• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memahami Kedudukan Agama agama Lokal di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Memahami Kedudukan Agama agama Lokal di"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Memahami Kedudukan Agama-agama Lokal di Indonesia

Oleh

Yohenes Arlindo Fahik

I. Pengantar

Ingat akan harta (kepercayaan-kepercayaan lokal) warisan tradisi sendiri sebenarnya merupakan sebuah keharusan sebagai manusia yang berbudaya dan bermasyarakat. Betapapun sederhananya masyarakat tersebut, namanya tradisi menjadi kekayaan tersendiri yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Berbicara mengenai tradisi, salah satu pokok penting yang menjadi poin utama pemikiran kita adalah kepercayaan-kpercayaan lokal atau agama-agama asli masyarakat. Sebab, ada kekhawatiran sejak negara-negara penjajah (Portugis, Spanyol, dan Belanda) mulai berdatangan dan menginjakkan kaki di Nusantara (1521)1,

agama-agama yang mereka bawa seakan-akan menenggelamkan agama-agama asli yang telah lama dianut oleh masyarakat. Agama-agama (Islam, Katolik, Kristen) yang dibawa oleh penjajah tersebut kemudian dianut dan diakui sebagai agama “Resmi” (Agama yang diterima) oleh semua golongan masyarakat dan kemudian dijadikan sebagai agama negera.

Mengingat kedudukan agama-agama asli di indonesia semakin hari semakin terancam2, tulisan ini bertujuan menjelaskan pokok-pokok pikiran yang menyebabkan

kedudukan agama lokal semakin tersudutkan dan upaya yang perlu dipahami untuk menyikapi kenyataan yang telah terjadi tanpa adanya kecemburuan maupun kecurigaan diantara satu sama yang lain. Mengingat rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama Pancasila, tentunya ingin merangkul dan menyatukan agama-agama resmi dengan agama lokal di Indonesia.

II. Memahami Kedudukan Agama-agama Asli di Indonesia

1 Kedatangan para penjajah di Nusantara selain untuk memenuhi kepentingan meraka di bidang pilitik, budaya, dan ekonomi (berdagang), penyebaran agama juga tentunya menajadi salah satu tujuan mereka. Jan S.

Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 20.

(2)

Disebutkan bahwa negara Indonesia kaya akan tradisi dan kepercayaan-keprcayaan lokal. Agama-agama seperti, Aluk To Dollo (Toraja, Sulawesi), Sabulungan (Mentawi), Merapu (Sumba) Kahringan (kalimantan) dan lain-lain, merupakan agama-agama asli masyarakat Indonesia. Sedangkan agama-agama yang justru diterima oleh pemerintah kita sekarang merupakan agama-agama asing yang dibawa oleh para pendatang. Misalnya, Agama Islam dari Arab, Katolik dan Protestan dibawa oleh para penjajah (Portugis, Spanyol, Belanda), dan Hindu maupun Budha dari India, serta Konghucu dari Cina.3 Agama-agama

tersebut kemudian diajarkan dan dipraktikkan oleh orang-orang Indonesia. Seluruh ajaran yang disampaikan penuh keyakinan karena memeliki dasar yang dipercaya, yakni Allah yang menyelamatkan. Dari ke-6 agama yang dianut oleh orang-orang Indonesia sebenarnya keyakinan-keyakinan tertentu sebelum agama-agama tersebut diterima dan berkembang di Nusantara. Pertanyaannya, mengapa hanya ada enam agama saja yang diterima dan tidak ada satupun agama-agama lokal yang termasuk dalam ke-6 agama tersebut? Jawaban sederhana yang dapat diberikan, bahwa agama-agama lokal sejatinya adalah agama tradisional yang masih mengandalkan keyakinan-keyakinan nenek moyang dan sifatnya tertutup dengan kekuatan mitodologi yang kuat. Selain dari pada itu, agama lokal juga hanya terbatas pada lingkungan sosial-budaya tertentu, dan cirinya hanya mengakui roh-roh nenek moyang, apa yang dipercayai kurang dirumuskan dalam tulisan sehingga tidak adanya data yang dipercaya secara otentik.5 Akibatnya, kelompok yang ingin mengembangkan agama ini (lokal) tidak

memiliki pegangan dalam bentuk data-data yang orisinal, sehingga apa yang disampaikan pasti tidak diterima karena berbeda dengan pandangan atau dogma yang ada dalam masyarakat tersebut.

