• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK WILAYAH PERAIRAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Dasar Penetapan Perbatasan Negara - Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary Dalam Model Penyelesaian Sengketa Terhadap Laut Cina

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK WILAYAH PERAIRAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Dasar Penetapan Perbatasan Negara - Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary Dalam Model Penyelesaian Sengketa Terhadap Laut Cina"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

TERHADAP KONFLIK WILAYAH PERAIRAN MENURUT HUKUM

INTERNASIONAL

A.Dasar Penetapan Perbatasan Negara

Batas adalah tanda pemisah antara suatu wilayah dengan wilayah yang lain, baik berupa tanda alamiah maupun buatan. Penetapan dan penegasan batas wilayah suatu negara dirasakan sangat penting dan mendesak, hal tersebut didasarkan fakta semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan pembangunan yang memerlukan ruang baru bagi kegiatan tersebut . Kebutuhan akan ruang ini pada akhirnya akan berpengaruh terhadap hilang atau berubahnya batas wilayah suatu negara. Apabila hal tersebut tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin akan muncul sengketa dan saling klaim terhadap wilayah suatu negara oleh negara lain.39

Pengakuan Internasional terhadap suatu negara didasarkan pada terpenuhi tidaknya syarat-syarat berdirinya suatu negara, antara lain adalah menyangkut wilayah negara, karenanya tidak ada negara yang diakui tanpa wilayah negara. Dengan kenyataan ini, maka suatu negara selalu memiliki wilayah dengan batas-batas tertentu yang diakui secara internasional.40

Pengertian perbatasan secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara dua negara yang berdaulat. Perbatasan sebuah negara atau states border dibentuk

39

Suryo Sakti Hadiwijoyo,Batas Wilayah Negara Indonesia “Dimensi,Permasalahan, dan Strategi Penanganan”(Sebuah Tinjauan Empiris dan Yuridis), Penerbit Gava Media,

Yogyakarta.2008.Hal 35

40

Ibid.

(2)

dengan lahirnya negara. Menurut pendapat ahli geografi politik, perbatasan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu boundaries dan frontier. Kedua definisi ini mempunyai arti dan makna yang berbeda meskipun keduanya saling melengkapi dan mempunyai nilai yang strategis bagi kedaulatan wilayah negara. Perbatasan disebut frontier karena posisinya yang terletak di wilayah bagian depan dari suatu negara. Sedangkan istilah boundary digunakan karena fungsinya yang mengikat atau membatasi (bound or limit) suatu unit politik, dalam hal ini adalah negara. Semua yang terdapat di dalamnya terikat menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh serta saling terintegrasi satu dengan yang lain. Boundary paling tepat dipakai apabila suatu negara dipandang sebagai unit spasial yang berdaulat.41

Dalam kaitan dengan konsep ruang, batas wilayah kedaulatan negara (boundary) amatlah penting di dalam dinamika hubungan antara negara/atau antar bangsa. Hal ini karena batas antar negara atau delimitasi sering menjadi penyebab konflik terbuka. Meskipun penentuan delimitasi telah diatur dalam berbagai konvensi internasional. Tetapi, latar belakang sejarah setiap bangsa/negara dapat memberikan nuansa politik tertentu yang mengakibatkan penyimpangan dalam menarik garis boundary dan bertabrakan dengan negara lain.42

Berkaitan dengan perbatasan antarnegara, hukum internasional memberikan konstribusi yang penting, terutama dalam pelaksanaan perundingan atau perjanjian batas antar negara. Hukum internasional secara jelas dan tegas

41

Suryo Sakti Hadiwijoyo,Perbatasan Negara dalam dimensi Hukum Internasional,Graha Ilmu,Yogyakarta.2011.Hal 63

42

(3)

memberikan batasan tentang pemanfaatan sementara wilayah perbatasan antar negara. Persetujuan atau perjanjian perbatasan di wilayah darat atau di wilayah laut (batas maritim) yang telah disepakati dengan negara lain secara tidak langsung merupakan bukti pengakuan kedaulatan negara atas wilayahnya, akan tetapi kesepakatan tersebut seyogianya perlu dituangkan dalam bentuk perjanjian, sedangkan yang sudah diratifikasi dalam bentuk undang-undang, hal ini pada dasarnya untuk mempermudah bagi para pihak sekiranya terjadi perbedaan penafsiran terhadap pelaksanaan persetujuan atau perjanjian tersebut.

Menurut Adi Sumardiman43

1. Ketentuan Tidak Tertulis

secara garis besar terdapat 2 (dua) hal yang menjadi dasar dalam penetapan perbatasan, yaitu:

Ketentuan seperti ini pada umumnya berdasarkan pada pengakuan para pihak yang berwenang di kawasan perbatasan, oleh para saksi atau berdasarkan petunjuk. Tempat pemukiman penduduk, golongan ras, perbedaan cara hidup, perbedaan bahasa, dan lain sebagainya dapat dijadikan dasar atau pedoman dalam membedakan wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Kondisi alam wilayah membatasi manusia dalam menentukan permukimannya. Seiring dengan perkembangan waktu, tanda-tanda alam tersebut dapat pula berkembang menjadi batas wilayah. Melalui proses kebiasaan yang berlangsung lama, perbatasan sedemikian dapat tumbuh menjadi perbatasan tradisional. Perbatasan tradisional ini yang kemudian dipertegas dalam suatu perjanjian antar negara yang berbatasan.

43

(4)

Penetapan batas antar negara yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis ini, pada kenyataannya lebih banyak mengalami kesulitan, karena menyangkut juga faktor historis dan kultural, yang secara politis lebih rumit dari pada faktor teknis.

Berkaitan dengan penetapan dan penegasan batas wilayah,penamaan unsur geografis memegang peranan penting dalam membantu penentuan lokasi perbatasan. Hasil inventarisasi dan penamaan unsur geografis yang dilakukan bersama-sama oleh pemerintah dan pemuka masyarakat inilah yang dijadikan dasar hukum dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan aktivitas pemerintahan. Lokasi perbatasan yang memiliki kepastian hukum hanya dapat diwujudkan dengan cara formal dalam deskripsi tertulis dan cara materiil diwujudkan dengan adanya tanda-tanda batas di lapangan.

2. Ketentuan Tertulis

(5)

pemetaan. Perubahan-perubahan kedudukan perbatasan antar negara yang telah ditetapkan di dalam suatu perjanjian merupakan bukti adanya ketidakpuasan dari negara yang saling berbatasan.

Dalam penyusunan dan penetapan perjanjian perbatasan antar negara, peta memegang peranan yang sangat penting, yaitu sebagai alat bantu untuk menemukan dan menentukan lokasi distribusi spasial dari kawasan perbatasan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam setiap perjanjian perbatasan biasanya dilengkapi dengan peta sebagai lampiran yang berfungsi untuk mempermudah dan memperjelas letak dan lokasi dari masing-masing titik batas maupun area perbatasan yang telah disepakati oleh negara yang berbatasan.

B.Prinsip dan Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Batas

Negara.

B.1. Prinsip Hukum Internasional dalam Penetapan Batas Negara.

1. Prinsip Penyelesaian Penetapan Batas Negara.

Dalam dimensi hukum internasional, prinsip penetapan perbatasan negara dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu Prinsip Umum dan Prinsip Khusus. Prinsip umum dalam penetapan perbatasan negara adalah ketentuan dasar yang dijadikan acuan dalam penyelesaian penetapan negara secara umum. Dalam prinsip umum penyelesaian penetapan perbatasan negara, terdapat 2 (dua) landasan hukum internasional, yaitu United Nations Charter (Piagam PBB) dan

Treaty of Amity and Coorperation in Southeast Asia.44

44

(6)

Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, secara umum dalam penyelesaian penetapan perbatasan antar negara harus diselesaikan secara damai melalui perundingan, baik antara negara yang berbatasan ataupun melalui mediasi pihak ketiga. Dengan demikian prinsip penyelesaian secara damai merupakan prinsip utama atau prinsip umum dalam penyelesaian penetapan perbatasan negara. Prinsip kedua dalam penyelesaian penetapan perbatasan negara adalah prinsip khusus.Prinsip khusus tersebut dalam implementasinya dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Prinsip Khusus Penetapan Batas Darat dan Prinsip Khusus Penetapan Batas Maritim atau Laut.45

a. Prinsip Khusus Penetapan Batas Darat. (1) Uti Possidentis Juris

Prinsip ini menyatakan bahwa negara yang merdeka mewarisi wilayah bekas negara penjajahnya. Dalam konteks Indonesia hal tersebut terlihat dalam penetapan batas negara antara lain sebagai berikut ;

(a) Batas darat antara Indonesia dan Malaysia ditetapkan atas dasar Konvensi Hindia Belanda dan Inggris tahun 1891, tahun 1915, dan tahun 1928.

(b) Batas darat antara Indonesia dan Timor Leste ditetapkan atas dasar Konvensi tentang Penetapan Batas Hindia Belanda dan Portugal Tahun 1904 dan Keputusan

Permanent Court of Arbitration (PCA) tahun 1914.

45

(7)

(c) Batas darat antara Indonesia dan Papua Nugini ditetapkan atas dasar Perjanjian Batas Hindia Belanda dan Inggris tahun 1895.

