SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMBERIAN BEBAS
VISA KEPADA 45 NEGARA BERDASARKAN
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 69 TAHUN
2015 TENTANG BEBAS VISA KUNJUNGAN
JHONSEN MARUDUT NIM. 1016051157
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMBERIAN BEBAS
VISA KEPADA 45 NEGARA BERDASARKAN
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 69 TAHUN
2015 TENTANG BEBAS VISA KUNJUNGAN
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
JHONSEN MARUDUT NIM. 1016051157
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, anugerah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Tinjauan Yuridis tentang Pemberian Bebas Visa Kepada 45 Negara Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan”.
Penulisan skripsi ini merupakan syarat pokok yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan perkuliahan guna memperoleh gelar sarjana. Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Hukum Universitas Udayana untuk diuji sesuai dengan tata cara pelaksanaan ujian tugas akhir.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Karena itu, penulis sangat mengharapkan berbagai saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Harapan penulis semoga yang disajikan dalam karya tulis ini bermanfaat bagi setiap pembacanya dan masyarakat secara umum.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, arahan dan dukungan sehingga skripsi ini dapat selesai. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH, Dekan Fakultas
2. Bapak Anak Agung Gde Oka Parwata, SH., M.Si, Ketua Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana.
3. Bapak Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH, Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana.
4. Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH., M.Hum, Dosen Pembimbing I yang telah mmberikan petunjuk dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa, SH., M.Hum, Dosen Pembimbing II yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai.
6. Bapak Dr. I Wayan Novy Purwanto, SH., M.Kn, Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan banyak masukan, dorongan, semangat, petunjuk dan arahan serta bantuan selama penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
7. Seluruh Dosen, Staf Tata Usaha dan Staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan dan petunjuk selama penulis mengikuti perkuliahan maupun penyusunan skripsi ini.
8. Bapak Dr. Erikson Sihotang, SH., M.Hum, Sekretaris Prodi Magister Universitas Mahendradatta Bali atas bantuan, petunjuk dan masukan-masukan yang diberikan sehingga terselesaikannya skripsi ini.
10. Seluruh Pejabat Eselon III dan IV di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Ngurah Rai Bali.
11. Keluarga penulis, Ayahanda (Alm.) St.H. Simangunsong dan Ibunda D.F. Aritonang, istri tercinta Mariati Sihotang. S.SiT, Bapak Mertua M. Sihotang dan Ibu Mertua K. Malau. Keluarga besar Opung Angel Simangunsong dan Keluarga besar Opung Riris Sihotang di Bandung, yang dengan penuh cinta dan kasih sayang selalu berdoa, memberikan perhatian, semangat dan senantiasa mendukung agar skripsi ini selesai. 12. Keluarga Besar Raja Sonakmalela se-Denpasar Bali terutama Keluarga M.
Simangunsong, SH/Br. Pasaribu, Keluarga E. Simangunsong/Br. Silitonga dan secara khusus kepada keponakan penulis Mesites Yeremia Simangunsong yang tidak kenal lelah membantu kelancaran penyusunan skripsi ini.
13. Keluarga Besar Siraja Oloan se-Denpasar Bali terutama Kel. St. Dr. E. Sihotang, SH., M.Hum/Br. Pardosi.
14. Keluarga Besar Paduan Suara Jerikho HKBP Denpasar Bali.
15. Ibu Pendeta N. Br. Hutasoit, Bapak Pendeta R. Panjaitan dan Ibu Bibelvrouw R. Br. Sitompul atas doa dan dukungan moril dari para Rohaniawan dari Gereja HKBP Denpasar.
16. Rekan-rekan sekerja pada Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Ngurah Rai, yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama masa penyusunan skripsi ini.
Denpasar, 6 Januari 2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv
KATA PENGANTAR ... v
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... viii
DAFTAR ISI ... ix
ABSTRACT... xii
ABSTRAK ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 12
1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 13
1.4 Orisinalitas Penelitian ... 14
1.5 Tujuan Penulisan ... 17
a. Tujuan Umum ... 17
b. Tujuan Khusus ... 18
1.6 Manfaat Penelitian ... 18
b. Manfaat Praktis ... 19
1.7 Landasan Teoritis... 19
1.8 Metode Penelitian ... 24
a. Jenis Penelitian ... 24
b. Jenis Pendekatan ... 25
c. Bahan Hukum ... 25
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 26
e. Teknik Analisis ... 28
BAB II TINJAUAN UMUM HUBUNGAN ANTARNEGARA ... 29
2.1 Perkembangan Lalu Lintas Manusia ... 29
2.1.1. Zaman Kuno ... 30
2.1.2. Abad Pertengahan ... 31
2.1.3. Zaman antar Negara Modern ... 31
2.1.4. Periode Abad Ke-20 ... 33
2.2 Perkembangan Hubungan Antar Negara ... 33
2.2.1. Hubungan Diplomatik dan Konsuler ... 33
2.2.2. Hubungan Regional ... 35
2.2.3. Hubungan Bilateral dan Multilateral ... 35
2.3 Perkembangan Hukum Keimigrasian Indonesia Terkait Lalu Lintas Orang Asing Di Indonesia ... 36
2.4 Ruang Lingkup dan Kedudukan Keimigrasian dalam Sistem Hukum Nasional ... 48
2.4.2. Kedudukan Keimigrasian dalam Sistem Hukum Nasional ... 52 BAB III TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN BEBAS VISA
KUNJUNGAN DITINJAU DARI ASAS
PEMBERLAKUAN DAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN... 57 3.1 Asas Timbal Balik Sebagai Dasar Pemberian Bebas
Visa Kunjungan ... 57 3.2 Keberadaan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015
Terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian ... 62 BAB IV DUALISME KEBIJAKAN PEMBERIAN BEBAS VISA
KUNJUNGAN BERDASARKAN PERATURAN
PRESIDEN NOMOR 69 TAHUN 2015 TENTANG BEBAS VISA KUNJUNGAN ... 68 4.1 Perbedaan Perlakuan Bebas Visa Kunjungan bagi 15
Negara Awal dan 30 Negara Tambahan ... 68 4.1.1. Perbedaan Berdasarkan Asas Pemberlakuan
4.1.3. Perbedaan Berdasarkan Tujuan Kunjungan ke
Indonesia ... 72
4.1.4. Perbedaan Berdasarkan Tempat Pemeriksaan Imigrasi ... 73
4.2 Perbedaan Pertimbangan Pemberian Bebas Visa Kunjungan dalam Rangka Wisata ... 74
BAB V PENUTUP ... 79
5.1 Kesimpulan ... 79
5.2 Saran ... 81 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kedaulatan menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah kekuasaan yang
terbatas, yaitu ruang berlakunya kekuasaan suatu negara tertentu dibatasi oleh
batas-batas wilayah negara tersebut. Berarti suatu negara hanya memiliki
kekuasaan tertinggi di dalam batas-batas wilayahnya.
Secara garis besar, negara berdaulat berarti negara mempunyai kekuasaan
tertinggi. Sehingga tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari
kekuasaannya tersebut. Negara dikatakan berdaulat karena kedaulatan merupakan
suatu sifat atau ciri hakiki negara. Bila dikatakan bahwa negara itu berdaulat,
dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi. Ruang berlaku
kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas wilayah negara itu, artinya suatu negara
hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya.
