• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN STRUKTUR BETON PRATEKAN BENTANG PANJANG DENGAN BEBAN GEMPA LATERAL PADA PROYEK GEDUNG RUMAH SAKIT JASA MEDIKA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KAJIAN STRUKTUR BETON PRATEKAN BENTANG PANJANG DENGAN BEBAN GEMPA LATERAL PADA PROYEK GEDUNG RUMAH SAKIT JASA MEDIKA."

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS AKHIR

Disusun oleh :

RUDI ANTORO

0853010069

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

(2)

RUDI ANTORO NPM. 0853010069

ABSTRAK

Rumah Sakit Jasa Medika merupakan gedung yang terdiri dari sembilan lantai yang desain awalnya menggunakan beton pratekan pasca-tarik (post tension). Letak dari balok pratekan terdapat pada posisi lantai dua sampai lantai Sembilan, dengan dimensi balok 600x900 milimeter, bentang 14,4 meter dilantai dua dan tiga. Sedangkan dilantai empat sampai Sembilan dimensi baloknya 600x800 milimeter dan panjang bentang 14,4 meter.

Dalam Tugas Akhir ini dibahas mengenai pengkajian dengan menganalisa perhitungan ulang kekuatan dari beton pratekan tersebut. Dengan tujuan mengetahui kekuatan balok pratekan yang direncanakan kuat atau tidaknya untuk memikul beban struktur bangunannya, beban hidupnya, maupun beban gempa lateralnya. Menurut ACI 318-08(American Concrete Institute) Pasal 21 menyebutkan bahwa prestress hanya boleh menerima 25 persen maksimal beban gempa lateral, pasal 23.2.1.3 SNI 03-2847-2002 menyebutkan bahwa perencanaan gedung pada wilayah gempa tinggi dapat didesain menggunakan Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK) untuk memikul gaya-gaya yang diakibatkan oleh gempa. Mengacu pada pasal-pasal tersebut struktur Gedung Rumah Sakit Jasa Medika yang terletak pada wilayah gempa tinggi. Dari kondisi bentuk gedung, maka gedung tersebut masuk dalam kategori gedung beraturan, pengaruh Gempa Rencana dapat ditinjau sebagai pengaruh beban gempa dinamis.

Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah menghasilkan perhitungan analisa struktur beton pratekan yang rasional dengan memenuhi persyaratan keamanan struktur yang berdasarkan ACI 318M-08 mengijinkan tendon prestress menerima beban gempa lateral 25% dengan hasil tegangan yang terjadi telah memenuhi syarat dari kehilangan pratekan 10,057% < 20% dari jumlah total kehilangan, dimana tidak ada tegangan positif yang terjadi di penampang balok. Dari hasil perhitungan total lendutan untuk masing-masing tendon, lendutan yang terjadi hasilnya negatif yang berarti lendutan mengarah keatas berlawanan dengan lendutan yang terjadi. Dan untuk lendutan dengan kurun waktu sebesar 26,592 mm kearah atas.

Pada daerah dengan zona gempa kuat (wilayah gempa 5) desain menggunakan ACI 318-08 sangat efektif karena hasil dari tulangan dan dimensinya yang sesuai dengan ukuran penampang yang dibutuhkan. Untuk studi selanjutnya tidak menutup kemungkinan bahwa pada zona gempa sedang ataupun rendah akan mendapatkan hasil yang berbeda dengan acuan yang berbeda.

(3)

Dengan segala puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik. Tugas Akhir ini sengaja dibuat sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Strata Satu (S1) di Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Dalam Tugas Akhir ini penyusun melakukan kajian struktur beton pratekan bentang panjang dengan beban gempa lateral pada proyek gedung rumah sakit jasa medika di Surabaya yang terletak pada wilayah gempa tinggi. Tugas akhir ini dibuat dengan dengan tujuan dapat mendesain dan menganalisa balok pratekan dengan zona gempa yang tinggi mengacu pada aturan ACI 318-08 dan SNI 03-2847-2002.

Dalam menyusun Tugas Akhir ini telah melibatkan bimbingan dari banyak pihak. Atas tersusunnya Tugas Akhir ini terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ibu Ir. Naniek Ratni JAR., M. Kes. selaku Dekan Fakultas Teknik Sipil dan

Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Ibnu Sholichin, ST., MT. selaku Ketua Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

(4)

mengajarkan banyak hal tentang Teknik Sipil.

5. Seluruh Dosen beserta staf Program Studi Teknik Sipil.

6. Seluruh teman-teman mahasiswa Teknik Sipil Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur yang telah membantu dan memberi semangat dalam menyelesaikan laporan ini.

Penyusun menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu diharapkan dari semua pihak untuk memberikan kritik dan saran untuk menyempurnakan Tugas Akhir ini kedepan. Mudah-mudahan Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua yang membutuhkannya.

Surabaya, Juni 2012 Penulis,

(5)

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

ABSTRAK ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Maksud dan Tujuan ... 3

1.4. Ruang Lingkup ... 3

1.5. Lokasi ... 4

BAB II TINJ AUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Umum ... 5

2.2. Prinsip-Prinsip Dasar Beton Pratekan ... 6

2.3. Keuntungan dan Kerugian Beton Pratekan ... 11

2.4. Perkiraan Kehilangan Gaya Pratekan Total ... 12

2.4.1. Perpendekan Elastis Beton ... 13

(6)

Akibat Relaksasi Baja ... 21

2.4.5. Kehilangan Pratekan Akibat Pergelinciran Angkur ... 23

2.4.6. Kehilangan Tegangan Akibat gesekan ... 25

2.4.6.1. Efek Kelengkungan ... 25

2.4.6.2. Efek Wobble ... 27

2.5. Beban Gempa Rencana ... 28

2.5.1. Kategori Gedung ... 29

2.5.2. Daktilitas Struktur ... 30

2.5.3. Pembebanan Gempa Nominal (vn) dan Faktor Reduksi Gempa ... 31

2.5.4. Wilayah Gempa dan Spetrum Respon ... 33

2.5.5. Analisa Beban Statik Ekivalen ... 36

2.6. Desain Kekuatan Geser ... 37

BAB III METODOLOGI ... 42

3.1. Pengumpulan Data ... 42

3.2. Pemodalan Struktur ... 43

3.3. Studi Literatur ... 43

(7)

3.5.1. Komponen Struktur Lentur pada SRPMK ... 49

3.5.2. Komponen Struktur yang menerima Kombinasi Lentur dan Beban aksial pada SRPMK ... 53

3.6. Perencanaan Struktur Gedung ... 54

3.7. Perencanaan Balok Pratekan ... 59

3.8. Kontrol Desain ... 68

3.9. Metode Pelaksanaan ... 69

3.10. Gambar Detail ... 69

3.11. Bagan Alir Penyelesaian Proposal Tugas Akhir ... 70

BAB IV PERHITUNGAN BEBAN DAN STATIKA STRUKTUR ... 71

4.1. Umum ... 71

4.2. Spesifikasi Data Perhitungan ... 71

4.3. Pembebanan ... 72

4.3.1. Perhitungan beban Pada Portal ... 74

4.4. Perhitungan Beban gempa ... 78

4.4.1. Respon Spektrum Gempa ... 78

4.4.2. Perhitungan berat struktur ... 78

(8)

BAB V PERHITUNGAN STRUKTUR

PRATEGANG ... 92

5.1. Umum ... 92

5.2. Tegangan Ijin Beton Prategang ... 93

5.3. Karakteristik Penampang Balok ... 95

5.4. Momen akibat Berat Sendiri dan Komposit ... 99

5.4.1. Akibat Berat Sebelum Komposit ... 99

5.4.2. Akibat Beban Mati dan Hidup Setelah komposit ... 100

5.4.3. Daerah Limit Kabel dan Gaya Awal Prategang ... 101

5.4.3.1. Desain Pendahuluan ... 101

5.4.4. Daerah Limit Kabel ... 102

5.4.5. Kontrol Tegangan ... 104

5.4.6. Penentuan Jumlah Strand ... 110

5.5. Penentuan Tracee Tendon ... 112

5.6. Kehilangan Pratekan ... 115

5.6.1. Kehilangan Prategang Langsung ... 117

5.6.1.1. Kehilangan Akibat Perpendekan Elastis .... 117

(9)

5.6.1.6. Kehilangan Relaksasi Tegangan Tendon ... 131

5.6.1.7. Kehilangan Total Pratekan ... 131

5.6.2. Kontrol Lendutan ... 132

5.6.2.1. Lendutan Ijin ... 133

5.6.2.2. Lendutan Awal Saat Jacking ... 133

5.6.2.2.1. Lendutan akibat Tekanan Tendon ... 133

5.6.2.2.2. Lendutan Akibat Tekanan Eksentrisitas Tendon ... 133

5.6.2.2.3. Lendutan Akibat Berat Sendiri ... 135

5.6.2.3. Lendutan Jangka Panjang ... 138

5.6.3. Kontrol Tegangan Saat Kehilangan Prategang Total ... 144

5.6.4. Kontrol Tegangan Akibat Beban Gempa 25% ... 148

5.7. Momen Retak ... 150

5.8. Penulangan pada Balok Pratekan ... 153

5.9. Penentuan Tulangan Pada Balok Prategang ... 160

BAB VI PENUTUP ... 163

(10)
(11)

