenting dari suatu barang atau jasa berupa kejadian / fenomena / gejala sosial

adalah makna dibalik kejadian tersebut yang dapat dijadikan pelajaran berharga

bagi suatu pengembangan konsep teori.

1.5.1 Prosedur Penelitian

1.5.1.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan

melakukan tinjauan pustaka dari berbagai sumber terkait topik yang sedang diteliti,

kemudian melakukan kuesioner secara acak kepada etnis Tionghoa agar peneliti

yakin bahwa permasalahan ini patut untuk diangkat dan wawancara dengan

masyarakat etnis Tionghoa yang beribadat di Yayasan Budhi Dharma, Jalan

(11)

6

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti dapat diperinci

sebagai berikut:

A.Melakukan kuesioner ke beberapa orang secara acak untuk mengetahui

bahwa penelitian masih layak diteliti atau tidak.

B.Melakukan tinjauan pustaka dari berbagai sumber, seperti buku-buku

sejarah, artikel dan tinjauan internet.

C.Membuat rincian pertanyaan yang akan dijadikan sebagai bahan

wawancara.

D.Membagikan kuesioner sebagai bahan penunjang penentuan sasaran

obyek penelitian.

E. Melakukan wawancara ke lapangan yang akan dilakukan terhadap

orang-orang yang melakukan kegiatan ibadah di tempat tersebut.

F. Mengisi kartu data untuk penelitian linguistik

G.Menganalisa hasil kuesioner dan wawancara dengan teori budaya dan

linguistik.

H.Membuat kesimpulan akhir penelitian.

1.5.1.1.1 Kuesioner

Peneliti akan melakukan kuesioner secara acak untuk memberikan

gambaran umum mengenai tema yang sedang dibahas oleh peneliti dan juga untuk

memberikan kejelasan bahwa tema tersebut memang masih menjadi masalah yang

patut untuk dijadikan bahan penelitian.

1.5.1.1.2 Wawancara

Peneliti akan menggunakan wawancara tidak terstruktur untuk mengkaji

penelitian ini. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bertujuan

untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal (Lexy J.

Moleong, 2004: 190). Informasi yang dimaksud adalah informasi yang tidak

hanya terpaku oleh pertanyaan yang dibuat oleh peneliti, melainkan adalah

informasi yang berjalan sesuai dengan alur pembicaraan, namun masih seputar

topik yang sedang dibahas oleh peneliti. Peneliti menggunakan jenis wawancara

(12)

Universitas Kristen Maranatha Peneliti memilih menggunakan wawancara tidak terstruktur ini dikarenakan

3 alasan utama, yaitu sebagai berikut:

• Peneliti ingin menanyakan sesuatu secara lebih mendalam lagi pada seorang subjek tertentu (Lexy J. Moleong, 2004: 191).

Peneliti ingin mengetahui suatu hal secara lebih mendalam. Hal yang

dimaksud adalah peneliti ingin mengetahui perasaan, pengalaman pribadi,

dan kemampuan adaptasi etnis Tionghoa terhadap panggilan “Cina” yang

ditujukan kepada mereka. Selain itu juga peneliti ingin mengetahui

mayarakat Indonesia adalah satu kesatuan sistem yang utuh atau tidak.

• Peneliti tertarik untuk mengungkapkan motivasi, maksud, dan penjelasan dari responden (Lexy J. Moleong, 2004: 191).

Peneliti tertarik untuk mengungkapkan alasan dan penjelasan dari

narasumber mengenai suka dan tidak sukanya dipanggil “Cina”.

• Peneliti ingin mencoba mengungkapkan pengertian suatu peristiwa, situasi atau keadaan tertentu (Lexy J. Moleong, 2004: 191).

Peneliti ingin mencoba mengungkapkan peristiwa, situasi dan keadaan yang

pernah dialami oleh narasumber.

Poin-poin penting yang ingin didapatkan peneliti dari wawancara dengan

para narasumber adalah sebagai berikut:

 Untuk mengetahui apakah mereka setuju atau tidak dengan hasil keputusan Presiden yang mengubah panggilan “Cina” menjadi panggilan

“Tionghoa”.

 Untuk mengetahui bagaimana tanggapan para narasumber mengenai panggilan “Cina”, apakah mempunyai kesan negatif atau tidak sama

sekali.