(2)Border Stability

Dalam penyelesaian penetapan perbatasan darat harus memperhatikan dan menjaga stabilitas kawasan perbatasan. Hal tersebut sangat beralasan karena kawasan perbatasan darat merupakan perbatasan langsung antar negara, selain itu dalam beberapa kasus terdapat hubungan kekerabatan antara masyarakat kedua negara yang berbatasan.

Penyelesaian penetapan perbatasan darat yang mengabaikan prinsip border stability, pada gilirannya akan menimbulkan disharmonisasi hubungan antar warga negara yang dapat berujung pada timbulnya gangguan hubungan diplomatik antara negara yang berbatasan. Oleh sebab itu, prinsip ini merupakan prinsip yang mutlak untuk dilaksanakan, terutama dalam penyelesaian penetapan perbatasan darat sebagai wilayah yang berbatasan langsung antarnegara.

(3)Eternality of Boundary Treaty

Perjanjian perbatasan antar negara merupakan salah satu bentuk perjanjian internasional, yang tentu saja dalam pelaksanaannya mengikuti asas-asas dan kaedah dalam hukum internasional.

(8)

menuntut perubahan garis besar setelah batas tersebut disepakati bersama. Doktrin adanya perubahan fundamental (rebus sict stantibus) yang seringkali berlaku dalam hukum internasional, ternyata tidak dapat diterapkan dalam perjanjian tentang batas antar negara. Secara tegas hal ini dinyatakan dalam Pasal 62 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional.

b. Prinsip Khusus Penetapan Batas Maritim

Dalam penetapan batas laut atau batas maritim, yang menjadi landasan hukum internasional adalah United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (yang selanjutnya disebut UNCLOS 1982). Dalam kaitan dengan penetapan batas laut teritorial, melalui Pasal 15 UNCLOS 1982 mengenai penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, dinyatakan sebagai berikut :

“ Dalam hal dua Negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak kecuali, ada persetujuan yang sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titik sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur.

(9)

menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut cara yang berlainan dengan ketentuan tersebut.”

Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam pasal 15 UNCLOS 1982 berkaitan dengan penetapan batas laut teritorial dapat disimpulkan menjadi 3 (tiga) hal yaitu : pertama, dalam penetepan batas laut teritorial dilakukan dengan melalui perundingan; kedua, dalam penetapan batas laut teritorial pada negara yang berhadapan,digunakan metode

equidistance;ketiga, ketentuan tersebut tidak dapat berlaku, apabila terdapat alasan baik historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut cara yang berlainan dengan ketentuan tersebut.

Berkaitan dengan penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif (yang selanjutnya disebut dengan ZEE) dan Landas Kontinen, mengacu pada Pasal 74 UNCLOS 1982 yang mengatur tentang penyelesaian penetapan batas garis ZEE46 dan Pasal 83 UNCLOS 1982 yang mengatur tentang penyelesaian penetapan batas Landas Kontinen47

46

Pasal 74

Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan .

.

(1) Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai pemecahan yang adil.

(2) Apabila tidak dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV. (3) Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1),

negara-negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan.

47

(10)

Berdasarkan pada ketentuan yang tertuang dalam Pasal 74 dan Pasal 83 UNCLOS 1982, dalam penyelesaian penetapan batas ZEE dan garis batas Landas Kontinen secara garis besar memperhatikan 3 (tiga) prinsip sebagai berikut: pertama, dalam penetapan batas zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen dilakukan melalui perundingan ; kedua, dalam penyelesaian penetapan zona ekonomi eksklusif dan garis batas landas kontinen harus berdasarkan pada hukum internasional; dan ketiga, dalam implementasi penyelesaian penetapan batas zona ekonomi eksklusif maupun landas kontinen harus mencapai Equitable Result atau mendatangkan manfaat bagi negara-negara yang bersangkutan.

B.2. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Batas Negara.

1. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Darat. Pada hakikatnya dalam kajian hukum internasional tidak dikenal adanya regulasi yang bersifat khusus yang mengatur penetapan wilayah perbatasan darat antar negara. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam penentuan wilayah

Penetapan garis batas landa kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan.

(1) Penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujusn atas dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai pemecahan yang adil.

(2) Apabila tidak dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara-negara yang bersangkutanharus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV. (3) Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1),

negara-negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan.

(11)

perbatasan darat antar negara dapat ditentukan dengan berdasarkan 2 (dua) cara, yakni:48

48Ibid.

Hal 87.

Pertama, Secara Alamiah. Penentuan batas secara alamiah terlihat pada kasus pasca lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999 dan kemudian menjadi negara yang berdaulat penuh pada 20 Mei 2002 dengan nama Republik Demokratik Timor Leste. Hal tersebut membawa konsekuensi bagi Indonesia maupun Timor Leste dalam kaitan dengan penetapan perbatasan darat.

Dalam kasus dengan Timor Leste, penetapan batas darat mengacu pada perjanjian (treaty) antara Kerajaan Belanda dan Kerajaan Portugal yang ditandatangani pada 20 April 1859 di Lisabon dan kemudian pada 13 Agustus 1860 dilaksanakan pertukaran ratifikasi. Selanjutnya perjanjian batas wilayah antara koloni Belanda dan Portugal di Pulau Timor secara rinci ditetapkan melalui perjanjian (konvensi) yang ditanda tangani pada 1 Oktober 1904 di Den Haag, dimana pada saat itu Indonesia merupakan koloni dari Kerajaan Belanda, sedangkan Timor Portugis (nama Timor Leste pada saat menjadi koloni Portugal) merupakan koloni Portugal.

(12)

Metode lain yang digunakan adalah dengan mengikuti kontur alamiah daerah perbatasan tersebut. Hukum internasional mengenal pendekatan ini sebagai pendekatan atau metode watersheed, yakni mengikuti aliran turunnya air dari tempat yang lebih tinggi. Dalam praktiknya, penentuan atau penetapan perbatasan darat dengan menggunakan metode watersheed apabila kedua belah pihak (negara yang saling berbatasan) tidak mempunyai penafsiran yang sama akan menimbulkan konflik antar negara yang berbatasan tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran kedua belah pihak akibat perbedaan fakta di lapangan dengan isi naskah dalam perjanjian. Berkaitan dengan hal tersebut, hukum internasional menyatakan perlunya membangun kesamaan persepsi dan saling percaya antara negara-negara yang saling berbatasan, untuk mengupayakan jalan damai apabila timbul persengketaan yang berkaitan dengan penetapan atau penegasan perbatasan darat. Kesepakatan yang dicapai oleh kedua belah pihak dalam penetapan perbatasan di lapangan dapat dituangkan ke dalam field plan dan selanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam penetapan perbatasan darat.

(13)

Dalam hukum internasional apabila penarikan garis batas secara lurus menyinggung / mengenai sungai maka berlaku prinsip thalweg. Prinsip metode

thalweg adalah menggunakan dasar sungai yang dapat dijadikan alur pelayaran sebagai acuan dalam penentuan perbatasan antar negara.Meskipun penentuan perbatasan dengan menggunakan metode ini lebih praktis dan menguntungkan, metode ini cenderung mengabaikan faktor upaya memelihara kesatuan etnis yang mendiami wilayah perbatasan sehingga secara tidak langsung dapat menimbulkan potensi konflik horizontal antar negara, terutama berkaitan dengan kesenjangan sosial dan ekonomi antar warga/penduduk di wilayah perbatasan.

3. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Laut.

Dalam kaitan dengan penetapan perbatasan laut antar negara dalam konterks hukum internasional dikenal 2 (dua) konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut dengan PBB) yaitu49

(1) Konvensi Hukum Laut Tahun 1958 (UNCLOS 1958) :

Pada awalnya perkembangan penetapan perbatasan antar negara di wilayah laut menggunakan metode penetapan batas secara artifisial dengan asumsi bahwa wilayah laut merupakan bagian dari kekuasaan imperium atas daratan.

Garis batas antar negara di wilayah laut berfungsi sebagai allocation line yang menjadi batas pemisah kepemilikan daratan diantara penguasa kolonial sehingga tidak dapat menjadi perbatasan laut semata, hal tersebut dapat dilihat dari contoh disepakatinya perjanjian antara Portugis dan

49

(14)

Spanyol pada abad 15 yang dikenal dengan Perjanjian Tordesilas. Perjanjian Tordesilas ini membagi dunia menjadi 2 (dua) dimana masing-masing merupakan wilayah koloni/jajahan/jalur pelayaran dari Portugis dan Spanyol.

Selain Perjanjian Tordesilas, pada tahun 1930 disepakati pula Perjanjian Paris (Paris Treaty) antara Amerika Serikat dan Inggris yang menjadi dasar bagi klaim atas kewilayahan Philipina oleh Amerika Serikat dan Inggris. Kedua perjanjian tersebut merupakan contoh dari penggunaan batas laut oleh negara-negara imperial untuk saling berbagi wilayah koloni, sehingga batas laut sering diartikan sebagai allocation line.