Oleh karena itu, lebih tepat dikatakan bahwa pada saat ini kedaulatan suatu
negara merupakan suatu sisa (residuum) dari kekuasaan yang dimilikinya dalam
batas-batas yang telah ditetapkan hukum internasional. Istilah “kedaulatan”
sendiri lebih merupakan suatu istilah sastra daripada pengertian hukum yang dapat
didefinisikan secara tepat. Suatu akibat paham kedaulatan dalam arti yang terbatas
ini selain kemerdekaan (independence) juga paham kesederajatan (equality).
Artinya, bahwa negara-negara yang berdaulat itu selain masing-masing merdeka,
Suatu negara yang merdeka, maka ia mempunyai hak-haknya, seperti
yurisdiksi teritorial dan mempertahankan negaranya. Di samping hak terdapat
kewajibannya yang mengikat atau berhubungan dengan negara lain, seperti tidak
mengambil jalan kekerasan, traktat dengan iktikad baik, dan tidak intervensi.
Prinsip menghormati kedaulatan teritorial suatu negara salah satu contoh hak
sekaligus kewajiban.
Dalam hukum internasional dikenal pula paham imunitas. Dari sudut
istilah, imunitas negara memiliki arti bahwa terhadap setiap negara berdaulat,
yurisdiksi negara lain tidak bisa diperlakukan kepadanya atau dengan kata lain
secara khusus pengadilan suatu negara tertentu tidak dapat mengadili negara lain.
Selanjutnya dalam hukum internasional dikenal suatu prinsip yang
mengatakan “par in parem non hebat yurisdcsionem”, yang artinya bahwa setiap
negara mempunyai kedudukan yang sama dan sejajar, tidak ada satu negara yang
melaksanakan yurisdiksinya terhadap negara lain tanpa dengan persetujuan negara
lain tersebut.1
Doctrine of the equality of states oleh Christian Wolf: Pada dasarnya
semua bangsa mempunyai kedudukan yang sama satu sama lain. Karena
bangsa-bangsa dianggap sebagai pribadi manusia bebas yang hidup dalam suatu keadaan
alami, oleh karena itu, karena pada dasarnya semua manusia memiliki kedudukan
yang sama, maka semua bangsa pun pada dasarnya berkedudukan sama satu sama
lain”.2
1http://karimjogja.blogspot.co.id/ Arti Kedaulatan Negara Dalam Hukum Internasional, diunduh,
2 Januari 2016.
Sehubungan dengan kemerdekaan dan kedaulatan negara ini, Konvensi
Montevideo pada tahun 1933 menyatakan bahwa suatu negara harus memiliki 4
(empat) unsur, yaitu:
1. Rakyat yang permanen
2. Wilayah atau daerah yang tetap
3. Pemerintah
4. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain
Kedaulatan suatu negara mencakup keempat unsur di atas yang berarti
juga kekuasaan absolut suatu negara atas unsur-unsur tersebut.
Negara Indonesia adalah negara yang merdeka dan berdaulat berdasarkan
proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 yang berarti bebas
dari penjajahan dan intervensi negara lain, bebas menentukan dan mengatur diri
sendiri dan bebas berhubungan dengan negara lain dalam tatanan hubungan
internasional.
Berdasarkan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Indonesia
menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dari suatu negara
merdeka yang tidak bisa diintervensi oleh negara lain. Kedaulatan bersifat absolut
yang mengikat setiap wilayah dan penduduk yang ada di dalamnya.
Kedaulatan adalah sifat hakiki dari suat negara yang bebas merdeka.3
Menurut sejarah, asal kata kedaulatan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan
istilah souvereignity berasal dari bahasa Latin superanus yang berarti yang
teratas.4 Negara yang berdaulat berarti negara yang memiliki kekuasaan tertinggi
untuk menjalankan negaranya tanpa ada campur tangan dari negara lain.5
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kedaulatan suatu negara akan dapat
berjalan dengan baik apabila menjalin hubungan kerjasama dengan negara-negara
tetangga. Karena bagaimanapun sebagaimana dikemukakan Aritoteles seorang
filsuf terkemuka dari Yunani, bahwa manusia adalah makhluk sosial (zoon
politicon) yang memiliki arti bahwa manusia tidak dapat hidup seorang diri saja
melainkan membutuhkan orang lain untuk bisa menjalankan kehidupannya.
Demikian halnya dalam hal bernegara, negara adalah manifestasi dari kumpulan
rakyat yang menyatukan dirinya menjadi satu identitas dan taat kepada hukum
yang sama. Supaya fungsi negara dapat berjalan maka negara tersebut tidak dapat
memisahkan dirinya dari negara lain. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
negara kepulauan terluas di dunia. Karena luasnya laut yang dimiliki oleh
Indonesia maka garis batas baik darat, laut maupun udara antara Indonesia dan
negara tetangganya sangat luas dan tersebar bukan hanya di satu pulau tetapi juga
di pulau-pulau lainnya. Dalam penulisan ini akan difokuskan pada unsur
kedaulatan dari suatu negara dimana negara yang berdaulat harus memiliki
kemampuan berhubungan dengan negara lain dalam tatanan dunia internasional.
Hubungan internasional terjalin karena adanya saling ketergantungan antar
negara untuk memenuhi kebutuhan negara tersebut. Tidak ada satu negara pun
yang bisa hidup sendiri tanda adanya bantuan atau kerja sama dengan negara lain.
Ada beberapa pendapat terkait dengan pengertian hubungan internasional antara
lain:6
1. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 huruf a bahwa
hubungan internasional adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional
dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah,
atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik,
organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara
Indonesia.
2. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hubungan internasional adalah hubungan
antar bangsa. Dalam hubungan tersebut berkembang juga kebiasaan-kebiasaan
maupun peraturan-peraturan hukum yang merupakan bagian dari kesepakatan
bersama.
3. Menurut Encyclopedia Americana, hubungan internasional adalah hubungan
antar negara atau antar individu dari negara-negara yang berbeda baik berupa
hubungan politik, budaya, ekonomi ataupun hankam.
Hubungan Internasional mengadung arti adanya suatu kerja sama yang
bersifat internasional (antar negara). Kerja sama yang dibentuk tersebut harus
tunduk kepada kaidah-kaidah hukum internasional.
Berdasarkan statuta Mahkamah Internasional Pasal 38 ayat (1) , bahwa
sumber hukum bagi hukum internasional adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus yang
mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara
yang bersengketa.
2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah
diterima sebagai hukum.
3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.
4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari
berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.
Salah satu bentuk kerjasama internasional tersebut adalah kerjasama dalam
hal lalu lintas orang maupun barang/jasa antar negara. Pada karya tulis ini, Penulis
hanya membahas lalu lintas orang antar negara terutama lalu lintas orang asing
yang akan masuk atau keluar dari wilayah negara Indonesia.
Kedaulatan negara di perbatasan dan di setiap pintu masuk ke wilayah
Indonesia harus ditegakkan. Penegakan kedaulatan terhadap teritorial wilayah
negara dilaksanakan oleh Tentara Nasional Indonesia sedangkan penegakan
kedaulatan negara terhadap setiap orang yang akan masuk atau keluar wilayah
negara Indonesia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Dalam rangka menegakkan kedaulatan negara terhadap setiap orang yang
akan keluar masuk wilayah negara Indonesia diatur dalam peraturan
perundang-undangan keimigrasian, dan peraturan-peraturan keimigrasian tersebut pada
kolonial sampai zaman awal kemerdekaan. Peraturan tersebut di antaranya adalah
sebagai berikut:7
- Toelatingbesluit 1916 (Staatsblad 1916 Nomor 47).
- Toelatingbesluit 1949 (Staatblad 1949 Nomor 330).
