• Tidak ada hasil yang ditemukan

RECEPTION ANALYSIS MASYARAKAT SURABAYA TENTANG SINETRON GAJAH MADA DI MNCTV.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RECEPTION ANALYSIS MASYARAKAT SURABAYA TENTANG SINETRON GAJAH MADA DI MNCTV."

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sar jana pada FISIP UPN “Veteran” J awa Timur

oleh :

CHEVY YUWANDA PUTRA UTAMA

NPM. 0943010079

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

(2)

Oleh :

CHEVY YUWANDA PUTRA UTAMA NPM. 0943010079

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skr ipsi Pr ogram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur Pada Tanggal 09 Mei 2014

Pembimbing Utama

Dr s. Kusnarto, M.Si NIP. 19580801 198402 1001

Tim Penguji: 1. KETUA

Dr. Catur Sur atnoaji, M.Si NPT. 368 049 400 281

2. SEKRETARIS

Dra. Herlina Suksmawati, M.Si NIP. 1 9641225 199309 2001

3. ANGGOTA

Dr s. Kusnarto, M.Si

NIP. 19580801 198402 1001

Mengetahui, DEKAN

(3)

Disusun oleh :

CHEVY YUWANDA PUTRA UTAMA 0943010079

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi Menyetujui,

PEMBIMBING

Dr s. Kusnarto, M.Si. NIP. 19580801 198402 1001

Mengetahui, DEKAN

(4)

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat diberikan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul : RECEPTION ANALYSIS MASYARAKAT SURABAYA TENTANG SINETRON GAJ AH MADA DI MNCTV

Penulis akui bahwa kesulitan selalu ada di setiap proses pembuatan skripsi ini, tetapi faktor kesulitan itu lebih banyak datang dari diri sendiri. Semua proses kelancaran pada saat pembuatan skripsi penelitian tidak lepas dari segala bantuan dari berbagai pihak yang sengaja maupun tak sengaja telah memberikan sumbangsihnya.

Selama melakukan penulisan penelitian ini, tidak lupa penulis menyampaikan rasa terima kasih pada Bapak Drs. Kusnarto, M.Si. sebagai dosen pembimbing yang telah membantu penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

Adapun penulis sampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Allah SWT. Karena telah melimpahkan segala karuniaNya, sehingga penulis mendapatkan kemudahan selama proses penulisan skripsi ini. 2. Prof. Dr. Ir. H. Teguh Suedarto, MP. Rektor UPN “Veteran” Jatim.

3. Ibu Dra. Hj. Suparwati, M.Si. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.

(5)

Serta tak lupa penulis memberikan rasa terima kasih secara khusus kepada : 1. Papa, Mama, Pakpoh, Bude, Apin, dan Opang yang telah mendukung dan

membimbing dengan penuh kasih saying serta perhatiannya secara moril maupun materil. Dan juga atas do’a yang tak henti-hentinya beliau haturkan untuk penulis. Serta Dobby dan Owy yang selalu menghibur penulis di saat jenuh.

2. Sang Pacar yang rela memberikan waktu dan tenaga untuk penulis, si endut Sub’hana Andhi Kurnia yang selalu memberikan saran dan membangkitkan semangat serta memberikan dukungan kepada penulis agar mampu menyelesaikan skripsi ini, dikala suka maupun duka dalam pengerjaan skripsi ini.

3. Tak lupa penulis ucapkan rasa terima kasih secara khusus kepada sahabat : Angga, Nuke, Panji, Lutfi, Febby, Rama, Tiwi dan lain-lain. Yang selalu memberi bantuan dan semangat pada penulis. Suwon rek gawe support e!!! Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah dibutuhkan guna memperbaiki kekurangan yang ada.

Akhir kata semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca, khususnya untuk teman-teman di Jurusan Ilmu Komunikasi.

(6)

vi

HALAMAN J UDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ………. ii

HALAMAN PERSETUJ UAN ... iii

KATA PENGANTAR ………... iv

DAFTAR ISI ……… vi

ABST RAK ……… viii

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar Belakang Masalah ………..……… 1

1.2 Perumusan Masalah ………..…... 5

1.3 Tujuan Penelitian ….………..…….. 5

1.4 Kegunaan Penelitian ………..…….. 5

1.4.1 Kegunaan Teoritis ………... 5

1.4.2 Kegunaan Praktis ……….. 6

1.4.3 Manfaat Penelitian ……… 6

BAB II KAJ IAN PUSTAKA ……….. 7

2.1 Penelitian Terdahulu ………. 7

2.2 Landasan Teori ………. 11

2.2.1 Komunikasi………..………... 11

2.2.2 Teori Reception Analysis………... 13

2.2.3 Kebudayaan………..………... 16

(7)

vii

2.2.7 Televisi ………. 29

2.2.8 Sinetron ………... 32

2.2.9 Masyarakat Surabaya ………... 34

2.2.10 Kerangka Berpikir ……….. 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………... 38

3.1 Metode Penelitian ……….………. 38

3.2 Definisi Operasional Konsep ……… 39

3.3 Lokasi Penelitian ………... 42

3.4 Informan dan Penelitian ……….………... 42

3.5 Teknik Pengumpulan Data ……….…………... 43

3.6 Teknik Analisis Data ………. 44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 46

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian ……….... 46

4.1.1 Sinetron Gajah Mada ……….. 46

4.2 Identitas Informan ………... 48

4.3 Analisis Data ………... 50

4.4 Pembahasan ………. 59

BAB V KESIMPUL AN DAN SARAN ………. 64

5.1 Kesimpulan ………. 64

5.2 Saran ………. 65

DAFTAR PUSTAKA

(8)

CHEVY YUWANDA PUTRA UTAMA, RECEPTION ANALYSIS MASYARAKAT SURABAYA TENTANG SINETRON GAJ AH MADA DI MNCTV

Penelitian ini didasarkan pada ketidaksesuaian cerita yang ditampilkan di sinetron Gajah Mada. Hal tersebut menjadikan peneliti ingin mengetahui bagaimana penerimaan masyarakat Surabaya terhadap sinetron Gajah Mada.

Pada penelitian ini peneliti menggunakan teori reception analysis oleh Ingunn Hagen dan Janet Wasko. Teori ini mengacu pada penelitian yang berfokus pada makna, produksi, dan pengalaman audiens dalam berinteraksi dengan media.

Metode yang digunakan untuk mengetahui permasalahan yang ada dengan menggunakan penelitian deskriptif kualitatif karena berusaha memahami penerimaan masyarakat Surabaya tentang sinetron Gajah Mada.

(9)

CHEVY YUWANDA PUTRA UTAMA, SURABAYA SOCIETY’S RECEPTION ANALYSIS ABOUT GAJ AH MADA TELEVISION SHOW ON MNCTV

This research is based on unrelevant story which is showed at Gajah Mada television show. That makes the researcher want to know how is the acceptance of Surabaya society on Gajah Mada television show.

On this research, the researcher is using the reception analysis theory by Ingunn Hagen and Janet Wasko. This theory depends on research which focused on meaning, production and audience’s experience on interacting with the media.

The method which is used to find out the problem using descriptive qualitative research because it tries to understand the acceptance of Surabaya society about Gajah Mada television show.

(10)

1.1Latar Belakang Masalah

Media massa televisi merupakan suatu sarana yang sangat efektif dalam mempengaruhi pola pikir manusia. Manusia memperoleh tambahan pengetahuan, informasi terkini dari belahan bumi lainnya dengan cepat, serta inspirasi salah satunya adalah akibat dari peranan televisi. Televisi sebagai suatu media massa mempunyai peranan yang penting dalam memudahkan masyarakat untuk mendapat informasi yang dibutuhkan.

Media massa adallah alat yang biasanya digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, dan televisi ( Cangara, 2004 : 134 ). Hingga detik ini media massa masih menjadi penentu atau pencetus sebuah opini publik yang ada di masyarakat. Media mampu menjangkau masyarakat luas (khalayak) untuk menikmati sajian pesan/berita atau program yang di tampilkan.

