• Tidak ada hasil yang ditemukan

MIGRASI ETNIS TIONGHOA DI KABUPATEN YAPEN WAROPEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MIGRASI ETNIS TIONGHOA DI KABUPATEN YAPEN WAROPEN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MIGRASI ETNIS TIONGHOA

DI KABUPATEN YAPEN WAROPEN

Marlin Tolla

(Balai Arkeologi Jayapura)

Abstrack

Migration by Tionghoa ethnic from the Chinese mainland especially southern part to the districts Yapen Waropen was in order to tradeat that time,yapen is very famous with the wonderful products such as bird of paradise feathers, crocodile leather, and other excellent products that famous at that time.In the next stage, tionghoa ethnic marrying woman of yapen.This is done to facilitate them in obtaining merchandise from the Yapen people.Marriage between ethnic of tionghoa and yapen woman, produce offspring called Peranakan Chinese Serui (Prancis), Serui is the fi rst name of Yapen.

Keywords: Tionghoa, Yapen Waropen

Pendahuluan

Indonesia adalah salah satu negara yang terdiri dari beragam etnis dan budaya dan salah satu diantaranya adalah etnis Tionghoa. Etnis ini hidup berdampingan dengan etnis lainnya beratus tahun lamanya yang membuat mereka pada akhirnya disebut sebagai salah satu masyarakat asli Indonesia walaupun sampai sekarang masih menimbulkan pro dan kontra atas penamaan tersebut. Walaupun sudah hidup berbaur dengan masyarakat beratus tahun lamanya, namun hal itu tidak menjadi jaminan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya mengetahui lebih banyak mengenai latar belakang kehadiran mereka di Indonesia.

Istilah Tionghoa diambil dari dialek Hokkian yakni salah satu kelompok suku di Cina daratan yang sebagian besar menduduki Asia Tenggara. Tionghua adalah istilah yang sebenarnya berasal dari huruf kanji (Hanzi = huruf Han = Chinese character). Dengan demikian maka istilah Tionghua sendiri bukan merujuk pada orang Hokkian saja yang dominan di Indonesia tetapi istilah ini mencakup keseluruhan masyarakat Cina yang tinggal di Indonesia atau lebih tepatnya kata ‘tionghoa’ dipilih untuk menekankan

(2)

kedaerahan suku Hokkien yang mayoritas terhadap suku Cina lainnya yang minoritas. Istilah Chinese adalah istilah dalam bahasa Inggris, sedangkan China adalah sebutan dalam bahasa Jepang (Ongokham, 2008;22).

Etnis Tionghoa adalah salah satu etnis yang terkenal karena kegemaran mereka melakukan migrasi dari satu daerah ke daerah yang lain, bukan hanya di daratan bahkan kepulauan negeri Cina saja tetapi meluas sampai ke negara-negara lain seperti Indonesia. Tionghoa di Indonesia bermigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu hal ini dikuatkan dengan catatan literatur Tiongkok yang menyatakan bahwa kerajaan – kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun masyarakat dari Tiongkok ke Nusantara (Onghokham, 2008:32).

Selain sebagai jalur perdagangan dan penyebaran agama, pelayaran laut kemudian dijadikan sebagai salah satu jalur ekspansi militer. Pada saat dikuasai oleh bangsa Mongol, Cina berusaha untuk meluaskan kekuasaannya ke selatan. Usaha tersebut antara lain dilakukan dengan pengiriman armada Mongol ke Jawa pada tahun 1293 Masehi yang dipimpin oleh Laksamana Yi Ko Mussu. Berita Cina yang berasal dari Dinasti Sung menyebutkan bahwa saat itu pasukan Cina mendarat di pelabuhan Tuban, Canggu dan Sedayu. Dengan adanya data ini maka bisa disimpulkan bahwa kedatangan etnis Tionghoa sekitar abad ke-7 Masehi di Indonesia awalnya dilakukan secara perseorangan atau bisa saja berdasarkan kelompok-kelompok kecil. Selain karena keadaan politik di Tiongkok yang dalam abad itu kurang kondusif dikarenakan perebutan kekuasaan oleh dinasti – dinasti yang ada, mereka juga terpacu untuk melakukan kegiatan perdagangan mereka di kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia yang pada saat itu bertumbuh begitu pesatnya.

