• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat Dalam Pelaksanaan Penataan Ruang Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat Dalam Pelaksanaan Penataan Ruang Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan penjalanan usianya yang semakin tua, filosofi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mewujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mendukungnya dipertanyakan kembali. Setidaknya terdapat dua kelompok yang mewakili kecenderungan pemikiran yang berbeda terhadap orientasi kebijakan saat ini dan kebijakan yang akan datang. Penggunaan berbagai istilah, misalnya reformasi, amandemen, ataupun revisi UUPA sesuai dengan defenisi masing-masing menyiratkan adanya keinginan untuk melihat kembali apakah folisofi UUPA masih relevan atau sudah saatnya ditinggalkan.1

Persoalan mengenai penataan ruang sebenarnya mulai muncul sejak adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.11 Tahun 1988 tentang GBHN yang di dalam hal ini disejajarkan dengan persoalan tata guna tanah. Berdasarkan pada ketetapan ini, dibentuklah undang pelaksanaannya yaitu undang No.24 tahun 1992 tentang penataan ruang dan diganti dengan Undang-Undang No.26 tahun 2007 tentang penataan ruang.2

Peranan tata ruang yang pada hakekatnya dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan sumber daya optimal dengan sedapat mungkin menghindari konflik pemanfaatan sumber daya, dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup serta meningkatkan keselarasan. Dalam lingkup tata ruang itulah maka

1

Bernhard Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Penerbit Margaretha Pustaka, Jakarta, 2011, hlm 117

2 Ibid

(2)

pemanfaatan dan alokasi lahan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan konsep ruang dalam pembangunan baik sebagai hasil atau akibat dari pembangunan maupun sebagai arahan atau rencana pembangunan yang dikehendaki.

Keterkaitan UUPA dengan perkembangan penataan ruang sangat penting untuk dipahami karena berkaitan dengan berbagai hal esensial bagi hajat hidup masyarakat. Peristiwa dan perbuatan hukum pertanahan terjadi di berbagai tempat dan sembarang waktu secara acak dan tidak terstruktur, tergantung kondisi setempat dan dinamika masyarakat. Sulit dIsusun secara runtut berdasarkan waktu kejadian (time series). Oleh karena itu, keterkaitan antara UUPA dengan perkembangan penataan ruang lebih ditekankan pada makna dan logikanya.

UU Pokok Agraria No.5/1960 yang diterbitkan hampir lima puluh tahun yang lalu dan menjadi dasar pengelolaan tanah di Indonesia, sesungguhnya lebih ditujukan untuk mengelola tanah pertanian. Sebagai undang-undang yang sudah tua, dapat dimengerti apabila meski telah terbit ratusan peraturan pelaksanaan yang berinduk pada UU Pokok Agraria ini, tetap saja hal itu belum dapat menjadi piranti hukum yang efektif untuk mengelola tanah perkotaan. Tanah perkotaan dan permukiman pada umumnya belum mendapatkan perhatian yang memadai, sehingga tanah menjadi komoditi dan penggunaannya begitu dinamis tidak secara ekspisit diatur dalam undang-undang.

(3)

budidaya, pemanfaatan kawasan budidaya oleh sektor-sektor unggulan, pusat- pusat permukiman perkotaan dan perdesaan, sistem jaringan transportasi, sistem prasarana lainnya (non-transportasi), dan program sektor prioritas, serta program kawasan strategis.

Kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini menegaskan beberapa isu strategis dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, yakni: Pertama, terjadinya konflik kepentingan antar-sektor, seperti pertambangan, lingkungan hidup, kehutanan, prasarana wilayah, dan sebagainya. Kedua, belum berfungsinya secara optimal penataan ruang dalam rangka menyelaraskan, mensinkronkan, dan memadukan berbagai rencana dan program sektor. Ketiga, terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang seharusnya ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan terhadap rencana tata ruang serta kelemahan dalam pengendalian pembangunan. Keempat, belum tersedianya alokasi fungsi-fungsi yang tegas dalam Rencana Tata Ruang Wiyah Nasional atau RTRWN. Kelima, belum adanya keterbukaan dan keikhlasan dalam menempatkan kepentingan sektor dan wilayah dalam kerangka penataan ruang. Keenam, kurangnya kemampuan menahan diri dari keinginan membela kepentingan masing-masing secara berlebihan.3

Selain kenyataan yang terjadi seperti itu, isu lain yang berkaitan dengan penataan ruang dan lingkungan hidup yakni pertama, konflik antar-sektor dan antar-wilayah. Kedua, degradasi lingkungan akibat penyimpangan tata ruang, baik di darat, laut dan udara. Ketiga, dukungan terhadap pengembangan wilayah belum

3

(4)

optimal, seperti diindikasikan dari minimnya dukungan kebijakan sektor terhadap pengembangan kawasan-kawasan strategis nasional dalam RTRWN seperti kawasan perbatasan negara dan kawasan andalan.