(11)

Dalam 10 sampai 15 tahun terakhir, perubahan besar telah terjadi di bidang penelitian audiens Penelitian kualitatif telah menjadi lebih sah, banyak disebabkan karena diterimanya reception analisis. ( Ingunn Hagen & Janet Wasko )

Label “Reception Analysis” diambil dari teori penerimaan atau estetika penerimaan, teori sastra cabang jerman yang berfokus pada peran pembaca dalam proses membaca. Bagi banyak orang, studi budaya dan analisis penerimaan kurang lebih sama. Kita melihat kajian budaya dan analisis penerimaan sebagai kategori yang agak tumpang tindih. Namun, beberapa perbedaan dapat (dan harus) dilakukan. ( Ingunn Hagen & Janet Wasko )

Kontribusi studi budaya yang paling penting untuk penelitian audiens adalah yang disebut model encoding/decoding yang dikembangkan oleh Hall, berdasarkan sistem makna politik Parkin. ( Ingunn Hagen & Janet Wasko )

(12)

pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan. ( http://kuliah.dinus.ac.id/edi-nur/mbbi/bab3.html)

Salah satu standar untuk mengukur khalayak media adalah menggunakan reception analysis, dimana analisis ini mencoba memberikan sebuah makna atas pemahaman teks media dengan memahami bagaimana karakter teks media dibaca oleh khalayak. Reception Analysis disini meliputi persepsi, pemikiran, preferensi dan interpretasi. Persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. (Jalaluddin, 2004:51). Pemikiran didefinisikan sebagai perbuatan individu dalam menimbang-nimbang, menguraikan, menghubung-hubungkan sampai akhirnya mengambil keputusan. Preferensi yaitu semua ungkapan emosi individu yang menyertai pemikiran persepsi kita dalam menerima pesan, apakah pemirsa menyukai program berita tersebut atau tidak. Interpretasi merupakan sebuah istilah untuk menjelaskan bagaimana kita memahami pengalaman.

(13)

Penelitian ini meneliti tentang bagaimana penerimaan masyarakat Surabaya tentang sinetron Gajah Mada di MNC TV. Sinetron ini menceritakan tentang kelahiran tokoh sejarah Indonesia yang bernama Gajah Mada. Di dalam sinetron ini Gajah Mada diceritakan dengan versi Gajah Mada muda. Diceritakan Gajah Mada mempunyai kekuatan kanuragan yang sakti dan dengan kekuatan itu dia selalu tampil menjadi pembela kebenaran dan mengalahkan angkara murka.

Namun cerita yang ditampilkan di televisi dianggap tidak sesuai atau melenceng dari sejarah. Hal itu juga diungkapkan oleh budayawan yang juga insan perfilman Indonesia, Renny Masmada. Dalam websitenya, Renny mengaku gerah melihat sinetron dan film berlatar Majapahit yang ditayangkan di televisi. Menurutnya, penggarapan cerita Gajah Mada yang ditayangkan di televisi banyak yang hanya mengobral kisah mistis dari kesaktian pencetus Sumpah Palapa itu. “Sinetron ini sama sekali tak mencerminkan keseriusan penggarapan, bahkan terkesan (dan terbukti) sangat dibuat asal-asalan, dan tidak punya tanggung jawab kesejarahan,” tandasnya.

(www.rennymasmada.com)

(14)

Hal tersebut menjadikan peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai reception analysis. Penelitian ini dengan judul “Reception Analysis Masyarakat Surabaya Tentang Sinetron Gajah Mada”. Penelitian ini diadakan di Surabaya karena dulunya Gajah Mada merupakan Maha Patih dari kerajaan Majapahit yang terletak di Jawa Timur. Sedangkan Surabaya Ibukota dari Jawa Timur.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

“Bagaimana Reception Masyarakat Surabaya Tentang Sinetron Gajah Mada”

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Reception Masyarakat Surabaya Tentang Sinetron Gajah Mada.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

(15)

1.4.2 Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada khalayak media massa dalam melihat kecenderungan Reception Analysis Masyarakat Surabaya Tentang Sinetron Gajah Mada. 1.4.3 Manfaat Penelitian

1. Secara Akademis hasil penelitian ini dapat memperkaya kajian ilmu komunikasi yang menjelaskan keberlakuan teori-teori komunikasi mengenai Reception Analysis. Selain itu, penelitian dapat dijadikan bahan bagi peneliti-peneliti selanjutnya.

(16)

2.1 Penelitian Terdahulu

1. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Desliana Dwita Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Putera Batam. Dengan judul “Resepsi Masyarakat Terhadap Siaran Televisi Asing”

Dengan kesimpulan sebagai berikut :

Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan hasil penelitian ini yaitu :

Konsumsi siaran televisi Singapura dan Malaysia oleh khalayak di Batam cukup beragam. Individu khalayak dari etnis melayu dalam penelitian ini memilih mengonsumsi siaran televisi Malaysia yaitu TV2 dan TV3. Individu khalayak dari etnis tionghoa dalam penelitian ini memilih mengonsumsi siaran televisi Singapura yaitu Channel 5, Channel 8, Channel U dan Suria. Waktu yang digunakan untuk mengonsumsi siaran televisi Singapura dan Malaysia oleh individu khalayak dalam penelitian ini sekitar 4-5 jam sehari.

(17)

etnis, budaya, bahasa, hubungan keluarga, motivasi menambah wawasan, motivasi ingin bekerja ke luar negeri, motivasi belajar bahasa asing, sulit mengakses siaran televisi, pendidikan, kebutuhan akan siaran lokal, pekerjaan, serta pengalaman pribadi.

(18)

belajar dan bekerja ke luar negeri serta tidak pernah mengalami pengalaman tidak baik dengan Singapura. b) Individu yang menyukai, namun memberi makna berbeda terhadap isi siaran Singapura berada dalam posisi negotiated. Orang-orang yang berada dalam posisi ini adalah yang mencintai siaran lokal namun membutuhkan siaran Singapura untuk belajar bahasa asing. c) Individu yang memaknai isi siaran Singapura sebagai tayangan yang tidak menarik dan tidak berimbang memberitakan tentang Indonesia, berada dalam posisi oppositional. Orang-orang yang berada dalam posisi ini adalah individu yang memiliki kesan tidak baik tentang Singapura dan juga Individu pengelola media.

2. Selanjutnya penelitian yang pernah dilakukan oleh Rayssa Audryn Firdauzy. Dengan judul “Penerimaan Pembaca Perempuan Terhadap Peranan Gender Laki-Laki dalam Kolom Hot Papa Pada Rubrik Jawa Pos For Her”

Dengan kesimpulan sebagai berikut :

Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan hasil penelitian ini yaitu :

(19)

terhadap teks media tersebut. Perbedaan penerimaan informan terhadap teks media berkaitan dengan latar belakang masing-masing informan, seperti perbedaan usia, etnis, status pernikahan, pendidikan dan juga mengenai pandangan mereka yang masih tradisional atau sudah modern. Selain itu ekspresi dan cara penyampaian pendapat ketika diskusi berlangsung juga turut membantu dalam menggambarkan bagaimana penerimaan para informan terhadap peranan gender laki-laki dalam kolom Hot Papa pada rubric Jawa Pos For Her.

(20)

2.2Landasan Teori 2.2.1 Komunikasi

Komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media tertentu untuk menghasilkan efek ataupun tujuan dengan mengharapkan feedback atau umpan balik.

(Daryanto. 2010 : halaman v)

Kata “komunikasi” berasal dari bahasa latin, Communis, yang berarti membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Akar katanya Communis adalah Communico, yang artinya berbagi (Stuart, 1983). Dalam hal ini, yang dibagi adalah pemahaman bersama melalui pertukaran pesan. Komunikasi sebagai kata kerja (verb) dalam bahasa Inggris, communicate, berarti untuk : a. bertukar pikiran, perasaan, dan informasi; b. membuat tahu; c. membuat sama; d. mempunyai sebuah hubungan yang simpatik.

Adapun dalam kata benda (noun), communication, berarti : (a) pertukaran simbol, pesan-pesan yang sama, dan informasi; (b) proses pertukaran di antara individu-individu melalui sistem simbol-simbol yang sama; (c) seni untuk mengekspresikan gagasan-gagasan; dan (d) ilmu pengetahuan tentang pengiriman informasi (Stuart, 1983).

(Daryanto. 2010 : halaman 3-4)

(21)

komunikasi terjadi suatu perubahan sikap, pendapat, perilaku ataupun perubahan secara sosial.

(Daryanto. 2010 : halaman 148)

Jenis komunikasi ada dua, yaitu sebagai berikut.

a) Komunikasi Verbal yaitu komunikasi dengan kata-kata, berupa ucapan atau tulisan.

b) Komunikasi Nonverbal yaitu komunikasi nonverbal terdiri atas ekspresi dan tingkah laku atau kebiasaan.

Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol verbal. Simbol verbal bahasa merupakan pencapaian manusia yang paling impresif. Ada aturan-aturan yang ada untuk setiap bahasa yaitu fonologi, sintaksis, semantic dan pragmatis.

