• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN TEKNIK UNDERCOVER BUY DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA ( STUDI DI POLRESTA DENPASAR ).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERANAN TEKNIK UNDERCOVER BUY DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA ( STUDI DI POLRESTA DENPASAR )."

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

  i

SKRIPSI

PERANAN TEKNIK

UNDERCOVER BUY

DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(STUDI DI POLRESTA DENPASAR)

I PUTU WISNU NUGRAHA NIM. 1016051047

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

  ii

PERANAN TEKNIK

UNDERCOVER BUY

DALAM

PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(STUDI DI POLRESTA DENPASAR )

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I PUTU WISNU NUGRAHA NIM. 1016051047

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)
(4)
(5)

  v

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Peranan Teknik Undercover Buy Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Narkotika (Studi Di Polresta Denpasar)”. Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Dalam hal ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini banyak kekurangannya, baik dari segi ilmiahnya maupun dari segi teknis penyusunannya. Mengingat minimnya kemampuan dalam menganalisa permasalahan, maka penulis dengan senantiasa menerima semua kritikan dan saran bapak atau ibu dosen serta rekan-rekan yang bersifat menunjang ke arah perbaikan.

Di dalam skripsi ini, penulis banyak mendapat dorongan baik langsung maupun tidak langsung, bimbingan moral maupun spiritual, oleh karena hal tersebut melalui tulisan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(6)

  vi

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Anak Agung Gede Oka Parwata, SH.,M.Si., Ketua Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH., Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Bapak Anak Agung Ngurah Wirasila, SH.,MH., Pembimbing I penulis yang telah banyak membantu baik dari segi ilmu, bimbingan dan waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak I Made Walesa Putra, SH.,M.Kn., Pembimbing II Penulis yang juga telah banyak membantu baik dari segi ilmu, bimbingan dan waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Bapak I Gst Nyoman Agung, SH.,M.Hum., Dosen Pembimbing Akademik penulis yang telah banyak membantu penulis dalam membimbing sewaktu berjalannya perkuliahan, baik dalam mengisi KRS dan dalam pemilihan mata kuliah yang seharusnya ditempuh.

10.Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah banyak membantu menyumbangkan ilmunya selama perkuliahan.

(7)

  vii

12.Bapak AKP I Ketut Suparta, SH., Ibu IPDA Ni Ketut Murni, SH., Bapak IPDA I Gede Daya, SH., serta seluruh anggota Satuan Reserse Narkotika Polresta Denpasar.

13.Terimakasih kehadapan Ayah, Ibu, Adik-adik, Keluarga Besar Pasemetonan Pande, Keluarga Besar Karate Tegal Harum Dojo Menuri, yang penulis cintai atas doa, dukungan, dan semangat yang diberikan saat penyusunan skripsi ini. 14.Semua sahabat penulis yang dalam berjalannya perkuliahan sampai saat

penyusunan skripsi ini telah berbagi ilmu dan memberikan dukungannya, serta sahabat Band dan Brand Indie Bali yang tak henti-henti memberikan semangat dalam penyusunan skripsi ini.

(8)
(9)

  ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PRASYARAT SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN TIM PENGUJI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... viii

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah... 4

1.3Ruang Lingkup Masalah ... 5

1.4Tujuan Penelitian ... 5

1.4.1 Tujuan Umum ... 5

1.4.2 Tujuan Khusus ... 5

1.5Manfaat Penulisan ... 6

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 6

1.5.2 Manfaat Praktis ... 6

1.6Landasan Teori ... 7

(10)

  x

1.7.1 Jenis Penelitian ... 15

1.7.2 Jenis Pendekatan ... 16

1.7.3 Pendekatan Penelitian ... 16

1.7.4 Sumber Data Hukum... 17

1.7.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 18

1.7.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ... 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA, JENIS NARKOTIKA, EFEK NEGATIF PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PENYELIDIKAN DAN TEKNIK UNDERCOVER BUY ... 21

2.1Pengertian Tindak Pidana ... 21

2.2Pengertian Narkotika dan Jenisnya... 24

2.3Efek Negatif Penyalahgunaan Narkotika ... 28

2.4Penyelidikan ... 31

2.5Teknik Undercover Buy... 32

BAB III PERANAN TEKNIK PEMBELIAN TERSELUBUNG SERTA KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI OLEH SATUAN RESERSE NARKOTIKA POLRESTA DENPASAR ... 35

3.1Peranan Teknik Pembelian Terselubung ... 35

(11)

  xi

BAB IV UPAYA–UPAYA UNTUK MENGATASI KENDALA DALAM

PELAKSANAAN TEKNIK PEMBELIAN TERSELUBUNG ... 47

BAB V PENUTUP ... 52

5.1Kesimpulan ... 52

(12)

  xii ABSTRAK

Artikel ini membahas tentang Peranan Teknik Undurcover Buy Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Narkotika (Studi Di Polresta Denpasar). Undercover Buy adalah teknik khusus dalam penyelidikan tindak pidana narkotika dan precursor narkotika dimana seorang informan atau anggota polisi (dibawah selubung) bertindak sebagai pembeli dalam jual beli narkotika.