Pasca-Tarik ... 13

2.2. Nilai KSH Untuk komponen Struktur Pascatarik ... 20

2.3. Koefisien Gesek Kelengkungan dan Wobble Efek ... 24

2.4. Faktor Keutamaan Untuk Berbagai Kategori Gedung dan Bangunan ... 29

2.5. Parameter Daktilitas Struktur Gedung ... 33

4.1. Jumlah Beban Bangunan Keseluruhan ... 84

4.2. Gaya Tiap Lantai ... 87

4.3. Hasil Patisipasi Massa ... 88

4.4. Kontrol Kinerja Batas Layan Arah x ... 91

4.5. Kontrol Kinerja Batas Layan Arah y ... 91

5.1. Rasio Kuat Tekan Beton Terhadap Umur Semen Portland Biasa ... 93

5.2. Jarak Tendon Tiap BAR ... 115

5.3. Kehilangan Perpendekan Elastis Pada Tiap tendon .. 119

5.4. Jarak tiap Kabel Terhadap cgc ... 121

5.5. Kehilangan Akibat Gesekan Pada Balok ... 123

5.6. Akibat Pergelinciran Angkur ... 125

(12)
(13)

2.1 Skema cgc dan Diagram Tegangan ... 7

2.2 Skema cgc, cgs dan Diagram Tegangan ... 8

2.3 Perbandingan Antara Balok Beton Bertulang Dengan Balok Pratekan ... 9

2.4 Skema Tendon Parabola, Beban Merata dan Diagram Tegangan ... 10

2.5 Perpendekan Pada Beton Pratekan ... 14

2.6 Kehilangan Tegangan Akibat Gesekan Pada Efek Kelengkungan ... 25

2.7 Strong Column Weak Beam ... 35

2.8 Peta Wilayah Gempa Indonesia ... 35

2.9 Distribusi Tegangan Untuk Balok Persegi Panjang .... 40

2.10 Kondisi Tegangan Pada Elemen a1, a2 ... 40

3.1 Gaya Yang Bekerja Pada Penampang ... 52

4.1 Pembagian Pelat ke Balok ... 75

4.2 Lokasi Pelat ... 76

4.3 Pembebanan Pelat Atap ... 76

4.4 Pembebanan Pelat lantai Tipe A ... 77

4.5 Grafik Respon Spektrum Untuk Zona Gempa 5 ... 79

(14)

5.5 Diagram Tegangan Sebelum Komposit ... 109

5.6 Diagram Sesudah Komposit Daerah Lapangan ... 109

5.7 Diagram Sesudah Komposit Daerah Tumpuan ... 109

5.8 Letak Tendon Pada Tumpuan dan Lapangan ... 113

5.9 Lengkung Parabola Pada Kabel ... 113

5.10 Jarak Tendon ... 114

5.11 Gambar Diagram Setelah Kehilangan Prategang ... 146

5.12 Gambar Diagram Tegangan Setelah Kehilangan Prategang ... 147

5.14 Tegangan Pada Tumpuan 25% Beban Gempa ... 149

5.15 Detail Tulangan Balok ... 160

5.16 Detail Bursting Steel ... 162

6.1 Tegangan Pada Tumpuan 25% Beban Gempa ... 164

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Di Indonesia tingkat kependudukan sangatlah padat sejalan dengan pertumbuhaan jumlah penduduk,kebutuhan atas layanan kesehatan yang layak, memadai maupun dekat dengan tempat tinggal menjadi suatu kebutuhan yang mendesak akan menjadi kepentingan utama bagi banyak orang. Dalam upaya memenuhi kebutuhan tersebut merupakan tantangan bagi para engineer untuk dapat menciptakan sarana dan prasarana yang kuat, aman, mudah dan cepat pelaksanaannya.

Surabaya sendiri sudah banyak sekali fasilitas-asilitas kesehatan yang sudah dibangun untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Terutama di Gedung Rumah Sakit Jasa Medika yang baru saja dibangun, terdiri dari sembilan lantai untuk beberapa lantai terdapat yang menggunakan beton prategang. Gedung tersebut membutuhkan ruangan yang sangat luas dan bebas halangan maka ada beberapa lantai tertentu yang sengaja sudah direncanakan tidak terdapat kolom. Dengan meniadakan kolom tengah pada lantai yang telah direncanakan, maka balok pratekan akan mempunyai bentang yang panjang, ukuran dimensi yang sangat khusus. Balok ini mempunyai ukuran yang besar dikarenakan menahan beban sembilan lantai dan beban lateral.

(16)

menerima 25% maksimal beban gempa lateral, dari hal ini dapat memberikan motivasi untuk mengangkat sebagai bahan kajian beton pratekan pada tugas akhir ini.

1.2.Per umusan Masalah

Berdasarkan data-data struktur beton prategang yang telah diulas tersebut, dapat ditarik permasalahan-permasalahan yang didapatkan :

1. Bagaimana cara menganalisa struktur beton pratekan balok bentang panjang dengan beban gempa lateral.

2. Bagaimana metode untuk membatasi defleksi (camber) keatas struktur balok prestress.

3. Bagaimana mengetahui jumlah tendon yang digunakan.

4. Bagaimana membagi kerja beban pada balok pratekan terutama pada tendon memenuhi standar yang diijinkan.

1.3. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan dalam kajian proposal ini adalah :

1. Untuk mengetahui balok pratekan sudah memenuhi persyaratan ACI 318M-08 dan beban gempa lateral.

2. Untuk mengetahui dimensi penampang balok pratekan memenuhi persyaratan dan peraturan SNI-03-2847-2002.

3. Untuk mengetahui jumlah dan tipe tendon yang digunakan.

(17)

1.4. Ruang Lingkup

Untuk lebih jelasnya batasan-batasan yang ada dalam lingkup ini adalah :

1. Dalam kajian struktur gedung ini balok pratekan diambil salah satu untuk ditinjau dan dianalisa.

2. Analisa ini akan direncanakan untuk beberapa desain balok beton pratekan sesuai dengan persyaratan yang ada.

3. Tidak meninjau dari segi analisa biaya, arsitektural, dan manajemen konstruksi. 4. Meninjau pelaksanaan yang hanya berkaitan dengan perhitungan struktur. 5. Dalam hal ini tidak ada perhitungan hubungan balok kolom.

6. Sistem pada balok pratekan menggunakan Post Tensioning.

7. Tendon sistem tarik (jacking) penarikan kabel tendon dilakukan secara bersamaan.

1.5. Lokasi

(18)

BAB II

TINJ AUAN PUSTAKA

2.1.Umum

Beton adalah material yang kuat dalam kondisi tekan, tetapi sebaliknya beton lemah dalam kondisi tarik, kuat tariknya bervariasi dari delapan (8) sampai empat belas (14) persen dari kuat tekannya. Karena rendahnya kapasitas tarik tersebut, maka retak lentur terjadi pada taraf pembebanan yang masih rendah. Untuk mengurangi atau mencegah berkembangnya retak tersebut, gaya konsentris atau eksentris diberikan dalam arah longitudinal elemen stuktural. Gaya ini mencegah berkembangnya retak dengan cara mengeliminasi atau sangat mengurangi tegangan tarik dibagian tumpuan dan daerah kritis pada kondisi beban kerja, gehingga dapat meningkatkan kapasitas lentur, geser, dan torsional penampang tersebut. Penampang dapat berprilaku elastis, dan hampir semua kapasitas beton dalam memikul tekan dapat secara efektif dimanfaatkan di seluruh tinggi penampang beton pada saat semua beban bekerja di struktur tersebut (Edward G Nawy 2001).

Beton pratekan pada dasarnya adalah beton dimana tegangan-tegangan internal dengan besar serta distribusi yang sesuai diberikan sedemikian rupa sehingga tegangan-tegangan yang diakibatkan oleh beban-beban luar dilawan sampai suatu tingkat yang diinginkan. Pada batang beton bertulang, pratekan pada umumnya diberikan dengan menarik baja tulangannya.

(19)

Tendon Konsentris (Gaya F)

c.g.c. c.g.c = c.g.s

Balok diberi gaya prategan dan dibebani berat sendiri

P/A M / W P/A + M / W

+

=

polos hanyalah merupakan suatu fraksi saja dari kekuatan tekannya dan masalah kurang sempurnanya kekuatan tarik itu ternyata menjadi faktor pendorong dalam pengembangan material komposit yang dikenal sebagai beton bertulang (N Krisna Raju 1993).

2.2.Pr insip-Pr insip Dasar Beton Pr atekan

Ada 3 konsep yang dapat dipakai untuk menjelaskan dan menganalisa sifat-sifat dasar dari beton pratekan. Hal ini sangat penting, untuk mengerti tiga konsep tersebut supaya dapat mendesain beton prategang dengan sebaik – baiknya dan seefisien mungkin. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

Konsep pertama sistem pratekan untuk mengubah beton menjadi bahan yang elastis (Prestressing ti Transform Concrete into an Elastic Material).

a) Skema sebuah balok pratekan c.g.c

b) Diagram prinsip analisa tegangan

(20)

c.g.c.

Balok diberi gaya prategan dan dibebani berat sendiri

Tendon Eksentris c.g.c.

c.g.s.

e

F F

P/A M / W P/A + M / W

+

=

a) Skema sebuah balok pratekan c.g.c dan c.g.s

b) Diagram prinsip analisa tegangan

Gambar 2.2 Skema c.g.c, c.g.s dan diagram tegangan (Sumber : G. Nawy 2001)

Pada dasarnya beton yang ditransformasikan dari bahan yang getas menjadi bahan yang elastis dengan memberikan tekanan terlebih dahulu pada bahan tersebut.