(http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_verbal)

Komunikasi nonverbal adalah proses pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potong rambut, dan sebagainya, simbol-simbol, serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi, dan gaya berbicara.

(22)

menghindari kontak mata langsung, sedangkan orang Timur Tengah, India dan Amerika Serikat biasanya menganggap kontak mata penting untuk menunjukkan keterpercayaan, dan orang yang menghindari kontak mata dianggap tidak dapat dipercaya.

(http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_nonverbal)

2.2.2 Teori Reception Analysis

(23)

berusaha untuk mengintegrasikan perspektif ilmu sosial dan humanistic pada penerimaan” (1990:213).

Didalam teori ini berfokus pada makna, produksi, dan pengalaman audiens. Yang disebut dengan makna adalah pemahaman-pemahaman yang berbeda dari khalayak tergantung dari interpretasi masing-masing individu, lalu produksi dimaksudkan khalayak yang memproduksi makna dari isi media, sedangkan pengalaman audiens adalah pengalaman masing-masing audiens/individu tergantung dari kalangan mana orang tersebut berasal.

(24)

Istilah decoding encoding (Helen, 2004) digunakan Hall untuk mengungkapkan bahwa makna dari teks terletak antara si pembuat teks (encoder dalam hal ini komunikator atau professional media) dengan pembacanya (decoder atau komunikan, dalam hal ini audiens media).

Walaupun si pembuat teks sudah meng-encode teks dalam cara tertentu, namun si pembaca akan men-decode-nya dalam cara yang sedikit berbeda. Ideology dominan secara khusus dikesankan sebagai preferred readings (bacaan terpilih) dalam teks media, namun bukan berarti hal ini diadopsi secara otomatis oleh pembaca (McQuail, 2002).

Teori Stuart Hall tersebut, tentang encoding dan decoding, mendorong terjadinya interpretasi-interpretasi beragam dari teks-teks media selama proses produksi dan resepsi (penerimaan). Dengan kata lain, makna tidak pernah pasti (Ida, 2010:148).

(25)

ketika penonton melawan atau berlawanan dengan representasi yang ditawarkan dalam tayangan dengan cara yang berbeda dengan pembacaan yang telah ditawarkan (Hall:138). Tipe ini tidak merasakan kesenangan pada saat menonton televisi. Ia menolak sajian atau ideology dominan dari televisi.

Teori Reception Analysis pada dasarnya mencoba menganalisis sebuah makna dan pemahaman khalayak atas sebuah pesan dari teks media (cetak, elektronik, internet) dengan memahami berbagai macam karakter khalayak. Setiap individu yang menerima pesan dari teks media akan menumbuhkan pemahaman yang berbeda-beda pula tergantung dari pengalaman setiap individu tersebut, sehingga hasil dari penelitian ini tidak bisa ditebak.

2.2.3 Kebudayaan

“Budaya” berasal dari kata majemuk budi daya atau kekuatan dari akal, akal atau budi itu mempunyai unsur-unsur cipta atau pikiran, rasa, karsa atau kehendak. Hasil dari ketiga unsur itulah yang disebut kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa.

(26)

Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan berasal dari kata latin Colere. Artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari asal arti tersebut, yaitu colere kemudian culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Soekanto, 2006:150).

Orang yang pertama kali merumuskan definisi kebudayaan menurut Effendhie (1999:2) adalah E.B Taylor (1832-1917), guru besar Antropologi di Universitas Oxford pada tahun 1883. Pada tahun 1871, E.B Taylor mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut : “Kebudayaan adalah mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.”

Sementara itu, beberapa ilmuwan Indonesia juga telah membuat definisi kebudayaan. Koentjaraningrat, guru besar Antropologi di Universitas Indonesia mendefinisikan kebudayaan sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.”

(27)

2.2.3.1 Unsur-unsur Budaya

Soekanto dalam bukunya yang berjudul “Sosiologi Suatu Pengantar” (2006:153) mengemukakan bahwa kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan.

Pada diri manusia terdapat unsur-unsur potensi budaya (Suparto, 1985:54) seperti :

1. Pikiran (Cipta), yaitu kemampuan akal pikiran yang menimbulkan ilmu pengetahuan. Dengan akal pikirannya manusia selalu mencari, mencoba menyelidiki, dan kemudian menemukan sesuatu yang baru. 2. Rasa, dengan panca inderanya manusia dapat mengembangkan rasa

estetika (rasa indah), dan ini menimbulkan karya-karya seni atau kesenian.

3. Kehendak (Karsa), manusia selalu menghendaki akan kesempurnaan hidup, kemuliaan, dan kesusilaan.

Dengan potensi akal pikir (cipta), rasa, dan karsa itulah manusia berbudaya. Di samping ketiga unsur tersebut, Melville J. Herskovits juga mengemukakan unsur-unsur kebudayaan yang lain, yaitu :

1. Alat-alat teknologi; 2. Sistem ekonomi; 3. Keluarga;

(28)

Pakar sosiologi lainnya yang merumuskan unsur-unsur kebudayaan adalah Bronislaw Malinowski, yang terkenal sebagai salah seorang pelopor teori fungsional dalam antropologi. Unsur-unsur tersebut antara lain :

1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya;

2. Organisasi ekonomi;

3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan; perlu diingat bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama;

4. Organisasi kekuatan.

Masing-masing unsur tersebut digunakan untuk kepentingan ilmiah dan analisanya diklasifikasikan ke dalam unsur poko atau unsur-unsur besar kebudayaan, yang lazim disebut cultural universal. Istilah ini menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, artinya unsur-unsur tersebut dapat dijumpai pada setiap kebudayaan yang ada di seluruh dunia.

Adapun tujuh kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universals (Soekanto 2006:154), yaitu :

1. Peralatan dan perkembangan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport, dan sebagainya);

(29)

3. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan);

4. Bahasa (lisan maupun tertulis);

5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya); 6. Sistem pengetahuan;

7. Religi (Sistem kepercayaan).

Cultural universal tersebut di atas dapat dijabarkan lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil. Ralph Linton menyebutnya sebagai kegiatan kebudayaan atau cultural activity.

2.2.4Kebudayaan Indonesia

Kebudayaan Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum terbentuknya Negara Indonesia pada tahun 1945. Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku di Indonesia merupakan bagian integral dari kebudayaan Indonesia. (http://tiankids.web.id)

Menurut J.J Hoenigman (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya), wujud kebudayaan Indonesia dibedakan menjadi tiga yaitu gagasan, aktivitas, dan artefak.

1. Gagasan (Wujud Ideal)

(30)

2. Aktivitas (Tindakan)

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Dalam hal ini, hal yang diamati adalah pola perilaku masyarakat Surabaya terhadap Sinetron Gajah Mada.

3. Artefak (Karya)

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat yang berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan.

Ketiga wujud kebudayaan di atas akan digunakan sebagai media untuk mengetahui efek dari yang ditimbulkan oleh media massa yang berlebihan dari kalangan remaja kota Surabaya. Kebudayaan Indonesia dapat dikatakan tenar apabila kebudayaan masih diketahui, dipahami atau dimengerti, ditaati, dan dihargai (Soekanto 2006:177) oleh masyarakat kota Surabaya di tengah-tengah arus globalisasi budaya asing.

2.2.5Media Massa

(31)

perlu ditekankan sebab ada media yang bukan media massa yakni media tradisional seperti kentongan, angklung, gamelan, dan lain-lain. Jadi, disini jelas media massa menunjukkan pada hasil produk teknologi modern sebagai saluran dalam komunikasi massa.

Lalu apa media massa dalam komunikasi massa? Ada banyak versi juga tentang bentuk ini. Namun, dari sekian banyak definisi bisa dikatakan media massa bentuknya Antara lain media elektronik (televisi, radio), media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), buku, dan film. Dalam perkembangan komunikasi massa yang sudah sangat modern dewasa ini. Ada satu perkembangan tentang media massa, yakni ditemukannya internet. Belum ada, untuk tidak mengatakan tidak ada, bentuk media dari definisi komunikasi massa yang memasukkan internet dalam media massa. Padahal jika ditinjau dari ciri, fungsi, internet jelas masuk dalam bentuk komunikasi massa. Dengan demikian, bentuk komunikasi massa bisa ditambah dengan internet. (Nurudin, 2007:3)

Dengan demikian, media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. (Nurudin, 2007:8)

(32)

a. Fungsi Menyiarkan Informasi ( to inform ).

