• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perda Syariah Islam Rekayasa Institusion

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perda Syariah Islam Rekayasa Institusion"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Perda syariah Islam, rekayasa institusional dan masa depan

demokrasi

Ahmad Norma Permata

Institut für Politikwissenschaft Westfälische Wilhelms-Universtät Scharnhorstraße 100 48043 - Münster Deutschland

E-mail: anpermata@yahoo.com

This article discusses the mushrooming of district regulations inspired by Shariah or Islamic law, the so called Perda Syariah Islam (or PSIs), from Political Science perspective. It opens the discussion by explaining the phenomena of PSIs in terms of political behavior: i.e. how Islamism—a political tendency to formalize Islamic teachings into political and social systems—is a product of political history of Muslim community in Indonesia, and how the Islamists have utilized the history to articulate their political interests. It then introduces the concept of institutional engineering—a political process in which politicians compete against each other to formulate the political rules of the game—to portrait the process by which Islamists have struggled to enact the PSIs. Next, it examines the democratic status of PSI, by showing that while they might claim a high degree of representativeness, PSIs have only low level of accountability. Finally, the article proposes a number of options in (re)designing the democratic political institutions in Indonesia in order to foster the process of democratic consolidation as well as to prevent negative side effects of the process, such as the unaccountable Shariah laws.

Keywords: Perda syariah Islam, Institutional engineering, Representation, Accountability of democracy, Design of democracy

You can’t remove darkness. Bring the lights in, and darkness will vanish.

(Hikmah Perennial)

Pendahuluan

(2)

Intensnya perdebatan tentang Perda Syariah Islam (PSI) ini tidak lepas dari materi yang terkandung dalam topik itu sendiri, yaitu soal agama. Pertama, berbeda dengan hal-hal yang lain, di kalangan pengikutnya agama memiliki sifat yang melingkupi berbagai persoalan secara individu maupun sosial. Gagasan penerapan nilai-nilai agama dalam konteks kehidupan sosial melalui peraturan formal tidak terelakkan lagi akan mengundang komentar dan pendapat banyak pihak, karena hal itu akan memengaruhi kehidupan mereka, baik positif maupun negatif. Kedua, demikian pula dengan intensitas diskusi tersebut, faktor muatan agama telah menjadikan topik ini seolah-olah persoalan genting yang harus menjadi perhatian seluruh bangsa. Bagi para pengikutnya agama adalah persoalan ultim, atau kepentingan tertinggi yang harus didahulukan di atas persoalan lain, dan diperjuangkan serta dibela dan dipertahankan dengan segala daya dan upaya (Permata, 2000).

Pada gilirannya, karena lebih banyak didorong oleh sentimen—positif maupun negatif—terhadap muatan keagamaan, topik PSI mendorong diskusi-diskusi yang ada cenderung ideologis dan emosional yang berisi perang klaim yang sulit diverifikasi secara empirik, dan bukan diskusi rasional untuk menjelaskan persoalan dan mencari penyelesaian. Di satu sisi, pihak-pihak yang setuju dengan PSI cenderung menganggap bahwa PSI adalah

panasea, obat yang bisa menyembuhkan segala penyakit, yang akan menyelesaikan berbagai silang-sengkarut persoalan yang dihadapi bangsa ini, mulai dari persoalan moralitas-budaya, perbaikan ekonomi dan pemberantasan korupsi, hingga politik kenegaraan (Fahmi, 2006). Di sisi lain, kalangan yang tidak setuju cenderung menganggap bahwa, bukannya menyelesaikan PSI akan menimbulkan persoalan baru yang lebih besar dan membahayakan masa depan kehidupan bersama. Menurut kelompok ini, maraknya PSI di berbagai daerah adalah perkembangan yang inkonstitusional karena negara telah mempromosikan dan memformalkan nilai-nilai agama tertentu, padahal Indonesia adalah bangsa yang plural secara agama. Lebih lanjut kelompok ini menggarisbawahi fakta bahwa PSI lebih banyak mengarah pada persoalan moral yang subjektif dan abstrak ketimbang menjawab persoalan sosial, ekonomi maupun politik; bahkan PSI dianggap melanggar nilai-nilai HAM universal karena diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas pada umumnya, serta akan memancing tumbuh dan berkembangnya radikalisme agama di Indonesia (Aguswandi, 2006; Dhume, 2005).

(3)

PSI di berbagai daerah. Pertama, akan dibahas maraknya PSI ini dari kaca mata studi perilaku politik (political behavior) dari para politisi yang terlibat. Kedua, diskusi akan dilanjutkan dengan memperkenalkan konsep rekayasa institusional (institutional engineering), yaitu proses politik di mana para politisi saling berebut membuat aturan yang menguntungkan diri dan/atau pihak mereka, sebagai konsep untuk menjelaskan fenomena maraknya PSI. Ketiga, kecenderungan PSI yang sudah berhasil diundangkan akan dianalisis dengan kaca mata konsep representativeness dan accountability untuk mengetahui status demokrasi PSI.

Terakhir, akan diusulkan beberapa poin penting dalam mendesain institusi politik di Indonesia yang representatif terhadap aspirasi dan akuntabel terhadap kepentingan politik masyarakat.

Perda syariah Islam dan perilaku politik islamis1

Dari kacamata ilmu politik (Politikwissenschaft), maraknya PSI di berbagai wilayah yang kontroversinya begitu gegap-gempita sebenarnya bisa dijelaskan dengan menganalisis perilaku politik para politisi Islamis. Ada dua pendekatan yang biasanya dipakai untuk menjelaskan fenomena perilaku politik: yaitu pendekatan sosiologi politik (political sociology) di satu sisi, serta pendekatan politik-kepentingan (rational choice) di sisi lain. Pendekatan ini sering dilawankan, tapi sebenarnya bisa dipadukan.

Pendekatan sosiologi politik menjelaskan bagaimana orientasi nilai dan ideologi dari sebuah komunitas juga merupakan produk dari proses yang lebih besar lagi, yaitu proses sejarah yang dijalani oleh komunitas tersebut. Pandangan ini berangkat dari karya pionir Samuel Martin Lipset dan Stein Rokkan (1967), yang menunjukkan bagaimana ideologi-ideologi politik yang ada di Eropa barat merupakan produk sejarah—perang dan damai— yang dijalani masyarakat Eropa (von Beyme, 1985: bab 2).

