• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRACT THE IMPLEMENTATION OF RIGHTS FOR VICTIMS OF WRONG ARRESTS BASED ON GOVERNMENT REGULATION NUMBER 922015 By Yosef Caroland, Eko Raharjo, Gunawan Jatmiko

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ABSTRACT THE IMPLEMENTATION OF RIGHTS FOR VICTIMS OF WRONG ARRESTS BASED ON GOVERNMENT REGULATION NUMBER 922015 By Yosef Caroland, Eko Raharjo, Gunawan Jatmiko"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN HAK-HAK KORBAN SALAH TANGKAP BERDASARKAN PP NOMOR 92 TAHUN 2015

(Studi Putusan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel)

(Jurnal)

Oleh

YOSEF CAROLAND SEMBIRING

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PENERAPAN HAK-HAK KORBAN SALAH TANGKAP BERDASARKAN PP NOMOR 92 TAHUN 2015

Oleh :

Yosef Caroland, Eko Raharjo, Gunawan Jatmiko Email :yosefcaroland.yc@gmail.com

Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia menggunakan pendekatan due process of law yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan di masyarakat. Para korban salah tangkap yang yang berhak mendapatkan haknya bisa menentut ganti kerugian atas apa yang diterima mereka. Salah satu contohnya adalahpengamen yang dijadikan korban salah tangkap berhak mendapatkan ganti kerugian yang terdapat pada Putusan Pra Peradilan Nomor98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel, para korban salah tangkap tersebut berhak mendapatkan ganti kerugian. Permasalahan penelitian ini adalah apakah dasar pertimbangan hakim dalam memberikan nominal ganti kerugian bagi korban salah tangkap dan apakah faktor penghambat dalam melakukan pencairan dana bagi korban salah tangkap.Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data primer diperoleh secara langsung dari penelitian lapanganyakni, wawancara terhadap Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, serta Advokat dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan meliputi literatur, peraturan perundang-undangan,dokumenresmi dan lain-lain.Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Hakim menentukan nominal ganti kerugian bagi korban salah tangkap berdasarkan kerugian yang dialami korban yang dapat dibuktikan dan faktor penghambat dalam melakukan pencairan dana ganti kerugian adalah belum adanya aturan yang jelas mengenai mekanisme ganti kerugiannya. Saran dalam penelitian ini adalah aparat penegak hukum harus lebih berhati-hati dalam melakukan tindakan penangkkapan agar kejadian seperti ini tidak terulang. Aparat penegak hukum harus berani dalam mengambil kebijakan dalam proses pencairan ganti kerugian karena ini menyangkut hak bagi korban salah tangkap.

(3)

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF RIGHTS FOR VICTIMS OF WRONG ARRESTS BASED ON GOVERNMENT REGULATION NUMBER 92/2015

By

Yosef Caroland, Eko Raharjo, Gunawan Jatmiko Email :yosefcaroland.yc@gmail.com

The Indonesian Criminal Justice System uses a due process of law approach aims at enforcing law and justice for the society. In fact, several law enforcement officers still violate the law and justice, which one of them is false arrests. The guarantee of legal protection against the wrongful victims has been regulated in the Book of Criminal Conduct (KUHAP) and Government Regulation No. 27/1983 on the Implementation of Criminal Procedure Code. The problem in this research is to find out the effectiveness of Government Regulation No. 92/2015 in accommodating the rights of the victims of wrongful arrests and also whether the factors impeding Government Regulation No. 92/2015 in making compensation for victims of wrongfully arrested. This research was conducted by using empirical approach. The data source consisted of secondary data obtained through informants related to the problem to be investigated using interview technique. Based on the results and discussion of the research, it can be concluded that the regulation on policy of compensation in Government Regulation Number 92/2015 has been made to accommodate the rights for the victims of wrongfully arrested. The Government Regulation No. 92/2015 has succeeded in providing legal certainty in Indonesia. It further clarifies the existence of legal justice in Indonesia and the realization of the objective of law in Indonesia in which to provide justice for all citizens of Indonesia. The granting of compensation for victims of false arrests has increased nominally in line with the issuance of Government Regulation No. 92/2015, but the justice has not been fully implemented. The author suggested that in relation to the policy of compensation for victims of wrongful arrests, the government should establish the rules of the procedure of giving compensation payments against the wrongful arrests in accordance with the provisions in Government Regulation No. 92/2015.

