• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENGUASAAN LAHAN

TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT (Kasus: Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,

Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

EKA ARIWIJAYANTI I34070026

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(2)

ABSTRACT

EKA ARIWIJAYANTI. The Land Tenure Effect to Socio-Economic Conditions in the Community (Case in Kampung Cijengkol, Cigudeg Village , Cigudeg District, Bogor Regency, West Java) Supervized by MARTUA SIHALOHO.

Land is the most important, high value, and become the source of life and the place of the all human activities. Every human activity needs a certain space located above the ground. Availability of land from time to time are relatively fixed, but the human needs for the the soil have increased time by time. The growing population pressure led to the need for land is increasing. However, the actual problems of land tenure is seen as a problem concern of social relations, economics, and politics which is associated with wealth, income, economic opportunity, social status and political domination among human. Therefore, this study is about how the influence of tenure to the socio-economic conditions of villagers. The purpose of this study was to determine, identify and analyze 1) the factors that affect land tenure, 2) relationship factors to the land tenure’s level, and 3) the influence of tenure to socio-economic conditions of the villagers. This study used qualitativef approach supported by quantitative approache by using kuesioner, observation in the field and in-depth interviews. The results of this study are 1) there are factors that influenced the acquisition of land in Kampung Cijengkol which is the system of inheritance and a lack of capital, 2) there is a relationship between factors that affect the tenure mastery of the land in Kampung Cijengkol, and 3) there is a relationship mastery level on the socioeconomic conditions of land which is seen from the land that affect the level of income, education level and ownership of assets and capital.

Keywords: land, land tenure, land tenure factor, the system of inheritance, capital, socio-economic

(3)

RINGKASAN

EKA ARIWIJAYANTI. PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT (KASUS KAMPUNG CIJENGKOL, DESA CIGUDEG, KECAMATAN CIGUDEG, KABUPATEN BOGOR , PROVINSI JAWA BARAT. (Dibawah bimbingan MARTUA SIHALOHO).

Sumberdaya agraria merupakan sumber nafkah yang akan menentukan seberapa jauh jangkauan para petani dalam memenuhi kebutuhan pangan, perumahan, pendidikan, dan unsur kesejahteraan lainnya. Oleh sebab itu, ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria akan menimbulkan kemiskinan di pedesaan. Tanah sebagai benda yang paling penting dan tinggi nilainya, merupakan sumber kehidupan dan tempat berlangsungnya segala aktivitas-aktivitas lainnya. Ketersediaan tanah dari waktu ke waktu jumlahnya relatif tetap, namun untuk kebutuhan manusia terhadap tanah makin meningkat. Tekanan penduduk yang makin besar menyebabkan kebutuhan akan tanah pun semakin meningkat.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis 1) faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan pertanian di Kampung Cijengkol, 2) pengaruh faktor-faktor penguasaan lahan terhadap tingkat penguasaan lahan, dan 3) pengaruh tingkat penguasaan lahan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat khususnya dilihat dari tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan kepemilikan asset dan modal. Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif didukung dengan pendekatan kuantitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, sensus awal untuk mengetahui seberapa warga yang menguasai lahan selain itu analisis dokumen dan didukung dengan kuesioner. Menurut hasil pendataan sensus awal yang dilakukan peneliti tahun 2011 warga Kampung Cijengkol RW 18 terdiri atas 130 kepala rumahtangga. Unit analisis dalam penelitian ini adalah 46 rumahtangga yang ditentukan berdasarkan rumus slovin dan stratified random sampling.

Ketidakmerataan penguasaan atas tanah pertanian menyebabkan kemiskinan di desa khususnya bagi para petani. Hak menguasai atas tanah yang lemah menyebabkan para petani kecil tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup

(4)

sehari-harinya. Para petani yang menguasai sebagian tanah yang kecil berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara menyewakan ataupun menjual tanah yang mereka miliki. Terjadinya ketidakmerataan akses penguasaan atas tanah ini menjadikan bertambahnya petani tidak bertanah dan mengakibatkan posisi kaum petani ini termarginalisasi dari kehidupan sosialnya. Ketimpangan tersebut berdampak pada distribusi pendapatan rumah tangga pedesaan yang berasal dari usaha pertanian. Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk ketimpangan akses terhadap tanah yang terdapat di Kampung Cijengkol yaitu 1) adanya sistem bagi waris dimana lahan yang diwariskan dibagikan kepada pihak yang mempunyai hak waris, 2) Jumlah penduduk yang padat, dan 3) modal.

Faktor-faktor di atas mengakibatkan terjadinya struktur kelas dalam masyarakat desa yang menekankan fungsi ekonomi dan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dari warga kampung juga mempengaruhi tingkat penguasaan warga kampung terhadap lahan pertanian. Di Kampung Cijengkol Struktur kelas dapat dilihat dari hubungan sosial dengan lahan yaitu pemilik-penggarap, pemilik-bukan pemilik-penggarap, bukan pemilik-penggarap. Cara warga memperoleh lahan yaitu dengan cara buka lahan, warisan, jual-beli, gadai, dan bagi hasil.

Tingkat penguasaan lahan di Kampung Cijengkol dapat dilihat dari luas lahan yang dimiliki. Luas lahan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi warga kampung dilihat dari tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan kepemilikan asset dan modal. Luas lahan mempengaruhi tingkat pendapatan warga kampung pada luas lahan yang berketegori sempit, sedangkan luas lahan tidak mempengaruhi tingkat pendidikan warga kampung karena kesadaran pentingnya pendidikan belum ada. Luas lahan tidak mempengaruhi kepemilikan asset dan modal karena kebanyakan warga kampung menganggap lahan sebagai modal untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

(5)

PENGARUH PENGUASAAN LAHAN

TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT (Kasus: Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg,

Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

EKA ARIWIJAYANTI I34070026

SKRIPSI

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama Mahasiswa : Eka Ariwijayanti

NIM : I34070026

Judul Skripsi : Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat (Kasus Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Martua Sihaloho, SP, M.Si NIP. 19770417 200604 1 007

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

(7)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT (Kasus Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat” ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN SEBAGAI KARYA ILMIAH UNTUK MEMPERKUAT PENELITIAN YANG SEBELUMNYA. SEMUA DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.

Bogor, Agustus 2011

Eka Ariwijayanti I34070026

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama Eka Ariwijayanti dilahirkan pada tanggal 15 Maret 1989 di Kota Bogor. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, anak dari pasangan suami istri Wasino dan Een Suhaenah. Penulis telah menempuh pendidikan TK di TK Tunas Muda, lalu bersekolah di SDN Semeru I Bogor, dilanjutkan di SMP Negeri 14 Bogor dan SMA Rimba Madya Bogor. Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekologi Manusia Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dengan jalur masuk Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI).

Pada saat duduk di bangku SMP, penulis mengikuti kegiatan ekstrakulikuler Paskibra dan telah mengikuti beberapa lomba Paskibra di SMA PGRI 1, Balai Kota Bogor dan beberapa tempat lainnya. Penulis juga menjadi salah satu anggota MPK (Majelis Perwakilan Kelas) yang bekerja sama dengan OSIS SMPN 14 dalam melakukan kegiatan berkenaan dengan Masa Orientasi Siswa (MOS). Pada saat SMA, penulis aktif di kegiatan ekstrakulikuler DKM sekolah, sedangkan di masa perkuliahan penulis pun aktif di berbagai kegiatan kampus seperti masuk kepada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Gentra Kaheman, Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (Himasiera), dan kegiatan kepanitiaan lainnya. Semasa penulis menjadi anggota aktif dari sebuah UKM Gentra Kaheman, Penulis mengikuti beberapa kegiatan seperti lomba tari saman di Universitas Indonesia, juga sebagai salah satu pengisi acara dalam penyambutan mahasiswa Korea dan mahasiswa Malaysia.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Martua Sihaloho, SP, MSi. yang telah membimbing penulis dalam penulisan studi pustaka dan skripsi. Skripsi ini berjudul Pengaruh Penguasaan Lahan Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat (Kasus Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk mengetahui, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan di Desa Cigudeg, menganalisis hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan terhadap tingkat penguasaan lahan, dan menganalisis pengaruh tingkat penguasaan lahan tehadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Bogor, Agustus 2011

Eka Ariwijayanti NIM I34070026

(10)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari nikmat dan rahmat yang dianugerahkan Allah SWT kepada penulis, serta bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain:

1. Bapak Martua Sihaloho, SP, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan mengenai pembuatan Skripsi yang baik sesuai tema dan kaidah penulisan. 2. Bapak Dr. Ir. Arif Satria, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik yang

selama ini telah menuntun dan membantu selama berlangsungnya perkuliahan penulis.

