• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Politik untuk Menghadapi Poli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendidikan Politik untuk Menghadapi Poli"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN POLITIK DAN DEMOKRASI

“Pendidikan Politik untuk Menghadapi Politisasi Birokrasi pada Era

Reformasi di Indonesia”

Disusun oleh:

Dewi Suciningtyas (15416241047)

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)

Daftar Isi

Daftar Isi... 1

Kata Pengantar ... 3

BAB 1 Pendahuluan ... 4

1.1 Latar Belakang ... 4

1.2 Rumusan masalah ... 5

1.3 Tujuan ... 5

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA ... 6

2.1 Pendidikan ... 6

2.2 Politik ... 8

2.3 Pendidikan Politik ... 9

2.4 Politisasi ... 10

2.5 Birokrasi ... 11

2.6 Politisasi Birokrasi ... 14

BAB 3 PEMBAHASAN ... 18

3.1 Peran Pendidikan Politik ... 18

3.2 Politisasi Birokrasi di Indonesia ... 19

3.3 Upaya Menanggulangi Politisasi Birokrasi ... 28

3.4 Peran Pendidikan Politik untuk Menghadapi Politisasi Birokrasi dalam Era Reformasi di Indonesia ... 29

BAB 4 PENUTUP ... 32

(3)

Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, inayah,

taufik dan hidayah- Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan

makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Adapun makalah

ini membahas tentang “Pendidikan Politik untuk Menghadapi Politisasi Birokrasi

dalam Era Reformasi di Indonesia”.

Harapan penyusun semoga makalah ini dapat membantu menambah

pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga penyusun dapat

memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini agar ke depannya dapat lebih baik.

Penyusun menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah

ini masih jauh dari sempurna, maka kritik dan saran yang bersifat membangun

sangat penyusun harapkan demi sempurnanya makalah ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 2 Juni 2017

(4)

Bab 1

Pendahuluan

1.1Latar Belakang

Birokrasi di Indonesia karena kelemahan kelas menengah yang produktif,

atau preferensi ideologi kanan maupun kiri, birokrasi pemerintah menjadi alat

pembangunan yang utama. Sebagai alat utama pembangunan, birokrasi

memiliki posisi dan peran yang sangat strategis karena menguasai berbagai

aspek hajat hidup masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, usaha,

hingga urusan kematian, masyarakat tidak bisa menghindar dari urusan

birokrasi. Birokrasi menguasai akses ke sumber daya alam, anggaran, pegawai,

proyek-proyek, serta menguasai akses pengetahuan dan informasi yang tidak

dimiliki pihak lain. Birokrasi juga memegang peranan penting dalam

perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik, termasuk

evaluasi kinerjanya. Adalah logis apabila pada setiap perkembangan politik,

selalu terdapat upaya menarik birokrasi pada area permainan politik. Birokrasi

dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan, atau memperkuat kekuasaan

oleh partai tertentu atau pihak pemegang kekuasaan. Ini terjadi pada masa

Demokrasi Parlementer tahun 1950-an di mana partai politik menjadi aktor

sentral dalam sistem politik Indonesia. Pemilihan umum pertama yang

demokratis berlangsung dalam periode ini. Dan birokrasi, secara massif, telah

menjadi objek pertarungan kepentingan dan arena perlombaan pengaruh oleh

partai politik, sehingga menimbulkan polarisasi dan fragmentasi birokrasi.

Maka, dapat dilihat permasalahan yang timbul adalah birokrasi di Indonesia

tak lepas dari politisasi dari pihak yang berkepentingan baik pribadi maupun

kelompok. Politisasi birokrasi ini akan selalu muncul terus menerus dan akan

menjadi fenomena apabila dalam pelaksanaan birokrasi, birokrasi di sini terlihat

dan bukannya para birokrat menjadi pelayan publik bagi rakyat malah menjadi

rakyat pelayan sang birokrat. Melalui pendidikan politik diharapkan dapat

menghadapi politisasi birokrasi di era reformasi sehingga politisasi birokrasi

(5)

1.2Rumusan masalah

1. Bagaimana politisasi birokrasi yang berkembang di Indonesia?

2. Apa fenomena politisasi birokrasi Indonesia yang tengah terjadi?

3. Apa upaya untuk menghadapi politisasi birokrasi di Indonesia?

4. Bagaimana peran pendidikan politik untuk menghadapi politisasi birokrasi

dalam era reformasi di Indonesia?

1.3Tujuan

1. Mengetahui politisasi birokrasi yang berkembang di Indonesia

2. Mengetahui fenomena politisasi Indonesia yang tengah terjadi.

3. Mengetahui upaya untuk menghadapi politisasi birokrasi di Indonesia.

4. Mengetahui peran pendidikan politik untuk menghadapi politisasi birokrasi

(6)

Bab 2

Kajian Pustaka

2.1Pendidikan

Pendidikan merupakan gejala semesta (fenomena universal) dan

berlangsung sepanjang hayat manusia, di manapun manusia berada. Di mana ada

kehidupan manusia, di situ pasti ada pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar

bagi pengembangan manusia dan masyarakat, mendasarkan pada landasan

pemikiran tertentu. Secara lebih jelas, upaya memanusiakan manusia melalui

pendidikan, didasarkan atas pandangan hidup atau filsafat hidup, bahkan latar

belakang sosiokultural tiap- tiap masyarakat, serta pemikiran- pemikiran

psikologis tertentu.

Pendidikan sendiri pada hakekatnya adalah usaha sadar manusia untuk

mengembangkan kepribadian di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung

seumur hidup. Pendidikan merupakan tanggungjawab keluarga, masyarakat, dan

pemerintah. Tanggungjawab tersebut didasari kesadaran bahwa tinggi

rendahnya tingkat pendidikan masyarakat berpengaruh pada kebudayaan suatu

daerah karena kebudayaan tidak hanya berpangkal dari naluri semata- mata

tetapi lebih utama dilahirkan dari proses belajar dlam arti yang sangat luas.

Menurut Langeveld (dalam Ahmadi dan Uhbiyati, 2007: 105) tujuan

pendidikan bermacam- macam yaitu:

1) Tujuan Umum

Tujuan ini disebut juga tujuan total, tujuan yang sempurna atau tujuan

akhir. Apakah tujuan akhir itu? Dalam hal ini Kongstam dan Gunning

mengatakan bahwa tujuan akhir dari pendidikan itu ialah untuk

membentuk insan kamil atau manusia sempurna.

2) Tujuan Khusus

Untuk menuju kepada tujuan umum itu, perlu adanya pengkhususan

(7)

a) Disesuaikan dengan cita- cita pembangunan bangsa.

b) Disesuaikan dengan tugas dari suatu badan atau lembaga

pendidikan.

c) Disesuaikan dengan bakat kemampuan anak didik.

d) Disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan sebagainya.

Tujuan- tujuan pendidikan yang telah disesuaikan dengan keadaan-

keadaan tertentu, dalam rangka untuk mencapai tujuan umum

pendidikan inilah yang dimaksud dengan tujuan khusus.

3) Tujuan Tak Lengkap

Tiap- tiap aspek pendidikan mempunyai tujuan- tujuan pendidikan

sendiri- sendiri. Tujuan dari aspek- aspek inilah yang dimaksud tujuan

pendidikan tak lengkap. Sebab masing- masing aspek pendidikan itu

menganggap seolah- olah dirinya terlepas dari aspek pendidikan yang

lain. Padahal masing masing pendidikan itu hanyalah merupakan

bagian- bagian dari pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu

tujuan dari masing- masing aspek itu harus dilengkapi dengan tujuan

dari aspek- aspek yang lain.