Hal tersebut menimbulkan pertanyaan diantaranya bagaimanakah peranan teknik undercover buy dalam pengungkapan tindak pidana narkotika dan kendala-kendala yang muncul dalam pelaksanaannya serta upaya-upaya untuk mengatasi kendala-kendala tersebut. Dengan menggunakan metode penelitian emperis hasil yang didapat adalah teknik undercover buy berperan dalam proses penyelidikan tindak pidana narkotika. Kendala-kendala yang muncul saat pelaksanaan teknik undercover buy adalah kendala internal dan kendala eksternal dan upaya dalam mengatasi kendala-kendala tersebut adalah dengan mengoptimalkan kinerja penyidik kepolisian.

(13)

  xiii

ABSTRACT

This article discusses the role of Technical Disclosure Undercover Buy In Crime Narcotics (Study In Polresta Denpasar). Undercover Buy is a special technique in the investigation of criminal offenses of narcotics and precursors of the narcotics which an informer or a member of the police (undercover) act as a buyer in the sale and purchase of narcotics.

It raises the question of how the role of undercover buy techniques in the disclosure of narcotic crime and obstacles that arise in implementation as well as efforts to overcome these constraints. By using the method of empirical research results obtained is a buy undercover techniques involved in investigations narcotic crime. The obstacles that arise during the implementation of the undercover buy techniques are internal constraints and external constraints and efforts to overcome these constraints is to optimize the performance of the police investigator.

(14)

  1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya merupakan masalah besar yang harus dihadapi banyak Negara. Negara-negara di benua Amerika, Eropa, serta Asia terutama Indonesia merasakan ancaman yang serius bagi warga negaranya. “Di Indonesia penyalahgunaan narkotika tumbuh dan berkembang menjadi sebuah masalah sosial sejak tahun 1964”1.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menybabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Sedangkan tentang penyalahgunaan narkotika menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melanggar hukum. Penyalahgunaan narkotika disebabkan oleh semakin berkembangnya cara-cara peredaran atau pemasaran narkotika itu sendiri, seperti mengedarkan narkotika melalui media sosial. Modus berbasis teknologi ini merupakan cara baru dalam peredaran narkotika. Sebelumnya banyak modus dan cara yang dilakukan untuk memasarkan narkotika di negeri ini. Bahkan ada orang

       

1

(15)

  2

rela bagian tubuhnya disusupi narkoba supaya tidak terdeteksi metal detektor saat pemeriksaan petugas bandara. “Di Indonesia hukum yang mengawasi dan mengendalikan penggunaan serta menanggulangi penyalahgunaan narkotika dan perawatan para korbannya dikenal dengan hukum narkotika”2.

Perkembangan kehidupan masyarakat di Indonesia khususnya pulau Bali dan kota Denpasar merupakan ibu kotanya, dimana didalamnya terdapat mobiltas penduduk yang cukup tinggi, serta kuantitas penduduk yang lebih menonjol dari kota-kota lain di Propinsi Bali. Disamping mobilitas penduduk yang cukup tinggi termasuk didalamnya pertambahan penduduk, Bali sebagai daerah tujuan wisata internasional tidak dapat dipungkiri juga sebagai pusat tujuan peredaran gelap narkotika oleh mafia-mafia internasional. Dampak dari tujuan wisata iternasional tersebut juga menyebabkan Kota Denpasar menjadi pusat tumbuhnya tempat-tempat hiburan malam yang dimana tempat-tempat-tempat-tempat tersebut merupakan sasaran utama bagi peredaran gelap narkotika.

Selain itu karena pertumbuhan penduduk yang tinggi dan mobilitas masyarakat yang tinggi membuat sulitnya masyarakat untuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tingginya tingkat pengangguran serta kerisis ekonomi yang berkepanjangan yang melanda Negara kita beberapa waktu yang lalu juga berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat di kota Denpasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga menyebabkan masyarakat mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut, salah satunya adalah menjadi kurir atau perantara peredaran narkotika terutama bagi mereka yang tidak

       

2

(16)

  3

memiliki keahlian tertentu dan memilih hidup dikota denpasar. Kota Denpasar merupakan wilayah hukum dari Polresta Denpasar, jika dilihat dari perkembangan Kota Denpasar maka Polresta Denpasar memiliki intensitas kasus tindak pidana yang cukup tinggi terutama tindak pidana narkotika.

Melihat peredaran narkotika yang semakin berkembang di wilayah Kota Denpasar, tentunya membuat masyarakat semakin resah. Dengan demikian para pihak terkait terutama pihak kepolisian tentunya harus meningkatkan penanggulangan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dalam penanggulangan terhadap penyalahgunaan dan peredaran narkotika tersebut, salah satunya adalah dilakukannya teknik pembelian terselubung (undercover buy). Tindakan Pembelian Terselubung (undercover buy) diatur dalam Pasal 75 huruf J Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Narkotika. Sebagaimana yang dijelaskan dalam petunjuk lapangan No.Pol. Juklap/04/VIII/1983 pembelian terselubung (undercover buy) adalah suatu teknik khusus dalam penyelidikan kejahatan narkotika dan precursor narkotika, dimana seorang informan atau anggota polisi (dibawah selubung), bertindak sebagai pembeli dalam suatu transaksi gelap jual beli narkotika, dengan maksud pada saat terjadi hal tersebut si penjual atau perantara atau orang-orang yang berkaitan supply narkotika dan precursor narkotika dapat ditangkap beserta barang bukti apa adanya3.