- Undang-Undang Nomor 42 Drt. Tahun 1950 tentang Bea Imigrasi.
- Undang-Undang Nomor 9 Drt. Tahun 1953 tentang Pengawasan Orang Asing.
- Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 tentang Tidak Pidana Imigrasi.
Seiring dengan perkembangan zaman terutama di bidang hukum
internasional yang mengatur tentang wilayah negara serta perkembangan
pergaulan internasional maka pemerintah Indonesia memandang perlu menyusun
suatu undang-undang keimigrasian yang terpadu mencakup seluruh permasalahan
keimigrasian yang ada sesuai dengan perkembangan zaman. Pada tahun 1992
terbentuklah Undang yang mengatur tentang keimigrasian yaitu
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2011 sebagai Undang-Undang yang terbaru tentang
Keimigrasian.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Pasal 1 Angka (1) menyebutkan:
“Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah
Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan
negara.”
Untuk menjamin kemanfaatan dan melindungi berbagai kepentingan
nasional serta dalam rangka menegakkan kedaulatan negara di bidang
keimigrasian maka perlu ditetapkan prinsip, tata pengawasan, tata pelayanan atas
masuk dan keluarnya orang ke dan dari wilayah Indonesia sesuai dengan
nilai-nilai dan tujuan nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
Terhadap orang asing, pemberian ijin keimigrasian dan pengawasannya
dilaksanakan berdasarkan prinsip yang bersifat selektif (selective policy).
Berdasarkan prinsip ini maka hanya orang asing yang dapat memberikan manfaat
bagi kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia serta tidak
membahayakan keamanan dan ketertiban umum serta tidak bermusuhan baik
terhadap rakyat maupun negara Republik Indonesia yang boleh masuk atau keluar
wilayah Indonesia.
Setiap orang asing yang akan masuk ke wilayah Indonesia harus memiliki
visa atau izin masuk ke wilayah Indonesia kecuali bagi mereka yang negaranya
dibebaskan dari kewajiban memiliki visa. Pengertian Visa diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Pasal 1 Angka (18) yang berbunyi:
“Visa Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Visa adalah keterangan
tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang di Perwakilan Republik
Indonesia atau di tempat lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia
yang memuat persetujuan bagi Orang Asing untuk melakukan perjalanan ke
Wilayah Indonesia dan menjadi dasar untuk pemberian Izin Tinggal.”
Jenis-jenis visa adalah sebagai berikut:
1. Visa Diplomatik
3. Visa Kunjungan
4. Visa Tinggal Terbatas
Dasar hukum pemberlakuan pemberian Visa Kunjungan Saat Kedatangan
adalah Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M-04.IZ.01.10 Tahun 2003 tentang Visa Kunjungan Saat
Kedatangan yang mengalami perubahan sampai dengan perubahan yang kesebelas
pada tahun 2009 agar sesuai dengan pergaulan internasional dan perkembangan
hukum internasional. Namun pada akhirnya, Peraturan Menteri tersebut diganti
dengan peraturan menteri yang terbaru yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-01-GR.01.06 Tahun 2010
tentang Visa Kunjungan Saat Kedatangan.
Pengertian Visa Kunjungan Saat Kedatangan dijelaskan melalui pasal 1
butir 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.HH-01-GR.01.06 Tahun 2010 tentang Visa Kunjungan Saat
Kedatangan yang berbunyi “Visa Kunjungan Saat Kedatangan yang selanjutnya
disingkat dengan VKSK adalah Visa Kunjungan atas kuasa Direktur Jenderal
Imigrasi yang diberikan kepada Warga Negara Asing pada saat tiba di wilayah
Indonesia”.
Hal yang melatarbelakangi pemberian Visa Kunjungan Saat Kedatangan
dijelaskan melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M.HH-01-GR.01.06 Tahun 2010 tentang Visa Kunjungan Saat
“Visa Kunjungan Saat Kedatangan dapat diberikan kepada Warga Negara Asing
yang bermaksud mengadakan kunjungan ke Indonesia dalam rangka wisata,
kunjungan sosial budaya, kunjungan usaha, atau tugas pemerintahan dengan
mempertimbangkan asas manfaat, saling menguntungkan dan tidak menimbulkan
gangguan keamanan”.
Namun bagi negara-negara tertentu diberikan pengecualian dari kewajiban
memiliki visa untuk memasuki wilayah negara Indonesia. Dasar hukum
pemberian bebas visa bagi negara-negara tertentu diatur dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Pasal 43 yang berbunyi:
(1) Dalam hal tertentu Orang Asing dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki
Visa.
(2) Orang Asing yang dibebaskan dari kewajiban memiliki Visa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. warga negara dari negara tertentu yang ditetapkan berdasarkan
Peraturan Presiden dengan memperhatikan asas timbal balik dan asas
manfaat;
b. warga negara asing pemegang izin tinggal yang memiliki izin masuk
kembali yang masih berlaku;
c. nahkoda, kapten pilot, atau awak yang sedang bertugas di alat angkut;
d. nahkoda, awak kapal, atau tenaga ahli asing di atas kapal laut atau alat
apung yang datang langsung dengan alat angkutnya untuk beroperasi di
perairan nusantara, laut teritorial, landas kontinen, dan/atau Zona
Pada penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian Pasal 43 dijelaskan bahwa kebijakan pembebasan visa diberikan
kepada negara lain dengan memperhatikan asas timbal balik yaitu bahwa
pembebasan visa hanya diberikan kepada orang asing dari negara yang juga
memberikan pembebasan visa kepada warga negara Indonesia dan asas manfaat
yaitu bahwa hanya orang asing yang dapat memberikan manfaat bagi
kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia serta tidak
membahayakan keamanan dan ketertiban umum serta tidak bermusuhan baik
terhadap rakyat maupun Negara Republik Indonesia yang boleh masuk atau keluar
wilayah Indonesia.
Pada tanggal 5 Nopember 2014 Kementerian Pariwisata Republik
Indonesia mengajukan rencana pemberian bebas visa kepada 5 negara yaitu:
Australia, Jepang, Republik Rakyat Tiongkok, Korea Selatan dan Rusia untuk
meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia
dengan target awal adalah 10 juta wisatawan dan 20 juta wisatawan dalam waktu
5 tahun ke depan.8
Pada tanggal 9 Juni 2015 Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden
Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan yang isinya memuat
pemberian kebijakan bebas visa kunjungan kepada 45 negara dengan rincian 15
negara penerima bebas visa terdahulu yang sebelumnya diatur dalam Keputusan
Presiden Nomor 18 Tahun 2003 tentang Bebas Visa Kunjungan Singkat
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden
8
Nomor 43 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Presiden Nomor
18 Tahun 2003 ditambah dengan 30 negara baru dengan alasan utama untuk
meningkatkan angka kunjungan wisata dari orang asing yang akan masuk ke
Indonesia. Dengan adanya peningkatan angka kunjungan wisatawan mancanegara
diharapkan akan meningkatkan pendapatan devisa negara dari sektor pariwisata.
peraturan presiden ini dimaksudkan untuk mempermudah lalu lintas orang asing
yang akan datang ke Indonesia dalam rangka wisata.
Pemberlakuan Peraturan Presiden ini perlu diteliti dari segi latar belakang
dan aspek yuridis yang harus dipenuhi agar peraturan presiden ini tidak
menimbulkan permasalahan di masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka dilakukan penelitian dan pembahasannya dalam skripsi ini dengan judul:
“TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMBERIAN BEBAS VISA KEPADA 45 NEGARA BERDASARKAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 69 TAHUN 2015 TENTANG BEBAS VISA KUNJUNGAN”.