(4)

I. PENDAHULUAN

Kejahatan menurut sudut pandang secara yuridis adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan Undang-Undang. Menurut sudut pandang secara sosiologis kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.1

Penegakan hukum pidana Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan di masyarakat. Penegakan hukum pidana Indonesia dilakukan dengan menggunakan mekanisme penegakan yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana (selanjutnya disebut SPP). Sistem peradilan pidana Indonesia – sebagai bentuk dari penegakan hukum yang berkeadilan – haruslah mencerminkan sebuah proses peradilan yang adil atau due process of law. Perwujudan due process of law dalam SPP Indonesia ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa sebagaimana yang telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) serta dengan adanya asas presumption of innocent atau asas praduga tidak bersalah dalam proses peradilan pidana Indonesia.

Tindakan penangkapan adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh penyelidik atau penyidik yang bersifat memaksa

1

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal DemiPasal, Politeia, Bogor, 1985, hlm. 2

kepada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.2

Penangkapan pada dasarnya dapat dilakukan diawali dengan bukti permulaan yang cukup. Tanpa adanya bukti permulaan yang cukup, maka tindakan penangkapan yang dilakukan akan menjadi tidak sah. Mengenai bukti permulaan yang cukup, KUHAP tidak mengaturnya, melainkan diserahkan kepada penyidik untuk menentukannya. Menurut Surat Keputusan Kapolri dalam SKEP/04/I/1982, bukti permulaan yang cukup merupakan keterangan dan data yang terkandung dalam laporan polisi; berkas acara pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP); laoran hasil penyelidikan; keterangan saksi/ahli dan barang bukti.3 Sedangkan menurut Yahya Harahap pengertian “bukti permulaan yang cukup” hampir serupa dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP, yakni berdasarkan prinsip atas batas minimal pembuktian yang minimal terdiri dari dua alat bukti.4

Seseorang yang mengalami tindakan penangkapan yang tidak sah baik tersangka atau terdakwa berhak meminta ganti kerugian. Hak untuk menuntut ganti kerugian pada dasarnya diberikan sebagai jaminan agar seseorang yang ditangkap secara tidak sah tidak mengalami kerugian.

2Hartono, Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 165.

3http://agenmakalah.blogspot.sg/2016/08/syar at-penangkapan-dalam-kuhp.html. Diakses pada tanggal 8 Februari 2017. Pada pukul 12.10 WIB.

4

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan

(5)

Tuntutan ganti kerugian diatur dalam Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP yang pada intinya menentukan bahwa tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikarenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

Ketentuan mengenai ganti kerugian yang diatur dalam PP Nomor 27 Tahun 1983 dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan saat ini, menjadi pertimbangan bagi Pemerintah untuk melakukan revisi terhadap PP Pelaksanaan KUHAP. Revisi terhadap PP Pelaksanaan KUHAP menghasilkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut PP Ganti Kerugian) yang diundangkan pada tanggal 8 Desember 2015.

Penangkapan yang tidak sesuai dengan syarat penangkapan – baik terhadap prosedur penangkapan, syarat yang harus dimiliki, jangka waktu penangkapan dan lainnya – akan menyebabkan penangkapan menjadi tidak sah. Fenomena lainnya sebagai salah satu permasalahan yang sering terjadi dalam tindakan penangkapan selain tidak sahnya penangkapan, yaitu tindakan salah tangkap.

