• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNOLOGI PEMANFAATAN HASIL SAMPING KELA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TEKNOLOGI PEMANFAATAN HASIL SAMPING KELA (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNOLOGI PEMANFAATAN HASIL SAMPING KELAPA SAWIT UNTUK PAKAN TERNAK

L.M. Gufroni AR dan Tatang M Ibrahim

Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat Jalan Budi Utomo 45, Siantan Hulu, Pontianak 78241

ABSTRAK

Ibrahim dan Gufroni, 2004. Teknologi Pemanfaatan Hasil Samping Kelapa Sawit Untuk Pakan Ternak. Review tentang pemanfaatan hasil samping tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis) telah dilakukan untuk merumuskan teknologi pemanfaatannya sebagai pakan ternak. Hasil review menunjukkan bahwa terdapat cukup banyak hasil samping kelapa sawit yang bermanfaat sebagai pakan ternak meliputi bungkil inti sawit, lumpur sawit, pelepah, daun, serat perasan buah dan batang kelapa sawit. Berdasarkan kandungan energi dan protein-nya hasil samping tersebut dapat dikelompokkan sebagai pakan suplemen (bungkil inti sawit dan lumpur sawit) sedangkan yang lainnya sebagai pakan dasar. Pakan dasar yang meliputi pelepah, daun, serat perasan buah dan batang kelapa sawit memiliki kandungan energi yang cukup tinggi namun memiliki tingkat kecernaan yang rendah (23-60 %). Pakan dasar ini dapat ditingkatkan nilai gizinya melalui perlakuan pemberian NaOH, fermentasi dan uap. Penggunaan NaOH 8 % mampu meningkatkan kecernaan bahan organik pelepah dari 24 % menjadi 45 % serta daun dari 20 % menjadi 50 %. Fermentasi untuk menghasilkan silase bertujuan untuk preservasi dan konservasi, peningkatan nilai gizi (protein) terjadi karena penambahan urea (3-5 %). Perlakuan tekanan uap pada 12,5 kg/cm2 selama 7,5

menit dapat meningkatkan kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan NaOH. Sementara itu, bungkil inti sawit dan lumpur sawit dapat digunakan tanpa perlakuan karena memiliki kecernaan yang relatif tinggi (70 %). Pada prinsipnya, susunan ransum terdiri dari pemanfaatan bahan berserat tinggi sebagai pakan dasar (pelepah, daun, serat perasan buah dan batang kelapa sawit) dan bahan mengandung protein dan energi tinggi (bungkil inti sawit dan lumpur sawit) sebagai pakan suplemen. Biomassa hasil samping sejumlah 10 t dapat dihasilkan dari setiap ha tanaman kelapa sawit yang mampu mendukung sekitar 3,2 unit ternak atau sekitar 4 - 5 ekor sapi dewasa per tahun. Hal ini menjadikan perkebunan kelapa sawit memiliki potensi besar sebagai pemasok pakan bagi pengembangan ternak khususnya ternak ruminansia.

PENDAHULUAN

Sistem usaha produksi ternak ditopang oleh 3 pilar utama yaitu bibit, pakan dan kesehatan hewan. Biaya pakan merupakan komponen terbesar dalam struktur biaya produksi ternak yang dikelola secara intensif, sehingga tingkat efisiensi penggunaan pakan akan berpengaruh langsung terhadap efisiensi usaha secara keseluruhan. Oleh karena itu, ketersediaan bahan baku pakan dengan harga kompetitif serta berkelanjutan merupakan faktor penting yang perlu diupayakan dalam pengembangan peternakan.

(2)

lain. Bahan pakan seperti ini dicirikan utamanya oleh tingginya kandungan sel (selulosa, hemiselulosa, lignin dan pektin) dan hanya dapat dimanfaatkan melalui proses fermentasi pada lambung ternak (Van Soest, 1982). Ternak ruminansia memiliki sistem pencernaan fermentatif yang unik dan memungkinkan ternak mengolah bahan pakan dengan karakter konsentrasi nutrisi rendah per satuan berat atau keambaan tinggi (bulky).