Undercover atau penyamaran serta teknik penyelidikan lainnya di atur dalam Pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Teknik pembelian

       

3

(17)

  4

terselubung atau undercover buy berperan dalam proses penyelidikan terhadap tindak pidana narkotika, dimana teknik ini berperan dalam pengintaian terhadap terduga pelaku tindak pidana narkotika dan pengumpulan barang bukti tindak pidana narkotika. Teknik pembelian terselubung dapat dikatakan teknik yang memiliki peran penting dalam pengungkapan tindak pidana narkotika, sabab dalam teknik ini para pelaku tindak pidana narkotika dibuat tidak dapat berkelit atas tindak pidana yang telah dilakukan didepan pengadilan.

Dalam upaya penanggulangan terhadap penyalahgunaan dan peredaran narkotika tentunya diperlukan kerjasama antara instansi-instansi lembaga pemerintahan, maka dibentuklah Badan Narkotika Nasional ( BNN ) dimana BNN adalah merupakan suatu lembaga pemerintahan non kementrian Indonesia yang mempunyai tugas pemerintahan di bidang pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. BNN dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(18)

  5

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah peranan pelaksanaan dari teknik pembelian terselubung di Polresta Denpasar, dan kendala-kendala apa sajakah yang yang timbul dari pelaksanaannya?

2. Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh Kepolisian Polresta Denpasar dalam mengatasi kendala- kendala tersebut dan apakah teknik ini dilakukan secara terprogram dan berkelanjutan?

1.3Ruang Lingkup Masalah

Dalam pembatasan skripsi ini dikhususkan hanya mengenai penungkapan tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui perspektif hukum pidana materiil, hukum pidana formil, dan pelaksanaan hukum yang terdapat pada UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

1.4Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui lebih lanjut tentang teknik pembelian terselubung (Undercover Buy) serta peranannya dalam pengungkapan tindak pidana narkotika di wilayah Polresta Denpasar.

1.4.2 Tujuan Khusus

(19)

  6

1. Untuk mengetahui bagaimanakah peranan pelaksanaan dari teknik pembelian terselubung dalam pengungkapan tindak pidana narkotika di wilayah hukum Polresta Denpasar.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang dialami kepolisian khususnya kepolisian wilayah Polresta Denpasar dalam menjalankan teknik pembelian terselubung tersebut serta upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut.

1.5Manfaat Penulisan 1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang perkembangan ilmu pengetahuan hukum, dan kesesuaian penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Bagi penegak hukum agar hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada lembaga- lembaga hukum terkait dengan penyelesaian perkara tindakan pidana penyalahgunaan narkotika dan penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan Narkotika agar mendapatkan efek jera dan kesesuaian sanksi terhadap tindakan yang dilakukan sesuai dengan undang-undang Narkotika, dan yurisprudensi yang berlaku.

(20)

  7

1.6Landasan Teori

Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana khusus, dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum acaranya menggunakan ketentuan khusus. Disebut dengan tindak pidana khusus, karena tindak pidana narkotika tidak menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai dasar pengaturan, akan tetapi menggunakan UU no 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika 2009). Secara umum hukum acara yang dipergunakan mengacu pada tata cara yang dipergunakan oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), akan tetapi terdapat beberapa pengecualian sebagaimana ditentukan oleh UU Narkotika 2009.

Simons mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Rumusan pengertian tindak pidana oleh simons dipandang sebagai rumusan yang lengkap karena akan meliputi :

1. Diancam dengan pidana oleh hukum 2. Bertentangan dengan hukum

3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld)

4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya 4. “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun yang semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan”5.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Narkotika 2009, Narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,

       

4

Roni Wijayanto, 2012, Asas-asas hukum pidana Indonesia,Bandung,C.V Mandar Maju, hlm. 160

5

(21)

  8

baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Dalam UU Narkotika 2009 telah diatur mengenai beberapa jenis narkotika. Beberapa jenis narkotika tersebut adalah sebagai berikut :

1. Ganja, Kokain, Heroin ( Putauw ), Opium (candu) Hashis dan Matadon. 2. Sabhu, Extasy, Magadon, Aphetamine, MDMA, MDA LSD Valium.

3. Zat-zat aditif lainnya adalah Mikol, Obat, Bahan Obat, Jamu, Tembakau, Bahan pengawet Pormalin, Melamin, Pewarna Textil, dan Kosmetika.

Sebagaimana dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Narkotika 2009 penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Penyalahgunaan narkotika menurut Hari Sasangka adalah “suatu proses gangguan mental adiktif. Pada dasarnya seorang penyalahgunaan narkotika adalah seorang yang mengalami gangguan jiwa (gangguan kepribadian, kecemasan depresi)”6.

Kejahatan merupakan suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah dan masyarakat untuk mencari cara-cara untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan dari kejahatan tersebut. Menurut M. H. Elliot: “ Kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat modern atau suatu tingkah laku yang gagal, yang melanggar hukum dan dapat dijatuhi hukuman penjara mati, denda dan seterusnya”7.

       

6

Hari Sasangka I, op.cit, hlm. 11.