Setiap orang yang mengalami tindakan salah tangkap berhak untuk menuntut ganti kerugian. Salah satu contohnya terdapat pada perkara (Putusan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel), korban salah tangkap mendapatkan ganti kerugian sebesar 36 juta atas kerugian yang dia terima.

Kronoligis kasus tersebut bermula pada ditangkapnya 2 pengamen asal Cipulir yang bernama Andro dan Nurdin, yang diduga melakukan pembunuhan terhadap salah satu pengamen di Cipulir dan akhirnya 2 pengamen tersebut ditangkap dan diadili dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhi mereka dengan pidana penjara. Kuasa hukum Andro dan Nurdin melakukan banding ke pengadilan tinggi dan memenangkan mereka hingga sampai pada diperkuatnya putusan pengadilan tinggi oleh Mahkamah Agung. Setelah merasa dirugikan akhirnya mereka melakukan praperadilan untuk menuntut ganti kerugian atas ketidakadilan yang mereka terima.5

PP Nomor 92 tahun 2015 hadir untuk mewujudkan keadilan bagi para korban salah tangkap. PP Nomor 92 tahun 2015 yang menggantikan PP Nomor 27 tahun 1983 berhasil menjadi obat bagi para korban salah tangkap yang merasa mendapatkan perlakuan tidak adil atas penangkapan mereka.Ketentuan yang diganti berdasarkan PP Ganti Kerugian tidak hanya mengenai jumlah nominal ganti kerugian yang dapat diterima oleh korban salah tangkap, namun juga mengenai mekanisme pengajuan dan pembayaran ganti kerugian korban salah tangkap. Mekanisme pengajuan dan pembayaran ganti kerugian korban salah tangkap berdasarkan PP Ganti Kerugian pada pokoknya yaitu sebagai berikut: 1. Tuntutan ganti kerugian diajukan

dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima atau terhitung saat

5

(6)

tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan apabila perkara dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan;

2. Pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Berdasarkan contoh kasus ini terdapat permasalahan yang menarik, dimana hakim mengabulkan tidak sampai setengah dari tuntutan ganti kerugian yang mereka terima, dan selain itu masih terdapat permasalahan dimana proses pencairan dana bagi korban salah tangkap tersebut belum dapat dilakukan karena terhambat mekanisme pencairan dana yang terdapat di dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983 /KMK.01.1983.

Mengingat bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 menyatakan pencairan dana ganti kerugian dilakukan selama 14 hari dan itu faktanya para korban salah tangkap belum menerima ganti kerugian hingga sekarang.

Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk menelitinya dan menyusunnya ke dalam penulisan hukum yang hasilnya akan di jadikan skripsi dengan judul “Penerapan Hak-Hak korban Salah Tangkap Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 (Studi Putusan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel)”

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan dibahas dan dikembangkan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Bagaimanakah penerapan hak-hak korban salah tangkap berdasarkan PP nomor 92 tahun 2015 khususnya

dalam Putusan Nomor

98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel ? 2. Apakah yang menjadi faktor

penghambat dalam melakukan ganti kerugian yang diatur dalam PP nomor 92 tahun 2015 khususnya

dalam Putusan Nomor

98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel ? Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data primer diperoleh secara langsung dari penelitian di lapangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti, yakni dilakukan wawancara terhadap Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, serta Advokat pada Lemabaga Bantuan Hukum Jakarta. Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan yang meliputi buku-buku literatur, peraturanperundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, dll

II. PEMBAHASAN

A.Penerapan Hak-Hak Korban Salah Tangkap Berdasarkan PP Nomor 92 tahun 2015 dalam Putusan

(7)

peradilan pidana yang diatur dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), dalam mencapai tujuan agar masyarakat hidup dalam tata tertib demi keadilan, negara merubah aturan-aturan hukum sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakatnya.