Karakteristik bahan pakan seperti di atas dimiliki oleh hasil samping perkebunan kelapa`sawit (Elaeis guineensis) seperti pelepah, daun, serat perasan buah dan batang kelapa sawit. Bahan pakan tersebut umumnya memiliki kandungan dinding sel yang tinggi namun memiliki tingkat kecernaan yang relatif rendah sehingga potensi nutrisi yang dikandungnya tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, peningkatan kualitas bahan pakan perlu dilakukan utamanya dalam hal tingkat kecernaan, konsumsi dan kandungan nutrisinya. Sementara itu, hasil samping kelapa sawit lainnya seperti bungkil inti sawit (BIS, palm cernel cake) dan lumpur sawit (solid decanter) tergolong pakan kelas konsentrat yang tidak memerlukan perlakuan pra pemberian (Ginting dan Elizabeth, 2004).

Makalah ini membahas hasil samping perkebunan kelapa sawit dalam hal jenis dan kuantitas, karakteristik nilai nutrisi sebagai pakan ternak, teknologi pengolahan dalam meningkatkan nilai nutrisi dan potensi pengembangan ternak ruminansia berbasis pemanfaatan hasil samping kelapa sawit.

JENIS DAN KUANTITAS HASIL SAMPING KELAPA SAWIT

Setiap pohon kelapa sawit menghasilkan pelepah, daun dan batang pohon yang merupakan hasil samping karena potensial untuk dimanfaatkan. Selain itu juga dihasilkan produk samping lainnya seperti tandan kosong, serat perasan buah, lumpur sawit dan bungkil inti sawit (Gambar 1).

Tandan Kosong Sawit (TKS)

(23 %)

Minyak Inti Sawit (45-46 %) Serat Mesokarp

(13 %) Minyak Sawit (20-22%)

Lumpur Sawit (2 % BK)

Inti Sawit

(5%) Cangkang(7 %)

Bungkil Inti Sawit (45-46 %) Pelepah Sawit Batang Pohon Sawit Tandan Buah Segar (TBS)

(3)

Gambar 1. Produk dan hasil samping dari kelapa sawit

Setiap hektar kebun sawit secara teoritis dapat menampung 143 tanaman, bila jarak antar pokok tanaman 9 x 9m. Pada kenyataannya jumlah pokok kelapa sawit hanya mencapai  130 pohon/ha, tergantung kondisi wilayah. Setiap pohon dapat menghasilkan 22 pelepah/tahun, dan rataan bobot pelepah per batang mencapai 2,2 kg (setelah dikupas untuk pakan). Sehingga setiap hektar dapat menghasilkan pelepah segar untuk pakan sekitar 9 ton/ha/tahun atau setara dengan 1,64 ton/ha/tahun bahan kering. Daun yang dihasilkan sekitar 0,5 kg/pelepah sehingga setiap tahun akan diperoleh bahan kering untuk pakan sejumlah 0,66 ton/ha/tahun (Dwiyanto, et al., 2004).

Buah sawit mengandung  80 % perikarp (daging buah) dan 20 % buah yang dilapisi kulit yang tipis, mengandung kadar minyak dalam perikarp sekitar 34-40 % (Ketaren, 1986). Minyak sawit (palm oil) dan minyak inti sawit (palm cernel oil) merupakan produk utama dari buah, sedangkan produk samping yang akan diperoleh adalah tandan kosong, serat perasan, lumpur sawit/solid dan bungkil inti sawit. Setiap 1.000 kg tandan buah segar dapat diperoleh minyak sawit sejumlah 250 kg, hasil samping sebanyak 294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil inti sawit dan 180 kg serat perasan. Setiap hektar areal kebun sawit mampu mengasilkan pelepah, daun dan limbah untuk pakan dalam jumlah yang sangat besar (Tabel 1).

Tabel 1. Biomasa tanaman dan olahan kelapa sawit untuk setiap hektar (130 pohon) Biomasa Segar (kg) Bahan kering (%) Bahan kering (kg)

Daun tanpa lidi 1.430 46,18 658

Pelepah 9.292 26,07 1.640

Tandan kosong 3.680 92,1 3.386

Serat perasan 2.880 93,11 2.681

Lumpur sawit, solid 4.704 24,07 1.132

Bungkil inti sawit 560 91,83 514

Total biomasa 10.011

Sumber : Dwiyanto et al. (2004).

