4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil
4.1.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Hasil pengukuran dan pengamatan aspek kualitas air yang dilakukan di Danau Sentani selama penelitian meliputi suhu, kecerahan, alkalinitas, pH, oksigen terlarut dan karbondioksida di tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kisaran parameter kualitas air di Danau Sentani selama penelitian
Parameter Satuan Stasiun
I II III IV V VI Fisika Suhu 0C 28,8 - 30 29 – 29,4 28,9 – 29,4 28 – 29,2 29 – 29,2 29 – 29,1 Kecerahan cm 350 – 520 300 – 430 200 – 450 450 – 550 200 – 350 250 – 450 Kimia Alkalinitas mg /l CaCO3 104,89-112,06 109,99-110,95 104,80-105,97 103,99-105,99 105,90-115,12 108,48-110,80 pH 8 – 8,2 8 – 8,2 8 7,7 - 8 7,6 – 7,9 7,8 – 7,9 Oksigen terlarut mg/l 5,8 – 5,9 5,8 – 6,1 5,8 5,9 – 6,1 5,9 – 6,1 5,8 – 6,1 Karbondioksida mg/l 1,34 – 1,50 1,40 – 1,36 1,34 – 1,41 0,45 – 0,45 0,47 – 0,65 1,18 – 1,19
Keterangan : I : Stasiun Yakonde satu; II : Stasiun Yakonde dua; III : Stasiun Yakonde tiga IV : Stasiun Simporo; V : Stasiun Abaar; VI : Stasiun Waena
Kisaran suhu perairan selama penelitian adalah 28-300C. Kisaran suhu tidak menunjukkan perbedaan yang menonjol selama waktu penelitian dan masih mendukung untuk kehidupan organisme perairan. Suhu berperan dalam metabolisme organisme yang berpengaruh pada pertumbuhan, reproduksi dan aktifitas mencari makan. Ikan di perairan dapat mendeteksi suhu yang berubah dengan mengendalikan tingkah lakunya untuk mencari ruang dengan suhu yang sesuai (Wootton, 1992). Hasil pengukuran kecerahan berkisar 200 – 450 cm. Hal ini menunjukkan kondisi stasiun penelitian yang tergolong jernih. Alkalinitas di Danau Sentani tergolong tinggi dengan kisaran 103,99 – 115,12. Nilai alkalinitas yang baik bagi pertumbuhan organisme perairan berkisar 30 – 500 mg/l CaCO3.
Perairan alami dengan nilai alkalinitas > 40 mg/l CaCO3 tergolong perairan sadah (Boyd,
1988). Alkalinitas yang tinggi di Danau Sentani dapat dijelaskan dari pegunungan kapur yang terdapat di sekeliling Danau Sentani, saat musim hujan membawa kandungan
karbonat dari batuan yang dilewati air kedalam perairan. Nilai pH di Danau Sentani selama penelitian umumnya stabil dan berkisar 7,6 – 8,2. Sebagian besar organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai sekitar 7 – 8,5. Toksisitas dari suatu senyawa kimia dipengaruhi oleh pH, senyawa ammonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan dengan pH rendah dan senyawa ini tidak bersifat toksik, sebaliknya pada suasana dengan pH tinggi banyak ditemukan ammonia tidak terionisasi dan bersifat toksik (Novotny dan Olem, 1994). Oksigen terlarut masih tergolong baik di Danau Sentani selama penelitian dengan kisaran 5,8 – 6,1. Menurut Boyd (1988) kisaran oksigen terlarut yang baik untuk kehidupan dan mendukung pertumbuhan ikan di perairan adalah > 5 mg/l. Sebagian besar oksigen terlarut pada perairan lakustrin seperti danau dan waduk merupakan hasil aktifitas fotosintesis mikrofita dan makrofita perairan (Tebbut, 1992). Karbondioksida di Danau Sentani selama penelitian masih berada dalam kisaran yang tidak merugikan bagi kehidupan organisme di danau ini. Kadar karbondioksida bebas yang mendukung untuk pertumbuhan ikan adalah < 5 mg/l. Fluktuasi nilai kadar karbondioksida bebas di perairan berkaitan dengan proses fotosintesis dan evaporasi (Boyd, 1988).
Curah hujan yang cenderung meningkat untuk daerah Sentani dan sekitarnya terjadi pada bulan November 2007 – April 2008, sedangkan yang terendah terjadi pada bulan September – Oktober 2007 dan Mei 2008. Curah hujan yang terus-menerus meningkat sejak bulan November 2007 – April 2008 menyebabkan perubahan pada tinggi air di danau (Gambar 2).
Sumber : BMKG Jayapura, 2007-2008
Gambar 2. Grafik jumlah curah hujan di Jayapura
Stasiun satu (Yakonde satu) terletak di bagian barat Danau Sentani. Kondisi alam di sekitar stasiun ini dicirikan dengan adanya muara sungai kecil dengan lebar 3 m, pada wilayah litoralnya terdapat hutan sagu dan sub litoralnya terdapat tumbuhan air yang tenggelam dari jenis Ipomea aquatica, Vallisneria sp., Nymphoides sp..
Stasiun dua (Yakonde dua) terletak di dekat perkampungan penduduk. Wilayah litoral stasiun ini landai dan terdapat batu-batu karang sekeliling perkampungan. Tumbuhan air yang mendominasi di stasiun ini adalah Hydrilla verticillata, Vallisneria sp.,
Myriophyllum brasiliense dan Potamogeton sp..
Stasiun tiga (Yakonde tiga) memiliki wilayah litoral yang berukuran lebar 2 cm dan curam, wilayah supra litoral dibatasi dengan gunung kapur. Tumbuhan air yang terdapat pada stasiun ini didominasi oleh Vallisneria sp., Myriophyllum brasiliense dan
Ceratophylum demersum.
Stasiun empat (Simporo) terletak di bagian tengah yang dicirikan dengan hutan rawa yang luas, warna air di sekitar stasiun ini merah tua dan terlihat adanya lapisan humus. Tumbuhan air yang terdapat pada stasiun ini yakni Ceratophylum demersum dan
Myriophyllum brasiliense.