Jika kita telusuri lebih jauh maka bukan hanya Sriwijaya saja yang menjadi sasaran kedatangan mereka, tapi juga kerajaan-kerajaan lain di setiap kepulauan Indonesia seperti Kerajaan Majapahit, Gowa-Tallo, Kesultanan Ternate dan kerajaan- kerajaan lainnya di Indonesia saat itu. Hal ini kemudian diperkuat dengan ekspansi yang dilakukan oleh Belanda ke Kalimantan Barat, yang mereka hadapi bukanlah para sultan ataupun orang dayak akan tetapi kongsi-kongsi Cina yang merupakan kekuatan sosial-politik masyarakat Tionghoa (Heidhues, 2008:28). Artinya Belanda tidak harus menundukkan para sultan Melayu atau kepala suku Dayak, melainkan kekuatan Tionghoa yang saat itu menguasai setiap sendi perekonomian di Kalimantan Barat.

(3)

Pada perkembangan selanjutnya ketika tulisan sudah dikenal, wilayah Papua nampaknya juga sudah mempunyai peranan dalam perkembangan pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara. Dalam catatan sejarah, sejak awal abad VIII telah terdapat hubungan langsung maupun tidak langsung antara Papua (pada waktu itu disebut dengan Janggi) dengan Negara Maritim Sriwijaya. Hal ini dibuktikan oleh adanya burung Cenderawasih dari wilayah ini yang dibawa oleh para duta kerajaan Sriwijaya sebagai souvenir kepada Kaisar Cina. Kemudian seorang musafi r Cina bernama Chau Yu Kua pada sekitar abad XIII telah menulis tentang suatu daerah bernama Tung-ki yang merupakan bagian dari suatu negara di Maluku. Konon Tung-ki adalah nama Cina untuk Janggi atau Irian. Pada masa Kejayaan Majapahit, dimasa Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada berkuasa, konon kekuasaannya sampai juga ke Irian. Dalam buku Negarakertagama karya Empu Prapanca (1365) terdapat bait syair ke XIV yang menyatakan bahwa daerah Wwanin dan Sran merupakan bagian dari kerajaan Majapahit. Wwanin atau Ewwanin, menurut para ahli Bahasa Jawa Kuno adalah nama lain dari Onin, sedang Sran adalah nama lain dari daerah Kowial, keduanya merupakan tempat yang ada di daerah Fak-fak (Prasetyo, 2009).

Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan Cina yang bermigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun masyarakat etnis Tionghoa dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya. Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara Tiongkok dapat diketahui karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota–kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut. Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan orang-orang Tionghoa merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang dan adapun tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara, hal ini terus berlanjut yang mengakibatkan ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat dan ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.

Imigran Tionghoa yang terbesar ke Indonesia mulai abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19. Walaupun orang Tionghoa perantau terdiri dari beberapa suku bangsa namun dalam pandangan orang Indonesia pada umumnya mereka hanya terbagi

(4)

kedalam dua golongan yakni: Peranakan dan Totok (Onghokham, 2008:33). Peranakan yaitu hasil perkawinan campuran antara etnis Tionghoa dan orang Indonesia sedangkan Totok adalah etnis Tionghoa yang lahir di Negara Cina. Penggolongan yang dilakukan antara peranakan dan totok yakni menyangkut soal derajat penyesuaian dan akulturasi dari para perantau Tionghoa terhadap kebudayaan Indonesia yang ada di sekitarnya, sedangkan derajat akulturasi itu tergantung kepada jumlah generasi para perantau yang berada di Indonesia dan intensitas perkawinan campuran yang telah terjadi diantara para perantau Tionghoa dengan orang Indonesia (Onghokham, 2008:35).

Terdapatnya pemukiman etnis Tionghoa yang biasa disebut Pecinaan di kepulauan Indonesia bagian timur seperti Sulawesi utara tepatnya di Manado, Makassar dan Ambon yang dihuni oleh etnis Tionghoa dengan beragam dialek suku memberikan indikasi yang jelas bahwa migrasi yang dilakukan oleh etnis Tionghoa tidak hanya berpusat di Batavia sebagai pusat kota saat itu. Seiring dengan waktu perkembangan kerajaan – kerajaan kuno di Indonesia mengalami kemajuan yang begitu pesat mengakibatkan etnis Tionghoa mulai menyebar ke daerah-daerah tersebut dengan membawa tujuan-tujuan tertentu. Makassar dengan kerajaan Gowa – Tallo, kemudian Maluku dengan Kerajaan Tidore, Ternate, Bacan Jailolo, Ambon, Seram dan Banda merupakan pusat-pusat niaga terpenting di abad 15-19 (Handoko, 2008:114).

Di Papua keberadaan etnis Tionghoa yang membentuk komunitas tidak hanya di temukan di Kabupaten Yapen tetapi juga masih bisa ditemukan di wilayah seperti Kabupaten Sorong dan Kabupaten Fak-fak (Papua Barat). Merujuk pada gambaran sejarah tersebut maka asumsinya adalah keberadaan komunitas etnis Tionghoa di Papua secara umum dan secara khusus di Kabupaten Yapen, terpola oleh sebuah rangkaian migrasi yang saling sambung menyambung dalam artian bahwa etnis Tionghoa yang ada di setiap daerah kepulauan di Indonesia terjadi melalui proses perjalanan dari satu daerah ke daerah yang lain mengikuti perkembangan kerajaan-kerajaan yang mulai ramai oleh proses perdagangan dan pendistribusian barang. Mencermati hal tersebut maka kehadiran etnis Tionghoa di Yapen tentu tidak terlepas dari pola tersebut.