Berdasarkan nilai tersebut, maka produk samping pengolahan buah kelapa sawit yang ada di Indonesia mencapai 3.302 metrik ton bahan kering pelepah, 2.463 metrik ton lumpur sawit, 1.026 metrik ton bungkil kelapa sawit, 5.394 metrik ton serat perasan dan 6.818 metrik ton tandan kosong (Mathius et al., 2004). Biomasa tanaman dan olahan kelapa sawit ini merupakan potensi sebagai bahan pakan ternak ruminansia, bahkan kalau telah diolah dengan baik sebagian dapat dipergunakan untuk menyusun ransum ternak monogastrik.

KARAKTERISTIK NUTRISI

(4)

Tabel 2. Komposisi kimiawi beberapa hasil samping perkebunan kelapa sawit

Kering , % 88-93 84-92 85-90 85-87 86-92 88-92

Protein

Kasar, % 16-18 12-15 4,1-5,0 13-15 4,0-5,8 1,6-3,2

Serat

Kasar, % 13-17 12-17 38-40 - 42-48 36-39

Lemak

Kasar, % 2,0-3,5 12-14 2,0-3,0 3,0-3,4 3,0-5,8 0,6-1,0

BETN, % 52-58 40-46 - - 29-40 51-54

Abu, % 3,0-4,4 19-23 3,2-3,6 3,8-4,2 6,0-9,0 2,8-3,2

GE, Mkal/kg 4,1-4,3 3,8-4,1 - 5,0-5,5 4,0-4,8 4,3-4,6

ME, Mkal/kg 2,8-3,0 2,9-3,1 2,5-2,7 - 1,8-2,2 2,0-2,5

Sumber : Disarikan dari berbagai sumber oleh Ginting dan Elizabeth (2004)

Sumber protein yang potensial adalah bungkil inti sawit (BIS) dan solid decanter, maka kedua bahan tersebut dalam formula ransum mampu memenuhi kebutuhan ternak ruminansia untuk produksi (tumbuh, laktasi, kebuntingan). Bahan dengan serat tinggi sepeti pelepah, daun dan sert perasan buah dan batang sawit merupakan sumber utama energi untuk produksi. Dibandingkan dengan BIS dan solid decanter, energi tersedia (ME) dan bahan dengan kandungan serat tinggi secara konsisten lebih rendah. Akan tetapi bahan tersebut tetap akan menjadi sumber utama energi ternak, karena merupakan pakan dasar (pokok) sehingga dikonsumsi dalam jumlah yang relatif lebih besar.

Jung (1989) dalam Ginting dan Elizabeth (2004) menyatakan, unsur kimia dalam serat atau dinding sel yang secara efektif menentukan potensi energi dari suatu bahan pakan adalah konsentrasi dan keterikatan selulosa, hemiselulosa, lignin dan silika (Tabel 3).

Tabel 3. Kandungan senyawa kimia penyusun serat pada beberapa bahan pakan asal perkebunan kelapa sawit

(5)

Potensi sebagai sumber energi bagi ternak adalah selulosa dan hemiselulosa melalui proses fermentasi dalam sistim pencernaan ternak. Kandungan selulosa dan hemiselulosa pada keseluruhan serat merupakan yang terbesar (60-83 %) atau setara dengan 44-69 % dari bahan kering. Lignin selain tidak termanfaatkan oleh ternak, juga merupakan indeks negatif bagi mutu bahan pakan, karena ikatannya dengan selulosa dan hemiselulosa mempersulit pemanfaatan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber energi bagi ternak.

Ketersediaan selulosa sebagai sumber energi bervariasi dan sangat ditentukan oleh intensitas ikatannya dengan senyawa lignin. Silika yang merupakan elemen struktural dan bersama lignin secara komplementer memperkuat rigiditas serat/dinding sel (Jones, 1978), juga menghambat pamanfaatan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber energi. Kandungan lignin dan silika yang relatif tinggi (18-40 % dari total dinding sel) merupakan indikator bahwa tingkat kecernaan bahan pakan hasil sampingan perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu kendala penting yang membutuhkan teknik untuk mengatasinya.