4) Tujuan Insidentil

Tujuan ini timbul secara kebetulan, secara mendadak dan hanya bersifat

sesaat. Misalnya, tujuan untuk mengadakan hiburan atau variasi dalam

kehidupan sekolah. Maka diadakanlah darmawisata ke suatu tempat.

Dalam hal ini tujuan itu telah selesai, setelah darmawisata itu

dilaksanakan.

5) Tujuan Sementara

Tujuan sementara adaalh tujuan tujuan- tujaun yang ingin kita capai

dalam fase tertentu dalam pendidikan. Misalnya, anak dimasukkan ke

sekolah. Tujuannya ialah agar anak dapat membaca dan menulis. Dapat

membaca dan menulis inilah yang disebut tujuan sementara. Tujaun

yang lebih lanjut ialah agar anak dapat belajar ilmu pengetahuan dari

(8)

Dapat belajar dari buku inipun menjadi tujuan sementara. Tujuan

sebenarnya ialah agar anak dapat memiliki ilmu pengetahuan tertentu.

Memiliki ilmu pengetahuan inipun sementara. Dan begitu seterusnya.

Demikian tujuan- tujuan sementara ini semakin meningkat untuk

menuju kepada pengetahuan umum, tujuan total atau tujuan akhir.

6) Tujuan Perantara

Tujuan perantara disebut juga tujuan intermediair. Tujuan ini

merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan- tujaun yang lain.

Mislanya, kita belajar bahasa asing agar dapat mempelajari buku- buku

yang tertulis dalam bahasa asing tersebut. Jadi kita belajar bahsa asing

di sini hanyalah sekedar alat saja.

2.2Politik

Secara etimologis, politik berasal dari kata polis (bahasa Yunani) yang

artinya negra kota. Kemudain diturunkan kata lain seperti polities (warganegara),

politikos (kewarganegaraan atau civics) dan politike tehne (kemahiran politik)

serta politike episteme (ilmu politik).

Secara terminologi, politik (politics) dapat diartikan sebagai:

a) Menurut Laswell: “politics as who gets what, when and how”

b) Menurut Miriam Budiardjo: “politik adalah bermacam- macam kegiatan

dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses

menentukan tujuan- tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan- tujuan itu.”

c) Menurut Ramlan Subakti: “politik adalah interaksi antara pemerintah

dan masyarakat dalam rangka pembuatan dan pelaksanaan keputusan

yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal

dalam suatu wilayah tertentu.

Lebih lanjut politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara

konstitusional maupun non- konstitusional. Di samping itu politik juga dapat

ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara antara lain:

a) Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan

(9)

b) Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan

dan negara.

c) Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan

mempertahankan kekuasaan di masyarakat.

d) Politik adalah segala sesuatu tentang perumusan dan pelaksanaan

kebijakan publik.

2.3 Pendidikan Politik

Pendidikan politik jelas berbeda dengan indoktrinasi politik, yang

merupakan belajar politik yang bersifat monolog bukan dialog, lebih

mengutamakan pembangkitan emosi, dan lebih merupakan pengarahan politik

untuk dukungan kekuatan politik (mobilisasi politik) daripada meningkatkan

partisipasi politik. Indoktrinasi politik itu pada umumnya dilakukan oleh rezim

otoriter atau totaliter untuk mempertahankan satatus quo, partai politik juga

pada umumnya lebih banyak menggunakan indoktrinasi politik pada

pendidikan politik (Cholisin, 2000: 6).

Affandi (1996: 27) menyatakan bahwa pendidikan politik dianggap penting

oleh hampir semua masyarakat dan dianggap sebagai penentu perilaku

seseorang. Penilaian ini didsaarkan pada maksud pendidikan politik sebagai

alat untuk mempertahankan sikap dan norma politik dan meneruskannya dari

satu generasi ke generasi berikutnya, baik melalui akulturasi informal maupun

melalui pendidikan politik yang direncanakan untuk menunjang stabilitas

sistem politik.

Pengetahuan politik akan membawa orang pada tingkat partisipasi tertentu.

Dalam politik seseorang tidak hanya dituntut mengembangkan pengetahuan,

namun juga harus mengembangkan aspek sikap dan keterampilan. Perpaduan

ketiga aspek tersebut menurut Crick & Porter dalam Affandi (1996: 27) disebut melek politik “political literacy”. Dari aspek pengetahuan seseorang dikatakan melek politik apabila sekurang- kurangnya menguasaui tentang: (1) informasi

dasra tentang siapa yang memegang kekuasaan, dari mana uang berasal,

bagaimana sebuah institusi bekerja; (2) bagaimana melibatkan diri secara aktif

(10)

efektif bagaimana cara memutuskan sebuah issue; (4) kemampuan mengenal

tujuan kebijakan secara baik yang dapat dicapai ketika issue (masalah)

terpecahkan; (5) kemampuan memahami pandangan oranglain dan

pembenahan mereka tentang tindakannya dan pembenaran tindakan dirinya

sendiri. kemampuan tadi tentu saja berbeda pada setiap orang bergantung pada

tingkat melek politiknya.

Cholisin, M. Si dalam jurnalnya yang berjudul Pendidikan Politik dalam

Pemikiran Pendidikan dan Politik Pendidikan menyatakan:

a) Pendidikan politik bagi suatu bangsa adalah terkait dengan sistem politik

nasionalnya yaitu berfungsi untuk memelihara mengembangkan sistem

politik demokrasi Pancasila.

b) Pendidikan politik merupakan salah satu isi atau bagian dari kebijakan

pendidikan.

c) Kebijakan pendidikan dirumuskan dan dilaksanakan dalam rangka untuk

melaksanakan pembangunan nasional di bidang pendidikan yang acuannya

adalah ideolgi nasional termasuk di dalamnya pemikiran pendidikan yang

berkembang dalam masyarakat Indonesia atau pemikiran Pancasila.

d) Implementasi dari politik pendidikan yang mengacu kepada pemikiran

pendidikan.

Lebih lanjut menurut Nasiwan (2005: 463), pendidikan politik memiliki

makna yang penting dan strategis dalam rangka mendorong warga negara

untuk memiliki pengetahuan politik yang memadai, sekaligus kesadaran akan

pentingnya sistem politik yang ideal. Di sisi lain, pendidikan politik juga

memberikan pemahaman pada warga negara bahwa untuk mengubah realitas

politik yang ada menuju suatu sistem politik yang ideal, yang antara lain

ditandai adanya perubahan kebudayaan politik baru.

2.4Politisasi

Politisasi berasal dari kata politik. Secara etimologis, politik berasal dari

kata polis (Bahasa Yunani), yang artinya negara kota. Kemudian diturunkan

(11)

civics) dan politike tehne (kemahiran politik) dan politike episteme (ilmu

politik).

Secara terminologi, politik (politics) dapat diartikan sebagai berikut.

Misalnya, Laswell (1950, dalam Goodin;Klingemann, Dieter, 1966:8)

memberikan pengertian secara klasik (classic formulation) tentang politik yaitu “Politics as who gets what, when and how”. Miriam Budiardjo (1977:8) mengartikan politik yaitu bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem

politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukkan tujuan-tujuan dari

sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.

Pengertian yang lebih komprehensif tentang politik dikemukakan oleh

Ramlan Surbakti, (1922:10-11) yaitu interaksi antara pemerintah dan

masyarakat, dalam rangka proses pembuatandan pelaksanaan keputusan yang

mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yamh tinggal di wilayah

tertentu.

Sedangkan politisasi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

diartikan sebagai hal membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dan sebaginya)

bersifat politis. Juga berarti membuat atau mengupayakan agar sesuatu sesuai

dengan kepentingannya.