Beton yang tidak mampu menahan tarik dan kuat memikul tekanan sedemikian rupa sehingga beton yang getas dapat memikul tegangan tarik. Dari konsep ini lahirlah kriteria “tidak ada tegangan tarik” pada beton, umumnya telah diketahui bahwa jika tidak ada tegangan tarik pada beton, berarti tidak akan terjadi retak, dan beton tidak merupakan bahan yang getas lagi melainkan berubah menjadi bahan yang elastis (T.Y.LIN NED).

(21)

P

C

T

P

C

T

Gambar 2.3 Perbandingan antara balok beton bertulang dengan balok pratekan

Konsep ini mempertimbangkan beton pratekan sebagai kombinasi dari baja dan beton, seperti pada beton bertulang, dimana baja menahan tarikan dan beton

menahan tekanan, dengan demikian kedua bahan membentuk kopel penahan untuk menahan momen eksternal.

Konsep ketiga sistem pratekan untuk mencapai kesetimbangan beban (Prestressing to Achieve Load Balancing), konsep ini terutama menggunakan pratekan sebagai suatu usaha untuk membuat seimbang gaya- gaya pada sebuah batang.

P

C

T

P

C

T

(22)

T e n d o n P a r a b o l a

h

L

Beban merata

h

P/A M / W P/A + M / W

+

=

a) Skema balok (sumber ; G. Nawy 2001)

b) Gaya penyeimbang beban

c) Diagram tegangan (sumber : G. Nawy 2001)

Gambar 2.4 Skema tendon parabola, beban merata dan diagram tegangan

(23)

2.3.Keuntungan dan Ker ugian Beton Pr atekan

Komponen struktur pratekan mempunyai tinggi lebih kecil dibandingkan beton bertulang untu kondisi bentang dan beban yang sama. Pada umumnya, tinggi komponen struktur beton prategang berkisar antara 65 sampai dengan 80 persen dari tinggi komponen struktur beton bertulang. Dengan demikian komponen struktur prategang membutuhkan lebih sedikit beton, dan sekitar 20 sampai 35 persen banyaknya tulangan. Sayangnya penghematan pada berat material ini harus dibayar dengan tingginya harga material bermutu tinggi yang dibutuhkan dalam pemberian prategang. Juga, bagaimanapun sistem yang digunakan, operasi pemberian prategang itu sendiri menimbulkan tambahan harga. Cetakan untuk beton prategang menjadi lebih kompleks, karena geometri penampang prategang biasanya terdiri atas penampang bersayap dengan beberapa bahan yang tipis.

Tanpa memperhatikan tambahan harga tersebut, apabila komponen struktur yang cukup besar dari unit–unit pracetak dibuat, perbedaan antara sedikitnya harga awal sistem beton prategang dan beton bertulang biasanya tidak terlalu besar, karena dibutuhkan perawatan yang lebih sedikit, yang berarti daya guna lebih lama sebagai akibat dari kontrol kualitas yang lebih baik pada betonnya, dan pondasi yang lebih ringan dapat digunakan akibat berat kumulatif struktur atas yang lebih kecil (Edward G Nawy 2001).

2.4. Per kir aan Kehilangan Gaya Pr atekan Total

Rekomendasi untuk rancangan struktur beton pratekan dikembangkan komisi

(24)

perpendekan elastis, rangkak, susut, dan relaksasi (tetapi tidak termasuk gesekan dan pergeseran angkur). Pada beton normal besarnya 240 Mpa untuk balok-balok pratarik dan 170 Mpa untuk balok pasca tarik.

The Posttensioning Institute mencatumkan rekomendasi – rekomendasi untuk keseluruhan kehilangan gaya pratekan pada tabel 2.1 sebagai bagian dari petunjuk pasca-tarik. Nilai – nilai ini disesuaikan untuk proyek – proyek yang menggunakan pascatarik dimana kehilangan gaya pratekan tidak dispesifikasi oleh perancang.

Tabel 2.1. Nilai Pendekatan kehilangan Gaya Pratekan Sistem Pasca-Tarik

Pelat Balok dan Balok Anak

Strand stress relived 270 dan kawat

st ress relieved 240 210 Mpa 240 M Pa

Batang 140 Mpa 170 M pa

M at erial Tendon Pasca Tarik

Kehilangan Gaya Pratekan M pa

Sumber : Khrisna Raju

2.4.1. Per pendekan Elastis Beton (ES)

(25)

IL ES ES=∆ ∈ c c c c ES E A Pi E f = = ∈ cs c i c c i s ES S pES nf A nP E A P E E

f = ∈ = = =

c i cs A P f = −

a. Elemen – Elemen Pratarik

Untuk elemen – elemen pratarik, gaya tekan yang dikerjakan pada balok oleh tendon menyababkan perpendekan longitudinal pada balok, seperti terlihat dalam gambar 2.1 perpendekan satuan pada beton adalah , sehingga

Gambar 2.5 Perpendekan pada beton pratekan (sumber : G. Nawy 2001)

(2.1a)

karena tendon prategang mengalami besarnya perpendekan yang sama, maka

(2.1b)

tegangan di beton pada pusat berat baja akibat prategang awal adalah (2.2)

jika tendon dalam gambar 2.5 mempunyai eksentrisitas e pada tengah bentang balok dan momen akibat berat sendiri MD diperhitungkan, maka tegangan yang dialami

beton dipenampang tengah bentang pada level baja prategang menjadi (2.3) c D c i cs I e M r e A P

f +

     + −

= 1 22

ES

P1 P1

(26)

(

)

= ∆ =

n

i

j j

pES

pES f

n

f 1

dimana Pi mempunyai nilai lebih kecil setelah transfer prategang. Reduksi yang dari

PJ menjadi Pi ini terjadi karena gaya di baja prataegang segera setelah transfer lebih

kecil dari pada gaya pendongkrak awal PJ. Sekalipun demikian, karena nilai reduksi

Pi tersebut sulit ditentukan secara akurat, dan arena penelitian–penelitian

menunjukkan bahwa reduksi ini sangat kecil persentasenya, maka nilai awal sebelum transfer Pi ini dapat digunakan di dalam persamaan 2.1 sampai 2.3, atau kurangi

sekitar 10 persen jika dikehendaki. b. Elemen – elemen Pascatarik

Pada balok pascatarik, kehilangan akibat perpendekan elastis bervariasi dari nol jika semua tendon didongkrang secara simultan, hingga setengah nilai yang dihitung pada kasus pratarik dengan beberapa pendongkrak sekuensial digunakan, seperti pendongkrak dua tendon sekaligus. Jika n adalah banyaknya tendon atau pasangan tendon yang ditarik secara sekuensial maka

(2.4)

yang mana j menunjukkan nomor operasi pendongkrakan. Perhatikan bahwa tendon yang ditarik terakhir tidak mengalami kehilangan akibat perpendekan elastis, sedangkan tendon yang ditarik pertama mengalami banyak kehilangan yang maksimum.

2.4.2. Kehilangan Gaya Pr atekan Akibat Rangkak Beton

(27)

RL CR u C ∈ ∈ = u t C t t

C 0,06

06 , 0 10+ = cs c ps pCR f E E C

f = 1

EL

CR

persamaan. Untuk tendon-tendon yang tidak terekat, tegangan tekan rata-rata digunakan untuk mengevaluasi kehilangan tegangan akibat perpendekan elastis dan rangkak beton. Kehilangan tergangan pada beton yang tidak terekat dihubungkan dengan regangan komponen struktur rata-rata dan bukan dengan regangan pada titik momen maksimum.

Deformasi atau regangan yang berasal dari perilaku yang bergantung pada waktu ini merupakan fungsi dari besarnya beban yang bekerja, lamanya serta sifat beton yang meliputi proporsi campurannya, kondisi perawatannya, umur elemen pada saat pertama kali dibebani, dan kondisi lingkungan. Karena hubungan tegangan-tegangan akibat rangkak pada dasarnya linier, maka regangan rangkak dan regangan elastis dapat dihubungkan linier sedemikian sehingga koefisien rangkak Cu dapat

didefinisikan sebagai

(2.5a)

dengan demikian, koefisien rangkak pada waktu sembarang t dalam hari dapat didefinisikan sebagai

(2.5b)

Nilai Cu bervariasi diantara dua dan empat, dengan rata-rata 2,35 untuk rangkak

ultimit. Kehilangan prategang di komponen struktur pratekan akibat rangkak dapat didefinisikan untuk komponen struktur bonded.

(28)

(

cs csd

)

c ps CR

pCR f f

E E K

f = −

(

cs csd

)

CR

pCR nK f f

f = −

Dimana fcs adalah tegangan dibeton pada level pusat berat tendon pratekan. Pada

umumnya, kehilangan ini merupakan fungsi dari tegangan dibeton pada penampang yang sedang ditinjau. Pada komponen struktur pasca tarik nonbonded, pada dasarnya kehilangannya dapat dipandang seragam disepanjang bentangnya.

Dengan demikian, nilai rata-rata untuk tegangan beton diantara titik-titik angker dapat digunakan untuk menghitung rangkak di komponen strutur pascatarik.