Ada beberapa tinggalan baik yang berbentuk pemukiman maupun tinggalan artefaktual yang menjadi indikasi keberadaan etnis Tionghoa di Yapen yaitu antara lain: Kampung Cina Tua, Makam etnis Tionghoa, keramik, kotak uang, alat pembersih lidah, penggilingan Mie seperti yang akan dideskripsikan berikut ini:

(5)

Kampung Cina Tua

Kampung Cina Tua adalah sebuah perkampungan yang merupakan tempat bermukim etnis Tionghoa. Kampung ini terletak ± 250 meter dari pelabuhan. Masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim di kampung Cina tua ini ± 200 jiwa.

Adapun bangunan yang merupakan ciri khas di setiap pecinaan di Indonesia seperti klenteng, dan rumah tinggal dengan ciri atap yang melengkung, serta ciri lain yang merupakan ciri khas dari sebuah pecinan tidak ditemukan lagi di Kampung cina tua ini. Adapun ciri lain yang menyangkut rumah tinggal etnis Tionghoa di Yapen yakni beberapa rumah toko yang letaknya berhadapan dengan lainnya yang dipisahkan oleh jalan raya besar di tengahnya.

Makam

Untuk menjawab permasalahan mengenai asal dari etnis Tionghoa yang ada di Yapen, maka digunakan makam sebagai salah satu data arkeologi untuk mengungkap permasalahan tersebut. Makam yang dideskripsikan yakni makam yang bertuliskan asal, marga serta angka tahun kelahiran dan kematian dari yang dimakamkan. Ada beberapa marga yang mendominasi nisan makam seperti Tan, Lie, Kwan, Ham, Tjeng Sun an, The Tek, dan Ui kemudian berdasarkan tempat kelahiran yang dituliskan pada nisan yaitu Hokkian.

Foto.1 Kompleks Makam Etnis Tionghoa dari arah barat (dokumentasi Balai Arkeologi Jayapura 2009)

(6)

Keramik

Keramik ini berbentuk piring yang terbuat dari bahan kaolin dengan teknik pembuatan roda putar. Diameternya 28 cm dengan motif burung merak yang mencengkram dahan bunga. Warna pada burung sama dengan warna pada burung merak dan warna pada motif bunga yakni didominasi oleh warna hijau pada daun dan warna merah dan kuning pada bagian bunga. Pada bagian belakang piring terdapat motif hiasan sulur-suluran dan huruf Cina pada bagian belakang piring.

Foto. 2 Tampak Depan

Foto. 3 Tampak Belakang (dokumentasi Balar Jayapura 2009)

Kotak Uang

Kotak uang ini merupakan salah satu koleksi dari bapak Gwan Pyabon May yang merupakan salah seorang keturunan etnis Tionghoa peranakan. Kotak uang ini terbuat dari besi dan bermotif hias berupa sulur – suluran yang terdapat dikelima sisi (depan, belakang, kiri, kanan dan bagian tutup) yang pada bagian tengahnya terdapat hiasan bunga dan motif yang menyerupai biji. Ukuran kotak ini yaitu: panjang: 19 cm, lebar: 10 cm dan tinggi: 7cm. Menurut pemiliknya, pada masa lalu kotak ini difungsikan sebagai tempat pemyimpanan uang dan merupakan benda pusaka dari nenek moyang mereka.

(7)

Sendok pembersih lidah.

Koleksi ini adalah milik Bapak Gwan Pyabon May yang merupakan salah seorang keturunan etnis Tionghoa Kanton dan Serui. Sendok terbuat dari tembaga berwarna hitam usang dan mempunyai ukuran panjang 18cm, lebar bagian ujung sendok yang digunakan untuk pembersih lidah yaitu 4cm. Berdasarkan keterangan sang pemilik, sendok ini digunakan sebagai pembersih lidah pada masa lalu.

