BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Pendidikan pada dasarnya merupakan proses untuk membantu
manusia dalam mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap
perubahan yang terjadi. Seperti yang termuat dalam UU RI nomor 20 Tahun
2003 tentang SISDIKNAS Bab II pasal 3 tujuan pendidikan nasional adalah
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggungjawab. Oleh karena itu, pendidikan perlu mendapat
perhatian, penanganan, dan prioritas secara intensif baik oleh pemerintah,
keluarga, dan khususnya pengelola pendidikan. Salah satu lembaga
pendidikan yang memiliki peran yang sangat vital adalah pendidikan Sekolah
Dasar. Ada beberapa mata pelajaran yang diajarkan pada tingkat pendidikan
Dasar tersebut salah satu pelajaran yang diajarkan adalah Ilmu Pengetahuan
Alam.
Tujuan pendidikan IPA di SD, diantaranya adalah: (1) memperoleh
keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan
keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya, serta (2)
memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar
untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
Berkaitan dengan tujuan IPA tersebut dalam lampiran Permendiknas
No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan
menengah, dinyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan
dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA
konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses
penemuan.
Selanjutnya, pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi
peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek
pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan
seharihari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman
langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan
memahami alam sekitar secara ilmiah.
IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi
kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat
diidentifikasikan. Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak
berdampak buruk terhadap lingkungan. Di tingkat sekolah terutama di SD/MI
diharapkan ada penekanan pembelajaaran saling temas (Sains, lingkungan,
teknologi, dan masyarakat) yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk
merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan
kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana.
Penerapan IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah
(scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan
bersikap ilmiah serta mengomunikasikan sebagai aspek penting kecakapan
hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada
pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan
pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah (Depdiknas, 2006).
Proses pembelajaran IPA akan menjadikan siswa aktif jika dalam
pembelajaran, guru mengaitkan dengan pengalaman yang ada di lingkungan
sekitar peserta didik dan menggunakan media pembelajaran yang sesuai
dengan materi yang diajarkan. Sumber belajar yang digunakan dalam
pembelajaran dapat diperoleh dari alat dan bahan yang ada di lingkungan
sekitar.
Dalam menilai keberhasilan belajar mengajar di satuan pendidikan,
kriteria ideal ketuntasan minimal untuk masing-masing indikator 75%. Satuan
mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik serta
kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran.
Satuan pendidikan diharapkan meningkatkan kriteria ketuntasan belajar
secara terus menerus untuk mencapai kriteria ketuntasan ideal.
Setelah Standar Isi dijabarkan lebih operasional menjadi KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Untuk Kelas V Gugus Ki Hajar
Dewantara di SD Negeri 1 Panimbo dan SD Negeri 2 Karanglangu
mempertimbangkan kompleksitas materi, ketersediaan sarana pendukung, dan
intake siswa maka ditentukan KKM (Kreteria Ketuntasan Minimal) untuk
IPA khusus dalam SK dan KD mengenai mendiskripsikan hubungan antara
gaya, gerak dan energi serta fungsinya di kelas V semester II, didapatkan (1)
cakupan materi yang diajarkan cukup luas (kompleksitasnya tinggi). (2)
Sarana penunjang pembelajaran tentang mendiskripsikan hubungan antara
gaya, gerak dan energi serta fungsinya sudah tersedia, hanya beberapa sarana
belum tersedia sehingga ketersediaan sarana termasuk baik. (3) Berdasarkan
nilai pada saat kelas IV maka didapatkan intake siswa sedang.
Dengan memperhatikan ketiga hal tersebut maka KKM untuk materi
mendiskripsikan hubungan antara gaya, gerak dan energi serta fungsinya
Kelas V SD Negeri 1 Panimbo dan SD Negeri 2 Karanglangu ditetapkan
sebesar 70.
Namun kenyataannya, seperti yang dilakukan guru di SD Negeri 1
Panimbo berbagai upaya peningkatan prestasi belajar telah banyak
dilakukan, antara lain pemberian kuis dan pembahasan soal dalam
pembelajaran di sekolah. Namun tanpa disadari bahwa pemberian kuis yang
dilakukan sering tidak mengadaptasikan kebutuhan siswa, yang pada
akhirnya rasa kejenuhan dan ketidak tertarikan dalam pembelajaran sering
terjadi. Hal ini berakibat menurunnya hasil belajar siswa, seperti yang terjadi saat observasi di kelas V SD Negeri 1 Panimbo dengan indikator
keberhasilan dalam mengerjakan ulangan harian IPA rata-rata hanya
jumlah siswa sebanyak 20, hanya 45% atau 9 siswa yang tuntas, sedangkan
yang belum tuntas sebanyak 11 siswa atau 55%.