Penyampai informasi yang berkaitan dengan peristiwa, gagasan, atau pikiran orang lain, apa yang dilakukan orang lain, apa yang dikatakan orang lain atau special event. Pesan yang informative adalah pesan yang bersifat baru (actual) berupa data, gambar, fakta, opini dan komentar yang memberikan pemahaman baru/penambahan wawasan terhadap sesuatu. b. Fungsi Mendidik ( to educate ).

Media Massa mendidik dengan menyampaikan pengetahuan dalam bentuk tajuk, artikel, laporan khusus, atau cerita yang memiliki misi pendidikan. Berfungsi mendidik apabila pesannya dapat menambah pengembangan intelektual, pembentukan watak, penambahan keterampilan/kemahiran bagi khalayaknya serta mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi masyarakat.

c. Fungsi Menghibur ( to entertain )

(33)

d. Fungsi Mempengaruhi ( to influence )

Fungsi mempengaruhi pendapat, pikiran dan bahkan perilaku masyarakat inilah yang merupakan hal paling penting dalam kehidupan masyarakat. Karena itulah, media yang memiliki kemandirian (independent) akan mampu bersuara atau berpendapat, dan bebas melakukan pengawasan sosial (social control).

Bagaimanapun peran media massa (khususnya televisi) pada dasarnya tidak hanya sekedar sarana pelepas ketegangan atau hiburan, namun isi dan informasi apapun yang ditayangkan mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebab, apa yang ditayangkan oleh berbagai program acara televisi akan mempengaruhi kognnisi khalayaknya. Realitas subjektif ( Berger, 1966:13 ) atau sebagaimana yang digambarkan oleh Lippman dengan jargon “the world outside and the pictures in our head” yang dibentuk oleh media akan menjadi gambaran realitas publik tentang berbagai peristiwa sosial yang terjadi disekitarnya. Realitas inilah yang kemudian akan mendorong respons atau sikap khalayak terhadap berbagai hal tertentu.

(34)

realitas yang sesungguhnya, di samping masalah moralitas dan tanggung jawab media terhadap segala sesuatu yang disampaikannya.

2.2.6Media Mengubah Budaya Negar a yang Berkembang

Marshall McLuhan, media-guru dari University of Toronto, mengatakan bahwa the medium is the mass-age. Media adalah era massa. Maksudnya adalah bahwa saat ini kita hidup di era yang unik dalam sejarah peradaban manusia, yaitu era media massa. Terutama lagi, pada era media elektronik seperti sekarang ini. Media pada hakekatnya telah benar mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan tingkah laku manusia itu sendiri. Kita saat ini berada pada era revolusi, yaitu revolusi masyarakat menjadi massa, oleh karena kehadiran media massa.

McLuhan memetakan sejarah kehidupan manusia kedalam empat periode : a tribal age (era suku atau purba), literate age (era literal/huruf), a print age (era cetak), dan electronic age (era elektronik). Menurutnya, transisi antar periode tadi tidaklah bersifat gradual atau evolusif, akan tetapi lebih disebabkan oleh penemuan teknologi komunikasi.

(35)

banyak diandalkan dalam komunikasi. Era primitif ini kemudian tergusur dengan ditemukannya alphabet atau huruf.

The Age of Literacy. Semenjak ditemukannya alphabet atau huruf, maka cara manusia berkomunikasi banyak berubah. Indera penglihatan kemudian menjadi dominan di era ini, mengalahkan indera pendengaran. Manusia berkomunikasi tidak lagi mengandalkan tuturan, tapi lebih kepada tulisan.

The Print Age. Sejak ditemukannya mesin cetak menjadikan alphabet semakin menyebarluas ke penjuru dunia. Kekuatan kata-kata melalui mesin cetak tersebut semakin merajalela. Kehadiran mesin cetak, dan kemudian media cetak, menjadikan manusia lebih bebas lagi untuk berkomunikasi.

The Electronic Age. Era ini juga menandai ditemukannya berbagai macam alat atau teknologi komunikasi. Telegram, telepon, radio, film, televisi, VCR, fax, computer, dan internet. Manusia kemudian menjadi hidup di dalam apa yang disebut sebagai “global village”. Media massa pada era ini mampu membawa manusia untuk bersentuhan dengan manusia lainnya, kapn saja, dimana saja, seketika itu juga.

Inti dari teori McLuhan adalah determinisme teknologi. Maksudnya adalah penemuan atau perkembangan teknologi komunikasi itulah yang sebenarnya mengubah kebudayaan manusia.

(36)

menimbulkan kesan yang oleh khalayak disesuaikan dengan norma-norma dan nilai-nilai budayanya.

Pesan media mampu mengubah norma-norma budaya yang telah berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini ada tiga indicator peran media terhadap budaya, yakni :

1. Memperkuat norma budaya.

Seperti reality show “Etnic Runway” di salah satu stasiun televisi terkemuka di Indonesia, yang menyajikan tayangan tentang budaya Indonesia yang hampir punah oleh perkembangan jaman.

2. Mengubah norma budaya

Seperti serial komedi “Opera Van Java” di salah satu stasiun televisi terkemuka di Indonesia, yang menyajikan hibura komedi dihiasi dengan unsur adat Jawa (Sinden, Gendang, Baju Adat, Wayang orang, dsb) tetapi juga diselipkan unsur kebudayaan Negara lain di setiap episodenya.

3. Menciptakan norma budaya baru

Banyaknya serial televisi seperti sinetron, serial film televisi, dan telenovela.

(37)

apresiasinya, kemudian media massa memberi lahan atau tempat, maka budaya yang pada awalnya sudah mulai luntur menjadi hidup kembali. Contoh : Acara pertunjukan Wayang Golek atau Wayang Kulit yang ditayangkan televisi terbukti telah memberi tempat pada budaya tersebut untuk diapresiasi oleh masyarakat. Media massa telah menciptakan pola baru tetapi tidak bertentangan bahkan menyempurnakan budaya lama. Contoh : acara Ludruk Glamor misalnya memberi nuansa baru terhadap budaya Ludruk dengan tidak menghilangkan esensi budaya asalnya.

Media massa mengubah budaya lama dengan budaya baru yang berbeda dengan budaya lama. Contoh : terdapat acara-acara tertentu yang bukan tak mungkin lambat laun akan menumbuhkan budaya baru. Menurut Paul Lazarfeld dan Robert K. Merton terdapat empat sumber utama kekhawatiran masyarakat terhadap media massa, yaitu :

1. Sifat Media Massa yang mampu hadir dimana-mana (Ubiquity) serta kekuatannya yang potensial untuk memanipulasi dengan tujuan-tujuan tertentu.

(38)

3. Media massa dengan jangkauan yang besar dan luas dapat membawa khalayaknya pada cita rasa estetis dan standar budaya populer yang rendah.

4. Media massa dapat menghilangkan sukses sosial yang merupakan jerih payah para pembaharu selama beberapa puluh tahun yang lalu. (http://rizqisme.wordpress.com/2012/04/03/236)

2.2.7 Televisi

Televisi hidup diantara masyarakat seperti anggota keluarga. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dalam menjalani kegiatan hari demi hari. Pesawat televisi menjadi perabot yang wajib dimiliki, melekat pada setiap rumah seperti sebuah pintu. Tidak berlebihan kalau televisi telah menjadi alun-alun baru yang dapat mengumpulkan khalayak dari berbagai arah. Televisi juga merupakan bomber yang memiliki kekuatan dahsyat dalam menyerang. Ketika televisi makin berani menyiarkan acara yang mengandung unsur erotisme dan pornoaksi, konon banyak pemerkosa terinspirasi.

(39)

ukuran sangat minim. Bagaimana tidak rishi, para artis dan figure public mengenakan pakaian semacam itu dalam kegiatan public yang disiarkan media. (Budiasih, 2004 : 46)

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh masyarakat Amerika ditemukan bahwa hampir setiap orang di benua itu menghabiskan waktunya antara 6-7 jam per minggu untuk menonton TV. Waktu yang paling tinggi terserap pada musim dingin. Di Australia anak-anak rata-rata terlambat bangun pagi kesekolah karena banyak menonton TV di malam hari, sementara di Indonesia pemakaian TV di kalangan anak-anak meningkat pada waktu libur, bahkan bisa melebihi 8 jam per hari.

Kenapa televisi begitu banyak menyita perhatian tanpa mengenal usia, pekerjaan, dan pendidikan. Hal ini karena televisi memiliki sejumlah kelebihan terutama kemampuannya dalam menyatukan Antara fungsi audio dan visual, ditambah dengan kemampuannya dalam memainkan warna. Penonton leluasa menentukan saluran mana yang mereka senangi.