Stasiun lima (Abaar) terletak di wilayah tengah danau. Stasiun ini memiliki pantai berpasir abu-abu dan berbatu-batu kecil. Pada stasiun ini juga terdapat muara sungai kecil
0 50 100 150 200 250 300
Juli '07 Agst Sept Okt Nov Des Jan '08 Feb Mar Apr Mei Juni
Jumlah
curah
hujan
dan wilayah litoral ditumbuhi tanaman pandan. Terdapat satu jenis tumbuhan air yang mendominasi yakni Nesaeae sp.
Stasiun enam (Waena) merupakan perbatasan antara kota dan kabupaten Jayapura yang terletak di bagian timur danau. Pada daerah ini terdapat usaha budidaya ikan dalam karamba jaring apung dan tempat wisata pemancingan danau. Wilayah litoral danau terdapat tumbuhan air yang mendominasi yakni Eichornia crassipes, Hydrilla verticillata dan Ipomea aquatica.
4.1.2 Hasil Tangkapan dan Sebaran Ukuran Panjang
Selama penelitian, ikan pelangi merah yang tertangkap berjumlah 798 ekor yang terdiri atas 404 ikan jantan dan 394 ikan betina. Kisaran panjang total dan berat ikan pelangi merah adalah 88 – 120 mm ; 6,85 – 22,58 g. Kisaran panjang total dan berat ikan jantan 88 – 119 mm dan 7,23 – 22,58 g dan ikan betina berkisar 90 – 120 mm dan 6,85 – 22,58 g (Tabel 3). Pada bulan Maret, tidak dilakukan pengambilan sampel ke lapangan karena kendala teknis yaitu kekurangan bahan pengawet.
Tabel 3. Jumlah hasil tangkapan, kisaran panjang dan berat ikan pelangi merah (Glossolepis incisus) tiap bulan pengamatan
Bulan Jantan Betina Kisaran Panjang (mm) Kisaran Berat (g) Jumlah (ekor) Kisaran Panjang (mm) Kisaran Berat (g) Jumlah (ekor) Des 88 - 119 7,80 – 22,40 177 90 - 117 6,90 – 18,28 153 Jan 88 -118 7,80 – 22,04 62 91 - 117 8,17 – 19,16 83 Feb 88 - 119 8,18 - 22,58 89 91 - 120 8,17 – 22,58 77 April 92 - 114 8,90 – 18,72 48 92 - 110 8,16 – 13,82 40 Mei 91 - 114 7,23 - 18,72 28 91 - 115 6,85 – 13,95 41 Jumlah 88 - 119 7,23-22,58 404 90 - 120 6,85 – 22,58 394
Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian berdasarkan stasiun penelitian terbanyak terdapat pada stasiun dua dengan jumlah ikan jantan 94 ekor dan betina 80 ekor dan yang terendah didapat pada stasiun lima dengan jumlah ikan jantan 16 ekor dan betina 25 ekor. Panjang total dan berat ikan pelangi merah yang terendah (88 mm; 6,85 g)
terta g) (T pada telah pada 4.1.3 mod angkap pada Tabel 4). Ta Stasiun K P 1 9 2 9 3 8 4 8 5 9 6 8 Jumlah Berdasar a ukuran 97 h menurun d a panjang ba Gambar 3 3 Hubungan Berdasar del hubunga Frekuensi (ekor) stasiun 3, 4 abel 4. Sebar Kisaran Panjang (mm) 91 - 115 8 90 - 115 8 88 - 112 8 88 - 117 7 94 - 107 8 88 - 119 7 rkan sebaran – 102 mm dari panjang aku ikan jant
. Sebaran ik n Panjang B rkan hasil an an panjang b 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 88 ‐90 dan 6 sedan
ran hasil tang Jantan Kisaran Berat (g) 8,26 – 17,15 8,69 – 18,72 8,18 – 17,50 7,23 – 22,40 8,90 – 15,61 7,80 – 22,58 n ukuran panj (Gambar 3) ikan pelan an 120 mm d kan pelangi m Berat nalisis hubun berat untuk 91 ‐93 94 ‐96 97 ‐99 Sela ngkan yang gkapan berd Jumlah ekor) 57 94 84 83 16 70 404 jang total, ik ). Panjang ngi merah ya
dan ikan bet
merah berdas ngan panjang ikan jantan 97 ‐99 100 ‐102 103 ‐105 ang kelas panja terbesar pad dasarkan stas Kisaran Panjang (mm) 90 - 110 91 - 114 93 - 97 91 - 117 93 - 112 92 - 120 kan pelangi m total terting ang ditemuk tina 100 mm sarkan kelas g berat, ikan n adalah W 106 ‐108 109 ‐111 ang total (mm) da stasiun 6 ( siun penelitia Betina Kisaran Berat (g) 7,90 – 13,36 8,17 – 16,01 7,90 – 18,28 6,85 – 16,23 9,90 – 13,98 7,29 – 22,58 merah terban ggi ikan pe kan oleh All m. ukuran panj n pelangi me W = 6 x 10-6 112 ‐114 115 ‐117 118 120 Jantan (119 mm; 22 an Jumlah (ekor) 6 73 1 80 8 73 3 69 8 25 8 74 394 nyak tertang elangi merah en (1991) y jang total rah mempun 6L3,157 dan i 118 ‐120 Betina 2,58 gkap h ini yaitu nyai ikan
betina W = 9 x 10-5L2,528. Hubungan panjang berat menunjukkan nilai korelasi yang kuat untuk ikan jantan (r = 0,862) dan ikan betina (r = 0,746) (Gambar 4). Untuk menentukan pola pertumbuhan dilakukan dengan uji t. Hasil analisis uji t terhadap nilai b diperoleh ikan jantan menunjukkan pola pertumbuhan isometrik (t hitung < t tabel) yang berarti
pertambahan berat ikan jantan seimbang dengan pertambahan panjang dan ikan betina memperlihatkan pola pertumbuhan allometrik (t hitung > t tabel) yang berarti pola
pertumbuhan panjang tidak seimbang dengan pertambahan beratnya dan karena nilai b < 3 maka pola pertumbuhannya adalah allometrik negatif, yang berarti pertambahan panjang lebih cepat dibanding pertambahan berat. Nilai b yang rendah (b = 2,528) pada ikan betina memperlihatkan ikan betina lebih kurus dibanding ikan jantan (b = 3,157). Pola pertumbuhan ikan pelangi merah secara keseluruhan bersifat isometrik (b = 2,852).