7

(22)

  9

J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan relatif, mengandung variabelitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu 8.

Faktor-faktor terjadinya kejahatan terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendorongnya, H. Hari Saherodji mengatakan bahwa terdapat 2 faktor terjadinya kejahatan tersebut yaitu :

1. Faktor intern (faktor yang terdapat pada individual) dapat ditinjau dari : a) Sifat-sifat umum dari individu: umur, sex, kedudukan individu dalam

masyarakat, pendidikan individu, masalah reakresi/hiburan individu, dan agama individu.

b) Sifat khusus dari individu adalah sifat kejiwaan individu. 2. Faktor ekstern (faktor-faktor yang berada diluar individu).

Faktor ini berpangkal tolak dari lingkungan dan dicari hal hal yang mempunyai korelasi dengan kejahatan seperti waktu kejahatan, tempat kejahatan, keadaan keluarga dalam hubungannya dengan kejahatan9. Menurut A.S Alam dan Amir Ilyas, penanggulangan kejahatan terdiri atas tiga bagian pokok, yaitu upaya Pre-Emtif, Preventif, Refresif10.

1. Pre-Emtif

Upaya Pre-Emtif adalah upaya-upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-emtif adalah menanamkan nilai-nilai atau norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisasikan dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan

       

8

J.E Sahetapy dan B mardjono Reksodiputro, 1982, Parados Dalam Kriminologi, Rajawali, Jakarta, hlm. 191.

9

H. Hari Saherodji, op.cit., hlm.35.

10

(23)

  10

untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan.

2. Preventif

Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya Pre-Emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif ini yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya kejahatan.

3. Refresif

Upaya yang dilakuakan pada saat telah terjadi tindak pidana atau kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman.

Dalam tindak pidana narkotika terdapat penanggulangan kejahatan berupa langkah rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan upaya untuk pengobatan/penyembuhan terhadap para pecandu/pengguna narkotika yang telah ketergantungan terhadap zat-zat narkotika, dalam upaya mengembalikan kondisinya seperti seperti sebelum mengkonsumsi atau terlibat dalam penggunaan zat-zat narkotika.

(24)

  11

rehabilitasinya akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana. Sedangkan untuk pelaku yang bukan sebagai pengguna narkotika diklasifikasika menjadi pemilik, pengolah, pembawa atau pengantar dan pengedar.

Pelaku yang bukan sebagai pengguna dapat dikenakan sanksi pidana karena melanggar ketentuan UU Narkotika 2009 dimana hal tersebut sesuai dengan teori pemidanaan. Teori pemidanaan dapat dibagi sebagai berikut :

1. Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan

merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan11.

2. Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan

sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan12.

3. Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat13.

       

11

Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta Sinar Grafika, hlm.105.

12

Ibid. hlm.106.

13

(25)

  12

Pengertian dari Pidana adalah “hukuman berupa siksaan yang merupakan

keistimewaan dan unsure terpenting dalam hukum pidana”14. Pidana sering

diartikan sama dengan istilah hukuman, hukuman adalah suatu pengertian umum dan lebih luas, yaitu sebagai suatu sanksi yang tidak mengenakan yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. “Pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkenaan dengan sanksi dalam hukum pidana. Walaupun ada juga persamaannya dengan pengertian umum, yaitu sebagai suatu sanksi yang berupa tindakan yang menderitakan atau suatu nestapa” 15.

Selanjutnya, mengenai pengertian Hukum Pidana itu sendiri adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara (Indonesia). Hukum Pidana yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut16.

Sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dinyatakan bersalah dalam melakukan perbuatan pidana. Jenis-jenis pidana ini sangat bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok, dan pidana pencabutan hak-hak tertentu, perampasan baran-barang

       

14

C.S.T. Kansil dan Cristine S.T. Kansil, 2010, Latihan Ujian Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.5

15

Darji Darmodiharjo & Shidarta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, , hlm. 73

16

(26)

  13

tertentu, dan pengumuman putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan. Tujuan dari sanksi pidana menurut Bemmelen adalah “untuk mempertahankan ketertiban masyarakat, dan mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki dan untuk kejahatan tertentu membinasakan” 17.

Secara eksplisit bentuk-bentuk sanksi pidana tercantum dalam pasal 10 KUHP. Bentuk-bentuk sanksi pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Dibawah ini adalah bentuk-bentuk pidana baik yang termasuk pidana pokok maupun pidana tambahan yaitu:

1. Pidana Pokok a. Pidana mati b. Pidana Penjara c. Pidana Kurungan d. Pidana Tutupan e. Pidana Denda 2. Pidana Tambahan

a. Pencabutan Hak-Hak Tertentu b. Perampasan Barang Tertentu c. Pengumuman Putusan Hakim

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara, pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan

       

17

(27)

  14

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. “Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati “18.

Terkait dengan pihak pengguna narkotika yang disebut juga dengan pecandu narkotika, terhadap mereka seringkali terjadi stigmatisasi dari masyarakat dari masyarakat seperti seorang penjahat. “Dengan adanya UU Narkotika 2009 sebagaimana sudah menjadi tujuan dari Undang-Undang tersebut, para penyalahguna dan pecandu narkotika dijamin untuk medapatkan rehabilitasi medis dan sosial”19.