2.5Birokrasi

a. Pengertian dan ciri-ciri birokrasi

Max Weber mengajukan definisi birokrasi sebagai suatu badan

administratif tentang pejabat yang diangkat dan sebagai organisasi yang

bersifat rasional, suatu mekanisme sosial yang memaksimumkan efisiensi

dan juga sebagai suatu bentuk organisasi yang memiliki ciri-ciri khas (lihat

Albrow, 1989:8, 229). Lance Catles (Alfian & Nazaruddin Sjamsuddin, [ed.], 1991:228), tentang definisi birokrasi menyatakan “ Birokrasi saya maksudkan sebagai orang – orang yang bergaji yang menjalankan fungsi –

emerintahan. Didalamnya termasuk –erwira tentara dan birokrasi militer.

(12)

birokrasi adalah keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan

tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah dibawah

departemen dan lembaga non departemen, baik di tingkat pusat maupun di

tingkat daerah, seperti provinsi, kabupaten dan kecamatan dan bahkan apda tingkat desa/kelurahan” (Alfian Nazaruddin, 1991:229).

Dengan demikian hakikat birokrasi adalah pejabat pemerintahan

yang diangkat, bergaji, berada dibawah departemen untuk melaksanakan

tugas-tugas negara/pemerintahan.

Weber memberikan ciri-ciri birokrasi.

 Tiap- tiap posisi atau jabatan memiliki bidang komptensi tersendiri yang tugas- tugasnya dibedakan secara tegas dari

jabatan lain.

 Jabatan disusun dalam hierarki, di mana jawbatan yang lebih rendah disupervisi atau diawasi oleh jabatan yang lebih tinggi.

Sementara jabatan yang lebih tinggi bertanggungjawab atas

kinerja dari jabatan yang lebih rendah.

 Kewenangan diberikan hanya untuk tugas- tugas yang bersifat resmi saja. Di luar tugas- tugas resmi ini, seorang bawahan tidak

lagi tunduk pada atasannya. Ada pemisahan secara total antara

kegiatan resmi dan kehidupan pribadi.

 Para pejabat duduk di jabatannya karena diangkat atau ditunjuk dan bukan lewat Pemilu. Mereka duduk di situ berdasarkan

hubungan kontrak antara diri mereka dengan organisasi.

 Para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi objektif. Di mana kualifikasi ini bisa didapatkan para pejabat lewat pelatihan yang

kemudia dibuktikan lewat ujian atau tes, lewat ijazah, dan

sebagainya.

 Para pejabat bekerja demi karir. Mereka dilindungi agar tidak mengalami pemecatan secara sewenang- wenang dan bisa

memegang jabatannya secara permanen. Promosi dilakukan

(13)

 Para pejabat dipisahkan dari sarana administrasi yang mengatur jabatan itu sehingga itu tidak bisa menjadi milik pribadi mereka.

 Kegiatan- kegiatan dalam birokrasi diatur oleh aturan- aturan yang bersifat umum, konsisten, dan abstrak. Karena aturan-

aturan ini harus bersifat umum, maka perlu dilakukan

kategorisasi terhadap berbagai kemungkinan kasus yang bisa

terjadi berdasarkan kriteria yang objektif.

 Tugas- tugas resmi dilakukan secara impersonal tanpa ada kebencian tapi juga tidak ada simpati secara pribadi dari pejabat

yang melaksanakannya.

 Birokrasi seringkali dikepalai oleh orang yang bukan bagian dari birokrasi. Para birokrat menjalankan aturan tapi pimpinan

birokrasi inilah yang membuat aturan- aturan itu. Jika birokrat

selalu diangkat ke jabatan yang didudukinya, maka pimpinan

birokrasi ini biasanya mendapatkan posisi itu karena warisan,

karena ia merebutnya secara paksa atau karena dia dipilih

melalui Pemilu.

Sedangkan La palombara (Alfian & Nazaruddin [ed.], 1991:226)

merangkum ciri-ciri khusus dalam birokrasi dalam lima aspek yaitu:

 Aturan-aturan administratif yang sangat terdeferensisasi dan terspesialisasi

 Rekrutmen atas dasar prestasi (diukur melalui ujian) bukan atas dasar kriteria universalitas bukan atas dasar kriteria

partikularistik;

 Administrator-admnistrator yang merupakan tenaga professional yang digaji dan yang memandang pekerjaan

sebagai karir;

 Pembuatan keputusan administratif dalam konteks hirarki, tanggungjawab serta disiplin yang rasional dan mudah

(14)

Ciri-ciri birokrasi diatas bersifat ideal, karena dalam kenyataan empirik

seiring ditemukan birokrasi yang tidak efisien, tidak rasional, dan bahkan

tidak profeisoal dan tidak netral secara politik.

b. Kategori Birokrasi

Berdasarkan perbedaan tugas pokok yang mendasarinya,

sekurang-kurangnya dapat dibedakan dalam tiga kategori yaitu (alfian &

Nazaruddin, 1991:229):

1. Birokrasi Pemerintahan Umum

Yaitu rangkaian organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-

tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan

keamanan, dari tingkat pusat hingga daerah. Tugas tersebut lebih bersifat “mengatur” (regulative function);

2. Birokrasi pembangunan

Yaitu menjalankan salah satu bidang atau sektor khusus guna

mencaapi tujuan pembangunan, seperti pertanian, kesehatan,

industir, pendidikan dan lain-lain. Fungsi pokoknya adalah

fungsi pembangunan (development function )atau fungsi

adaptasi (adaptive function);

3. Birokrasi Pelayanan

Yaitu unit organisasi yang pada hakikatnya merupakan bagian

atau langsung berhubungan dengan masyarakat. Dalam kategori

ini, dapat disebutkan antara lain : rumah sakit, sekolah, kantor

koperasi, bank rakyat tingkat desa, kantor atau unit pelayanan

sosial dan lainnya.

2.6Politisasi Birokrasi

Politisasi birokrasi berarti membuat agar organisasi birokrasi bekerja dan

berbuat sesuai dengan kepentingan politik yang berkuasa. Politisasi birokrasi

berada didua sisi yang pertama yaitu berasal dari sisi partai politik yang ikut

campur tangan di dalam birokrasi atau dari eksekutif itu sendiri yang mempolitisir

(15)

kepentingan yang sama yaitu melanggengkan atau mempertahankan kekuasaan

mereka.

Dari pemahaman hakikat politik dan birokrasi maka dapat disimpulkan

bahwa politisasi birokrasi merupakan kehidupan serta pelayanan birokrasi yang

ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu oleh orang-orang yang

memiliki jabatan dalam pemerintahan serta di dominasi oleh muatan-muatan

politis oleh para penguasa negara. Hal ini menyebabkan fungsi serta tujuan dari

birokrasi sendiri melenceng dari arah yang semula dikehendaki. Akibat dari

melencengnya fungsi serta tujuan dari birokrasi yaitu pelayanan birokrasi sendiri

tidak lagi menjadi instrumen yang ramah dalam dengan kehidupan masyarakat,

namun justru menjadi ada sekat interaksi terhadap masyarakat sekelilingnya

karena ditumpangi oleh orientasi yang sifatnya politis.

Mengapa para birokrat tingkat tinggi memiliki kekuasaan yang begitu besar

dan bahkan makin terus membesar?

Pertanyaan tersebut dapat terjawab melalui:

1. Semakin besarnya intervensi negara.

Salah satu penjelasan yang diberikan oleh aliran teknokratis tentang

membesarnya kekuasaan birokrasi adalah karena pemerintah modern

melakukan intervensi ke semakin banyak bidang di dalam kehidupan sosial-

ekonomi masyarakat. Semakin besar volume kegiatan yang harus dilakukan

pemerintah mengharuskan adanya pembesaran terhadap ukuran dan

kekuasaan dari badan- badan yang mengelola kegiatan- kegiatan itu, yaitu

birokrasi.

