KARAKTERISTIK PEJANTAN MUDA SAPI BALI PADA PETERNAKAN RAKYAT
DI DESA MERBAUN KABUPATEN KUPANG
CHARAKTERISTICS OF BALI CATTLE YOUNG BULL UNDER TRADITIONALLY LIVESTOCK
SYSTEM IN MERBAUN VILLAGE REGENCY OF KUPANG
A Baharun1a, HLL Belli2, dan TM Hine2
1Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Djuanda Bogor, Jl. Tol Ciawi No. 1, Kotak Pos 35 Ciawi, Bogor 16720.
2Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana
aKorespondensi: Abdullah Baharun, E-mail: abdullahbaharun50@gmail.com
(Diterima oleh Dewan Redaksi: xx-xx-xxxx) (Dipublikasikan oleh Dewan Redaksi: xx-xx-xxxx )
ABSTRACT
An experiment had been conducted in Merbaun Village, Regency of Kupang for three months. The objective of the experiment was to know characteristics of Bali cattle Bull i.e. age and body weight, body score condition, linier body size (e.g. chest girth, body length, and shoulder height), libido, scrotum circumference, and semen production. 125 of Bali cattle Bull with aged about 2-2,5 years were used in physical measured while nine Bull were choosen randomly to measure libido and semen production. The results of the experiment showed that the average age and body weight were 25.83 ± 0.3719 months and 207.37 ± 1.84 kg, with BCS of 3.97 ± 0.04 (from 5 score), and the chest girth, body length, and shoulder height were 158.27 ± 0.71 cm, 106.87 ± 0.26 cm, and 108.55 ± 0.37 cm, respectively. About 77 head (61.6%) was brown colour, and the other 48 (38.4%) was black, with moderate of capacity of libido (score 7.22 ± 0.66 from 9 score). The average of scrotum circumference was 25.67±1.20 cm, volume of semen were 2.54±0.69 ml and sperm concentration was 1.26 x 109 per ml repectively. Of the total of 125 Bali cattle young bull, only 26% fulfilled the Indonesia Standard of Bali young bull.
Key word : young bull, bali cattel, traditionally livestock.
ABSTRAK
Suatu penelitian telah dilakukan di Desa Merbaun Kabupaten Kupang selama 3 bulan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pejantan sapi Bali yakni umur dan berat badan, skor kondisi tubuh, ukuran tubuh, warna bulu, libido, lingkar scrotum, dan produksi semen. Pengamatan dan pengukuran dilakukan terhadap 125 ekor ternak dengan kisaran umur 2-2,5 tahun, sedangkan untuk parameter libido serta karakteristik semen digunakan 9 ekor ternak yang dipilih secara acak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata umur dan berat badan pejantan adalah 25,83±0,19 bulan dan 207,37±1,84 kg dengan skor kondisi tubuh 3,97 ± 0,04 (dari 5 skor). Adapun rataan ukuran linier tubuh yang meliputi lingkar dada (LD), panjang badan (PB), dan tinggi pundak (TP) masing-masing adalah 158,27±0,71cm, 106,87±0,26 cm, dan 108,55±0,37 cm. Sebanyak 77 ekor (61,6%) berwarna coklat sedang sisanya 48 ekor (38,4%) berwarna hitam, serta memiliki libido sedang, dengan skor 7,22 dari 9 skor. Rata-rata lingkar scrotum adalah 25,67±0,11 cm dengan volume semen 2,54±0,69 ml dan konsentrasi spermatozoa 1,26 × 109/ml. Dari total 125 pejantan, yang memenuhi syarat sebagai pejantan berdasarkan Standar Nasional Indonesia adalah sebesar 26% (33 ekor).
Kata kunci : pejantan muda, sapi Bali, peternakan rakyat
Baharun A. HLL Belli. TM Hine. 2017. Karakteristik Pejantan Muda Sapi Bali pada Peternakan Rakyat
PENDAHULUAN
Keberadaan sapi Bali di Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadikan propinsi NTT sebagai salah satu penghasil ternak sapi potong yang telah memasok cukup tinggi kebutuhan akan daging di pulau Jawa (Setiadi dan Dwiyanto, 2002). Berdasarkan hasil sensus tahun 2011, populasi sapi potong di NTT adalah 778.633 ekor, 88% diantaranya adalah sapi Bali dan Kabupaten Kupang menyumbang sebanyak 28,3% (193.910 ekor). Rata-rata per tahun sebanyak 68.479 ekor sapi Bali atau sekitar 5,5% dari total populasi sapi dikirim ke pulau Jawa sebagai sapi potong, ditambah dengan pemotongan per tahun di Rumah Potong Hewan (RPH) untuk konsumsi lokal (rata-rata 25.327 ekor per tahun). Namun, jumlah tersebut tidak sejalan dengan produktivitas sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif tradisional adalah sebesar 9,46% (Jelantik, 2001) sehingga
dikhawatirkan akan terjadi penurunan
kuantitas maupun kualitas sapi Bali dikawasan ini.