Sedangkan di SD Negeri 2 Karanglangu, upaya peningkatan prestasi
belajar dilakukan dengan melakukan percobaan langsung (eksperimen),
ceramah dan pembahasan soal dalam pembelajaran di sekolah. Hal ini
berakibat pada meningkat dan menurunnya hasil belajar siswa karena
dipembelajaran IPA tidak selalu melakukan percobaan langsung (eksperimen)
dan cenderung menggunakan metode ceramah, seperti yang terjadi saat
observasi di kelas V SD Negeri 2 Karanglangu dengan indikator keberhasilan
dalam mengerjakan ulangan harian IPA rata-rata sudah mencapai 70 pada
standar ketuntasan yang ditetapkan yaitu 70. Akan tetapi masih ada beberapa
siswa yang nilainya dibawah standar ketuntasan yang ditetapkan, dari jumlah
siswa sebanyak 20, hanya 60% atau 12 siswa yang tuntas, sedangkan yang
belum tuntas sebanyak 8 atau 40%.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut guna memperbaiki hasil
belajar siswa adalah dengan menggunakan model pembelajaran inovatif SAVI
(Somatic, Auditory, Visualization and Intellectual) dan Contextual Teaching
and Learning (CTL).
Model pembelajaran SAVI adalah model pembelajaran yang
menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indera yang
dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri adalah kependekan dari Somatic yang
bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) dimana belajar dengan
mengalami dan melakukan; Auditory yang bermakna bahwa belajar haruslah
dengan melalui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi,
argumentasi, mengemukakan pendapat dan menanggapi; Visualization yang
bermakna belajar haruslah menggunakan indera mata melalui mengamati,
menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunakan media dan alat
peraga; dan Intellectual yang bermakna bahwa belajar haruslah menggunakan
kemampuan berpikir (minds-on) belajar haruslah dengan konsentrasi pikiran
dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki,
masalah dan menerapkan. Pembelajaran dengan model SAVI tidak hanya
berpusat pada guru dan siswa hanya mendengarkan guru, namun siswa turut
aktif dalam pembelajaran tersebut, dalam berbagai aktivitas yaitu aktivitas
mendengarkan, aktivitas melakukan, aktivitas melihat serta aktivitas berfikir.
Pembelajaran seperti ini sangatlah bermakna bagi siswa karena siswa
memiliki pengalaman langsung mengenai materi tersebut sehingga materi
yang dipelajari akan melekat dan sulit dilupakan.
Sedangkan model CTL merupakan suatu konsep belajar dimana guru
menghadirkan situasi dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan
konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses
pembelajaran berlangsung lebih alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja
dan mengalami, bukan tranfer pengetahuan dari guru ke siswa. Pembekalan
kontekstual dengan pendekatan konstruktivisme dipandang sebagai salah satu
strategi yang memenuhi prinsip-prinsip pembelajaran berbasis kompetensi.
Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk
menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru
datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran
guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Perbandingan Tingkat Hasil Belajar IPA Dengan
Menggunakan Model SAVI dan CTL Pada Siswa Kelas V Gugus Ki Hajar
Dewantara Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan”.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka disusun rumusan masalah yaitu “Apakah ada perbedaan tingkat hasil belajar IPA yang signifikan
dengan menggunakan model SAVI dibandingkan dengan model CTL pada
siswa kelas V Gugus Ki Hajar Dewantara Kecamatan Kedungjati Kabupaten
1.3Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan, maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui tingkat hasil
belajar IPA dengan menggunakan model SAVI dibandingkan dengan model
CTL pada siswa kelas V Gugus Ki Hajar Dewantara Kecamatan Kedungjati
Kabupaten Grobogan Tahun Pelajaran 2014/2015.
1.4Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat luas
khususnya dalam bidang pendidikan, adapun manfaat yang diharapkan dari
penelitian yaitu:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan pengalaman untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan. Hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan
sebagai dasar penelitian lebih lanjut dan mendukung kajian teori
bahwa dengan memberikan model SAVI dan CTL kepada siswa,
pembelajaran akan lebih bermakna karena akan mudah dipahami oleh
siswa karena siswa dapat memperoleh pengalaman belajar mandiri
dan materi yang dipelajarinya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini ditujukan untuk para siswa,
bagi para guru dan bagi pihak sekolah. Pembahasan lebih terperinci
akan diuraikan sebagai berikut:
a. Bagi Siswa
1. Sebagai pemicu motivasi belajar sehingga siswa dapat belajar
IPA dengan menarik dan tidak membosankan.
2. Mempermudah siswa dalam memahami materi pelajaran IPA.
3. Meningkatkan aktivitas belajar guna tercapainya proses
b. Bagi Guru
1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar siswa melalui penggunaan dan
pemilihan model pembelajaran dalam mengajar.
2. Memudahkan guru sebagai mediator dan fasilitator dalam
menyampaikan pembelajaran di kelas.
3. Menambah wawasan model pembelajaran SAVI dan CTL dalam
pembelajaran IPA.
c. Bagi Sekolah
1. Memberikan bahan masukan dan pertimbangan kepada pihak
sekolah untuk dapat memberikan fasilitas yang dibutuhkan
guru dalam mengajar bisa lebih kreatif.
2. Menanamkan kerjasama antar guru dalam penggunaan model
pembelajaran sehingga berdampak positif pada kualitas