Foto. 4

Kotak uang dan motif Sulur-suluran yang terdapat pada tiap sisinya (dokumentasi Balai Arkeologi Jayapura 2009)

Pembahasan

Masyarakat etnis Tionghoa yang melakukan migrasi dari Cina daratan ke Indonesia pada awalnya datang jauh sebelum kedatangan Belanda. Mereka datang secara

Foto.5 Sendok pembersih lidah (dokumentasi Balai Arkeologi Jayapura 2009)

(8)

perorangan atau kelompok kecil dengan berbagai macam suku dari berbagai propinsi di Cina. Walaupun kedatangan mereka sudah sejak lama namun struktur masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia pada umumnya baru berkembang setelah kedatangan kolonis Belanda (Onghokham, 2008:1). Pada tahun 1619, Kompeni (VOC;Vereenigde Oost-Indische Compagnie) menjadikan Batavia sebagai markas besar operasi perdagangannya di Asia dan Jawa menjadi pusat kolonialisme Belanda di Kepulauan Indonesia (Masselman, 1963). Kedua bangsa tersebut yakni etnis Tionghoa dan Belanda sebenarnya datang ke Indonesia sama-sama untuk berdagang. Belanda dalam bentuk VOC datang untuk melakukan perdagangan dan etnis Tionghoa datang ke Indonesia juga melakukan hal yang sama. Orang Belanda yang mendirikan Batavia, J.P Coen yang menjadi gubernur jenderal koloni itu dari tahun 1619 sampai 1623 menganggap etnis Tionghoa di kota itu sebagai aset ekonomi yang penting. Etnis Tionghoa merupakan mayoritas dalam masyarakat Batavia hidup sebagai tukang, pedagang, kontraktor dan kuli (Blusse, 1989:78-79).

Seperti etnis Tionghoa,Belanda datang ke Indonesia tidak secara besar-besaran oleh karena itu kekuatan asing itu memerlukan mitra-mitra dagang. Etnis Tionghoa menjadi mitra dagang Belanda khususnya di bidang distribusi perdagangan perantara antara masyarakat pribumi dan penguasa kolonial. Namun hubungan tersebut ternyata tidak berjalan dengan mulus pada tahun 1740 pembunuhan besar-besaran terjadi di Batavia dan dilakukan oleh masyarakat Belanda terhadap etnis Tionghoa, setelah peristiwa tersebut Belanda menjalankan politiknya dengan kebijakan pemisahan ras secara resmi atau biasa disebut sistem apartheid.

Kedatangan etnis Tionghoa di Yapen Waropen hingga bermukim dalam pemukiman yang diberi nama Kampung Cina Tua merupakan imbas dari politik yang diterapkan oleh pemerintah Belanda yang saat itu mulai menduduki wilayah Yapen Waropen hal ini merujuk kepada sistem politik yang diterapkan oleh Belanda yakni sistem Apartheid. Sistem apartheid dikenal di Afrika Selatan yang merupakan salah satu daerah koloni Belanda dan di sana ideologi apartheid berkembang dengan sangat subur (Ongokham, 2008:3). Dengan sistem apartheid ini, pemerintah Hindia Belanda membagi masyarakat ke dalam tiga golongan yaitu: 1). Golongan Eropa atau Belanda, 2) Golongan Timur Asing yakni Cina, Arab, India dan seterusnya, 3) Golongan Pribumi. Sistem apartheid ini diterapkan di suatu masyarakat yang mengisolasi setiap golongan penduduk yang satu dari penduduk yang lain secara fi sik,dan untuk mengadakan perjalanan dari satu

(9)

kampung ke kampung lainnya harus menggunakan pas-pas jalan yang disediakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Di Yapen dikenal beberapa kompleks pemukiman seperti Kampung Cina Tua, Kampung Islam dan kompleks pemukiman Belanda. Secara fi sik, setiap golongan harus tinggal di kampung-kampung tersendiri seperti di Jakarta ada Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Pecinan di Makassar dan daerah-daerah lainnya di Indonesia dikelompokkan masing-masing dalam sebuah pemukiman tanpa percampuran dengan etnis lainnya.

Peraturan Apartheid yang dilakukan oleh pemerintah Belanda merupakan sebuah usaha politik yang dilakukan untuk menekan pergerakan etnis Tionghoa yang sudah mulai menguasai perdagangan di Batavia saat itu. Hal ini juga terjadi pada masyarakat etnis Tionghoa yang ada di pulau-pulau kecil di Indonesia timur. Didorong oleh meningkatnya kebutuhan dan iming-iming keuntungan yang lebih besar diperoleh jika barang langsung didapatkan dari pemasok pertama mengakibatkan perdagangan pun mulai ramai dilakukan ke daerah kepulauan yang menyediakan barang tersebut dan pada akhirnya memunculkan pusat-pusat niaga seperti Sulawesi dan Maluku (Schrieke, 1955). Hal inilah yang kemudian mengakibatkan etnis Tionghoa kemudian mengadakan perjalanan ke pusat-pusat niaga yang mulai berkembang pada saat itu dan pada akhirnya hidup menetap.