Dalam kaitan itu, mulai muncul gagasan atau konsep untuk mengatur tentang konsep laut wilayah atau yang lebih dikenal dengan laut teritorial. Pada masa itu konsep laut wilayah merupakan suatu hal baru, seiring ditemukannya teknologi persenjataan meriam, di mana sesuai dengan daya jangkau meriam tersebut yaitu sejauh 3 mil laut, maka jarak 3 mil laut dinyatakan sebagai legitimate claim atas wilayah laut oleh negara pantai. Namun demikian pada praktiknya Konvensi Hukum Laut 1958 (selanjutnya disebut dengan UNCLOS 1958) tidak berhasil menyepakati masalah ini, melainkan hanya menyebutkan penerapan prinsip

(15)

Perdebatan tentang lebar laut teritorial menjadi isu yang sangat penting dan tidak terpecahkan dalam UNCLOS 1958. Hal tersebut pada gilirannya merupakan suatu bentuk refleksi kuatnya tuntutan rezim kebebasan dalam pengelolaan wilayah laut (mare liberum) vis a vis dengan sebagian negara yang mengkehendaki pembatasan yang lebih tegas dan jelas dalam rangka memberikan keleluasaan kepada negara pantai untuk melalukan pengawasan atas wilayah perairannya (mare clausum). Terlebih lagi dalam penentuan hak ekonomis terhadap sumber daya alam minyak dan gas di dasar laut (selanjutnya disebut sebagai landas kontinen), UNCLOS 1958 juga belum memberikan batasan yang jelas dan tegas melainkan digantungkan pada faktor natural prolongation dan eksploitabilitas. Hal ini membawa dampak yang tidak menguntungkan, terutama bagi negara-negara yang baru merdeka setelah periode Perang Dunia ke-II, kenyataan tersebut dinilai sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan negara imperial yang adalah negara-negara maritim besar (Spanyol,Portugis,Perancis,Inggris) atas jajahannya/bekas jajahannya.

(16)

yang kemudian melahirkan UNCLOS 1982 yang hingga saat ini masih dijadikan acuan oleh negara-negara di dunia.

Terlepas dar kegagalan UNCLOS 1958 terhadap dua pokok masalah tersebut, UNCLOS 1958 memberikan sumbangan penting berkaitan dengan diakuinya prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur mengenai perbatasan laut antar negara. Hal ini tercermin dari perkara yang diputuskan Mahkamah Internasional bahkan pada periode setelah UNCLOS 1982 berlaku.

(2) Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 (UNCLOS 1982)

Pada tahun 1982 tepatnya 30 April 1982 di New York, konvensi hukum laut PBB (UNCLOS-United Nations Convention on the Law of the Sea) telah diterima baik dalam konferensi PBB tentang hukum laut III yakni pada sidangnya yang ke-11, dan ditandatangani pada tanggal 10 Desember tahun yang sama di Montego Bay, Jamaica50

Rezim-rezim hukum laut internasional yang diatur didalam UNCLOS 1982, yaitu

.UNCLOS tersebut mengatur tentang rezim-rezim hukum laut, termasuk negara kepulauan.

51

1) Perairan Pedalaman :

Lebar laut teritorial diukur dari “garis pangkal” dan perairan yang berada pada arah darat dari garis tersebut dinyatakan sebagai perairan pedalaman. Dalam keadaan-keadaan tertentu dapat digunakan garis pangkal yang lain,yang akan menimbulkan adanya perairan pedalaman.

50

DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 309. 51

(17)

Keadaan-keadaan tersebut adalah :

a) Apabila garis pantai sangat menjorok ke dalam atau apabila terdapat jajaran pulau-pulau di sepanjang pantai, suatu garis pangkal lurus dapat ditarik dari titik-titik tertentu pada pantai atau pulau-pulau tersebut (Pasal 7)

b) Apabila daratan sangat cekung ke dalam sehingga dapat dikatakan adanya perairan yang dilingkupi oleh daratan (dalam keadaan dimana daerah lekukan lebih besar dari setengah lingkaran dengan diameter yang sama lebarnya dengan lebar mulut lekukan tersebut), laut teritorial dapat diukur dari garis penutup yang ditarik pada mulut lekukan, dengan ketentuan bahwa gris penutup tersebut panjangnya tidak boleh melebihi 24 mil laut (Pasal 10).

c) Apabila sebuah sungai langsung bermuara ke laut, garis pangkal dapat ditarik melintasi mulutnya dengan menghubungkan titik-titik pada garis air rendah di tepi muara tersebut (Pasal 9)

2) Laut Teritorial

Pasal 2 Konvensi menentukan bahwa kedaulatan negara pantai meliputi laut teritorialnya, termasuk ruang udara di atasnya dan dasar laut serta tanah dibawahnya. Kesepakatan yang dicapai mengenai batas laut teritorial,yaitu: 12 mil laut diukur dari garis pangkal (Pasal 4).

(18)

tidak satu negara pun yang berhak untuk menetapkan bahwa laut teritorialnya melebihi garis tengah, yaitu suatu garis yang titik-titiknya sama jarak dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial masing-masing negara (Pasal 15). 3) Jalur Tambahan

Pada suatu jalur yang lebarnya tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, negara pantai dapat melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangannya pada wilayahnya atau pada laut teritorialnya dan sekaligus juga dapat menerapakan hukumnya (Pasal 33).

4) Zona Ekonomi Eksklusif

Zona ekonomi eksklusif diartikan sebagai suatu daerah di luar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial (Pasal 55 dan 57). Menurut pengertian pasal 56, di zona ekonomi eksklusif negara pantai dapat menikmati:

(19)

b) Yurisdiksi, sebagaimana yang ditetapkan konvensi, pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset ilmiah kelautan serta perlindungan lingkungan laut.

c) Hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi.

Zona ekonomi eksklusif bukan laut teritorial dilihat dari ketentuan Pasal 58 yang menyatakan bahwa, di zona ekonomi eksklusif semua negara dapat menikmati kebebasan berlayar dan terbang di atasnya serta kebebasan untuk meletakkan pipa dan kabel bawah laut, dan juga untuk penggunaan sah lainnya yang berkenaan dengan kebebasan tersebut. Sesuai dengan ketentuan ini, aspek-aspek kebebasan di laut lepas berlaku juga di zona ekonomi eksklusif.

5) Landas Kontinen

Yang dimaksud dengan landas kontinen menurut Konvensi ini adalah, daerah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut teritorial yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai ke batas terluar tepian kontinen (continental margin), atau sampai jarak 200 mil laut diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial apabila sisi terluar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut (Pasal 76).

C.Klasifikasi Perbatasan Negara

(20)

fungsinya (klasifikasi fungsional) dan menurut terjadinya (klasifikasi morfologis). 52

Menurut Harshborne

Klasifikasi fungsional adalah penggolongan perbatasan internasional berdasarkan pada sifat-sifat relasi di antara garis-garis perbatasan dan perkembangan bentang lahan budaya (cultural landscape) dari negara-negara lain.

53

(1) Antesedent Boundaries

, klasifikasi perbatasan internasional secara fungsional dibedakan menjadi empat,yaitu:

Perbatasan ini terbentuk karena negara-negara baru yang saling mendahului untuk saling memasang/menetapakan batas terluarnya. Jadi, terbentuknya perbatasan ini sebelum terjadinya bentang lahan budaya. (2) Subsequent Boundaries

Perbatasan yang terbentuk setelah adanya bentang lahan budaya dan pembuatannya setelah ada perundingan dan persetujuan bersama antara dua negara. Perbatasan ini mengikuti perbedaan etnik kultural khususnya dalam hal bahasa dan agama. Jenis perbatasan seperti ini banyak dijumpai di negara-negara di wilayah Eropa Timur, sedangkan di Asia terdapat di perbatasan antara India dengan Pakistan atau Bangladesh.

(3) Superimposed Boundaries

Superimposed Boundaries merupakan jenis perbatasan yang tidak berhubungan dengan pembagian sosio kultural. Hal ini disebabkan karena

52

Suryo Sakti Hadiwijoyo,Perbatasan Negara dalam dimensi Hukum Internasional.Op.cit.Hal 69

53

(21)

diluar pihak yang berkepentingan mengadakan perundingan atau perjanjian terdapat pengaruh kekuatan-kekuatan dari luar yang berkepentingan, kekuatan-kekuatan ini terutama yang menyangkut kekuatan dan kepentingan politik suatu negara.

(4) Relic Boundaries

Perbatasan ini berupa garis yang telah kehilangan fungsi politisnya terutama di bentang budayanya. Tipe perbatasan seperti ini biasanya terjadi pada suatu negara yang masuk ke dalam wilayah negara lain, baik secara sukarela maupun melalui proses imperialisme. Sebagai contoh, batas antara Jerman Timur dan Jeman Barat.

Selain Penggolongan berdasarkan klasifikasi fungsional, perbatasan antara negara (international boundaries) dapat pula digolongkan berdasarkan pada morfologinya (proses terbentuknya). Berdasarkan proses terbentuknya perbatasan dibedakan menjadi 2 (dua)54

(1) Artificial Boundaries

, yaitu:

Perbatasan yang tanda batasnya merupakan buatan manusia. Pemasangan tanda ini biasanya dilakukan setelah adanya perundingan, persetujuan maupun perjanjian antar negara. Batas buatan manusia ini biasanya dapat berupa patok, tugu, kanal, terusan dan lain-lain.

(2) Natural Boundaries

Perbatasan yang batasnya terbentuk karena proses alamiah. Perbatasan alamiah dapat dibedakan dan dirinci menjadi 5 (lima) tipe,yaitu:

54

(22)

(a) Perbatasan berupa pegunungan

Perbatasan alamiah yang berupa pegunungan dianggap paling menguntungkan dan paling besar manfaatnya,khususnya dalam bidang pertahanan. Perbatasan berupa pegunungan juga bersifat lebih stabil. Contoh negara yang memiliki batas pegunungan seperti India yang memiliki batas wilayah Pegunungan Hilmalaya dengan Tibet.