Meskipun sapi Bali memiliki keunggulan dalam hal adaptasi dan tingkat fertilisasi, namun memiliki laju pertumbuhan yang rendah bahkan belakangan ini disinyalir adanya penurunan kualitas produksi yang disebabkan oleh terjadi
in breeding dan seleksi negatif yang telah berlangsung lama, sehingga berdampak pada
semakin berkurangnya pejantan unggul
(superior) yang dapat dijadikan bibit
(Hardjosubroto 2000).
Pejantan menyumbang 50% materi
genetik pada setiap anak, peranannya
kontribusi pejantan jauh lebih besar karena jumlah keturunan atau anak yang lebih banyak (Field dan Taylor, 2003).Oleh karena itu, setiap
perbaikan mutu genetik pejantan akan
berdampak pada meningkatnya materi genetik suatu populasi yang luas.
Upaya peningkatan produktivitas sapi Bali ini harus ditekankan pada usaha seleksi pejantan untuk dipakai sebagai bibit yang disebarluaskan, disamping perbaikan mutu pakan, pengendalian penyakit serta produksi ternak secara terpadu dan berkelanjutan. Penigkatan mutu genetik sapi Bali murni hanya dapat dicapai dengan pemakaian bibit pejantan unggul yang berasal dari pejantan yang terseleksi baik melalui teknologi inseminasi buatan (IB) maupun perkawinan alam. Sumadi (2002) menyimpulkan bahwa produktivitas sapi Bali masih dapat ditingkatkan melalui perbaikan
mutu genetiknya serta pengelolaan yang baik dengan suatu program yang mantap, kontinyu dan terpadu.
Pejantan muda merupakan ternak yang akan dijadikan sebagai bibit dalam suatu program usaha perbibitan. Dalam pemilihan pejantan ini, terdapat beberapa uji yang perlu diperhatikan sebagai langkah awal untuk
menilai ternak yaitu dengan cara
mengidentifikasi karakteristik eksterior atau penilaian fisik dari ternak itu sendiri. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari berat badan, skor kondisi tubuh (SKT), ukuran tubuh, warna bulu, uji libido, lingkar scrotum dan
volume scrotum, serta produksi semen
(McGowan et al., 1995).
Disamping berdasarkan sifat genetik (bangsa), bentuk luar juga menjadi kriteria dalam pemilihan bibit (pejantan). Bentuk atau ciri luar sapi mempunyai korelasi positif
terhadap faktor genetik seperti laju
pertumbuhan dan kualitas daging (Apriliany 2007). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik fisik ternak pejantan sapi Bali di Desa Marbaun Kabupaten Kupang, sehingga diharapkan penilitian ini dapat berguna sebagai informasi dan rekomendasi bagi peternak dalam memilih pejantan untuk dijadikan ternak bibit serta sebagai bahan informasi dan rekomendasi dalam seleksi pejantan serta memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu reproduksi dan pemuliaan sapi Bali.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Desa Merbaun Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kupang dan Laborotarium Reproduksi dan Kesehatan Hewan Fakultas Peternakan Universitas Nusa
Cendana dengan menggunakan materi
penelitian adalah sapi Bali (jantan) sebanyak 125 ekor dengan kisaran umur 2-2,5 tahun
Pengambilan data dilakukan dengan metode
Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati terdiri atas: 1) pengukuran bobot badan, 2) skor kondisi tubuh, 3) ukuran tubuh, 4) warna bulu, 5) libido atau kelakuan kawin, dan 6) produksi semen. pengukuran bobot badan dilakukan dengan jalan ternak tersebut ditimbang menggunakan
timbangan digital yang terlebih dahulu
dipuasakan selama ±6 jam. Skor kondisi tubuh mengikuti kriteria yang telah dibuat oleh Lowman et al. (1976) yang dimodifikasi (skor 1
sampai 5), serta dilakukan pengukuran
terhadap ukuran tubuh baik tinggi pundak (TP menggunakan tongkat ukur), panjang badan (PB menggunakan pita ukur), dan lingkar dada (LD menggunakan pita ukur).