Rumus komite ACI-ASCE untuk menghitung kehilangan akibat rangkak pada dasarnya sama dengan persamaan 2.6

(2.7a) atau

(2.7b)

2.4.3. Kehilangan Gaya Pr atekan Akibat Susut Beton (SH)

Besarnya susut pada beton dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi proporsi campuran, tipe agregat, tipe semen, waktu perawatan, waktu antara akhir perawatan eksternal dan pemberian prategang, ukuran komponen struktur dan kondisi lingkungan. Ukuran dan bentuk komponen struktur juga mempengaruhi susut, kira-kira 80 persen dari susut terjadi pada tahun pertama. Nilai rata-rata regangan susut ultimit pada beton yang dirawat basah maupun yang dirawat uap dilaporkan sebesar 780 x 10-6 in/in, di dalam ACI 209 R-92 Report.Nilai rata-rata ini dipengaruhi oleh panjang perawatan basah awal, kelembaban relatif sekitar, rasio volume-permukaan, temperatur dan komposisi beton. Untuk memperhitungkan

cs

(29)

pengaruh-pengaruh tersebut, nilai rata-rata regangan susut harus dikalikan dengan faktor koreksi sebagai berikut

(2.8)

Komponen-komponen dari adalah faktor-faktor untuk berbagai kondisi lingkungan. Untuk kondisi standar, Presstressed Concrete Institute menetapkan nilai rata-rata untuk regangan susut ultimit nominal in/in (mm/mm). Jika adalah regangan susut sesudah menyesuaikan untuk kelembaban relatif pada rasio volum-permukaan V/S, kehilangan pratekan pada komponen struktur pratarik adalah

(2.9)

Untuk komponen struktur pascatarik, kehilangan prategang akibat susut agak lebih kecil karena sebagaian susut telah terjadi sebelum pemberian pascatarik. Jika kelembaban relatif diambil nilai persen dan efek rasio V/S ditinjau, rumus umum

Presstressed Concrete Institute untuk menghitung kehilangan prategang akibat susut menjadi

(2.10) Tabel 2.2. Nilai KSH Untuk Komponen Struktur Pascatarik

di mana KSH = 1,0 untuk komonen pratarik. Tabel memberikan nilai KSH untuk

komponen struktur pascatarik. SH

γ

SH SH γ 6 10 780× − =

SH γ

( )

6

10 820× − =

SH u

SH

ps SH

pSH E

f =∈ ×

(

RH

)

S V E

K

fpSH SH ps  −

     − × =

8,2 10−6 1 0,06 100

Wakt u dari akhir peraw at an basah hi ngga pemberian prat egang, hari

1 3 5 7 10 20 30 60

(30)

Penyesuaian kehilangan susut untuk kondisi standar sebagai fungsi dari waktu t dalam hari sesudah 7 hari untuk perawatan basah dan 3 hari untuk perawat uap dapat diperoleh dengan rumus berikut

a) (2.11a)

di mana adalah regangan susut ultimit, t = waktu dalam hari sesudah susut ditinjau.

b) (2.11b)

2.4.4. Kehilangan Gaya Pr atekan Ak ibat Relaksasi Baja

Kehilangan prategang akibat relaksasi pada baja adalah sebagai prosentase awal pada tegangan baja. Menurut Edward G. Nawy, besar pengurangan prategang bergantung tidak hanya pada durasi gaya pratekan yang ditahan, melainkan juga pada rasio pratekan awal dan kuat leleh baja pratekan . Kehilangan tegangan ini disebut relaksasi tegangan. Peraturan ACI 318-99 membatasi tegangan tarik di tendon pratekan sebagai berikut :

a) Untuk tegangan akibat gaya pendongkrakan tendon, fpJ = 0,94 fpy, tetapi tidak

lebih besar dari pada yang terkecil diantara 0,80 fpu dan nilai maksimum yang

disarankan oleh pembuat tendon dan angker.

b) Segera setelah transfer pratekan, fpi = 0,82 fpy, tetapi tidak lebih besar dari pada

0,74 fpu’

c) Pada tendon pascatarik, di pengangkeran dan perangkai segera setelah transfer gaya = 0,70 fpu’

Nilai fpy dapat dihitung dari :

1. Batang prategang : fpy = 0,80 fpu’

( )

SH s

( )

SH u t t ∈ + = ∈ 35 SH
(31)

2. Tendon stress-relived,fpy = 0,85 fpu’

3. Tendon relaksasi rendah, fpy =0,90 fpu

jika fpR adalah tegangan pratekan yang tersisa pada baja sesudah relaksasi, maka

rumus berikut dapat digunakan untuk mendapatkan fpR untuk baja stress-relieved :

(2.12)

Didalam rumus tersebut, t dinyatakan dalam jam dan log t mempunyai basis 10,fpi/fpy melebihi 0,55, dan t = t2-t1. Pendekatan untuk suku (log t2 – log t1) dalam

persamaan dapat dilakukan sedemikian hingga log t = log( t2 – t1) tanpa kehilangan

ketelitian yang berarti. Dalam hal ini, kehilangan karena relaksasi tegangan menjadi (2.13)

di mana fpi adalah tegangan awal di baja yang dialami elemen beton. Jika analisis

kehilangan dengan cara langkah demi langkah dibutuhkan, maka inkremen kehilangan pada suatu tahap dapat didefinisikan sebagai

(2.14)

di mana t1 adalah waktu pada awal suatu interval, dan t2 adalah waktu diakhir

interval, yang keduanya dihitung pada saat pendongkrakan.

2.4.5. Kehilangan Pr atekan Akibat Penggelincir an Angkur

Menurut raju, N. Krishna menyatakan bahwa system pasca tarik apabila kabel ditarik dan didongkrak dilepaskan untuk mentransfer prategang beton, pasak-pasak yang dipasang untuk memegang kawat-kawat dapat menggelincir pada jarak yang pendek sebelum kawat-kawat tadi menempatkan diri secara kokoh diantara pasak-pasak tadi.Besarnya penggelinciran tercantum dari tipe pasak-pasak dan besarnya tegangan pada kawat. Kehilangan karena dudukan angker pada komponen struktur pascatarik

        −       − −

= 0,55

10 log log

1 2 1

py pi pi pR f f t t f f         − =

∆ ' 0,55

10 log ' py pi pi pR f f t f f         −       − =

∆ ' 0,55

10 log log

' 2 1

(32)

diakibatkan adanya blok-blok pada angker pada saat gaya pendongkrak ditransfer ke angker. Kehilangan ini juga terjadi pada landasan cetakan prategang pada komponen struktur pratarik akibat dilakukannya penyesuaian pada saat gaya pratekan ditranfer ke landasan. Untuk mengatasi kehilangan ini adalah dengan memberikan kelebihan tegangan.

Pada umumnya besarnya kehilangan karena dudukan angker bervariasi antara ¼ in dan 3/8 in.(6,35 mm dan 9,53 mm) untuk angker dengan dua blok. Besar pemberian kelebihan tegangan yang dibutuhkan bergantung pada system pengangkeran yang digunakan karena setiap system mempunyai kebutuhan penyesuaian sendiri-sendiri.

Untuk bentuk perhitungan kehilangan pratekan akibat penggelinciran angker adalah

(2.15)

2.4.6. Kehilangan Tegangan Akibat Gesekan 2.4.6.1. Efek Kelengk ungan

Menurut raju N. Krishna pada penarikan kabel prategang, terjadi perubahan sudut yang sangat kecil pada kabel tersebut, perubahan tersebut berimbas pada tegangan yang terjadi sehingga didalam pelaksanaanya tidak selalu kabel dapat menempati posisi yang direncanakan, oleh karena itu dperlukan kontrol terhadap tegangan akibat gesekan antara kabel dengan beton selubung.

ps A

pA E

L

f = ∆

(33)

Gambar 2.6 Kehilangan tegangan akibat gesekan pada efek kelengkungan

(sumber : N Krisna Raju 1993)

Dengan melihat gambar 2.6, besarnya gaya prategang, Px, pada suatu jarak x

ujung penarikan mengikuti suatu fungsi eksponensi tipe,

(2.16) Di mana,

Po = gaya prategang pada ujung dongkrak

µ = koefisien gesekan antara kabel dan saluran

= sudut kumulatif dalam radian melalui mana garis-garis singgung terhadap profil kabel telah berputar antara dua titik sembarang yang ditinjau K = koefisien gesekan untuk pengaruh gelombang

e = 2,7183

Nilai-nilai untuk koefisien gesekan adalah : 1. 0,55 untuk baja yang bergerak pada beton licin.

2. 0,35 untuk baja yang bergerak pada baja yang dijepit disaluran. 3. 0,25 untuk baja yang bergerak pada baja yang dijepit dibeton. 4. 0,25 untuk baja yang bergerak pada timah.

L

x

Po

Px

kabel

ujung dongkrak

( Kx)

o x Pe

(34)

5. 0,18 – 0,30 untuk kabel tali kawat berlapis banyak didalam selongsong baja persegi panjang yang tegar.

6. 0,15-0,25 untuk kabel tali kawat berlapis banyak dengan pelat-pelat pengatur jarak kearah lateral.

Nilai-nilai untuk koefisien gesekan untuk pengaruh gelombang K : 1. 0,15 per 100 m untuk kondisi normal.

2. 1,5 per 100 m untuk saluran berdinding tipis dan dimana dijumpai getaran hebat pada kondisi-kondisi yang merugikan lainnya.