Analisis sosiologi politik mengajak untuk menengok bagaimana orientasi nilai dan ideologi dari sebuah komunitas merupakan produk dari proses sejarah yang panjang yang

1 Istilah “Islamis”—Jerman: Islamistisch; Perancis: Islamisme; Inggris: Islamist—merujuk kepada

orientasi ideologis atau pemikiran keagamaan di kalangan Muslim yang menginginkan Islam bukan hanya sebagai inspirasi melainkan juga sebagai simbol dan perangkat formal dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam tradisi intelektual Barat, istilah Islamisme pertama kali dicetuskan oleh filsuf Perancis Voltaire yang dimaksudkan sebagai istilah yang lebih baik untuk mengganti istilah Mahometisme dalam menamai agama orang-orang Arab. Namun istilah ini kemudian ditinggalkan—bersama istilah

(4)

pernah dijalani oleh komunitas yang bersangkutan. Mengikuti logika ini, keberadaan politisi Muslim yang berideologi Islamis sebenarnya sekedar salah satu produk dari proses sejarah yang telah dijalani umat Islam di Indonesia. Sebagaimana banyak direkam oleh para sejarahwan, sepanjang sejarah republik ini umat Islam Indonesia banyak mengalami tekanan dan marginalisasi. Meskipun sebenarnya tekanan itu tidak semuanya bersifat keagamaan, melainkan lebih kepada persoalan politik dan ekonomi, namun karakter agama yang serba melingkupi, sebagaimana disinggung di awal tulisan ini, telah membuat umat Islam memahami dan membahasakan hal tersebut dalam terma-terma keagamaan.

Menarik untuk menyimak penjelasan Imaduddin Shahin, intelektual Islam dari Mesir dan direktur Institute Ibnu Khaldun di Kairo, kemunculan kelompok Islamis adalah fenomena tipikal di negeri-negeri Muslim pasca-kolonial, sebagaimana banyak terjadi di Afrika Utara. Manurut Syahin, politisi Muslim yang banyak berjasa dalam perjuangan kemerdekaan mengusir penjajahan kolonial ternyata mendapatkan diri mereka ditindas dan dimarginalisasi aspirasi politik mereka oleh rezim sekuler pasca kolonial. Kelompok ini kemudian melakukan resistensi dan menjadi makin Islamis, serta mengkonsolidasikan diri ke dalam gerakan yang sistematik dan terorganisir dengan baik untuk memperjuangkan politik Islamis. Meski pada awalnya kecil, namun karena organisasi yang rapi serta reputasi yang bersih peduli dengan penderitaan masyarakat, dan kontras citra kebanyakan politisi yang korup dan hanya mengejar kepentingan pribadi/golongan, kelompok ini tumbuh menjadi kekuatan yang solid, diharapkan oleh kelompok lemah sekaligus ditakuti oleh status quo (Shahin, 1998).

Sejarah sebagaimana yang diuraikan Syahin juga terjadi dalam sejarah umat Islam Indonesia, di mana aspirasi politik umat Islam tampak mengalami banyak hambatan. Pasca kemerdekaan, upaya untuk kembali kepada Piagam Jakarta gagal karena pimpinan umat Islam sepakat untuk mengakomodasi wilayah Indonesia Timur, namun dikompensasi dengan pembentukan Departemen Agama, sebagai wadah umat Islam untuk menyalurkan kepentingan kelompok mereka. Terbukti bahwa Depag memainkan peran vital dalam proses Islamisasi melalui pembentukan jaringan birokrasi yang memfasilitasi pelaksanaan aspek-aspek kehidupan agama di kalangan Muslim, serta pembangunan tempat ibadah. Puncaknya, barangkali adalah keberhasilan menteri agama Mukti Ali melahirkan UU penyebaran agama, yang melarang penyebaran agama kepada umat yang sudah memiliki agama (Hefner, 1984).

(5)

Islamis utama dibubarkan karena para pimpinannya terlibat dalam pemberontakan PRRI (Hefner, 2000).

Memasuki era Orde Baru, para politisi Muslim berharap dapat menghidupkan kembali Masyumi, namun gagal. Lebih parah lagi, upaya mereka membentuk parpol baru dengan Parmusi pun tidak diijinkan oleh pemerintah; dan malahan pemerintah membuat sistem kepartaian yang mengebiri aspirasi poltik umat Islam. Situasi ini membuat umat Islam frustrasi dan terbelah. Ada kelompok yang tidak berdaya dan terkooptasi oleh kekuatan rezim serta mengikuti aturan main yang dirancang oleh pemerintah Orba, seperti PPP yang bersedia menjadi parpol oposisi-loyal-marginal; atau Muhammadiyah dan NU yang menjauh dari permainan politik. Ada juga yang mencoba melepaskan identitas formal keislaman dan mengambil peluang untuk aktif masuk ke dalam sistem kekuasaan untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam dari dalam. Contohnya adalah Nurcholish Madjid yang memproklamirkan „Islam yes, partai Islam no!“, ataupun Akbar Tanjung dkk. yang masuk aktif di berbagai lembaga inti Orde Baru, seperti KNPI, AMPI dan akhirnya Golkar. Namun ada pula yang tetap memilih melakukan resistensi, baik secara langsung seperti GAM di Aceh serta gerakan radikal lain, maupun dengan tidak langsung melalui aktivitas dakwah seperti DDII masa M. Natsir maupun gerakan dakwah kampus yang dimotori Imaduddin Abdurrahim. Belakangan, kemunculan ICMI bisa dipahami sebagai upaya untuk mengkonsolidasikan berbagai kelompok di atas, namun tidak sepenuhnya berhasil (van Bruinessen 2002, 2003a, 2003b; Hefner 2000).

Ketika Orde Baru tumbang, lahirlah Era Reformasi yang memberikan iklim keterbukaan politik, di mana kelompok Islamis mendapatkan ruang yang selama ini tidak mereka peroleh, untuk menjadikan Islam sebagai simbol dan sistem politik, dan berujung kepada maraknya kemunculan PSI di wilayah-wilayah yang memang memiliki basis massa Islamis. Sampai di sini kita bisa melihat bahwa keberadaan kelompok politisi Islamis—apa pun nama partainya—merupakan realitas politik Indonesia yang secara historis punya hak untuk eksis tidak mungkin diingkari (Liddle, 2003; Liddle & Mujani, 2006).

Pendekatan kedua yang biasa digunakan dalam menjelaskan perilaku politik adalah perspektif rational choice, yang berpijak pada asumsi-asumsi ilmu ekonomi: bahwa manusia adalah mahluk rasional yang tindakannya banyak dipengaruhi dorongan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Dalam studi politik salah satu teori yang banyak dijadikan rujukan para penganut pendekatan rational choice ini adalah karya Anthony Downs,

(6)

pemilu supaya bisa menerapkan kebijakan tertentu; tapi sebaliknya mereka menyusun kebijakan supaya bisa memenangkan pemilu”. Maksudnya, menurut Downs dalam setiap permainan politik yang lebih menonjol pastilah kepentingan politik, sedangkan aspek-aspek lain sekedar pengikut dan pelengkap. Atau dalam tafsiran yang lebih lunak, parpol dan para politisi akan bersedia dengan tulus memperjuangkan kepentingan politik tertentu, asalkan itu juga disertai dengan kemenangan pemilu.