3. Ibu Heru Purwandari, SP, M.Si dan Bapak Ir. Dwi Sadono, M.Si sebagai dosen penguji utama dan penguji wakil Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat atas kesediaannya untuk menguji dan member saran yang berguna bagi penulisan skripsi ini.

4. Seluruh masyarakat Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor dan staf Pemerintahan Desa atas partisipasi, keramahan dan informasinya yang sangat berguna bagi aktivitas skripsi penulisa, khususnya Bapak H. Firdaus (Kepala Desa Cigudeg) dan Ibu Ida Kader Desa yang telah membantu peneliti selama di Kampung Cijengkol.

5. Kedua orangtua yaitu Bapak Wasino dan Ibu Een Suhaenah, serta Adik penulis Aldy Dwi Handono yang sangat berarti dalam mendukung penulis untuk melakukan segala aktivitas pendidikan serta untuk segala perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis.

6. Keluarga besar orangtua yang selalu memberi dukungan, semangat dan do’a bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Teman satu bimbingan yaitu Ayu Chandra yang saling memberi pengertian, memberi semangat dan berbagi informasi mengenai literature.

(11)

8. Sahabat seperjuangan penulis (Dian Widya S, Titania Aulia, Thresa Jurenzy, Rizki Afianti, Akira Bena YM, dan Aris Safrudin) yang saling menyemangati, mendorong dan memotivasi penulis.

9. Nur Irvany Putri yang telah memberikan bantuan dalam pengolahan data, pengertian dan semangat kepada penulis.

10. Dewi Agustina dan Intan Yuliastry yang telah memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

11. Mahardi dan Indri sahabat penulis dari SMA yang selalu memberikan semangat, dorongan, dan motivasi bagi penulis.

12. Teman-teman di Departemen Sains KPM angkatan 44 yang telah memberikan semangat dan doa yang tulus kepada penulis. Semoga persahabatan dan kebersamaan kita tidak mudah putus.

Bogor, Agustus 2011

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Kegunaan Penelitian ... 5

BAB II PENDEKATAN TEORETIS ... 6

2.1 Tinjauan Pustaka ... 6

2.1.1 Pengertian Konsep Agraria ... 6

2.1.2 Struktur Agraria ... 7

2.1.2.1 Pengertian Tanah dan Penggunaannya ... 9

2.1.2.2 Pola Penguasaan Lahan ... 11

2.1.3 Pemilikan Tanah dan Pelapisan Masyarakat ... 15

2.1.3.1 Pengertian Diferensiasi dan Stratifikasi ... 15

2.1.3.2 Struktur Pelapisan Masyarakat ... 17

2.2 Kerangka Pemikiran ... 18

2.3 Hipotesis Penelitian ... 20

2.4 Definisi Operasional ... 20

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

3.2 Teknik Pengambilan Data ... 24

3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 26

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA ... 27

4.1 Gambaran Umum Desa Cigudeg ... 27

4.1.1 Letak Geografis dan Demografis Desa Cigudeg ... 27

4.1.2 Jumlah Penduduk Desa Cigudeg ... 27

4.2 Gambaran Umum Kampung Cijengkol ... 32

4.3 Agraria Lokal Kampung Cijengkol ... 33

(13)

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN ... 39

5.1 Penguasaan Lahan Pertanian ... 39

5.2 Pola Penguasaan Lahan Di Kampung Cijengkol ... 41

5.3 Cara Warga Kampung Cijengkol Memperoleh Lahan Garapan ... 44

5.3.1 Buka Sendiri ... 44

5.3.2 Warisan ... . 45

5.3.3 Bagi Hasil ... . 45

5.3.4 Gadai ... . 46

5.3.5 Jual Beli ... . 46

5.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penguasaan Lahan ... . 47

5.4 Ikhtisar ... 48

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN ... 51

6.1 Keragaan Penguasaan Lahan ... 51

6.2 Tingkat Penguasaan Lahan ... 53

6.3 Hubungan Faktor-Faktor Penguasaan Lahan dengan Tingkat Penguasaan Lahan ... 55

6.4 Ikhtisar ... 57

BAB VII MODEL PENGELOLAAN KOLABORATIF ... 59

7.1 Hubungan Pengaruh Penguasaan Lahan Terhadap Tingkat Pendapatan Pertanian ... 59

7.2 Hubungan Pengaruh Penguasaan Lahan Terhadap Tingkat Pendidikan ... 63

7.3 Hubungan Pengaruh Penguasaan Lahan Terhadap Kepemilikan Asset dan Modal ... 67

7.4 Implikasi Pengaruh Penguasaan Lahan Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Rumahtangga Petani ... . 63

7.5 Ikhtisar ... . 65

BAB VIII PENUTUP ... 69

8.1 Kesimpulan ... 69

8.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 1 Jumlah Penduduk, Luas Desa dan Kepadatannya di Kecamatan

Cigudeg Tahun 2008 ... 3 Tabel 2 Penyebaran Tanah Pertanian di Jawa Tahun 1984 ... 13 Tabel 3 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011 ... 23 Tabel 4 Jumlah Penduduk Laki-Laki dan Perempuan menurt Umur, Desa

Cigudeg Tahun 2010 ... 28 Tabel 5 Sarana dan Prasarana Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg ... 31 Tabel 6 Kepemilikan Lahan Sawah dan Kebun berdasarkan Hasil Sensus

Tahun 2011 ... 33 Tabel 7 Status Lahan berdasarkan Hasil Sensus Awal Pebelitian Tahun

2011 ... 34 Tabel 8 Diferensiasi Hubungan Sosial Sumberdaya Agraria berdasarkan

Hasil Sensus Tahun 2011 ... 36 Tabel 9 Pendidikan Responden di Kampung Cijengkol, Tahun 2011 ... 37 Tabel 10 Pekerjaan Responden di Kampung Cijengkol, Tahun 2011 ... 37 Tabel 11 Sebaran Responden Tingkat Ketergantungan pada Lahan Pertanian 38 Tabel 12 Jumlah Anggota Setiap Keluarga di Kampung Cijengkol Tahun

2011 ... 40 Tabel 13 Sebaran Responden berdasarkan Status Kepemiikan Lahan Tahun

2011 ... 52 Tabel 14 Sebaran Responden menurut Luas Lahan yang di Kuasai Tahun

2011 ... 54 Tabel 15 Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Pendapatan Tahun 2011 ... 59 Tabel 16 Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Pendidikan Tahun 2011 ... 61 Tabel 17 Hubungan Luas Lahan dengan Kepemilikan Asset dan Modal Tahun

2011 ... 62 Tabel 18 Sebaran Tingkat Pendapatan Responden di Sektor Pertanian Tahun

2011 ... 64 Tabel 19 Sebaran Tingkat Pendapatan Responden di Sektor Pertanian Tahun

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 1 Bagan Kerangkan Analisis Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa ... 19 Gambar 2 Jumlah Penduduk Desa Cigudeg berdasarkan Mata Pencaharian

Tahun 2011 ... 29 Gambar 3 Persentase Luas Lahan menurut Penggunaannya di Desa Cigudeg,

2008 ... 29 Gambar 4 Jumlah Penduduk Desa Cigudeg berdasarkan Pendidikan Tahun

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1 Denah Lokasi Penelitian ... 72

Lampiran 2 Kuesioner ... 73

Lampiran 3 Data Sensus Populasi ... 79

Lampiran 4 Panduan Pertanyaan ... 81

Lampiran 5 Populasi ... 82

Lampiran 6 Kerangka Sampling ... 84

Lampiran 7 Data Responden ... 86

Lampiran 8 Hasil Olah Data SPSS Rank Spearman ... 87

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanah merupakan benda yang paling penting dan tinggi nilainya dan merupakan sumber kehidupan dan tempat berlangsungnya segala aktivitas-aktivitas lainnya. Setiap kegiatan manusia memerlukan ruang tertentu dan ruang berada di atas tanah. Menurut Sudiyat dalam Hamid (1992) bahwa demi hidup dan penghidupannya untuk kepentingan setiap bagian fungsi hidupnya (pekerjaan, sandang, pangan, kandang, istirahat dan rekreasi) setiap orang membutuhkan penguasaan atas sebagian permukaan bumi walaupun hanya sementara dan tidak menentu. Penguasaan atas tanah bagi setiap orang merupakan hal yang mutlak adanya baik dalam nama, jenis, jumlah maupun intensitasnya. Berkaitan dengan intensitas, hak menguasai dapat bergerak mulai dari kadar yang paling lemah hingga kepada bobot yang paling kuat, seperti hak pakai, memetik kemudian menikmati hasil, hak memelihara/mengelola/mengurus, hak memiliki sampai kepada hak mengasingkan dalam segala bentuk.