Pengurangan koefisien dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain apabila ruang antara saluran dengan kabel dibuat cukup lebar dan besar dan dipergunakan pelumas pada kabel baja prategang, jenis dan macam sangat bervariasi akan tetapi pemakaian parafin sebagai pelumas sangat menguntungkan karena menghasilkan koefisien gesekan yang paling rendah, selain itu lapisan parafin didapati tidak merugikan beton dan adukan semen.

2.4.6.2. Efek Wobble

Efek wobble bisa juga disebut efek panjang, kehilangan gesekan yang diakibatkan oleh ketidak sempurnaan dalam alinyemen diseluruh panjang tendon,tak peduli apakah alinemen lurus atau draped. Misalkan K adalah koefisien gesek antara tendon dan beton disekitarnya akibat efek wobble. Dari hasil dari penurunan rumus yang telah dilakukan dalam menurunkan persamaan,

dalam mencari maka berlaku rumus

(2.17)

radian x y

(35)

dan untuk kehilangan gesekan berlaku rumus

(2.18)

Tabel 2.3. Koefisien Gesek Kelengkungan dan Wobble

Jenis Tendon Koefisien w obble, K per foot Koef isien kelengkungan, µ

Tendon di selubung met al fleksibel Tendon kaw at -St rand 7 kaw at -bat ang mut u t inggi

0,0010-0,0015 0,0005-0,0020 0,0001-0,0006 0,15- 0,25 0,15- 0,25 0,08- 0,30

Tendon di saluran met al yang ri gid St rand 7 kaw at

0,0002

0,15- 0,25

Tendon yang dilapisi m ast ic

Tendon kaw a t dan St rand 7 kaw at

0,0010-0,0020

0,05- 0,15

Tendon yang dilumasi dahulu

Tendon kaw at dan St rand 7 kaw at

0,0003-0,002

0,05- 0,15

Sumber : G Nawy jilid 2 Beton Prategang

2.5.Beban Gempa Rencana

Menurut Rancangan Standar Nasional (SNI) 03-1726-2002, Tata Cara Perencanaan Gempa untuk Bangunan Gedung. Gempa rencana ditetapkan mempunyai periode ulang 500 tahun, agar probabilitasnya terbatas pada 10% selama 50 tahun.

2.5.1. Kategor i Gedung

SNI 03-1726-2002. Pengaruh gempa rencana harus di kalikan dengan suatu faktor keutamaan I menurut persamaan:

I = I1 I2 (2.19)

dimana:

I1 = faktor keutamaan berkaitan dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa selama umur gedung

(

KL

)

f

fpF =− +

(36)

I2 = faktor keutamaan berkaitan dengan penyesuaian umur gedung tersebut I1 dan I2 ditetapkan menurut tabel 2.4

Tabel 2.4. faktor keutamaan untuk berbagai kategori gedung dan bangunan

(sumber : SNI 03-1726-2002)

2.5.2. Daktilitas Str uktur

Daktilitas adalah kemampuan struktur gedung untuk mengalami simpangan pasca-elastik besar, berulang kali, bolak-balik, akibat beban gempa yg melebihi beban gempa yang menyebabkan terjadinya pelelehan pertama. Dapat mempertahankan kekuatan dan kekakuan yg cukup, sehingga struktur tetap berdiri walaupun sudah dalam kondisi diambang keruntuhan.

Faktor daktilitas struktur gedung µ adalah rasio antara simpangan maksimum struktur gedung akibat pengaruh gempa rencana pada saat mencapai kondisi di ambang keruntuhan dan simpangan struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan pertama. Daktilitas dibagi menjadi 2 bagian antara lain yaitu daktilitas penuh dan daktilitas parsial.

K ate gori G edung Faktor Ke uta maa n

I

1

I

2

I

Ge du n g um u m sep er t i un t u k p en gh u n ia n,

p er n ia gaan d an p er kan t or an 1 ,0 1 ,0 1 ,0 M o n u m en d an b an gu n an m o n u m en ta l 1 ,0 1 ,6 1 ,6 Ged u n g p en t in g p asca g em p a sep er t i r u m a h

saki t, in st al asi a ir b e rsih , p e m b an gki t t en aga li st r ik, pu sa t pe n yel em at an d al am ke ad aan

d ar u ra t, f as il it as r ad io da n te le visi

1 ,4 1 ,0 1 ,4

Ged u n g u n t uk m en yim p an b ah an b er b ah aya se p er ti g as, p r o d uk m in yak bu m i , asa m ,

b ah an b e r acu n

1 ,6 1 ,0 1 ,6

(37)

Daktilitas penuh yaitu tingkat daktilitas struktur gedung dimana strukturnya mampu mengalami simpangan pasca-elastik pada saat mencapai kondisi diambang keruntuhan yang paling besar, yaitu mencapai faktor daktilitas sebesar 5,3.

Sedangkan daktilitas parsial yaitu seluruh tingkat daktilitas struktur gedung dengan nilai faktor daktilitas diantara untuk struktur gedung yang elastik penuh = 1,0 dan untuk struktur gedung yang daktail penuh = 5,3.

(2.20) dimana :

δm = simpangan maksimum pada kondisi di ambang keruntuhan δρ = simpangan maksimum pada saat terjadi pelelehan pertama µ = 1,0 adalah nilai faktor daktilitas struktur elastik penuh

2.5.3. Pembebanan Gempa Nominal (Vn) dan Faktor Reduksi Gempa (R)

(2.21)

dimana :

Ve = pembebanan maksimum akibat pengaruh beban rencana yang diserap

struktur gedung elastik penuh dalam kondisi diambang keruntuhan

Vy = pembebanan yang menyebabkan pelelehan pertama µ = faktor daktilitas struktur gedung

Apabila Vn adalah pembebanan gempa nominal akibat pengaruh gempa rencana

yang harus ditinjau dalam perencanaan struktur gedung, maka berlaku hubungan sebagai berikut :

dimana f1 = 1,6 faktor kuat lebih yang terkandung dalam struktur gedung

m y

m µ

δ δ

µ= ≤

≤ 0 , 1

(

KL

)

f

fpF =− +

(38)

dan R disebut faktor reduksi gempa menurut persamaan :

1,6 ≤ R = µ f1 Rm (2.22)

R = 1,6 faktor reduksi gempa struktur elastic penuh

Rm = faktor reduksi gempa maksimum.

Nilai R dan µ, dengan ketentuan bahwa nilai R dan µ tidak dapat melampaui nilai maksimumnya, tercantum dalam tabel 2.5

Untuk struktur gedung terdiri dari beberapa jenis subsistem struktur gedung yang berbeda.

Tabel 2.5. parameter daktilitas struktur gedung

sumber : SNI 03-1726-2002

2.5.4. Wilayah Gempa dan Spektr um Respon

(SNI 03-1726-2002) Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 wilayah gempa. Wilayah gempa 1 adalah wilayah gempa paling rendah dan wilayah gempa 6 adalah wilayah gempa paling tinggi. Pembagian wilayah ini di dasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh gempa rencana dengan periode ulang 500 tahun, dengan nilai rata-rata untuk setiap wilayah gempa ditetapkan dalam gambar

Tar af Kin er ja Str uktur Gedung µ R per s. (6)

elastik penuh 1,0 1,6

dakt i al parsi al

1,5 2,4

2,0 3,2

2,5 4,0

3,0 4,8

3,5 5,6

4,0 6,4

4,5 7,2

5,0 8,0

(39)

“wilayah gempa Indonesia dengan puncak batuan dasar dengan periode ulang 500 tahun”.

Wilayah gempa satu ditetapkan sebagai percepatan minimum yang harus diperhitungkan dalam perencanaan struktur untuk menjamin kekekaran (robustness) minimum dari struktur gedung. Untuk masing-masing wilayah gempa ditetapkan

Spectrum Respons Gempa Rencana C-T seperti ditunjukan dalam gambar “Respons Spektrum Gempa Rencana”.

C = faktor respons gempa, dinyatakan dalam percepatan gravitasi. T = waktu getar alami (detik)

Untuk T = 0, maka C = A0. Dimana A0 merupakan percepatan puncak muka

tanah.

Untuk struktur beton bertulang yang berada di wilayah rawan gempa harus didesain khusus sebagai struktur strong column weak beam (gambar 2.7). yang bertujuan agar kolom yang didesain harus lebih kuat dari balok, agar jika saat terjadi gempa yang cukup kuat, walaupun balok mengalami kerusakan yang cukup parah, kolom masih tetap berdiri dan mampu menahan beban-beban yang bekerja.

(40)

Menurut peraturan SNI 03-1726-2002 sub bab 4.7.1 Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 wilayah gempa, dimana wilayah gempa 1 adalah wilayah gempa dengan rasio rendah, dan wilayah gempa 6 dengan rasio gempa paling tinggi.

Gambar 2.8 Peta Wilayah Gempa Indonesia

2.5.5. Analisa Beban Statik Ekuivalen

Analisis beban statik ekuivalen adalah suatu cara analisa statik struktur, dimana pengaruh gempa pada struktur dianggap sebagai beban-beban statik horizontal untuk menirukan pengaruh gempa yang sesungguhnya akibat pergerakan tanah.

(41)

ditentukan oleh respon ragamnya yang pertama dan dapat ditampilkan sebagai akibat dari beban gempa statik ekuivalen.

Setiap struktur gedung harus direncanakan dan dilaksanakan untuk menahan suatu beban geser dasar akibat gempa dalam arah-arah yang ditentukan.