Berbeda dengan agama-agama resmi (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu), karena sebenarnya agama-agama ini diwartakan secara turun-temurun oleh para

3 A. Heuken SJ, “Agama yang diakui pemerintahan” Ensiklopedi Gereja Jilid I A-B (Jakarta : Cipta Loka Caraka, 2004), 60

4A. Setyo Wibowo, “Ketuhanan Yang Maha Esa dan Filsafat Kompromi Khas Indonesia” dalam buku Kearifan Lokal Pancasila Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan ( Yogyakarta : Kanisius,2015), 62

(3)

utusan (nabi-nabi) tertentu. Selain daripada itu, agama-agama ini juga memiliki catatan-catatan berupa kitab-kitab dan dokumen-dukumen yang dapat dipertanggungjawbkan secara rasional. Dalam agama-agama resmi diyakini akan adanya suatu kekuasaan, yang melebihi segala-galanya dan sangat penting bagi keselamatan setiap orang. Misalnya, dalam Agama Katolik diyakini adanya wahyu Ilahi yang sempurna yakni Yesus Kristus, yang setelah wafat dan kebangkitan-Nya membawa keselamatan kekal kepada semua orang yang percaya kepadaNya. Singkatanya, agama-agama resmi menekankan adanya pengalaman rohani yang nyata dan dipertanggungjawabkan dengan akal budi.

Akan tetapi, masalah yang muncul dan menyebabkan kecemburuan antara para pemeluk agama lokal terhadap agama resmi, adalah dengan bertolak dari rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama pancasila yang bermaksud untuk merangkum berbagai adat-istiadat dan agama di nusantara.6 Dengan demikian agama-agama lokal juga mengakui

yang transenden sehingga mereka menuntut eksistensi mereka juga harus diakui secara resmi. Oleh karena tuntutan tersebut Soekarno menerima dengan tangan terbuka bahwa mengenai iman dan kepercayaan, termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga setiap orang bebas untuk menentukan agamanya masing tanpa ikut campur orang lain. Soekarno menyadari bahwa walaupun agama-agama lokal tidak disebutkan secara gamblang dalam daftar agama-agama resmi negara, namun toh ia mengakui bahwa agama-agama tersebut ‘ada’ karena setiap orang pasti memiliki konsep (begreep) ketuhanan yang berebeda beda.7

Intinya, manusia percaya akan akal budinya, karena Tuhan tinggal di dalam akal budi. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, selanjutnya negara Indonesia diakui sebagai negara agama karena sebagian besar penduduk Indonesia adalah orang-orang yang beragama. Sejak agama-agama resmi khususnya Agama Katolik hadir di Nusantara ditandai dengan dibabtisnya Raja Mamoya di pulau Moro tahun 1543,8

selanjutnya agama-agama lain seperti Islam, Hindu, Buddha ikut hadir dan memperkaya bumi Nusantara. Banyak masyarakat Indonesia berpaling untuk memeluk agama-agama ini, (mengingat negara kita memberi kebebasan kepada siapa saja untuk memilih agamanya) sebab kehadiran agama-agama resmi membawa warna tersendiri bagi orang-orang indonesia. Contohnya, agama Hindu dan Buddha sangat mewarnai kesenian budaya Indonesia (seni rupa, gambar, tari dll) ditandai dengan pembangunan candi-candi, pertunjukan badut dan lain

6 A. Setyo Wibowo, “Ketuhanan Yang Maha Esa dan Filsafat Kompromi Khas Indonesia” dalam buku Kearifan Lokal Pancasila Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan , 62

7 A. Setyo Wibowo, “Ketuhanan Yang Maha Esa dan Filsafat Kompromi Khas Indonesia” dalam buku Kearifan Lokal Pancasila Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan , 63-64