Dalam perspektif rational choice, maraknya PSI di berbagai daerah lebih merupakan siasat para politisi—Islamis maupun bukan—untuk meraih kesuksesan politik. Dalam tilikan ini, popularitas opsi penerapan PSI di berbagai daerah lebih merupakan hasil kalkulasi para politisi yang meyakini bahwa PSI akan memberikan keuntungan kepada mereka. PSI adalah soal kepentingan politik.2 Banyak pengamat membenarkan bahwa PSI tidak lebih dari strategi untuk memenangkan pertarungan politik, karena Islam sudah menjadi kartu truf di pasar politik Indonesia. Faktanya, PSI tidak hanya didukung oleh partai-partai yang secara tradisional berhaluan Islamis, tapi juga partai pluralis bahkan nasionalis sekuler. Parpol sekuler seperti PDIP pun mengembangkan sayap Islam (Tempo Interaktif, 2006). Pendekatan simbolik tampaknya cukup efektif meyakinkan masyarakat yang tengah terjebak dalam iklim reformasi yang penuh ketidakpastian ini.

Konsolidasi demokrasi dan rekayasa institutional

Dari diskusi di atas terlihat bahwa dalam analisis perilaku politik maraknya PSI adalah perpaduan antara inspirasi ideologis dan kalkulasi kepentingan politik. Dalam hal ini, sebagai sebuah proses politik meningkatnya popularitas PSI di kalangan politisi sama sekali tidak aneh dan bahkan tidak baru. Dalam istilah studi politik proses ini dikenal dengan istilah rekayasa institusional (institutional engineering), merujuk kepada proses pertarungan di kalangan politisi untuk menentukan aturan main (Mueller, 2002).

Ini merupakan tahapan krusial dalam proses konsolidasi demokrasi, sebagaimana yang sekarang sedang dihadapi di Indonesia. Ada tiga teori demokratisasi: Pertama, pendekatan prosedural yang melihat proses konsolidasi demokrasi sebagai efektivitas dan stabilitas fungsi institusi-institusi politik. Indikasi bahwa sebuah negara sudah mencapai tahap konsolidasi demokrasi adalah dengan “two turn-over tests,” yaitu ketika sudah terjadi pergantian

2 Penting untuk dicatat di sini bahwa istilah “kepentingan” (interest) tidak serta-merta bermakna negatif dan

(7)

kekuasan dua kali kepada penguasa yang berbeda, secara damai melalui pemilu yang jujur dan adil (Huntington, 1991: 266-267).

Kedua, pendekatan elitis (Rustow, 1970) yang melihat indikasi dari suatu konsolidasi demokrasi berdasarkan perilaku politik dan interaksi antara aktor-aktor serta kelompok-kelompok sosial yang relevan yang terlibat dalam proses tersebut. Dalam demokrasi yang sudah terkonsolidasi, dalam kacamata pendekatan ini, akan tercapai apabila aktor-aktor utama di atas sudah dapat menerima aturan main politik—desain institusi politik—dan mengikuti aturan main yang ada tersebut. Dalam kacamata teori-elit, kelompok elit memiliki posisi strategis bukan hanya secara empirik, melainkan juga secara normatif, sebab publik, atau massa tidak pernah memiliki komitmen yang konsisten terhadap suatu persoalan. Sikap masyarakat cenderung pasif, cair dan berubah-ubah dalam menanggapi berbagai persoalan. Hal ini karena pada dasarnya massa tidak memiliki kapasitas untuk memahami dan mengevaluasi perkembangan yang ada secara mendalam, dan hanya mencerap informasi dari media atau dari lingkungan yang biasanya bersifat artifisial.

. Ketiga, pendekatan budaya politik yang menganggap demokrasi mencapai tahap yang mapan apabila nilai-nilai demokrasi sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat, berangkat dari tradisi Tocquiville, Almond & Verba, Putnam. Analisis Survey menjadi alat utama dalam memantau perkembangan yang ada. Menurut Almond dan Verba (1963), budaya sipil merupakan faktor penentu perkembangan dan stabilitas demokrasi. Ada tiga tahapan dalam perkembangan budaya sipil: pertama, parokhial, di mana masyarakat belum memiliki kesadaran diferensiasi sistem politik, yaitu ketika sistem politik masih belum bisa dibedakan dengan sistem agama atau sistem kultur yang lain; kedua, subjek, yaitu ketika masyarakat sudah memiliki kesadaran defensiasi sistem politik serta aktif berpartisipasi dalam institusi dan proses politik (output side) namun belum memiliki kesadaran maupun keterlibatan dalam pembuatan sistem itu sendiri (input side). Pandangan serupa dikembangkan oleh Putnam dalam Making Democracy Works: Civic Tradition in Modern Italy (1999), yang menisbatkan efektivitas proses demokrasi kepada keberadaan apa yang ia namakan ‘cultural capital’ (Putnam, 2000).

(8)

tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses politik yang ada tentu fungsi sistem politik yang ada tidak bisa dinamakan demokratis, melainkan oligarkis.

Menarik untuk dicatat bahwa pada kenyataannya ketiga pendekatan tersebut dapat dirangkum melalui pendekatan ‘new-institusionalist’: yaitu bahwa aturan main akan memengaruhi perilaku, sehingga pembuatan aturan main akan menjadi pertarungan paling sengit dalam politik. Pendekatan ini berangkat dari hakikat proses politik itu sendiri, yaitu sebuah pertarungan melalui aturan di mana aturan tersebut dibuat oleh para pemain yang saling bersaing tersebut (Goldmann, 2005).

Maraknya PSI bisa dilihat kelompok politisi islamis sebagai bagian dari pertarungan rekayasa institusi dalam proses demokratisasi yang sedang berlangsung. Ada tiga jenis rekayasa politik yang relevan dibahas dalam konteks ini, yaitu sistem pemilihan umum (Pemilu), penentuan electoral threshold, dan program otonomi daerah atau desentralisasi. Sistem pemilu barangkali adalah institusi yang paling fundamental, sebab selain karena pemilu adalah syarat minimal dari politik demokrasi, penggunaan sistem yang berbeda akan menghasilkan sistem kepartaian yang berbeda, yang konsekuensinya akan membawa dampak besar bagi proses politik secara keseluruhan, seperti yang dijelaskan oleh “hukum Douverger.” Menurut hukum ini—diambil dari teori pakar ilmu politik Perancis Maurice Douverger—sistem pemilihan mayoritas (majoritarian system) akan menghasilkan sistem kepartaian dengan dua partai, sedangkan sistem proporsional akan menghasilkan sistem kepartaian dengan banyak partai (Douverger, 1951/1954).

Sejarah mencatat bahwa di era reformasi sistem pemilu yang dipilih di Indonesia adalah sistem proporsional, yang memberikan kesempatan kepada parpol-parpol kecil untuk tampil di pemilu mewakili kelompok-kelompok kecil yang ada. Kelompok Islamis sangat diuntungkan oleh pilihan terhadap sistem proporsional ini, sebab waktu itu kelompok Islamis belum termasuk kelompok yang besar, dan apabila pilihan jatuh kepada sistem majoritarian bisa dipastikan tidak ada parpol Islamis.

