• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Stereotip antara Masyarakat Lokal dan Masyarakat Pendatang di Gampong Keude Matangglumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Stereotip antara Masyarakat Lokal dan Masyarakat Pendatang di Gampong Keude Matangglumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pandangan Sosiolog Terhadap Masyarakat Majemuk

masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat suku bangsa oleh sistem nasional, yang biasanya dilakukan secara paksa menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara.

Masyarakat majemuk menurut J.S. Furnifall (dalam Elly, 2011:547-550) dapat dibedakan ke dalam empat katagori, yaitu:

1. Masyarakat majemuk dengan kompetitif seimbang. Yaitu masyarakat yang terdiri dari sejumlah komunitas atau etnik yang mempunyai kekuatan kompetitif yang kurang lebih seimbang. Dalam keadaan ini, kerja sama antara etnis sangat diperlukan untuk mencapai pembentukan masyarakat yang stabil. Contohnya di pulau jawa, hubungan antara etnis Jawa dengan etnis Sunda yang memiliki kekuatan seimbang. Yang mana tidak terdapat hubungan dominasi diantara keduanya.

(2)

bersifat lebih kecil dan melemah. Gejala-gejala konflik laten antara masyarakat daerah dan pemerintah pusat seperti gerakan saparatisme Aceh, Papua, dan Maluku Selatan yang lebih banyak dipicu oleh image bahwa kelompok ini merasa bukan sebagai warga negara yang memiliki kemerdekaan. Artinya lepas dari penjajahan belanja dan masuk ke penjajahan beru yaitu dijajah oleh bangsa Jawa. dalam hal ini, masyarakat Jawa dapat dikatakan sebagai kelompok mayoritas yang mendominasi negeri ini. dengan banyaknya pejabat negara di masa ini yang rata-rata berasal dai Jawa. dengan demikian, Jawa sebagai kelompok mayoritas di negeri ini mendominasi kelompok lain yang jumlahnya relatif lebih kecil.

3. masyarakat majemuk dengan minoritas dominan. Yang artinya, dalam kehidupan masyarakat ini terdapat satu kelompok etnis minoritas, tetapi mereka memiliki keunggulan kompetitif yang luas sehingga kekuatan kompetitifnya mendominasi bidang-bidang kehidupan tertentu seperti politik, dan ekonomi.

4. masyarakat majemuk dengan fregmentasi. Artinya, suatu kehidupan masyarakat yang terdiri atas sejumlah kelompok etnik, tetapi semuanya berjumlah kecil sehingga tidak terdapat satu pun kelompok yang memiliki posisi yang dominan.

(3)

akan pentingnya kesukbangsaan yang berbentuk komunitas-komunitas suku bangsa dan digunakan sebagai referensi atas jati diri kesukubangsaan ini.

Adapun masyarakat majemuk menurut Dr. Nasikun dalam Elly (2011: 550) adalah masyarakat yang menganut berbagai sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa, sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai suatu keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.

2.2 Masyarakat Multikultural Indonesia

(4)

Selain keberagaman etnik Indonesia juga memiliki keberagaman agama. beberapa agama yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia adalah Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan Konghucu. Dimana Islam merupakan agama yang terbesar di Indonesia

Masyarakat indonesia nampaknya terdiri dari suku-suku dan agama-agama yang memiliki ciri “hot ethnicity” cenderung menonjolkan identitas etniknya, memiliki emosi yang mendalam mengenai hal kesukuan seperti (“saya orang Aceh”, “saya orang Batak”, dan lain-lain) adapula yang menonjolkan agama seperti (“saya islam”, “saya katolik”, dan lain-lain) dan selalu memendam keinginan untuk merdeka. Sedangkan “cold ethnicity” sifatnya kurang fanatik, kurang emosional dan identitas etnis sering hanya digunakan untuk mencari keuntungan sesaat. Kondisi yang seperti ini nampaknya bisa terus berubah, tergantung pada bagaimana negara-bangsa ini mengelola integrasi masyarakatnya terutama dalam mengembangkan kesejahteraan, keadilan dan solidaritas sosial.

Oleh karena persoalan di atas maka Brubaker memperkenalkan konsep

(5)

dalam kenyataannya masih belum benar-benar terwujud. Masih banyak terdapat konflik etnis maupun agama di indonesia.