Gambar 4. Hubungan panjang berat ikan pelangi merah di Danau Sentani
4.1.4 Faktor Kondisi
Berdasarkan pola pertumbuhan ikan pelangi merah secara keseluruhan yang bersifat isometrik, maka penentuan nilai faktor kondisi menggunakan rumus faktor kondisi. Kisaran rata-rata faktor kondisi ikan jantan adalah 1,003 – 1,019 dan betina
Jantan
Gabungan Jantan -Betina
1,058 – 1,212. Nilai rata-rata faktor kondisi ikan jantan dan betina yang tertinggi ditemukan pada bulan Desember (1,019 ± 0,186; 1,212 ± 0,129), sedangkan yang terendah untuk ikan jantan ditemukan pada bulan Januari (1,003 ± 0,084) dan ikan betina pada bulan Mei (1,058 ± 0,174) (Tabel 5).
Tabel 5. Kisaran faktor kondisi ikan pelangi merah selama penelitian
Bulan Jantan Betina
Kisaran Rata-rata Sb Kisaran Rata-rata Sb Des 0,558 - 1,597 1,019 0,186 0,879 - 1,649 1,212 0,129 Jan 0,869 - 1,268 1,003 0,084 0,936 - 1,514 1,192 0,126 Feb 0,795 - 1,283 1,005 0,105 0,879 - 1,469 1,183 0,117 April 0,722 - 1,244 1,005 0,103 0,938 - 1,445 1,186 0,139 Mei 0,628 - 1,343 1,014 0,168 0,723 - 1,448 1,058 0,174
Keterangan : Sb : Simpangan baku
Nilai rata-rata faktor kondisi ikan pelangi merah jantan dan betina pada tingkat kematangan gonad IV-V yang tertinggi ditemukan pada bulan Desember (1,080 ± 0,140; 1,190 ± 0,111) (Gambar 5), nilai faktor kondisi pada bulan April-Mei 2008 bias karena sampel ikan pelangi merah matang gonad (TKG IV-V) yang ditemukan sedikit.
Gambar 5. Faktor kondisi ikan pelangi merah matang gonad (TKG IV-V) Faktor kondisi ikan pelangi merah pada tiap tingkat kematangan gonad memperlihatkan nilai bervariasi. Kisaran nilai faktor kondisi yang tertinggi baik pada ikan jantan maupun betina terdapat pada tingkat kematangan gonad empat (TKG IV) dan terendah pada TKG I (Tabel 6).
Tabel 6. Faktor kondisi ikan pelangi merah berdasarkan TKG
0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200 1.400 1.600
Des Jan Feb
Faktor
Kondisi
Bulan
Jantan Betina
TKG Jantan Betina
Kisaran Rata-rata Sb N (ekor) Kisaran Rata-rata Sb N (ekor)
I 0,686 -1,402 1,006 0,114 314 0,613 – 1,429 1,045 0,164 122
II 0,613 -1,276 0,996 0,121 56 0,592 – 1,447 1,085 0,113 145
III 1,990-1,262 1,089 0,104 9 0,766 – 1,292 1,092 0,102 81
IV 0,724-1,205 0,994 0,145 9 0,917 – 1,437 1,145 0,146 29
V 0,888-1,224 1,008 0,091 16 0,889 – 1,396 1,122 0,137 17
Keterangan : Sb : Simpangan baku
4.1.5 Nisbah Kelamin
Selama penelitian, ikan pelangi merah jantan yang tertangkap berjumlah 404 ekor (50,6%) dan betina 394 ekor (49,4%), sehingga secara keseluruhan nisbah kelamin ikan pelangi merah mengikuti pola 1 : 1. Dari uji khi kuadrat terhadap nisbah kelamin secara keseluruhan memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%
[X2 hitung (1,02) < X2 tabel (db=1) (3,84)]. Pola perbandingan 1 : 1 juga terlihat pada uji khi
kuadrat terhadap nisbah kelamin per bulan pengamatan (Tabel 7).
Tabel 7. Nisbah kelamin ikan pelangi merah berdasarkan bulan pengamatan Bulan Jantan (ekor) Betina (ekor) Nisbah kelamin X2 hitung
Des 177 153 1,16 1,745 ns
Jan 63 84 0,75 3 ns
Feb 88 77 1,14 0,733 ns
April 48 40 1,2 0,727 ns
Mei 28 40 0,70 2,118 nS
Keterangan : ns : tidak berbeda nyata
Nisbah kelamin berdasarkan kelas panjang total ikan pelangi merah memperlihatkan nilai yang tertinggi pada kelas panjang 112-114 mm. Hasil uji khi kuadrat terlihat berbeda nyata pada kelas panjang 100 – 102 mm [x2 hitung (4, 86) > x2 tabel (3,84)] dan 112 – 114 mm [x2 hitung (9,85) > x2 tabel (3,84)] (Tabel 8).
Tabel 8. Nisbah kelamin berdasarkan kelas panjang total Selang Kelas Panjang
Total (mm) Jantan (ekor) Betina (ekor) Nisbah Kelamin X2 hitung 88 - 90 13 6 2,17 2,50ns 91 - 93 45 33 1,36 1,85ns 94 - 96 69 79 0,87 0,68ns 97 - 99 89 72 1,24 1,79ns 100 - 102 64 91 0,70 4,86s
103 - 105 50 55 0,91 0,25ns 106 - 108 24 22 1,09 0,09ns 109 - 111 23 22 1,05 0,04ns 112 - 114 21 5 4,20 9,85s 115 - 117 4 8 0,50 1,33ns 118 - 120 2 1 2,00 0,50ns
Keterangan : s : berbeda nyata ; ns : tidak berbeda nyata
Nisbah kelamin ikan pelangi merah yang matang gonad (TKG IV-V) tertinggi diperoleh pada bulan Desember (1 : 1,56) dan yang terendah pada bulan Februari (1 : 0,3). Dari hasil uji khi kuadrat, nisbah kelamin pada tiap bulan pengamatan menunjukkan hasil yang tidak berbeda pada bulan Desember dan Mei dan berbeda nyata pada bulan Januari dan Februari, dimana jumlah ikan betina lebih banyak dari ikan jantan. Pada bulan April tidak dapat dianalisis karena bias akibat sampel yang tertangkap sedikit (Tabel 9).