1.2 Rumusan Masalah
Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan
menimbulkan permasalahan hukum baru karena ada dualisme penerapan
kebijakan yang sama terhadap beberapa negara dengan tujuan yang sama.
Dualisme tersebut adalah untuk 15 negara awal diberlakukan asas resiprositas
sementara untuk 30 negara baru tidak berlaku asas resiprositas sementara
kebijakan yang diberikan sama yaitu diberikan bebas visa kunjungan dan masalah
peraturan pelaksana yang kurang tegas dan memberikan ruang kepada orang asing
untuk menyalahgunakan kebijakan ini.
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang diuraikan di atas
maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah kebijakan pemberian bebas visa kunjungan berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan bertentangan
dengan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian dalam
hal asas pemberlakuan kebijakan?
2. Apakah dualisme kebijakan pemberian bebas visa kunjungan memberikan
kepastian hukum kepada setiap orang asing yang datang berkunjung ke
Indonesia terkait dengan ijin masuk dan ijin tinggalnya selama di Indonesia?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup masalah yang akan diuraikan pada skripsi ini terbatas pada
penerapan asas-asas yang mendasari ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 69
Tahun 2015 tentang Bebas Visa kunjungan dan apakah hal-hal yang diatur oleh
peraturan presiden ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian serta bagaimana implementasi Peraturan
Presiden ini di lapangan apakah menimbulkan kepastian hukum atau
menimbulkan makna kabur pada masyarakat dan orang-orang yang menjadi
subyek dari peraturan presiden ini. Penulis tidak secara khusus membahas
penerapan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 Tentang Bebas Visa
diberikan pembebasan visa untuk masuk ke Indonesia adalah domain dari politik
luar negeri Indonesia. Penulis hanya berupaya menganalisa secara normatif
apakah ada celah atau hal-hal yang kurang tepat dari penerapan peraturan presiden
ini ditinjau dari sudut pandang hukum yang secara hierarki tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Penulisan usulan penelitian skripsi oleh penulis dengan judul “Tinjauan
Yuridis Tentang Pemberian Bebas Visa Kepada 45 Negara Berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan” merupakan hasil
dari pemikiran dan ide penulis sendiri melalui riset dan bacaan atas bahan hukum
yang mendukung pada penulisan ini. Berikut adalah pembanding dari beberapa
hasil penelitian orang lain yang mengambil tema sama dengan penulis. Namun
judul dan rumusan masalah dari tiap penulis skripsi di bawah ini tidaklah serupa.
Tabel I merupakan dua skripsi orang lain yang menjadi pembanding. Tabel II
merupakan karya orisinil penulis.
Tabel I
No. Peneliti Judul Rumusan Masalah
1. Taufik Muhaimin 070710101190,
Kementrian
Pendidikan Dan
Kebudayaan
1. Bagaimana Bentuk
Pengawasan Bebas Visa
Kunjungan Singkat
No. Peneliti Judul Rumusan Masalah
1. Jhonsen Marudut 1016051157
Penulis lebih menekankan pada masalah asas yang melandasi kebijakan
pemberian bebas visa kunjungan kepada 45 negara dan kepastian hukum yang
terkandung dalam Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa
Kunjungan yang saat ini masih jarang dibahas dalam makalah perkuliahan
maupun karya tulis ilmiah lainnya karena peraturan ini sangat baru dan masih
banyak warga negara dari negara-negara yang menjadi subyek kebijakan ini yang
belum mengetahui atau kurang memahami syarat dan ketentuan yang berlaku
yang mengikat dalam peraturan presiden ini. Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun
2015 tentang Bebas Visa Kunjungan merupakan salah satu peraturan pelaksana
dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang membawa
perubahan yang cukup signifikan dibandingkan dengan undang-undang
keimigrasian yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992.
1.5 Tujuan Penulisan a. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan usulan penelitian adalah untuk
melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis
berdasarkan data-data yang sudah ada dalam pustaka dan dokumen yang
digunakan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang diangkat dalam
penulisan usulan penelitian ini. Tujuan lainnya adalah untuk meningkatkan daya
analisa mahasiswa terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku apakah
Apakah peraturan perudangan-undangan tersebut tidak menimbulkan makna yang
kabur atau menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat.
b. Tujuan Khusus
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, penulis mempunyai
tujuan khusus agar setiap orang yang membaca usulan penelitian ini mendapat
pengetahuan yang lebih jelas mengenai alasan pemerintah memberikan bebas visa
kepada warga negara asing tertentu secara komprehensif dan bagaimana kebijakan
tersebut ditinjau dari sudut hukum atau peraturan yang menjadi sumber hukumnya
apakah bertentangan atau tidak.
1.6 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis
Materi yang dibahas dalam usulan penelitian ini adalah materi yang
menganalisa tata cara pemberian bebas visa kepada warga negara tertentu
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa
Kunjungan. Analisa ini bertujuan apakah peraturan terebut cacat hukum atau
sudah memenuhi tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan dan tidak
melanggar atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya
yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Mahasiswa
dan praktisi hukum dapat menganalisa setiap bagian dalam usulan penelitian ini
apakah ada bagian dari peraturan presiden yang kurang jelas pengaturannya atau
bahkan tidak tepat sehingga memberikan ruang untuk penemuan hukum baru
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat dirasakan oleh para praktisi hukum,
mahasiswa dan pemerhati hukum lainnya melalui usulan penelitian hukum ini
adalah kemampuan mengidentifikasi sistematika dan hirearki peraturan
perundang-undangan yaag berlaku di Indonesia terutama dalam bidang
keimigrasian lebih khusus lagi adalah tentang pemberian bebas visa kunjungan
kepada 45 negara berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang
Bebas Visa Kunjungan. Jika ada penyimpangan dari kebijakan pemberian bebas
visa tersebut maka masyarakat mampu menganalisa jenis penyimpangannya dan
dapat melaporkan ke kantor imigrasi terdekat.
1.7 Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori
hukum, konsep-konsep, asas-asas hukum dan lain-lain. Berkaitan dengan
pokok penulisan itu dapat dikembangkan landasan teori pada skripsi ini.
Perbatasan merupakan salah satu manifestasi penting dalam kedaulatan
teritorial negara. Perbatasan dapat diakui dengan tegas dalam traktak atau umum
diakui tanpa pernyataan tegas. Perbatasan bukan hanya garis maginer di atas
permukaan bumi, melainkan suatu garis yang memisahkan satu daerah dengan
daerah lainnya. Perbatasan bukan semata-mata sebuah garis tetapi sebuah garis
rangka menjaga kedaulatan, pertahanan, keamanan, dan keutuhan teritorial suatu
negara.9
Berkaitan dengan perbatasan, di setiap perbatasan antar negara terdapat
Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Setiap orang yang melakukan perjalanan melintasi
batas suatu negara baik itu masuk ataupun keluar dari wilayah Indonesia harus
melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi.
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara
untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan/sesuai kepentingannya asal saja
kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional. Sesuai konsep
hukum internasional, kedaulatan memiliki tiga aspek utama yaitu: ekstern, intern
dan territorial.10
Dalam melindungi kedaulatan negara, Direktorat Jenderal Imigrasi selaku
pintu gerbang negara menerapkan politik keimigrasian berupa selective policy
(politik saringan). Indonesia merubah kebijaksanaan opendeur politiek menjadi
selective policy pada tahun 1950 setelah terbentuknya Negara Kesatuan Rl di
bawah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS).11
Selective policy adalah kebijaksanaan imigrasi yang bersifat selektif atau
saringan dan didasarkan pada perlindungan kepentingan nasional dan lebih
menekankan prinsip pemberian perlindungan yang lebih besar kepada warga
negara Indonesia.