Ketersediaan tanah dari waktu ke waktu jumlahnya relatif tetap, namun untuk kebutuhan manusia terhadap tanah makin meningkat. Tekanan penduduk yang semakin besar menyebabkan kebutuhan akan tanah pun semakin meningkat. Daya dukung tanah tidak dapat memenuhi kebutuhan manusia yang jumlahnya semakin besar dengan luas tanah yang tetap. Hal ini dialami oleh Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang. Contohnya saja di pedesaan Jawa, Kepadatan penduduk mencapai 480 jiwa setiap 1 kilometer persegi dan bahkan ada tempat-tempat dimana kepadatan penduduknya mencapai 800 jiwa setiap 1 kilometer persegi (Soekanto 1987 dalam Tjondronegoro 1999). Masalah kelebihan penduduk agraris yaitu terdapatnya surplus tenaga kerja manusia dibandingkan dengan tersedianya tanah pertanian. Akibat dari ketiadaan pilihan kesempatan kerja lain maka penduduk desa terus-menerus memadati tanah yang ada, menawarkan investasi tenaga kerja dalam proses produksi pertanian melebihi titik efisiensi optimum, sehingga selanjutnya menghambat keseluruhan usaha

(18)

pembangunan ekonomi. Namun tidak banyak yang diketahui mengenai kombinasi khususnya faktor-faktor sosio-ekonomi dan sejarah yang menyebabkan kelebihan penduduk agraris demikian itu. Evolusi hubungan antara tipe penguasaan tanah dan struktur sosial desa di Jawa dapat menyumbangkan pengertian mengenai masalah yang makin mendesak di negara-negara sedang berkembang.

Sajogyo (1985) menjelaskan bahwa sumberdaya agraria merupakan sumber nafkah yang akan menentukan seberapa jauh jangkauan para petani dalam memenuhi kebutuhan pangan, perumahan, pendidikan, dan unsur kesejahteraan lainnya. Oleh sebab itu, ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria akan menimbulkan kemiskinan di pedesaan (Soemarjan 1984). Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Geertz dalam penelitiannya yaitu yang terjadi di Jawa bukanlah pemerataan kemakmuran tetapi kemiskinan berbagi (shared proverty). Namun, sebenarnya masalah penguasaan tanah dipandang sebagai masalah hubungan yang menyangkut hubungan sosial, ekonomi dan politik antar manusia yang berkaitan dengan kekayaan, pendapatan, kesempatan ekonomi, status sosial dan penguasaan politik diantara manusia satu dengan manusia lainnya.

Kekuasaan politik maupun kesejahteraan rakyat sangat erat kaitannya dengan penguasaan atas tanah oleh lapisan-lapisan masyarakat tertentu. Maka dari itu, Pemerintah RI membuat peraturan tentang penguasaan tanah yang lebih adil bagi petani. Beberapa pembangkangan antara lain gerakan Samin, pemberontakan di daerah pedesaan di Jawa (Kartodiharjo 1973 dalam Tjondronegoro 1999) dan juga beberapa kasus di daerah lainnya seperti sumatera menunjukkan bahwa penguasaan tanah yang tidak adil pada awalnya menyebabkan protes-protes sosial dan akhirnya menimbulkan perlawanan politik. Pada akhirnya pemerintah RI dalam keputusannya yaitu membuat peraturan mengenai penguasaan tanah yang adil menghasilkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960 yang diundangkan dalam bulan September.

Masalah-masalah tanah ditinjau dari sudut pandang sosiologis berarti dimulai dengan menganalisis hubungan antar golongan atau lapisan masyarakat yang menguasai tanah dan asset atau modal lainnya, kemudian dilanjutkan dengan berusaha mengubah hubungan tersebut. Artinya, harus dipahami adanya lapisan yang penguasaannya kuat ada pula yang lemah atau sama sekali tidak mempunyai

(19)

kuasa apapun sehingga menjadi sangat tergantung. Dasar kekuasaan tersebut terdiri dari kombinasi faktor-faktor politik, ekonomi maupun sosial. Ketiga faktor tersebut sangat sulit dipisahkan.

Menurut Tauchid (2009) Luas Indonesia dengan penduduknya belum menunjukkan kelebihan penduduk menurut ukuran kesanggupan bumi dan alamnya untuk memberi makan penduduknya. Tetapi di berbagai daerah di Indonesia masalah kepadatan penduduk berbeda-beda. Di beberapa daerah masalah kepadatan penduduk sudah menjadi masalah yang sangat berat, sedangkan di daerah lainnya sebaliknya mempunyai masalah kekurangan orang. Kedua-duanya merupakan kepincangan yang berat dalam masalah kemakmuran rakyat. Masalah kepadatan penduduk dialami oleh desa-desa di Kecamatan Cigudeg yang dapat ditunjukkan dengan angka-angka pada Tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1. Jumlah Penduduk, Luas Desa dan Kepadatannya di Kecamatan Cigudeg Tahun 2008

No Desa Jumlah Penduduk (jiwa) Luas km² Kepadatan Jiwa/km² 1 Sukarasa 8.418 6,11 1.378 2 Sukamaju 8.667 6,24 1.391 3 Cigudeg 12.538 9,48 1.323 4 Banyu Resmi 5.880 7,99 736 5 Wargajaya 6.181 7,22 856 6 Bunar 8.348 5,91 1.413 7 Mekarjaya 6.178 7,49 825 8 Cintamanik 8.956 23,59 380 9 Banyu Wangi 4.472 9,05 494 10 Banyu Asih 4.556 9,29 490 11 Tegalega 7.364 6,89 1.069 12 Batu Jajar 5.910 6,66 887 13 Rengas Jajar 8.788 11,64 755 14 Bangun Jaya 8.246 11,62 710 15 Argapura 10.933 23,60 463 Jumlah 115.445 152,78 756 Sumber: BPS, Tahun 2008

Salah satu Desa di Kecamatan Cigudeg adalah Desa Cigudeg yang memiliki jumah penduduk, luas desa dan kepadatannya sekitar 12.538 jiwa, 9,48 km², 1.323 jiwa/km² dengan luas lahan pertanian yang sebesar 164 hektar (BPS

(20)

2008). Menariknya, mayoritas masyarakat desa ini bermata pencaharian sebagai pedagang dan wirausaha. Lalu, bagaimana dengan lahan peranian yang ada di desa ini. Maka dari itu, penelitian ini mengangkat mengenai pengaruh penguasaan lahan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat desa.

1.2 Perumusan Masalah

Indonesia adalah negara yang agraris juga negara yang sedang berkembang yang mengalami tekanan penduduk yang semakin besar sehingga menyebabkan kebutuhan akan tanahpun semakin meningkat. Seperti di Jawa, kepadatan penduduk mencapai 480 jiwa setiap 1 kilometer persegi dan bahkan ada tempat-tempat dimana kepadatan penduduknya mencapai 800 jiwa setiap 1 kilometer persegi (Soekanto 1987 dalam Tjondronegoro 1999). Kepadatan penduduk mengakibatkan masalah yaitu terjadinya surplus tenaga kerja manusia dibandingkan dengan tersedianya tanah pertanian. Akibat dari ketiadaan pilihan kesempatan kerja lain maka penduduk desa terus-menerus memadati tanah yang ada, menawarkan investasi tenaga kerja dalam proses produksi pertanian melebihi titik efisiensi optimum, sehingga selanjutnya menghambat keseluruhan usaha pembangunan ekonomi. Namun tidak banyak yang diketahui mengenai kombinasi khususnya faktor-faktor sosio-ekonomi dan sejarah yang menyebabkan kelebihan penduduk agraris. Evolusi hubungan antara tipe penguasaan tanah dan struktur sosial desa di Jawa dapat menyumbangkan pengertian mengenai masalah yang makin mendesak di negara-negara sedang berkembang sehingga perlu dikaji faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penguasaan lahan.