Tabel 9. Nisbah kelamin ikan pelangi merah matang gonad (TKG IV-V) pada tiap bulan pengamatan
Bulan Jantan (ekor) Betina (ekor) Nisbah kelamin X2 hitung
Des 28 18 1,56 2,17 ns
Jan 10 25 0,40 59,46 s
Feb 3 10 0,30 14,13 s
April 0 2 0 2
Mei 1 1 1,00 0 ns
Keterangan : s : berbeda nyata; ns : tidak berbeda nyata
Berdasarkan hasil uji khi kuadrat nisbah kelamin ikan pelangi merah pada tiap stasiun penelitian terlihat mengikuti pola 1 : 1 kecuali pada stasiun 4, tidak ditemukan ikan yang matang gonad (Tabel 10, Lampiran 6).
Tabel 10. Nisbah kelamin ikan pelangi merah matang gonad pada tiap stasiun penelitian Stasiun Jantan Betina Nisbah Kelamin X2 hitung
1 11 14 0,8 3,6ns 2 9 13 0,7 3,1ns 3 10 13 0,8 3,3ns 4 0 0 0 0 5 8 10 0,8 2,6ns 6 4 6 0,7 1,4ns
4.1.6 Tingkat Kematangan Gonad
Analisis tingkat kematangan gonad menunjukkan bahwa ikan pelangi merah jantan yang matang gonad ditemukan pada bulan tertentu (Desember-Februari) sedangkan ikan betina pada bulan Desember-Mei dengan persentase yang berbeda-beda. Persentase tertinggi TKG V pada ikan jantan dan betina terdapat pada bulan Desember (0,31); (0,28) (Gambar 6).
Gambar 6. Tingkat kematangan gonad berdasarkan waktu
Penggolongan tingkat kematangan gonad ikan pelangi merah terbagi dalam lima tahap yaitu TKG I (belum matang), II (perkembangan awal), III (perkembangan remaja dan dewasa istirahat), IV (perkembangan akhir) dan V (bunting). Gambaran masing-masing tingkat perkembangan gonad ikan pelangi merah jantan dan betina secara morfologi maupun histologi dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8. Perkembangan gonad ikan pelangi merah jantan dan betina secara makroskopis dan mikroskopis diutarakan pada Tabel 11 dan 12. 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Des Jan Feb Apr Mei
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Des Jan Feb Apr Mei V IV III II I Jantan Betina
Gambar 7. Keterang Gonad dan j (skala bar : gan : A : sperm jaringan gon 5 mm; 1 µm matid; B : sperm
nad ikan pela m; perbesaran matozoa; C dan angi merah j n 200 x) n E : spermatog antan pada gonia; D : sper TKG I-IV rmatosit
Gambar 8. Gonad dan jaringan gonad ikan pelangi merah betina pada TKG II-V (skala bar : 5 mm; 5 µm; perbesaran 40 x)
Keterangan : A : sitoplasma; B dan D : nukleus; C : butir minyak; At : Atresia
Tabe Tabe el 11. Perke merah el 12. Perke merah mbangan go h jantan (M mbangan go h betina (Mo onad secara Modifikasi dar onad secara difikasi dari makroskopi ri Pusey et a makroskopi i Pusey et al is dan mikro al., 2001) is dan mikro ., 2001) oskopis gona oskopis gona ad ikan pela ad ikan pela angi angi
4.1.7 mm. mata (Gam 4.1.8 pada wakt (Tab diseb Bula Des Jan Feb Apri Mei Keter betin 7 Ukuran Pe Ukuran t . Dari hasil ang gonad ( mbar 9; Lam Ga 8 Indeks Ke Berdasar a ikan jantan tu penelitian bel 13). Nil babkan berat Tabel 1 an Kisara 0,43 – 1 0,39 – 1 0,42 – 1 il 0,40 – 2 0,41 – 1 rangan : Sb : S Berdasar na meningka ertama Kal terkecil ikan analisis panj (TKG IV da mpiran 7 dan ambar 9. Pe ematangan G rkan waktu p n maupun bet n ditemuka lai IKG ika t gonad ikan 3. Indeks ke Jant an Rata-ra ,30 0,89 ,21 0,86 ,32 0,73 2,16 0,68 ,23 0,66 impangan baku rkan tingkat at sejalan de 0 10 20 30 40 50 60 70 9 Frekuensi (%) li Matang G n jantan yang njang total m an V) dipe 8). ersentase uku Gonad penelitian, n tina. Nilai ra an pada bula an pelangi m n betina lebih ematangan g tan ta Sb N 0,66 0,30 0,36 0,35 0,30 u kematangan engan menin 90‐92 93 ‐ Panj Gonad g matang go minimum ika eroleh ikan uran pertama nilai rata-rata ata-rata IKG an Desembe merah betin h besar darip onad ikan pe N (ekor) 177 0, 62 1, 89 1, 48 1, 28 0, n gonad, nil ngkatnya TK 95 96 ‐ 98 ang total (mm onad adalah an pelangi m jantan 99,5 a kali matan a IKG yang G tertinggi ik er (rata-rata na lebih be pada ikan jan
elangi merah Kisaran 85 – 2,38 61 – 2,66 65 – 3,56 54 – 2,22 91 – 2,32 lai IKG ikan KG. Pada p 8 99 ‐ 101 ) 90 mm dan merah yang m mm dan b g gonad (L50 g ditemukan an jantan da 0,89 ± 0,66 sar dibandin ntan. h selama pen Betina Rata-rata 2,29 2,12 1,86 1,99 1,63 n pelangi me penelitian in jantan betina n ikan betina mencapai 50 betina 99,2 m 0) bervariasi b an betina sela 6; 2,29 ± 0, ng ikan jan nelitian Sb N (ek 0,68 153 0,37 83 0,58 77 0,24 40 0,64 41 erah jantan ni, terdapat s n a a 92 0 % mm baik ama ,68) ntan kor) 3 3 7 0 1 dan satu
ekor ikan betina TKG V yang mengeluarkan kelompok telur sehingga tidak dapat dilakukan analisis (Gambar 10).