Kebijakan penanggulangan kejahatan tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak bias lepas dari tujuan Negara untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahtraan umum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Sebagai warga Negara berkewajiban untuk memberikan perhatian pelayanan pendidikan melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Disisi lain pemerintah terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat khususnya yang berdampak dari gangguan dan perbuatan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Kebikan penanggulangan tindak pidana narkotika merupakan kebijakan hukum positif yang pada hakikatnya bukanlah semata-mata pelaksanaan undang-undang yang dapat dilakukan secara yuridis normative dansistematik, dogmatic. “Di samping pendekatan yuridis normatif,

       

18

Sujono AR. Dan Bony Daniel, 2011 Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 59.

19

(28)

  15

kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis factual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya”20.

Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu jalur “penal” (hukum pidana) dan jalur “non-penal” (bukan/di luar hukum pidana). Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitik beratkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih menitik beratkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi. Mengingat upaya non-penal lebih bersifat akan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Kedua cara di atas dapat dijadikan acuan dan diterapkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum secara langsung apabila tingkat kriminalitas di masyarakat terus meningkat21.

1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum empiris, dalam penelitian hukum empiris, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang diamati dalam kehidupan nyata. “Peter Mahmud Marzuki, menyatakan penelitian

       

20

Moeljatno,op.cit hlm.22

21

(29)

  16

hukum empiris adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui pengamatan, wawancara, ataupun penyebaran kuisioner”22. Penelitian hukum empiris beranjak dari adanya kesenjangan antara teori dan realita, kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum, dan atau adanya situasi ketidaktauan yang dikaji untuk pemenuhan system akademik. “Penelitian hukum empiris atau sosiologis lebih menitik beratkan pada penelitian data primer yaitu wawancara”23.

1.7.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan mengenai masalah yang dibahas adalah Pendekatan kasus (the case approach) ini sesuai dengan proses pengumpulan data. Adapun jenis-jenis pendekatan lainnya adalah, pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) yang peneliti lakukan ini berdasarkan aturan-aturan dan teori-teori yang berkaitan dengan kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika, yang diatur sesuai dengan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pendekatan Fakta (The Fact Approach) Pendekatan ini di gunakan dalam pengumpulan data di lapangan sebagai bukti konkrit atas kasus yang terkait didalam penulisan skripsi ini.

1.7.3 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini menempatkan hukum sebagai gejala sosial, dalam hal ini hukum dipandang secara awam. Karena didalam penelitian ini menekankan pada peranan teknik yang dipergunakan pihak yang berwajib dalam

       

22

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Cet. ke I, hlm. 35.

23

(30)

  17

pengungkapan tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran narkotika. Oleh karena itu sasaran penelitian ini adalah mengetahui peranan teknik pembelian terselubung dalam pengungkapan tindak pidana narkotika di wilayah kota Denpasar serta kendala-kendala yang ditemui oleh penyidik kesatuan narkotika Polresta Denpasar dalam pelaksanaan teknik tersebut, maka pendekatan utama yang digunakan ialah melalui pendekatan emperis.

1.7.4 Sumber Data Hukum

Sumber data didalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penelitian ini merupakan penelitian empiris, maka data pokok yang harus digunakan ialah data primer. Untuk menunjang dan memperkuat data primer tersebut, maka penulis menggunakan data sekunder berupa literature kepustakaan untuk melengkapi data primer tersebut.

1. Sumber Bahan Hukum Primer

Sumber Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan secara hierarki dan data-data yang diperoleh dari Polresta Denpasar.

Data primer diperoleh melalui bahan yang mendasari dan berkaitan dengan penulisan ini yaitu :

1) Buku-buku ilmu hukum; 2) Jurnal ilmu hukum;

3) Laporan penelitian ilmu hukum;

(31)

  18

2. Sumber Bahan Hukum Sekunder

Sumber Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan secara umum mengenai bahan hukum primer, hal ini bisa berupa :

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang dapat memberi petunjuk dan kejelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier berupa:

1) Kamus / leksikon 2) Ensiklopedia

3) Dan lain sebagainya

1.7.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengumpulan data primer dalam penelitan ini adalah teknik wawancara. Untuk mendapatkan data lapangan digunakan teknik wawancara / interview, “teknik wawancara merupakan proses Tanya jawab antara dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik, yang satu dapat melihat yang lain dapat mendengarkan dengan telinganya sendiri”24. “Dengan kemajuan teknologi dimungkinkan pula suatu wawancara yang dilakukan melalui hubungan telepon, akan tetapi cara ini sangat jarang dilakukan

       

24

(32)

  19

karena reaksi-reaksi seseorang lebih sukar ditangkap dibandingkan bila kita berhadapan langsung dengan orang yang kita wawancarai”25.

Teknik pelaksanaan wawancara dibagi dalam dua penggolongan besar yaitu:

1) Wawancara berencana (berpatokan).

Di mana sebelum dilakukan wawancara telah dipersiapkan suatu daftar pertanyaan (kuesioner) yang lengkap dan teratur. Biasanya pewawancara hanya membacakan pertanyaan yang telah disusun dan pokok pembicaraan tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditentukan.

2) Wawancara tidak berencana (tidak berpatokan).