Kampung Cina Tua yang berada di Yapen Waropen saat ini sudah tidak menyertakan bangunan-bangunan yang sifatnya profan dan bangunan sakral seperti klenteng yang menjadi ciri khas pecinaan dan juga konstruksi rumah etnis Tionghoa seperti model atap yang melengkung sudah tidak ditemukan lagi. Walaupun begitu masih ada ciri-ciri pecinaan yang masih tersisa di Kampung Cina Tua ini seperti deretan rumah yang berhadap-hadapan di sepanjang jalan pusat pertokoan. Deretan rumah tersebut terdiri dari rumah petak di bawah satu atap yang umumnya tidak mempunyai pekarangan. Sebagai ganti pekarangan ditengah rumah terdapat ruangan tanpa atap untuk menanam tanaman , untuk tempat mencuci piring dan menjemur pakaian. Ruangan paling depan dijadikan ruangan tamu bahkan digunakan sebagai toko.

Berkaitan dengan keberadaan Kampung Cina Tua maka tentu ada faktor yang mengakibatkan sehingga etnis Tionghoa membentuk komunitas di tempat ini dan jika ditelusuri lebih dalam maka adapun latarbelakang imigrasi tersebut yakni dilatarbelakangi oleh kekayaan alam yang dimiliki oleh daerah ini. Adapun yang dijadikan komoditi perdagangan saat itu yakni antara lain: burung cenderawasih, damar, kulit bia lola

(10)

(dijadikan kancing baju untuk jas), kulit masohi (minyak lawang), sirip ikan hiu, dan kulit buaya. Menurut sejarah para etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi melakukan perburuan buaya dan cendrawasih untuk dijual ke luar negeri melalui kapal-kapal Belanda yang singgah di sana. Kulit buaya asal Yapen sangat diminati karena ukurannya yang besar dan teksturnya yang bagus. Hal ini diperkuat dengan berita dari seorang musafi r Cina bernama Chau Yu Kua pada sekitar abad XIII menulis tentang suatu daerah bernama Tungki yang merupakan nama Cina untuk Janggi atau Irian.

Dalam kompleks Kampung Cina tua, terdapat sebuah bangunan yang menurut informan merupakan sebuah balai umum yang didirikan untuk menampung segala kepentingan etnis Tionghoa saat itu, balai umum tersebut diberi nama Khong Oek dan sekarang ini telah dipugar dan difungsikan sebagai kantor Komando Distrik Militer. Khong Oek merupakan sebuah balai yang didirikan oleh para pendahulu etnis Tionghoa di Yapen dengan tujuan antara lain sebagai pusat administrasi, tempat pertemuan, tempat tinggal, dan juga difungsikan sebagai tempat pemujaan. Dalam kompleks pecinaan di Indonesia, balai umum hampir selalu ditemukan yang pendiriannya dilakukan oleh Kongsi yang terbentuk dalam komunitas etnis Tionghoa. Kata kongsi (M.gongsi) yang sekarang ini secara luas dipergunakan dalam bahasa Indonesia dan Melayu dipergunakan untuk setiap usaha bersama atau kemitraan, terutama kemitraan yang mengumpulkan sumbangan keuangan mereka. Kongsi yang merupakan pembentuk dari balai umum ini merupakan perkumpulan atau federasi yang sepakat untuk memasukkan modal dan tenaga kerja dan keuntungannya dibagi bersama (Heidhues, Mary Somers2008:44). Khong Oek dalam Kampung Cina tua ini kemungkinan menjalankan hal seperti yang disebutkan diatas, hal ini merujuk pada balai umum yang ada di daerah pecinaan lainnya di Indonesia seperti di Kalimantan barat, Sulawesi – selatan yang didalamnya masing-masing mengurusi kegiatan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa. Di Kalimantan barat misalnya, etnis Tionghoa di daerah tersebut kebanyakan berprofesi sebagai penambang untuk itulah didirikan balai umum yang mengurusi segala yang berkaitan dengan kegiatan mereka (Heidhues,Mary Somers;2008:45). Di Yapen sendiri etnis Tionghoa terdiri dari pedagang dan diperkirakan Khong Oek dijadikan pusat untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan perniagaan dalam hal ini kegiatan perdagangan lokal maupun sampai pada kegiatan ekspor – impor.

(11)

Selain itu dalam “pecinaan” ini juga terdapat sebuah kompleks Makam Cina dan dari hasil deskripsi yang dilakukan diperoleh beberapa data seperti marga dan tempat kelahiran yang dituliskan pada nisan yang diharapkan mejadi salah satu petunjuk yang dapat menjawab permasalahan mengenai asal dan hal yang berkaitan dengan migrasi mereka ke Yapen. Dari tulisan yang terdapat pada nisan terdapat beberapa marga seperti Tan, lie, Kwan, Ham, Tjeng Sun an, The Tek,Ui maka diketahui bahwa kumpulan marga tersebut adalah suku Hokkian dan Kanton yang termasuk dalam suku Han yang berdiam di Propinsi Fujian dan Guangdong Tiongkok bagian selatan.