Sayogyo (1985) menjelaskan bahwa sumberdaya agraria merupakan sumber nafkah yang akan menentukan seberapa jauh jangkauan para petani dalam memenuhi kebutuhan pangan, perumahan, pendidikan, dan unsur kesejahteraan lainnya. Oleh sebab itu, ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria akan menimbulkan kemiskinan di pedesaan (Soemardjan 1984). Sehingga dalam hal ini dapat dirumuskan bagaimana hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan terhadap tingkat penguasaan lahan. Adanya ketimpangan tersebut, maka ada istilah-istilah kepemilikan lahan seperti; pemilik-penggarap, pemilik-bukan penggarap, dan bukan pemilik-penggarap. Dengan adanya bentuk

(21)

hubungan penguasaan lahan, penelitian ini diarahkan pada pertanyaan yang menjelaskan bagaimana tingkat penguasaan lahan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat desa.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini diantaranya adalah untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis:

1. faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan;

2. hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan terhadap tingkat penguasaan lahan; dan

3. pengaruh tingkat penguasaan lahan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk dapat menggambarkan secara jelas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan yang terjadi pada masyarakat desa, khususnya di Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. Selain itu juga dapat mengetahui bentuk hubungan penguasaan lahan dan pengaruhnya terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat di Kampung Cijengkol. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pengetahuan baru di bidang akademisi dan insititusi pemerintahan dalam permasalahan sosial yang terjadi pada sumberdaya agraria khususnya lahan pertanian di masyarakat desa sehingga masyarakat dan pemerintah sebagai institusi yang berwenang dapat saling kerja sama menentukan kebijakan ke arah kemerataan hak akses terhadap lahan pertanian bagi masyarakat Desa Cigudeg, khususnya Kampung Cijengkol.

(22)

BAB II

PENDEKATAN TEORETIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengertian Konsep Agraria

Agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Dalam Bahasa Latin kata agraria berasal dari kata ager dan

agrarius. Kata Ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius

mempunyai arti sama dengan “perladangan, persawahan, pertanian”. Dalam bahasa inggris kata agraria diartikan agrarian yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Pengertian agraria ini, sama sebutannya dengan agrarian laws bahkan sering kali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan lahan dan pemilikan tanah. Pengertian agraria dapat pula dikemukakan dalam undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Jika dijabarkan pengertian “Tanah” adalah menurut pasal 4 ayat 1 “tanah” adalah permukaan bumi, sedangkan pengertian “Bumi” menurut pasal 1 ayat 4, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi serta yang berada di bawah air. Adapun yang termasuk bumi Indonesia tidaklah terbatas pada yang berada di bawah batas-batas perairan Indonesia saja, yaitu perairan pedalaman (“inland waters”) dan laut wilayah (“territorial waters”) melainkan bumi yang berada di bawah air laut diluar batas-batas itu.

Hubungan agraris menurut Wiradi (2009) secara garis besar mencakup berbagai jenis hubungan sebagai 1) hubungan antara tanah dengan lingkungannya, 2) hubungan antara manusia dengan tanah, 3) hubungan antara manusia dengan tanaman, 4) hubungan antara manusia dengan hewan, dan 5) hubungan antara manusia dengan manusia. Dalam studi agraria, hubungan antara manusia dengan manusia ini yang dianggap paling penting karena menyangkut hubungan sosial secara keseluruhan. Sedangkan hubungan manusia dengan yang lain (tanah, tanaman, hewan) hanya memiliki makna sepanjang hubungan itu merupakan hubungan aktivitas karena melalui hubungan aktivitas ini akan menimbulkan

(23)

implikasi terhadap hubungan dengan manusia lain. Berkaitan dengan hubungan antara manusia, salah satu ciri pokok masyarakat agraris adalah adanya hubungan antara mereka yang mencurahkan tenaga kerjanya secara langsung dalam berproduksi (produsen langsung seperti petani pemilik, petani penyakap, buruh tani) dengan mereka yang tidak berproduksi langsung, akan tetapi memiliki kekuasaan untuk mengklaim sebagian dari hasil produksi secara langsung maupun tidak langsung.

Klaim hasil produksi baik langsung maupun tidak langsung didasarkan atas penguasaan mereka atas berbagai jenis sarana produksi, terutama tanah. Hubungan-hubungan tersebut Wiradi (2009) menterjemahkan secara konkret dalam konteks hubungan antara “siapa” dengan “siapa”, maka berdasarkan masalah-masalah yang secara empiris muncul di Indonesia seperti: 1) antara petani dan buruh tani, 2) antara petani dan bukan petani, 3) antara petani dan perusahaan (HGU/HPH/pertambangan, dll), 4) antara petani dan proyek-proyek pemerintah, 5) antara proyek-proyek pemerintah sendiri, 6) antara petani dan satuan desa/lembaga adat, dan 7) antara perusahaan besar (HGU/HPH/pertambangan, dll) dan Negara. Dalam setiap hubungan agraris yang dijelaskan, terdapat tiga atribut yang melekat yaitu masalah kekuasaan, masalah kesejahteraan ekonomi dan masalah hierarki sosial (Ghose 1983 dalam Wiradi 2009). Ketiga atribut ini membentuk jaringan hubungan yang saling terkait satu sama lain dan pada gilirannya akan menentukan corak kehidupan secara keseluruhan.

2.1.2 Struktur Agraria

Tata hubungan antar manusia yang menyangkut pemilikan, penguasaan dan peruntukan tanah lalu menjadi mapan disebut sebagai “Struktur Agraria”. Dalam masyarakat agraris, masalah pemilikan dan penguasaan tanah merupakan faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan. Masalah tersebut bukan hanya sebatas menyangkut hubungan teknis antara manusia dengan tanah melainkan menyangkut hubungan sosial manusia dengan manusia yang diartikan mencakup hubungan orang-orang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi, seperti hubungan sewa antara pemilik tanah dan penggarap, hubungan

(24)

pengupahan antara petani majikan dengan buruh tani, hubungan kredit dan/atau dagang antara pemilik modal dan petani, hubungan petani dengan penguasa melalui mekanisme pajak dan sebagainya.

Wiradi (2009) menjelaskan bahwa hakikat struktur agraria merupakan masalah yang menyangkut susunan pembagian tanah, penyebaran atau distribusi tanah yang pada akhirnya menyangkut hubungan kerja dan proses produksi. Ada dua istilah penting yang menyangkut struktur agraria yaitu land tenure dan land

tenancy. Land tenure memiliki arti hak atas tanah atau penguasaann tanah. Istilah

ini biasanya dipakai untuk menguraikan masalah-masalah pokok mengenai status hukum dari penguasaan tanah seperti hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Sedangkan land tenancy berasal dari kata tenant yang memiliki arti orang yang memiliki, memegang, menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu yang menunjuk kepada pendekatan ekonomis. Artinya, penelaahannya meliputi hak-hal yang menyangkut hubungan penggarap tanah. Obyek penelaahan ini yaitu pembagian hasil antara pemilik dan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-investasi, besarnya nilai sewa dan lain sebagainya.

Struktur agraria menurut Wiradi (2009) ini perlu memperhatikan dan membedakan antara istilah pemilikan, penguasaan dan penguasahaan tanah. Kata “pemilikan” menunjukan kepada penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya saja sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Kata “pengusahaan” sangat jelas menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif. Tatanan hubungan dalam struktur agraria dapat berubah akibat kerjanya berbagai faktor yang bekerja dan mempengaruhinya. Wiradi menyebutkan ada lima faktor yang menyebabkan perubahan tata hubungan itu antara lain yaitu 1) perubahan struktur politik, 2) perubahan orientasi politik, 3) perubahan kebijakan ekonomi, 4) perubahan teknologi dan 5) faktor-faktor lain sebagai turunan dari keempat faktor tersebut. Proses perubahan tata hubungan ini dapat terjadi secara perlahan atau dapat terjadi melalui, juga menimbulkan suatu gejolak sosial.

(25)

2.1.2.1 Pengertian Tanah dan Penguasaannya

Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah yaitu permukaan bumi atau lapisan yang diatas sekali. Pengertian tanah diatur dalam pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut:

“atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”.