(4)

sebagainnya.9 Selain daripada itu, kehadiran agama-agama ini juga membawa sedikit

kecumburan diantara para penganut (agama resmi vs Agama lokal), para pemeluk agama-agama lokal mengeluhkan kurangnya akomodasi pemerintah terhadap eksksistensi mereka, misalnya pada Kartu Tanda Penduduk yang diperkenankan untuk mengisi kolom agama adalah orang-orang yang memeluk agama resmi. Oleh karena itu, upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh kita (para penganut agama resmi) adalah menanamkan sikap saling menghargai dan menghormati satu sama yang lain. Selain itu, adanya sikap toleransi yang postif juga menjadi penting untuk membuka dialog terbuka dengan yang lain. Toleransi positif berarti bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan menerima dengan tulus segala kekurangan dan kelebihan terhadap saudara dalam kekhasannya, bahkan dalam kelainannya untuk bekerja sama demi kemajuan hidup yang lebih baik.

III. Penutup

Agama-agama lokal menjadi agama yang tertua di nusantara, sehingga agama lokal sebenarnya adalah ‘sahabat’ dekat dalam kehidupan masyarakat indonesia. Kehadiran Agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu yang kemudian diterima sebagai agama-agama resmi oleh pemerintah Indonesia, sebenarnya juga ikut mewarnai kehidupan religi masyarakat Indonesia. Namun, karena masyarakat Indonesia lebih berpaling pada agama-agama resmi, maka kedudukan agama-agama lokal semakin tersudutkan. Sebenarnya, maksud kehadiran agama-agama resmi di Nusantara ini, tidak sepenuhnya ingin meniadakan agama-agama lokal, tetapi kehadiran mereka (agama resmi) untuk merangkul dan mengajak masyarakat untuk mengakui dengan hati dan akal budi bahwa sesuatu yang transenden hanya Allah yang menciptakan langit dan bumi.

Akhirnya sikap untuk saling merangkul, menghormati adanya toleransi positf sangat diharapakan untuk kehidupan bersama sebagai masyarakat yang plural. Baik agama-agama resmi maupun agama-agama lokal harus saling mengerti kedudukan masing-masing, sehingga tidak ada kecemburuan yang berlebihan dalam kehidupan beragama berbangsa dan bernegara.

Daftar Pustaka

Aritonang, J. S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

(5)

Eddy Kristiyanto A. Seandainya Indonesia tanpa Katolik. Jakarta: Obor, 2015

D. Widiastono Tonny, Margana, A. dkk. Gereje Katolik Indonesia Mengarungi Zaman Refleksi Keuskupan Agung Jakarta. Jakarta : Gramedia.1995

Heuken, A. Ensiklopedi Gereja Jilid I A-B. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2004 Schie, G. Van. Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam Konteks Sejarah Agama-Agama

Lain. Jakarta: Obor 1991

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilakukan penelitian tentang gambaran indeks massa tubuh pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik responden

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja pegawai kecamatan gunung pati termasuk unggul, ini dapat dilihat dari beberapa fenomena yang menunjukkan

Karna ketika terjadinya kerusakan pada sebuah ekosistem, maka dapat menyebabkan suatu organisme yang ada di lingkungan tersebut yang tidak mampu beradaptasi dengan

Kelas Unggulan di SMP Negeri 1 Gondang Tulungagung. Untuk mengetahui Keterampilan Guru PAI dalam menggunakan Media. Pembelajaran Audio untuk meningkatkan motivasi belajar Pada

Penyelidikan epidemiologi terhadap kasus KLB serta penyebaran penyakit difteri pada tanggal 14 – 19 Mei 2015 di Kampung Kumpay Desa Maraya Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak

PERAN HUMAN RESOURCES DEPARTMENT DALAM MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DI HOTEL AZIZA SYARIAH SOLO.. Tugas Dan Peran Human Resources Department

Sehingga dapat dikatakan bahwa jamu tradisional yang diuji tersebut mempunyai khasiat yang tidak berbeda bermakna dengan obat modern (asetosal 45 mg/kgbb) atau dapat dikatakan

Dalam buku tersebut juga dijelaskan, berdasarkan survei dari responden perempuan Taiwan dan survei rumah tangga, aspek penting modernisasi Taiwan yang utama adalah