2. Semakin kompleksnya tugas- tugas pemerintah.

Ketika pemerintah harus melakukan semakin banyak intervensi, maka

tugas- tugas dari pemerintah bukan hanya bertambah jumlahnya tapi juga

semakin meningkat kompleksitasnya. Para pengamat aliran teknokratis

berpendapat bahwa kompleksitas yang semakin besar pada tugas- tugas

pemerintah justru akan membuat birokrasi yang menjalankan tugas- tugas

itu menjadi semakin besar kekuasaannya.

(16)

Birokrasi memiliki keahlian yang tidak dimiliki oleh para pemimpin politik,

terutama para menteri karena para pemimpin politik ini tidak memiliki

keterampilan teknis seperti para birokrat. Maka para pemimpin politik ini

menjadi semakin bergantung kepada mereka ketika keputusan uang diambil

semakin kompleks.

4. Informasi

Agar bisa membuat keputusan- keputusan politik, para pemimpin politik

terutama para menteri yang memimpin departemen, akan sangat memrlukan

informasi dari bawahan- bawahan merka di departemen. Karenanya

departemen- departemen ini memiliki peluang untuk memanipulasi

informasi yang mereka berikan sedemikian rupa sehingga mereka bisa

mempengaruhi keptusan yang akan dibuat. Seringkali ini dilakukan dengan

cara menyeleksi informasi yang akan disampaikan, menunda pelepasan

informasi, mengedit informasi, dan bahkan mendistorsi sedemikian rupa

agar bisa selaras dengan kebijakan yang diinginkan para birokrta.

5. Waktu dan jumlah.

Para politisi yang diangkat lewat Pemilu memiliki sumberdaya yang kecil

dari segi waktu dan jumlah orangnya jika dibandingkan dengan mesin

raksasa dari birokrasi yang seharusnya menurut formalitasnya adalah

bawahan mereka. Karenanya para politisi tidak dapat memberikan perhatian

sepenuhnya terhadap masalah- masalah yang sudah dihadapi dan ditangani

para birokrat selama bertahun- tahun.

6. Minat

Para politisi yang diangkat melalui Pemilu atau para menteri tidak selalu

tertarik atau berminat untuk mengendalikan departemen mereka dalam

segala hal. Mereka cenderung untuk memiliki satu dua kebijakan tertentu

yang ingin mereka jalankan tetapi sebagian besar kebijakan lain tidak hanya

tidak mereka sadari tapi bahkan seandainya mereka sadari pun tidak

menarik minat mereka untuk memperhatikannya.

(17)

Karena semakin kompleksnya urusan negara dan kurangnya keterampilan

teknis serta semakin mendesaknya kebutuhan untuk membuat keputusan

secara cepat membuat parlemen semakin lam semakin tergeser dari kegiatan

perundang- undangan secara terinci dan lebih banyak mengurusi

perundangan dalam artian umum.

8. Pergantian menteri yang terlalu cepat.

Pengaruh dari birokrat seringkali terbentuk karena adanya kelemahan dari

para politisi yang berurusan dengan mereka. Kelemahan ini dapat terjadi

antara lain karena orang yang menduduki posisi menteri terus- menerus

diganti secara teratur, sementara para pegawai negeri menduduki jabatan

mereka secara permanen. Ini berarti bahwa para menteri akan selalu kalah

dari birokrasi dalam hal pengalaman masa lalu maupun kemungkinan masa

depan. Karena para menteri selalu datang dan pergi, maka para birokrat

adalah satu- satunya pihak yang dapat membuat dan melaksanakan rencana

(18)

BAB 3

PEMBAHASAN

3.1Peran Pendidikan Politik

Pendidikan politik berfungsi untuk memberikan isi dan arah serta pengertian

kepada proses penghayatan nilai- nilai yang sedang berlangsung. Ini berarti

bahwa pendidikan politik menekankan kepada usaha pemahaman tentang nilai-

nilai yang etis normatif, yaitu dengan menanamkan nilai- nilai dan norma- norma

yang merupakan landasan dan motivasi bangsa Indonesia serta dasra untuk

membina dan mengembangkan diri guna ikut sera berpartisipasi dalam

kehidupan pembangunan bangsa dan negara (Sumantri, 2003:3).

Kemudian pendidikan politik secara alamiah bertujuan untuk memberikan

pengetahuan dan pemahaman serta kemampuan untuk bertanggungjawab

sebagai warga negara. Selain itu, memberikan pemahaman mengenai

pengetahuan politik sehingga warga negara berpartisipasi dalam sistem politik

yang sedang berjalan. Pelaksanaan pendidikan politik harus dilaksanakan secara

sistematis untuk menumbuhkan iklim demokratis dalam kehidupan berbagsa dan

bernegara.

Kedudukan dan pelaksanaan pendidikan politik dikemukakan oleh Affandi

(1996: 6) sebagai berikut:

Pendidikan politik tidak saja akan menentukan efektivitas sebuah sistem politik

karena mampu melibatkan warganya, tetapi juga memberikan corak pada

kehidupan bangsa di waktu yang akan datang melalui upaya penerusan nilai-

nilai politik yang dianggap relevan dengan pandangan hidup bangsa yang

bersangkutan.

Pendidikan politik bisa dianggap sebagai proses pembelajaran dan

pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika dikaitkan dengan partai politik,

pendidikan politik bisa diartika sebagai usaha sadar dan tersistematis dalam

(19)

politik tersebut kepada massanya agar mereka sadar akan peran dan fungsi, serta

hak dan kewajibannya sebagai manusia atau warganegara.

Dari penjelasan tersebut, pendidikan politik memegang peranan yang sangat

vital untuk mencapai kehidupan bangsa yang demokratis. Dengan pendidikan

politik dibentuk dan dikembangkan warga negara agar memiliki kesadaran

politik dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan politik

ditinjau dari sudut proses merupakan upaya pewarisan nilai- nilai budaya

bangsa, proses peningkatan dan pengembangan kesadaran akan hak dan

kewajiban warga negara.

3.2Politisasi Birokrasi di Indonesia

Birokrasi yang ada di Indonesia memiliki “cerita” dalam melaksanakan tugasnya. Birokrasi Indonesia yang tak hanya berada di pusat pemerintahan, di

daerah-daerah memiliki sistem yang berbeda- beda pula. Karena mereka memiliki

kebutuhan yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya di Indonesia.

Birokrasi yang kental dengan aspek politis inilah yang menajadikan adanya

istilah politisasi birokrasi. Secara singkat politisasi yang dimaksudkan adalah cara

para elit dan penguasa mempertahankan kekuasaannya dengan mendompleng

pada instrumen birokrasi negara. Ketika mereka ingin mendapatkan pelayanan

administratif mereka menggerakkan kekuasaan mereka untuk mengintimidasi

para birokrat sehingga mau melayani kepentingan para pejabat tersebut. Bahkan,

terkadang ada ancaman-ancaman yang diberikan kepada para birokrat jika mereka

tidak memeberikan pelayanan administratif sesuai dengan yang pejabat inginkan.

Sering juga dijumpai adanya pelicin yang diberikan kepada para birokrat dalam

bentuk materi atau hadiah tertentu agar para birokrat ini mampu dan lebih

bersemangat dalam menjalakan pelayanan administratif sesuai dengan

kepentingan pejabat tersebut.