Menurut Firey dalam Johara (1992) penggunaan tanah menunjukkan pengaruh budaya yang besar dalam adaptasi ruang, dan berkesimpulan bahwa ruang merupakan lambang bagi nilai-nilai sosial misalnya penduduk sering memberikan nilai sejarah yang besar terhadap sebidang tanah). Berhubungan dengan pendapat Firey tersebut, Chapin dalam Johara (1992) menggolongkan tanah dalam tiga kelompok yaitu yang memiliki:

1. nilai keuntungan: yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual-beli tanah dipasaran bebas

2. nilai kepentingan umum: yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat

3. nilai sosial: yang merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan (misalnya sebidang tanah yang dipelihara, peninggalan, pusaka, dan sebagainya), dan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan dan sebagainya.

Pertimbangan dalam kepentingan tanah diberbagai wilayah mungkin berbeda tergantung kepada struktur sosial penduduk tertentu akan diberikan prioritas bagi fungsi tertentu kepada tanah. Jika hal ini tidak dipenuhi, maka kehidupan masyarakat tersebut akan dirugikan.

Lahan memiliki arti lebih luas dari pada makna tanah, jika mengingat bahwa tanah merupakan salah satu aspek dari lahan. Pemanfaatan lahan cenderung mendekati pola ke arah pendayagunaan dan pengaturan fungsi ketatalaksanaan lahan. Menurut Bappenas-PSE-KP (2006) dalam Darwis (2009), pemanfaatan lahan merupakan resultan dari interaksi berbagai macam faktor yang

(26)

menentukan keputusan baik perorangan dan kelompok maupun pemerintah.1 Sama halnya yang tercantum dalam ruang lingkup agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Permukaan bumi sebagai bagian dari bumi juga disebut dengan tanah. Tanah yang merupakan salah satu aspek dari lahan yang dimaksudkan bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya melainkan hanya mengatur salah satu aspek yaitu tanah dalam pengertian yurudis yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah.

Pengertian “penguasaan” dapat dipakai dalam artian fisik dan dalam arti yuridis, beraspek privat maupun publik. Penguasaan secara yuridis merupakan penguasaan yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberikan kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang menjadi haknya, misalnya pemilik tanah mempergunakan dan mengambil manfaat dari tanah yang menjadi haknya, tidak diserahkan kepada pihak lain.2 Adanya penguasaan secara yuridis walaupun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang hak secara fisik, namun kenyataannya penguasaan fisik dilakukan oleh orang lain. Misalnya saja, seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakannya sendiri melainkan tanah tersebut disewakan kepada orang lain. Tetapi ada juga yang penguasaan secara yuridis tidak memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik, misalnya saja kreditor atau bank sebagai pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan secara yuridis atas tanah yang telah dijadikan jaminan oleh pemiliknya. Akan tetapi secara fisik penguasaannya tetap pada pemegang hak atas tanah.

Menurut Sudiyat dalam Hamid (1992) bahwa demi hidup dan penghidupannya untuk kepentingan setiap bagian fungsi hidupnya (pekerjaan, sandang, pangan, kandang, istirahat dan rekreasi) setiap orang membutuhkan penguasaan atas sebagian permukaan bumi walaupun hanya sementara dan tidak

1 Valeriana Darwis. Keragaan Penguasaan Lahan Sebagai faktor Utama Penentu Pendapatan

Petani. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2009 .http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/MP_Pros_A8_2009.pdf. diakses tanggal 20 November 2010

2 Urip Santoso, S.H., M.H. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Kencana Prenada Media

(27)

menentu.3 Dari hal yang dikatakan di atas jelaslah bahwa penguasaan atas tanah bagi setiap orang merupakan hal yang mutlak adanya baik dalam nama, jenis, jumlah maupun intensitasnya. Berkaitan dengan intensitas, hak menguasai dapat bergerak mulai dari kadar yang paling lemah hingga kepada bobot yang paling kuat, seperti hak pakai, memetik kemudian menikmati hasil, hak memelihara/mengelola/mengurus, hak memiliki sampai kepada hak mengasingkan dalam segala bentuk.

Ketidakmerataan penguasaan atas tanah pertanian menyebabkan kemiskinan di desa khususnya bagi para petani. Hak menguasai atas tanah yang lemah menyebabkan para petani kecil tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya. Para petani yang menguasai sebagian tanah yang kecil berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara menyewakan ataupun menjual tanah yang mereka miliki. Hal ini mereka lakukan karena tanah yang mereka kuasai pun tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka dan mereka terpaksa menjadi buruh di tanah sendiri. Terjadinya ketidakmerataan akses penguasaan atas tanah ini menjadikan bertambahnya petani tidak bertanah dan mengakibatkan posisi kaum petani ini termarginalisasi dari kehidupan sosialnya.

2.1.2.2 Pola Penguasaan Lahan

Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah. Tanah yang dimaksud adalah tanah yang berada dipermukaan bumi atau bidang tanah yang diukur dalam meter persegi dan dipergunakan di tempat tanah itu berada atau disebut terplaatse (Sayogyo 1982) yang merupakan sumber hidup dan kehidupan manusia baik tanah sawah, kebun, tempat berburu maupun tempat mengembala ternak dan sebagainya.4 Penguasaan tanah berarti suatu hak dan wewenang untuk mengatur, mengelola, menggunakan dan memberikan hak milik tanah dalam suatu wilayah kekuasaan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik hukum adat maupun peraturan lainnya. Pola pengaturan adalah suatu perangkat norma yang mengatur praktek ideal kehidupan masyarakat. Aturan-aturan tersebut menentukan tata cara kerjasama dan koordinasi anggota masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya serta membantu dalam menentukan

3 ibid, h.41 4

(28)

hak serta kewajiban masing-masing (Hayami dan Kikuchi, 1982 dalam Kasryno 1984 dalam Joula 2002).

Mengambil pemikiran Wiradi bahwa pola pengaturan sumberdaya agraria yang ada berdasarkan pada UUPA tahun 1960 yang secara hukum adalah 1) “peruntukan” (mana untuk keperluan negara, mana untuk masyarakat, mana untuk perorangan), 2) cara memperoleh, 3) hak penguasaan, 4) masalah pengguanaannya. Dapat dilihat bahwa kelembagaan agraria merupakan suatu bentuk kegiatan mengatur sumber-sumber agraria yang ada dan melihat hubungan yang saling tergantung (interdependensi) antara manusia dan manusia terhadap tanah serta hubungan manusia dengan tanah.

Masyarakat Jawa yang agraris tanah merupakan sumber utama pendapatan. Menurut tradisi, Raja adalah pemilik tanah satu-satunya yang secara teoritis berkuasa atas tanah. Pangeran dan priyayi diberi lungguh (apanage) atau tanah gaji untuk keperluan sendiri yang biaya kegiatan yang dilakukan. Namun,

lungguh ini akan dikembalikan kepada raja apabila pemegangnya meninggal

dunia atau dipecat. Dengan pemilikan oleh raja atas seluruh tanah serta penggunaannya mencegah tumbuhnya kaum ningrat penguasa tanah yang kokoh.

Lungguh tersebut tidak dihitung berdasarkan luas dalam hektar tetapi menurut

jumlah penduduknya (cacah). Ada faktor yang mencegah berkembangnya pengertian yang kuat mengenai hak milik atas tanah diantara kaum priyayi yaitu agar dapat menguasai kaum elit, raja mengatur supaya cacah pengikut seorang pemegang lungguh tercerai-berai tinggalnya sehingga memudahkan raja untuk melaksanakan kebijaksanaannya dan mencegah seorang lungguh mempunyai suatu kesatuan tanah yang besar tempat seluruh pengikutnya berkumpul.

Kaum elite terpisah jauh dari produksi dan tidak menghargai tanah namun tidak demikian dengan para petani. seorang petani penggarap tanah dan penghidupan utamanya diperoleh dari tanah. Perbedaan kelas antara kaum petani berdasarkan atas cara dia menguasai tanah. Petani penguasa tanah disebut sikep (mereka yang menanggung beban tanah) mempunyai numpang (tanggungan) juga belum menikah (bujang) yang merupakan lapisan terendah dalam lingkungan desa. Makanan dan tempat tinggal petani numpang tergantung kepada sikep kepada siapa dia mempersembahkan seluruh pekerjaannya. Disamping sikep yang

(29)

elite di antara kaum petani dan numpang ada golongan petani menengah. Petani

numpang yang menikah dan telah cukup lama melayani sikepnya diberi

pembagian dari tanah desa atau persekutuan. Namun, pembagian tanah persekutuan tidak dikuasai secara tetap oleh petani menengah melainkan digilirkan diantara petani-petani menengah lainnya. Dapat kita lihat pada Tabel 12 bentuk penguasaan tanah pertanian dan penyebarannya di Jawa dan Madura.