(b) Perbatasan yang berupa sungai dan laut.

Perbatasan alamiah adapula yang berupa sungai, perairan pedalaman maupun laut. Lautan sebagai salah satu unsur fisik geografis mempunyai peranan besar terhadap budaya maupun struktur politik suatu negara. Pengaruh ini terutama tampak dalam bidang perekonomian maupun keamanan dan pertahanan wilayah. Perbatasan laut antar negara atau perbatasan laut merupakan hal yang strategis, khususnya bagi negara yang memiliki wilayah laut luas dan memiliki banyak gugus pulau atau negara kepulauan.

(23)

berperan sebagai pertahanan yang efektif dalam menghadapi ancaman dari negara yang berbatasan.

(c) Perbatasan yang berupa hutan, rawa-rawa, dan gurun.

Kenampakan alam ini dapat dijadikan perbatasan antara dua negara yang saling bertetangga. Sebagai contoh, perbatasan antara Finlandia dan Rusia berupa rawa-rawa, perbatasan yang berupa hutan antara Pakistan dan India dan perbatasan yang berupa gurun yakni, perbatasan antara Rusia dan Tiongkok yang dipisahkan oleh Gurun Gobi.

(d) Perbatasan geometris (Geometric Boundaries)

Perbatasan jenis ini mengikuti posisi garis lintang dan garis bujur. Perbatasan seperti ini berkaitan dengan dibukanya wilayah baru sebagai wilayah jajahan di masa lampau, terutama bagi wilayah yang masih belum ada penduduknya. Pada masa lampau banyak dijumpai penentuan perbatasan dengan menggunakan cara seperti ini terutama bagi negara-negara jajahan di Benua Afrika. (e) Perbatasan Antrophogeografis

(24)

Timur sesudah Perang Dunia ke-I, seperti Polandia, Bulgaria, Hongaria, dan Rumania.

D.Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional menurut Hukum

Internasional.

Dalam kehidupan masyarakat internasional ditandai adanya dua faktor, yaitu adanya kerja sama dan hidup berdampingan secara damai dan adanya sengketa antar masyarakat internasional. Sengketa antar anggota masyarakat internasional beraneka ragam sebabnya, mungkin disebabkan karena alasan politik, strategi militer, ekonomi ataupun ideologi atau perpaduan antara kepentingan tersebut. Persengketaan antara bangsa sering bersifat terbuka dan paling dahsyat perwujudannya adalah berupa perang dan tidak sedikit menelan korban. Perkembangan teknologi dalam bidang persenjataan yang dapat dipergunakan untuk perang sering menghantui masyarakat internasional akan timbulnya Perang Dunia yang pasti akibatnya akan lebih dahsyat dibandingkan dengan Perang Dunia I dan II. Oleh karena itu masyarakat internasional selalu berusaha agar sengketa antara mereka dapat diselesaikan dengan tanpa menimbulkan perang di antara mereka. 55

55

Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional,Penerbit Universitas Indonesia,Jakarta.2006.Hal 2.

(25)

international disputes by peaceful means in such a manner that international

peace and security, and justice, are not endangered.”.

Ketentuan Pasal 2 Ayat 3 Piagam PBB ini kemudian dijabarkan dalam Pasal 33 Piagam PBB. Prinsip penyelesaian secara damai kemudian diambil alih dalam Deklarasi mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerja Sama Antarnegara tanggal 14 Oktober 1970 (A/Res/2625/XXV) dan Deklarasi Manila tanggal 15 November 1982 (A/Res/37/10) mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai.56Di dalam hukum internasional lain cara penyelesaian dengan damai, dikenal juga penyelesaian dengan kekerasan.57

Cara penyelesaian sengketa dengan damai dapat dilihat dalam Pasal 33 Ayat 1 Piagam PBB, yaitu: perundingan (negotiation), penyelidikan (inquiry), mediasi (mediation), konsiliasi (conciliation), arbitrase (arbitration), penyelesaian menurut hukum (judicial settlement) melalui badan atau pengaturan regional atau dengan cara damai yang dipilih sendiri. Cara penyelesaian dengan perundingan, penyelidikan, mediasi dan konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa tanpa mempergunakan lembaga pengadilan seperti arbitrase atau pengadilan internasional.58

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang dilakukan langsung oleh para pihak yang berperkara dengan cara melalui saluran diplomatik biasa.

D.1. Penyelesaian dengan Damai

1. Negosiasi

56

DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 187.

57

Sri Setianingsih Suwardi, Loc.Cit.

(26)

Negosiasi antar negara biasanya dilakukan melalui saluran diplomatik, artinya dilakukan oleh pejabat Departemen Luar Negeri, atau perwakilan diplomatik di mana ia di tempatkan. Dalam hal masalah yang dirundingkan sangat teknis maka anggota delegasi biasanya terdiri dari wakil-wakil departemen terkait.

Para pihak juga sering membentuk komisi gabungan (joint commission) di mana anggota dari komisi gabungan terdiri dari wakil-wakil para pihak dan berapa lama komisi gabungan ini menjalankan tugasnya tergantung pada kepentingan untuk apa komisi ini didirikan. Misalnya komisi gabungan yang didirikan oleh Amerika Serikat dan Kanada yang didirikan tahun 1909 mempunyai tugas unntuk menyelesaikan masalah-masalah perkembangan industri, pencemaran udara, masalah-masalah sehubungan dengan perbatasan.

(27)

kepada Komite Penasihat untuk Penggunaan Tenaga Atom untuk Kepentingan Damai (the Advisory Committee on the Peaceful Uses of Atomic Energy).59

Dalam suatu sengketa kemungkinan diselesaikan dengan sistem package deals, hal ini sering dilaksanakan dalam negosiasi multilateral. Penyelesaian dengan package deals ini sering terjadi di konferensi multilateral, di mana kepentingan antar anggotanya berbeda-beda. Suatu anggota menawarkan kepentingannya untuk didukung untuk didukung oleh pihak lain, pihak tersebut akan mendukung usul pihak lain yang membutuhkan dukungannya. Sebagai contoh masalah perikanan adalah penting untuk Inggris tetapi tidak penting untuk negara Swiss, maka Inggris meminta Swiss mendukung usulan masalah perikanan yang diajukan oleh Inggris, sebaliknya Inggris akan mendukung usulan mengenai masalah keuangan yang diusulkan oleh Swiss.

Agar negosiasi sebagai cara penyelesaian sengketa berhasil, maka antar para pihak yang bersengketa harus ada kepercayaan akan penyeleasian dengan negosiasi. Adanya ketidakpercayaan antar pihak dapat menyebabkan tidak tercapainya penyelesaian sengketa mereka.

Jika negosiasi untuk menyelesaikan sengketa mengalami jalan buntu, maka kemungkinan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan mengadakan perjanjian yang memberikan kompensasi pada salah satu untuk dapat mencairkan isu substansi .

60

Negosiasi hanya terjadi bila para pihak masih mau berunding. Jika kedua belah pihak terlibat dalam sengketa yang serius, biasanya kedua belah pihak tidak

(28)

mau berunding, bahkan sering para pihak akan menarik perwakilan diplomatiknya. Keadaan sukar berunding antar para pihak juga dapat terjadi apabila para pihak tidak mengakui satu sama lain.

Perlu diingat bahwa negara terikat untuk mengadakan penyelesaian sengketanya dengan negosiasi bila hal tersebut dinyatakan dalam perjanjian yang disetujuinya atau kewajiban untuk mengadakan negosiasi itu didasarkan pada hukum kebiasaan internasional. Pasal 33 Piagam PBB menentukan alternatif penyelesaian sengketa diantaranya dengan negosiasi. Oleh karenanya negara-negara anggota PBB berhak untuk mempergunakan negosiasi sebagai cara penyelesaian sengketa atau tidak memilihnya untuk penyelesaian sengketanya.

2. Jasa-jasa baik

Jasa-jasa baik (good offices) berarti intervensi suatu negara pihak ketiga yang merasa dirinya wajar untuk membantu penyelesaian sengketa yang terjadi antara dua negara. Dalam hal ini, pihak ketiga menawarkan jasa-jasa baiknya.61

61

DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 198.