Daisy (2012:87-88) mengatakan bahwa peran iklim demokrasi yang diberikan Indonesia juga besar dalam meningkatkan kesadaran kelompok, khususnya kelompok etnik. Kebangkitan identitas etnik dan kesadaran kelompok etnik ini diikuti dengan tuntutan-tuntutan terhadap keadilan dan kesederajatan dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Hal ini dapat terjadi karena proses pembangunan yang tidak merata dan kebijakan-kebijakan publik yang tidak mempertimbangkan keragaman budaya. Selain itu, kebangkitan dan kesadaran kelompok etnik juga dapat mengarah pada munculnya etnosentrisme dan chauvinisme kelompok. Masalah- masalah ini dapat mempengaruhi hubungan antar kelompok etnik, yang bisa mengarah pada konflik laten maupun konflik terbuka yang menggunakan kekerasan sampai pada gerakan pemisahan diri seperti Aceh (GAM) dan Papua (OPM). Untuk mempertahankan integrasi sosial maupun nasional seharusnya kebijakan-kebijakan publik dan pengakuan kesederajatan setiap kelompok entik yang hidup dan menjadi unsur pembentukan masyarakat Indonesia perlu dijamin oleh siapapun atau kelompok manapun yang berkuasa.

2.3 Teori Konflik

(6)

sifat konflik ini sendiri, dimana positif dan negatifnya gejala konflik akan sangat tergantung pada bagaimana konflik ini dikelola atau diarahkan.

Lebih lanjut, bagaimana ilmu - ilmu sosial dalam memandang tentang gejala konflik sosial, yaitu :

1. Pandangan struktural konflik yang memandang konflik sebagai gejala yang serba hadir dalam setiap kehidupan sosial. Dengan demikian, setiap kehidupan sosialselalu mengandung konflik dan konsekuensinya merupakan perpecahan dan integrasi yang semua ini tergantung pada bagaimana mengelola konflik sosial agar keberadaannya bukan anarkis, tetapi terkendali dan terarah untuk disesuaikan dengan tujuan kehidupan sosial ini sendiri.

2. Pandangan struktural fungsional yang memandang bahwa integrasi dalam kehidupan sosial tidak pernah tercapai secara sempurna, sebab setiap proses pengintegrasian kehidupan sosial selalu memendam potensi konflik. Akan tetapi, walaupun integrasi sosial tidak pernah tercapai secara sempurna, sistem sosial akan selalu memiliki kecenderungan bergerak ke arah tercapainya titik keseimbangan (equilibrium) yang sifatnya dinamis, sebagai perwujudan dari konsensus dari anggota masyarakat itu sendiri berkaitan dengan nilai-nilai universal.

(7)

1. Konflik rasial biasanya didasari oleh pemahaman yang salah antara ras satu dengan ras lainnya. Kesalahpahaman itu terletak pada perasaan antarras dimana satu kelompok ras memiliki perasaan lebih unggul dibanding dengan ras lainnya.

2. Konflik antarsuku bangsa. Konflik sosial antarsuku bangsa lebih banyak dipicu oleh stereotip terhadap kelompok lain, atau kecurigaan terhadap suku-suku tertentu atas penguasaan sumber-sumber vital yang menguasai hajat publik. Selain itu, konflik tersebut didukung oleh gejala pemahaman kekelompokan yang menimbulkan sikap etnosentrisme suku bangsa dengan menganggap suku bangsa lain lebih rendah.

3. Konflik antarpemeluk agama. Sumber utama dari perang antar pengikut agama ialah kepercayaan atau keyakinan akan kebenaran agama yang menganggap bahwa agama yang dianutnya merupakan yang paling benar, paling diridhai Tuhan, sedangkan agama yang dianut oleh penganut lain adalah sesat yang pada akhirnya sikap ini menimbulkan fanatisme yang berlebihan, sehingga menimbulkan sikap yang intoleransi terhadap pengikut agama lain.

2.4 Penyebab Konflik Dalam Masyarakat Majemuk

Dalam kehidupan masyarakat yang majemuk tidak dipungkiri banyak hal yang potensial menimbulkan adanya konflik sosial, yaitu beberapa yang menjadi penyebabnya adalah (Elly 2011:557-558):

(8)

titik pusat. Dengan demikian, etnosentrisme memiliki arti perasaan kelompok di mana kelompok merasa dirinya paling baik, paling benar, paling hebat sehingga mengukur kelompok lain selalu merujuk kepada kelompoknya. Secara sosiologis, etnosentrisme dapat diartikan sebagai gejala dimana kelompok sosial selalu mengunakan indikator mengukur unsur-unsur kebudayaan kelompok lain selalu merujuk kepada kelompoknya.