Tabel 2. Penyebaran Tanah Pertanian di Jawa Tahun 1984

Karesidenan Jumlah desa

disurvei Desa tanpa sawah Desa tanpa tegalan Banten Karawang Kabupaten Priangan Cirebon 56 10 105 53 1 1 1 4 15 15 Tegal Banyumas Pekalongan Bagelen Semarang Jepara 32 40 26 50 50 34 1 1 3 2 18 8 13 5 25 22 Rembang Madiun Kediri Surabaya Pasuruan Probolinggo Besuki Banyuwangi Madura 54 63 59 56 44 26 36 6 6 2 2 9 3 3 4 17 38 22 33 17 6 5 1

Sumber: Hiroyoshi Kano. Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa.Yayasan Obor Indonesia.1984, h.43

Pola penguasaan tanah orang jawa cenderung berada diantara dua kutub yang berlawanan yaitu antara pemilikan komunal yang kuat atau hak ulayat dan pemilikan perorangan dengan beberapa hak istimewa komunal. Akibat adanya tekanan penduduk yang besar dan tidak ada cadangan tanah baru yang dibuka menjadi tanah pertanian, pola-pola penguasaan perorangan semakin bertambah banyak dengan mengorbankan pengawasan komunal yang dulu pernah ada. Bentuk bentuk penyakapan tanah dan bagi hasil menunjukkan banyak ragam

(30)

kelenturan dan strata sosial tradisional masyarakat telah terganggu dan apa yang disebut kesetiaan “fungsional” baru menjadi nyata di masyarakat desa, terutama di kalangan proletariat pedesaan.

Penguasaan lahan di daerah Jawa lebih besar diakibatkan kebijakan pembangunan pada masa lalu yang mengutamakan pencetakan sawah di pedesaan Jawa daripada di luar Jawa. Kebijakan pembangunan tersebut dilatarbelakangi oleh tiga faktor yaitu 1) sumberdaya lahan di Jawa dapat dijadikan sawah lebih tersedia dibandingkan diluar Jawa, 2) anggaran atau biaya pencetakan sawah di Jawa lebih murah, dan 3) masalah kelangkaan pangan lebih tinggi di Jawa sehingga diprioritaskan di Jawa karena secara langsung hal itu akan mengurangi masalah pangan tersebut.

Bentuk tradisional yang paling umum di Jawa adalah hak penguasaan secara komunal. Dengan adanya sistem ini maka semua tanah baik yang dapat ditanami maupun yang merupakan tanah cadangan, dan petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa. Bentuk ini tidak menutup adanya hak atas tanah yang dikuasai seorang desa sebagai bagian dari tanah komunal. Dengan bentuk ini, seorang tersebut dapat menggunakan terus-menerus sebidang tanah yang cukup luas untuk menghidupi dirinya dan keluarga. Tanah tersebut pun dapat diwariskan kepada ahli warisnya untuk dimanfaatkan, walaupun pengalihan hak (alienation) keluar desa tidak mungkin. Namun, semakin lama penguasaan atas tanah di Jawa semakin meningkat hak-hak pribadi atas tanah sehingga mengakibatkan melemahnya pengawasan komunal. Tahun 1927 Poertjaja Gadroen dan Vink di daerah Jawa Timur menemukan bentuk-bentuk pemilikan tanah sebagai berikut:5

1. pemilikan tanah komunal dengan penggarap secara bergiliran dan luas tanah garapan berbeda ukuran. Dewan desa mempunyai wewenang untuk memperbanyak jumlah penggarap yang ikut serta;

2. pemilikan tanah komunal, tetapi dengan jumlah penggarap terbatas;

3. pemilikan tanah komunal dengan penggarap bergiliran, tetapi dengan tanah garapan yang luasnya tetap;

5 Justus M van der Kroef. Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa

(31)

4. pemilikan tanah komunal dengan hak-hak perorangan tetentu. Hak-hak tersebut tidak pasti dapat diwariskan. Dewan desa harus menentukan siapa yang akan mendapatkan tanah tersebut setelah penggarap sebelumnya meninggal;

5. seperti pada no.4 tetapi dengan kepastian hak waris;

6. seperti pada no.5 tetapi dengan hak menjual sebagian tanah yang bersangkutan kepada penduduk lain sedesa;

7. seperti pada no.5 tetapi dengan hak menjual sebagian tanah menjual sebagian tanah kepada orang bukan penduduk sedesa, asalkan kewajiban kerja untuk desa dapat dipenuhi oleh pembelian bukan sedesa tersebut;

8. pemilikan tanah pribadi yang dapat diwariskan, tetapi dibatasi kewajiban partisipasi dalam pekerjaan komunal;

9. pemilikan tanah pribadi yang dapat diwariskan tanpa kewajiban kerja komunal selama sebagian tanah garapan lainnya tetap tunduk kepada aturan kewajiban kerja komunal; dan

10. pemilikan tanah pribadi bercorak barat dan dapat digadaikan (dihipotekkan).

2.1.3 Pemilikan Tanah dan Pelapisan Masyarakat Desa 2.1.3.1 Pengertian Diferensiasi dan Statifikasi

Diferensiasi terutama digunakan dalam teori perubahan sosial serta merupakan konsep penting dalam menganalisa perubahan sosial dan dalam membandingkan masyarakat desa. Diferensiasi merujuk pada proses dimana seperangkat aktivitas sosial yang dibentuk oleh sebuah institusi sosial yang terbagi di antara institusi sosial yang berbeda-beda. Diferensiasi juga menggambarkan terjadinya peningkatan spesialisasi bagian-bagian masyarakat yang diikuti terjadinya peningkatan heterogenitas di dalam masyarakat desa. Berdasarkan hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria, diferensiasi sosial masyarakat pedesaan (masyarakat agraris) yang berlangsung akan menunjuk pada gejala terjadinya penambahan kelas-kelas petani. Diferensiasi tersebut kemudian akan membentuk struktur sosial masyarakat agraris yang semakin berlapis (terstratifikasi) atau struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi.

(32)

Suatu struktur sosial masyarakat agraris bukanlah suatu struktur yang tetap sepanjang masa, tetapi secara dinamis struktur sosial masyarakat tersebut akan berubah mengikuti perubahan yang terjadi pada lingkungan sekitarnya, termasuk berlangsungnya transformasi moda produksi dan transformasi struktur agraria yang dijalankan kaum tani. Pada kasus masyarakat agraris, Hayami dan Kikuchi (1987) dalam Fadjar (2009) mengartikan stratifikasi sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang melipatgandakan sub-kelas masyarakat agraris dalam rangkaian spektrum dari buruh tani tunakisma sampai tuan tanah yang tidak mengusahakan sendiri tanahnya. Sementara itu, polarisasi diartikan sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang mengkutubkan masyarakat agraris menjadi hanya dua lapisan, yakni lapisan “petani luas komersial yang kaya” dan lapisan “buruh tani tunakisma yang miskin”.6

Pendapat lain mengenai pengertian startifikasi dikemukakan oleh Sorokin dalam Soekanto (1982) Sistem lapisan merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Sistem lapisan masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan social stratification.

Social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke daalm

kelas-kelas secara bertingkat (Hierarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang rendah. Sorokin pun mengatakan bahwa dasar dan inti lapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban, dan tanggung jawab nilai-nilai sosial pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat.

Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah sebagai berikut:

1. ukuran kekayaan: seseorang yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk lapisan teratas. Kekayaan tersebut dapat dilihat dari bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-cara berpakaian serta bahan pakaian yang dipakai, kebiasaan berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya; 2. ukuran kekuasaan: Seseorang yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai

wewenang terbesar menempati lapisan teratas;

3. ukuran kehormatan: ukuran kehormatan tersebut terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan/atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati

6 Undang Fadjar. Transformasi Struktur Agraria dan Diferensiasi Sosial pada Komunitas Petani

(33)

mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat tradisional; dan

4. ukuran ilmu pengetahuan: ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Namun ukuran tersebut terkadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang negatif karena bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran tetapi gelar kesarjanaannya.