 Untuk mengetahui apakah mereka tahu atau tidak bahwa di dalam KBBI arti kata “Cina” tidak mengandung penghinaan atau diskriminasi etnis

sama sekali.

(13)

8

 Untuk mengetahui bagaimana pengalaman pribadi mereka tentang panggilan “Cina”.

 Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara jawaban para narasumber dengan sejarah masa lalu Indonesia yang merugikan pihak

(14)

40

Universitas Kristen Maranatha

SIMPULAN

Melihat tindakan yang diambil pemerintah dengan menghilangkan

panggilan “Cina” dan menggantinya dengan kata “Tionghoa” ataupun “Tiongkok”

ke depannya memang merupakan suatu keputusan yang bagus. Akan tetapi

apabila keputusan yang dibuat itu tidak tersebar secara merata dan tidak

ditanggapi oleh masyarakat Indonesia, maka itu hanya akan menjadi sia sia belaka.

Sebab sampai sekarang ini pada kenyataannya tetap saja panggilan “Cina” masih

banyak digunakan, baik di media massa maupun kehidupan sehari-hari. Padahal

dengan adanya keputusan itu bisa saja mendorong terjadinya proses asimilasi

antara masyarakat etnis Tionghoa dengan masyarakat etnis non Tionghoa di

Indonesia dan menghilangkan diskrimasi rasial.

Pada hakikatnya, memang panggilan “Cina” tidak mengandung makna

negatif sama sekali. Seperti yang ditulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

maknanya adalah sebuah negeri di Asia / Tiongkok dan bangsa yang tinggal di

Tiongkok / Tionghoa. Beberapa narasumber yang ditanya mengenai hal ini juga

mengatakan demikian, bahwa sebenarnya panggilan “Cina” tidak mengandung

makna negatif sama sekali, hanya saja panggilan itu menjadi tidak enak didengar

di saat panggilan itu diucapkan dalam konteks dan waktu yang memang

benar-benar menghina. Contohnya adalah seperti kalimat-kalimat berikut ini:

• "Dasar Cina lu."

• "Eh Cina lu! Cina lu!"

• "Woi Cina ngapain disini?"

Kalimat-kalimat di atas dirasa kurang tepat, karena di dalamnya terdapat

kata “Cina” yang terkesan memojokkan suatu etnis “Tionghoa”. Hal ini juga bisa

terjadi pada etnis lain, tidak hanya pada etnis “Tionghoa” saja. Akan tetapi, hal

yang menjadikannya berbeda adalah latar belakang kemunculan kata “Cina” itu

sendiri. Penggunaannya yang berdasarkan sejarah memiliki ketimpangan untuk

menjelekkan etnis “Tionghoa” pada saat itulah yang membuat penggunaan kata

(15)

41

Tanggapan oleh sebagian besar etnis “Tionghoa” terhadap masalah

panggilan ini masih jelek. Mereka sampai saat ini masih menganggap bahwa

penggunaan panggilan “Cina” masih dirasa menghina mereka. Terdapat sebanyak

90% orang-orang beretnis “Tionghoa” tidak menyukai panggilan ini. Berdasarkan

hasil kuesioner dan wawancara, apabila dibagi berdasarkan jenjang umur, maka

akan didapatkan kesimpulan seperti di bawah ini:

SUBYEK

PENELITIAN SUKA

TIDAK

SUKA

ANAK MUDA 0% 100%

DEWASA 9% 91%

ORANG TUA 0% 100%

TOTAL 3% 97%

Peneliti mendapat kesimpulan bahwa ketidaksukaan terhadap panggilan

“Cina” tidak hanya yang berumur tua saja, namun sebagian besar yang berusia

muda juga berpendapat demikian. Bagi yang berumur tua berpendapat demikian

disebabkan karena pada masanya penggunaan panggilan “Cina” benar-benar

merupakan panggilan yang sangat menghina. Mereka ingin dipanggil “Tionghoa”

ketimbang panggilan “Cina”. Bahkan ada yang ingin agar dihapus panggilan itu

agar diskriminasi rasial di negara Indonesia benar-benar hilang.