Sekalipun negara melakukan perbaikan-perbaikan baik itu aturan-aturan hukum maupun peningkatan sumber daya manusianya (aparat penegak hukum), masih juga terjadi rasa ketidakadilan bagi masyarakat. Kasus-kasus seperti salah tangkap masih kerap terjadi. Aparat penegak hukum (dalam hal ini aparat kepolisian) sering kali bertindak semena-mena dan mengabaikan hak-hak masyarakat. Aparat yang seharusya melindungi, mengayomi, dan memberi pelayanan kepada masyarakat justru melakukan kesalahan, memaksakan kehendak, menjadikan orang terdakwa tanpa alat bukti yang sah. Hal ini tentu saja menimbulkan rasa ketidakadilan khususnya bagi korban salah tangkap. Untuk memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat khususnya bagi korban salah tangkap, maka pemerintah merubah PP Nomor 27 tahun 1983 menjadi PP Nomor 92 tahun 2015 melalui lembaran negara Republik Indonesia tahun 2010 Nomor 90, tambahan lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5145.

Pada PP Nomor 92 tahun 2015 Pasal 9 disebutkan pada :

(1) Besaranya ganti kerugian berdasaekan alasan sebagimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)(2) Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan

sebagimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)/

(3) Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagimana dimaksud dalam pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Perubahan ini dianggap dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban salah tangkap terhadap diterbitkannya PP Nomor 92 tahun 2015 ini Insitute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi perubahan kebijakan ini yang diharapkan dapat memberikan keadilan bagi korban atas berbagai kesalahan dalam penyidikan dan pengadilan. Selama ini akses korban atas tuntutan ganti rugi sangat tidak fair. Paling tidak, PP ini dapat dianggap sebagai produk hukum transisi dalam melakukan perbaikan hukum acara pidana kearah perubahan KUHAP di masa depan.6

(8)

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Pastra Ziraluo Joseph7 Selaku Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang, bahwasanya dalam menentukan hal apa saja yang dapat dikabulkan mengenai ganti kerugian terhadap korban salah tangkap ialah semua kerugian yang diterima oleh korban salah tangkap dan dengan berdasarkan fakta yang terjadi dan dapat dibuktikan kebenarannya. Untuk penafsiran lebih lanjut mengenai jumlah angka ganti kerugian Hakim harus menilainya penilaiannya yang dengan memenuhi rasa keadilan.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Sanusi8selaku Dosen Fakultas Hukum Bagian Pidana Universitas Lampung berpendapat bahwa revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 merupakan suatu langkah yang sangat baik yang dilakukan oleh lembaga pembuat Undang-Undang di Indonesia. Dia juga menambahkan revisi terhadap Peraturan Pemerintah ini dianggap sudah dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban salah tangkap dilihat dari nominal ganti kerugian yang dianggap sudah memenuhi rasa keadilan dalam masa sekarang, sekarang tinggal bagaimana implementasinya terhadap korban-korban salah tangkap yang terjadi di Indonesia

Menurut penulis sendiri dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 atas perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 sudah menunjukkan keinginan untuk mencapai salah satu tujuan hukum di

7

Hasil wawancara dengan Pastra Joseph Ziraluopada tanggal 8 Mei 2017, pukul 09.00 WIB.

8

Hasul wawancara dengan Sanusi pada tanggal 9 Mei 2017, pukul 11.00 WIB.

Indonesia yakni memberikan rasa keadilan bagi seluruh rakyat di Indonesia. Penulis beranggapan angka nominal ganti kerugian terhadap korban salah tangkap dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 sudah dianggap pantas dan memenuhi rasa keadilan pada masa sekarang ini. Penulis berharap Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 ini bisa menjadi jawaban untuk warga Indonesia yang mengalami ketidakadilan akibat kesalahan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia.