(29)

Peran pihak ketiga disini hanya menyarankan kepada kedua belah pihak untuk merundingkan dan mencari penyelesaian sengketa. Bila para pihak yang sedang bersengketa telah berhasil berunding, maka selesailah peran pihak ketiga. Pihak ketiga disini dapat perseorangan (individu), negara ataupun organisasi internasional. Sebagai contoh, Swiss sebagai negara netral sering bertindak sebagai negara pelindung (protecting power) di wilayah yang sedang berkecamuk sengketa bersenjata. Demikian juga ketika perang Vietnam, atas jasa baik Perancis pihak Vietnam dan Amerika Serikat berunding untuk menyelesaikan perang Vietnam tahun 1973.62

Dibandingkan dengan jasa-jasa baik, peran pihak ketiga dalam mediasi lebih aktif, karena pihak ketiga dapat mengambil bagian dalam perundingan antara pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa dapat mempergunakan usul-usul yang berasal dari pihak mediator dan bahkan pihak mediator dapat menjadi pemimpin dari perundingan yang diadakan para pihak yang bersengketa. Usul-usul pihak mediator ini dapat mempergunakan asas-asas hukum ataupun asas-asas di luar hukum yang tujuannya agar para pihak dapat berkompromi untuk menyelesaikan sengketanya, tanpa ada paksaan untuk menerima usulan yang diajukan oleh mediator. Mediator harus menjaga kerahasiaan pihak-pihak yang bersengketa. Sebagaimana jasa-jasa baik maka mediator ini juga dapat dilakukan oleh individu, negara ataupun organisasi internasional. Sebagai contoh sengketa antara Argentina dan Chili dalam rangka pelaksanaan the Beagle Channel Award

3. Mediasi

62

(30)

kedua belah pihak telah menerima Kardinal Antonio Samore sebagai mediator atas usul dari Paus.63

Mediator dalam melakukan suatu mediasi harus mempunyai “itikad baik” dan tidak memihak. Hal ini disebabkan bahwa para pihak dengan itikad baik meyerahkan sengketa kepada mediator dengan harapan bahwa mediator dapat menyelesaikan sengketanya dengan baik. Jadi kepercayaan antara para pihak pada mediator tidak boleh disia-siakan oleh mediator untuk mendekatkan para pihak. Mediasi dapat juga dilaksanakan lebih dari satu negara, sebagai contoh komisi tiga negara (Australia, Belgia, dan Amerika Serikat) komisi dibentuk oleh PBB dalam rangka menyelesaikan masalah sengketa Republik Indonesia dan Belanda tahun 1947, komisi ini bahkan membantu perumusan Perjanjian Renville. Mediator juga sering dilakukan oleh tokoh-tokoh terkenal. Sebagai contoh sengketa perbatasan antara Bahrain dan Qatar tahun 1988, Raja Fahd dari Saudi Arabia bertindak sebagai mediator.

Mediasi dapat dilaksanakan dengan sokongan keuangan dan bantuan lain yang bernilai untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai contoh pada saat sengketa anatara Pakistan dan India tentang wilayah perairan Indus antara tahun 1951 dan 1961, Bank Dunia menawarkan bantuan keuangan .

Bagi organisasi internasional seperti PBB atau organisasi regional, penyelesaian sengketa secara damai antar anggotanya merupakan tujuan dari organisasi. Dalam rangka PBB, peran Sekretaris Jenderal PBB dalam hal mediasi sering dilakukan.

(31)

Mediator dapat mengusulkan suatu proposal sehingga kedua belah pihak akan menerima. Mediator juga dapat mengatur di mana kedua belah pihak akan bertemu di tempat yang netral. Mediasi tidak dapat dipaksakan pada para pihak yang sedang bersengketa. Mediasi hanya dapat dilakukan bila para pihak menghendakinya. Dalam hal para pihak tidak dapat menerima usulan yang disampaikan oleh mediator ( hal ini disebabkan bahwa para pihak tidak terikat oleh proposal mediator), atau karena para pihak tidak dapat menerima tindakan mediator maka mediasi tidak dapat dilakukan.

Dalam hal para pihak menerima cara penyelesaian sengketanya dengan mediasi ini berarti para pihak telah mengakui bahwa sengketanya telah merupakan sengketa yang bersifat internasional.

Cara penyelesaian dengan mediasi berarti mencoba mengadakan kompromi antara para pihak. Jika para pihak yakin bahwa sengketanya tidak akan diselesaikan dengan mediasi atau kompromi sukar dicapai dapat menolak menerima mediasi sebagai cara penyelesaian sengketanya. Sebagai contoh, ketika Nigeria mengadakan perang di Biafra, Nigeria menolak mediasi karena mengatakan bahwa masalah tersebut adalah masalah dalam negeri (domestic jurisdiction). Hal yang penting dalam penyelesaian sengketa dengan mediasi adalah: (a) Para pihak harus mempunyai itikad baik untuk berusaha menyelesaikan sengketa dan tidak hanya sekedar menerima ide yang baik. (b) Para pihak harus menerima peran mediator.

(32)

Angket merupakan cara penyelesaian sengketa antar negara yang non yurisdiksional dengan tujuan untuk mengumpulkan fakta-fakta yang merupakan penyebab dari suatu sengketa, keadaan di waktu terjadinya sengketa dan dan jenis dari sengketa yang terjadi. 64

Suatu cara penyelesaian sengketa yang mula-mula dilahirkan tahun 1899 dalam Konferensi Den Haag I ini, atas inisiatif Kaisar Nicholas I. Dalam Konvensi Den Haag II tahun 1907 menegaskan dan menyempurnakan prosedur ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Den Haag I.

65

Sistem angket ini bertujuan untuk memberikan dasar yang kuat bagi jalannya suatu perundingan. Agar perundingan mempunyai dasar yang kuat tentu diperlukan data-data yang objektif sebagai penyebab terjadinya suatu sengketa. Data-data ini bisa saja diperoleh langsung dari negara-negara yang bersengketa tetapi versinya tentu saling berbeda. Oleh karena itu pengumpulan dan analisa fakta-fakta yang menjadi penyebab sengketa lebih tepat diberikan kepada suatu komisi internasional yang akan berusaha mencapai suatu versi tunggal dari sengketa yang terjadi. Selanjutnya laporan dari komisi angket tidak mempunyai kekuatan yang mengikat dan pihak-pihak yang bersengketa mempunyai kebebasan penuh atas kelanjutan laporan tersebut. Komisi angket hanya Kedua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk membentuk komisi Angket/ Pemeriksa. Komisi ini mempunyai tugas untuk menjernihkan fakta-fakta yang menjadi pangkal sengketa dengan mengadakan penyelidikan dengan teliti dan tidak memihak.

64

DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 206.

65

(33)

membatasi diri pada pengumpulan fakta-fakta dan sama sekali tidak membuat konklusi walaupun dari fakta-fakta yang diperoleh dapat ditarik suatu kesimpulan.

Konvensi Den Haag II 18 Oktober 1907 menegaskan dan menyempurnakan prosedur ketentuan-ketentuan yang telah diterima di tahun 1899. Pasal 9 Konvensi Den Haag 1907 menyatakan : “ Dalam sengketa-sengketa internasional di mana tidak terlibat baik kehormatan maupun kepentingan pokok nasional tetapi hanya perbedaan pendapat tentang fakta-fakta, negara-negara yang bersengketa dapat membentuk suatu Komisi Angket Internasional yang bertugas untuk mempermudah penyelesaian sengketa-sengketa dengan jalan mempelajari secara tidak memihak dan penuh kesadaran persoalan-persoalan mengenai fakta.”66

Dalam Konvensi Den Haag II tahun 1907 tugas dan cara kerja Komisi Angket/Pemeriksa dicantumkan dalam Bab II, Pasal 9-36. Pada garis besarnya dinyatakan bahwa Komisi Angket/Pemeriksa adalah; (1) Komisi Angket/ Pemeriksa bertujuan menjernihkan fakta-fakta; (2) Komisi dibentuk atas persetujuan kedua belah pihak; (3) Laporan komisi ini tidak mengikat para pihak.67

Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian secara damai sengketa internasional oleh suatu organ yang telah dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa setelah lahirnya masalah yang dipersengketakan. Dalam hal ini organ tersebut mengajukan

4. Konsiliasi

66

DR.Boer Mauna, Loc.Cit.

67

(34)

usul penyelesaian kepada pihak-pihak yang bersengketa. Komisi konsiliasi bukan saja bertugas mempelajari fakta-fakta akan tetapi juga harus mempelajari sengketa dari semua segi agar dapat merumuskan suatu penyelesaian. Berikut adalah ciri-ciri mengenai konsiliasi:68

(a) Konsiliasi adalah suatu prosedur yang diatur oleh konvensi. Negara-negara pihak suatu konvensi berjanji untuk mengajukan sengketa mereka kepada komisi-komisi konsiliasi. Jadi ini adalah konsiliasi-konsiliasi wajib, yang berarti bahwa komisi dapat melakukan tugasnya bila salah satu negara peserta konvensi memintanya.

(b) Mengenai wewenang, komisi dapat mempelajari suatu persoalan dari semua aspek dan mengajukan usul-usul untuk penyelesaian namun perlu diingat bahwa prosedur konsiliasi ini adalah prosedur politik karena solusi yang diajukan tidak mengikat negara-negara yang bersengketa. Di samping itu dalam kebanyakan konvensi konsiliasi juga terdapat ketentuan-ketentuan bahwa bila laporan dan usul komisi ditolak maka negara-negara yang bersengketa harus meneruskan penyelesaian sengketanya melalui prosedur yurisdiksional.

(c) Bila komisi-komisi angket adalah komisi ad hoc yang hanya dibentuk sesudah terjadinya suatu sengketa dan bubar setelah pembuatan laporan selesai, komisi-komisi konsiliasi adalah komisi-komisi tetap yang segera dibentuk setelah berlakunya konvensi dan pembentukan tersebut harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi.

68

(35)

Biasanya komisi-komisi terdiri dari 5 anggota yaitu 2 dari masing-masing negara yang bersengketa dan satu wakil dari negara lain.