Dalam wawancara tidak berarti bahwa peneliti tidak mempersiapkan dulu pertanyaan yang akan diajukan tetapi peneliti tidak terlampau terikat pada aturan-aturan yang ketat. Ini dilakukan dalam penelitian yang bersifat kualitatif. Alat yang digunakan adalaha pedoman wawancara yang memuat pokok- pokok yang ditanyakan. Pedoman wawancara ini diperlukan untuk menghindari keadaan kehabisan pertanyaan26.

Dalam hal ini penulis akan melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait dengan yang dibahas. Data yang diperoleh dengan penelitian langsung terhadap obyek penelitian, dalam hal ini obyek penelitian adalah Polresta Denpasar.

1.7.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Analisa hasil penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang menggambarkan bagaimana suatu data di analisis dan apa manfaat data yang terkumpul untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah. Analisis data yang digunakan adalah analisa deskripsi yang diawali dengan mengelompokkan data dan informasi yang sama menurut sub aspek dan selanjutnya melakukan

       

25

Burhan Ashshofa, 2010, Metode Penelitian Hukum, cet. ke VI, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm.95.

26

(33)

  20

(34)

21 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA, JENIS NARKOTIKA, EFEK NEGATIF PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PENYELIDIKAN

DAN TEKNIK UNDERCOVER BUY

2.1Pengertian Tindak Pidana

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang-undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.

Tindak Pidana atau Strafbaar feit merupakan istilah asli bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya yaitu, tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana. Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. “Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan”25. 

Menurut Pompe pengertian tindak pidana atau strafbaar feit dibedakan menjadi:  1. Defenisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah

suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

       

25 

(35)

22

2. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadiaan (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. 26

Tindak pidanaadalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal dari Von Feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:

a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.

Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan.

Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang

       

26 

(36)

23

dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggung jawabkan segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya27. 

Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan28. 

 

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah: 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan.

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

3. Macam-macam maksud seperti yang terdapat di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

       

27 

Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Jakarta, Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 62

28 

(37)

24

Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah: 1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid.

2. Kwalitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

2.2Pengertian Narkotika dan Jenisnya

Narkotika bukan lagi merupakan suatu hal yang baru bagi kita, hampir setiap hari baik di media massa cetak maupun elektronik diberitakan tentang masalah ini. Narkotika adalaha zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabakan penurunan atau perubahan kesadaran, silangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Istilah Narkotika berasal dari bahasa Inggris “Narkotic”, yang berarti obat bius, dan sedangkan dari bahasa Yunani “Narcosis” yang berarti menidurkan. Menurut beberapa para ahli Narkotika diartikan sebagai berikut:

(38)

25

merupakan suatu bahan yang menumpulkan rasa, menghilangkan rasa nyeri dan sebagainya”29.

Menurut B.Bosu, “Narkotika adalah sejenis zat yang apabila di pergunakan atau di masukkan kedalam tubuh si pemakai akan menimbulakan pengaruh-pengaruh seperti berupa menenangkan, merangsang dan menimbulkan khayalan atau halusinasi”30.

Dari aspek Yuridis, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini atau yang kemudian ditetepkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.”

Jenis-Jenis narkotika sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdiri atas 3 golongan yaitu:

1. Narkotika golongan I yang hanya digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya. Beberapa jenis narkotika yang termasuk dalam golongan initerdiri dari:

a. Tanaman Papaver Somniferum L (opium). dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.

       

29 

Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 36.

30

(39)

26

b. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L.

c. Opium masak terdiri dari:

a) Candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain.

b) Jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.

c) Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing. d. Tanaman koka

e. Daun koka f. Kokain mentah g. Kokaina

h. Tanaman Ganja

2. Narkotika golongan II dimana golongan ini berkahasiat untuk pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, juga berpotensi tinggi yang mengakibatkan ketergantungan. Beberapa jenis narkotika yang termasuk dalam golongan ini terdiri dari :

a. Alfasetilmetadol, Alfameprodia, Alfametadol, Alfaprodina, Alfetanil,

Alliprodina, Aniileridina, Asetilmetadol

b. Benzetidin, Benzilmorfina, Betamepordina, Betametadol, Betaprodina,

(40)

27

c. Dekstromoramida, Diampromida, Dieltiltiambutena, Difenoksilat,

Difenoksin, Dihidromorfina, Demeteptanol, Dimenoksadol

d. Egonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgoninadan kokiana

e. Morfin f. Opium

g. Petidana beserta garam-garamnya

3. Narkotika golongan III dimana golongan ini berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, juga berpotensi yang mengakibatkan ketergantungan meskipun sifatnya ringan. Beberapa jenis narkotika yang termasuk dalam golongan ini adalah :

a. Asetildihidrokodeina

b. Dokstropropoksifem

c. Dihidrokodeina

(41)

28

2.3Efek Negatif Penyalahgunaan Narkotika

Pengertian Penyalahgunaan Narkotika adalah “penggunaan narkotika bukan untuk maksud pengobatan akan tetapi ingin menikmati pengaruhnya, dalam jumlah yang berlebihan, teratur dan cukup lama sehingga menyebabkan gangguan kesehatan, fisik, mental dan kehidupan sosialnya, atau yang biasa disebut sebagai pengguna” 31. Penyalahgunaan Narkotika berkaitan erat dengan tindak pidana dan kejahatan narkotika. Kejahatan narkotika adalah orang yang menyalahgunakan narkotika dengan cara mengimpor, pengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjadi pembeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual maupun secara terorganisasi atau bias disebut pengedar.