Dan kita ketahui bahwasanya orientasi atau kecenderungan sikap birokrasi

terhadap masyarakat dapat dibedakan menjadi orientasi pelayanan (service

(20)

orang-orang yang berhubungan dengannya berupa sikap pelayanan professional yang

bertujuan menjamin kepuasaan pihak yang dilayani. Dan yang kedua orientasi

pengendalian sosial yang lebih menekankan pengendalian atau pengawasan

karena hal yang penting dalam orientasi ini, adalah menjalankan suatu peraturan atau regulasi guna memelihara ketertiban masyarakat. Sebagai “abdi negara” birokrasi Indonesia lebih berorientasi sebagai “pengatur” . Sedangkan sebagai abdi masyarakat , birokrasi menjadi sebagai pelayan, fasilitator serta membantu

dan mempermudah masyarakat dan warga negara dalam urusan atau kepentingan

mereka dengan pemerintah.

Berdasarkan sejarah yang telah dialami negara Indonesia, dapat

digambarkan tipe politisasi birokrasi di Indonesia, yaitu :

1. Politisasi secara terbuka, dikatakan terbuka karena ada upaya yang

dilakukan secara langsung tidak ada hal yang ditutupi-tutupi. Tipe politisasi

secara terbuka ini berlangsung pada periode Demokrasi Parlementer

(1950-1959), di mana pada masa ini, para pemimpin partai politik (parpol)

bersaing untuk memperebutkan posisi menteri yang langsung memimpin

sebuah kementerian. Setelah menduduki kursi menteri, maka sang menteri

akan berusaha sekuat tenaga memperlihatkan kepemimpinannya dan

kebijakan yang ditempuhnya sehingga para pegawai di kementerian tersebut

tertarik untuk masuk dan menjadi anggota ke dalam partai sang menteri.

Dengan kondisi seperti itu maka akhirnya didapati beberapa kementerian

menjadi basis atau didominasi oleh suatu partai politik seperti misalnya

yang jelas terlihat adalah Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian

Pertanian didominasi oleh PNI, Kementerian Agama didominasi secara

bergantian oleh NU atau Masyumi, Kementerian Luar Negeri didominasi

secara bergantian oleh PSI dan PNI.

Jika kita melihat dari pendekatan behavior di sini politik dan kebijakan

publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau masa, dan

pemerintahan sebagai institusi yang hanya mencerminkan massa itu. Kita

bisa melihat menggunakan pendekatan behavior di dalam tipe politisasi

birokrasi secara terbuka ini di mana sistem pemerintahan yang ada pada

(21)

yang telah disebutkan di atas. Dalam hal ini kita akan melihat pola

pemberian suara (pro atau kontra) terhadap Undang-Undang. Dalam hal ini

bahwasanaya birokrasi melihat dan menghasilkan kebijakan publik ini

kearah mana.

2. Politisasi secara tertutup. Politisasi tipe ini berlangsung pada masa Orde

Baru. Pada masa mulai dari tingkat pusat (Presiden Soeharto) sampai ke

tingkat Desa atau kelurahan (lurah/kepala desa) semuanya diwajibkan untuk

menjadi anggota yang sekaligus pembina Golkar. Memang terdapat dua

buah partai lagi, yaitu PPP dan PDI, akan tetapi sejak mulai diterima

menjadi pegawai negeri setiap orang sudah dihadang untuk membuat

pernyataan tertulis di atas kertas yang bermaterai. Di atas kertas tersebut

dinyatakan bahwa calon pegawai tersebut tidak akan masuk menjadi

anggota parpol. Secara umum pernyataan tertulis itu memberikan kesan

bahwa pernyataan itu berlaku bagi Golkar, PPP, dan PDI. Tetapi di dalam

realitasnya para calon pegawai itu digiring masuk ke Golkar karena Golkar

tidak pernah menyatakan dirinya sebagai parpol. Tegasnya pernyataan

tertulis tersebut dipergunakan untuk menghindari keharusan akan adanya

larangan tertulis bagi para calon pegawai negeri masuk ke PPP dan PDI.

Kepada kedua partai tersebut dapat diajukan bukti, justru pegawai negeri

sendiri yang tidak menginginkan masuk parpol. Dapat pula ditambahkan,

semua jabatan di bawah menteri yang antara lain jabatan bagi birokrat karier

dijadikan jabatan politik. Akibatnya karier birokrat tersumbat karena tidak

tersedia jalan bagi para birokrat untuk melakukan mobilitas vertikal menuju

posisi-posisi puncak kariernya. Kondisi tersebut dipertajam dengan

mekanisme rekruitmen pegawai negeri yang dilakukan secara terbuka dan

besar-besaran mendekati waktu pemilihan umum (pemilu).

Dapat kita lihat melalui pendekatan kekuasaan di mana birokrasi

pada masa pemerintahan Soeharto ini cara-cara untuk memperoleh dan

mempertahankan kekuasaan sangat kental. Di mana untuk mempertahankan

(22)

kekuasaanya pada jabatan sebagai seorang presiden. Selain itu pula ia “mengatur” segala macam bentuk kebijakan yang walaupun tidak terlihat namun secara empiriknya kebijakan tersebut hanya sebagai “alat” untuk

melanggengkan kekuasaannya di Indonesia. Seperti terlihat pada seluruh

lapisan masyarakat yang akan mendaftar sebagai calon pegawai negeri

harus berjanji bahwasanya ia masuk di dalam partai Golkar, walaupun

sebenarnya ia tidak terlibat ataupun masuk di dalam partai manapun. Atau

yang lebih kerasa lagi di mana pers diambil alih atau diintervensi oleh

pemerintahan di era orde baru ini. Di mana apabila ada peristiwa yang akan

dipublikasikan menjadi berita jika pihak dari pemerintahan era Soeharto ini tidak setuju karena “kepentinganya” maka berita itu tidak akan dipublish ke seluruh lapisan masyarakat.

Hal ini jelas bahwa Ia sangat memanfaatkan kekuasaanya demi

kepentingannya untuk bertahan, langgeng di singgasana kepresidenan pada

masa orde baru.

Meskipun diakui bahwa penerapan kebijakan monoloyalitas

birokrasi pada masa orde baru ikut membantu menciptakan stabilitas dan

kemampuan umum pemerintah yang memungkinkan pemerintah didukung

birokrasi melakukan pembangunan di berbagai bidang tetapi kinerja

birokrasi hanya menguntungkan penguasa dan bukan rakyat. Hal ini

berbeda dengan era orde lama yang sangat sulit melakukan pembangunan

karena anggota birokrasi terpecah belah ke dalam berbagai afiliasi politik

(partai-partai politik berbasis Nasakom).

Fenomena-Fenomena Politisasi Birokrasi

1. Mempolitisir fasilitas negara

Politisasi birokrasi berupa penggunaan fasilitas negara sangat bisa

dilihat menjelang pemilihan umum. Meskipun tentang netralitas

birokrasi telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1999 yang

menyatakan bahwa “Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam

menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan tidak

(23)

kepada masyarakat, tetapi bagi seorang calon kepala daerah yang

incumbent, sangat sulit untuk mematuhinya. Karena dia berada pada

posisi memiliki segalanya, jabatan, uang, dan kekuasaan. Seperti kata

Lord Acton : power tend to corrupt. Siapapun yang memiliki kekuasaan

cenderung korup.