(9)

dominan, dan tokoh-tokoh utama Muslim seperti Gus Dur dan Amien Rais memilih untuk membentuk partai politik yang pluralis ketimbang Islamis.

Terakhir, upaya untuk mengubah format bentuk negara dari sentralistik menjadi desentralistik dengan memberikan otonomi yang besar kepada pemerintah daerah, juga merupakan desain institusi yang menguntungkan bagi kelompok Islamis. Gagasan awal program desentralisasi adalah untuk meningkatkan efektifitas sistem politik dan pemerintahan sejalan dengan nilai-nilai dasar demokrasi, yaitu mencegah terkumpulnya kekuasaan pada segelintir pihak (Lijphart, 1999). Dengan disahkannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan No. 25/1999 tentang Pengaturan Anggaran Daerah dan Pusat, menjadi titik-tolak bagi pemerintah daerah untuk menentukan nasib mereka sendiri, tanpa banyak tergantung oleh instruksi pemerintah pusat. Pada gilirannya, desentralisasi ini telah membukakan peluang bagi politisi Islamis untuk mengaktualkan cita-cita politik mereka, terutama melalui PSI.

Sampai di sini terlihat bahwa munculnya PSI adalah fenomena yang wajar belaka dari proses pertarungan politik, yang memang selalu diwarnai oleh pertarungan rekayasa institusional dalam mengejar kepentingan politik. Barangkali perlu dicatat di sini adalah persoalan PSI dalam konteks konsolidasi demokrasi: apakah maraknya PSI itu kondusif atau tidak terhadap upaya konsolidasi demokrasi.

Representasi dan akuntabilitas perda syariah Islam

Lebih jauh lagi, meskipun para ilmuwan politik banyak berbeda pendapat tentang bagaimana menjelaskan proses demokratisasi, sebagaimana tergambar dalam tiga jenis penjelasan di atas, mereka umumnya sepakat bahwa sebuah proses demorkatisasi yang berhasil harus memiliki produk atau hasil-hasil yang bisa dijadikan ukuran secara objektif. Sebab demokrasi bukan hanya persoalan konseptualisasi teori, namun juga penerapan empirik dalam kehidupan nyata. Ada dua konsep yang biasanya dijadikan ukuran oleh para pemikir ilmu politik dalam melihat kualitas sebuah demokrasi, yang dalam konteks ini bisa juga digunakan untuk mengidentifikasi keberhasilan sebuah proses demokratisasi.

(10)

Dalam khazanah konsep demokrasi, pada titik ini kita berhadapan dengan dua tafsir yang berbeda mengenai fungsi dan peran politisi sebagai “wakil rakyat”. Para ilmuwan politik berbeda pendapat tentang pengertian istilah perwakilan ini: di satu sisi ada pemikir yang memahami istilah ini dalam pengertian representation, yaitu bahwa hak dan wewenang para politisi dalam sistem politik demokrasi adalah menjalankan apa-apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan rakyat yang memilihnya. Konsekuensinya, bagi para pengikut tafsir ini para politisi harus selalu mendengarkan pendapat dan aspirasi rakyat, termasuk melalui survey dan jajak pendapat lainnya. Di sisi lain ada pula kelompok pemikir politik yang memahami istilah perwakilan dalam pengertian trustee, yaitu pihak yang diberi kewenangan untuk menangani persoalan dan punya wewenang penuh menentukan cara apa yang akan diambil untuk menyelesaikan persoalan tersbut tanpa perlu berkonsultasi dengan pihak yang diwakili. Pengikut aliran ini menganggap bahwa para politisi—yang dipilih karena keahlian mereka di bidang tersebut—memiliki hak penuh untuk melakukan hal-hal yang menurutnya baik demi kepentingan masyarakat tanpa perlu berkonsultasi dengan pemilih tentang jalan mana yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut (Verba, Nie and Kim 1978).

Namun konsep ini banyak dikritik karena beberapa alasan, terutama karena rakyat atau konstituen nyaris tidak punya pilihan inisiatif terhadap kebijakan yang akan diusung oleh pemerintah. Ditambah dengan fakta bahwa kebanyakan masyarakat tidak akan memiliki kemampuan untuk memahami secara penuh—apalagi mengevaluasi—paket kebijakan yang ditawarkan pemerintah, maka akan sangat rawan kemungkinan bahwa masyarakat hanya bisa memilih opsi-opsi yang memang sudah disiapkan pemerintah. Karena itu diperlukan ukuran lain keberhasilan demokrasi yang lebih objektif dan konkret.

Parameter kedua dari keberhasilan sebuah proses demokratisasi, atau produk dari sebuah sistem demokrasi yang baik adalah bahwa pemerintah yang ada harus akuntabel (accountable), dalam pengertian bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan benar-benar menjawab kebutuhan rakyat. Dalam penjelasan Schumpeter (1942), demokrasi adalah sistem politik di mana para pemegang kekuasaan mempertanggungjawabkan apa-apa yang mereka lakukan kepada rakyatnya; rakyat akan menetukan penilaian mereka melalui pemilihan, pemerintah yang dianggap memenuhi kebutuhan akan didukung terus, sedangkan pemerintah yang terbukti gagal memenuhi kebutuhan masayrakat akan kehilangan dukungan dan automatis kehilangan posisi sebagai pengambil kebijakan.

(11)

appendix). Menarik untuk mengamati bahwa secara keseluruhan beragam PSI yang muncul di berbagai daerah dapat diklasifikasikan menjadi tiga kecenderungan, yaitu tentang penyakit sosial, pakaian (terutama perempuan), dan ketrampilan membaca al-Qur’an. PSI ini memang dirancang untuk membenahi moral, yang diyakini sebagai pangkal segala persoalan.

Pertanyaan pertama adalah: sejauh mana PSI ini representatif terhadap aspirasi politik umat Islam, sebagai mayoritas di Indonesia? Dalam konteks ini, barangkali survey Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2001, dan juga LSI menarik untuk dikemukakan. Survey tersebut menunjukkan data sebagai berikut (Liddle, 2003):

1. Setuju bahwa pemerintah yang Islami, yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah dan dipimpin oleh para ulama adalah yang terbaik untuk negara seperti Indonesia (2001=57,8; 2002=67,0).

2. Setuju jika agama dan negara harus dipisah (2001=36,4; 2002=NA).

3. Setuju negara harus mengatur agar semua Muslim laki-laki dan perempuan mengikuti aturan Syariah (2001=61,4; 2002=70,8).

4. Setuju jika cita-cita dan perjuangan gerakan Islam (seperti FPI, Lasykar Jihad, Darul Islam dll.) untuk menerapkan syariah baik di pemerintahan maupun di masyarakat harus didukung (2001=46,4; 2002=53,7).