Gambar 10. Indeks Kematangan Gonad berdasarkan TKG
Nilai IKG ikan jantan yang tertinggi ditemukan pada stasiun 1 (0,63 ± 0,46), 2 (0,88 ± 0,55) dan stasiun 3 (0,76 ± 0,33) dan ikan betina pada stasiun 1 (2,01 ± 0,62), 2 (2,02 ± 0,55), 3 (2,07 ± 0,49) dan 6 (2,11 ± 0,72) (Tabel 14).
Tabel 14. Indeks Kematangan Gonad Ikan Pelangi Merah Berdasarkan Stasiun
Stasiun Jantan Betina
Kisaran Rata-rata Sb N (ekor) Kisaran Rata-rata Sb N (ekor)
1 0,06 – 2,62 0,63 0,46 57 0,75 – 4,10 2,01 0,62 73 2 0,17 – 3,21 0,88 0,55 94 0,50 – 4,10 2,02 0,55 80 3 0,32 – 1,88 0,76 0,33 84 0,38 – 3,72 2,07 0,49 73 4 0,51 – 2,10 0,45 0,35 83 0,33 – 4,43 1,46 0,93 69 5 0,72 – 1,63 0,33 0,28 16 0,08 – 2,70 1,67 0,88 25 6 0,07 – 1,21 0,47 0,30 70 0,43 – 3,77 2,11 0,72 74
Keterangan : Sb : Simpangan baku
4.1.9 Fekunditas dan Diameter Telur
Fekunditas ikan pelangi merah dengan kisaran panjang total 95 – 120 mm dan berat tubuh 9,95 – 22,58 g sebanyak 910 – 3122 butir (rata-rata 1432 ± 451 butir). Hubungan antara fekunditas dengan panjang total adalah F = 528,5L0,206 (r = 0,045), fekunditas dengan berat tubuh F = 537,8W0,368 (r = 0,285) fekunditas dengan berat gonad F = 2040Wg0,440 (r = 0,678) (Gambar 11). 0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000 I II III IV V IKG (%) TKG Betina 0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 I II III IV V TKG Jantan
Gam pada ukur (14,6 ukur (12,4 mbar 11. Gra Berdasar a TKG III y ran 4,125-4 6%), 3,625-4 ran terbanya 4%) (Gamba afik hubunga rkan persenta yaitu 19,3% ,624 µm, T 4,124 (15,3% ak yaitu 3, ar 12). an fekunditas ase sebaran % pada kelas TKG IV di %) dan 5,1 ,125-3,624 s dengan pan diameter tel s ukuran 3,1 itemui tiga 124-5,624 (1 (16,7%), 4 njang total, b lur ditemui d 125-3,624 µ kelas ukur 10,9%) dan ,125-4,624 berat tubuh d dua kelas uk µm dan 24,9 ran terbanya TKG V terd (25,1%) da
dan berat gon kuran terban 9 % pada ke ak 2,625-3, dapat tiga k an 4,625-5, nad nyak elas 124 elas 124
Gambar 12. Sebaran diameter telur ikan pelangi merah yang tertangkap di Danau Sentani
4.2 Pembahasan
4.2.1 Hubungan Panjang Berat
Pola pertumbuhan ikan pelangi merah jantan bersifat isometrik sedangkan ikan betina bersifat allometrik negatif, yang berarti pertambahan panjang lebih cepat dibanding pertambahan beratnya. Namun, secara keseluruhan pola pertumbuhan ikan pelangi merah di Danau Sentani bersifat isometrik. Pola pertumbuhan isometrik juga terlihat pada ikan rainbow selebensis (T. celebensis) di Danau Towuti ( b = 3,08; R2 = 0,81) (Nasution, 2007); ikan Atherina boyeri di danau kecil dari Sungai Segura (b = 3,26; R2 = 0,971) (Andreu-Soler et al., 2006).
Bentuk tubuh yang berbeda antara ikan pelangi merah jantan dan betina memengaruhi nilai b dalam hubungan panjang berat ikan ini. Ikan jantan memiliki bentuk tubuh yang pipih dan cenderung membulat sedangkan ikan betina memperlihatkan bentuk tubuh yang memanjang. Menurut Allen (1991) ikan pelangi (Melanotaeniidae) memiliki
sifat dimorfisme seksual yaitu bentuk tubuh yang berbeda antara ikan jantan dan betina. Sifat inipun terdapat pada ikan pelangi merah yang berpengaruh terhadap pola pertumbuhannya. Pola pertumbuhan yang berbeda antara ikan jantan dan betina dalam satu spesies juga terlihat pada ikan Atherina boyeri (Andreu-Soler et al., 2006).
4.2.2 Faktor Kondisi
Faktor kondisi ikan pelangi merah di Danau Sentani berkaitan dengan ketersediaan makanan dan reproduksi. Hal ini dapat dijelaskan dari tingginya nilai faktor kondisi ikan pelangi merah pada bulan Desember yang merupakan puncak musim pemijahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan saat musim hujan yang memberikan keuntungan dengan tersedianya makanan yang cukup di habitatnya. Nilai faktor kondisi kemudian menurun sejalan dengan musim pemijahan yang telah berakhir. Nilai faktor kondisi yang berkaitan dengan ketersediaan makanan dan saat puncak pemijahan juga terlihat pada ikan rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti (Nasution, 2007); ikan Atherina boyeri di Semenanjung Iberia menunjukkan fluktuasi nilai faktor kondisi yang berhubungan dengan musim (Andreu-Soler et al., 2003).
Ikan pelangi merah betina mempunyai nilai rata-rata faktor kondisi yang lebih tinggi dibanding ikan jantan. Hal ini dapat dijelaskan dari berat ovarium yang lebih tinggi daripada berat testes pada ukuran ikan yang sama.