Wewenang komisi-komisi konsiliasi diatur dalam Ketentuan Umum Arbitrasi tahun 1928 yang disempurnakan oleh resolusi Majelis Umum PBB tanggal 28 April 1949 menyatakan dalam Pasal 15-nya : “ Komisi konsiliasi bertugas untuk mempelajari soal-soal yang berhubungan dengan sengketa dan untuk itu mengumpulkan keterangan-keterangan yang perlu dengan jalan angket atau dengan cara-cara lain agar dapat mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa. Setelah mengadakan penyelidikan terhadap sengketa tersebut, komisi dapat mengajukan usul-usul penyelesaian kepada negara-negara yang bersengketa dan memberikan waktu kepada mereka untuk dapat menentukan sikap.”69

Dalam hukum internasional publik bahwa arbitrase sebagai suatu cara penyelesaian sengketa antara negara dengan damai sudah dikenal sejak zaman Yunani dan dalam abad pertengahan berbagai unit politik telah dibentuk dalam rangka Kekaisaran Romawi. Pada Abad ke-12 dan ke-13 sering dipergunakan

Jadi ketentuan umum inilah yang menjadi pegangan dan dasar bagi negara-negara dalam membuat konvensi-konvensi konsiliasi misalnya Konvensi Konsiliasi Eropa 1957, Perjanjian Inggris-Swiss 1965,dan lain-lain.

D.2. Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Hukum

1. Arbitrase

(36)

dalam sengketa antara kota-kota di kerajaan Itali. Hal ini terus berkembang dalam Abad ke-16, 17, 18 dan terus berkembang sampai saat ini.70

Para pihak yang bersepakat bahwa sengketanya akan diselesaikan melalui arbitrase dapat dituangkan dalam perjanjian (Pasal 52 Konvensi Den Haag Pacific Settlement of International Disputes yang selanjutnya disebut dengan konvensi). Perjanjian yang dibuat antara para pihak dapat dibuat sebelum sengketa tersebut timbul atau setelah sengketa timbul. Jika dibuat setelah sengketa timbul maka perjanjian arbitrase itu hanya berlaku untuk sengketa bersangkutan. Perjanjian arbitrase yang dibuat sebelum sengketa timbul disebut arbitrase wajib.

Arbitrase lebih fleksibel dibandingkan dengan penyelesaian melalui pengadilan, di mana di dalam arbitrase para pihak dapat menentukan di mana perwasitan itu akan berlangsung dan dapat menentukan dan memilih arbiter sesuai dengan kemampuannya, prosedur yang akan ditetapkan, kekuatan dari keputusannya melalui perumusan terms of referencenya ( yang disebut juga hasil kompromi antar para pihak).

71

Pada prinsipnya hanya negara yang dapat menjadi pihak dalam arbitrase internasional publik, walaupun klaim satu negara pada negara lain mungkin timbul akibat klaim yang diajukan oleh individu dari satu negara terhadap individu dari negara lain yang telah melanggar hukum internasional, maka negara

Perjanjian arbitase biasanya memuat masalah yang disengketakan, syarat-syarat pengangkatan arbiter, prosedur untuk jalannya sidang, kewenangan arbiter dan kondisi khusus yang disetujui para pihak (Pasal 52-53 konvensi).

70

Sri Setianingsih Suwardi, Op.cit.Hal.39.

71

(37)

dalam hal ini bertindak sebagai negara yang bertanggung jawab terhadap warga negaranya. Dalam hal sengketa yang bersifat politis yang akan diserahkan pada mahkamah arbitrase, maka wewenang dari arbitrator untuk memutuskan sengketa tersebut didasaekan pada ex aequo et bono. Jika dalam perjanjian arbitrase tidak menyebutkan hukum apa yang akan diterapkan, maka para arbiter akan menerapkan hukum internasional publik.

Mengenai penunjukan arbiter didasarkan pada kesepakatan para pihak. Arbiter mungkin tunggal atau mungkin lebih dari satu. Dalam hal yang demikian para pihak akan menunjuk arbiter atau arbiter nasional dan kemudian mereka akan menunjuk arbiter ketiga atau kelima yang netral yang disetujui oleh para pihak. Jika para pihak dalam tahap permulaan telah dapat menentukan anggota mahkamah arbitrase maka nama-nama dari arbiter itu akan dimasukkan dalam perjanjian arbitrase.

Dalam perjanjian arbitrase biasanya ditentukan pula bila para pihak tidak dapat mencapai kata sepakat tentang siapa pihak ketiga yang akan ditunjuk maka, pihak ketiga akan ditunjuk oleh Presiden Mahkamah Internasional ( yang selanjutnya disebut dengan ICJ) atau Sekretaris Jenderal PBB atau pihak lain yang tidak mempunyai kepentingan terhadap sengketa tersebut, hal ini diatur dalam Pasal 3 Model Rules on Arbitration Procedure.

(38)

arbitrase. Jika para pihak telah sepakat bahwa hukum internasional tidak akan diterapkan dalam sengketa mereka, maka para pihak dapat meminta mahkamah untuk menerapkan hukum lain. Kemungkinan bahwa para pihak dapat memakai hukum lain selain hukum internasional, maka dimungkinkan memakai hukum nasional, baik hukum nasional salah satu negara yang bersengketa atau kombinasi dengan sistem hukum lainnya. Sebagai contoh dalam kasus Trail Smelter antara Kanada dan Amerika Serikat tahun 1938 dsn 1941.

Mahkamah arbitrase mempunyai wewenang untuk memutuskan perkara yang diajukan secara fair dan reasonable, oleh karenanya dapat memakai hukum internasional maupun hukum nasional sesuai dengan kehendak para pihak.

Keputusan arbitrase dibuat setelah sidang tertutup antara arbitrator, sidang ini dilakukan dengan pemberian suara, mayoritas dari jumlah suara menentukan keputusan mahkamah. Keputusan arbitrase ini mengikat bagi para pihak, dan biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak dengan pembagian yang seimbang antara para pihak (Pasal 85).

(39)

Untuk mengubah keputusan hanya dimungkinkan bila ada fakta baru. Bagaimanapun juga suatu keputusan yang mengandung kesalahan (error) dalam kalkulasinya masih dapat diperbaiki. Dalam hal demikian maka alasan menolak suatu keputusan arbitrase didasarkan adanya cacat hukum dalam keputusan.

Dalam Mahkamah Arbitrase atau Permanent Court of Arbitration

(selanjutnya disebut dengan PCA) terdiri dari 3 (tiga) badan, yaitu :72

1) The Permanent Administrative Council of the Court (Pasal 49 konvensi) Badan ini anggotanya terdiri dari perwakilan (diplomatic envoys) negara peserta PCA yang ditempatkan di Belanda dan sekretaris Kementrian Luar Negeri Belanda yang bertindak sebagai presiden dari Council. Tugas dari

Council adalah mengawasi tugasnya International Bureau of the Court yakni memutuskan hal yang berkaitan dengan masalah administrasi Mahkamah. 2) The International Bureau of the Court (Pasal 43 konvensi)

Badan ini mempunyai wewenang untuk melayani dan bertindak sebagai panitera Mahkamah. Juga mempunyai tugas untuk mengkomunikasikan sidang Mahkamah, menyimpan arsip dan dokumen administrasi Mahkamah. 3) The Court of Arbitration (Pasal 44 konvensi)

Anggota Mahkamah arbitrase terdiri dari individu-individu yang diakui kepakarannya dalam hukum internasional, mempunyai moral yang tinggi, dipilih dan ditunjuk oleh negara anggota.

Setiap negara anggota dapat menunjuk tidak lebih dari empat anggota; dua atau lebih dari negara anggota dapat bergabung untuk menunjuk satu atau lebih

72

(40)

anggota; dan individu yang sama mungkin ditunjuk oleh negara anggota yang berlainan. Tiap anggota mahkamah ditunjuk untuk jangka waktu enam tahun dan dapat diperpanjang.

2. Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (yang selanjutnya disebut dengan ICJ) merupakan salah satu organ utama PBB yang dibentuk oleh masyarakat bangsa-bangsa pada tahun 1945. Organ ini diatur oleh statuta Mahkamah Internasional yang merupakan bagian yang tidak terpisah dari PBB, dan setiap anggota PBB otomatis tunduk pada statuta Mahkamah Internasional. Meskipun demikian, tidak ada kewajiban bagi tiap anggota PBB itu untuk membawa sengketanya ke ICJ. Demikian pula ICJ tidak memiliki yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction) pada setiap anggota PBB.73

ICJ sering dianggap sebagai cara utama penyelesaian sengketa hukum antar negara. Praktiknya hanya sekitar 4-5 perkara yang diajukan ke lembaga ini per tahunnya. Yurisdiksi Mahakamah sangat tergantung pada kesediaan para pihak membawa kasusnya ke Mahakamah. Berdasarkan hasil penelitian, masayarakat internasional jarang sekali menyelesaikan kasusnya di depan ICJ karena beberapa faktor:74

a) Proses melalui ICJ hanya ditempuh sebagai jalan terakhir, apabila semua jalan lain mengalami kemacetan;

b) Proses melalui ICJ memakan waktu yang lama dan biaya yang cukup tinggi, karena biasanya hanya kasus-kasus besar yang dibawa ke ICJ;

73

Sefriani,S.H.,M.Hum, Op.cit.Hal.343.

74

(41)

c) ICJ tidak memiliki yurisdiksi wajib.