5. Setuju jika dalam Pemilu orang harus memilih calon yang benar-benar memahami ajaran Islam dan berniat untuk memperjuangkannya dalam politik nasional (2001=46,7; 2002=46,1). 6. Setuju jika dalam pemilu hanya akan memilih partai-partai Islam (2001=22.6; 2002=21.1). 7. Setuju jika pemerintah perlu melarang pemberlakuan bunga bank di seluruh bank yang ada di di

Indonesia (2001=25,8; 2002=NA).

8. Setuju jika hukum potong tangan bagi orang Muslim yang mencuri, sebagaimana tertera dalam al-Qur’an, harus dijalankan oleh pemerintah (2001=28,9; 2002=33,0).

9. Setuju jika hukum rajam yang diajarkan al-Qur’an, yaitu melempari batu hingga tewas orang Muslim yang sudah menikah yang melakukan zina, harus dilarang di negeri ini (2001=42,4; 2002=NA).

10. Setuju jika polisi mengawasi orang Muslim agar melaksanakan shalat lima kali (2001=9,9; 2002=NA).

11. Setuju jika polisi mengawasi supaya orang Muslim berpuasa di bulan Ramadhan (2001=12,9; 2002=30,2).

(12)

Dari data-data survey di atas, tampak bahwa PSI memiliki nilai representasi, dalam pengertian bahwa perda-perda tersebut mencerminkan aspirasi politik umat Islam. Lebih dari separuh responden setuju jika negara Indonesia diperintah oleh para ulama berdasarkan nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah (2001=57,8; 2002=67,0), sementara jumlah responden yang setuju jika penerapan syariah yang berlaku bagi umat Islam diatur oleh negara juga lebih dari separuh (2001=61,4; 2002=70,8). Namun perlu diingat bahwa survey di atas bersifat tertutup, sehingga tampak membenarkan keraguan para ilmuwan bahwa representasi bisa jadi tidak menunjukkan gambaran yang utuh dari apa yang diinginkan oleh masyarakat.

Untuk itu, kedua, kita akan lihat sejauh mana PSI akuntabel terhadap kebutuhan rakyat. Di sini tampaknya tepat untuk menampilkan data survey opini publik yang diselenggarakan IFES yang lebih bersifat terbuka, dan memberikan kesempatan sepenuhnya kepada masyarakat untuk mengungkapkan apa-apa yang mereka anggap sebagai persoalan paling penting yang sedang mereka hadapi. Ada dua tingkat survey IFES ini (IFES 2005), yaitu level nasional yang menanyakan “Apa problem paling besar yang sedang dihadapi Indonesia?” (2005); serta level lokal-komunal dengan mengajukan pertanyaan “Apakah persoalan paling besar yang sedang dihadapi komunitas Anda?”

Untuk pertanyaan berskala nasional, jawaban responden adalah sebagai berikut: 1) membumbungnya harga-harga kebutuhan pokok (55%), 2) sulitnya mencari pekerjaan (26%), 3) ketidakpastian hukum (5%), 4) tingginya biaya pendidikan/kesehatan (4%), 5) bencana Aceh (3%), 6) keamanan yang kurang terjamin (2%), 7) ketidakpastian politik (2%), 8) lain-lain (2%), dan 9) tidak menjawab (1%).

Untuk pertanyaan “Apakah persoalan paling besar yang sedang dihadapi komunitas Anda?” jawaban survey dari tiga periode yang berbeda menunjukkan hasil yang relatif konstan: 1) membumbungnya harga-harga kebutuhan pokok (2001=46%, 2002=55%, 2003=41%, 2005=38%), 2) sulitnya mencari pekerjaan (2001=15%, 2002=18%, 2003=29%, 2005=33%), 3) tingginya biaya pendidikan/kesehatan (2001=2%, 2002=4%, 2003=12%, 2005=4%), 4) tidak ada kepedulian lingkungan (2005=4%), 5) keamanan tidak terjamin (2001=5%, 2002=5%, 2003=7%, 2005=5%), 6) naiknya harga BBM (2005=2%), 7) fasilitas transportasi (2005=2%), 8) ketidakpastian politik (2001=2%, 2002=2%, 2003=1%, 2005=1%), dan 9) tidak menjawab (2001=16%, 2002=6%, 2003=3%, 2005=1%).

(13)

adalah perbaikan kehidupan yang bersifat nyata, dan bukan simbolik. Dari sini bisa dikatakan, dari kaca mata teori demokrasi, PSI yang marak muncul di berbagai daerah dan telah memancing banyak kontroversi ini memiliki status yang belum sepenuhnya demokratik. Di satu sisi perda-perda itu memiliki tingkat representativeness yang relatif tinggi, dalam pengertian bahwa ia mencerminkan aspirasi politik banyak kalangan Muslim, terutama sejauh menyangkut pertanyaan hubungan antara agama dan negara, ataupun penerapan aturan agama oleh aparat negara. Di sisi lain, PSI memiliki tingkat akuntabilitas rendah dalam pengertian tidak menyentuh hal-hal yang dianggap penting dan mendesak oleh masyarakat. Ini tentu merupakan persoalan krusial, karena dalam proses konsolidasi demokrasi akuntabilitas merupakan syarat mutlak tercapainya kondisi demokrasi yang efektif dan stabil.

Satu hal tampaknya menarik dimunculkan di sini, yaitu mengapa PSI begitu populer di kalangan politisi Islamis? Dari pihak politisi yang memperjuangkannya, ada dua keuntungan dasar yang bisa didapat dari PSI seperti di atas. Pertama adalah kesempatan mengklaim posisi membela Islam. Posisi ini sangat penting, sebab Islam adalah agama dari mayoritas masyarakat sekaligus pemilih potensial (potential voters), dan dengan menempatkan diri sebagai pihak yang membela dan memperjuangkan Islam para politisi ini akan memiliki kesempatan lebih besar untuk memobilisasi dukungan dari komunitas Muslim yang adalah mayoritas. Kedua, manfaat yang juga akan diperoleh oleh politisi yang memperjuangkan PSI seperti di atas adalah bertambahnya otoritas politik yang ia miliki, karena melalui PSI tersebut mereka tidak hanya berbicara atas nama pemerintah yang memiliki otoritas politik dan hukum, melainkan juga atas nama agama yang ditopang oleh otoritas ilahiah yang bernilai ultim. Dengan perlindungan ganda—otoritas pemerintah dipadu dengn otoritas agama— pemegang kekuasaan akan memiliki legitimasi yang sangat kuat, sekaligus menjadi sangat sulit dikritik.

(14)

hanya bisa dinikmati oleh orang yang membelinya. Suara atau pilihan yang diberikan konstituen kepada para politisi adalah private goods karena bisa ditransfer menjadi barang-barang yang konkret dan hanya bisa dinikmati secara privat oleh para politisi tersebut, seperti jabatan, gaji, popularitas, wewenang, serta berbagai kemewahan lainnya.