Nilai rata-rata faktor kondisi ikan pelangi merah cenderung meningkat dengan meningkatnya TKG. Dalam proses reproduksi, oosit ikan pada TKG I belum berkembang karena proses vitellogenesis belum berjalan secara sempurna. Pada TKG yang lebih tinggi, proses vitellogenesis dalam pembentukan vitellogenin sebagai bahan dasar kuning telur telah berlangsung sempurna, sehingga ukuran oosit akan bertambah besar yang menyebabkan berat gonad bertambah. Dengan meningkatnya berat gonad ikan pelangi merah akan meningkatkan berat tubuh yang juga meningkatkan nilai faktor kondisi. Hal ini terlihat pada ikan pelangi merah pada TKG I - IV, selanjutnya nilai rata-rata faktor kondisi yang menurun pada TKG V menunjukkan berat gonad yang berkurang karena ikan pelangi merah telah memijah, kondisi ini memengaruhi berat tubuh yang ditunjukkan dari menurunnya nilai faktor kondisi. Menurut Anibeze (2000); Gomiero dan Braga
(2005) nilai faktor kondisi ikan yang meningkat selama musim hujan berkaitan erat dengan peningkatan kematangan gonad dan menurunnya nilai faktor kondisi berkaitan dengan alokasi energi untuk perkembangan dan pemijahan.
4.2.3 Nisbah Kelamin
Nisbah kelamin ikan pelangi merah dipengaruhi oleh tingkah laku ikan ini dalam bergerombol. Berdasarkan pengamatan, ikan jantan banyak terlihat di daerah litoral, sedangkan ikan betina yang terlihat jarang dan banyak terdapat di daerah yang lebih dalam dan terlindung pada tumbuhan air.
Variasi nisbah kelamin pada ikan pelangi merah di Danau Sentani diduga terjadi karena lingkungan kehidupan sosial ikan itu sendiri. Menurut Jobling (1995) nisbah kelamin ikan dapat dipengaruhi oleh kehidupan sosial ikan yaitu sifat menggerombolnya. Sifat menggerombol ikan Telmatherina ladigesi jantan yang terlihat lebih agresif di wilayah litoral yang terbuka juga memengaruhi variasi nisbah kelaminnya (Andriani, 2000). Selain itu, kecenderungan jumlah ikan betina matang gonad yang lebih banyak juga terlihat pada ikan M. splendida fluviatilis (Milton dan Arthington, 1984), G,
multisquamatus (Coates, 1990), M. arfakensis (Manangkalangi dan Pattiasina, 2005).
Nisbah kelamin ikan pelangi merah yang bervariasi dapat dijelaskan dari tingkah laku ikan pelangi (Melanotaenia sp.) terutama sifat menggerombolnya dengan ikan pelangi yang berjenis kelamin sama dan pada habitat yang dikenalnya, yang berkaitan dengan responnya terhadap ketersediaan makanan dan keberadaan predator (Brown dan Warburton, 1997; Brown, 2001; Brown 2002; Brown, 2003; Hoare et al., 2004).
Nisbah kelamin ikan pelangi merah yang matang gonad bervariasi tiap bulan pengamatan dengan ikan betina lebih banyak pada bulan Januari-Februari (1 : 2,5 ; 1: 3). Kondisi ini menggambarkan satu ekor ikan pelangi merah jantan yang matang gonad pada bulan tersebut harus membuahi telur-telur dari tiga ekor ikan pelangi merah betina yang matang gonad yang dikeluarkan ke perairan.
Berdasarkan kelas ukuran, nisbah kelamin ikan pelangi merah relatif memiliki perbandingan yang seimbang antara ikan jantan dan betina. Ketidakseimbangan nisbah kelamin ikan pelangi merah terlihat pada ukuran 100 – 102 mm (1 : 2) dan 112 – 114 mm
(4 : 1). Hal ini menggambarkan pada ukuran tersebut yang juga merupakan ukuran reproduktif menunjukkan kecenderungan ketidakseimbangan nisbah kelamin yang dapat berpengaruh pada pembuahan ikan pelangi merah.
4.2.4 Pemijahan
Gonad ikan pelangi merah secara anatomis, testes dan ovarium terdiri atas satu lobus. Menurut Miller (1984) bahwa testes dan ovarium pada sebagian besar ikan Teleostei berupa sepasang lobus yang terletak di rongga tubuh. Namun, pada sebagian jenis ikan lain, testes dan ovarium yang berkembang hanya satu lobus. Lobus tunggal juga ditemukan pada ikan opudi (Telmatherina antoniae) di Danau Matano (Sumassetiyadi, 2003), ikan
Atherina presbyter di Pulau Canary (Pajuelo dan Lorenzo, 2004), ikan rainbow selebensis
(T. celebensis) di Danau Towuti (Nasution, 2005) dan ikan beseng-beseng (T. ladigesi) di beberapa sungai di Sulawesi Selatan (Nasution et al., 2006).
Reproduksi ikan pelangi merah di Danau Sentani terjadi saat ikan telah mencapai tingkat kematangan tertinggi pada ukuran pertama kali matang gonad (L50) pada ikan
jantan 99,5 mm dan betina 99,2 mm. Hal ini menggambarkan kematangan pada ikan pelangi merah jantan dan betina terjadi pada ukuran yang relatif sama.
Selain itu, pencapaian ukuran pertama kali matang gonad (L50) dapat juga berbeda
pada ikan jantan dan betina seperti yang ditemukan pada ikan Atherinisoma
presbyteroides, A. elongata, A. wallacei, Allaneta mugilloides dan Pranesus ogilby (Ordo
Atheriniformes) yang dicapai pada ukuran 40 – 85 mm (Prince dan Potter, 1983),
Glossolepis multisquamatus betina pada ukuran 63 mm dan jantan 67 mm (Coates, 1990),
Ikan Atherina presbyter jantan mencapai ukuran pertama kali matang gonad (L50) pada
ukuran 65,4 mm dan betina 73,1 mm (Moreno et al., 2005), Ikan bonti-bonti (Paratherina
striata) jantan di Danau Towuti mencapai matang gonad untuk pertama kalinya pada
ukuran 167,8 mm dan betina 146,1 mm (Nasution et al., 2008). Kondisi ini diduga berkaitan dengan pertumbuhan dan pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan serta taktik reproduksinya, akibat adanya perbedaan kecepatan tumbuh maka ikan-ikan yang berasal dari telur yang menetas pada waktu bersamaan bisa mencapai tingkat kematangan gonad pada umur yang berlainan.