(40)

Dalam kapasitasnya sebagai media massa, pada dasarnya televisi memiliki empat fungsi sosial sebagaimana yang diungkapkan Wilbur Schramm, yakni :

a. Fungsi memberikan penerangan (informasi), b. Pendidikan,

c. Mempengaruhi dan mengisi waktu luang atau senggang (Williams, 1989:15).

Namun dalam kenyataannya, penggunaan televisi baik oleh stasiun televisi maupun masyarakat penontonnya justru lebih cenderung digunakan sebgai media hiburan dibanding fungsi sosial lainnya. Sebagai ilustrasi misalnya, suatu penelitiann di brazil yang melibatkan enam suku menunjukkan bahwa dari 1.972 responden yang ditanya mengenai acara favorit mereka di televisi, sebanyak 57% atau sekitar 898 orang lebih menyukai acara hiburan seperti telenovela, film seri atau film lepas, dan komedi atau humor disbanding acara lainnya ( Kottak, 1990:66 ).

(41)

2.2.8 Sinetr on

Sinema elektronik atau lebih populer dengan sinetron adalah istilah untuk serial drama sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun televisi. Dalam bahasa Inggris, sinetron disebut soap opera (opera sabun), sedangkan dalam bahasa Spanyol disebut telenovela. Sinetron pada umumnya bercerita tentang kehidupan manusia sehari-hari yang diwarnai konflik berkepanjangan. Seperti layaknya drama atau sandiwara, sinetron diawali dengan perkenalan tokoh-tokoh yang memiliki karakter masing-masing. Berbagai karakter yang berbeda menimbulkan konflik yang makin lama makin besar sehingga sampai pada titik klimaksnya. Akhir dari suatu sinetron dapat bahagia maupun sedih, tergantung dari jalan cerita yang ditentukan oleh penulis skenario.

Dibuatnya sinetron menjadi berpuluh-puluh episode kebanyakan karena tujuan komersial semata-mata sehingga dikhawatirkan menurunkan kualitas cerita, yang akhirnya membuat sinetron menjadi tidak lagi mendidik, tetapi hanya menyajikan hal-hal yang bersifat menghibur. Hal ini banyak terjadi di Indonesia yang pada umumnya bercerita seputar kehidupan remaja dengan intrik-intrik cinta segitiga, kehidupan keluarga yang penuh kekerasan, dan tema yang akhir-akhir ini sangat digemari yaitu tentang kehidupan alam gaib.

(42)

Cerita yang diusung oleh sinetron secara umum serupa satu sama lain. Hal ini menimbulkan kritik kritis mengenai kreativitas dalam pembuatan sinetron.

Berikut adalah tema yang menjadi latar umum cerita sinetron, antara lain :

a. Keluarga berada, kritik terhadap tema ini datang dari pandangan bahwa konflik yang terjadi dalam suatu keluarga berasal dari kebencian mendalam yang berlarut-larut. Dalam beberapa sinetron, konflik akibat kebencian tersebut bahkan mencapai puluhan tahun. Akibat konflik yang berlarut-larut tersebut, sinetron dengan latar belakang keluarga berada biasanya banyak memuat redudansi (berulang-ulang) cerita. b. Religius, sinetron mistis memuat cerita yang kental dengan

unsur mistis dan mengabaikan logika penonton. Pengkritik sinetron ini biasanya menyoroti cerita yang dianggap terlalu mendogmakan ajaran agama daripada pesan-pesan moral yang lebih mengena dalam kehidupan sehari-hari.

(43)

d. Tidak logis, sering dijumpai kejadian di dalam suatu sinetron tidak logis/masuk akal. Baik dari perilaku tokoh cerita, kebetulan-kebetulan yang terjadi, sampai peristiwa yang berkaitan tentang proses hukum maupun kedokteran. Kesemuanya itu menjadikan sinetron semakin menuai kritik.(id.m.wikipedia.org/wiki/Sinema_elektronik)

2.2.9 Masyarakat Sur abaya

Kota Surabaya adalah ibukota Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Dengan jumlah penduduk metropolisnya yang mencapai 3 juta jiwa, Surabaya merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan Indonesia Timur. Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah. Kata Surabaya konon berasal dari cerita mitos pertempuran antara sura (ikan hiu) dan baya (buaya) dan akhirnya menjadi kota Surabaya.

Surabaya dikenal memiliki kesenian khas :

1. Ludruk, adalah seni pertunjukan drama yang mnceritakan kehidupan rakyat sehari-hari.

(44)

3. Kidungan, adalah pantun yang dilagukan, dan mengandung unsur humor.

Selain kesenian khas di atas, budaya panggilan arek (sebutan khas Surabaya) diterjemahkan sebagai Cak untuk laki-laki dan Ning untuk wanita. Sebagai upaya untuk melestarikan budaya, setiap satu tahun sekali diadakan pemilihan Cak & Ning Suarabaya. Cak & Ning Suarabaya dan para finalis terpilih merupakan duta wisata dan ikon generasi muda kota Surabaya.

Setiap setahun sekali diadakan Festival Cak Durasim (FCD), yakni sebuah festival seni untuk melestarikan budaya Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya. Festival Cak Durasim ini biasanya diadakan di Gedung Cak Durasim, Surabaya. Selain itu ada juga Festival Seni Surabaya (FSS) yang mengangkat segala macam bentuk kesenian misalnya teater, tari, musik, seminar sastra, pameran lukisan. Pengisi acara biasanya selain dari kelompok seni di Surabaya juga berasal dari luar Surabaya. Diramaikan pula pemutaran film layar tancap, pameran kaos oblong dan lain sebagainya. Diadakan setiap satu tahun sekali di bulan juni bertempat di Balai Pemuda. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surabaya)

2.2.10Kerangka Berpikir

(45)

Komunikasi massa adalah salah satu bagian yang ada dalam ilmu komunikasi. Ilmu ini mempelajari segala bentuk komunikasi beserta media-media yang dipakai dalam penyampaian pesan. Media-media ini banyak dipilih dan digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Media-media ini Antara lain terbagi menjadi media elektronik (televisi, radio, internet), dan media cetak (surat kabar, majalah, tabloid). (Nurudin, 2007:5).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan reception analysis. Pendekatan ini memandang khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communities yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa (McQuail, 1997:19).

Sesuai dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini : Reception Analysis Masyarakat Surabaya Tentang Sinetron Gajah Mada di MNC TV. Dalam penelitian ini membahas bagaimana khalayak menerima isi dari media yang menampilkan cerita dari Sinetron Gajah Mada.

(46)
(47)

3.1 Metode Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena yang ada pada masyarakat sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-sedalam-dalamnya. Penelitian ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling, bahkan populasi atau samplingnya terbatas. Jika data yang dikumpulkan sudah mendalam dan menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Disini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data, bukannya (kuantitas) data (Kriyantono, 2006:58).

Menurut Rakhmat (2004:24), penelitian deskriptif kualitatif ditujukan untuk beberapa hal, diantaranya adalah :

1. Mengidentifikasikan masalah atau memeriksakan kondisi dan praktek-praktek yang berlaku.

2. Membuat perbandingan atau evaluasi.

3. Mengumpulkan informasi actual yang melukiskan gejala yang ada.

(48)

Metode penelitian kualitatif ini menggambarkan atau menguraikan atas suatu keadaan sejernih mungkin tanpa adanya perlakuan terhadap obyek yang diteliti. Metode ini merupakan suatu metode yang berupaya dan memberikan gambaran mengenai suatu fenomena tertentu secara terperinci, yang pada hakekatnya akan diperoleh pemahaman yang lebih jelas mengenai fenomena yang diteliti.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena berusaha memahami penerimaan masyarakat Surabaya tentang Sinetron Gajah Mada. Penelitian dalam pandangan fenomenologik bermakna memahami peristiwa dalam kaitannya dengan orang dalam situasi tertentu (Moleong, 1995). Pemahaman terhadap situasi tertentu menuntut penelitian yang bersifat natural atau wajar sebagaimana adanya, tanpa dimanipulasi, diatur dengan eksperimen atau tes, pendekatan tersebut disebut naturalistic (Nasution, 1988). Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan analisis penerimaan Masyarakat Surabaya Tentang Sinetron Gajah Mada.

Hasil dari penelitian kualitatif ini tidak dapat digeneralisasikan (membuat kesimpulan yang berlaku secara umum) atau bersifat universal, jadi hanya berlaku pada situasi keadaan yang sesuai dengan situasi dan keadaan dimana penelitian yang serupa dilakukan. (Kountur, 2003:29)

3.2 Definisi Operasional Konsep

(49)

untuk permasalahan ini peneliti menggunakan teori Reception Analysis. Dalam hal ini teori Reception Analysis merujuk pada sebuah komparasi Antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak, yang hasil interpretasinya merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain (Jensen, 2003:139). Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communities yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa (McQuail, 1997:19).