Berbeda dengan yang memiliki jenjang umur remaja dan dewasa. Sebagian

besar dari mereka memang menganggap panggilan “Cina” adalah panggilan yang

menghina. Akan tetapi, sebagian kecil dari mereka menganggap bahwa panggilan

“Cina” sah-sah saja digunakan. Bagi mereka dirinya memang adalah orang

keturunan “Cina”, apabila orang lain ingin memanggil diri mereka adalah orang

“Cina”, hal ini adalah benar. Tidak ada yang harus disalahkan. Mereka juga

mengatakan bahwa penolakan penggunaan panggilan “Cina” sama saja dengan

(16)

Universitas Kristen Maranatha Bagi masyarakat etnis Tionghoa yang masih muda, ada beberapa dari

mereka yang menganggap bahwa panggilan “Cina” mengandung arti negatif

namun sebenarnya mereka mengetahui bahwa di dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia tidak ada arti negatif sama sekali. Hal ini dikarenakan mereka mendapat

ajaran dari orang tua mereka bahwa panggilan “Cina” tidak baik. Selain dari

faktor tersebut, faktor lingkungan juga mempengaruhi. Faktor lingkungan yang

sering menjadikan panggilan “Cina” sebagai ejekan, lambat laun tersimpan di

memori mereka bahwa panggilan “Cina” tidak baik sama sekali.

Berbeda halnya dari pihak orang tua yang menganggap panggilan “Cina”

mengandung arti negatif. Mereka beranggapan demikian karena mereka melewati

masa-masa di mana penggunaan panggilan “Cina” memang digunakan untuk

mengejek masyarakat etnis Tionghoa. Masa-masa itu yaitu pada saat seminar

angkatan darat. Pengalaman pada masa-masa itulah yang membuat mereka

menjadi tidak suka dengan panggilan “Cina”.

Untuk menghindari adanya bentrok dan berbagai macam bentrokan antar

etnis kedepannya yang mungkin saja bisa terjadi, maka peneliti ingin memberikan

beberapa solusi baik bagi masyarakat yang beretnis “Tionghoa” maupun bagi

masyarakat yang beretnis “non Tionghoa”.

Bagi masyarakat beretnis non Tionghoa sebaiknya lebih memperhatikan

penggunaan panggilan “Cina” itu sendiri secara lebih hati-hati. Pembicara harus

memperhatikan penekanan pembicaraannya, karena hal itulah yang menyebabkan

suatu kalimat apakah menjadi suatu hinaan atau tidak.

Masyarakat beretnis non Tionghoa sebaiknya lebih bersifat terbuka terhadap

penggunaan panggilan “Cina” dan mulai membiasakan diri menggunakannya.

Memang walaupun Presiden sudah secara resmi mengubah panggilan itu, namun

tetap saja hal itu susah untuk diubah. Dengan kata lain, kedepannya pasti tetap

akan terdengar panggilan “Cina”. Mengingat bahwa panggilan itu sudah sangat

lama digunakan, khususnya di Indonesia sudah seabad lebih lamanya. Akan tetapi,

tidak ada hasil yang bisa dicapai apabila tidak ada niat untuk mencapai hasil

tersebut.

Salah satu sumber yang didapatkan peneliti bahwa akar masalah timbulnya

(17)

43

sikap superior masyarakat etnis Tionghoa pada zaman penjajahan Belanda

terhadap kaum pribumi juga harus dihilangkan jauh-jauh dari pikiran kita.

(Charles A. Coppel, 1994: 36). Hal tersebut adalah masa lalu negara kita. Sudah

seharusnya di dalam negara kita, baik masyarakat etnis Tionghoa dan masyarakat

etnis non Tionghoa masing-masing berpikiran terbuka yaitu dengan

menghilangkan jauh-jauh pikiran superior bagi masyarakat etnis Tionghoa dan

penerimaan dari masyarakat non etnis Tionghoa sendiri.

Hal lain yang harus diperhatikan baik oleh masyarakat beretnis Tionghoa

maupun yang beretnis non Tionghoa adalah mereka masing-masing harus

benar-benar mempunyai rasa kesatuan, rasa memiliki negara Indonesia ini. Apabila kita

semuanya mempunyai pemikiran seperti itu, tentunya kita masing-masing akan

mencoba sekuat tenaga untuk tetap mempertahankan persatuan yang ada. Sebab

bagaimanapun juga, negara Indonesia adalah negara kesatuan yang terdiri dari

1.128 etnis bangsa di dalamnya. Artinya apabila salah satu etnis merasa bahwa

dirinya tidak lagi menjadi kesatuan negara ini, atau semua etnis bersama-sama

meniadakan salah satu etnis tertentu, apakah negara kita tetap akan disebut

sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia?