Pengamatan ukuran ikan pertama kali matang gonad secara berkala dapat dijadikan indikator adanya tekanan terhadap populasi. Data berkala ukuran pertama kali matang gonad pada ikan pelangi merah belum tersedia, sehingga belum dapat dijadikan pembanding akan adanya tekanan terhadap populasi ikan ini, namun ukuran ikan ini telah menurun dari ukuran yang ditemukan oleh Allen (1991) yaitu panjang baku 120 mm pada ikan jantan dan ikan betina 100 mm. Menurut Lowe-Mc Connel (1990); Barbieri et al. (2004) dalam Moresco dan Bemvenuti (2006) ukuran pertama kali matang gonad pada ikan yang berbeda-beda dan terjadi pada ukuran yang lebih kecil merupakan taktik reproduksi ikan untuk memulihkan keseimbangan populasinya yang disebabkan oleh perubahan kondisi, faktor abiotik dan tangkap lebih.
Analisis tingkat kematangan gonad berdasarkan waktu pengamatan ditemukan ikan pelangi merah jantan dan betina pada TKG IV-V di bulan Desember yang merupakan musim penghujan. Kondisi serupa juga terjadi pada ikan rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti yang mencapai TKG IV pada bulan Desember (Nasution, 2005). Bila dikaitkan dengan curah hujan daerah setempat, maka dapat dikatakan bahwa kematangan gonad dan pemijahan ikan pelangi merah pada musim penghujan di Danau Sentani berkaitan dengan faktor lingkungan yaitu ketersediaan makanan (Lagler et al., 1977; Wootton, 1990; Pusey et al., 2001; Andreu-Soler et al., 2006b; Bartulovich et al., 2006; Moresco dan Bemvenuti, 2006). Pada musim hujan, memberi keuntungan dengan tersedianya makanan yang cukup bagi larva dan anak-anak ikan untuk sintasan dan perkembangan anak ikan tersebut (Mc Kaye, 1984; Lowe-Mc Connel, 1991; Vazzoler, 1996 dalam Gomiero dan Braga, 2004). Ikan yang telah mencapai ukuran pertama kali matang gonad (L50) pada tingkat kematangan gonad yang
tertinggi lalu ditunjang oleh faktor lingkungan seperti suhu termasuk ketersediaan makanan yang cukup di alam dapat memengaruhi terjadinya pemijahan (Gomiero dan Braga, 2004).
4.2.5 Musim Pemijahan
Nilai IKG yang dikaitkan dengan jumlah ikan pelangi merah jantan dan betina yang matang gonad maka puncak pemijahan ikan pelangi merah terjadi saat musim hujan, yang
dapat menjamin ketersediaan makanan di alam. Ikan rainbow selebensis (Telmatherina
celebensis) di Danau Towuti yang memijah tiga hingga empat kali saat musim penghujan
pada musim reproduksi tahunannya terutama pada bulan November-Februari (Nasution, 2005); ikan Melanotaenia splendida splendida di bagian timur Australia dengan puncak pemijahan berkaitan dengan meningginya air saat musim hujan (Allen, 1991 dalam Huword dan Hughes, 2001), Glossolepis multisquamatus di Papua New Guinea memijah saat musim hujan (Coates, 1990). Ikan tropis yang memijah pada musim penghujan memberi keuntungan bagi anak-anak ikan untuk mendapatkan makanan dan terlindungi dari predator. Adaptasi pemijahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketersediaan makanan, perubahan pada level dan kualitas air, interaksi interspesifik dan ketersediaan tempat memijah (Wootton, 1992; Harding, 1966; Lowe McConnel, 1969; Baylis, 1974; McKaye, 1977; Kramer, 1978; Zaret, 1980; Ward dan Samarakoon, 1981
dalam Saliu dan Fagade, 2003; Gomiero et al., 2009; Pacheco dan Da-Silva, 2009).
Nilai rata-rata IKG ikan pelangi merah betina selalu lebih besar daripada IKG ikan jantan pada TKG yang sama. Hal ini disebabkan pertambahan berat ovarium selalu lebih besar daripada pertambahan berat testes. Peningkatan berat ovarium berhubungan dengan proses vitellogenesis dalam perkembangan gonad, sedangkan peningkatan berat testes berhubungan dengan proses spermatogenesis dan peningkatan volume semen dalam tubulus seminiferi. Proses tersebut sangat bergantung pada ketersediaan makanan sebagai sumber energi untuk perkembangan somatik dan reproduksinya. Meningkatnya IKG ikan pelangi merah sejalan dengan meningkatnya TKG.
Nilai IKG ikan jantan dan betina yang tertinggi ditemukan di stasiun 1, 2 dan 3 (Yakonde). Hal ini dapat dijelaskan dari kondisi kualitas air yang masih baik di Yakonde serta karakteristik lingkungan seperti keberadaan tumbuhan air yang beragam sehingga menunjang reproduksi ikan pelangi merah. Tumbuhan air yang beragam menunjang pemijahan ikan pelangi karena sebagian besar ikan pelangi (Melanotaeniidae) tergolong
phytophylous, dengan meletakkan telurnya pada tumbuhan air yang tenggelam dengan
kedalaman 10 cm dengan bantuan filamen sebagai perekat, seperti yang ditemukan pada ikan Melanotaenia fluviatilis (Milton dan Arthington, 1984), M. splendida splendida
Allen, 1995 dalam Hurwood dan Hughes, 2001; Beumer, 1979; Ivantsoff et al., 1988 dalam Humphrey et al., 2003).
4.2.6 Pola Pemijahan
Sebaran ukuran diameter telur yang didapati mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar (0,624-7,624 µm) pada tingkat kematangan gonad ikan pelangi merah yang tertinggi tidak merata. Hal ini menunjukkan bahwa kematangan gonad ikan ini terjadi tidak serentak atau pemijah bertahap (partial spawner). Pola serupa juga ditemukan pada ikan M. splendida fluviatilis (Milton dan Arthington, 1984), ikan Cairnsichthys
rhombosomoides, Melanotaenia eachamensis dan M. splendida splendida (Pusey et al.,
2001), ikan beseng-beseng (T. ladigesi) (Andriani, 2000), opudi (T. antoniae) (Sumassetiyadi, 2003) dan ikan rainbow selebensis (T. celebensis) (Nasution, 2005).