Pada kebanyakan kota di Indonesia, perkembangan dan pertumbuhannya masih berlangsung secara alamiah, dengan kata lain berkembang tanpa pengarahan dan perencanaan yang terprogram. Akibatnya pada tahap perkembangan yang lebih kompleks timbul berbagai permasalahan kota antara lain : ketidakteraturan penggunaan tata ruang seperti tanah kota, tidak optimalnya penggunaan tanah kota, timbulnya berbagai masalah lalu lintas, tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan fasilitas dan utilitas kota, timbulnya masalah pencemaran lingkungan kota dan sebagainya. Dengan demikian kota tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga akan memberikan hambatan-hambatan terhadap perkembangan ekonomi kota/desa.

Berbagai kenyataan dan isu-isu tersebut di atas, menjadi permasalahan di berbagai daerah tidak terkecuali yang ada di Kabupaten Langkat. Pada dasarnya dalam Rencana Tata Ruang Kabupaten Langkat Tahun 2013 - 2033, terkesan adanya pola yang mengarah pada eksploitasi sumber daya alam secara pasif yang memiliki konotasi dan eksploitasi yang berlebihan. Ini dapat dilihat dari pembagian ruang di Kabupaten Langkat yang diperuntukan bagi pembangunan-pembangunan yang menaifkan keberlanjutan.

(5)

ruang terdiri atas tiga proses kegiatan, yaitu perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.4

Dengan demikian konsep penataan ruang yang berusaha menjamin adanya kelangsungan pembangunan yang berkelanjutan harus menjadi dasar acuan bagi upaya pengelolaan dan pemanfaatan serta pemeliharaan kota/desa di Kabupaten Langkat. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik mengangkat topik tersebut menjadi sebuah penelitian yang berjudul “Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat Dalam Pelaksanaan Penataan Ruang Menurut

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007.”

Permasalahan yang selalu muncul hampir dalam dua tahun terakhir ini adalah tumpang tindihnya ruang atas satu kepentingan terhadap kepentingan yang lain. Ada perbedaan persepsi yang tajam antara pemerintah dan masyarakat dalam memandang satu kawasan. Rencana tata ruang yang ada lebih menitikberatkan pada kecenderungan untuk mengalokasikan kawasan kepada pemilik modal besar sekali. Ini sekaligus menegaskan penguasaan negara khususnya pemerintah daerah Kabupaten Langkat atas lahan sekaligus menghilangkan keberadaan masyarakat lokal itu sendiri.

Keadaan yang demikian itu dengan sendirinya tidak dapat diharapkan akan mencapai perkembangan kota/desa yang efisien dan efektif. Tetapi sebaliknya, jika suatu perkembangan yang direncanakan dan diprogram sesuai dengan kebutuhan secara optimal akan dapat diharapkan memberikan keuntungan lebih baik atau dapat mencapai sasaran dan tujuan yang diharapkan.

4

(6)

B. Perumusan Masalah

Atas uraian seperti yang dikemukakan di dalam latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini yakni sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan Penataan Ruang dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007?

2. Bagaimana pelaksanaan pemanfaatan penataan ruang di Kabupaten Langkat? 3. Apa peran pemerintah Kabupaten Langkat dalam melaksanakan Penataan

ruang?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini yakni sebagai berikut:

a) Untuk mengetahui penataan ruang dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007.

b) untuk mengetahui pelaksanaan pemanfaatan penataan ruang di Kabupaten Langkat.

c) untuk mengetahui peran pemerintah Kabupaten Langkat dalam melaksanakan Penataan ruang.

2. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan ada 2 (dua) manfaat yang dapat dihasilkan yaitu yang bersifat teoritis dan bersifat praktis yaitu:

(7)

memberikan andil bagi peningkatan pengetahuan dalam disiplin Ilmu Hukum khususnya dalam hal Pelaksanaan Penataan Ruang Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007.

b) Bersifat Praktis, yakni hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai informasi kepada masyarakat luas khususnya Penataan Ruang di Kabupaten Langkat tentang peran Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat dalam pelaksanaan Penataan Ruang Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007.

D. Tinjauan Kepustakaan

Pengertian tanah menurut pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). “tanah adalah permukaan bumi atau kulit bumi”. Selanjutnya pasal 4 ayat (2) menjelaskan pengertian hak atas tanah, yang menyatakan : “Hak atas tanah adalah hak untuk menggunakan tanah sampai batas-batas tertentu meliputi tubuh bumi, air, dan ruang angkasa diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah”. Hal ini, dipertegas kembali dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.5

Dasar hukum penataan kota mengacu pada dasar hukum penataan ruang antara lain diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUPA, yang dalam peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Penatagunaan tanah ini diwujudkan dalam suatu rencana tata ruang.

5

(8)

Penataan ruang di atur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam tindakan penataan ruang sesuai dengan rencana tata ruang akan menimbulkan akibat-akibat hukum sesuai dengan hak atas tanah. Ruang sebagai satu sumber daya alam tidak mengenal batas wilayah. Namun ruang dikaitkan dengan pengaturan, maka harus jelas batas, fungsi dan sistemnya dalam satu kesatuan. Istilah tanah dan agraria tidak selalu dipakai dalam arti dan pemahaman yang sama. Hal demikian, pada akhirnya membawa konsekuensi dan permasalahan tersendiri pada pengaturan dan kedudukannya dalam sistem hukum Indonesia.6

Aspek pertanahan dan penataan ruang, mempunyai hubungan penting, karena tanah sebagai salah satu sumber daya kegiatan penduduk yang dapat dinilai sifat, proses dan penggunannya, ini sesuai dengan yang dikemukakan Firey, “Tanah dapat menunjukan pengaruh budaya yang besar dalam adaptasi ruang, dan selanjutnya dikatakan ruang dapat merupakan lambang bagi nilai-nilai sosial (misalnya penduduk sering memberi nilai sejarah yang besar kepada sebidang tanah).7

Penataaan ruang dan tata guna tanah, dalam Pasal 16 UUPA, mewajibkan pemerintah untuk menyusun rancangan umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk berbagai macam keperluan pembangunan. Dalam penataaan ruang terkait pengelolaan, mengacu pada rencana umum peruntukan tanah, didasarkan pada kondisi obyektif fisik tanah dan keadaan lingkungan, baik

Dalam Pasal 18 UUPA, bahwa hak atas tanah adalah hak dan kewajiban, kewenangan-kewenangan dan manfaat dalam menggunakan tanah yang dengan sendirinya meliputi fisik tanah dan lingkungannya serta ruang diatasnya.

6

Ida Nurlida, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria : Perspektif Hukum, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm 35

7

(9)

di tingkat propinsi, dan kabupaten/kota harus memiliki kesamaan. Berdasar Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres No.36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, hal ini dalam pelaksanaan penetapan rencana pembangunan kepada kepentingan umum, sesuai dengan dan berdasarkan kepada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ditetapkan lebih dahulu, termasuk dalam penetapan kawasan wilayah pengelolaan tata ruang.

Ruang merupakan sarana yang sangat menunjang terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, mengingat segala aktivitas kehidupan manusia di dalam masyarakat akan selalu membutuhkan ruang dan sebaliknya ruang itu sendiri merupakan tempat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya untuk melangsungkan kehidupannya.8 Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.9 Tata ruang adalah wujud struktural ruang dan pola ruang.10 Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.11

Pemahaman tentang ”tata ruang” dalam arti luas mencakup keterkaitan dan keserasian tata guna lahan, tata guna air, tata guna udara serta alokasi sumber daya

8

Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, Cetakan kedua, Penerbit Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm 23

9

Pasal 1 angka 7 Peraturan Daerah No.9 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Langkat

10

Pasal 1 angka 8 Peraturan Daerah No.9 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Langkat

11

(10)

melalui koordinasi dan upaya penyelesaian konflik antar kepentingan yang berbeda.12

Penataan ruang merupakan instrumen untuk mengkaji keterkaitan antar fenomena tersebut serta untuk merumuskan tujuan dan strategi pengembangan wilayah terpadu sebagai landasan pengembangan kebijakan pembangunan sektoral dan daerah, termasuk sebagai landasan pengembangan sistem kota-kota yang efisien sesuai dengan fungsi-fungsi yang telah ditetapkan.