Penjelasan di atas sama dengan teori Talcott Parsons mengenai fungsionalis

struktural. Masyarakat adalah sebuah suatu kesatuan sistem. Dengan demikian,

sudah seharusnya kita menganggap hilangnya keeksistensian etnis lain sebagai

suatu hal yang mempengaruhi keseluruhan sistem.

Berikut adalah hal-hal yang sekiranya dapat dilakukan oleh masyarakat

Indonesia untuk menjaga persatuan Indonesia. Pertama, kita harus

mensosialisasikan panggilan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, yaitu

Tionghoa untuk menyebut nama etnis, dan Tiongkok untuk penyebutan nama

negara China. Kedua, setelah disosialisasikan, maka kita harus sebaik mungkin

menyerapnya dalam kehidupan kita, sehingga kita juga menjadi sadar apa makna

dari pengubahan panggilan ini. Kedepannya tidak akan ada lagi kesalahan

pengucapan panggilan yang bisa menimbulkan diskriminasi sosial.

Dalam pembahasan teori linguistik pragmatik, peneliti menemukan

kesimpulan bahwa sebuah percakapan menjadi berbau diskriminasi rasial, pada

(18)

Universitas Kristen Maranatha Tidak peduli apakah itu dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja, masyarakat

yang beretnis non Tionghoa harus mulai memperhatikan pengucapannya apakah

akan menyinggung perasaan mitra tuturnya atau tidak.

Peneliti menemukan pelanggaran terhadap prinsip kerjasama dan prinsip

sopan santun. Memang pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut tidak

menjamin bahwa suatu percakapan memang menjadi tidak sehat, begitu pula

sebaliknya, ketaatan terhadap kedua prinsip itu tetap tidak menjamin suatu

percakapan menjadi lancar, tanpa salah paham. Yang perlu diingat disini adalah,

apabila kita saja sudah tidak lagi memikirkan hati lawan tutur kita, dengan kata

lain selalu melanggar prinsip kerjasama dan sopan santu dalam percakapan, maka

kemungkinan terjadinya kesalahpahaman juga menjadi semakin besar. Kedua

prinsip di atas hanya sebagai lampu kuning, untuk mengingatkan kita betapa

pentingnya berbicara secara jelas dan sopan.

Selain itu juga peneliti menyarankan agar kita harus mengganti panggilan

“Cina” untuk memanggil masyarakat etnis “Tionghoa”. Pertama, karena tidak

terlalu sopan menyebut seseorang dengan menggunakan panggilan etnisnya,

masing-masing orang mempunyai namanya masing-masing, lebih baik langsung

memanggil nama saja; kedua, penyebutan etnis seringkali tidak hanya menyulut

kemarahan satu pihak, namun bisa jadi sekelompok orang bahkan dalam

kelompok yang lebih besar lagi; ketiga, panggilan “Cina” mempunyai sejarah

panjang hingga munculnya panggilan itu, sudah selayaknya kita tidak

menyamakan dengan panggilan etnis lain. Dalam artian bahwa apabila panggilan

etnis lain pada saat digunakan tidak terkesan negatif karena memang dari awal

tidak ada arti negatif dalam pembuatan nama etnis itu, sedangkan panggilan etnis

“Cina” muncul karena memang dari awal sudah mempunyai makna negatif;

keempat, kita telah mengetahui keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

yang mengganti panggilan “Cina” dengan panggilan “Tionghoa”, sebaiknya kita

menghormati keputusan tersebut, sebab tujuan dari keputusan itu adalah untuk

menjaga persatuan dan kesatuan di negara Indonesia. Kita sendiri sudah tahu jelas

maksud dan tujuan adanya keputusan itu, mengapa kita tidak memaksimalkan

(19)

45

Pada akhir pembahasan penelitian ini, peneliti berharap kedepannya akan

mengurangi adanya diskriminasi rasial baik secara sengaja maupun tidak

disengaja. Negara yang kita tinggali ini adalah sebuah negara yang menganut

Bhineka Tunggal Ika, yang artinya adalah berbeda-beda tetapi tetap satu. Negara

kita akan menjadi negara yang besar dan kuat apabila kita sebagai masyarakatnya

masing-masing memahami dengan benar apa artinya kesatuan. Bhineka Tunggal

Ika yang dianut oleh kita sekarang sepertinya bukanlah lagi yang maknanya

sebagai: “berbeda-beda tetapi tetap satu”, namun sebaliknya adalah: “satu tetapi

tetap berbeda-beda”. Semoga kita bisa tetap mengayomi makna Bhineka Tunggal

(20)