2.1.3.2 Struktur Pelapisan Masyarakat

Menurut Fadjar dkk (2002) perubahan struktur sosial masyarakat agraris menunjukkan kepada mekanismenya yang mengarah ke bentuk stratifikasi (seperti berlangsungnya sistem pewarisan dan sistem bagi hasil) dan ke bentuk polarisasi (seperti berlangsungnya sistem pembelian kebun dan penyewaan kebun oleh petani kaya). Namun, Scott (1989) mengemukakan bahwa bentuk kapitalis dalam pemilikan tanah yang disertai dengan pertambahan penduduk yang pesat telah mendorong perubahan bentuk struktur sosial masyarakat agraris, terutama tumbuhnya satu kelompok besar yang terdiri dari penyewa tanah dan penggarap bagi hasil (bukan buruh upahan).7 Terlebih lagi menurut Sajogyo (1985) dan Rusli (1982) menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan semakin kecilnya persediaan lahan rata-rata per orang, semakin bertambahnya penduduk tak bertanah, dan munculnya fraksionalisasi lahan.8

Struktur kelas dalam masyarakat desa sangat menekankan fungsi ekonomi dan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dari anggota masyarakat desa. 9

1. golongan tuan tanah: terdiri dari para pemilik tanah lima sampai ratusan hektar yang disewakan kepada penyakap. Kebanyakan dari mereka merupakan orang kaya baru dan mampu mengumpulkan tanah selama masa pendudukan Jepang dan Zaman Revolusi;

2. petani kaya: terdiri dari mereka yang memiliki tanah (mis: 5-10 hektar) tetapi dikerjakannya sendiri. Meskipun golongan ini dapat menyewakan tanahnya,

7 Undang Fadjar. Transformasi Struktural Agraria dan Diferensiasi Sosial pada Komunitas Petani

(Disertasi). 2009, h. 37

8 Ibid, h.37 9

(34)

namun mereka lebih senang mempekerjakan buruh tani daripada penyakap untuk menggarap tanahnya;

3. petani sedang: memiliki tanah sampai 5 hektar sekedar cukup untuk kepentingan sendiri dan tidak mempekerjakan buruh tani atau penyakap. Sebagian besar golongan ini berkecimpung dalam bidang perdagangan hasil surplus pertanian;

4. petani miskin: dicirikan oleh pemilikan tanah yang sempit (kurang dari 1 hektar) yang tidak mencukupi untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. Sebagian besar mereka terpaksa bekerja sebagai buruh tani atau petani bagi hasil; dan

5. buruh tani tak bertanah: banyak yang tidak memiliki alat-alat pertanian sama sekali, dan bertempat tinggal diatas tanah orang lain atau menumpang. Bersama petani miskin, secara politik mereka merupakan unsur yang mudah meledak di masyarakat pedesaan Jawa.

Secara teori, struktur kelas di atas dapat dibagi menjadi lima golongan seperti yang disebutkan di atas. Kenyataannya, desa yang mengalami stratifikasi sosial berdasarkan luasan tanah yang dimiliki penduduk desa terbagi menjadi empat golongan petani pedesaan yaitu petani kaya berlahan luas, petani berlahan sedang, petani berlahan sempit dan buruh tani. Hanya 10-20 persen luasan tanah yang dikuasai penduduk desa sedangkan sisanya telah dikuasai oleh mayoritas orang-orang dari luar desa. Pendapatan rumah tangga masyarakat agraris diperoleh dari kegiatan usahatani yang memerlukan lahan sebagai faktor produksi utama. Bagi masyarakat desa, kepemilikan atau penguasaan lahan selain mencerminkan kesejahteraan petani juga sangat penting dalam kehidupan masyarakat desa karena identik dengan status sosial rumah tangga.

2.2 Kerangka Pemikiran

Penguasaan lahan merupakan kemampuan seseorang dalam memiliki, mengelola, memanfaatkan dan memperoleh keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan lahan. Penguasaan lahan biasanya berkaitan dengan bentuk hubungan antara manusia dengan lahan. Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk hubungan penguasaan lahan, seperti pemilik sekaligus penggarap; pemilik bukan penggarap;

(35)

bukan pemilik, penggarap; bukan pemilik dan bukan penggarap. Tingkat penguasaan lahan dipengaruhi oleh faktor yaitu akses terhadap lahan dan kebijakan pemerintah. Akses terhadap lahan dapat dilihat dari kemampuan petani dalam mengelola, memanfaatkan dan memperoleh lahan, sedangkan kebijakan pemerintah dapat dilihat dari peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah terkait dengan hak akses terhadap lahan.

Gambar 1. Bagan Kerangka Analisis Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa

Keterangan:

= mempengaruhi = kualitatif

= memiliki hubungan = kuantitatif

= mempengaruhi (kualitatif) = keterkaitan

Tingkat penguasaan lahan dapat dilihat dari luas lahan yang dikuasai dan status lahan yang dikuasai. Luas lahan adalah ukuran lahan yang dimiliki oleh seseorang dalam satuan hektar, sedangkan status lahan adalah suatu ukuran yang dimiliki seseorang dalam hal bentuk hubungan dengan tanah. Adapun dengan

Faktor-faktor penguasaan lahan:

akses terhadap lahan kebijakan pemerintah Kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani: Tingkat penguasaan lahan: luas lahan yang

dikuasai status kepemilikan lahan tingkat penda patan tingkat pendid ikan kepemilikan asset dan modal Karakteristik rumah tangga petani: jumlah tanggungan rumah tangga pendidikan keluarga tingkat ketergantun gan pada lahan

(36)

tingkat penguasaan lahan yang dilihat dari luas lahan dan status lahan akan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani. Kondisi sosial ekonomi dapat dilihat dari tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan kepemilikan asset dan modal rumah tangga petani. Pertama, tingkat pendapatan dilihat dari besarnya pendapatan petani yang diterima setiap bulannya. Kedua, tingkat pendidikan dapat dilihat dari kemampuan petani dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anggota keluarga (usia sekolah). Pengukuran tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan dapat dilihat dari karakteristik rumah tangga petani yang dilihat dari jumlah tanggungan keluarga, pendidikan keluarga dan ketergantungan terhadap lahan. Ketiga, yaitu kepemilikan asset dan modal dapat dilihat dari lahan yang dikelola atau dimiliki petani untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga petani.

2.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian, peneliti mengajukan satu hipotesis utama yaitu tingkat penguasaan lahan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat desa.

2.4 Definisi Operasional

1. Luas lahan adalah ukuran lahan yang dimiliki oleh responden dalam satuan hektar. Untuk penentuan kategori pengukuran dilakukan berdasarkan hasil rataan luas lahan menurut kondisi lapang.

Pengukuran:

a. Luas (> 1) = kode 3 b. Sedang (0,5-1) = kode 2 c. Sempit (< 0,5) = kode 1

2. Status hubungan sosial dengan lahan lahan adalah suatu ukuran yang dimiliki oleh responden dalam hal bentuk hubungan dengan tanah.

Pengukuran:

Pemilik-penggarap = kode 3

Pemilik- bukan penggarap = kode 2 Bukan pemillik-penggarap = kode 1 Bukan pemilik-bukan penggarap = kode 0

(37)

3. Stratifikasi sosial yaitu jenjang pelapisan sosial yang terdapat di dalam masyarakat dengan ukuran. Dalam penelitian ini stratifikasi sosial berdasarkan luas lahan yaitu luas, sedang, dan sempit dengan ukuran sebagai berikut: Luas (> 1) = kode 3

Sedang (0,5-1) = kode 2 Sempit (< 0,5) = kode 1

4. Kepemilikan asset dan modal merupakan lahan yang dimiliki atau dikelola oleh responden untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Asset adalah lahan yang dimiliki seseorang atau responden yang tidak digarap untuk memenuhi kebutuhan hidup sedangkan modal adalah lahan yang mereka miliki atau kuasai dan digarap untuk memenuhi kebutuhan hidup responden. Dapat diukur sebagai berikut:

1. memiliki lahan sebagai asset dan sebagai modal = kode 3 2. memiliki lahan sebagai asset dan bukan sebagai modal = kode 2 3. memiliki lahan sebagai modal saja = kode 1 4. tidak memiliki lahan sebagai asset dan modal = kode 0 6. Tingkat ketergantungan pada lahan adalah sejauh mana lahan dianggap

penting dalam memenuhi kebutuhan responden yang diukur berdasarkan persentase pendapatan pertanian dari keseluruhan total pendapatan rumah tangga responden.