B.Faktor yang Menjadi Penghambat dalam melakukan ganti kerugian berdasarkan PP Nomor 92 tahun 2015 dalam putusan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel

Teori yang dipakai dalam membicarakan masalah faktor penghambat dalam proses pencairan dana bagi korban salah tangkap yaitu teori faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dari soerjono soekanto, yaitu9:

1. Faktor Hukum Sendiri atau peraturan itu sendiri. Contohnya, asas-asas berlakunya suatu undang-undang,

belum adanya peraturan yang

mengatur pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang, serta ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesalahpahaman di dalam penafsiran serta penerapan undang-undang tersebut.

2. Faktor Penegak Hukum. Yaitu

pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum. Contohnya,

keterbatasan kemampuan untuk

9

(9)

memberikan suatu upaya hukum kepada korban, tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi, kegairahan yang sangat teratas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas yang

mendukung Penegak Hukum.

Contohnya, kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas dan keterbatasannya menguasai ilmu hukum. Fasilitas pendukung salah satu contohnya yaitu minimnya pendidikan yang diberikan kepada masyarakat.. 4. Faktor Masyarakat. Yakni faktor

lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan. Contohnya, masyarakat tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya; tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor ekonomi, psikis, sosial atau politik, dan lain sebagainya.

5. Faktor Kebudayaan. Yakni sebagai hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan pada karya manusia di dalam pergaulan hidup. Contohnya nilai ketertiban dan ketentraman, nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan,nilai

kelanggengan/konservatisme, dan nilai kebaharuan/inovatisme.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bunga Siagian10 selaku Advokat pada Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menyatakan, bahwa Peraturan Pemerintah 92 tahun 2015 sudah bisa menjadi obat bagi para pencari keadilan terhadap korban salah tangkap di Indonesia, namun pada prakteknya muncul permasalahan baru yaitu terdapat ketidak pastian

10

Hasil Wawancara Dengan Yus Enidar, Pada Tanggal 12 Mei 2017, Pukul 09.00 WIB

hukum dalam hal proses pencairan ganti kerugian, dimana terjadi perbedaan antara peraturan menteri dengan peraturan pemerintah. Ketidakpastian itu terletak pada waktu lamanya pencairan dana ganti kerugian terhadap korban salah tangkap, mereka beranggapan untuk pencairan dana ganti kerugian harus melalui proses yang tidak mudah yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian. Hal itu disesalkan oleh Lembaga Bantuan Hukum Jakarta karena proses yang sulit dan berbelit-belit itu harus membuat Lembaga Bantuan Hukum Jakarta terpaksa tidak bisa menerima kasus-kasus permohonan ganti kerugian yang lain lantaran kasus salah tangkap yang diterima oleh Andro dan Nurdin ini belum menemui titik terang mengenai kapan akan terealisasinya pencairan ganti kerugian ini.

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian yang pada pokoknya dapat dirincikan sebagai berikut:

1. Ketua Pengadilan Negeri

setempat mengajukan

permohonan penyediaan dana kepada Menteri Kehakiman Cq. Sekretariat Jendral Departemen Kehakiman;

2. Menteri Kehakiman Cq. Sekretariat Jendral Departemen Kehakiman mengajukan permintaan penerbitan Surat Keputusan Otorisasi (SKO) kepada Menteri Keuangan Cq. Direktur Jendral Anggaran; 3. Menteri Keuangan Cq. Direktur

(10)

Pembiayaan dan Perhitungan Anggaran Belanja Negara Rutin, yang kemudian disampaikan kepada yang berhak (orang atau ahli warisnya yang oleh Praperadilan/Pengadilan Negeri dikabulkan permohonannya untuk memperoleh ganti kerugian);

4. Korban salah tangkap atau ahli

warisnya mengajukan

permohonan pembayaran kepada Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) melalui Ketua Pengadilan Negeri setempat; 5. Ketua Pengadilan Negeri

meneruskan permohonan kepada Kantor Perbendaharaan Negara (KPN); dan

6. Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) kepada yang berhak.