Berdasarkan tingkat kecernaan bahan kering (Tabel 4), maka BIS dan solid decanter secara konsisten menunjukkan kualitas yang tinggi, bahan lain dengan kandungan serat kasar lebih tinggi memiliki tingkat kecernaan relatif lebih rendah. Kecernaan paling rendah terdapat pada serat perasan buah dan batang sawit. Kecernaan protein tergolong tinggi pada semua bahan, sedangkan kecernaan serat (deterjen netral dan deterjen asam) relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masalah utama pemanfaatan hasil sampingan perkebunan kelapa sawit adalah bagaimana meningkatkan kecernaan. Peningkatan kecernaan diharapkan dapat berpengaruh positif bagi peningkatan konsumsi.

Tabel 4. Tingkat kecernaan bahan kering, protein dan serat bahan pakan hasil sampingan perkebunan kelapa sawit

Unsur Kimia Fraksi kelapa sawit

Bahan kering Protein

Kasar Serat DeterjenNetral Serat DeterjenAsam

Bungkil inti sawit 70 80 53 52

Solid Decanter 70 76 51 tt

Pelepah 60 78 52 53

Daun Sawit 62 80 56 52

Serat Perasan Buah 40 65 52 tt

Batang Sawit 23-35 80 60 55

Sumber : Disarikan dari berbagai sumber oleh Ginting dan Elizabeth (2004)

TEKNOLOGI PENINGKATAN NILAI GIZI

(6)

dilakukan secara fisik (cacah, giling, tekanan uap), kimia (NaOH, Urea), biologis (fermentasi) maupun kombinasi dari padanya (Mathius et al., 2004).

Penggunaan NaOH bertujuan meningkatkan kecernaan dengan memutus ikatan selulosa atau hemiselulosa dengan lignin, sehingga energi tersedia dapat meningkat. Percobaan pada batang dan pelepah kelapa sawit oleh Oshio dkk (1988) dalam Ginting dan Elizabeth (2004), menggunakan larutan NaOH dengan konsentrasi 10 % mampu meningkatkan kecernaan bahan organik dari 20 – 23 % (tanpa pemberian NaOH) menjadi 63 %. Peningkatan kecernaan menunjukkan kecenderungan yang linier dengan tingkat konsentrasi NaOH. Pada pelepah sawit penambahan larutan 10 % NaOH meningkatkan kecernaan bahan organik dari 24 % (tanpa perlakuan) menjadi 45 %, sedangkan pada daun sawit dari 20 % menjadi 50 %. Akan tetapi perlakuan 10 – 12 % NaOH cenderung menurunkan palatabilitas (kesenangan) yang selanjutnya menurunkan konsumsi. Larutan 6-9 % NaOH merupakan konsentrasi optimal untuk meningkatkan kualitas batang dan pelepah sawit. Prosedur pengolahan menggunakan NaOH relatif sederhana yaitu batang pelepah atau daun kelapa sawit dicacah dan dikeringkan selama 4-5 hari di bawah sinar matahari. Kemudian dicampur dengan larutan NaOH, dan disimpan di dalam drum secara padat dan ditutup rapat selama 7 hari.

Untuk memperkaya nilai gizi Lumpur sawit dapat dilakukan dengan fermentasi aerobik dan hasilnya meningkatkan kandungan protein kasar menjadi 43,4 % dan energi menjadi 2,34 Kkal ME/g. (Yeong, 1982,1983 dalam Dwiyanto, et al., 2004). Perlakuan fermentasi untuk menghasilkan silase pada prinsipnya bertujuan untuk preservasi dan konservasi. Pengaruhnya terhadap nilai gizi bahan relatif kecil. Untuk meningkatkan kandungan gizi pada proses fermentasi dapat ditambahkan urea. Fermentasi pelepah sawit menjadi silase dari hasil penelitian tidak meningkatkan kecernaan, namun penambahan urea sebanyak 3 % atau 6% berturut-turut meningkatkan kandungan protein bahan dari 5,6 % menjadi 12,5% atau 20 %. Proses pembuatan silase dilakukan dengan mencacah bahan menjadi partikel panjang 1-3 cm. cacahan dapat diperciki larutan urea (3-6%) kemudian dimasukkan ke dalam drum, dipadatkan dan ditutup rapat (anaerob) selama 2-3 minggu untuk daun sawit atau 60 hari untuk batang sawit (Hasan dkk, 1996 dalam Ginting dan Elizabeth, 2004).