Di sisi lain, sebagai balasan kepada konstituen yang sudah memilihnya para politisi memberikan “public goods” atau hal-hal yang bersifat abstrak dan bisa dinikmati secara umum oleh masyarakat baik konstituen maupun bukan. Dari perbadingan antara rumusan PSI dengan aspirasi politik masyarakat di atas, terlihat bahwa PSI jauh dari aspirasi politik masyarakat. Cukup jelas bahwa masyarakat menginginkan perbaikan material yang konkret, seperti kebutuhan pokok yang murah serta terbukanya banyak lapangan kerja, atau biaya pendidikan dan kesehatan yang murah, sedangkan PSI di atas lebih mengarah kepada upaya penataan nilai-nilai moral yang tidak secara langsung terkait dengan perbaikan material.

Mendesain demokrasi yang representatif dan akuntabel

Dari diskusi di atas cukup jelas bahwa PSI memiliki status demokratis sekaligus memiliki kelemahan fundamental. Untuk itu, barangkali langkah yang terbaik untuk menyikapi bukan dengan menolak melainkan dengan mengawal dan mengkritisi supaya PSI yang muncul tidak hanya representatif, tapi yang lebih penting adalah accountable. Lebih jauh lagi, upaya untuk mendorong akuntabilitas PSI sekaligus juga akan menjadi dorongan bagi politik Islamis untuk menjadi semakin akuntabel, dan mencegahnya dari perkembangan yang oligarkis.

(15)

Di sisi lain, penekanan yang berlebihan kepada aspek partisipatif atau nilai-nilai demokrasi juga berisiko melahirkan apa yang dikenal sebagai “kronologisme” (chronologism), yaitu pandangan yang menganggap bahwa sebelum bisa menjadi sebuah sistem politik yang sepenuhnya demokratis, sebuah negara atau bangsa harus mentransformasi diri dengan nilai-nilai yang dalam sejarah telah mengantarkan negara-negara di Barat menjadi demokratis, seperti industrialisasi, urbanisasi, sekularisasi, pemisahan agama dan negara, dsb. Pandangan semacam ini sangat menyolok dalam pendekatan-pendekatan yang secara luas dikenal sebagai “developmentalisme,” yang notabene adalah sebuah perspektif Barat-sentris dalam melihat dunia, dan visi untuk meletakkan perkembangan dan pembangunan di negara-negara demokrasi baru. Tentu pandangan ini kurang tepat baik secara ideal maupun empiris. Secara ideal, developmentalisme bertentangan dengan logika genetik-institusional, yaitu bahwa bangsa-bangsa memiliki alur sejarah yang berbeda sesuai dengan pangalaman masing-masing yang khas dan karenanya upaya pembangunan terhadap mereka harus pula disesuaikan dengan struktur dan konteks internal mereka masing-masing. Secara empirik, upaya mengubah arah perkembangan sebuah komunitas atau sistem yang tidak sejalan dengan struktur dasar dan konteks internalnya sendiri akan beresiko mendapat resistensi yang justru akan mementahkan upaya perubahan yang ada (Schmitter, 2003).

Pertama, menyempurnakan sistem politik, terutama UU Kepartaian untuk memaksimalkan peran partai politik sebagai pemain utama dalam sistem politik demokrasi. Para ilmuwan politik sepakat bahwa partai politik memiliki peran vital dalam upaya membangun konsolidasi demokrasi. Meskipun pada awal-awal fase transisi dari autoritarianisme ke demokrasi agen-agen lain seperti LSM, Ormas atau gerakan mahasiswa mungkin memainkan peran yang dominan, namun dalam proses selanjutnya—fase konsolidasi—peran parpol tidak bisa tergantikan oleh agen-agen di atas (O’Donnel & Schmitter, 1996). Karena hanya parpol yang bisa mengikuti pemilu, mengajukan kandidat dan akhirnya membentuk pemerintahan (Doherti, 2001). Beberapa studi menunjukkan bahwa parpol masih lebih merupakan kendaraan politik para elit ketimbang sarana bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik mereka, sehingga tidak mengherankan apabila tingkat kepercayaan masyarakat kepada parpol juga rendah (Johanson-Tan, 2004). Untuk itu, agar arah perkembangan politik demokrasi benar-benar mengarah kepada kepentingan rakyat, dan bukan sekadar kepentingan elit, perlu dilakukan perbaikan sistem perpolitikan secara menyeluruh, terutama sistem kepartaian.

(16)

yang terdiri dari beragam etnis, bahasa, agama serta ideologi politik. Sejalan dengan nilai-nilai demokrasi, keragaman ini harus diwadahi secara proporsional yang bertopang kepada nilai-nilai keadilan bersama. Apabila dijalankan dengan benar, sistem pemilu representasi proporsional akan memfasilitasi seleksi alami terhadap kelompok-kelompok kepentingan politik yang ada di Indonesia. Ada sementara kalangan yang menganggap bahwa sistem pemilu representasi proporsional yang menekankan elemen representasi memiliki kelemahan karena cenderung memunculkan produk politik yang kurang efektif—akibat terlalu banyaknya pihak yang harus diakomodasi. Namun kajian-kajian Lijphart memberikan bukti lain. Selain lebih kondusif bagi masyarakat yang plural—multi etnis, regional, agama dsb.— sistem PR ternyata juga terbukti memiliki hasil yang tidak kalah efektif dibanding sistem majoritarian (Lijphart, 1984, 1999).

Ketiga, melengkapi sistem pemilu representasi proporsional di atas dengan tingkat

electoral threshold yang tinggi. Memang tidak mudah menentukan berapa batasan angka

threshold yang disebut tinggi, akan tetapi yang pasti tujuannya adalah untuk memperberat syarat bagi parpol untuk mengikuti pemilu, guna mencegah munculnya kelompok-kelompok politik spekulatif yang punya tendensi berhaluan ekstrem. Tingkat ET rendah akan memancing politisi yang berbekal pas-pasan untuk coba-coba berpartisipasi dalam pemilu; dan biasanya politisi yang memiliki target trial-and-error ini juga cenderung mudah mengambil langkah-langkah spekulatif seperti menggunakan mempromosikan program-program politik berhaluan ekstrem. Beberapa studi mengindikasikan bahwa parpol-parpol yang mengusung ideologi ekstrem maupun mempromosikan kebijakan-kebijakan ekstremis— yang dikenal dengan sebutan New Radical Rights (NRR)—banyak muncul di negara-negara yang menganut sistem pemilu representasi proporsional dengan ET yang rendah (Veugelers and Magnan, 2005)

Keempat, menyusun undang-undang pers yang terbuka dan bertanggung-jawab untuk memberikan akses informasi maksimal kepada masyarakat, terutama terkait apa-apa yang dikerjakan dan diputuskan oleh pemerintah dan para politisi. Akses informasi yang maksimal bagi masyarakat merupakan hal yang sangat penting bagi tercapainya sebuah demokrasi yang berkualitas, sebab proses politik cenderung terjadi secara tertutup di kalangan politisi; padahal fungsi parap politisi dalam demokrasi adalah mewakili rakyat; karenanya rakyat memiliki hak untuk mengetahui apa-apa yang dilakukan oleh para politisi dan juga pengambil kebijakan.