Foto 6 Foto 7 Foto 6 dan 7 Tulisan yang terdapat pada nisan Makam

(dokumentasi Balai Arkeologi Jayapura 2009)

Walaupun Hokkian dan Kanton berasal dari suku yang sama namun setiap kelompok dialek tersebut dapat dibedakan dari keahlian yang dimiliki. Seperti suku Hokkian yang lebih menguasai perdagangan sedangkan Kanton lebih pada pertukangan. Etnis yang berasal dari Hokkian adalah etnis Tionghoa yang pertama kali bermukim di Indonesia dalam jumlah yang sangat besar dan mereka merupakan golongan yang terbesar diantara imigran-imigran yang lainnya. Dengan kepandaian berdagang ditambah dengan keuletan yang dimiliki, mereka melakukan perjalanan kesetiap daerah yang merupakan pusat-pusat perniagaan seperti Batavia dan juga pusat-pusat niaga yang dikelola oleh kerajaan kuno di Indonesia saat itu seperti kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan dan kerajaan Tidore dan Ternate. Tempat-tempat tersebut pada masa lampau merupakan pusat niaga yang begitu ramai dengan perdagangan karena selain strategis kerajaan-kerajaan tersebut memiliki kekayaan alam yang luar biasa sehingga tidak heran apabila sekarang ini pecinaan yang ada didaerah tersebut merupakan perkumpulan dari suku Hokkian. Dari fenomena tersebut maka diperkirakan suku Hokkian yang ada di Yapen merupakan kelompok Hokkian

(12)

yang menyebar dari Sulawesi selatan dan Maluku. Hal ini diperkuat dengan adanya data yang menyebutkan bahwa hubungan yang amat spesifi k adalah hubungan yang terjadi antara Papua, Ternate dan Tidore. Disamping faktor geografi s dalam hal ini jarak antara kedua pulau yang dekat juga disebabkan oleh faktor perdagangan dimana pada masa itu kerajaan Ternate dan Tidore merupakan kerajaan-kerajaan yang kuat dan disegani serta amat besar pengaruhnnya di kawasan Indonesia timur. Dibawah kepemimpinan Sultan Khairun dan Sultan Baabullah pengaruh kesultanan Tidore pada sekitar tahun 1580 telah sampai ke daerah yang batasnya Mindano sebelah utara, daerah Sumbawa sebelah selatan, daerah Sulawesi sebelah barat dan pulau Papua. Selain itu pada awal abad ke-15 para pedagang Tionghoa bekerja di teluk Cendrawasih dan teluk Wandamen, dan pada saat yang sama Sultan Tidore mengirim orang-orangnya untuk menagih pajak (Rustam, 2007). Dengan adanya data tersebut maka diperkirakan suku Hokkian yang ada di Yapen ini mempunyai peranan penting dalam siklus perdagangan pada saat itu. Selain Hokkian, juga terdapat Kanton yang berasal dari daerah yang sama yakni Tiongkok selatan. Seperti halnya dengan suku Hokkian, suku Kanton juga membawa misinya ke Indonesia yakni berdagang. Bedanya perdagangan yang mereka lakukan lebih khusus yakni berhubungan dengan pertukangan seperti toko besi, toko mesin dan lain-lain dan kebanyakan mereka adalah pemilik modal yang besar seperti yang terdapat di Jawa, Kalimantan timur dan selatan, Jambi, Sumatera barat, Jawa tengah dan timur serta Sulawesi selatan dan utara (Heidhues, 2008;17).

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa kerajaan seperti Ternate dan Tidore begitu memegang peranan penting di Papua dalam hal kekuasaan selain negara-negara dari Eropa. Dengan adanya hubungan yang terus menerus terjalin maka kontak dalam hal pertukaran barang terjadi pada masing-masing pihak. Ternate dan Tidore yang mewakili Maluku kaya akan rempah-rempah ternyata juga merupakan penghasil logam yakni besi. Berdasarkan hal tersebut maka suku Kanton yang mempunyai latarbelakang pedagang alat-alat pertukangan menjadi pihak perantara. Mereka memperdagangkan besi yang didapatkan dari kepulauan Maluku kemudian menukarkannya dengan hasil bumi seperti damar, kulit buaya, burung cendrawasih serta komoditi lainnya yang ada di Yapen. Dari analisis tersebut diatas maka disimpulkan bahwa suku Hokkian dan Kanton yang ada di Yapen merupakan suku yang pada awalnya telah melakukan perjalanan dagang dari kerajaan-kerajaan di Indonesia timur saat itu seperti Gowa/Tallo dan

(13)

Kerajaan Ternate dan Tidore di kepulauan Maluku sebagai pedagang perantara dan distribusi barang-barang impor dan hasil bumi pedesaan.Selanjutnya kedua suku tersebut dalam proses migrasinya ke Yapen akhirnya mengadakan perkawinan dengan masyarakat pribumi di Yapen yang pada akhirnya memunculkan sebuah istilah “peranakan Cina Serui” (Prancis), serui adalah nama dulu Yapen.