2. Stereotip terhadap kelompok seperti: anggapan bahwa orang Batak kasar, orang Madura memiliki budaya kekerasan karena seringnya terjadi peristiwa carok.

Biasanya stereotip seperti ini sering kali menimbulkan kesalahpahaman antar kelompok sosial. Ketersinggungan atas opini akan lebel kelompok dengan lebel-lebel yang bersifat ejekan seperti ini akan menimbulkan sifat ketersinggungan kelompok yang akhirnya menggugah tersulutnya konflik sosial.

3. Hubungan antar-penganut agama, sebagaimana terjadi di Poso, Sulawesi Tengah dan peristiwa pembongkaran rumah ibadah di Jawa Barat oleh kelompok tertentu.

(9)

2.4 Karakteristik Masyarakat Aceh

Aceh dilatarbelakangi oleh berbagai sukubangsa dan budaya yang merupakan suatu integrasi antar suku bangsa sehingga pada masa kerajaan Aceh Darussalam disebut dengan suku bangsa Aceh. Menurut temuan sejarawan Suku Aceh berasal dari India dan Timur Tengah. Realita tersebut karena letak geografis yang sangat strategis dengan Selat Malaka dan berdekatan dengan India. Di samping itu banyak budaya Aceh yang dipengaruhi negara Hindustan serta kemiripan wajah dengan bangsa India hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang yang berada di lain daerah. Namun demikian pada awal perkembangan kebudayaan suku Aceh di wilayah ujung Pulau Sumatera dinamakan Lambri dan Lamuri.

Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal wali, karong, kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan. Agama islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh dijuluki dengan “serambi mekkah”. Dari struktur masyarakat Aceh dikenal gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya.

(10)

rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, diantaranya dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang.

Suku Aceh atau Suku yang menggunakan bahasa Aceh umumnya hidup di daerah pesisir Aceh. Suku Aceh ini merupakan yang terbanyak diantara sub-suku Aceh yang lainnya. Suku Aceh mempunyai peranan yang baik di bidang ekonomi, politik dan sosial keagamaan. Suku Aceh ini berbicara dalam bahasa Aceh dan berbudaya Aceh serta mempunyai peranan dalam pengembangan agama Islam di Aceh.

Suku Aceh berdomisili di sembilan daerah tingkat II. Suku Aceh ini diperkirakan berasal dari negara India, Indo Cina dan Persia, hidupnya terpencar baik di pesisir maupun di pedalaman Aceh. demikian juga mata pencaharian, mereka dapat kuasai dalam berbagai bidang. Kehidupan mereka lebih cepat menerima pembaruan. Keberadan Suku Aceh ini memperkuat sistem dan struktur masyarakat Aceh selanjutnya membentuk suatu peradaban Aceh yang Islami.

(11)

pendidikan dan para saudagar dari Suku Aceh yang memainkan peranannya di Aceh maupun di tingkat pusat.

Di Provinsi Aceh terdapat pula beberapa suku bangsa lainnya, sekaligus antar suku tersebut mempunyai budaya sendiri dan berbeda satu dengan yang lainnya. Berbagai suku tersebut diantaranya, Suku Gayo, Suku Tamiang, Suku Alas, Suku aneuk Jamee (pendatang), Suku Kluet, Suku Melayu Singkil, Suku Defayan, dan Suku Sigulai.

Gayo merupakan salah satu sub-suku Aceh yang hidup dan berkembang didataran tinggi tanah Gayo. Etnik Gayo merupakan sub-etnik yang mendekati atau hampir sama dengan etnik Batak. Etnik Gayo sebelumnya hidup di pedalaman Aceh tengah, akan tetapi setelah kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam antara tahun 1550-1650, etnik ini disatukan oleh Sultan Aceh sehingga statusnya sama dengan etnik Aceh yang hidup dan berkembang di daerah Aceh. etnik gayo dilihat dari kehidupan dan dalam interaksi dengan lingkungan budaya luar hidupnya agak khas dibanding dengan etnik lainnya, karena etnik Gayo sangat menghargai nilai-nilai budayanya. Kenyataannya tersebut dapat dilihat dari interaksinya dalam masyarakat. Akan tetapi selama perkembangan teknologi informasi kehidupan mereka telah mulai terbuka dengan lingkungannya. Etnik ini dalam kehidupan sehari-hari sangat menjujung tinggi nilai-nilai budaya serta bahasa mereka.