Observasi warna tubuh sapi bali dilakukan dengan mengamati warna dari setiap ternak dalam kelompok (berwarna hitam atau merah bata). Pengamatan libido atau kelakuan kawin yang terlebih dahulu dibuat kriteria, serta dilakukan pemeriksaan terhadap produksi semen (volume, warna, konsistensi, pH, dan konsentrasi spermatozoa).
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menghitung rata-rata dan standar deviasi (SD) menggunakan softwere SPSS versi 20.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi dan Kondisi Ternak
Selama penelitian berlangsung, semua ternak yang digunakan dalam keadaan sehat yakni tidak menunjukkan gejala terserang penyakit atau gangguan fisik lainnya, yang dapat terlihat dari tampilan fisiknya.
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini dikandang secara individu dan diberikan pakan hijauan berupa rumput gajah dan lamtoro dan air secara ad libitum. tersebut.
Umur dan Bobot Badan
Rata-rata umur dari total kelompok ternak sapi bali jantan (125 ekor) di desa Merbaun adalah 25,83±0,19 bulan dengan rata-rata bobot badan 207,37±1,84 kg (Tabel 1).
Tabel 1. Rata-rata umur, BB, SKT, LD, PB, TP, dan LSc ternak sapi bali
Jika dibandingkan dengan kondisi sapi bali pada tahun 1990, sapi bali jantan dengan umur 24 bulan di NTT sudah mencapai berat 220 kg. artinya bahwa telah terjadi penurunan bobot badan dalam kurun waktu 26 tahun.
Hasil ini hampir mendekati yang dilaporkan oleh Santoso dan Harmadji (1990), yaitu sapi
bali dengan pemberian konsentrat yang
berumur 2 tahun dapat mencapai bobot 217,9 kg. Namun, bobot badan sapi jantan muda hasil penelitian ini berada jauh dibawah hasil yang dilaporkan oleh Pane (1990) dan Oka Darmadja (1979) di pulau Bali yang mencatat bobot masing-masing 235 kg dan 246,2 kg pada sapi jantan dengan umur yang sama. Dari kurun waktu 27- 38 tahun tersebut telah terjadi penurunan kualitas, yang mengindikasikan
bahwa terjadinya seleksi negatif akibat
perkawinan silang dalam (inbreeding) yang sudah berlangsung lama. inbreeding pada ternak sapi potong mengakibatkan penurunan bobot badan sebesar 2,5-5,0 kg setiap kenaikan 10% silang dalam (Warwick et al. 1983).
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2015 tentang standar bibit sapi bali jantan pada umur 18-24 bulan harus sebesar 222 kg. Produkstivitas seekor ternak ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan dan umur. Performa seekor ternak merupakan hasil dari
pengaruh faktor genetik dan pengaruh
komulatif dari faktor lingkungan yang dialami oleh ternak tersebut. Kondisi lingkungan dapat mengakibatkan respon fenotip yang kurang sesuai dengan potensi genetik sapi (Aryogi et al. 2005).
Skor Kondisi Tubuh dan Ukuran Tubuh
Skor kondisi tubuh (SKT) merupakan
parameter yang dapat dipakai untuk
mengevaluasi status nutrisi pada sapi potong Parish dan Rhinehart, 2008). Kondisi tubuh adalah suatu indikasi penyimpanan cadangan energi oleh ternak potong yang merupakan faktor penting yang dapat memengaruhi produksi maupun performan reproduksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata SKT tubuh pejantan muda sapi bali adalah 3,97±0.04. Hasil ini lebih tinggi daripada hasil yang dilaporkan oleh Jelantik (2010) yaitu SKT sapi bali Timor jantan muda sebesar 3.20. Kondisi ini menunjukkan kriteria SKT yang digunakan sebagai standar dalam pemilihan pejantan menurut Lowman et al. (1976). SKT yang rendah akan berpengaruh terhadap kualitas semen sapi jantan.