(17)

pada struktur sistem politik yang ada. Bukan berarti proses amandemen menjadi tidak boleh, melainkan bahwa mempermudah proses amandemen memiliki risiko memancing terjadinya instabilitas sistem politik; dan mempersulit proses amandemen berarti juga membantu menciptakan stabilitas sitem politik. Pintu amandemen tetap terbuka, namun harus dengan sebanyak mungkin pihak (Rich, 2005).

Keenam, mendorong dan memperkuat fungsi Mahkamah Konsitusi (constitutional courts) untuk menjamin agar produk-produk hukum yang muncul dan diberlakukan secara publik—seperti PSI—tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang dijamin dan dikunci dalam konstitusi; dan Ombudsman, agar masyarakat memiliki kesempatan terbuka untuk mengekspresikan pendapat dan aspirasi politik mereka (Mueller, 2002). Keberadaan Mahkamah Konstitusi yang kuat dan independen akan menjadi evaluator untuk memastikan tidak akan ada produk-produk hukum yang berlaku publik yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang sudah dikunci dalam Konstitusi; sementara kebradaan Obudsman yang efektif akan memberikan kesempatan yang terbuka kepada pemilik kedaulatan politik— masyarakat—untuk mengekspresikan keinginan, perasaan dan pilihan politik mereka. Dalam sistem demokrasi, rakyat sebagai pemilik kedaulatan politik memiliki hak penuh untuk menolak bukan hanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan Konstitusi, melainkan juga yang tidak sejalan dengan keinginan dan aspirasi, serta tidak memenuhi kebutuhan mereka (Powell, 2003).

Daftar pustaka

Aguswandi, “Say No to Conservative Islam,” The Jakarta Post, August 30, 2006.

Alexander, Gerard. The Sources of Democratic Consolidation. Ithaca, NY: Cornell University Press, 2002.

Almond, Gabriel and Verba, Sidney. The Civic Culture. Boston: Little Brown and Co., 1965. Almond, Gabriel A., Appleby, R. Scott and Sivan, Emmanuel. Strong Religion: The Rise of

Fundamentalisms Around the World. Chicago: The University of Chicago Press, 2003.

Antara News, “Police crackdown on ‘un-Islamic’ behaviour in Aceh,” December 22, 2006. Dahl, Robert A. Democracy and Its Critics. New Haven: Yale University Press,1998.

(18)

Doherty, Ivan, “Democracy Out of Balance: Civil Society Can’t Replace Political Party,”

Polity Review, April & May 2003.

Downs, Anthony. An Economic Theory of Democracy. New York: Harper and Row, 1957. Duverger, M. Les Partis Politiques. Paris: Armand Colin, 1951.

Fahmi, Nashir. Menegakkan Syariah Islam Ala PKS. Solo: Era Internedia, 2006.

Goldmann, Kjel, “Appropriateness and Consequences: The Logic of Neo-Institutionalism,”

Governance: An International Journal of Policy, Administration, and Institutions, Vol. 18, No. 1,January 2005: 35–52.

Hefner, R,”Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java”, Journal of Asian Studies, 46, 1987:533-554.

______. Civil Islam, Muslim and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press, 2000.

Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century.

Norman: University of Oklahoma Press, 1991.

_______, “The Clash of Civilizations?”, Foreign Affairs, Summer 1993, Vol. 72, No. 3: 22-50.

_______. The Clash of Civilizations and the Making of World Order. New York: Simon & Schuster, 1996.

International Foundation for Election System (IFES), “Public Opinion Survery Indonesia” 2005.

Johnson-Tan, Paige,”Party Rooting, Political Operators, and Instability in Indonesia:A Consideration of Party System Institutionalization in aCommunally Charged Societ”, A Paper Presented to the Southern Political Science Association New Orleans, Louisiana January 10, 2004.

Kramer, Martin,“Coming to Terms: Fundamentalists or Islamists”, The Middle East Quarterly, Vol X, No. 2, 2003.

Liddle, R. William, “New Pattern of Islamic Politics in Democratic Indonesia,” Asia Program Special Report, No. 10 (April 2003). www.csi.edu/topics/pubs/asiarpt_110.pdf. Lijphart, Arend. Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government In

Twenty-One Countries. New Haven: Yale University Press, 1984.

_______. Electoral Systems and Party Systems: A Study of Twenty-Seven Democracies 1945-1990. New York: Oxford University Press, 1994.

(19)

Lipset, S.M., Rokkan, Stein,“Cleavage structures, party systems, and voter alignments: An introduction’, dalam Lipset & Rokkan (eds.). Party Systems and Voter Alignments: Cross-National Perspectives. New York, 1995: 1-64.

Mainwaring, Scott P. Rethinking Party Systems in th Thrid Wave of Democratization: The Case of Brazil. Stanford: Stanford University Press, 1999.

Mueller, Wolfgang C,“Parties and the Institutional Framework”, dalam K. R. Luther & F. Mueller-Rommel (eds.). Political Parties in the New Europe: Political and Anlytical Challenges. New York: Oxford University Press, 2002.

O’Donnell, Guillermo and Schmitter, Philippe C. Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies. Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1996.

Panebianco, Angelo. Political Parties: Organization and Power. Cambridge: Cambridge University Press, 1988.

Permata, Ahmad-Norma (ed.). Metodologi Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Powell , G. Bingham, Jr., “The Quality of Democracy: Improvement or Subversion?” paper

prepared for Conference, October 10,11, 2003, Stanford University.

Putnam, Robert D. Bowling Alone : the Collapse and Revival of American Community. New York: Simon & Schuster, 2000.

_______. Making Democracy Work: Civic Tradition in ModernItaly. Princeton, NJ: Princeton University Press, 1993.

Rich, Roland, “Designing Democracy along the Pacific Rim,” Democracy at Large, Vol. 2 No. 1, 2005.

Rustow, Dankwart, “Transitions to Democracy: Toward a Dynamic Model”, Comparative Politics 2, 1970.

Schmitter, Philippe C.,“The Quality of Democracy: The Ambiguous Virtues of Accountability,” paper prepared for Conference, October 10,11, 2003. Stanford University.

Schumpeter, Joseph. Capitalism, Socialism, and Democracy. New York: Harper, 1942.

Shahin, Emad El-Din. Political Ascent: Contemporary Islamic Movements in North Africa.

Boulder: Westview Press, 1998.

Taagepera, Rein, “Prospects for Democracy in Muslim Countries”, Center for Study of Democracy, Paper No. 03, 2003.

(20)

Van Bruinessen, Martin, “Genealogies of Islamic Radicalism in post-Soeharto Indonesia”,

Southeast Asian Research, Vol. 10, No. 2, 2002: 117-154.

________, “Post Soeharto Muslim Engagement with Civil Society and Democratization,” paper presented in workshop on “Indonesia in Transition”, Jakarta August 24-28 2003.

________, “Post Soeharto Muslim Engagement with Civil Society and Democratization”, paper presented in workshop on “Indonesia in Transition”, Jakarta August 24-28 2003b.