Gaya lateral direncanakan dan dilaksanakan untuk menahan suatu beban geser dasar gempa (V) dalam arah-arah yang ditentukan. Besarnya beban lateral menurut peraturan SNI 03-1726-2002 dapat dinyatakan berikut:

(2.23) Dimana:

V = Gaya geser horizontal total akibat gempa R = Faktor reduksi gempa

C1 = Faktor respon gempa

1 = Faktor keutamaan

Wt = Berat total bangunan termasuk beban hidup yang sesuai

Beban geser dasar nominal V harus dibagikan sepanjang tinggi struktur gedung menjadi beban-beban gempa nominal statik ekuivalen Fi yang menangkap pada pusat massa lantai menurut persamaan:

(2.24) Dimana:

(42)

2.6. Desain Kekuatan Geser

Desain kekuatan geser sangatlah berpengaruh untuk pembahasan prosedur untuk desain penampang beton prategang yang harus menahan gaya-gaya geser dan torsional yang diakibatkan oleh beban luar. Karena kekuatan beton dalam menahan tarik sangatlah jauh lebih kecil dari pada kekuatannya terhadap tekan, maka desain untuk geser menjadi hal yang penting pada semua jenis struktur beton.

Distribusi tegangan geser di dalam suatu beton structural yang tidak retak untuk mana deformasinya dianggap linier merupakan suatu fungsi dari gaya geser dan sifat-sifat potongan melintang batang. Tegangan geser pada suatu titik dinyatakan sebagai,

(2.25)

dan (2.26)

di mana : M, V : momen lentur dan gaya geser

A : luas bagian penampang di bidang yang melalui pusat berat

elemen A1

I : momen inersia penampang b : lebar penampang balok

v : tegangan geser terhadap beban transversal f : tegangan normal

y : jarak dari elemen yang ditinjau ke sumbu netral : jarak titik dari titik pusat A ke sumbu netral

Q : momen statis bagian penampang di atas atau di bawah level yang ditinjau ke sumbu netral

I My f =

Ib VQ

Ib y VA

v= =

(43)

Pengaruh tegangan geser ini ialah menimbulkan tegangan-tegangan tarik utama pada bidang-bidang diagonal. Kekuatan beton terhadap geser murni adalah hampir dua kali lipat daripada terhadap tarik, keruntuhan lokal pertama-tama tampak dalam bentuk retak-retak akibat tarikan diagonal di bagian-bagian yang tegangan gesernya tinggi. Pada sebuah batang pratekan, tegangan geser pada umumnya disertai oleh suatu tegangan langsung dalam arah aksial batang, kalau transversal, dimana prategang vertikal dipakai, maka tegangan-tegangan tekan dalam arah tegak lurus terhadap sumbu batang akan terjadi sebagai tambang dari pratekan aksial.

Tinjau dua elemen yang sangat kecil A1 dan A2 pada balok persegi panjang

dalam gambar 2.9(a) dan (b) distribusi tegangan lentur dan geser v adalah nilai-nilai elemen A1 pada bidang a1-a1 pada balok bertulang, A2 pada bidang a2-a2 pada balok

pratekan.

Pada gambar 4.10 b menunjukkan tegangan internal yang bekerja di elemen A2 dan A2, juga di elemen A1 dan A2.

Gambar 2.9 Distribusi tegangan untuk balok persegi panjang

N.A. d

b w

a

a A 2 A 1

sumbu netral v

fc

ft

a2 a2

a1

a1

y

penampang distribusi tegangan lentur

(44)

(a)

(b)

Gambar 2.10 Kondisi tegangan pada elemen A1 dan A2. (a)kondisi tegangan di elemen A1.

(b)kondisi tegangan di elemen A2 (sumber : G. Nawy 2001)

Pada balok pratekan, penampangnya hampir semua mengalami tekan pada kondisi beban kerja. Dari gambar 2.10(b), tegangan utama maksimum dan minimum untuk elemen A2 yang timbul ditentukan oleh

Tarik utama (2.27a)

Tekan utama (2.27b)

dan (2.28c)

N.A. V

V

C

A2

fc fc

T V fc y x V fc

fc (max)

N.A. V

V

C

A1

ft ft T

V

ft

ft (max)

y x

( )

(

2

)

2 2

2 f v

f

f c c

maks

t =− + +

( ) 2f

(

f 2

)

2 v2

f c c

maks

c =− − +

(45)

BAB III METODOLOGI

3.1.Pengumpulan Data

Berikut data – data bangunan yang telah ada dan akan diperhitungkan yaitu : a. Nama Gedung : Rumah Sakit Jasa Medika

b. Lokasi : Surabaya

c. Fungsi Gedung : Rumah Sakit d. Jumlah Lantai : Sembilan Lantai e. Ketinggian Lantai : Empat meter f. Tinggi Bangunan : 36 meter

g. Struktur Utama : Struktur beton bertulang dan balok prategang pada Lantai dua sampai sembilan (gambar dilampirkan)

h. Data Bahan :

1. Mutu baja profil( fy ) = 240 MPa

2. Berat beton = 2400 kg/m3

3.2.Pemoda lan Str uktur

1. Gedung dirancang dengan jumlah sembilan lantai, dengan tinggi gedung lantai satu sampai sembilan adalah empat meter.

(46)

3. Gedung Jasa Medika ini akan dimodelkan berdasarkan Standar Perencanaaan Ketahanan Gempa untuk struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung ( SNI – 03 – 1726 – 2010 ).

4. Pemberian pada gaya beton pratekan dilakukan dengan metode postenssion

(pascatarik).

3.3.Studi Liter atur

Mempelajari literatur atau pustaka yang berkaitan dengan perencanaan, diantaranya tentang :

a. Peraturan Pembebanan Indonesia untuk Gedung ( PPIUG) 1983

b. Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung ( SNI – 03 – 2847 – 2002 )

c. Standar Perencanan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung ( SNI 03 – 1726 – 2010 )

d. Ned Lin, T.Y. 1996. Desain Struktur Beton Prategang Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.

e. Raju, N Krisna. 1993. Beton Prategang Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

f. Tavio. dan Benny Kusuma. 2009. Desain Sistem Rangka Pemikul Momen dan Dinding Struktur Beton Bertulang Tahan Gempa. Surabaya: ITS Press.

g. Dewi, Sri Murni. 2006. Beton Prategang. Surabaya: srikandi.

h. Nawy, Edward G. dan Bambang Suryatmono. 2001. Beton Prategang Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.

(47)

3.4.Analisa Pembebanan

Perencanaan pembebanan pada struktur ini berdasarkan Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung (PPIUG) 1983, SNI-03-2847, dan SNI 03-1726-2002.

3.4.1. Beban yang diper hitungkan

Untuk pembebanan yang akan diperhitungkan dalam analisa ini adalah : a. Beban mati (PPIUG 1983 Bab1 pasal 1.1)

Beban mati ialah berat dari semua bagian dari suatu gedung yang bersifat tetap termasuk segala unsur tambahan, penyelesaian-penyelesaian, mesin-mesin serta peralatan tetap yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gedung itu. Yang nilainya sebagai berikut :

1. Berat volume beton : 2400 kg/m3 (tabel 2.1) 2. Berat volume spesi : 2100 kg/m3 (tabel 2.1) 3. Berat volume tegel : 2400 kg/m3 (tabel 2.1) 4. Berat volume ps bata merah : 250kg/m2 (tabel 2.1) 5. Berat volume plafond : 11 kg/m2 (tabel 2.1) 6. Berat volume penggantung : 7 kg/m2 (tabel 2.1) 7. Berat volume AC dan perpipaan : 10 kg/m2 (tabel 2.1) 8. Berat dinding partisi : 40 kg/m2 (tabel 2.1) b. Beban hidup (PPIUG 1983 Bab 1 pasal 1. 2)

(48)

masa hidup dari gedung itu, sehingga mengakibatkan perubahan dalam pembebanan lantai dan atap tersebut.

1. Beban hidup pada lantai atap : 100 kg/m2 (pasal 3.2.1) 2. Beban hidup pada lantai : 250 kg/m2 (pasal 3.1) 3. Beban hidup pada lantai mesin elevator : 400 kg/m2 (tabel 3.1) 4. Beban hidup pada tangga : 300 kg/m2 (tabel 3.1) c. Beban gempa

Dalam tugas akhir ini, beban gempa dianalisa secara dinamik dengan metode analisis ragam spectrum respon gempa rencana sesuai SNI 03 – 1726-2010.

3.4.2. Kombinasi Pembebanan.

Kombinasi pembebanan didasarkan pada SNI 03 – 2847-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung pada Pasal 11.2 antara lain : 1. 1,4 D

2. 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (A atau R)

3. 1,2 D + 1,0 L± 1,6 W + 0,5 (A atau R) 4. 0,9 D ± 1,6 W

5. 1,2 D + 1,0 L ± 1,0 E

6. 0,9 D ± 1,0 E

Dimana : D = Beban Mati W = Beban Angin

(49)

3.5. Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK)

Suatu sistem rangka yang memenuhi ketentuan-ketentuan untuk rangka pemikul momen biasa juga memenuhi syarat – syarat detailing sesuai dengan peraturan SNI 03 – 2847 – 2002 pasal 23.2 sampai dengan 23.5.