46

Universitas Kristen Maranatha

Data Sumber

Sumber Buku:

Charles A, Coppel. (1994). Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan

Elisabeth B. Hurlock. (1898). Personality Development. United States of America

G. Tan, Mely. (1981). Golongan Etnis Tionghoa Di Indonesia. Jakarta: LEKNAS-LIPI Dan

Yayasan Obor Indonesia.

Hamilton, Peter. (1990). Talcott Parsons dan Pemikirannya Sebuah Pengantar. Yogyakarta:

PT. Tiara Wacana Yogya

I. Wibowo, I. (2001). Harga yang Harus Dibayar Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Kaplan, D., dan Manners, A.A. (2002). Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Lexy J. Moleong. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Prasetyo, Bambang, Lina Miftanul Jannah. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT

Rajagrafindo Persada

R. George dan Douglas J. Goodman. (2004). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media

Suryadinata, Leo. (2010). Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Kompas

Suryadinata, Leo. (2002). Negara dan Etnis Tionghoa. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia

Tarigan, Henry Guntur. (2009). Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa Bandung

Sumber Internet:

Batasan Usia Bagi Tiap Masa Perkembangan. (2009, Juni 27). Mei 20, 2014

http://asiaaudiovisualexc09zihansyarfilani.wordpress.com/2009/06/27/batasan-usia-bagi-tiap-masa-perkembangan/

Cina atau Tionghoa. (2010, Januari 18). Februari 20, 2014

(21)

47

Hendry. (n.D.). Metode Pengumpulan Data. Maret 25, 2014

http://teorionline.wordpress.com/service/metode-pengumpulan-data/

Jumlah Suku Indonesia. (n.D). Mei 22, 2014

https://www.dreamindonesia.wordpress.com/tag/jumlah-suku-indonesia/

Melalui Keppres no 122014 Presiden SBY Ganti Istilah Cina dengan Tionghoa. (n.D.). Maret

23, 2014

http://www.setkab.go.id/berita-12473-melalui-keppres-no-122014-presiden-sby-ganti-istilah-cina-dengan-tionghoa.html

Mengapa Ada Poros Jakarta Peking. (2009, Oktober 31). Mei 17, 2014

http://www.rosodaras.wordpress.com/2009/10/31/mengapa-ada-poros-jakarta-peking/

Prinsip Kajian Pragmatik. (n.D.). Maret 12, 2014.

http://www.bimbie.com/prinsip-kajian-pragmatik.html

Prinsip Kesopanan Politeness Principles. (2012, Maret 16). Maret 12, 2014

http://littlestoriesoflanguages.wordpress.com/2012/05/16/prinsip-kesopanan-politeness-principles/

Talcott Parsons. (n.D.). Mei 28, 2014

Referensi

Dokumen terkait

program KB di tingkat kecamatan dan desa yang dilaksanakan oleh Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) dan Pengendalian Program Lapangan Keluarga Berencana (PPLKB)

Dalam hal ini media massa harus menjadi mitra pusat bahasa yang penting termasuk dalam pengawasan pelanggaran penggunaan bahasa Indonesia yang perlu untuk melibatkan

Selanjutnya kegiatan eksperimen dilakukan sebagai berikut: (a) melaksanakan pretes untuk mengetahui kemampuan awal pemahaman dan penalaran matematis sebelum diberikan

Dalam pemodelan VAR pengujian pertama adalah melakukan uji stasioneritas Pengujian stasioneritas diujikan terhadap masing-masing data variabel yang akan digunakan

Dibuat oleh : Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen tanpa ijin tertulis dari Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas

[r]

Berdasarkan hasil pengukuran zona hambat terhadap ke-tiga bakteri uji Vibrio harveyi, Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio cholera , semua isolat probiotik B, C, G, dan

Terima kasih atas kesabaran dan kesediaan bapak dalam meluangkan waktu untuk membimbing saya serta telah memberikan banyak sumbangan pikiran dalam proses