Dampak negatif yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan dan kejahatan narkotika secara factual demikian besar dan memiliki relevansi terhadap beberapa aspek kehidupan manusia. Sehingga nantinya diperlukan suatu upaya dalam menanggulangi penyalahgunaan dan kejahatan narkotika tersebut, penanggulangan pun tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, namun harus melibatkan seluruh instansi/ pihak berwenang terkait serta seluruh potensi komponen masyarakat, guna mendapatkan hasil yang sesui dengan yang diharapkan, secara terprogram, periodik, dan berkelanjutan serta berkesinambungan. Oleh karena dampak negatif narkotika, akan dapat menimbulkan kerugian dalam kehidupan masyarakat, ekonomi sosial dan budaya32.

Dampak negatif penyalahgunaan narkotika secara faktual akan terlihat:

       

31

Badan Narkotika Nasional, 2007, Pedoman Pelaksanaan P4GN melalui Peran Serta

Kepala Desa/Lurah Babinkantibmas dan PLKB di tingkat Desa/Kelurahan,Jakarta, hlm.19.

32

(42)

29

1. Terhadap Psikologi/ Kejiwaan

a. Merubah kepribadian secara drastis, murung, pemarah dsb.

b. Menimbulkan sifat masa bodoh terhadap diri sendiri, sekolah, rumah, pakaian, tempat tidur dsb.

c. Semangat belajar menurun dan suatu ketika sikorban bersikap seperti orang gila, karena reaksi narkotika.

d. Sering mengadakan seks bebas, karena sudah tidak mampu memperhatikan lagi norma-norma kemasyarkatan, norma agama, norma social/ kesopanan maupun norma hukum.

e. Tidak segan-segan menyiksa diri dengan ingin menghilangkan rasa nyeri atau menghilangkan rasa ketergantungan obat bius.

f. Menjadi pemalas dan tidak segan-segan mencuri uang atau barang sekalipun dalam keluarga.

g. Tidak mengenal sopan santun dan sering mencemarkan nama baik keluarganya.

h. Sering mengganggu ketertiban umum dan sering melakukan tindakan kriminal 33.

2. Terhadap Kesehatan

1) Terjadinya kasus ketergantungan fisik yaitu kondisi dimana seseorang mengalami fungsi fisiologi dan biokimia tubuh, jika tuntutan konsumsi narkotika tersebut tidak dipenuhi, misalnya diare berat, gangguan penglihatan, gangguan jantung, dehidrasi berat, gangguan partus wanita hamil, depresi pernafasan yang fatal, lidah terasa kaku, hypotensi, gangguan sexual dsb.

2) Terjadinya ketergantungan pisikis yaitu kondisi dimanaseseorang mengalami gangguan mental/ kejiwaan, jika tuntutan konsumsi narkotika tidak dipenuhi, maka berakibat misalnya gelisah, takut, khawatir, mual, ngantuk, konsentrasi sering menjadi hilang, lepas kendali terhadap moral, social, bersikap apatis dan lesu34.

3. Terhadap Perekonomian

Apabila dilihat dari aspek koban sebagai pecandu penyalahgunaan narkotika, sudah dapat dipastikan kondisi ekonominya semakin hari semakin berkurang dan lemah. Oleh karena untuk memenuhi kebutuhan konsumsi akan zat-zat narkotika itu harganya sangat mahal, sehingga memerlukan biaya yang cukup besar. Bagi keluarga si pecandu sendiri, akan memerlukan biaya yang

       

33

Mudji Waluo dkk, 2001, Penanggulangan Penyalahgunaan Bahaya Narkotika, Dalam Majalah Bayangkara, Dik. Bimas, Polri, Jakarta, hlm.12.

34

(43)

30

besar dalam upaya proses pengobatan atau penyembuhan dan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Demikian pula bagi Negara, akan mengalami kerugian yang besar, karena zat-zat narkotika itu masuk melalui pintu-pintu yang illegal, baik darat, laut dan udara, sehingga luput dari pajak pemasukan barang ke Indonesia, secara otomatis tidak akan dapat dimasukkan kedalam devisa Negara. Pengeluaran uang Negara juga akan bertambah untuk oprasional program pembinaan dan pendidikan tenaga medis dibidang narkotika, termasuk juga dalam pengadaan sarana prasarana guna terlaksananya oprasional tersebut.

4. Terhadap Sosial, Budaya dan Agama

(44)

31

5. Terhadap Beberapa Kriminalitas

Para pecandu narkotika yang tingkat ktergantungannya telah demikian berat, sudah tentu dalam hidup dan kehidupannya senantiasa harus mengkonsumsi zat-zat narkotika, bila tidak, maka dapat mengakibatkan kesehatan atau nyawanya terancam akan meregang. Demikian pula terhadap rohani atau fikirannya akan cepat terganggu bila tidak dapat mengkonsumsi zat zat narkotika itu, sehingga emosinya meningkat, sedangkan biaya untuk memenuhi zat-zat narkotika itu, si pecandu narkotika sudah tidak memiliki lagi. Maka dari situasi dan kondisi inilah, tidak tertutup si pecandu akan melakukan tindakan yang melanggar koridor-koridor hukum yang berlaku, seperti melakukan pencurian (baik dalam keluarga maupun diluar lingkungan keluarga), melakukan pemerasan dan pengancaman atau penodongan atau penjambretan, penganiayaan atau penyiksaan, kejahatan yang berhubungan dengan kesusilaan/kesopanan bahkan tidak segan-segan melakukan pembunuhan35. 