Warna Bulu
Dari total pejantan sebanyak 125 ekor, terdapat sebanyak 61,6% (77 ekor) berwarna coklat dan sisanya 38,4% (48 ekor) berwarna hitam. Hal ini menunjukkan bahwa persentasi terbesar sapi bali jantan di lokasi penelitian menyimpang dari karakteristik warna khas sapi bali jantan yang pada umumnya berwarna hitam saat mencapai pubertas.
Penyimpangan warna tubuh tersebut juga dilaporkan oleh Handiwirawan (2004) pada sekelompok ternak sapi bali yang berada di pulau Bali ternyata sebanyak 17% telah mengalami penyimpangan warna. Hal serupa juga terjadi pada sampel sekelompok sapi bali jantan yang dijumpai di Rumah Potong Hewan (RPH) di Denpasar terdapat sebesar 18,3% berwarna coklat (Habibi, 2006).
Jumlah pejantan dengan warna coklat tidak seharusnya melebihi dari 23% (Purba dan Pane, 1990). Warna coklat pada sapi bali jantan memungkinkan terdapat pigmen phaeomelamin yang responsif terhadap warna coklat dan merah. Hills (2004) melaporkan bahwa terdapat suatu gen yang disebut Extension locus yang mengatur enzim tyrosinase. Apabila kandungan enzim tyrosinase rendah, maka kandungan pigmen phaeomelamin akan tinggi, namun apabila kandungan enzim tyrosinasenya tinggi maka yangdiproduksi adalah eumelamin.
Selanjutnya perubahan warna tubuh sapi bali
jantan diduga atas pengaruh hormon
testosteron (Bandini, 2004). Biasanya sapi bali jantan yang sudah mencapai pubertas akan
berubah warna tubuhnya dari coklat menjadi hitam.
Libido dan Lingkar Scrotum
Rata-rata skor libido dari total sampel ternak sapi bali (9 ekor) adalah 7,22±0,66 (Tabel 2). Hasil ini hampir sama dengan yang dilaporkan
oleh Burhanuddin et al. (1994) yang
memperoleh skor libido 7,56 dengan
menggunakan kriteria dalam uji libido yaitu: jumlah kawin per satuan waktu (termasuk uji kelelahan), waktu reaksi atau perkenalan pejantan dan betina sampai dengan perkawinan pertama, periode waktu antara satu perkawinan dengan perkawinan berikutnya dengan skor dilakukan secara subyektif. Kedua hasil ini berada pada skor sedang (skor 6,0-8,5).
Beberapa faktor yang dapat memengaruhi libido, yaitu faktor psikis yang dihasilkan dari pengalaman yang tidak menyenagkan, istirahat yang terlalu lama, dan cara melatih lagi untuk siap ditampung. Selain itu, libido merupakan hal yang sangat penting pada seekor pejantan yang dapat dipengaruhi oleh faktor genetik (Hafez dan Hafez, 2000).
Tabel 2. Uji libido pada pejantan muda sapi bali
* Kriteria I: waktu reaksi atau waktu saat perkenalan pejantan dan betina (mendekati dan mencumbui); kriteria II: mencoba menaiki betina; kriteria III: benar-benar menaiki sampai dengan mengeluarkan penis.
Lingkar scrotum merupakan parameter yang dijadikan kriteria dalam program breeding pada ternak sapi potong karena mudah dilakukan dan memiliki korelasi dengan genetik dan libido (Quirino et al. 2004) dan bobot badan (Yokoo et al. 2010).
Hubungan fenotip antara lingkar scrotum dengan kualitas semen telah banyak dilaporkan, namun peran utama dari lingkar scrotum menunjukkan korelasi antara genetik dengan pubertas. Penilaian lingkar scrotum penting
Ternak Kriteria* Jumlah
dalam penilaian reproduksi pada pejantan-pejantan muda (Waldner et al. 2010).
Rata-rata ukuran lingkar scrotum dari ternak hasil penelitian adalah 25,67±0,11 cm. Ukuran lingkar scrotum dalam penelitian ini lebih besar jika dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Oka dan Darmaja (1979) yaitu sebesar 24,00±1,50 pada umur 18-24 bulan. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan umur.