Beberapa hasil penelitian melaporkan adanya fasilitas negara yang

turut dipakai pada saat proses rapat-rapat konsolidasi, lobi politik

dengan partai politik lain, dan kampanye (mobilisasi massa). Fasilitas

negara yang biasanya dimanfaatkan adalah mobil dinas, pakaian dinas,

dan ruang-ruang rapat (gedung-gedung) milik negara. Penggunaan

fasilitas negara ini bisa dilakukan oleh birokrat-birokrat yang sedang

menjalani proses politik (pemilu). Dapat dilihat bahwa mereka

menggunakan fasilitas negara demi kepentingan mereka atau golongan

mereka saja. Tanpa mempedulikan bahwa fasilitas itu diberikan dari

uang rakyat yang berupa pajak yang telah mereka bayar pada

pemerintah.

Seharusnya fasilitas tersebut digunakan untuk kepentingan umum.

Sebenarnya bahwa fasilitas tersebut juga diperuntukkan untuk birokrat

namun dalam hal untuk sebagai sarana membuat kebijakan publik atau

menjalankan sistem pemerintahan yang pas, sesuai dengan kondisi yang

ada di Indonesia pada masanya. Sehingga penyalahan penggunaan

fasilitas negara ini, tidak sesuai karena mereka menggunakanya guna

kepentingan mereka agar bisa melanggengkan, mempertahankan

kekuasaan yang telah mereka peroleh di pemerintahan.

2. Memobilisasi pegawai negeri pada saat pemilu dan pilkada

Politisasi birokrasi melalui mobilisasi (pengerahan) PNS pada saat

pilkada, berarti sekali lagi berbicara tentang netralitas birokrasi.

Beberapa upaya untuk menetralkan birokrasi sebenarnya pernah

(24)

159) mengatakan bahwa netralitas birokrasi di era reformasi sudah

banyak berkembang. Hal ini bermula ketika eksistensi organisasi

KORPRI digugat oleh

beberapa pihak, misalnya gugatan yang datang dari UI dan desakan

untuk membubarkan KORPRI atau bersikap netral dalam setiap proses

politik.

Meskipun saat itu masih ada juga beda pendapat tentang keharusan

pegawai negeri untuk netral dan tidak menjadi pengurus partai politik

atau menganggap bahwa berpolitik itu adalah hak azasi setiap manusia.

Pada kenyataannya, pendapat kedualah yang masih dilestarikan.

Sehingga kenetralan pegawai negeri dalam proses politik jauh panggang

dari api. Dalam setiap pemilu, suara pegawai negeri menjadi salah satu

modal yang menjanjikan. Pemanfaatan suara pegawai negeri ini jelas

sangat mudah bagi kandidat incumbent. Dengan iming-iming janji akan

diberi jabatan atau perintah untuk mendukung atasannya, mobilisasi

pegawai negeri pada saat pemilu dan pilkada sangat banyak terjadi baik

proses pemilihan di tingkat kabupaten/kota, propinsi, dan juga pusat.

3. Adanya Kompensasi Jabatan

Kompensasi jabatan ini banyak terjadi dan mudah dilihat di tingkat

pusat. Pasca gerakan reformasi 1998, terjadi kecenderungan intervensi

politisi terhadap berbagai kebiajkan birokrasi. Muncul fenomena

masuknya aktor-aktor politik baru ke dalam sistem pemerintahan.

Contoh yang paling baru adalah adanya koalisi dalam kabinet Indonesia

Bersatu Jilid II, di mana di situ terlihat partai-partai yang bersedia

berkoalisi dengan Partai Demokrat mendapatkan jatah kursi di kabinet.

Jumlah kursi yang didapat sesuai dengan jumlah suara yang

diperoleh saat pemilihan legislatif, tetapi disertai juga dengan politik

tawar menawar. Di daerah jabatan-jabatan strategis (sekda, kepala biro,

kepala dinas, kepala kantor, kepala badan) menjadi ajang lobi politik

antara partai pemenang dengan partai-partai lainnya. Dampak yang

(25)

adalah terganggunya kinerja birokrasi yang seharusnya memegang

teguh merit sistem (POLITIKA, Vol. I, No. 1, April 2010 73) (berdasar

profesionalisme). Karena sebenarnya banyak birokrat yang profesional,

tetapi kalah dengan birokrat lain yang punya dukungan dari partai-partai

politik. Hal ini juga masih berlangsung hingga sekarang di mana ada

pihak yang mendukung dengan pemerintahan sekarpang dan beropossisi

dengan pihak pemerintahan. Terkadang pula mereka berada di pihak

pemerintahan guna bisa duduk di kursi singgahsana di pemerintahan.

4. Mempolitisir Rekruitment Pegawai Negeri baru

Selain kompensasi jabatan, deal-deal yang terjadi antara penguasa

dan partai-partai koalisi adalah pemberian jatah pada saat pemerintah

pusat atau pemerintah daerah akan mengadakan rekruitmen pegawai

negeri baru. Seperti diketahui, meskipun sudah banyak orang tahu

bahwa menjadi pegawai negeri itu gajinya kecil, tetapi adanya rasa aman

dan tenteram karena tiap bulan sudah pasti dapat gaji (kepastian) adalah

salah satu faktor utama kenapa rakyat Indonesia masih sangat banyak

yang bercita-cita menjadi pegawai negeri. Dan pembagian jatah itu jelas

terlihat karena untuk menjadi pegawai negeri harus ada yang ”membawa”.

Dan salah satu pihak yang bisa ”membawa” adalah (atas nama)

partai-partai politik. Selain itu pula kita ketahui kasus yang pernah

marak di Indonesia mengenai politik dinasti, d imana kita kenal Ratu

Atut Chosiyah yang dahulu menjabat sebagai gubernur Banten

menjadikan hampir seluruh anggota keluarganya duduk di jabatan

pemerintahan wilayah tersebut. Keberadaan calon daerah yang memiliki

hubungan kekerabatan ini dijuluki sejumlah pihak sebagai politik

dinasti. Namun apakah itu imbas dari demokrasi? Menanggapi

hubungan kekerabatan dalam politik Banten, Ratu Tatu Chasanah

menyebut hal itu telah dipatahkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi

(26)

tentang perubahan UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Pasal tersebut mensyaratkan bahwa calon kepala daerah tidak

memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Dalam penjelasan, yang dimaksud sebagai “Konflik Kepentingan” adalah sang calon berhubungan darah, hingga ipar dan menantu dengan pemimpin daerah

misal bupati atau gubernur.

“Kalau terlihat keluarga saya mendominasi, itu akibat dari demokrasi. Semua punya hak, semua punya peluang. Sebetulnya ketika peluang itu

diberikan sebetulnya tidak secara otomatis keluarga saya bisa memenangkanya.” katanya.

Namun jika kita melihat hal tersebut itu bisa juga dibilang menutup

demokrasi bukan dampak dari demokrasi. Kekuasaan oligarki politik di

provinsi Banten itu, justru menutup ruang demokrasi. Ruang demokrasi

justru menjadi tertutup justru di instrumen demokrasi itu sendiri. Kalau

kita telusuri sejak pilkada tahun 2005 sampai sekarang, sesungguhnya

kekuaasaan berpindah di antara mereka saja. Dan benar-benar menutup

ruang untuk masyarakat sipil. Menurut saya sendiri praktik politik

kekerabatan seperti yang terjadi di wilayah provinsi Banten sangat

merugikan rakyat. Politik telah dimonopoli dan pilihan rakyat sangat

terbatas.