(12)

merupakan etnik pendatang ke Aceh, karena sebelumnya di ujung sumatera tersebut sudah ada penghuninya. Oleh karena itu mereka singgah di daerah Kuala Simpang. Etnik ini identik dengan Melayu Riau dan Melayu Malaysia. Akan tetapi secara keseluruhan etnik ini dapat menyetu dengan etnik Aceh, karena kelembutan dan keramahan etnik Melayu tersebut. Etnik Tamiang sering disebut Melayu Tamiang atau Aceh Tamiang. Dilihat dari bahasa dan warna kulitnya memang lebih banyak Melayunya dibandingkan dengan Acehnya. Demikian juga kebudayaan mereka hampir sama dengan kebudayaan Melayu Deli dan Suku Melayu lainnya di Semenanjung Malaka. Aceh Tamiang selain memakai bahasa melayu sebagai bahasa pengantar, sekaligus budayanya mirip dengan etnik Melayu lainnya di Nusantara.

Sedangkan etnis Alas merupakan etnik yang tinggal di Kabupaten Aceh Tenggara dan Hulu Sungai Singkil. Secara Antropologi Etnik Alas ini mendekati etnik Karo, yang ada di Sumatera Utara. Demikian juga bahasa mereka pun hampir dengan bahasa Karo. Namun demikian etnis Alas ini hidup dan berkembang serta berbudaya dengan budayanya sendiri. Mereka juga umumnya tinggal di daratan tinggi Aceh Tenggara. Etnis Alas sampai saat ini di perdesaan masih memakai marga, akan tetapi marganya pun berbeda dengan marga Batak, selain karena kedekatan budaya sekaligus berdekatan dengan Sumatera Utara. Demikian juga dengan budaya baik pakaian ataupun bahasanya mirip dengan budaya dan bahasa Batak.

(13)

Akan tetapi mereka sebenarnya merupakan integrasi antara etnis Minang dengan etnis Aceh, sehingga lahir lah satu etnik yang disebut dengan Aneuk Jamee (kamu-pendatang).

Sedangkan etnik Kleut, baik Kleut Utara maupun Kleut Selatan, merupakan salah satu turunan dari etnis Alas. Bahkan etnis Alas menurut cerita berasal dari berasal dari etnis Kleut ini. Dan etnis Singkil adalah satu etnis yang hidup di Kabupaten Aceh Singkil. Etnis ini mirip bahasanya dengan etnis Melayu dan bahasa kleut dan bahasa Batak Karo. Terakhir adalah etnik Defayan dan Singulai. Etnik ini hidupnya di kabupaten Simeulu atau Pulau Simeulu. Etnik ini mendekati turunan dari etnis Nias Sumatera Utara. Akan tetapi etnis Defayan dan Singulai semuanya menganut agama islam dan berbudaya seperti budaya islam. Secara antropologi etnis ini jika dilihat bentuk mukanyapun mendekati etnis Nias dan kebanyakan mereka berkulit agak putih. Inilah etnik-etnik Aceh yang hidup dan berkembang saat ini. Mereka umumnya beragama Islam dan tunduk kepada syariat Islam. Etnik-etnis Aceh tersebut disatukan kedalam satu bangsa pada masa Kerajaan Islam dengan nama Bangsa Aceh (Rani Usman 2003:38-42).

2.6 Stereotipe Antarbudaya

(14)

mengidentifikasi individu tersebut pada basis anggota kelompok etnis tertentu, dan langkah berikutnya adalah menilai diri individu tersebut.

Menurut Kornblum dalam buku Pengantar Sosiologi (Kamanto, 2004:152), stereotip merupakan citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut. Stereotip mungkin ada benarnya, tetapi tidak seluruhnya benar. Menurut stereotip yang dipunyai orang Amerika mengenai keturunan Polandia, misalnya orang Polandia antara lain bodoh, kotor, tidak berpendidikan, tidak berbudaya. Menurut Kornblum, stereotip ini berasal dari abad ke 19, tatkala orang Polandia yang bermigrasi ke Amerika adalah petani yang tidak berpendidikan.