Perkawinan antara masyarakat pribumi dengan etnis tionghoa dalam hal ini suku Hokkian dan Kanton, dilatarbelakangi oleh belum adanya perempuan Cina yang bermigran keluar Cina pada sekitar abad-19. Saat dimana kapal uap belum ada pada saat itu, sehingga para lelaki Cina mencari perempuan lokal untuk dijadikan istri dan hal ini hampir sama dilakukan di setiap daerah di Indonesia seperti di Jawa yang pada akhirnya memunculkan istilah Cina peranakan, hasil perkawinan antara Cina totok dengan perempuan lokal. Selain itu kemungkinan lain yang menyebabkan sehingga etnis Tionghoa kemudian melakukan perkawinan dengan orang asli Yapen adalah faktor kemudahan untuk memperoleh komoditi yang diperdagangkan. Dalam artian bahwa dengan mengawini perempuan asli pribumi maka barang yang didapatkan dari masyarakat pribumi akan lebih mudah didapatkan dan tentu dalam proses transaksi barang harga akan lebih murah apabila dibantu oleh istri yang berasal dari masyarakat pribumi dalam hal ini perempuan asli Yapen. Dengan cara inilah maka ditemukan kemudahan dalam menjalin koneksi dengan para mitra dagang lokal (orang asli Yapen).

Foto. 8 Foto 9 Foto. 8 dan 9 Perkawinan Etnis Tionghoa dan Wanita Asli Yapen

(dokumentasi Balai Arkeologi Jayapura 2009)

Salah satu data yang menjadi petunjuk dalam mengungkap migrasi etnis Tionghoa ke Yapen adalah keramik. Pada masa ini Keramik cina masih dapat ditemukan dan dipelihara di setiap rumah yang ada dalam perkampungan cina, sebagian besar dijadikan sebagai penghias ruang tamu. Kehadiran keramik di Yapen sebagai salah satu

(14)

data arkeologi dapat digunakan untuk mengungkap beberapa masalah kehidupan dan kebudayaan manusia masa lampau, misalnya dapat menggambarkan pola atau sistem dari aktivitas manusia dalam hal kehidupan sosial, perekonomian, perdagangan dan hubungan antara penguasa pemerintahan antarnegara pada masa bersangkutan (Soegondo, 1993). Selama ini terdapat berbagai pendapat maupun dugaan mengenai keberadaan keramik di suatu situs diantaranya karena ada aktivitas perdagangan yang mencapai puncaknya pada abad ke-16, selain itu keramik dibawa ke Indonesia sebagai bawaan, souvenir atau cenderamata yang dilakukan oleh para penguasa masa lampau (Hadimulyono,1985:1059). Berdasarkan data sejarah, aktivitas perdagangan di Nusantara dimulai sejak abad ke-3 sebelum Masehi, selanjutnya sekitar abad 3-4 Masehi, Indonesia telah mengadakan hubungan dengan Cina (Astawa,1991:204-205) dengan melalui dua jalur perdagangan yaitu jalur timur dan jalur barat. Jalur barat yaitu meliputi Vietnam, Thailand, Malaysia, Sumatera, Jawa, Bali dan Timor. Kapal-kapal yang mengangkut barang dagangan dari Malaysia berlayar menyusuri pantai utara dan pulau Jawa, Bali dan Timor dan selanjutnya ke Ternate.

Adapun barang-barang yang diperdagangkan oleh etnis Tionghoa yaitu antara lain: sutera, kain barokat, besi, mata uang logam,barang kerajinan dan keramik.Keramik dalam masyarakat etnis Cina adalah salah satu benda yang memiliki nilai tukar yang cukup besar dalam perdagangan pada masa lalu hal ini di didasarkan pada bukti arkeologis yang ada diseluruh nusantara serta data-data tertulis mengenai itu. Dengan besarnya nilai sebuah keramik pada masa lalu maka alat yang dipertukarkan juga mempunyai nilai yang harus sama dengan barang yang dipertukarkan dengannya. Di Yapen sendiri keramik dipertukarkan dengan damar yang ditemukan di daerah Waren. Seperti kita ketahui damar merupakan salah satu komoditi unggulan pada masa lalu. Berdasarkan bahan, campuran dan motif berupa sulur-suluran yang terdapat pada tubuh keramik maka diduga keramik yang terdapat di Yapen berasal dari dinasti Ming dan Qing.