9 J.G. Starke, 1989, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh. Sinar Grafika, Jakarta, h. 95-96
10 Boer Mauna, 2001, Hukum Internasional-Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, h. 24
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa keimigrasian adalah hal ihwal
lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya
dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara. Dalam rangka menjaga
tegaknya kedaulatan negara diperlukan suatu hukum yang mengatur hal tersebut.
Konsep hukum dan negara berdasarkan atas hukum adalah adanya jaminan
penegakan hukum dan tercapainya tujuan hukum. Dalam penegakan hukum ada
tiga unsur yang selalu harus mendapat perhatian, yaitu keadilan, kemanfaatan atau
hasil guna (doelmatigheid), dan kepastian hukum.12 Tujuan pokok dari hukum
adalah ketertiban. Kebutuhan atau ketertiban ini, syarat pokok untuk suatu
masyarakat yang teratur. Tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan.
Untuk mencapai ketertiban dibutuhkan kepastian hukum dalam pergaulan antar
manusia dalam masyarakat.13
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan
ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa konkrit. Itulah yang
diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian,
karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum
bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban
masyarakat. Penegakan hukum harus memberi manfaat pada masyarakat, di
samping bertujuan menciptakan keadilan.
Teori perundang-undangan (gezetgebungstheorie) pada dasarnya
merupakan bagian dari ilmu pengetahuan perundang-undangan
12 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 1.
(gezetgebungswissemschaft) yang berupaya mencari kejelasan makna atau
pengertian hukum dan peraturan perundang-undangan secara kognitif.14
Salah seorang intelektual mashab hukum murni yang pemikirannya
tentang Grundnorm dan hierarki norma hukum berpengaruh besar terhadap
konstruksi hierarki perundang-undangan di berbagai negara yakni Hans Kelsen,
mengkategorikan hukum sebagai norma yang dinamik (normdynamics). Menurut
konsep ini hukum adalah sesuatu yang dibuat melalui suatu prosedur tertentu dan
segala sesuatu yang dibuat menurut cara ini adalah hukum. Dalam kaitannya
dengan konstitusi, hukum dikonsepsikan sebagai sesuatu yang terjadi menurut
cara yang ditentukan konstitusi bagi pembentukan hukum.
Lebih jauh Hans Kelsen mengemukakan tentang karakter khas dan
dinamis dari hukum, yaitu "Hukum mengatur pembentukannya sendiri karena
suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum
lainnya, dan juga sampai derajat tertentu menentukan isi norma lainnya tersebut.
Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma
lainnya digambarkan sebagai hubungan antara "Superordinasi" dan "Subordinasi".
Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma
yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, dan bahwa
regresus ini diakhiri oleh suatu norma dasar, oleh karena menjadi dasar tertinggi
dari validitas keseluruhan tata hukum, membentuk kesatuan tata hukum".
Selanjutnya Kelsen mengemukakan teorinya tentang tata urutan atau
susunan hierarki dari tata hukum suatu negara yaitu dengan memformulasikan
norma dasar, yakni konstitusi dalam arti material adalah urutan tertinggi didalam
hukum nasional. Sebagaimana ditegaskan bahwa: "The legal order ... is therefore
not a system of norms coordinated to each, standing, so to speak, side by same
level, but hierarchy of different level norms".15
Masih menurut Kelsen, kendati konstitusi merupakan puncak tertinggi
dalam hierarki norma hukum, namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya
konflik atau penyimpangan peraturan dari konstitusi. Mengenai hal ini, Kelsen
mengemukakan prinsip lex posterior derogat legi priori untuk mengatasi
terjadinya konflik hukum tersebut.
Gagasan Kelsen mengenai berjenjangnya lapisan norma hukum dalam
suatu hierarki, kelak dikemudian hari dikenal sebagai teori jenjang hierarki norma
hukum (stufen theory). Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bagir Manan, ajaran
tata urutan pertingkatan perundang-undangan (stufenbau des recht) mengandung
makna : Pertama, peraturan yang lebih rendah harus mempunyai sumber atau
dasar pada peraturan yang lebih tinggi, Kedua, peraturan perundang-undangan
untuk menjamin sebuah tertib hukum (legal order) dan Ketiga, peraturan
perundang-undangan untuk menjamin tata urutan itu dalam suatu sistem yang
tertib.16
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan juga menganut asas lex superiori derogat lex
inferiori, sebagaimana bunyi Pasal 7 ayat (2) : "Kekuatan hukum peraturan
perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud ayat
15Hans Kelsen, 1986, General Theory of Law and State, Translate by Anders Wedberg, Russel & Russel, New York,
(1)". Dalam penjelasannya dijabarkan bahwa : "yang dimaksud dengan hierarki
adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan
pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi."
Peraturan perundang-undangan tentang keimigrasian selalu mengalami
perubahan karena mengikuti perkembangan manusia yang terus berubah sehingga
hukum yang mengatur tentang keimigrasian adalah suatu hukum yang bersifat
dinamis (bergerak) bukan hukum yang bersifat statis (diam). Hal ini sesuai dengan
teori Hukum Murni yang disampaikan oleh Hans Kelsen di mana Teori Hukum
Dinamis melihat obyek hukum pada proses ketika hukum itu diciptakan atau
diterapkan.17
1.8 Metode Penelitian
“Secara umum metode dapat diartikan sebagai suatu prosedur atau cara
untuk mengetahui segala sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis.”18
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi:
a. Jenis Penelitian
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan laporan ini adalah
pendekatan yuridis normatif yaitu mengkaji permasalahan yang diangkat dari
adanya kesenjangan dalam norma / asas hukum yang mengatur tentang
keimigrasian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
17Hans Kelsen, 2011, Teori Hukum Murni, cet. VIII, terjemahan Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, h. 81.
teori-teori yang ada untuk kemudian dihubungkan dengan kenyataan yang ada di
lapangan.
b. Jenis Pendekatan
Usulan penelitian yang diajukan oleh Penulis menggunakan pendekatan
perundang-undangan (the statue approach) dan pendekatan fakta (the fact
approach). Pendekatan perundang-undangan adalah dengan menganalisa dan
meneliti Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa
Kunjungan khususnya pada bagian latar belakang pemberian kebijakan dan asas
yang mendasari kebijakan tersebut yang akan dibandingkan dengan kenyataan di
lapangan tentang tata cara pemberian bebas visa kepada warga negara Indonesia
oleh negara-negara yang sudah ditetapkan sebagai subyek bebas visa kunjungan
ke Indonesia.
c. Bahan Hukum
Sumber bahan hukum, yang dipergunakan pada penulisan ini terdiri dari 2
(dua) sumber yaitu sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum
sekunder.
1. Sumber bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum. Perwujudan
asas dan kaidah hukum ini berupa peraturan perundang-undangan tentang
keimigrasian yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian.
4. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-IZ.01.10
Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.IZ.01.10 Tahun
2007 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Kehakiman
Republik Indonesia Nomor M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 Tentang Visa
Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk dan Izin
Keimigrasian.
5. Petunjuk Pelaksana Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-309.IZ.01.10
Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemberian , Perpanjangan, Penolakan dan
Gugurnya Izin Keimigrasian.
6. Petunjuk Pelaksana Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-310.IZ.01.10
Tahun 1995 tentang Tata Cara Alih Status Izin Keimigrasian.