Berbicara tentang stereotip, kita tidak akan lepas dari kata prasangka. Di mana stereotip merupakan konsep seseorang dalam bersikap, begitu juga prasangka. Prasangka tidak selamanya bersifat negatif, karena merupakan dugaan awal terhadap seseorang atau kelompok lain. Dapat juga bersifat positif yag disebut dengan prototype.

(15)

2.7 Pengaruh Stereotip Dalam Interaksi Antarbudaya

Samovar dkk dalam (Turnomo,2005:62) bahwa stereotip akan mempengaruhi interaksi antarbudaya dimana:

1. Stereotip dapat menjadi penyebab tidak berlangsungnya interaksi antarbudaya. Bila kita mempunyai stereotip, maka kita akan memilih untuk bertempat tinggal dan bekerja dalam latar yang meminimalkan kesempatan kontak dengan orang dari kelompok yang tidak disukai.

2. Stereotip cenderung menciptakan beberapa faktor negatif selama pertemuan antarbudaya yang secara serius akan mempengaruhi kualitas interaksi.

3. Bila stereotip sangat intensif, maka orang yang berstereotip akan terlibat dalam diskriminatif terhadap kelompok yang tidak disukai. Dan kondisi akan mudah mengarah pada konfrontasi dan konflik terbuka.

2.8 Defenisi Konsep

Agar penelitian ini tetap pada fokus penelitian dan suapaya tidak menimbulkan penafsiran ganda dikemudian hari, maka perlu dibuat defenisi konsep antara lain sebagai berikut:

1. Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang didalamnya terdapat keanekaragaman budaya, termasuk di dalamnya terdapat keragaman bahasa, agama, adat istiadat, dan pola-pola sebagai tatanan perilaku anggota masyarakatnya (Setiadi dan Kolip 2011).

(16)

hal ini pandangan yang ingin dilihat adalah pandangan masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang dan sebaliknya pandangan masyarakat pendatang terhadap masyarakat lokal.

3. Kelompok subordinat adalah kelompok minorias yang selalu didiskriminasi dan dianggap sebagai warga masyarakat “kelas dua”. (Elly, 2011:553). Dalam hal ini kelompok yang tersubordinasi adalah masyarakat suku pendatang dan agama non-islam yang kepentingan-kepentingan dan hak-hak mereka di anggap sebagai “warga kelas dua”. 4. Masyarakat lokal adalah masyarakat yang lahir dan menetap di Aceh

sebelum adanya masyarakat pendatang yang datang dan menetap. Dalam hal ini masyarakat lokal adalah masyarakat suku Aceh.

5. Masyarakat Pendatang adalah penduduk yang tinggal dan menetap di Aceh yang kampung halamannya berada di luar Aceh yang mempunya suku, agama, dan kebudayaan yang berbeda. Dalam hal ini masyarakat pendatang terbagi menjadi dua yaitu life time migran yaitu pendatang yang telah menetap di Aceh sejak kecil dan resigh migran yaitu pendatang yang belum lama menetap di Aceh, diantaranya suku Jawa, Batak, Minang, Tionghoa dan lain-lain.

Referensi

Dokumen terkait

Instrumen yang digunakan pada saat proses berlangsung berkaitan erat dengan nilai karakter yang dipilih untuk dilakukan yaitu, kejujuran kemandirian, kedisiplinan

Pembiayaan merupakan salah satu komponen penting untuk terlaksananya program pelatihan KTSP di KKG dan MGMP sesuai yang diharapkan. Mungkin sebagian besar KKG dan MGMP

Adalah wajar apabila permintaan peninjauan kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh terpidana atau ahli warisnya dikecualikan

Latar belakang penelitian adalah belum tersedianya modul pembelajaran yang baik dan layak yang diukur melalui tingkat kevalidan dan kepraktisan, guna meningkatkan hasil belajar

Jurnal : Pengaruh Pengetahuan Sistem Automatic Exhange of Information (AEoI) dan Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Membayar dan Melaporkan Pajak (Studi

Marketing politik bukanlah konsep untuk “menjual” partai politik (parpol) atau kandidat kepada pemilih, namun sebuah konsep yang menawarkan

Program studi teknik informatika saat ini membutuhkan sistem yang dapat mengatur pendaftaran secara online dan dapat membantu untuk melakukan pengecekan jadwal

Termasuk semua hambatan tetap (kolom, elevator, tangga, dan lain-lain). Cari daerah penerima dan pengiriman.. Cari berbagai jenis penyimpanan. Menetapkan bahan-bahan untuk