Peningkatan nilai nutrient solid melalui pendekatan enzimatis (fermentasi) dengan menggunakan Aspergilus niger telah dilakukan oleh Sinurat et al. (1998) dalam Dwiyanto et al. (2004). Dilaporkan bahwa kandungan protein kasar meningkat dari 12,21 % menjadi 24,5 %, sementara kandungan energi metabolis meningkat dari 1,6 Kkal/g menjadi 1,7 Kkal/g.

Perlakuan uap dengan tekanan bertujuan untuk memecah ikatan selulosa atau hemiselulosa dengan lignin, sehingga energi yang terkandung di dalam bahan pakan lebih banyak tersedia bagi ternak. Proses tekanan uap menggunakan “steaming”, bahan dimasukkan ke dalam steaming, setelah beberapa waktu bahan dikeluarkan dari mesin dan dimasukkan ke dalam drum, ditutup rapat dan dibiarkan selama 9 hari. Penelitian Oshio dkk, 1988 dalam Ginting dan Elizabeth (2004), menunjukkan bahwa berbagai kombinasi perlakuan tekanan uap (kg/cm2) dengan waktu (menit) diperoleh kondisi

optimal dengan perlakuan tekanan pada 12,5 kg/cm2 selama 7,5 menit. Pada batang sawit

(7)

PENGGUNAAN HASIL SAMPING SEBAGAI PAKAN TERNAK

Pelepah Kelapa Sawit. Hassan dan Ishida (1991) dalam Dwiyanto et al. (2004), melaporkan bahwa pelepah kelapa sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak ruminasia, sebagai sumber pengganti hijauan atau dalam bentuk silase yang dikombinasikan dengan bahan lain atau konsentrat sebagai campuran. Studi pada sapi Kedah Kalantan menunjukkan bahwa tingkat kecernaan bahan kering dapat mencapai 45 %. Daun kelapa sawit secara teknis juga dapat dipergunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan, kekurangan daun tersebut disebabkan adanya lidi daun yang menyulitkan ternak untuk mengkonsumsinya. Hal tersebut di atas dapat diatasi dengan pencacahan yang dilanjutkan dengan pengeringan, digiling untuk selanjutnya dapat diberikan dalam bentuk pellet. Penampilan sapi yang diberi pelepah segar atau silase dalam bentuk kubus, cukup menjanjikan. Untuk mengoptimalkan penggunaan pelepah kelapa sawit maka bentuk kubus (1-2 cm3) lebih disarankan. Pemberian pelepah sebagai

bahan ransum dalam jangka waktu yang panjang menghasilkan kualitas karkas yang baik. Pelepah dapat mengganti rumput sampai 80 % tanpa mengurangi laju pertambahan bobot badan domba yang sedang tumbuh. Pada sapi penggunaan pelepah dalam bentuk silase sebanyak 50 % dari total pakan menghasilkan pertambahan bobot badan antara 0,62-0,75 kg, dan nilai konversi pakan berkisar antara 9,0 – 10,0. Pada sapi perah (Sahiwal) pelepah digunakan sebagai sumber serat dan mampu menghasilkan susu sebanyak 5,7 liter/ekor/hari (Purba dkk.,1997; Ishida dan Hassan, 1993; Hassan, 1993 dalam Ginting dan Elizabeth, 2004).

Tandan Kosong. Pemanfaatan tandan kosong yang mengandung serat kasar tinggi dengan indikasi kandungan serat deterjen asam (ADF) sejumlah 61 % memiliki nilai biologis yang rendah. Dalam pemanfaatannya disarankan agar dicampur bahan lain yang berkualitas. Jumlah yang dapat diberikan dalam ransum sapi antara 30-50 % dengan perlakuan fisik seperti dicacah agar ukurannya (2 cm) layak dikonsumsi (Mathius et al., 2004).

Batang Kelapa Sawit . Penelitian Oshio dkk (1988) dalam Ginting dan Elizabeth (2004), menunjukkan bahwa batang kelapa sawit dapat digunakan dalam pakan sebanyak 30 % dari total pakan, dengan komposisi 30 % batang sawit dan 70 % konsentrat diperoleh pertambahan bobot badan sebesar 0,66-0,72 kg pada sapi, sebanding dengan penggunaan jerami (0,71 kg). tetapi efisiensi penggunaan pakan lebih baik pada penggunaan batang sawit silase (FCR = 8,84) dibandingkan dengan jerami (FCR = 10,73).