3.5.1. Komponen str uktur lentur pada Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK)

1. Ruang Lingkup

Persyaratan pada pasal 23.3 itu berlaku untuk komponen-komponen struktur lentur pada SRPMK, komponen tersebut adalah

a. Komponen struktur yang memikul gaya akibat beban gempa b. Komponen struktur yang direncanakan untuk memikul lentur

komponen-komponen struktur tersebut juga harus memenuhi syarat-syatar dibawah ini :

(1) Gaya aksial tekan terfaktor pada komponen struktur tidak boleh melebihi 0,1Ag f’c .

(2) Bentang bersih komponen struktur tidak boleh kurang dari empat kali tinggi efektifnya.

(3) Perbandingan lebar terhadap tinggi tidak boleh kurang dari 0,3.

(50)

pendukung yang tidak melebihi tiga perempat tinggi komponen struktur lentur.

Komponen-komponen lentur sendiri terdiri dari tulangan tranfersal dan tulangan longitudinal. Dimana tulangan-tulangan tersebut dapat dijelaskan persyaratannya di SNI-03-2847-2002 pasal 23.3 alenia 2 dan 3.

2. Persyaratan kuat geser (1)Gaya rencana

Gaya geser rencana Ve harus ditentukan dari peninjauan gaya statik pada bagian

komponen struktur antara dua muka tumpuan. Momen-momen dengan tanda berlawanan sehubungan dengan kuat lentur maksimum, Mpr, harus dianggap

bekerja pada muka-muka tumpuan, dan komponen struktur tersebut dibebani dengan beban gravitasi terfaktor disepanjang bentangnya. Lihat gambar 3.1 (2)Tulangan transversal

Tulangan tranversal sepanjang daerah yang ditentukan pada gaya aksial tekan terfaktor harus dirancang untuk memikul geser dengan menganggap Vc = 0 bila :

(a) Gaya geser akibat gempa yang dihitung sesuai dengan persyaratan geser gaya rencana mewakili setengah atau lebih daripada kuat geser perlu maksimum di sepanjang daerah tersebut.

(b)Gaya aksial tekan terfaktor, termasuk akibat gempa, lebih kecil dari Agfc / 20.

(c) Untuk balok

(3.1)

2

2

1 W L

L M M

V pr pr u

e ±

(51)

Beban gravitasi Wu = 1,2D + 1,0L

Gambar 3.1 Gaya yang bekerja pada penampang (sumber : G. Nawy 2001)

Untuk kolom (3.2)

Ve Ve

Mpr1 Mpr2

L

Ve Ve

Mpr3 Mpr4

H

Pu Pu

H M M

(52)

3.5.2. Komponen str uktur yang mener ima kombinasi lentur dan beban aksial pada SRPMK

1. Ruang Lingkup

Persyaratan dalam pasal ini berlaku untuk komponen struktur pada SRPMK ; a. Yang memikul gaya akibat gempa

b. Yang menerima beban aksial terfaktor yang lebih besar daripada Agfc / 10

Komponen a dan b harus memenuhi syarat-syarat berikut ini :

(1)Ukuran penampang terkecil diukur pada garis lurus yang melalui titik pusat geometris penampang, tidak kurang dari 300 mm.

(2)Perbandingan antara ukuran terkecil penampang terhadap ukuran dalam arah tegak lurusnya tidak boleh kurang dari 0,4.

2. Kuat lentur minimum kolom

(1)Kuat lentur setiap kolom yang dirancang untuk menerima beban aksial tekan terfaktor melebihi Agfc / 10 harus memenuhi ukuran penampang terkecil diukur

pada garis lurus yang melalui titik pusat geometris penampang, tidak kurang dari 300 mm. Kekuatan dan kekakuan lateral kolom yang tidak memenuhi perbandingan antara ukuran terkecil penampang terhadap ukuran dalam arah tegak lurusnya tidak boleh kurang dari 0,4. Hal itu harus diabaikan dalam memperhitungkan kekuatan dan kekakuan struktur, tapi kolom tersebut harus memenuhi SNI-03-2847-2002 pasal 23.9.

(2)Kuat lentur kolom harus memenuhi persamaan 11

(3.3)

    

g

e M

M

(53)

3.6. Per encanaan Str uktur Gedung

Perencanaan struktur gedung dilakukan melalui beberapa tahap, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Preliminary Desain pada tahap ini dilakukan hal – hal berikut : (1)Memperkirakan dimensi awal dari elemen struktur, yang meliputi :

Balok induk beton bertulang, balok pratekan,kolom dan kemudian pelat. (2)Penentuan mutu bahan yang digunakan dalam perancangan

(3)Pembebanan, yang diantaranya adalah beban mati, beban hidup, dan beban gempa.

2. Perhitungan struktur sekunder

Melakukan perhitungan struktur sekunder dengan menggunakan peraturan perancangan struktur beton untuk bangunan struktur sekunder, terdiri dari :

a. Perencanaan pelat lantai b. Perencanaan tangga

Besarnya beban yang bekerja sesuai dengan PPIUG 1983,da kombinasi pembebanan sesuai dengan SNI-03-1847-2002

c. Perhitungan momen, untuk perhitungan momen ini, perhitungannya dibantu dengan software etabs v9.7.1 dan sap 2000 Nonlinier

d. Penulangan tangga

e. Penulangan lentur pelat dan bordes

Menentukan batasan harga penulangan dengan menggunakan rasio tulangan yang disyaratkan oleh :

(54)

SNI-03-2847-2002 pasal 9.11.2

f. Penulangan geser, sesuai dengan SNI-03-2847-2002 pasal (23.3.2)

g. Perencanaan balok bordes, sesuai dengan SNI-03-2847-2002 (11.5) tabel 8 3. Pembebanan Gempa

Perhitungan beban gempa dilakukan untuk memperoleh gaya-gaya yang bekerja pada sistim struktur yang berdasarkan peraturan yang berlaku sesuai standar perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non-gedung SNI-03-2847-2002

4. Perhitungan Struktur primer

Perhitungan struktur primer dilakukan dengan memperhatikan peraturan perancangan struktur beton untuk bangunan, struktur primer yang terdiri dari : (1)Pembebanan pada portal

(2)Analisa struktur utama dengan etabs v9.7.1 (3)Perencanaan balok induk

Penentuan tinggi balok minimum,h min dihitung berdasarkan SNI-03-2847-2002 pasal 11.5.2.3b, dimana bila persyaratan ini telah dipenuhi, maka tidak perlu dilakukan control terhadap lendutan

h min

a. Untuk struktur ringan dengan berat jenis , nilai diatas harus dikalikan dengan ( 1,65 - (0,0003)Wc ) tetapi tidak kurang dari 1,09.

b. Untuk fy selain 400 Mpa, nilainnya harus dikalikan dengan

Di mana : L = Panjang bentang : Wc = Berat jenis beton : fy = Mutu baja

L

16 1

3 3 2000 1500

m kg m

kg

700 4 ,

(55)

5. Perencanaan Balok Pratekan 6. Perencanaan Kolom

Menurut SNI 03-2847-2002 untuk komponen struktur dengan tulangan spiral maupun sengkang ikat, provisi keamanannya adalah

a) Aksial tarik dan aksial lentur ………..φ = 0,8 b) Aksial tekan dan aksial tekan dengan lentur ………..φ = 0,7 c) Komponen struktur dengan tulangan sengkang biasa ………..φ = 0,65

Maka, (3.5)

Di mana : A = Luas penampang kolom

: W = Beban aksial yang diterima kolom : fc’ = Kuat tekan beton karakteristik

: φ = Faktor reduksi kekuata

3.7. Per encanaan Balok Pratekan

Dalam perancangan balok pratekan terdapat langkah – langkah yang harus dilakukan, antara lain sebagai berikut :

1. Gaya prategang

Gaya prategang awal sangat mempengaruhi momen total. Gaya prategang ini kemudian disalurkan ke penampang, direncanakan sesuai dengan pemilihan penampang.

2. Penetapan tendon

Setelah didapatkan gaya-gaya prategang yang terjadi maka dilakukan penetapan profil tendon yang hendak digunakan sesuai dengan kebutuhan. Penetapan profil tendon ini akan mempunyai penempatan tata letak kabel selanjutnya.

' c f W A

× =

(56)

3. Tata letak kabel

Dilakukan penentuan daerah batas kabel yang sesuai dengan kriteria perancangan, sehingga tidak melampaui batasan yang diijinkan. Jenis kabel yang dipilih dan jumlahnya mempengaruhi letak kabel, dimana terdapat batasan agar tidak melebihi batas kriteria.

4. Kehilangan prategang

Kehilangan prategang terjadi pada saat transfer tegangan dan secara terus menerus menurut fungsi waktu. Dilakukan perhitungan agar didapatkan nilai prategang efektif. Perhitungan gaya prategang meliputi :

1. Perpendekan elastis beton 2. Rangkak

3. Susut

4. Relaksasi baja

5. Gesekan dan wobble effect 6. Dudukan angker

kehilangan prategang dan penetuan tata letak kabel saling keterkaitan. Untuk menentukan kehilangan prategang diperlukan penempatan tata letak kabel, demikian pula dengan penempatan tata letak kabel harus memperhatikan kehilangan yang akan terjadi, sehingga dalam penentuannya dilakukan sistem coba-coba yang saling berhubungan.

5. Kontrol tegangan

(57)

tegangan yang diberikan dan tegangan yang diterima telah sesuai dengan perhitungan pemberian tegangan.