Bunga Siagian menambahkan ketika harus mengikuti tata cara pembayaran dana ganti kerugian sesuai dengan peraturan menteri keeuangan tersebut makan akan menghabiskan waktu yang sangat panjang dan itu akan bertentangan dengan isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 pada pasal 11 ayat (2) yang menyatakan “pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah dibidang keuangan11

Selain faktor undang-undang, faktor penegak hukum juga menjadi salah satu faktor penghambat. Menurut Bunga

11

Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015

Siagian mengatakan bahwa kualitas para aparat penegak hukum masih banyak yang kurang dan tidak berani terkait dengan pelaksanaan putusan hakim PraPeradilam. Bunga Siagian menambahkan pihaknya sudah beberapa kali mencoba mengupayakan meminta keterangan atas pelaksanaan putusan tersebut, namun pihaknya tidak mendapatkan kepastian dari aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum disini seolah kebingungan dalam melaksanakan putusan tersebut.

Menurut analisis penulis Menurut penulis yang menjadi faktor penghambat dalam melakukan ganti kerugian akibat salah tangkap yang diatur dalam PP Nomor 92 tahun 2015

dalam putusan Nomor

98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel adalah faktor perundang-undangan dan juga faktor penegak hukum, dimana masih terdapat ketidakpastian hukum tentang tata cara pengaturan pencairan dana akibat salah tangkap yang diatur oleh dua peraturan yang berbeda. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 92 tahun 2015 menyebutkan bahwa waktu yang diterima oleh korban salah tangap untuk mendapatkan ganti kerugian adalah 14 hari sedangkan dalam mekanisme pencairan dana ganti kerugian yang diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti masih belum memungkinkan untuk melakukan pencairan dana ganti kerugian dalam waktu 14 seperti yang ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015.

III. PENUTUP A. Simpulan

(11)

penelitian maka sebagaimana penutupan dari pembahasan atas permasalahan dalam skripsi ini, penulis menarik simpulan :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 sudah dapat dikatakan memberikan rasa keadilan bagi korban salah tangkap dalam hal pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap. Hal itu dapat dilihat dari jumlah nominal ganti kerugian sudah berkembang jauh daripada jumlah nominal dalam Peraturaan Pemerintah Nomor 92 tahun 1983. Hal itu semakin memperjelas eksistensi keadilan hukum di Indonesia dan semakin membuat terealisasinya tujuan hukum di Indonesia yakni memberikan keadilan bagi seluruh warga negara Indonesia.

Hal itu dapat dilihat dalam isi

putusan Nomor

98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel dimana 2 korban salah tangkap yaitu Andro dan Nurdin mendapatkan ganti kerugian sebesar 36 juta per orangnya. Meskipun jumlah ganti kerugian yang diajukan jauh daripada tuntutan yang mereka tuntut, namun secara keseluruhan nominal angka tersebut dianggap sudah dapat menggantikan hak-hak atas ketidakadilan yang mereka terima selama mereka menjalani pemeriksaan sampai dengan penuntutan.

2. Terdapat faktor penghambat dalam proses pencairan dana ganti kerugian, sebagai berikut :

a. Faktor Perundang-undangan, menjadi penghambat karena belum adanya peraturan yang jelas mengenai mekanisme pencairan dana ganti kerugian. Adapun peraturan yang dapat membayar ganti kerugian adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 983/KMK.01/1983 dianggap tidak sesuai lagi karena membutuhkan waktu yang sangat panjang dan juga tidak praktis mengigat peraturan menteri keuangan tersebut dikeluarkan atas perintah Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan kitab undang-undang hukum acara pidana dalam hal ganti kerugian. Hal itu tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 karena Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai proses pencairan dana ganti kerugian tersebut tidak ikut direvisi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 dijelaskan pada Pasal 11 ayat (2) mengenai batas waktu paling lama negara mencairkan dana ganti kerugian adalah 14 hari, dan hal itu tidak mungkin bisa terlaksana apabila masih mengikuti mekanisme pencairan dana berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang lama. Hal itu menimbulkan ketidakpastian bagi korban salah tangkap dalam hal mendapatkan pencairan dana ganti kerugian.