ICJ akan memiliki yuridiksi terhadap suatu sengketa hukum yang di bawa kepadanya apabila ada pengakuan dari negara-negara yang bersengketa terhadap yurisdiksi ICJ dalam sengketa hukum mereka. Pengakuan dapat diberikan melalui beberapa cara sebagai berikut yaitu :75

(a) Melalui suatu akta atau perjanjian (acta compromise). Akta dapat dibuat setelah sengketa muncul seperti dalam special agreement antara Indonesia – Malaysia 1997 yang menyatakan kesepakatan kedua negara menyerahkan sengketa Sipadan-Ligitan pada ICJ. Akta juga dapat dibuat untuk sengketa yang mungkin akan muncul di kemudian hari.

(b) Melalui klausul pilihan (optional clause). Negara pihak Statuta ICJ setiap saat dapat menandatangani klausul pilihan yang menegaskan pengakuannya terhadap yurisdiksi ICJ.

(c) Melalui pengakuan secara diam-diam. Pengakuan terhadap yurisdiksi ICJ dapat dilakukan secara diam-diam, tidak tegas atau tersirat dari sikap suatu negara. Negara yang tidak menolak, mengirimkan surat berisi argumen-argumen hukum pembelaan diri ke ICJ dapat dikatakan menerima yurisdiksi ICJ. Hal ini dikenal sebagai doktrin prorogatum.

Sengketa hukum yang dapat diajukan ke ICJ, terdapat pada Pasal 36 (2) Statuta Mahkamah Internasional, sengketa hukum mengenai:

a. Perjanjian Internasional;

b. Setiap permasalahan hukum internasional;

(42)

c. Adanya suatu fakta, bila telah nyata menimbulkan suatu pelanggaran terhadap kewajiban internasional;

d. Sifat dan besarnya penggantian yang harus dilaksanakan karena pelanggaran terhadap kewajiban internasional.

ICJ terdiri dari 15 orang hakim yang berbeda kewarganegaraannya, yang dipilih berdasarkan suara mayoritas mutlak oleh Majelis Umum atas rekommendasi Dewan Keamanan. Komposisi ini termasuk satu hakim dari masing-masing negara anggota tetap Dewan Keamanan. Meskipun ada pembagian perwakilan geografis dalam pemilihan hakim, namun para individu yang terpilih sebagai hakim ICJ tidak mewakili negaranya. Ia terpilih karena integritas dan kompetensinya di bidang hukum internasional. Bila suatu negara ketika berperkara tidak memiliki hakim yang berasal dari negaranya maka dapat diperkenankan memilih seorang hakim ad hoc.

D.3. Penyelesaian Sengketa Menggunakan Kekerasan

1. Retorsi

`Retorsi adalah tindakan tidak bersahabat yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain yang telah terlebih dahulu melakukan tindakan yang tidak bersahabat. Retorsi merupakan tindakan pembalasan terhadap negara lain yang telah melakukan perbuatan tidak sopan atau tindakan tidak adil. Biasanya retorsi berupa tindakan yang sama atau yang mirip dengan tindakan yang dilakukan oleh negara yang dikenai retorsi. Misalnya, deportasi dibalas deportasi atau pernyataan persona non grata dibalas dengan pernyataan persona non grata.76

(43)

Retorsi merupakan tindakan sah yang dimaksudkan untuk merugikan negara yang telah melakukan pelanggaran. Retorsi juga merupakan tindakan self help. Wujud retorsi antara lain :77

1) Pemutusan hubungan diplomatik;

2) Pencabutan hak-hak istimewa diplomatik; 3) Penarikan konsensi pajak atau tarif; 4) Penghentian bantuan ekonomi. 2. Reprisal.

Reprisal atau pembalasan adalah salah satu istilah yang telah dikenal sejak lama, meskipun para sarjana hukum internasional pada saat itu belum memperoleh kesepakatan mengenai makna yang harus diberikan pada reprisal.78

Pada awalnya reprisal merupakan upaya pembalasan guna menjamin diperolehnya ganti rugi. Reprisal saat itu dilakukan terbatas pada penahanan orang atau harta benda. Dengan demikian, sangat lazim saat itu negara mengeluarkan surat izin merampas (batters of marque) kepada salah satu warganya, yang tidak memperoleh saluran pengadilan di negara lain, yang memberinya kuasa untuk mengambil sendiri ganti rugi yang dideritanya, jika perlu dengan kekerasann atau dilakukannya perampasan harta benda milik rakyat negara yang bersalah.79

Perbedaan antara tindakan pembalasan dengan retorsi menurut Starke adalah bahwa pembalasan atau reprisal mencakup tindakan yang pada umumnya

77

J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, edisi kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta.2008. Hal.395.

78

Sefriani,S.H.,M.Hum, Op.cit.Hal.349.

79

(44)

bisa dikatakan sebagai tindakan ilegal adapun retorsi meliputi tindakan yang sifatnya balas dendam yang dapat dibenarkan dalam hukum.80

Reprisal diartikan sebagai upaya paksa yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain, dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa yang timbul karena negara yang dikenai reprisal telah melakukan tindakan yang ilegal atau tindakan yang tidak bisa dibenarkan.

81

a) Pemboikotan barang

Dengan demikian, reprisal sebenarnya merupakan tindakan permusuhan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain sebagai upaya perlawanan untuk memaksa negara lain tersebut menghentikan tindakan ilegalnya. Wujud tindakan reprisal antara lain :

b) Embargo

c) Demostrasi angkatan laut d) Pengeboman

Pada tahun 1928, telah disepakati Perjanjian Paris atau perjanjian umum penghapusan perang yang menyerukan bahwa tindakan pembalasan menggunakan kekerasan adalah tidak sah berdasarkan hukum internasional. Negara-negara sepakat bahwa penyelesaian semua perselisihan, apa pun sifatnya atau apa pun asalnya tidak akan pernah tercapai kecuali dengan cara damai.82

Blokade damai adalah blokade yang dilakukan pada waktu damai untuk memaksa negara yang diblokade agar memenuhi permintaan ganti rugi yang

3. Blokade Damai

80

J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, edisi kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta.2007. Hal.680.

81

Sefriani,S.H.,M.Hum, Op.cit.Hal.350.

(45)

diderita negara yang memblokade. Blokade damai sudah lebih dari reprisal namun masih di bawah perang. Beberapa penulis meragukan legalitas blokade damai, sebagai tindakan. Demikian halnya, tindakan unilateral blokade damai dipertanyakan keabsahannya ditinjau dari Piagam PBB.83

Embargo merupakan prosedur lain untuk memperoleh ganti rugi dari negara lain. Embargo adalah larangan ekspor barang ke negara yang dikenai embargo. Selain itu embargo dapat diterapkan sebagai sanksi bagi negara yang banyak melakukan pelanggaran hukum internasional. Dibanding dengan reprisal atau blokade damai, embargo adalah kurang efektif, tetapi lebih sedikit resikonya untuk meningkat menjadi perang.

4. Embargo

84

Perang bertujuan untuk menaklukkan negara lawan sehingga negara yang kalah tidak memiliki alternatif lain kecuali menerima syarat-syarat penyelesaian yang ditentukan oleh negara pemenang perang. Dengan berakhirnya perang maka berarti sengketa telah diselesaikan.

5. Perang.

85

Pada awal perkembangan hukum internasional, penggunaan kekerasan (use of force) oleh negara diatur oleh Just War doctrine yang dikembangkan antara lain oleh St. Augustine dan Grotius. Doktrin ini menyatakan bahwa perang adalah ilegal kecuali jika dilakukan untuk suatu “just cause”. Kekerasan atau perang diizinkan sebagai suatu cara untuk menjamin hak suatu negara manakala

83

Ibid.

84

Ibid. 85

(46)

tidak ada cara lain yang efektif. Perang adil pada masa itu adalah suatu peperangan dengan menggunakan peralatan perang yang sederhana disertai dengan pernyataan perang oleh suatu pihak dan pihak lain yang akan diserang bersiap-siap untuk membela diri.86

Piagam PBB tidak menggunakan istilah perang (war), tetapi menggunakan istilah penggunaan kekerasan (use of force). Perang adalah teknis dalam pandangan hukum internasional. Dalam praktik negara-negara sering mengingkari bahwa apa yang mereka lakukan adalah perang. Dengan demikian, istilah penggunaan kekerasan dalam piagam akan mencakup baik insiden kecil, short war, sampai ke operasi militer besar-besaran yang dilakukan para pihak bertikai. Dalam Piagam PBB, self defence merupakan perkecualian yang diakui sah bagi negara berdaulat menggunakan kekerasan terhadap negara lain.87

Perkecualian yang terdapat dalam Piagam PBB untuk menggunakan kekerasan sepihak pada Pasal 2 ayat (4) harus diinterpretasikan untuk all force, all purposes, kecuali jika ketentuan khusus Piagam menentukan lain. Perkecualian

Salah satu tujuan utama PBB sebagaimana tercantum dalam Piagam adalah untuk melenyapkan tindakan-tindakan agresi atau pelanggaran terhadap perdamaian yang lain. Dalam Pasal 2 ayat (4) ditetapkan bahwa semua anggota PBB harus menahan diri dari tindakan-tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan PBB.

86

Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Press,

Jakarta.1991. Hal 35.