2. Bahan Hukum Sekunder terdiri dari buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum,
karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media
massa, kamus dan ensiklopedi hukum19 dan yang terakhir adalah internet
dengan menyebut nama situsnya.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
1. Penelusuran berdasarkan hierarki perundang-undangan (bahan hukum
primer).
1. Undang-Undang Dasar 1945
Dasar hukum pembuatan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal
20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 28E ayat (1).
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Dasar hukum pemberian bebas visa kunjungan kepada kepada orang
asing dari negara-negara tertentu yang memenuhi syarat dan ketentuan
yang diatur selanjutnya dalam Peraturan Presiden.
3. Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa
Kunjungan.
4. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.01.IZ.01.10 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-IZ.01.10 Tahun
1995 tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal Terbatas, Izin
Masuk dan Izin Keimigrasian.
5. Petunjuk Pelaksana Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-309.IZ.01.10
Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemberian , Perpanjangan, Penolakan dan
Gugurnya Izin Keimigrasian.
2. Pengumpulan sumber bahan hukum sekunder dan data penunjang
Sumber bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku hukum (textbook),
jurnal hukum, karya tulis hukum, pandangan ahli hukum, kamus dan
dengan mewawancarai tokoh kunci bidang hukum yang menguasai
permasalahan keimigrasian dalam hal ini adalah atasan langsung yaitu
Kepala Seksi Unit B pada Bidang Pendaratan dan Izin Masuk Kantor
Imigrasi Kelas I Khusus Ngurah Rai dan Kepala Bidang Pendaratan dan Izin
Masuk Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Ngurah Rai mengenai pengalaman
beliau selama menjadi Pejabat Imigrasi dalam hal pemberian izin tinggal
dan alih status keimigrasian orang asing di wilayah Indonesia dan
masalah-masalah keimigrasian terkait penggunaan visa dan hal-hal yang terjadi di
lapangan terkait dengan penerapan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun
2015 tentang Bebas Visa Kunjungan.
e. Teknik Analisis
Setelah data dikumpulkan secara lengkap kemudian ditelaah dan dianalisa
secara kualitatif berdasarkan data yang ada maka akan diperoleh jawaban atas
permasalahan usulan penelitian ini. Setelah melalui proses analisa kemudian data
tersebut disajikan secara deskriptif analisis yang menggambarkan secara
menyeluruh serta mendetail aspek-aspek yang berkaitan dengan masalah yang ada
dalam usulan penelitian ini dan kemudian dianalisa untuk mendapatkan solusi atas
BAB II
TINJAUAN UMUM HUBUNGAN ANTARNEGARA
2.1 Perkembangan Lalu Lintas Manusia
Sebagaimana filsuf Yunani Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah
zoon politicon yang berarti manusia membutuhkan orang lain untuk memenuhi
tujuan-tujuan kehidupannya. Dengan kata lain manusia berfikir untuk
meningkatkan taraf hidupnya melalui usaha-usaha yang mengikutsertakan
keberadaan orang lain.
Sejak zaman prasejarah manusia sudah hidup dengan cara nomaden yaitu
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya demi pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Jika di daerah asalnya sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi
kebutuhannya maka dia akan berpindah ke tempat lain sehingga kebutuhannya
terpenuhi. Awalnya adalah kebutuhan dasar; sandang, pangan dan papan. Namun
seiring dengan bertambahnya jumlah manusia dipandang perlu juga untuk
menguasai manusia yang lain.
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, oleh
karenanya sejak awal manusia hidup secara berkelompok, mulai dari kelompok
kecil ( keluarga satu kaum ) berkembang menjadi komunitas yang lebih besar
dengan urutan sebagai berikut : individu, keluarga, kaum, suku, bangsa dan
negara. Hubungan antarnegara inilah yang merupakan pokok pembahasan dalam
Hubungan antarnegara terbukti sudah ada sejak zaman purbakala. Hal ini
dapat ditelusuri lewat peninggalan sejarah, baik berupa tulisan maupun bangunan
baik yang tersimpan dalam museum maupun yang terhampar di beberapa bagian
dunia. Seiring dengan adanya hubungan antarbangsa tersebut, berkembang pula
kebiasaan kebiasaan ataupun aturan-aturan hukum yang merupakan kesepakatan
bersama. Kesepakatan yang mengatur hubungan antarbangsa termasuk dalam
disiplin hukum internasional.1
Berikut ini adalah sejarah perkembangan hubungan internasional dari
zaman ke zaman2, yaitu:
2.1.1. Zaman Kuno
Pada zaman kuno (prasejarah – berakhirnya Imperium Romawi ) manusia
tidak dibatasi oleh ruang atau wilayah untuk berpindah – pindah sampai
terbentuknya sistem kekuasaan politik berupa kerajaan kuno sampai kepada
negara kota. Ketika dimulai zaman kerajaan kuno dan negara kota manusia terbagi
menjadi penduduk kerajaan tertentu atau negara kota tertentu. Pada zaman
tersebut sudah ada batas – batas teritorial dari suatu kerajaan atau negara kota.
Pada zaman ini kita mengenal kerajaan Mesir kuno, peradaban Indus,
Yunani kuno, Romawi kuno sampai kepada zaman pertengahan. Hubungan antar
individu lintas negara ini umumnya terbentuk karena adanya hubungan
perdagangan dan komersial. Pada zaman Yunani kuno pertama kali dikenal istilah
negara kota (polis). Pada awalnya polis merupakan benteng di sebuah bukit yang
1 A. Masyhur Effendi, 1993, Hukum Diplomatik Internasional, Cet.pertama, Usaha Nasional, Surabaya, h. 12.
makin lama makin diperkuat. Kemudian orang-orang lain yang juga ingin hidup
dengan aman, ikut menggabungkan diri dengan bertempat tinggal di sekeliling
benteng tersebut dan meminta perlindungan keamanan sehingga benteng tersebut
memiliki pengaruh kepada penduduk yang tinggal di sekelilingnya sehingga
mereka tunduk kepada peraturan yang berlaku di benteng tersebut. Kelompok
masyarakat inilah yang kemudian disebut polis.3
2.1.2. Abad Pertengahan
Abad Pertengahan dimulai dari berakhirnya imperium romawi kuno
sekitar tahun 400M ditandai dengan jatuhnya kota Roma kepada Gereja Katholik
Roma dan berpindahnya kekaisaran romawi ke Byzantium (Konstantinopel atau
Istanbul sekarang) sehingga mendapat sebutan Imperium Romawi Timur sampai
abad keenam belas.
Pada masa ini gereja katholik Roma yang dipimpin Paus memiliki peranan
yang sangat kuat dalam bidang agama, politik, ekonomi dan budaya. Pada akhir
masa inilah penjelajahan dunia mulai dilakukan oleh para pelaut dari Portugis,
Spanyol, Italia, Inggris, Belanda dan negara Eropa lainnya untuk menemukan
daratan baru yang tentunya tujuan akhirnya adalah untuk memperluas wilayah
kekuasannya.
2.1.3. Zaman antar Negara Modern
Periode ini dimulai pada akhir abad kelima belas atau awal abad keenam
belas sampai akhir abad kesembilan belas. Masa ini disebut juga masa
renaissance yaitu masa pencerahan/kebangkitan Eropa dimana perkembangan
ilmu kesenian dan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya. Zaman ini memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pembentukan negara-negara besar
Negara-negara besar Eropa mulai berkembang pada zaman ini. Dimulai oleh
Charlemagne yang membentuk imperium yang berpusat di Perancis kemudian
muncul Imperium Jerman yang mencapai masa kejayaannya pada masa Raja
Frederick III. Raja-raja di Eropa tidak tunduk lagi kepada gereja, sehingga
timbul peperangan antar kerajaan selama 30 tahun. Peperangan tersebut
diakhiri dengan suatu perjanjanjian damai yang disebut Perjanjian Westphalia
pada tahun 1648.