5. Adanya Komersialisasi Jabatan

Komersialisasi jabatan dalam praktek politisasi birokrasi bisa

dijelaskan sebagai berikut :

Pertama, bahwa seorang birokrat di satu sisi, untuk memperoleh

kesempatan mengikuti pendidikan, pelatihan, dan kenaikan pangkat

membutuhkan biaya yang cukup besar. Di sisi yang lain harus merogoh

koceknya kembali untuk mendapatkan suatu posisi dalam jenjang

karirnya. Oleh karena itu, seorang birokrat harus melakukan

komersialisasi jabatan untuk mengembalikan modal yang telah

(27)

jabatan baru. Dampak yang muncul adalah seorang birokrat bukannya

berusaha mempraktikkan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh

dalam pendidikan dan pelatihan tetapi melakukan usaha politisasi untuk

memperoleh perlindungan (pengamanan) atas posisi jabatannya agar

tidak tergeser oleh pihak lain.

Dalam pendekatan moral sebenarnya hal ini tidak diperbolehkan.

Karena di sini, di dalam pendekatan ini politik dianggap sebagai sesuatu

yang mulia, karena politik merupakan kegiatan untuk mendiskusikan

dan merumuskan “good society” atau “the best regime” misalnya

dengan kegiatan ini, kemudian muncul pemikiran tentang pemerintahan

yang bersih dan melayani publik. Dalam hal ini maka sesungguhnya

birokrat di sini tidak hanya mengambil sebuah keuntungan berupa

materi saja, dan juga ia berkerja di dalam birokrasi pemerintahan bukan hanya sebagai “timbal balik” materi yang telah ia keluarkan dan ia bekerja di dalam suatu institusi untuk mengganti materi yang telah ia

kelaurkan. Ia seharusnya memberikan ilmu yang telah ia dapatkan

semasa pelatihan maupun pendidikan untuk masyarakat.

Kedua, pada umumnya seperti yang diketahui banyak orang bahwa

motivasi para birokrat untuk mengikuti pendidikan dan latihan bukan

untuk menguasai keahlian yang profesional tetapi hanya untuk

memenuhi syarat formal guna memperoleh kenaikan pangkat dan

jabatan. Politisasi dipandang sebagai sebuah alternatif untuk melicinkan

jalan menuju jabatan tersebut. Jadi meskipun sudah diselenggarakan

pendidikan dan pelatihan secara profesional tetapi begitu mulai

melaksanakan pekerjaannya para birokrat tadi kembali menempuh

langkah-langkah politisasi untuk mengamankan posisi jabatannya.

Hal ini memang sering kita jumpai. Dikarenakan banyak orang yang

salah faham akan hal ini, pendidikan di sini memang untuk menyiapkan

mereka di lapangan kerja nanti, namun sebenarnya di sini pendidikan

memiliki peran yang lebih penting daripada itu yaitu memanusiakan

(28)

bagaimana ia menjalankannya dan mengapa ia menjalankanya serta

untuk siapa pula ia menjalankannya.

6. Pencopotan Jabatan Karir (Sekretaris Daerah/Sekda) karena alasan

politis

Ketika jabatan-jabatan di tingkat daerah dipilih (promosi) bukan

berdasarkan merit sistem tetapi karena politisasi birokrasi, maka yang

terjadi adalah pencopotan (depromosi) pun juga karena proses politisasi

birokrasi. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian dari Sjahrazad Masdar dalam disertasi berjudul ”Intervensi Politisi Terhadap Birokrasi (Studi Tentang Pengaruh Politisi Terhadap Kebijakan Promosi dan Depromosi Birokrat Di Kota Surabaya dan Kabupaten Situbondo)”, yang memperlihatkan fenomena umum bahwa proses pengangkatan dan

pemberhentian Sekretaris Daerah menunjukkan adanya pola relasi yang

interventif.

Kasus di Surabaya menunjukkan pola pemberhentian sekda yang

dilakukan oleh kepala daerah merupakan proses yang penuh dengan

muatan politis, khususnya untuk melanggengkan kekuasaan kepala

daerah itu sendiri. Sedangkan yang terjadi di Kabupaten Situbondo,

ketika sekda tidak bersedia mengakomodir keinginan- keinginan

kelompok mayoritas, berbagai usaha dilakukan untuk menggeser sekda

(POLITIKA, Vol. I, No. 1, April 2010 74 ) dari jabatannya. Meskipun

kepala daerah pada prinsipnya tidak menyetujui desakan pemberhentian

karena alasan-alasan obyektif dan rasional, namun akhirnya sekda tetap

saja diberhentikan karena kuatnya desakan dari aktor-aktor di luar

birokrasi.

3.3 Upaya Menanggulangi Politisasi Birokrasi

Setelah diamati dan dianalisa secara seksama, politisasi birokrasi sangat

banyak dampak negatifnya daripada dampak positif nya. Politisasi birokrasi

(29)

mengembalikan fungsi utama birokrasi sebagai aktor pelayanan publik birokrasi

hendaknya memulai langkah maju dengan menghilangkan jejak politisasi sejauh

mungkin. Ada 3 hal yang berkenaan dengan upaya penghilangan jejak politisasi

birokrasi[3], Pertama birokrasi harus steril dari orang-orang dekat partai politik

tertentu karena prinsip birokrasi yang memaksimumkan efisiensi administratif

maka birokrasi harus steril dari dari kepentingan parpol tertentu. Kedua birokrasi

harus mengedepankan prinsip meritrokrasi dalam hal rekrutmen anggotanya.

Artinya mengingat kebutuhan masyarakat akan pelayanan semakin meningkat

maka kaharusan aparat birokrasi yang ahli di bidangnya serta memiliki kecakapan

dalam bekerja. Ketiga, birokrasi harus semakin terpacu dibandingkan masyarakat

yang dilayaninya. Hal ini berhubungan dengan reformasi birokrasi yang harusnya

dijalankan di Indonesia.

Cara lain untuk memberantas politisasi birokrasi adalah dengan mencanangakan

netralitas birokrasi. Gerakan netralitas birokrasi ini merupakan upaya sinergi

saling dukung yang dilakukan oleh beberapa pihak dalam Negara dan masyarakat

yang menginginkan terbentuknya suatu keadaan politik yang lebih adil dan

demokratis, dikaitkan dengan konsep politisasi birokrasi. Di mana birokrasi tidak

boleh memihak kepentingan aktor politik dalam mempertarungkan kekuatan

politik dalam pemilihan umum. Karena PNS belum diposisikan dalam fungsi dan

tugas yang sesuai dengan perannya, yakni mengurus kepentingan negara secara

profesional dan tidak diskriminatif dalam politis.

3.4Peran Pendidikan Politik untuk Menghadapi Politisasi Birokrasi dalam Era

Reformasi di Indonesia

Pendidikan politik berguna untuk membuat masyarakat “melek politik”. Dengan pendidikan politik ini diharapkan masyarakat mampu untuk menjadi agen

perubahan dalam menghadapi politisasi birokrasi. Pemahaman masyarakat hingga

saat ini masih banyak yang beranggapan bahwa sistem politik itu bukan urusan

mereka melainkan urusan pemerintah, sehingga praktek politisasi birokrasi masih

terus berlangsung hingga saat ini. Pengembangan pendidikan politik masyarakat

(30)

memantapkan kesadaran politik kenegaraan, guna menunjang kelestarian pancasila

dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa. Kurikulum pendidikan politik oleh

Robert Brownhill terdapat beberapa pertimbangan sebagai berikut.

1. Sebuah dasar etika harus dibangun, yang temasuk juga menghormati yang lain,

toleransi, dan suatu pemahaman terhadap prinsip memperlakukan oranglain

kepada diri sendiri.