87

(47)

yang dimaksud hanyalah berdasar Pasal 51 tentang self defence right dan Pasal 107 tentang ex-enemy State.88

Konsep self defence sebagai legal right tidak akan berarti bila tidak ada kewajiban menahan diri dari penggunaan kekerasan Pasal 2 ayat (4) harus dibaca bersama-sama dengan Pasal 51. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa hak

self defence yang diperoleh hanyalah yang berlandaskan Pasal 51, apabila serangan bersenjata terjadi dan tidak untuk tujuan yang lain. Dengan demikian, hak menggunakan kekerasan tidak untuk mengantisipasi suatu serangan atau ketika ancaman bukanlah kekerasan atau untuk melindungi apapun yang lain selain teritorial negara.89

E.Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional terhadap Konflik Laut

Internasional berdasarkan UNCLOS 1982.

Penyelesaian sengeketa dalam bidang hukum laut sebelum UNCLOS 1982 dilakukan dalam kerangka penyelesaian sengketa internasional pada umumnya. Dalam hal ini sengketa hukum laut diselesaikan melalui mekanisme-mekanisme dan institusi-institusi peradilan internasional yang telah ada, seperti Mahkamah Internasional.90

UNCLOS 1982 telah menyediakan suatu sistem penyelesaian sengketa. Dilihat dari perkembangan sistem peradilan internasional, mekanisme UNCLOS 1982 ini merupakan yang pertama kali yang dapat mengarahkan negara-negara peserta untuk menerima prosedur yang memaksa (compulsory procedures).

88

Ibid. 89Ibid.

90

(48)

Dengan sistem UNCLOS 1982 maka tidak ada lagi ruang bagi negara-negara pihak UNCLOS 1982 untuk menunda-nunda sengketa hukum lautnya dengan bersembunyi di belakang konsep kedaulatan negara karena UNCLOS 1982 secara prinsip mengharuskan negara-negara pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui mekanisme UNCLOS 1982. Negara-negara pihak UNCLOS 1982 dapat membiarkan suatu sengketa tidak terselesaikan hanya jika pihak lainnya setuju untuk itu. Jika pihak lain tidak setuju, maka mekanisme prosedur memaksa UNCLOS 1982 akan diberlakukan.

Menurut mekanisme UNCLOS 1982, negara-negara pihak diberi kebebasan yang luas untuk memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu disepakati bersama. Prosedur dimaksud termasuk prosedur yang disediakan oleh Pasal 33 paragraf 1 Piagam PBB, mekanisme regional atau bilateral, atau melalui perjanjian bilateral. Jika dengan prosedur tersebut tetap tidak dicapai kesepakatan, maka para pihak wajib menetapkan segera cara penyelesaian sengketa yang disepakati.

Dalam hal ini UNCLOS 1982 mengenal 4 (empat) macam cara menyelesaikan sengketa, yaitu melalui:91

1) Mahkamah Internasional Hukum Laut (International Tribunal for the Law of The Sea) yang dibentuk berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982;

2) Mahkamah Internasional (International Court of Justice);

91

(49)

3) Arbitrase atau Prosedur Arbitrase Khusus (Arbitration or Special Arbitration Procedures) yang diatur dalam Annex VII dan Annex VIII dari UNCLOS 1982.

4) Konsiliasi (Conciliation) : Perselisihan-perselisihan tertentu dapat diselesaikan melalui Konsiliasi, yang diatur di dalam Annex V, yaitu melalui prosedur yang keputusannya tidak mengikat pihak-pihak yang berselisih.

1. Mahkamah Internasional Hukum Laut.

a. Komposisi, penunjukan dan pemilihan.

Statuta dari Mahkamah Internasional Hukum Laut terdapat di Annex VI dari UNCLOS 1982. Mahkamah berkedudukan di Hamburg, Jerman dan terdiri dari 21 anggota independen yang terpilih dari orang-orang yang memiliki reputasi atas prestasi dan integritasnya serta memiliki kemampuan dalam hukum laut. Termasuk sekurang-kurangnya tiga anggota dari kelompok utama geografi yang ditentukan oleh Majelis Umum PBB. Tidak diperkenankan dua orang anggota Mahkamah yang merupakan warga negara dari negara yang sama. Sekurang-kurangnya tiga bulan sebelum tanggal pemilihan, Sekretaris Jenderal PBB mengundang negara-negara anggota untuk mengajukan penunjukannya untuk anggota Mahkamah di dalam jangka waktu dua bulan.92

b. Masa kerja

(50)

Anggota-anggota dari Mahkamah dipilih untuk sembilan tahun dan dapat dipilih kembali. Anggota-anggota Mahkamah tidak diperkenankan melaksanakan fungsi-fungsi politik atau administratif, atau secara aktif sedang menjalankan usaha atau mempunyai kepentingan keuangan dalam suatu perusahaan tertentu tentang eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber laut, dasar laut, atau penggunaan komersil dari dasar laut. Anggota-anggota Mahkamah tidak diperbolehkan bertindak sebagai agen, penasehat atau pengacara, dan di dalam melaksanakan tugas Mahkamah diberikan kekebalan diplomatik. 93

c. Kamar khusus

Mahkamah akan memilih Ketua (President), Wakil Ketua (Vice President) untuk tiga tahun serta dapat dipilih kembali. Mahkamah akan menunjuk registrar beserta staff yang diperlukan.

Mahkamah dapat membentuk Kamar-Kamar Khusus yang terdiri dari tiga atau lebih dari anggota-anggotanya yang dipilih, apabila dipandang perlu untuk menangani perselisihan-perselisihan khusus, atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan guna menangani perselisihan-perselisihan khusus dan keputusan dari Kamar-Kamar Khusus akan dipertimbangkan oleh Mahkamah.94

d. Kompetensi.

93Ibid

(51)

Mengenai kompetensi Mahkamah95

e. Prosedur .

ditentukan bahwa Mahkamah terbuka untuk negara-negara anggota UNCLOS 1982 dan badan-badan lainnya yang bukan negara. Yurisdiksi Mahkamah meliputi semua perselisihan dan permohonan-permohonan yhang diajukan kepadanya menurut ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982 serta semua hal yang ditetapkan dalam persetujuan memberikan yurisdiksi kepada Mahkamah.

Dengan persetujuan pihak-pihak bersangkutan perselisihan tentang interpretasi atau penerapan dari perjanjian-perjanjian internasional lainnya tentang masalah-masalah hukum laut dapat diajukan kepada Mahkamah. Mengenai hukum yang akan diterapkan, Mahkamah akan memutuskan semua sengketa dan permohonan menurut Pasal 293 dari UNCLOS 1982, yaitu menerapkan ketentuan-ketentuan konvensi dan aturan hukum internasional lainnya yang sesuai dengan UNCLOS 1982.

Mengenai prosedur96

95Ibid

96Ibid

(52)

mempertahankan kasusnya, tidak menjadi halangan bagi pemeriksaan tersebut.

f. Keputusan berdasarkan suara terbanyak.

Keputusan Mahkamah97

2. Mahkamah Internasional

diambil berdasarkan suara terbanyak dari anggota-anggota Mahkamah yang hadir, dengan ketentuan bahwa Ketua Mahkamah dapat memberikan suara penentu dalam hal terdapat suara sama banyak. Keputusan menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar keputusan tersebut dan setiap anggota berhak memebrikan pendapat tersendiri. Mahkamah dapat memutus atas permohonan dari negara peserta UNCLOS 1982 lainnya, untuk diizinkan sebagai pihak tambahan dalam kasus tersebut, di mana negara tersebut mempunyai kepentingan hukum. Dalam hal ini keputusan Mahkamah akan mengikat negara tersebut mengenai masalah dimana negar tersebut turut sebagai pihak yang bersangkutan. Setiap negara peserta UNCLOS 1982 atau perjanjian internasional mempunyai hak untuk turut sebagai pihak yang berkepentingan, dalam hal Mahkamah mengadakan suatu interpretasi atau penerapan dari UNCLOS 1982 atau suatu perjanjian dan dalam hal tersebut, interpretasi dari Mahkamah akan mengikat terhadap negara tersebut. Keputusan Mahkamah merupakan keputusan yang final dan semua pihak yang berselisih seyogianya mentaatinya. Keputusan hanya mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Namun sosialisasi yang diberikan oleh Pemerintah Kota Semarang tidak bersifat khusus membahas tentang Kebijakan Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Johar

Ada memiliki hubungan pengetahuan tentang JKN dengan sikap kepesertaan JKN mandiri di Puskesmas Mergangsan Yogyakarta tahun 2015, menunjukkan dari hasil uji

Dengan mengamati gambar yang menunjukkan contoh sila pertama Pancasila di sekolah yang disajikan pada grup WhatsApp/Zoom/Google Meet , siswa dapat menunjukkan

Sebaran melintang suhu (Gambar 3a dan 4a) menunjukkan perairan dekat pantai (stasiun 4 dan 5) dan perairan selat (stasiun 2 dan 3) mempunyai sebaran suhu lebih

Definisi Operasional kecerdasan emosional anak usia 8-11 tahun adalah akumulasi dari kemampuan seorang anak untuk mengenali perasaan diri sendiri dan mengenali perasaan orang

Hasil pengujian identifikasi senyawa fenol dalam ekstrak maupun fraksi etil asetat daun yakon juga menghasilkan kesimpulan bahwa kedua sampel tersebut positif mengandung senyawa

a) Rukhshah yang harus dilakukan (wajibah), seperti memakan barang haram bagi orang yang terpaksa berdasarkan QS. Juga seperti berbuka puasa bagi yang dikhawatirkan

Kriteria suatu jenis tumbuhan dapat dolongkan sebagai hiperakumulator adalah : (1) Tahan terhadap unsur logam dalam konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuk; (2) Tingkat