Produksi Semen
Pemeriksaan semen dilakukan secara
subjektifitas. Hasil pemeriksaan makroskopis 9 ekor pejantan muda menunjukkan rata-rata volume semen sebesar 2,54±0,69 ml, dengan warna semen putih susu dan konsistensi sedang sampai dengan kental serta memiliki rata-rata pH 6.8±0,12. Pemeriksaan mikroskopis hanya dilakukan dengan menghitung konsentrasi spermatozoa yaitu rata-rata sebesar 1256,6 × 106/ml±0,09. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini berada pada kisaran normal semen sapi sesuai dengan Hafez dan Hafez (2000).
Volume semen sapi berkisar antara 2-15 ml dengan rata-rata 4-8 ml, dengan warna normal semen sapi adalah putih keruh, putih susu, krem dan krem kekuningan sampai warna keabu-abuan dengan konsistensi encer sampai dengan sedang serta pH semen mamalia berkisar antara
6-7,5 (Arifiantini, 2012). Lebih lanjut,
perhitungan konsentrasi spermatozoa
berhubungan untuk mengetahui kadar
pengenceran yang digunakan baik untuk semen cair ataupun semen beku, konsentrasi semen sapi pada umumnya bervariasi antara 300-2500 × 106/ml (Hafez dan Hafez, 2000).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dan Saran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari total 125 ekor ternak yang memenuhi syarat sebagai pejantan berdasarkan Standar Nasional Indonesia adalah sebesar 26,4% (33 ekor). Namun, untuk mendapatkan pejantan sapi bali Timor yang superior diperlukan uji lanjut sebagai pejantan.
DAFTAR PUSTAKA
Apriliany IN. 2007. Penampilan produksi dan pendugaan bobot hidup berdasarkan ukuran-ukuran linier tubuh sapi lokal dan sapi
persilangan. Rogram Studi Teknologi Produksi Ternak, Fapet-Institut Pertanian Bogor.
Arifiantini, RI. 2012. Teknik Koleksi dan Evaluasi Semen pada Hewan. IPB Press. Bogor.
Aryogi, Sumadi dan W Hardjosubroto. 2005. Performans sapi silangan Peranakan Ongole di dataran rendah (Studi kasus di Kecamatan Kota Anyar Kabupaten Probolinggo Jawa Timur). Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor. Hlm. 98-104.
Badan Pusat Statistik. 2010. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang.
Bandini Y. 2004. Sapi Bali. Penerbit Penebar Swadaya Jakarta. Hal: 10. Jakarta.
Burhanuddin, MR Toelihere, IGN Jelantik, dan P Kune. 1991. Kesuburan ternak sapi Bali jantan di Besipae, Timor. Laporan Hasil Penelitian. Fapet-Undana.
Hafez, B. and E.S.E. Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th ed. Lippincot Williams & Wilkins, Philadelphia.
Handiwirawan, E dan Subandriyo. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Bali. Wartazoa Vol. 14 No. 3 : 107-115.
Hills DM. 2004. The Genetics of Coloration in Texas Longhorns. Texas Longhorns Trails, articles issue part 1-5 on June 2004 and November 2004.
Jelantik IGN. 2001. Improving Bali Cattle (Bibos banteng Wagner) Production Through Protein Suplementation. PhD. Thesis. The Royal Veterinary and Agricultural University, Copenhagen, Denmark.
McGowan M, Galloway D, Taylor E, Entwistle K, Jhonston P. 1995. The Veterinary Examination of Bull. Australian Association of Cattle Veterinarians, Indooropilly, Qld. ISBN 0646238434.
Oka L dan D Darmadja. 1979. Lingkar Scrotum dan Hubunganya dengan Berat Badan Sapi Bali antara Umur 1,5 sampai 2 tahun. Dalam : Seperempat Abad Laborotarium Reproduksi dan Pemuliaan Ternak. Fakultas Peternakan UNUD.
Fonseca. 2004. Genetic parameters of libido in Brazilian Nellore bulls. Theriogenology 62:1-7.
Setiadi B dan K Dwiyanto. 2002. Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya Ternak di Nusa Tenggara Timur. Lokakarya Pengembangan Peternakan Jangka Menengah Nusa Tenggara Timur 2003-2008. Kupang, 3-5 November 2002.
Waldner CL, RI Kennedy, and CW Palmer. 2010. A description of the findings from bull breeding soundness evaluations and their association with pregnancy outcomes in a study ofwestern Canadian beef herds. Theriogenology 74:871-883.
Warwick EJ, JM Astuti, dan W Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.