Bungkil Inti Sawit. Meskipun kandungan protein BIS lebih rendah dibandingkan bahan baku pakan sumber protein lain, tetapi kualitas protein pada bahan pakan ini relatif tinggi. Kelemahan BIS adalah nilai palatabilitasnya yang relatif rendah. Dengan kandungan serat yang lebih tinggi dibandingkan bahan pakan sumber protein lainnya, BIS kurang disarankan sebagai bahan baku pakan ternak non ruminansia. BIS telah digunakan hingga 30 % sebagai pakan sapi perah masa laktasi untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein (Ahmad dan Omar, 1998 dalam Ginting dan Elizabeth, 2004).

(8)

0,75 kg/ekor/hari dapat tercapai dengan pemberian BIS sebagai suplemen tunggal pada sapi. Penggunaan BIS pada kambing dan domba menghasilkan pertambahan bobot badan 70-90 g/ekor/hari. Untuk ternak perah BIS dapat mengganti sepenuhnya pakan konsentrat konvensional. Penggunaan BIS sebagai konsentrat tunggal dapat menekan biaya pakan 30 % dengan nilai konversi pakan sebesar 2,2 liter susu/kg. Kandungan Cu yang tinggi (11-55µg/g BK) pada BIS meyebabkan gangguan fungsi hati dan ginjal pada penggunaan yang tinggi. Hal ini dapat dihindari dengan pemberian Zn dalam bentuk seng sulfat pada dosis 500 µg/g (Jaelan dkk, 1991, Ginting dkk, 1987, Ganabathi, 1984, Abdul Rahman dkk, 1989, Jaelani, 1991, Hair-Bejo dan Alimon, 1995, dalam Ginting. dan Elizabeth 2004).

Lumpur Minyak Sawit/Solid Decanter. Lumpur sawit mengandung protein kasar berkisar 12-14 % dengan kandungan air yang tinggi, menyebabkan produk ini kurang disenangi ternak. Kandungan energi yang rendah dengan abu yang tinggi menyebabkan lumpur sawit tidak dapat dipergunakan secara tunggal. Upaya untuk meningkatkan kandungan nutrient dan biologis melalui proses fermentasi berpeluang bagi ternak ruminansia untuk memanfaatkannya secara optimal. Belum diketahui pasti jumlah lumpur sawit yang aman digunakan sebagai pakan ruminansia (Jalaludin et al, 1991 dalam Mathius et al., 2004).

Lumpur sawit dapat diberikan dalam bentuk segar atau dikeringkan terlebih dahulu. Pada sapi perah kisaran berada antara 15-65 % dari total konsentrat yang diberikan. Solid dapat menggantikan sepenuhnya dedak padi dalam konsentrat dan berpengaruh positif terhadap konsumsi ransum, kadar lemak susu dan efisiensi penggunaan energi dan protein. Pada kambing dan domba penggunaan sebesar 1 % bobot badan menghasilkan pertambahan bobot badan harian sebesar 50-60 g dengan konversi pakan 17-18 Kombinasi penggunaan BIS dan solid/lumpur sawit dapat menjadi suplemen alternatif. Rasio BIS /solid yang optimal adalah 50/50 dengan hasil tercapainya pertambahan bobot badan 0,6 kg/h dengan nilai konversi pakan sebesar 6,3 ( Windyati dkk, 1992, Vadiveloo, 1986, Handayani dkk, 1987, dan Shamsudin dkk, 1987 dalam Ginting dan Elizabeth, 2004).

Penggunaan Kombinasi Hasil Sampingan Kelapa Sawit Sebagai Pakan Utama atau Pakan Komplit. Prinsip penyusunan kombinasi berbagai jenis ransum perlu memperhatikan bahan-bahan yang berserat tinggi sebagai pakan dasar dan pakan yang mengandung konsentrasi protein dan energi tinggi sebagai suplemen suatu ramuan. Kombinasi serat perasan buah (25 %), BIS (15 %), dan lumpur sawit (10 %) dengan total kontribusi pakan 50 % dapat digunakan untuk sapi. Untuk hidup pokok atau sedikit pertumbuhan komposisi BIS (30 %), serat perasan buah (15 %), lumpur minyak sawit (18 %), dengan total kontribusi 63 % dapat dipergunakan untuk sapi. Pakan komplit dalam bentuk blok merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan penanganan, terutama untuk produksi skala besar (Dalzell, 1977 dan Wong dkk, 1987 dalam Ginting dan Elizabeth, 2004).

POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK RUMINANSIA

(9)

Indonesia adalah 20.327 metrik ton. Jika diasumsikan seluruh biomasa tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ternak ruminansia, khususnya sapi, maka jumlah ternak sapi yang dapat ditampung dapat mencapai 6.364.618 UT (1 UT = 250 kg, konsumsi 

3,5 % dari bobot hidup). Sehingga perkebunan kelapa sawit di Indonesia berpotensi menyediakan pakan bagi 9 juta ekor sapi dewasa di mana 1 ekor sapi dewasa setara dengan 0,7 UT (Dwiyanto et al., 2004). Ironisnya, berdasarkan data tahun 1998-2000 , jumlah sapi Bali di Indonesia mengalami penurunan sebesar 3,2 % atau dari 3.013.174 ekor menurun menjadi 2.916.944 ekor (Enwistle et al, 2001). Pada periode 1987-1996 konsumsi daging sapi tumbuh sebesar 4,43 %, sedangkan produksi yang sebagian besar berasal dari peternakan rakyat hanya tumbuh 2,3 % (Nyak Ilham, 2001), diperkirakan saat ini diperlukan tambahan pasokan sapi potong sekitar 1,5 juta ekor/tahun (Dwiyanto, et al., 2004). Dengan demikian pengembangan peternakan sapi pada perkebunan kelapa sawit akan memberi kontribusi yang sangat berarti bagi penyediaan stok sapi nasional.

Wilayah Kalimantan Barat memiliki luas potensi lahan perkebunan kelapa sawit sebesar 1.500.000 ha, seluas 336.000 ha telah diusahakan dan sisanya seluas 1.164.000 ha merupakan peluang pengembangan (Anonim, 2002). Biomassa hasil samping sejumlah 10 t dapat dihasilkan dari setiap ha tanaman kelapa sawit yang mampu mendukung sekitar 3,2 unit ternak atau sekitar 4 - 5 ekor sapi dewasa per tahun. Oleh karena itu, menggunakan asumsi bahwa 50% .dari total biomasa perkebunan kelapa sawit (168 ribu ha) dapat dimanfaatkan ternak, maka jumlah sapi dewasa yang dapat ditampung adalah 672 ribu – 840 ribu ekor, jauh melebihi kebutuhan terhadap daging sapi di propinsi ini. Hal ini menjadikan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat memiliki potensi besar sebagai pemasok pakan bagi pengembangan ternak khususnya ternak ruminansia.

KESIMPULAN

1. Berdasarkan kandungan energi dan protein-nya hasil samping tersebut dapat dikelompokkan sebagai pakan suplemen (bungkil inti sawit dan lumpur sawit) sedangkan yang lainnya sebagai pakan dasar.

2. Pakan dasar yang meliputi pelepah, daun, serat perasan buah dan batang kelapa sawit memiliki kandungan energi yang cukup tinggi namun memiliki tingkat kecernaan yang rendah (23-60%).

3. Pakan dasar ini dapat ditingkatkan nilai gizinya melalui perlakuan pemberian NaOH, fermentasi dan uap.

4. Pada prinsipnya, susunan ransum terdiri dari permanfaatan bahan berserat tinggi sebagai pakan dasar (pelepah, daun, serat perasan buah dan batang kelapa sawit) dan bahan mengandung protein dan energi tinggi (bungkil inti sawit dan lumpur sawit) sebagai pakan suplemen.

5. Biomassa hasil samping sejumlah 10 t dapat dihasilkan dari setiap ha tanaman kelapa sawit yang mampu mendukung sekitar 3,2 unit ternak atau sekitar 4 - 5 ekor sapi dewasa per tahun.

(10)

SARAN

1. Pengembangan ternak ruminansia diarahkan kepada lokasi yang memiliki kemudahan akses terhadap hasil samping perkebunan kelapa sawit.