2.4Penyelidikan

Penyelidikan berdasarkan Pasal 1 butir ke 5 KUHAP adalah serangkaian tindakan/penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu pristiwa yang diduga sebagai tidak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penydikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dengan kata lain penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan. “Penyelidikan berarti penyelidik berupaya atas inisiatif sendiri untuk menemukan suatu pristiwa yang diduga

       

(45)

32

sebagai tindak pidana. Akan tetapi biasanya penyelidik/penyidik baru mulai melaksanakan tugasnya setelah adanya laporan/pengaduan dari pihak yang dirugikan” 36. 

Berdasarkan Pasal 4 KUHAP, ditentukan penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia (POLRI). Dalam pasal 5 ayat (1) huruf (a) KUHAP penyelidik mempunyai wewenang sebagai berikut: 

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana. 2. Mencari keterangan dan barang bukti.

3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

2.5Teknik Undercover Buy

Dengan semakin meningkatnya penyalahgunaan narkotika maka diperlukan suatu cara atau teknik untuk menanggulanginya. Salah satu teknik yang dpergunakan adalah teknik Undercover Buy (pembelian terselubung). Teknik pembelian terselubung berperan penting dalam pengungkapan tindak pidana narkotika, terutama pada saat pengumpulan barang bukti terhadap tindak pidana narkotika. Pengertian Undercover atau penyusupan adalah suatu operasi penyidikan yang sifatnya tertutup dan dirahasiakan, kegiatan ini disamarkan sedemikian rupa sehingga orang-orang yang melakukan dan segala kegiatanya tidak boleh menimbulkan kecurigaan pada orang disusupi. Tindakan Pembelian Terselubung (undercover buy) diatur dalam pasal 75 huruf J undang-undang

       

36

(46)

33

narkotika yang artinya penyidik narkotika dan prekursor narkotika berhak untuk melakukan atau bertindak langsung sebagai pembeli.

Pembelian Terselubung (undercover buy) sebagai sebuah teknik yang dilakukan oleh penyidik dalam tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika dapat kita lihat pengertianya dalam petunjuk lapangan No. Pol. Juklap/04/VIII/1983 disebutkan bahwa Pembelian terselubung (undercover buy) adalah suatu teknik khusus dalam penyelidikan kejahatan narkotika dan precursor narkotika, dimana seorang informan atau anggota polisi (dibawah selubung), bertindak sebagai pembeli dalam suatu transaksi gelap jual beli narkotika, dengan maksud pada saat terjadi hal tersebut si penjual atau perantara atau orang-orang yang berkaitan supply narkotika dan precursor narkotika dapat ditangkap beserta barang bukti apa adanya.

Sebelum diadakan pembelian terselubung (undercover buy) maka diadakan kegiatan-kegiatan berupa pertemuan, perundingan-perundingan dengan dengan pengedar narkotika dan prekursor narkotika untuk memungkinkanya dilakukan teknik pembelian terselubung. Bila dimungkinkan pembelian terselubung ini dilakukan oleh lebih dari satu orang. Hal ini bergantung kepada situasi dan kondisi. Setelah dilakukan berupa transaksi dan dari pihak lawan tidak terdapat kecurigaan terhadap orang-orang terselubung maka kemudian ditentukan saat yang tepat untuk melakukan operasi terselubung.

(47)

34

Referensi

Dokumen terkait

Dan nilai-nilai yang yang terkandung dari diadakannya pengajian kliwonan ini yaitu nilai sosial budaya yang dapat mempererat tali silaturrahmi antar masyarakat

Oleh karena itulah, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menge- tahui perbedaan hasil kualitas hidup antara berbagai metode manajemen nyeri pada pasien nyeri

Penelitian ini berusaha mengupas metode hisab yang digunakan oleh Qotrun Nada dalam perhitungan bayang-bayang kiblat (rashdul kiblat) harian menggunakan rubu’

Based on the result of quality product it can be conclude that audio-visual media “Cheins” lab guide based on adobe flash CS6 in electrolyte solution and redox concept for senior

Kontrol pada hewan uji normal digunakan untuk melihat kadar kolesterol yang tidak mengalami peningkatan (normal) dan hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kerja dari

Adapun komponen kebugaran jasmani meliputi : (1) Daya tahan jantung yaitu kemampuan jantung, paru menyuplai oksigen untuk kerja otot dalam waktu yang lama, (2) Kekuatan

Guru memindahkan skor murid ke dalam Borang Profil Psikometrik (Profil Individu dan Profil Umum).  Borang

ditunjukkan dari ibu-ibu yang sedang membatik, belum jadi pun menunjukkan keindahan harmoninya. Dalam scene ini, Laudya sebagai brand ambassador yang