Penutup

Migrasi yang dilakukan oleh Etnis Tionghoa dalam hal ini suku Hokkian dan Kanton yang berasal dari Cina daratan bagian selatan yang terdapat di Kabupaten Yapen Waropen merupakan sebuah akibat dari perjalanan dagang yang dilakukan pada

(15)

kerajaan-diketahui Yapen Waropen dalam kurun waktu tersebut terkenal sebagai sebuah daerah yang cukup kaya akan hasil bumi seperti bulu cendrawasih, damar dan kulit buaya. Dalam hal ini maka kedua suku tersebut memposisikan dirinya sebagai pedagang perantara barang-barang impor dan hasil bumi pedesaan yang kemudian di didistribusikan ke kerajaan-kerajaan yang pada saat itu menjadi pusat-pusat perniagaan di bagian Timur Indonesia.

Dalam proses tersebut kedua suku dalam hal ini suku Hokkian dan Kanton mengawini gadis – gadis Yapen Waropen untuk mempermudah mereka dalam memperoleh hasil bumi Yapen Waropen yang pada akhirnya menghasilkan keturunan yang disebut peranakan Cina Serui (Prancis), Serui adalah nama dahulu Yapen.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Ascher, Robert. 1971. “ Analogy and Archaeological Interpretation”, dalam James Deetz,

Man’s Imprint From the Past. Boston: Little Brown and Company. Hlm.

262-271.

Creel, H.G.1953. Chinese Thought from Confucius to Mao Tse-tung, The Univesity Of Chicago Press, (terjemahan bahasa Indonesia: Alam pikiran Cina Sejak Confucius Sampai Mao Zedong, PT. Tiara Wacana Yogya,1990)

Handoko,Wuri. 2007. Aktivitas Perdagangan Lokal di Kepuluan Maluku Abad 15-19. Kapata. Volume 3 No.4. Balai Arkeologi Ambon.

Heidhues, Mary Somers. 2008. Penambang Emas, Petani, dan Pedangang di ‘Distrik

Tionghoa’ Kalimantan Barat. Jakarta:Yayasan Nabil.

Joe Lan,Nio. 1952. Tiongkok Sepandjang Abad. Jakarta: Balai Pustaka.

Onghokham. 2008. Anti Cina kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis C i n a di Indonesia. Jakarta:Komunitas Bambu.

Prasetyo,Bagyo. 2009. “Perkembangan Hasil Penelitian Arkeologi di Tanah Papua” dalam Seminar Semarak Arkeologi, Papua.

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional,1996. Buku Panduan Keramik.

Schiffer, Michael B. 1976. Behavioral Archaeology. New York: Academic Press

Yutang,Lin (editor). 1955. Wisdom of China,Jaico (Terjemahan Bahasa Indonesia: Penguasa Bijak: Berguru pada Demokrasi Cina Kuno,Curiosita,2004)

Walter A.Fairservis,Jr. 2009. Asal – usul peradaban orang-orang Jawa dan Tonghoa. Surabaya: Selasar Publishing.

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah calon penyedia Barang/Jasa yang telah lulus evaluasi administrasi, teknis, dan harga sebanyak 5 (lima) peserta dengan urutan sebagai berikut :.. No Nama Perusahaan

Antarmuka halaman utama adalah antarmuka yang berisi semua fitur aplikasi yaitu fitur untuk melakukan prediksi lokasi pengguna saat ini yang ditunjukan dengan

Dalam pemodelan VAR pengujian pertama adalah melakukan uji stasioneritas Pengujian stasioneritas diujikan terhadap masing-masing data variabel yang akan digunakan

Dalam hal ini media massa harus menjadi mitra pusat bahasa yang penting termasuk dalam pengawasan pelanggaran penggunaan bahasa Indonesia yang perlu untuk melibatkan

karena dengan kehendak-Nya juga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan judul Tradisi Batagak Pangulu di Minangkabau: Studi di Nagari Piobang, Kecamatan Payakumbuh,

Semantics berhubungan dengan arti dari kata, perkataan & kalimat serta cara dimana artinya terdapat pada bahasa alami.. Pragmatics merupakan studi pada cara di mana

Kearifan local yang dilakukan dalam proses pembibitan hanya terdapat 5 kearifan lokal saja yang dilakukan oleh petani gambir yakni dari kelima kearifan lokal tersebut

Sesuai dengan manf aat penggunaan met ode bercerit a bagi anak TK yang t elah dikemukakan, kegiat an bercerit a merupakan salah sat u cara yang dit empuh guru unt uk