Analisis penerimaan dalam pandangan Ingunn Hagen dan Janet Wasko mengacu pada penelitian yang berfokus pada makna, produksi, dan pengalaman audiens dalam berinteraksi dengan teks media. Fokus pada proses decoding, interpretasi, dan “membaca” ini adalah inti dari beberapa konseptualisasi analisis penerimaan. Menurut Jensen dan Rosengren, dimana analisis penerimaan mengacu pada “ berbagai bentuk penelitian audiens empiris kualitatif yang, untuk derajat yang berbeda, berusaha untuk mengintegrasikan perspektif ilmu sosial dan humanistic pada penerimaan” (1990:213).

(50)

media, sedangkan pengalaman audiens adalah pengalaman masing-masing audiens/individu tergantung dari kalangan mana orang tersebut berasal.

Istilah decoding encoding (Helen, 2004) digunakan Hall untuk mengungkapkan bahwa makna dari teks terletak antara si pembuat teks (encoder dalam hal ini komunikator atau professional media) dengan pembacanya (decoder atau komunikan, dalam hal ini audiens media).

Walaupun si pembuat teks sudah meng-encode teks dalam cara tertentu, namun si pembaca akan men-decode-nya dalam cara yang sedikit berbeda. Ideology dominan secara khusus dikesankan sebagai preferred readings (bacaan terpilih) dalam teks media, namun bukan berarti hal ini diadopsi secara otomatis oleh pembaca (McQuail, 2002).

Teori Stuart Hall tersebut, tentang encoding dan decoding, mendorong terjadinya interpretasi-interpretasi beragam dari teks-teks media selama proses produksi dan resepsi (penerimaan). Dengan kata lain, makna tidak pernah pasti (Ida, 2010:148).

(51)

ini bertindak antara adaptif dan oposisi terhadap interpretasi pesan atau ideology dalam televisi. Oppositional Code adalah ketika penonton melawan atau berlawanan dengan representasi yang ditawarkan dalam tayangan dengan cara yang berbeda dengan pembacaan yang telah ditawarkan (Hall:138). Tipe ini tidak merasakan kesenangan pada saat menonton televisi. Ia menolak sajian atau ideology dominan dari televisi.

3.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di wilayah kota Surabaya, karena dulunya Gajah Mada merupakan Maha Patih dari kerajaan Majapahit yang terletak di Jawa Timur. Sedangkan Surabaya Ibukota dari Jawa Timur.

3.4 Infor man dan Penelitian

Subjek penelitian berasal dari berbagai macam karakter serta kebudayaan yang berbeda pula. Informan yang akan diambil dalam penelitian ini adalah masyarakat Surabaya yang memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Bertempat tinggal di Surabaya

2. Melihat Sinetron Gajah Mada di MNCTV.

3. Informan diambil dari kalangan yang berbeda dan memiliki karakteritik yang berbeda pula. Diantaranya adalah budayawan, masyarakat awam, dan orang akademis yang tahu tentang Budaya dan Sejarah Gajah Mada.

(52)

lama bekerja dengan satu komunitasnya) dapat memberikan data berharga atau informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian (Suyanto, 2006:189).

Dalam kualitatif tidak dipersoalkan jumlah sampel yang dipergunakan karena bilamana dalam proses pengumpulan data sudah tidak ditemukan lagi variasi informasi maka peneliti tidak perlu lagi mencari informan baru dan proses pencarian informasi dianggap selesai (Bungin, 2003:53).

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data antara lain : a.Pengamatan (Observation)

Pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan yang tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan (Suhartono, 2004:69). Data yang didapat dengan cara mencatat perilaku subyek (orang), obyek (benda atau kemudian yang sistematik tanpa adanya komunikasi atau pertanyaan dengan individu yang dipilih). b. Wawancara mendalam (In Depth Interview)

(53)

wawancarai. Pada intinya In Depth Interview tidak hanya menanyakan pertanyaan, tapi juga mendokumentasikan informasi dan berusaha menentukan makna dan persepsi yang mendalam.

c.Studi Literatur

Teknik pengumpulan data dengan mencari data penunjang dengan pengolahan buku dan sumber bacaan yang dikaitkan dengan masalah penelitian.

3.6Teknik Analisis Data

Setelah wawancara dilakukan, peneliti wajib membuat transkrip hasil wawancara. Artinya peneliti harus menulis setiap pertanyaan dan jawaban yang dilakukan narasumber (dari perekam) serta catatan yang memuat tentang observasi, perasaan, dan refleksi diri.

Kemudian peneliti bisa menganalisa data yang sudah masuk. Cara untuk menganalisa data adalah :

1. Mengkategorikan wawancara dengan kendala sub topik

(54)

2. Menarik kesimpulan

(55)

4.1 Gambar an Umum Objek Penelitian 4.1.1 Sinetr on Gajah Mada

Sinetron adalah istilah untuk serial drama sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun televisi. Sinetron pada umumnya bercerita tentang kehidupan manusia sehari-hari yang diwarnai konflik berkepanjangan. Seperti layaknya drama atau sandiwara, sinetron diawali dengan perkenalan tokoh-tokoh yang memiliki karakter masing-masing. Berbagai karakter yang berbeda menimbulkan konflik yang makin lama makin besar sehingga sampai pada titik klimaksnya. Akhir dari suatu sinetron dapat bahagia maupun sedih, tergantung dari jalan cerita yang ditentukan oleh penulis skenario.

(56)

Diceritakan dalam sinetron kelahiran Gajah Mada ditandai dengan petir dan halilintar, suatu pertanda kalau ia akan menjadi orang besar. Jawangkati, ayah Gajah Mada, adalah seorang pendekar sakti pemimpin prajurit Majapahit. Ia menginginkan anaknya kelak nanti menjadi seorang pemimpin dan ksatria Majapahit. Namun ia harus gugur di medan perang saat Majapahit berhasil memenangkan pertempuran dengan pasukan kerajaan Tartar dari negeri Cina. Hanya Gada Ruja Pala, senjata sakti milik Jawangkati, yang tertinggal untuk anaknya. Lailan Mangrani, istri Jawangkati, sedih mengetahui suaminya harus gugur di medan perang. Tetapi kesedihannya itu terobati dengan kelahiran Gajah Mada.

Lailan tidak menghendaki anaknya menjadi ksatria hingga ia melarang Gajah Mada belajar kanuragan. Alasan Lailan melarang Gajah Mada menjadi ksatria, karena dia tidak ingin kehilangan orang yang dicintainya lagi. Gajah Mada diam-diam berguru kanuragan kepada Eyang Wungkuk Hanuraga, hingga Gajah Mada mahir ilmu kanuragan dan beladiri. Seorang anak mantan punggawa bernama Kebo Ireng suka mencelakai dan mengganggu orang, karena sifatnya selalu membela kebenaran dan yang lemah, Gajah Mada selalu berhasil menghadapinya.

(57)

Mada saat ia merampok beberapa warga desa. Nyai Klowi penguasa hutan larangan itu kemudian memerintahkan siluman ular penunggu sungai, Ragir Kuning, agar menyerang desa Mada dan mencari tumbal disana. Rupanya ular kuning raksasa itu kewalahan menghadapi Gajah Mada.

Nyai Klowi kemudian memerintahkan kembali ular kuning raksasa itu untuk mengerahkan pasukannya menyerang desa Mada, dan menghancurkan keluarga Gajah Mada. Puluhan ular besar kemudian masuk desa Mada yang mengakibatkan warga meninggal karena di makan ular, tak luput ibunda Gajah Mada. Ia juga diserang oleh ular kuning raksasa itu ketika sedang menyiram bunga di taman. Gajah Mada yang mengetahui ibunya di makan ular, langsung mengejar ular kuning raksasa itu. Gajah Mada berhasil menyelamatkan ibunya dan warga lainnya. Setiap saat Gajah Mada selalu tampil menjadi pembela kebenaran dan mengalahkan angkara murka.

4.2 Identitas Infor man

(58)

1. Informan 1

Informan 1 adalah seorang budayawan Surabaya bernama Abdul Fatah. Lahir di Surabaya, 16 Desember 1970. Informan tergabung dalam organisasi Unitantri (Unit Karawitan Seni & Tari Malang) dan di Bengkel Muda Surabaya. Peneliti memilih informan karena peneliti merasa bahwa budayawan yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang luas mengenai sejarah dan budaya Gajah Mada. Beralamat di jalan Purwodadi I/92.