Pengukuran:

1. tinggi = kode 2 2. rendah = kode 1

7. Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan responden dalam memenuhi kebutuhan hidup sampai sekarang.

Pengukuran jumlah tanggungan ini dapat dikategorikan dengan sedikit dan banyaknya jumlah tanggungan keluarga. Pengukurannya yaitu :

> 4 = Banyak 2 < x ≤ 4 = Sedang ≤ 2 = Kecil

(38)

8. Pendidikan keluarga adalah kemampuan responden untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak. Pengukuran pendidikan keluarga dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu:

Perguruan tinggi,DI,DII,DIII/Sederajat (Sangat berpendidikan) = kode 3 Tamat SMA, tamat SMP/sederajat (Berpendidikan) = kode 2 SD, tidak tamat SD, tidak sekolah, (Kurang berpendidikan) = kode 1

(39)

BAB III

PENDEKATAN LAPANGAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan tempat penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Pemilihan tempat penelitian didasarkan pada adanya fakta bahwa setengah wilayah di Desa Cigudeg ini dikuasai oleh PT Perkebunan Nasional VIII. Lahan pertanian Desa ini luasnya mencapai 164 hektar namun, mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai pedagang dan wirausaha. Mata pencaharian di lahan pertanian tidak dijadikan sebagai pendapatan utama padahal sekitar 1.406 jumlah rumahtangga yang bekerja pada lahan pertanian (BPS 2008) sehingga desa ini menarik untuk dijadikan lokasi penelitian.

Dari sembilan dusun di desa ini dipilih dusun sembilan yaitu Kampung Cijengkol RW 18 karena banyak warga miskin di kampung ini sedangkan mata pencaharian sebagian dari mereka adalah petani. Pemilihan kampung juga dilakukan berdasarkan fakta bahwa kelompok tani yang ada di kampung ini tidak aktif seperti di kampung-kampung lainnya yang masih wilayah Desa Cigudeg. Pengumpulan data dan pengolahan data dari penelitian ini dilakukan pada bulan April-Mei 2011. Pengolahan data dan hasil penyusunan penelitian selanjutnya dilakukan pada bulan Mei-Juni 2011.

Tabel 3. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011

Kegiatan Maret April Mei Juni Juli

3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 Penyusunan proposal dan instrument Penelitian Pengumpulan data Pengolahan data Penyusunan skripsi Ujian skripsi

(40)

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif didukung oleh pendekatan kuantitatif. Dalam pendekatan kualitatif metode yang dilakukan melalui wawancara mendalam dan pengamatan (observasi) lapangan. Sedangkan dalam pendekatan kuantitatif menggunakan metode survai. Penelitian survai adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun 1989).

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari lapangan atau hasil dari kuesioner yang disebarkan dan diisi oleh responden secara langsung. Selain itu, digunakan pula wawancara mendalam dengan informan. Data sekunder diperoleh melalui sumbernya yang berasal dari monografi desa.

Subjek dalam penelitian ini ada dua yaitu responden dan informan. Data penelitian kuantitatif diperoleh melalui kuesioner yang diberikan kepada responden dimana responden adalah orang yang memberikan informasi mengenai dirinya sendiri. Hasil kuesioner tersebut dicatat sesuai apa adanya, kemudian diolah dengan melakukan analisis dan interpretasi, selanjutnya dilakukan pembuatan kesimpulan tentang hasil kuesioner. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara kepada, responden, informan dan analisis dokumen dan observasi secara langsung di lapangan kepada informan.

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh rumah tangga di Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor yang jumlahnya 130 KK. Populasi diambil berdasarkan informasi yang diperoleh dari monografi Desa Cigudeg. Unit analisis penelitian ini adalah rumat tangga petani di kampung tersebut. Penentuan responden dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik stratified random sampling. Artinya, populasi yang tidak homogeny dibagi-bagi dalam lapisan-lapisan yang seragam, dan dari setiap lapisan dapat diambil sampel secara acak. Maka dibuatlah kerangka sampling untuk masing-masing subpopulasi. dengan metode ini, semua lapisan dapat terwakili (Singarimbun 1989). Responden dibagi kedalam tiga kelompok atau kategori berdasarkan luas lahan yang mereka kuasai untuk diusahakan. Sebelum

(41)

melakukan pembagian responden kedalam tiga kategori, dilakukan beberapa tahap dalam pengambilan responden yaitu:

1. dilakukan sensus penelitian awal untuk mengetahui warga yang menguasai lahan pertanian (sawah maupun kebun) yang terdapat di Kampung Cijengkol RW 18 sekitar 130 KK.

2. setelah sensus penelitian awal dilakukan, kemudian didapat warga yang menguasai lahan pertanian (sawah dan kebun) sekitar 84 KK yang ada di RW 18 Kampung Cijengkol. Lalu dilakukan pengkategorian dari hasil yang di dapat dari sensus dan 84 KK tersebut ke dalam pengkategorian luas lahan Sempit, Sedang dan Luas.

3. Dari pengkategorian tersebut dipilih sampel yang ditentukan berdasarkan hasil perhitungan rumus Slovin sebagai berikut:

N n = 1+Ne² Keterangan: n = jumlah sampel N = jumlah populasi

e = nilai kritis (batas ketelitian) yang digunakan (10 %)

4. Setelah diketahui bahwa responden yang didapat dari rumus tersebut adalah 46 responden, maka dilakukan pengambilan responden berdasarkan kategori yang disebutkan di atas yaitu responden yang memiliki lahan luas, sedang, dan sempit.

5. Penentuan responden berdasarkan kategori dilakukan dengan menggunakan acak yaitu setiap kertas diberi nama lalu kemudian dikocok. Nama yang keluarlah yang dijadikan responden. Penentuan jumlah responden dari setiap kategori dilakukan menggunakan proporsi.

Pengambilan jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi, dengan tujuan untuk memperkaya informasi mengenai pengaruh penguasaan lahan masyarakat desa. Pengambilan informan dilakukan secara snowball sampling yaitu pertama-tama saya diantar oleh salah satu staf desa menuju ke Kampung Cijengkol dan langsung menemui Ketua RW 18. Setelah itu, peneliti di anatar oleh Ketua RW untuk mengetahui lebih jelas mengenai petani di kampung kepada

Gambar

Tabel 1. Jumlah Penduduk, Luas Desa dan Kepadatannya di Kecamatan Cigudeg                Tahun 2008
Tabel 2. Penyebaran Tanah Pertanian di Jawa Tahun 1984  Karesidenan  Jumlah desa
Gambar 1. Bagan Kerangka Analisis Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap  Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa
Tabel 4. Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan Menurut Umur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ekstrak daun lamtoro dan parasetamol (kontrol positif) dalam pengujian efek analgetik pada hewan uji (mencit) ini menggunakan suspensi CMC untuk

Ekosistem perairan, baik perairan sungai, danau, maupun perairan pesisir dan laut merupakan suatu himpunan integral dari komponen abiotik (fisik dan kimia) dan

(5) Penerapan jarwo transplanter akan optimal jika sistem pembibitan benih padi dilakukan dengan cara yang sesuai tuntutan teknis pengoperasian alsin tersebut

Pemilihan judul penelitian dilandasi beberapa pertimbangan, antara lain belum ada yang mengangkat topik jenis ini; mengetahui persoalan sintaksis bahasa Indonesia

Berdasarkan contoh dua perkara di atas, terlihat bahwa terdapat disparitas pidana yang sangat jauh berbeda antara perkara Bachrul Ullum yang dianggap melanggar Pasal 5 Ayat (2)

1) Berdasarkan hasil kuesioner yang telah dilakukan kepada mahasiswa UNSRAT, bahwa sebagian mahasiswa.. UNSRAT belum mengenal semua lokasi di UNSRAT yaitu 79,8% dan

Penelitian smart city bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di perkotaan dengan konsep pengelolaan kota dengan menggunakan kombinasi antara

Pada Independent line venting system yang telah terpasang pada berbagai ripe kapal tanker 101, t erdiri dan pipa yang dipasang pada tiap tangki muatannya dan