(12)

proses memberikan rasa keadilan terhadap 2 korban salah tangkap

dalam putusan Nomor

98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel, dimana aparat penegak hukum terkesan tidak serius dan tidak dapat memberikan jaminan mengenai kapan waktu pencairan dana ganti kerugian yang dialami oleh korban salah tangkap terealisasikan.

B. Saran

Adapun saran yang perlu diajukan penulis adalah :

1. Dengan pertimbangan hukum dalam masyarakat sehingga perlu dilakukan penyesuaian besaran jumlah ganti kerugian, maka terbitlah Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 yang menggantikan peraturan sebelumnya. Hal ini diharapkan agar aparat penegak hukum lebih berhati-hati dalam menyidik,, bijak dalam menuntut dan gunakan mata hati dalam mengadili, karena lebih baik membebaskan seribu penjahat daripada menghukum satu orang yang tidak bersalahh

Karena pada kasus salah tangkap, semua pihak dirugikan, baik korban maupun negara. Karena walaupun korban mendapat ganti kerugian materil, namun secara immateril tetap saja tidak dapat digantikan 2. Diperlukannya revisi atau perubahan

terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 983/PMK.01/1983 dalam hal mekanisme pencairan dana ganti kerugian, selain itu pemerintah diharapkan menyediakan anggaran

dana bagi korban salah tangkap, sehingga korban pencari keadilan tidak merasa dipersulit dalam hal menuntut haknya mendapatkan ganti kerugian atas apa yang mereka terima sebagai korban salah tangkap.

DAFTAR PUSTAKA

Hartono. 2012. Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 158.

Soesilo, R. 1985. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta

Komentar Komentar Lengkap

Pasal Demi Pasal. Bogor: Polteia.

Soekanto, Soerjono. 2008. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Perundang-Undangan

Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(13)

Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Peraturan Menteri Keuangan 893/KMK.01/1983 tentang tata cara pembayaran ganti kerugian

Sumber lain

http://www.gresnews.com/berita/hukum

/1701512-pp-korban-salah- tangkap-terbit-penegak-hukum-wajib-profesional/0/. Diakses pada tanggal 24 April 2017. Pada pukul 20.20 WIB.

http://megapolitan.kompas.com/read/20 16/08/10/09060571/kisah.pengam en.cipulir.korban.salah.tangkap?p age=all. Diakses pada tanggal 30 Januari 2017. Pada pukul 14.21 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Dalam dunia pendidikan terdapat beberapa jenis media yang dapat di manfaatkan dalam proses pembelajaran, diantaranya adalah media auditif yaitu media yang

membawa tanda pengenal dan berkas asli perusahaan, bagi yang tidak menghadiri Klarifikasi. hasil evaluasi ini dianggap menerima seluruh hasil keputusan Pokja ULP

Latar belakang: Pengukuran komposisi tubuh untuk perkiraan persentase lemak tubuh diantaranya dapat dilakukan dengan metode pengukuran skinfold dan Bioelectrical

Pneumonia yang awalnya infeksi lokal, mengakibatkan aktivasi koagulasi sistemik, ini disebabkan aktivasi lokal dari sistem koagulasi yang terjadi pada pneumonia dengan

pada lahan kering saat musim kemarau ialah kekeringan pada saat fase kritis tanaman (fase.. pembentukan tunas dan

Keunikan dari iklan layanan masyarakat tersebut yaitu, meskipun dalam kalimat iklan tidak terdapat kata persuasi (seperti “ayo”, “mari”), tetapi p enulis iklan

Based on this statement, it can be taken into account that the implementation of copyright endowments is carried out in accordance with Government Regulation Number 42 year

Implementation of the Law of the Republic of Indonesia Number 23 of 2014 concerning Regional Government, in which the Guidance on the Implementation of Provincial