2. Gagasan mengenai asas kedaulatan
Dengan munculnya kerajaan-kerajaan di Eropa yang tidak lagi tunduk kepada
gereja, maka terciptalah doktrin kedaulatan (souvereignity). Doktrin ini
memperkenalkan adanya suatu asas bahwa seorang penguasa mempunyai
kedaulatan dan kekuasaan yang mutlak di daerah atau negaranya
masing-masing, sehingga dengan demikian bangsa dan negara lain harus menghargai
dan menghormati integritas bangsa dan negara tersebut, salah satu
penganjurnya adalah Jean Bodein.
3. Munculnya pelopor hubungan internasional
Salah satu ahli hukum pelopor hubungan internasional yang muncul pada masa
ini adalah Hugo de Groot (Grootius). Ia dilahirkan di Belanda dan diakui
sebagai peletak dasar dari hukum dan hubungan internasional modern. Dia juga
2.1.4. Periode Abad ke-20
Periode ini merupakan periode revolusioner dalam hubungan antar bangsa.
Dua konferensi perdamaian di Den Haag (Belanda) pada tahun 1899 dan 1907
merupakan tonggak dari konsep-konsep pergaulan dunia yang baru dan puncak
perkembangan hubungan internasional ditandai dengan lahirnya Konvensi Wina
1961 tentang hubungan diplomatik dan Konvensi Wina 1963 tentang hubungan
konsuler. 4
2.2 Perkembangan Hubungan Antar Negara
Setelah terbentuknya negara – negara modern maka berkembang pula
hubungan antar negara yang meliputi :
2.2.1. Hubungan Diplomatik dan Konsuler
Hubungan antar negara di bidang politik ditandai dengan adanya
hubungan diplomatik dan hubungan konsuler. Hubungan diplomatik dilakukan
oleh perwakilan suatu negara di negara yang lain yang diketuai oleh seorang duta
besar, sementara hubungan konsuler adalah hubungan dengan menempatkan
perwakilan suatau negara di negara lain yang dipimpin oleh konsulat jenderal.
Fungsi perwakilan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961 adalah
sebagai berikut:5
1. Mewakili negaranya di negara penerima.
2. Melindungi kepentingan negara pengirim di negara penerima dalam batas-batas
yang diperkenankan oleh hukum internasional.
4Setyo Widagdo, Hanif Nur Widhyanti, 2008, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Bayu Media,
3. Mengadakan perundingan-perundingan dengan pemerintah di mana mereka
diakreditasikan.
4. Memberikan laporan kepada negara pengirim mengenai keadaan-keadaan dan
perkembangan-perkembangan di negara penerima dengan cara-cara yang dapat
dibenarkan oleh hukum.
5. Meningkatkan hubungan persahabatan antarnegara, terutama dengan negara
pengirim dan negara penerima serta mengembangkan dan memperluas
hubungan-hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan antarmereka.
Fungsi perwakilan konsuler berdasarkan Konvensi Wina 1963 adalah
sebagai berikut:6
1. Melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim dan warga negara-warga
negaranya di wilayah negara penerima, baik secara individu maupun terhadap
badan-badan usahanya dalam batas-batas yang diperkenankan oleh ukum
internasional.
2. Meningkatkan pengembangan hubungan-hubungan perdagangan, ekonomi,
kebudayaan dan ilmu pengetahuan antara negara pengirim dan negara
penerima sesuai ketentuan-ketentuan konvensi tersebut.
3. Mencari dan memberikan informasi kepada negara pengirim mengenai
keadaan-keadaan dan perkembangan-perkembangan yang terjadi di negara
penerima. Semua itu dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku.
4. Mengeluarkan paspor dan dokumen-dokumen perjalanan bagi warga negara
pengirim dan visa bagi orang-orang setempat yang akan pergi mengunjungi
atau bepergian ke negara penerima.
5. Membantu dan mendampingi warga negara pengirim, baik secara individual
maupun badan-badan usaha warga negara pengirim di negara penerima.
6. Berusaha melindungi kepentingan-kepentingan warga negaranya baik secara
individual maupun badan usaha apabila terjadi pergantian yang timbul dari
“mortis cause” di wilayah negara penerima sesuai dengan peraturan dan hukum
yang berlaku di negara penerima.
2.2.2. Hubungan Regional
Hubungan regional adalah hubungan antar negara yang berdasarkan letak
geografis dari negara-negara anggotanya. Contoh hubungan regional adalah
ASEAN (Assosiation South East Asia Nations) atau asosiasi negara-negara di
Asia Tenggara yang berdiri tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok. Saat ini ASEAN
beranggotakan 10 anggota yaitu: Brunai Darussalam, Indonesia, Kamboja, Laos,
Malaysia, Myanmar, Philipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Contoh lainnya
adalah Masyarakat Ekonomi Eropa (Euroupean Economic Community) yang
berdiri tanggal 25 Maret 1957.
2.2.3. Hubungan Bilateral dan Multilateral
Hubungan Bilateral adalah hubungan antara 2 negara baik di bidang
politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya maupun di bidang pertahanan dan
keamanan. Contohnya adalah kerjasama antara negara Indonesia dan negara
multilateral atau hubungan internasional adalah hubungan antara 3 negara atau
lebih yang tidak dibatasi oleh jarak dan letak teritorial negara anggotanya. Contoh
adalah hubungan di bidang ekonomi (WTO) dan hubungan di bidang politik
(PBB).
2.3 Perkembangan Hukum Keimigrasian Indonesia Terkait Lalu Lintas
Orang Asing Di Indonesia
Pada pokok bahasan di atas yang membahas hubungan antar negara
dengan subyek negara sebagai individu sebagaimana yang dimaksud dalam
subyek hukum internasional. Hubungan antar negara memandang negara sebagai
satu organisasi yang berhubungan dengan negara lain yang terorganisir pula.
Sementara keimigrasian memandang lalu lintas orang per orang yang melintasi
batas negara dan tinggal di wilayah yang bukan negaranya.
Jika seseorang ingin memasuki wilayah negara lain maka dia harus tunduk
kepada hukum keimigrasian yang berlaku di negara tersebut yang bersumber dari
ada tidaknya hubungan dari negara yang bersangkutan dan negara yang dituju.
Di Indonesia pemeriksaan keimigrasian telah ada sejak zaman penjajahan
Belanda. Pada saat itu, terdapat badan pemerintah kolonial Belanda bernama
Immigratie Dienst yang bertugas menangani masalah keimigrasian untuk seluruh
kawasan Hindia Belanda.7
7Abdullah Sfahriful, 2005, Memperkenalkan Hukum Keimigrasian, Grafika Indonesia, Jakarta, h.
Hukum keimigrasian di Indonesia berkembang dari zaman ke zaman8.
Pada zaman penjajahan (1913-1945), bidang keimigrasian dijalankan oleh Kantor
Sekretaris Komisi Imigrasi pada tahun 1913. Komisi ini dibentuk untuk mengatur
arus kedatangan warga negara asing yang akan masuk ke wilayah Hindia Belanda
dalam rangka mengembangkan bisnis perdagangan komoditas perkebunan.