2. Informan 2

Informan 2 bernama Akhudiat, adalah seorang budayawan Surabaya dan juga penulis Indonesia. Pernah menempuh kuliah di Akademi Wartawan Surabaya dan menjadi Dosen Luar Biasa pada fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya. Ia menjadi anggota pleno di Dewan Kesenian Jawa Timur sejak tahun 1999 hingga sekarang. Bertempat tinggal di Gayungan Regency Surabaya.

3. Informan 3

(59)

4. Informan 4

Informan 4 bernama Nauval Rico. Lahir di Surabaya, 10 oktober 1988. Beralamat di jalan Pagesangan Timur. Informan adalah lulusan jurusan teknik sipil dari Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya. Informan bekerja di salah satu department store di Surabaya. Peneliti melakukan wawancara pada malam hari setelah informan pulang dari dokter dan juga informan mempunyai waktu senggang pada malam hari.

4.3 Analisis Data

Menurut hasil dari wawancara yang telah dilakukan oleh penulis dengan beberapa informan telah mendapat hasil sebagai berikut :

Informan yang pertama adalah seorang Budayawan, bernama Abdul Fatah. Informan mengatakan, “emm, saya sih memang cenderung menerima mas, soalnya ya kalau saya lihat-lihat di TV ya ceritanya bagus juga kok.”

(60)

Kemudian informan mulai mengatakan apa saja yang kurang relevan dari sinetron ini menurut sudut pandangnya, “emm, yang kurang relevan, ya ceritanya, itu kalo menurut saya pribadi terlalu sedikit dilebih-lebihkan, kan yang namanya Gajah Mada itu yang diceritakan dalam sejarah sebenarnya aslinya orangnya kan wira, bijaksana, terus juga yang pasti berbakti juga sama Negara, orangnya kan yang disejarah itu diceritakan memang besar tinggi, tampan, gak kaya yang di acara TV nya, itu kan malah diperankan sama anak kecil itu saya nggak tahu pemerannya siapa namanya. Terus yang ditayangkan di tv nya itu juga kan memang itu lo mas, kaya mengandalkan efek-efek buat sihir-sihirnya. Padahal kan yang di aslinya juga belum tentu ada hal seperti itu.”

(61)

Informan juga menambahkan tanggapannya tentang pemeran Gajah Mada di sinetron ini, informan beranggapan bahwa sah-sah saja bila dilihat dari sisi hiburan, “emm, ya itu tadi, sebenarnya sih sah-sah saja, namanya tayangan tv itu kan buat entertain ya mas, buat menghibur, tapi kan Gajah Mada di sejarah aslinya itu sepengatahuan saya memang mayoritas diceritakan dengan usia yang sudah dewasa, kalaupun ada yang diceritakan sewaktu dia masih usia anak kecil itu hanya minoritas saja dan selama ini setahu saya yang ada di tayangan TV itu sebagian karakternya memang sudah relevan dengan apa yang ada di dalam sejarahnya, udah sih mas gitu aja.”

Berdasarkan statement diatas, analisa yang didapat yaitu informan menerima isi dari sinetron tersebut karena ada kejadian dalam sinetron tersebut yang benar-benar ada dalam sejarah. Informan juga mengatakan ada hal-hal yang kurang relevan dalam sinetron ini, dari kejadian-kejadian sampai pada pemeran utama Gajah Mada. Informan setuju dengan pemeran utama Gajah Mada bila dilihat dari sisi hiburan, tetapi dari sisi sejarah menurut informan dirasa kurang pas. Informan berpendapat bahwa sinetron ini seharusnya di samakan dengan sejarah aslinya agar masyarakat tahu sejarah asli dari Gajah Mada.

(62)

membaca buku atau majalah, saya kurang banyak mengikuti perkembangan tv, terlalu banyak gossip.”

Saat peneliti menanyakan tentang masalah yang ada di sinetron Gajah Mada ini informan langsung memberikan pernyataan dengan mencontohkan pada film-film dan karya sastra yang mempunyai masalah sama, “ooo mungkin begini, memang itulah, sejak dulu begitu itu, jadi antara sejarah dan roman sejarah, seperti Van Der Wijck juga, seperti Ttanic juga, jadi Van Der Wijck itu bener-bener tenggelam, tenggelamnya di Lamongan, masih ada sisanya, Titanic juga gitu, dari peristiwa nyata itu muncullah cerita fiksi.”

“Iya, jadi ndak bisa dikategorikan keadaan nyata, sudah fiksi, juga Gajah Mada, jadi pengarangnya itu begitu, membikin Gajah Mada, dia sudah jadi roman sejarah, perpaduan antara imajinasi dan sejarah. Jadi selalu begitu sejak jaman dulu, karena begitu seorang penulis novel dia sama sekali tidak harus memperhitungkan kepada kenyataan, dia berimajinasi sendiri, dan sejak jaman dulu terjadi kontroversi ya begitu itu. Kontroversi yang hebat itu 1001 malam, orang mengira itu riwayat hidupnya Al Rasyid, ternyata tidak semua, itu imajinasi. Jadi sama dipertentangkan begitu antar sejarah dan roman sejarah. Jadi kalau kita sudah menyebut roman sejarah, itu fiksi, sastra itu, kalau sejarah ilmu, selalu begitu.”

(63)

Soekarno itu pro Nippon, kan banyak yang keberatan, tapi itu sejarah, jadi untuk supaya negara Indonesia ini lepas dari sekutu, lepas dari Belanda maka Soekarno - Hatta itu pro Nippon, jelas sekali itu, jadi terserah orang setuju apa tidak terhadap penafsirannya Hanung. Dari situ peranan dia memaparkan bahwa yang namanya Soekarno itu pro Nippon, sekarang dia ingin menggunakan Jepang untuk menghantam sekutu.”

“Iya, saya tetap, bagi saya kontroversi itu justru mungkin bagian dari kreatifitas, dan kita bisa berdebat mati-matian itu antar sejarah dan roman sejarah, dimana-mana begitu sejak jaman Yunani dulu. Jadi itulah yang namanya kreatifitas, tidak selalu tergantung pada kenyataan, maka si penulisnya itu harus bertanggung jawab, kenapa dia berani, biasanya begitu, nanti dia akan menjawab, memaparkan, kenapa Hanung mengatakan digambarkan Soekarno pro Nippon, nanti dia akan menjawab, nah kita akan mendapat ilmu, informasi yang selama ini Soekarno kita agung-agungkan ternyata punya kelemahan juga, jadi apa saja mengenai manusia kita ini tidak sempurna, ya kita harus menerima kenyataan itu.”

“Ya kembali kepada penulis apakah dia ingin membikin catatan sejarah yang disinetronkan atau apakah dia ingin membuat roman sejarah.”

(64)

iri hati semua orang di kerajaannya. Mungkin dia ingin menampilkan sesuatu yang biasanya kontroversi sehinga banyak orang yang membicarakan. Jadi orang senang dengan kontroversi dan itu ada hubungannya dengan marketing ilmu menjual, katakan dewi persik disantet, itu hanya ilmu untuk menjual, orang-orang biar nonton filmnya, itu sudah kuno, Hollywood lebih hebat dari itu, cara Hollywood memasarkan bisa bermacam-macam.”

Dari statement diatas dapat dikatakan bahwa informan menganggap masalah pelencengan cerita di sinetron ini sudah ada sejak jaman dulu dan menjadi kontroversi. Dengan latar belakang informan yang seorang budayawan dan dosen, informan juga memberikan contoh dari karya-karya seni lain yang mempunyai masalah yang sama dengan sinetron Gajah Mada ini, antara lain dari film Titanic, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dan juga film Soekarno. Informan juga mengatakan menerima isi sinetron ini karena informan mengikuti apa yang penulis mau dari sinetron tersebut, apakah si penulis ingin membuat suatu catatan sejarah yang disinetronkan atau apakah dia ingin membuat suatu roman sejarah. Dan tentang pemeran utama Gajah Mada informan juga menyarankan untuk menanyakan hal ini kepada penulis sinetron, karena semua isi dari sinetron tersebut adalah hasil imajinasi dari si penulis.

(65)

artinya gini, dari sisi sejarah ada tapi ada juga yang karena ini sifatnya hiburan jadi ada variasi-variasi yang sifatnya menghibur, jadi kalau dikaitkan dengan cerita Gajah Mada itu sepertinya itu diluar dari cerita intinya.”