Fekunditas ikan pelangi merah berkisar dari 910 – 3122 butir. Ikan rainbow selebensis (T. celebensis) di Danau Towuti memiliki fekunditas dengan jumlah berkisar dari 185 – 1448 butir (Nasution, 2005), Ikan Atherina boyeri di rawa Gomishan berkisar dari 874 - 2976 butir (Patimar et al., 2009), ikan Melanotaenia eachemensis berkisar antara 206-2126 butir, M. splendida splendida 370 - 1655 telur (Pusey et al., 2001). Bila dibandingkan dengan ikan pelangi lainnya fekunditas ikan pelangi merah tergolong tinggi, diduga ini berkaitan dengan strategi reproduksinya dengan meningkatkan fekunditas namun menurunkan ukuran diameter telur (Allen dan Cross, 1982; Milton dan Arthington, 1984; Merick dan Schmida, 1984 dalam Coates, 1990).
Fekunditas yang berbeda-beda diantara spesies merefleksikan strategi reproduksinya. Bahkan dalam spesies, fekunditas bervariasi sebagai hasil dari perbedaan adaptasi terhadap lingkungannya. Ikan yang berukuran besar menghasilkan fekunditas yang besar. Pada ukuran yang sama, ikan betina dalam kondisi yang baik menghasilkan fekunditas yang lebih tinggi. Fekunditas ikan yang baru pertama kali memijah berkecenderungan kualitas dan kuantitas telurnya masih rendah yang berpengaruh terhadap rekrutmennya bila dibandingkan dengan induk ikan yang telah berkali-kali memijah dengan fekunditas yang meningkat serta ukuran telur dan larva yang lebih besar. Kondisi ini akan menurun sejalan dengan mulai menurunnya kondisi ikan yang memengaruhi
kualitas dan kuantitas telur yang dihasilkan (ikan yang tua) (Bagenal, 1957; Wootton, 1984; Sabarido-Rey, 2003 dalam Murua et al., 2003; Froese dan Luna, 2004).
Fekunditas ikan pelangi merah memperlihatkan korelasi yang lemah dengan panjang total dan berat tubuh, sehingga panjang total dan berat tubuh ikan pelangi merah betina tidak dapat dijadikan penduga nilai fekunditas ikan pelangi merah. Korelasi yang lemah antara fekunditas dengan panjang total dan berat tubuh juga ditemukan pada pada ikan Atherina presbyter (Ordo Atheriniformes) di Pulau Canary (Moreno et al., 2005) dan ikan rainbow selebensis (T. celenbensis) di Danau Towuti (Nasution, 2005).
4.2.7 Upaya Pelestarian dan Pengembangan Ikan Pelangi Merah
Berdasarkan kajian aspek reproduksi ikan pelangi merah di Danau Sentani, maka perlu dilakukan upaya-upaya dalam pelestarian dan pengembangan sumberdaya ikan ini. Konsep pengelolaan sumberdaya perikanan ikan pelangi merah di Danau Sentani antara lain : penentuan ukuran ikan yang dapat ditangkap, pengaturan ukuran mata jaring yang dapat dioperasikan, pengaturan musim penangkapan sedangkan upaya pengembangannya dilakukan dengan cara penangkaran dan pembenihan serta mengembangkan upaya domestikasi sebagai dasar budidaya ikan pelangi merah.
Penentuan ukuran ikan yang boleh ditangkap berdasarkan pada pertimbangan ikan telah mampu bereproduksi. Ukuran ikan yang tertangkap pada L50 adalah 99,5 mm untuk
ikan jantan dan 99,2 mm pada ikan betina, sedangkan ukuran ikan terkecil yang tertangkap 88 mm. Berdasarkan ukuran tersebut, maka ukuran ikan yang tertangkap jauh lebih kecil dari ukuran ikan pertama kali matang gonad pada L50. Kondisi ini dapat mengganggu
rekrutmen ikan pelangi merah di Danau Sentani karena ikan ini belum diberi kesempatan sekali dalam hidupnya untuk menjamin kelangsungan spesiesnya melalui proses reproduksi. Berdasarkan hal tersebut, maka ukuran ikan pelangi merah yang ditangkap sebaiknya berukuran > 99 mm.
Penentuan ukuran ikan pelangi merah yang dapat ditangkap membawa akibat pada ukuran mata jaring yang digunakan. Ikan pelangi merah yang berukuran 99 mm umumnya memiliki tinggi tubuh 25 mm. Hal ini mengakibatkan ikan pelangi merah banyak tertangkap dengan alat tangkap jaring insang yang berukuran mata jaring 1 inci (2,5 cm),
sehingga untuk menjaga kelestarian ikan ini, maka ukuran mata jaring yang dioperasikan sebaiknya berukuran > 1 inci.
Pengaturan musim penangkapan didasarkan pada musim pemijahan dari ikan pelangi merah di Danau Sentani. Berdasarkan hasil penelitian ini, musim pemijahan ikan pelangi merah terjadi saat musim penghujan, sehingga pada musim tersebut wilayah danau yang merupakan area pemijahan dari ikan pelangi merah tidak diperkenankan melakukan kegiatan penangkapan. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka wilayah danau yang diusulkan adalah di bagian barat Danau Sentani (Yakonde) dengan pertimbangan bahwa terdapat ikan pelangi merah matang gonad yang tinggi di wilayah ini, kondisi kualitas air yang masih baik dan keragaman tumbuhan air yang tinggi.
Upaya-upaya pengembangan ikan pelangi merah di Danau Sentani yang dapat dilakukan untuk menjamin ketersediaannya di habitat meliputi : kegiatan penangkaran dan pembenihannya, pengembangan budidaya ikan ini dilakukan untuk menjamin ketersediaan ikan pelangi merah yang kontinyu untuk memenuhi kebutuhan komersil sebagai ikan hias. Selain upaya penangkaran tersebut, juga dikembangkan upaya domestikasi ikan pelangi merah sebagai dasar pengembangan budidaya ikan ini yang dimulai dari pembenihan hingga pembesarannya sehingga kepunahan ikan pelangi merah dapat dicegah.