2. Diperlukan adanya percontohan sistem produksi ternak sapi berbasis pemanfaatan hasil samping perkebunan kelapa sawit.

3. Rekayasa model agribisnis kelapa sawit terpadu yang bercirikan ”zero waste” perlu diwujudkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia : Perkembangan, Potensi dan Peluang Investasi. Badan Informasi Daerah Kalimantan Barat, Pontianak.

Dwiyanto, K., Dapot Sitompul, Ishak Manti, I Wayan Mathius, Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Dalam “Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi”. Badan Litbang Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Pemerintah Propinsi Bengkulu dan PT. Agricinal, Bogor.

Elizabeth, Y. dan Simon P. Ginting. 2004. Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi Potong. Dalam “Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi”. Badan Litbang Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Pemerintah Propinsi Bengkulu dan PT. Agricinal, Bogor.

Enwistle K, C. Talib, A.R. Siregar, S. Budiarti, W. Turner and D. Lindsay. 2001. Bali Cattle Performance : Current population Dynamics and Performance and Some Strategies For Improvement (A Preliminary Report). Dalam : Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Jones, L.H.P. 1978. Mineral components of plant cell wall. Am. J. Clinic. Nutr. : S94 - S98

Ketaren S. 1986. .Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Matius, I.W., Dapot Sitompul, B.P. Manurung, Azmi. 2004. Produk Samping Tanaman dan Pengolahan Buah Kelapa Sawit Sebagai Bahan Dasar Pakan Komplit Untuk Sapi. Dalam “Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi”. Badan Litbang Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Pemerintah Propinsi Bengkulu dan PT. Agricinal, Bogor.

Maulani, A., Fahmuddin Agus dan A. Abdurachman. 2004. Kesesuaian Lahan Untuk Kelapa Sawit di Indonesia. Dalam “Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi”. Badan Litbang Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Pemerintah Propinsi Bengkulu dan PT. Agricinal, Bogor.

Nyak Ilham. 2001. Analisis Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia. Dalam : Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

(11)

Integrasi Kelapa Sawit-Sapi”. Badan Litbang Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Pemerintah Propinsi Bengkulu dan PT. Agricinal, Bogor.

Umiyasih, U. dan Yeny Nur Anggraeny. 2004. Keterpaduan Sistem Usaha Perkebunan Dengan Ternak : Tinjauan Tentang Ketersediaan Hijauan Pakan untuk Sapi Potong di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit. Dalam “Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi”. Badan Litbang Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Pemerintah Propinsi Bengkulu dan PT. Agricinal, Bogor.

Gambar

Tabel 1. Biomasa tanaman dan olahan kelapa sawit untuk setiap hektar (130 pohon)
Tabel 2. Komposisi kimiawi beberapa hasil samping perkebunan kelapa sawit
Tabel 4. Tingkat kecernaan bahan kering, protein dan serat bahan pakan hasil

Referensi

Dokumen terkait

Insiden karsinoma paru yang tinggi pada penambang-penambang Kobalt di Schneeberg ( lebih dari 50% meninggal akibat kanker paru ) berkaitan dengan adanya bahan

Madrasah diniyah yang selama ini menjadi lembaga formal pesantren sangat membantu dalam memberikan pemahaman keagamaan dan pembentukan ahklak yang karimah dengan kurikulum yang

Teknik total sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi (Sugiyono, 2004) Pada penelitian ini sampelnya adalah seluruh

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas antioksidan daun Psidium guajava L terhadap Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) tipe minor dengan parameter ukuran kadar

ambeyen atau bisa juga disebut ambeien atau wasir adalah suatu kondisi atau keadaan dimana penderita mengalami pembengkakan yang terjadi di sekitar anus karena adanya

Analisis pengendalian kualitas dilakukan menggunakan alat bantu check sheet, histogram, diagram pareto, dan sebeb akibat.. Cek sheet dan histogram di gunakan untuk

Berdasar permasalahan tersebut dapat diketahui adanya nilai beta yang fluktuatif, dari hasil tersebut peneliti ingin mengetahui apakah tingkat Leverage, Likuiditas

Untuk interval 3 jam yang ke 27 sample 3 O.AT yang ditunjukkan pada gambar 4.32, perubahan yang terjadi yaitu semen sedikit berwarna lebih gelap, butiran semen dan