Verba, Sidney, Nie, Norman H. and Kim, Jae-on. Participation and Political Equality. New York: Cambridge University Press, 1978.

Veugelers, John and Magnan, Andre, “Conditions of Far-right Strength in Contemporary Western Europe: An Application of Kitschelt’s Theory,” European Journal of Political Research, 44, 2005: 837-860.

Von Beyme, Klaus. Political Paerties in Western Democracies. Aldershots: Gower, 1985. Zakaria, Fareed, “The Rise of Illiberal Democracy”, Foregin Affairs, Nov. 1997.

________,“Illiberal Democracy Five Years Later”, Harvard International Review, Summer 2002.

Appendiks

Perda-perda syariah Islam dari Aceh sampai Mataram

Kota/Kabupaten/Provinsi Uraian ringkas Perda

Nanggroe Aceh Darussalam UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus

Aceh memberi kewenangan penerapan syariah Islam. Masih diperdebatkan apakah kewenangan Mahkamah Syariah juga akan mencakup semua penduduk, termasuk non-Muslim.

Padang Pariaman Perda No 2/2004 tentang Pencegahan,

Penindakan dan Pemberantasan Maksiat.

Solok  Perda No 10/2001 tentang Wajib Baca

al-Qur’an untuk Siswa dan Pengantin.

 Perda No 6/2002 tentang Wajib Berbusana Muslim.

Sumatera Barat Perda No 11/2001 tentang Pemberantasan

dan Pencegahan Maksiat.

Kota Padang Instruksi Wali Kota tgl. 7 Maret 2005 tentang

Pemakaian Busana Muslim.

Pasaman Barat Wajib berbusana Muslim untuk siswa

(21)

Riau Awal April HTI dan PPP sepakat untuk membentuk Komite Penegakkan Syariah Islam di Riau.

Kepulauan Riau Pemkot Batam mengeluarkan Perda No

6/2002 tentang Ketertiban Sosial, yang isinya pemberantasan pelacuran, pengaturan

pakaian warga dan pemberantasan kumpul kebo.

Bengkulu  Perda No 24/2000 tentang Pelarangan

Pelacuran.

 Instruksi Wali Kota No 3/2004 tentang Program Kegiatan Peningkatan

Keimanan.

Sumatera Selatan Perda No 13/2002 tentang Pemberantasan

Maksiat.

Palembang Perda No 2/2004 tentang Pemberantasan

Pelacuran.

Banten (Serang, Pandeglang, dan Lebak) Imbauan agar perempuan memakai jilbab.

Tangerang Perda No 8/2005 tentang Pemberantasan

Maksiat.

DKI Jakarta Akhir April, MUI Jakarta mendesak DPR

membahas kemungkinan penerapan perda anti-maksiat.

Depok DPRD sedang membahas penerbitan Perda

pemberantasan pelacuran dan minuman keras seperti di Tangerang.

Tasikmalaya  Surat Edaran Bupati tahun 2001 tentang

peningkatan kualitas keimanan dan

Garut  Perda No 6/2000 tentang Kesusilaan.

 Bupati juga membentuk Lembaga

Pengkajian Persiapan Penerapan Syariah Islam pada 2002.

Kabupaten Cianjur Pencanangan Program Gerakan Masyarakat

Berakhlakul Karimah, September 2001.

Kota Cianjur Surat Edaran Wali Kota tanggal 29 Agustus

2003 tentang wajib berjilbab untuk siswa sekolah.

Indramayu  Perda No 7/1999 tentang Prostitusi.

 Perda No. 30 tahun 2001 ttg Pelarangan Peredaran dan Penggunaan Minuman Keras.

 Perda No. 2 tahun 2003 ttg Wajib Belajar Madrasah Diniyah Awaliyah.

 Perda No. 7 tahun 2005 ttg Pelarangan Minuman Beralkohol.

(22)

Cirebon (Kab)  Perda No. 77/2004 tentang Pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah.

 Perda No. 05/2002 tentang Larangan Perjudian, Prostitusi, dan Minuman Keras.

Sukabumi Keputusan Bupati No. 114/2003 tentang

Susunan Organisasi dan Personalia

 Perda No. 11 th 2005 tentang Penertiban Minuman Beralkohol.

 Perda No. 12 tahun 2005 tentang Pengelolaan Zakat.

Pamekasan Surat Edaran Bupati No 450/2002 tentang

Pemberlakuan Syariah Islam.

Jember Perda No 14/2001 tentang Penanganan

Pelacuran.

NTB DPRD sedang merancang Perda wajib

berbusana Muslim.

Takalar Penerapan Perda berbusana Muslim.

Sulawesi Selatan DPRD pertengahan April mengesahkan Perda

tentang pendidikan al-Qur’an.

Eurekang Perda No 6/2005 tentang Busana Muslim dan

Perda pandai baca-tulis al-Qur’an.

Gorontalo Perda No 10/2003 tentang Pencegahan

Maksiat.

Gowa Mewajibkan pemakaian jilbab bagi karyawan

pemerintahan dan penambahan jam pelajaran agama Islam.

Kabupaten Maros Perda No 15/2005 tentang Gerakan Bebas

Buta Aksara al-Qur’an.

Sinjai Menerapkan aturan penggunaan jilbab untuk

pegawai negeri sipil.

Bulukumba Perda No 4/2003 tentang Busana Muslim dan

Perda kemampuan baca al-Qur’an bagi siswa dan calon pengantin.

Yogyakarta (Kodya) Kep. Walikota No 169 th 2006 tentang

Referensi

Dokumen terkait

Pariwisata API Yogyakarta akan mengambil peran dalam pengembangan pariwisata bagi desa karena menyesuaikan konteks tantangan dan peluang akan banyaknya wisatawan yang

Dari urian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh peristiwa yang terjadi pada seseorang (locus of control), pengetahuan

Deskripsi Responden selain PT Finansia Multi Finance/kredit plus cabang manado, adakah responden yang berlangganan dengan perusahaan sejneis lainnya, Dari 90

Littlejohn dan Domenici (2007), membagi dua kondisi konflik yaitu perilaku konflik yang bersifat langsung dan tidak langsung serta bentuk perilaku yang dapat bekerjasama

Hal ini menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara locus of control eksternal dengan burnout pada karyawan produksi PT.. Semacom Integrated Bogor

Pengusaha-pengusaha tambang di Australia bergerak melalui komunitas pertambangan yang ada di Australia melalui saluran-saluran seperti misalnya demonstrasi, media massa serta

Jawaban : Alat Pencuci Ikan berjalan dengan lancar, dimulai dari daging ikan yang di letakkan pada Conveyor sampai masuk pada Spin Whaser untuk melakukan proses pemisahan sisik

Selanjutnya Queensland Department of Industries (1989) menyatakan kepiting bakau juvenil banyak dijumpai di sekitar perairan estuari dan kawasan ekosistem mangrove, sedangkan