6. Kuat batas balok pratekan

Kekuatan batas balok pratekan yang diakibatkan oleh beban luar berfaktor harus memiliki nilai-nilai berikut :

(SNI-03-2847-2002) (3.6) Di mana : Mcr = Momen retak yang terjadi pada balok tekan

Mu = Momen ultimate balok pratekan

Mn = Kapasitas penampang

Perhitungan control ultimit dari balok pratekan harus memenuhi persyaratan SNI-03-2847-2002 pasal 20.8.3 yang mengenai jumlah total baja tulangan pratekan dan non-pratekan harus cukup untuk menghasilkan beban terfaktor paling sedikit 1,2 beban retak yang terjadi berdasarkan nilai modulus retak sebesar sehingga didapat

, dengan nilai φ = 0,85. Nilai momen retak dapat dihitung sebagai berikut ( dengan asumsi tanda (+) adalah serat yang mengalami tekan) :

(3.7a)

(3.7b) Dimana : Fi = Gaya pratekan efektif setelah kehilangan

I = Inersia balok

e = Eksentrisitas dari cgc A = Luas penampang balok fr = Modulus keruntuhan =

n u

cr M M

M 9

2 ,

1 ≤ ≤

c f 7 , 0 cr u M

M ≥1,2 ϕ I Y M y I e F A F

f i i cr

r × − × × + = −       × +       × × × +       × = Y I f Y I I Y e F Y I A F

M i i r

(58)

Y = Garis netral balok 7. Kontrol lendutan

Kontrol lendutan memperhitungkan lendutan-lendutan yang terjadi sehingga tidak melampaui batasan yang telah ditentukan lendutan menurut model pembebanan, dimana beban sendiri dan beban external mempengaruhi lendutan yang bekerja, antara lain :

a. Lendutan akibat tekanan tendon

Tekanan tendon menyebabkan balok tertekuk keatas sehingga lendutan yang terjadi berupa lendutan kearah atas. Sedangkan syarat ijin lendutan mengarah kebawah, sehingga lendutan akibat tendon dapat melawan lendutan kebawah yang diakibatkan oleh beban dan berat sendiri.

(3.8a) Dengan nilai P sebesar

(3.8b) Di mana : Fo = Gaya pratekan

f = Fokus tendon (eksentrisitas dari cgs) l = Panjang efektif

Ec = Modulus elastisitas beton

I = Inersia balok

b. Lendutan akibat eksentrisitas tepi balok

Eksentrisitas tepi balok terhadap cgc pada letak tendon menyebabkan lendutan kearah bawah ( karena menyebabkan momen negatif). Besarnya nilai lendutan yang diakibatkan oleh eksentrisitas adalah :

I E

l P l

c o PO

4

384

5 ×

× = ∆

2

8

(59)

(3.9)

Di mana : Fo = Gaya pratekan

e = eksentrisitas terhadap cgs pada tepi balok l = Panjang efektif

Ec = Modulus elastisitas Beton

I = Inersia balok

c. Lendutan akibat berat sendiri

Berat sendiri balok menyebabkan balok tertekuk kebawah sehingga lendutan yang terjadi berupa lendutan ke bawah. Besarnya lendutan ke bawah akibat berat sendiri adalah :

(3.10)

Di mana : qD = Berat sendiri saat jacking

F = Fokus tendon (eksentrisitas dari cgs) l = Panjang efektif

Ec = Modulus elastisitas beton

I = Inersia balok

Total lendutan yang terjadi dibagi menjadi dua, pada saaat awal transfer gaya pratekan dan setelah terjadi kehilangan, dimana terdapat perbedaan besar nilai gaya prategang yang bekerja.

8. Perhitungan geser

Besarnya kebutuhan tulangan geser yang diperlukan balok adalah

I E

l q lqD

c o

× × × =

∆ 4

384 5

(60)

Dimana Vu adalah gaya geser ultimate yang terjadi, sedangkan φVc adalah kuat geser yang disumbangkan oleh beton.

Untuk komponen balok prategang nilai φVc diambil nilai terkecil antara Vci

dan Vcw sesuai dengan SNI-03-2847-2002 pasal 13.4.2 yang berbunyi :

(1)Kuat geser nominal yang disumbangkan oleh beton pada saat terjadinya kerentakan diagonal akibat kombinasi momen dan geser (Vci)

(3.11)

Dimana : Vi = gaya geser berfaktor akibat beban luar yang terjadi

Bersamaan dengan Mmax

Mcr = momen yang menyebabkan retak lentur penampang

Mmax = Momen terfaktor maksimum

Vd = Gaya geser penampang yang akibat beban mati tidak terfaktor

d = Jarak serat tekan terluar ke titik berat tendon bw = Lebar penampang balok

(2)Kuat geser nominal yang disumbangkan oleh beton pada saat terjadinya keretakan diagonal akibat tegangan tarik utama yang berlebihan pada badan penampang (Vcw)

(3.12)

Dimana : Vp = Komponen vertical gaya pratekan efektif pada penampang

fpc = Tegangan tekan pada beton setelah mengalami kehilangan

pada titik berat penampang

fc’ = Kuat tekan beton yang disyaratkan

max 20

'

M M V Vd d bw f

V c i cr

ci = × + +

(

pc c

)

p

cw f f bw d V

(61)

d = Jarak serata tekan terluar ketitik serat tekan tendon bw = Lebar penampang balok

9. Balok angkur ujung

Pada balok pratekan pasca tarik, kegagalan disebabkan hancurnya bantalan beton pada daerah tepat pada dibelakang angkur tendon akibat dari tekanan yang sangat besar. Kegagalan ini diperhitungkan pada kondisi ekstrim saat transfer, yaitu saat gaya pratekan maksimum dan kekuatan beton minimum. Kuat tekan nominal beton pada daerah pengangkuran global disyaratkan oleh SNI – 03 – 2847 – 2002 pasal 20.13.2.2.

Bila diperlukan pada daerah pengangkuran dapat dipasang tulangan untuk memikul gaya pencar, belah dan pecah yang timbul akibat pengangkuran tendon sesuai SNI 03 – 2847 – 2002 pasal 20.13.1.2.

3.8. Kontr ol Desain

Melakukan analisa struktur bangunan, dimana harus memenuhi syarat keamanan dan rasional sesuai batas – batas tertentu menurut peraturan. Dilakukan pengambilan kesimpulan apakah desain sudah sesuai dan memenuhi syarat – syarat perancangan dan peraturan angka keamanan serta efisiensi. Bila tidak memenuhi dilakukan perhitungan ulang.

3.9. Metode Pelaksanaan

(62)

hasil perhitungan agar dapat diterapkan dilapangan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi di lapangan.

3.10. Gambar Detail

(63)

3.11. Bagan Alir Penyelesaian Proposal Tugas Akhir

MULAI

Analisa pembebanan

Perhit ungan st rukt ur : - Bet on prat ekan

Pengumpulan data

Pemodalan st rukt ur

St udi lit erat ur

Kont rol desain

Gambar detail-Auto Cad

Kesimpulan

(64)

BAB IV

PERHITUNGAN BEBAN DAN STATIKA STRUKTUR

4.1.Umum

Struktur yang akan dikaji, terlebih dahulu dianalisis untuk mengetahui dimensi yang dibutuhkan komponen struktur tersebut.

4.2.Spesifikasi Data Perhitungan

Berikut data-data gedung yang akan direncanakan pada tugas akhir ini : Tipe bangunan : Rumah sakit (lantai sembilan)

Lokasi : Surabaya

Ketinggian lantai : ± 5.0 m (untuk semi basement)

Gambar

Gambar 2.6 Kehilangan tegangan akibat gesekan pada efek kelengkungan
Tabel 2.4. faktor keutamaan untuk berbagai kategori gedung dan bangunan
Tabel 2.5. parameter daktilitas struktur gedung
Gambar 2.7  Strong Column Weak Beam (sumber : SNI 03-1726-2002)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Satu kali bagini, orang Yahudi pung pangajar hukum Torat satu datang par Yesus la tanya Antua kata, &#34;Bapa, Beta musti biking apa biar beta bisa hidop tarus-tarus deng Allah

Setelah melaksanakan dua siklus penelitian penggunaan media gambar pada pembelajaran IPS yang dilakukan oleh peneliti dan berkolaborasi dengan Ibu Elvirawati, S.Pd.,

Diduga ‘Gulung’ memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan aksesi pamelo tidak berbiji, karena berdasarkan analisis kemiripan dengan SIMQUAL juga didapatkan

Berbeda dari parameter ke- serempakan tumbuh, pada parameter mutu fisiologis benih lainnya yaitu daya berkecambah, laju perkecambahan, ke- cepatan tumbuh dan indeks

Hasil penelitian diperoleh bahwa (1) Persentase ketuntasan individual pada siklus I yaitu 68 persen, pada siklus II 80 persen dan pada siklus III 92 persen;

Hasil perhitungan untuk semua linkset antara SP dan STP tersebut dirangkum pada Tabel 4 dan dapat dilihat untuk beban link yang paling besar terdapat pada link.

Dokumen Rencana Operasional Politeknik Kesehatan Kemenkes Ternate Tahun 2014-2018 merupakan penjabaran dari Rencana Stretegis Politeknik Kesehatan Kemenkes Ternate

Untuk mengetahui pengaruh latar belakang pendidikan, kompetensi tehnis, pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, pengalaman kerja, kecermatan profesi, obyektifitas, independensi dan