2. Sebuah pertimbangn tentang bagaiman peraturan dapat diganti dan tentang

bagaimana menyelesaikan masalah pada umumnya. Pada bagian ini perlu

diperhatikan hal- hal berikut.

a. Sifat dari argumen rasional: argumen deduktif dan induktif, bentuk

dialektika dari argumen politik.

b. Argumen persuasif, menggunakan istilah emosi, definisi persuasif,

mempergunakan bukti dengan baik, pemikiran keliru yang logis, dan

retorik.

c. Tekanan, menggunakan ancaman, penawaran, argumen tentang

kemanfaatan, pembentukan kepentingan kelompok, tekanan hierarkhi

(bagaimana untuk menggunakan hierakhi dalam suatu organisasi yang

bertujuan untuk meletakkan tekanan pada anggota tertentu dari organisasi

tersebut).

d. Keahlian politik secara umum, kampanye politik, bagaimana untuk

mendapatkan dukungan, bagaimana untuk melatih dan membangun

pengaruh, kebutuhan untuk mengembangkan pemahaman akan fungsi dan

pemimpin pertemuan.

e. Keahlian berkomunikasi, mempresentasikan argumen secara lisan dan

tulisan, berpidato, seni dalam berdebat, teknik persuasif.

3. Sifat peraturan dan otoritas

a. Keperluan akan aturan.

b. Hubungan aturan kekuasaan dan otoritas.

c. Ide dari aturan legitimasi dan otoritas, otoritas de facto dan de jure.

d. Perbedaan jenis peraturan.

e. Bagaimana untuk mengubah peraturan.

(31)

a. Hubungan moralitas dan hukum.

b. Nurani individu dan konsep otoritas yang berkuasa.

5. Suatu pemahaman dari beberapa konsep dasar politik, misalanya kebebasan,

kesetaraan, keadilan, kekuasaan hukum, dan beberapa argumen yang

berhubunan dengan konsep ini.

6. Suatu pemahaman tentang struktur dasar dari pemerintahan pusat dan daerah.

7. Beberapa pemahaman dari berjalannya ekonomi nasional dan internasional.

8. Beberapa pengetahuan tentang negara Inggris baru- baru ini dan sejarah

internasional.

9. Menganalisis sendiri.

Pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa melalui kegiatan pendidikan

politik diharapkan terbentuk warga negara yang berkepribadian utuh,

berketemrapilan, sekaligus juga berkesadaran yang tinggi sebagai warga negara

yang baik, sadar akan hak dan kewajiban serta memiliki rasa tanggungjawab yang

dilandasi oleh nilai- nilai yang berlaku dalam kehidupan berbansa dan bernegara.

Melalui kurikulum pendidikan politik di atas masyarakat dibentuk agar mampu

menghadapi politisasi birokrasi di era reformasi ini. Bukan hanya sebagai individu

atau kelompok yang menolak politisasi birokrasi, namun juga sebagai individu dan

kelompok yang ikut bertanggungjawab untuk menghapuskan politisasi birokrasi

dalam era reformasi di Indonesia.

Pendidikan politik yang berkesinambungan sangat diperlukan mengingat

masalah- masalah di bidang politik khususnya politisasi birokrasi menjadi sangat

kompleks dan dinamis. Pendidikan politik bagi generasi muda sejak dini amatlah

(32)

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Birokrasi yang kental dengan aspek politis inilah yang menjadikan adanya

istilah politisasi birokrasi. Secara singkat politisasi yang dimaksudkan adalah cara

para elit dan penguasa mempertahankan kekuasaan nya dengan mendompleng pada

instrumen birokrasi negara. Ketika mereka ingin mendapatkan pelayanan

administratif mereka menggerakkan kekuasaan mereka untuk mengintimidasi para

birokrat sehingga mau melayani kepentingan para pejabat tersebut. Bahkan,

terkadang ada ancaman-ancaman yang diberikan kepada para birokrat jika mereka

tidak memeberikan pelayanan administratif sesuai dengan yang pejabat inginkan.

Sering juga dijumpai adanya pelicin yang diberikan kepada para birokrat dalam

bentuk materi atau hadiah tertentu agar para birokrat ini mampu dan lebih

bersemangat dalam menjalakan pelayanan administratif sesuai dengan kepentingan

pejabat tersebut.

Oleh karenanya adanya upaya untuk menanggulangi politisasi birokrasi

yang tengah terjadi di negara Indonesia ini perlu diterapkan dan dilaksanakan dalam

sistem pemerintahan. Indonesia. Hal ini berguna agar tidak terjadi politisasi

birokrasi di mana sangat identik dengan kepentingan pribadi atau suatu kelompok,

golongan saja. Adapun caranya dengan mencanangkan netralitas birokrasi itu.

Gerakan netralitas birokrasi ini merupakan upaya sinergi saling dukung yang

dilakukan oleh beberapa pihak dalam sistem pemerintahan maupun suatu lembaga,

(33)

Melalui pendidikan politik masyarakat khususnya para mereka yang

nantinya akan menduduki jabatan di birokrasi, mereka dibentuk agar mampu

menghadapi politisasi birokrasi dalam era reformasi ini. Bukan hanya sebagai

individu atau kelompok yang menolak politisasi birokrasi, namun juga sebagai

individu dan kelompok yang menghapuskan politisasi birokrasi dalam era reformasi

(34)

Daftar Pustaka

Affandi. (1996). Kepeloporan OKP dalam Pendidikan Politik. Bandung: IKIP.

Ahmadi, & Uhbiyati. (2007). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Rineka Cipta.

Arif, S. (2004). Birokrasi dalam Polemik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budiarjo, M. (2008). Dasar- Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: Ombak.

Chalid, P. (2005). Jurnal Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik.

Kemitraan.

Cholisin. (2000). Materi Pokok Ilmu Kewarganegaraan. Jakarta: Universitas

Terbuka.

Cholisin, & Nasiwan. (2012). Dasar- Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: Ombak.

Etzioni, E. (2011). Birokrasi dan Demokrasi. Yogyakarta: Total Media.

Hardiansyah. (2011). Kualitas Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gava Media.

Harrison, L. (2009). Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Khusandajani. (2010). Politika Jurnal Ilmu Politik.

Nasiwan. (2005). Model Pendidikan Politik: Studi Kasus PKS DPD Sleman,

Yogyakarta. 463.

Nurcholish, M. (2004). Indonesia Kita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Nurhasannah, L. (t.thn.). Jurnal Demokrasi dan Budaya Politik Lokal di Jawa

Timur.

Rais, A. (Suksesi dan Keajaiban Kekuasaan). 1999. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Siswoyo, D. (2015). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Sumantri. (2003). Pendidikan Politik. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas

(35)

Surbakti, R. (2010). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasmara

Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

(1) Berdasarkan nota kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (1), TAPD menyiapkan rancangan Surat Edaran Bupati perihal Pedoman Penyusunan RKA-

Intelegensi siswa dan program remedial teaching mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Fiqih kelas VI di MI

Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya intensitas dan perkembangan penyakit yang terjadi pada eceng gondok yang terpapar pada suhu tinggi segera setelah

Simulasi Ansys Worksbench 14,5 Simulasi yang dilakukan di Ansys Workbench untuk mengetahui penyebaran nilai kalor dengan perbedaan waktu, total Heat Flux di dapat

Metode bagian adalah pendekatan mengajar yang efektif untuk memudahkan siswa memahami suatu gerakan teknik dasar dengan cara memilah – milah sehingga menjadi

Hipertermi adalah sebagai mekanisme pertahanan tubuh (respon imun) terhadap in*eksi atau =at asing yang masuk ke dalam tubuhnya.. 5ila ada in*eksi atau =at asing masuk ke tubuh

Hal yang paling menarik yaitu semua domestikasi ayam (domestic fowl) mempunyai jumlah salinan yang sama dengan G. Domestikasi ayam dapat dikatakan ada- lah keturunan dari G.

Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor angkutan umum orang yang tidak berhenti selain ditempat yang telah ditentukan, mengetem, menurunkan penumpang