Informan beranggapan bahwa ilmu-ilmu yang ditampilkan di dalam sinetron Gajah Mada ini tidak ada dalam sejarah aslinya dan ditujukan hanya untuk hiburan semata, “Jadi gini, contoh seperti ilmu kanuragan yang di tampilkan di TV itu sepertinya kan nggak ada di cerita sejarah yang sebenarnya, itu kan hanya sifatnya sekedar menghibur sebenarnya.”

Informan juga mengatakan isi dari sinetron ini berbeda dari sejarah aslinya, “Kalau dari sisi rajanya dan punggawanya itu sama, cuman kalau diruntut secara urut itu nggak sesuai dengan cerita sejarahnya.”

“Berbeda. Jadi kalau seperti rajanya, trus seperti senopatinya itu memang ada cerita itu di sejarah.” Dilihat dari pernyataan tersebut informan menganggap sisi cerita dari sinetron tersebut tidak sesuai dengan sejarah asli, tetapi dari sisi tokoh-tokohnya informan mengatakan sama.

(66)

Informan juga menambahkan tentang pemeran utama sinetron Gajah Mada ini berdasarkan dari cerita sejarah yang informan baca, “Kalau dari cerita sejarah yang pernah saya baca memang disitu tidak diceritakan bahwa Gajah Mada itu sebenarnya anak kecil, cuman disitu dia itu masuknya dari prajurit terus jadi bhayangkara keraton dan akhirnya dia menjadi Mahapatih. Tapi disitu nggak ada cerita bahwa Gajah Mada itu anak kecil. Jadi kalau dilihat dari sisi sinetron Gajah Mada itu kembali ke tujuannya menghibur mungkin itu, bahannya perannya itu seolah-olah dari masa remajanya, anak kecil.”

Dari statement diatas, analisa yang didapat adalah sebagai seorang yang awam tentang sejarah Gajah Mada, informan merasa bingung menerima atau menolak isi dari sinetron ini. Informan mengatakan bahwa isi cerita dari sinetron ini berbeda dengan sejarah aslinya, tetapi tokoh-tokohnya sama dengan sejarah aslinya. Informan juga menyatakan dari buku yang informan baca bahwa Gajah Mada tidak diceritakan seperti anak kecil. Informan menganggap ilmu-ilmu kanuragan dan juga pemeran utama anak kecil Gajah Mada di sinetron tersebut adalah bagian dari tujuan utama sinetron tersebut, yaitu untuk menghibur.

(67)

“Ya sekarang jurus-jurus kaya gitu masa ada mas di dunia nyatanya, ga ada mas, itu cuman ada di tv aja, rekayasa tv aja biar menarik acaranya.” Dari statement diatas informan beranggapan bahwa efek-efek jurus yang ditampilkan di sinetron ini tidak masuk akal dan tidak ada di dunia nyata, efek tersebut hanya ditujukan untuk membuat acara tersebut terlihat menarik.

Informan juga tidak mengetahui sejarah dari Gajah Mada, informan hanya mengetahui dari buku yang informan baca bahwa Gajah Mada itu sudah dewasa, “Kalau sejarah aslinya kurang tau saya mas, gak pernah baca sejarah aku. Cuman pernah liat sinetron nya itu aja. Aku cuman tau dari buku-buku sejarah kalo gajah mada itu diceritakan pas sudah dewasa. Bukan anak kecil yang kaya sinetronnya itu lo.”

Informan berpendapat bahwa seharusnya sinetron Gajah Mada ini tidak perlu menampilkan efek-efek jurus yang tidak masuk akal, “Nah ini, kalau menurut saya ya sinetronnya ini ga perlu pake efek jurus-jurus yang gak masuk akal kaya gitu lah, jangan ngawur, memang tujuan e buat hiburan, tapi kan lebih bagus kalo tanpa jurus-jurus itu, biar lebih terasa kalo itu sinetron sejarah gitu lo, itu menurutku mas.”

(68)

pemerannya gajah mada yang anak kecil itu bertarung sama orang dewasa, ada jurus-jurus e, kalo menurutku itu janggal dan ndak pas mas.”

Dari statement diatas, analisa yang didapat adalah sebagai seorang yang awam tentang sejarah Gajah Mada, informan menolak isi dari sinetron ini dikarenakan adanya efek-efek jurus yang dirasa janggal dan tidak masuk akal. Informan juga beranggapan bahwa pemeran utama dalam sinetron Gajah Mada ini seharusnya diganti dengan pemeran dewasa.

4.4 Pembahasan

Informan pertama bernama Abdul Fatah, informan menerima isi dari sinetron tersebut karena ada kejadian dalam sinetron tersebut yang benar-benar ada dalam sejarah. Informan juga mengatakan ada hal-hal yang kurang relevan dalam sinetron ini, dari kejadian-kejadian sampai pada pemeran utama Gajah Mada. Informan setuju dengan pemeran utama Gajah Mada bila dilihat dari sisi hiburan, tetapi dari sisi sejarah menurut informan dirasa kurang pas. Informan berpendapat bahwa sinetron ini seharusnya di samakan dengan sejarah aslinya agar masyarakat tahu sejarah asli dari Gajah Mada.

(69)

dikarenakan adanya hal-hal atau kejadian yang menurut informan kurang relevan dari sejarah aslinya. Hal ini bisa dikatakan Negotiated Code, penonton yang mencampurkan interpretasinya dengan pengalaman-pengalaman sosial tertentu mereka. Penonton yang masuk kategori negosiasi ini bertindak antara adaptif dan oposisi terhadap interpretasi pesan atau ideology dalam televisi.

Informan kedua adalah Akhudiat, informan menganggap masalah pelencengan cerita di sinetron ini sudah ada sejak jaman dulu dan menjadi kontroversi. Dengan latar belakang informan yang seorang budayawan dan dosen, informan juga memberikan contoh dari karya-karya seni lain yang mempunyai masalah yang sama dengan sinetron Gajah Mada ini, antara lain dari film Titanic, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dan juga film Soekarno. Informan juga mengatakan menerima isi sinetron ini karena informan mengikuti apa yang penulis mau dari sinetron tersebut, apakah si penulis ingin membuat suatu catatan sejarah yang disinetronkan atau apakah dia ingin membuat suatu roman sejarah. Dan tentang pemeran utama Gajah Mada informan juga menyarankan untuk menanyakan hal ini kepada penulis sinetron, karena semua isi dari sinetron tersebut adalah hasil imajinasi dari si penulis.

(70)

Organisasi (2008:25). Informan juga mempermasalahkan adanya drama yang diselipkan didalam cerita sinetron ini. Menurut informan, hal seperti ini sudah lama ada dan sudah menjadi kontroversi dari dulu. Tetapi informan menganggap kontroversi seperti itu adalah bagian dari kreatifitas penulis itu sendiri. Tentang masalah pemeran utama Gajah Mada yang masih anak kecil, informan mengatakan bahwa hal tersebut memang kontroversi dan berpendapat bila sebaiknya ditanyakan kepada penulis itu sendiri. Hal ini bisa dikatakan Negotiated Code, penonton yang mencampurkan interpretasinya dengan pengalaman-pengalaman sosial tertentu mereka. Penonton yang masuk kategori negosiasi ini bertindak antara adaptif dan oposisi terhadap interpretasi pesan atau ideology dalam televisi.

Informan ketiga bernama Noerhadji, sebagai seorang yang awam tentang sejarah Gajah Mada, informan merasa bingung menerima atau menolak isi dari sinetron ini. Informan mengatakan bahwa isi cerita dari sinetron ini berbeda dengan sejarah aslinya, tetapi tokoh-tokohnya sama dengan sejarah aslinya. Informan juga menyatakan dari buku yang informan baca bahwa Gajah Mada tidak diceritakan s

Referensi

Dokumen terkait

Cetak Brosur Eceran Di Palangka Raya Hub WA 08115239490 – Greenery Percetakan adalah Pusat Cetak Brosur eceran, Tercepat dan Terbaik di Kalimantan Tengah Segera Hubungi 0811 5239 490

dalam video baik fashion, kecantikan, koreografi, maupun adegan dalam video. Bahkan informan juga menginterpretasikan makna yang terkandung dalam setiap adegan. Perilaku lain

Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu keenam informan memaknai olahraga calisthenics selain sebagai olahraga yang menyehatkan, olahraga calisthenics juga

Penelitian ini menunjukan masyarakat Jawa Timur memiliki kemampuan lintas budaya, dalam arti menerima orang luar Jawa sebagai presiden Indonesia asalkan

juga banyak memperlihatkan kebiasaan remaja seperti, ngerokok, ngumpul bareng, dan pacarana.” informan Aji, 29 November 2022 Berdasarkan pendapat yang disampaikan oleh informan di