13

Pada dasarnya tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. Sementara penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Proses perencanaan tata ruang merupakan rangkaian tahapan kegiatan mulai dari pengumpulan data pendukung, pengolahan data sampai dengan penetapan zona peruntukan ruang. Pemanfaatan ruang dilakukan dalam penggunaan ruang harus sesuai dengan peruntukannya.14

Dalam upaya mengaktualisasikan ruang merupakan common goods melalui sistem kontrak sosial dilakukan pemberian kedaulatan kepada negara yang pada realitasnya dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan penyelenggaraan penataan ruang melalui aktifitas-aktifitas pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang (Pasal 1 angka 6 UU No 26 tahun 2007). Perwujudan dari pengaturan sebagai bagian integral dari sistem penyelenggaraan penataan ruang dilakukan dengan perwujudan pengaturan dalam peraturan

12

Eko Budihardjo. Tata Ruang Perkotaan. Bandung: Penerbit Alumni, 1997, hlm 68 13

Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah,

Pengembangan Wilayah Dan Penataan Ruang Di Indonesia : Tinjauan Teoritis Dan Praktis, Makalah ini disajikan dalam Studium General Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) di Yogyakarta, 2003, hlm 13

14

(11)

undangan mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, sampai ke Peraturan Daerah.

Secara umum penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan yakni kawasan lindung dan kawasan budi daya. Namun demikian sebelum membahas tentang pengelolaan dan pemanfaatan ruang, alangkah baiknya diuraikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tata ruang. Sementara tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Selanjutnya asas penataan ruang menurut undang-undang penataan ruang meliputi sebagai berikut:

a. Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi dan seimbang dan berkelanjutan;

b. Keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.

Dengan demikian asas tersebut di atas memberi isyarat 3 (tiga) aspek pokok yang harus diperhatikan dalam penataan ruang yaitu:

1) Aspek lingkungan hidup fisik umumnya dan sumber daya alam khususnya yang dimanfaatkan;

2) Aspek masyarakat termasuk aspirasi sebagai pemanfaat;

(12)

Menurut Wiratni Ahmadi sebagai suatu manajemen untuk mengatasi konflik, maka tujuan penataan ruang meliputi sebagai berikut:15

1) Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan ruang, baik sebagai sumber daya alam maupun sebagai wadah kegiatan;

2) Meminimalisir konflik dari berbagai kepentingan;

3) Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah dampak negatif terhadap lingkungan;

4) Melindungi kepentingan nasional dalam rangka pertahanan dan keamanan. Inti dari penataan ruang adalah mengembangkan tata ruang meningkatkan fungsi kawasan dan mengatur pemanfaatan ruang. Penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan peran serta masyarakat yang tata cara dan bentuk peran serta masyarakat itu diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang

Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat.

Selanjutnya, dalam Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah No. 327/KPTS/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah:

“Wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk hidup lainnya dan melakukan serta memelihara kelangsungan hidupnya.”

Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan turunannya berupa rencana tata ruang merupakan upaya penting dalam menertibkan penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia yang diwujudkan melalui beberapa aspek penting, diantaranya pengendalian pemanfaatan ruang.

15

(13)

Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan secara sistematik melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta sanksi.

Kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yang saling terkait, yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, dengan produk rencana tata ruang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/kota).

Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum di dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan di dalam implementasi perencanaan pembangunan berkelanjutan di wilayah Indonesia. Sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka Undang-Undang Penataan Ruang ini diharapkan dapat mewujudkan rencana tata ruang yang dapat mengoptimalisasikan dan memadukan berbagai kegiatan sektor pembangunan, baik dalam pemanfaatan sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan.