Namun karena tugas dan fungsinya yang semakin berkembang pada tahun 1921
Kantor Sekretaris Komisi Imigrasi diubah menjadi Immigratie Dients (Dinas
imigrasi). Dinas Imigrasi pada masa pemerintahan penjajahan Hindia Belanda
berada di bawah Direktur Yustisi. Kebijakan keimigrasian ditetapkan oleh
pemerintah Hindia Belanda adalah politik pintu terbuka (opendeur politiek).
Melalui kebijakan ini, pemerintah Hindia Belanda membuka seluas-luasnya bagi
orang asing untuk masuk, tinggal, dan menjadi warga Hindia Belanda. Struktur
organisasi Dinas Imigrasi pemerintah Hindia Belanda relatif masih sederhana
karena lalu lintas kedatangan dan keberangkatan orang asing masih sedikit.
Bidang keimigrasian yang ditangani semasa pemerintahan Hindia Belanda hanya
3, yaitu bidang perizinan masuk dan tinggal orang, bidang kependudukan orang
asing dan bidang kewarganegaraan.
Pada zaman revolusi kemerdekaan (1945-1949) ada empat peristiwa
penting terkait dengan keimigrasian yaitu :
1. Repatriasi APWI dan serdadu Jepang, dalam peristiwa ini ditandai dengan
pengangkutan eks-APWI dan pelucutan serta pengangkutan serdadu Jepang
khususnya yang berada di Jawa Tengah, kemudian di wilayah lain di Pulau
Jawa dan terakhir di wilayah lain di seluruh Indonesia.
2. Kegiatan barter, pembelian senjata dan pesawat terbang. Pada masa ini pula
para pejuang sering bepergian ke luar negeri terutama ke Singapura dan
Malaysia masih tanpa paspor.
3. Perjuangan diplomasi, diawali dengan penyelenggaran Inter Asian
Conference di New Delhi. Dalam kesempatan itu Kementrian Luar Negeri
Indonesia akhirnya berhasil mengeluarkan “Surat Keterangan dianggap
sebagai paspor” sebagai dokumen perjalanan antar negara yang pertama
setelah kemerdekaan bagi misi pemerintah Indonesia yang sah dalam
konferensi tersebut. Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh H. Agus Salim
ikut memperkenalkan “paspor diplomatik” pemerintah Indonesia kepada
dunia internasional.
4. Keimigrasian di Aceh, sejak tahun 1945 telah didirikan kantor imigrasi di 5
kota yang dipimpin oleh Amirudin.
Peristiwa cukup penting pada masa ini adalah jawatan imigrasi yang semula
berada di bawah Departemen Kehakiman, pada tahun 1947 beralih menjadi di
bawah Departemen Luar Negeri.
Zaman Republik Indonesia Serikat (1949-1950) merupakan momen
puncak dari sejarah pembentukan lembaga keimigrasian Indonesia. Pada era inilah
Dinas Imigrasi produk Hindia Belanda diserahterimakan kepada pemerintah
Indonesia pada tanggal 26 Januari 1950. Struktur organisasi dan tata kerja serta
dipergunakan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan bangsa Indonesia.
Kepala Jawatan Imigrasi untuk pertama kalinya dipegang oleh orang asli
Indonesia yaitu Mr. H.J. Adiwinata. Struktur organiasi jawatan imigrasi masih
sederhana dan berada di bawah koordinasi Menteri Kehakiman. Pada periode
transisi ini jawatan imigrasi masih menggunakan pegawai berkebangsaan
Belanda. Dari 459 orang yang bekerja di jawatan imigrasi di seluruh Indonesia,
160 orang adalah orang Belanda. Dalam masa yang relatif singkat ini jawatan
imigrasi telah menerbitkan tiga produk hukum yaitu :
1. Keputusan Menteri Kehakiman RIS Nomor JZ/239/12 tanggal 12 Juli 1950
yang mengatur mengenai pelaporan penumpang kepada pimpinan bea cukai
apabila mendarat di pelabuhan yang belum ditetapkan secara resmi sebagai
pelabuhan pendaratan.
2. Undang-Undang Darurat RIS Nomor 40 tahun 1950 tentang surat perjalanan
Republik Indonesia.
3. Undang-Undang Darurat RIS Nomor 42 tahun 1950 tentang bea imigrasi.
Era demokrasi parlementer (1950-1960). Pada era ini pemerintah
Indonesia mengakhiri kontrak kerja pegawai keturunan Belanda pada akhir tahun
1952. Pada masa ini juga jawatan imigrasi berusaha membuka kantor-kantor dan
kantor cabang imigrasi, serta penunjukan pelabuhan-pelabuhan pendaratan yang
baru. Pada tanggal 26 Januari 1960 jawatan imgrasi telah berhasil
mengembangkan organisasinya dengan pembentukan Kantor Pusat Jawatan
Imigrasi di Jakarta, 26 kantor imigrasi daerah, 3 kantor cabang imigrasi, 1 kantor
jawatan imigrasi sebanyak 1256 orang yang kesemuanya adalah putra-putri
Indonesia. Mulai periode inilah kebijakan keimigrasian terkait orang asing
berubah dari kebijakan opendeur politiek pada zaman kolonial menjadi kebijakan
yang bersifat selektif (selective policy). Kebijakan selektif ini didasarkan pada
perlindungan kepentingan nasional dan lebih menekankan prinsip pemberian
perlindungan yang lebih besar kepada warga negara Indonesia. Produk hukum
yang dikeluarkan pun semakin banyak.
Era orde baru (1960-1998). Pada masa ini tepatnya pada tanggal 3
November 1966 Direktorat Imigrasi yang sebelumnya adalah salah satu pelaksana
utama di Departemen Kehakiman menjadi Direktorat Jenderal Imigrasi yang
dipimpin oleh Direktur Jenderal Imigrasi. Pada awal tahun 1978 untuk pertama
kalinya dibangunlah sistem komputerisasi di Direktorat Jenderal Imigrasi
sedangkan penggunaan komputer pada sistem informasi keimigrasian dimulai
tanggal 1 Januari 1979. Pada masa ini juga lahirlah Undang-Undang Keimigrasian
yang baru yaitu Undang-Undang nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang
diikuti dengan penetapan peraturan pemerintah diantaranya :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pencegahan dan Penangkalan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1994 tentang Pengawasan orang
Asing dan Tindakan Keimigrasian.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk, dan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1994 tentang Surat Perjalanan
Republik Indonesia.
Pada era reformasi (1998-sekarang) Direktorat Jenderal Imigrasi telah
melakukan beberapa program kerja sebagai berikut :
a. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
disempurnakan menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian. Jika sebelumnya paradigma fungsi keimigrasian lebih
menekankan efisiensi pelayanan dan kurang memperhatikan fungsi
penegakan hukum dan fungsi keamanan negara maka pada undang-undang
yang baru ini funsi kemananan dan penegakan hukum diperkuat dengan
ancaman hukuman yang berat demi menimbulkan efek jera.
b. Kelembagaan
Sampai dengan saat ini, Direktorat Jenderal Imigrasi telah memiliki:
1. 115 kantor imigrasi, yang terdiri dari 7 kantor imigrasi kelas I khusus, 38
kantor imigrasi kelas I, 60 kantor imigrasi kelas II, dan 10 kantor
imigrasi kelas III.
2. 17 kantor detensi imigrasi.
3. 33 tempat pemeriksaan imigrasi di bandar udara, 79 di pelabuhan laut,
pos lintas batas dan 19 atase/konsul imigrasi pada perwakilan RI.
c. Pengaturan keimigrasian
Direktorat Jenderal Imigrasi telah melakukan beberapa pengaturan