(14)

Secara partisipatif, proses perencanaan pembangunan dilaksanakan dengan melibatkan seluruh stakeholder di pusat dan daerah. Perencanaan pembangunan adalah suatu proses yang bersifat sistematis, terkoordinir dan berkesinambungan, sangat terkait dengan kegiatan pengalokasian sumberdaya, usaha pencapaian tujuan dan tindakan- tindakan di masa depan. Segala bentuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya harus diatur di dalam rencana tata ruang seperti yang tercantum di dalam UU No. 26/2007, bahwa penataan ruang terbagi atas kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Dengan demikian keterkaitan antara perencanaan pembangunan dan penataan ruang sangat penting dalam rangka optimalisasi sumberdaya alam dan buatan yang terbatas dan mengurangi resiko bencana yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia. 16

Selanjutnya dalam penjelasan Bab II pasal demi pasal khususnya Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 memberikan kejelasan makna penyusunan neraca penatagunaan tanah, air, udara dan sumber daya alam lain meliputi aktifitas-aktifitas berikut ini Pertama, Penyajian neraca perubahan

Pola penggunaan tanah perlu disertai pedoman berupa ketentuan penggunaan tanah untuk berbagai kebutuhan pembangunan menurut potensi dan fungsi tanah, baik fisik maupun ekonomi. Secara keseluruhan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mengatur aspek-aspek pengaturan penguasaan tanah, penatagunaan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah, serta pengukuran dan pendaftaran tanah.

(15)

penggunaan dan pemanfaatan tanah, sumber daya air, udara dan sumber daya alam lain pada rencana tata ruang wilayah. Kedua, Penyajian neraca kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah, sumber daya air, udara dan sumber daya alam lain pada rencana tata ruang wilayah. Ketiga, Penyajian ketersediaan tanah, sumber daya air, udara dan sumber daya alam lain dan penetapan prioritas penyediaannya pada rencana tata ruang wilayah.

Sementara Pasal 33 ayat (3) UU No 26 tahun 2007 menyatakan perihal penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan sarana dan prasarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah. Dalam penjelasan Pasal 33 ayat (3) UU No 26 tahun 2007 menyebutkan juga hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dimaksudkan agar dalam pelaksanaan pembangunan kepentingan umum yang sesuai dengan rencana tata ruang dapat dilaksanakan dengan proses pengadaan tanah yang mudah. Sesungguhnya Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 mengandung implikasi politik hukum yang membahayakan hak atas tanah khususunya subjek hak yang lemah aksesnya atas ekonomi, sosial, politik sehingga akan dapat kehilangan hak atas tanah dengan mudah ketika berhadapan dengan Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang dengan alasan demi penataan ruang untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum seperti fenomena penggusuran di hampir setiap daerah di Indonesia setidak sepuluh tahun terakhir.

(16)

untuk kepentingan lingkungan hidup sebenarnya masih belum optimal seperti apa yang diharapkan/terkandung dalam Undang-undang Penataan Ruang.

E. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan dari sebuah pengetahuan maka diperlukan metode penelitian. Karena dengan menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai tujuan dari penelitian maka penulis menggunakan metode penelitian yakni :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan yuridis normatif (penelitian hukum normatif)17

2. Sumber Data Penelitian

, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaipijakan normatif.

Pada penelitian yang berupa yuridis normatif, maka sumber-sumber data yang dikumpulkan berasal dari data kepustakaan yang ada dibedakan atas :18

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang hukum antara lain Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku, makalah, jurnal, surat kabar, internet dan sebagainya.

17

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm 163

18

(17)

c. Bahan hukum tertier, yaitu kamus-kamus hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan teknik pengumpulan data dengan cara : Studi Kepustakaan, dilakukan dengan mempelajari dan menganalisis yang berkaitan dengan topik penelitian, sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari: buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Referensi

Dokumen terkait

Miftahul huda Timur jang Jang Kangayan Sumenep - Bahasa Indonesia. 448 MOHAMMAD WARDI, S.Pd - MTs Al Wathoniyah Jl Katapang kolo-kolo

- Harga atau biaya produksi relatif mahal. - Pada saat film dipertunjukkan, gambar-gambar bergerak terus sehingga tidak semua penonton mampu mengikuti informasi yang

Skripsi yang berjudul “Studi Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat Ahmad Ghozali dalam Kitab Irsyâd al-Murîd ”, ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

[r]

Setelah dilakukan pengujian hipotesis dapat disimpulkan bahwa penggunaan model quantum teaching memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap peningkatan kemampuan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu ditetapkan dengan Peraturan Bupati tentang Pedoman Pemberian izin belajar,

(5) Dilengkapi alat pencegah lori keluar rel seperti rel pelindung (guard rail ). Karena penggunaan bersama man belt di level dan sumuran miring, waktu yang diperlukan sekali jalan