Walker, W.F,Jr. 1993. Functional Anatomy of The Vertebrates. CBS College Publishing. United States America....hal
Wartzok, D. and D. R. Ketten, 1999.Marine mammal sensory systems. Biology of marine mammals, 1:117-175.
Watkins, W, A. and D. Wartzok,.1985 Sensory biophysics of marine mammals.Mar. Mam. Sci. 1(3): 219–260.
Winn, H.E. 1991. Acoustic Discrimination By The Road FishWith Comments OnSignal System. P 361 – 381. In Howard E. Winn. Dan Bori J. Olla. (ed)Behavior of Marine
Animals Vol 2: Vertebrates. Plenum Press. Newyork.
Wulandari, P. D., Pujiyati, S., Hestirianoto, T., & Lubis, M. Z. 2016. Bioacoustic Characteristic Click Sound and Behaviour of Male Dolphins Bottle Nose (Tursiops aduncus). Journal of Fisheries & Livestock Production, 2016.
Urick, R,J. 1975. Principles of Underwater Sound. Kingsport Press, 384 pp.
Zimmer, W. M. 2011. Passive acoustic monitoring of cetaceans.Cambridge University Press.
KATA PENGANTAR
Uji toksisitas dengan menggunakan organisme perairan, telah digunakan selama puluhan tahun untuk mengkaji resiko bahan kimia di lingkungan perairan dan menjadi dasar untuk pengembangan kriteria kualitas air. Sdr. Triyoni Purbonegoro mengawali Oseana Volume XLI Nomor 2 Tahun 2016, dengan tulisan berjudul “ Penggunaan Toksikan Rujukan (Reference Toxicants) dalam Uji Toksisitas Perairan”. Artikel ini memberikan informasi mengenai kriteria dan prosedur penggunaan beberapa toksikan rujukan dalam uji toksisitas perairan secara lebih rinci. Sdri. Rany Dwimayasanti dalam artikel kedua, memaparkan tentang “Pemanfaatan Karagenan sebagai Edible Film”. Tulisan ini memberikan gambaran tentang pemanfaatan karagenan menjadi edible film sebagai alternatif kemasan yang baik untuk meningkatkan daya tahan dan kualitas bahan pangan selama penyimpanan. Dengan penambahan jumlah karagenan tersebut maka dapat meningkatkan nilai ketebalan, kekuatan tarik, laju transmisi uap air serta nilai kelarutan dari edible film itu sendiri.
Archaster typicus, spesies bintang laut yang dieksploitasi secara masif untuk tujuan perdagangan ornamen. Pada artikel ketiga, Sdri.Ana Setyastuti menulis “Archaster typicus (Asteroidea, Echinodermata) : Sistematika, Pergeseran Habitat, Perilaku Membenamkan Diri dan Perkawinan”. Artikel ini memberikan penjelasan secara detil tentang hasil-hasil penelitian mengenai Archaster typicus, baik biologi maupun ekologinya.
Artikel keempat ditulis oleh Sdr. Hanif Budi Prayitno dengan judul”An Introduction to Four Common Techniques of Pore Water Sampling”. Air poros sedimen menyimpan informasi penting tentang status geokimia dan ekologi sedimen, sehingga analisis ini sering dilibatkan dalam studi lingkungan. Tulisan ini mengulas lebih mendalam tentang keempat teknik pengambilan sampel air poros sedimen yang umum digunakan beserta kelebihan dan kekurangan masing-masing teknik.
Hingga kini di antara para ahli karang masih memperdebatkan mengenai peran terumbu karang pada konteks blue carbon. Pada artikel kelima, Sdri. Ni Wayan Purnama Sari mengetengahkan “ Coral Reef, Penyerap atau Penghasil Karbon”.Tulisan ini memberikan informasi mengenai terumbu karang yang merupakan komunitas yang memiliki konektivitas yang erat dengan ekosistem mangrove dan padang lamun sebagai carbon sink atau komunitas penyimpan blue carbon yang sebenarnya.
Akustik kelautan merupakan suatu bidang ilmu kelautan yang berfungsi untuk mendeteksi target di kolom perairan dan dasar perairan menggunakan gelombang suara. Pada artikel keenam, Sdr. Muhammad Zainuddin Lubis, Sri Pujiyati,dan Pratiwi Dwi Wulandari menulis tentang “Akustik Pasif untuk Penerapan di Bidang Perikanan dan Ilmu Kelautan”. Tulisan ini bertujuan memberikan informasi akustik pasif dengan metode bioakustik yang sering dilakukan pada mamalia dan biota lainnya dapat digunakan sebagai acuan yang akurat, tidak berbahaya dan tidak merusak biota target.
Selamat membaca !!!
Redaksi
Au, W, W. and D.W. Martin. 1989. Insights into dolphin sonar discrimination capabilities from human listening experiments. The Journal of the Acoustical Society of America, 86(5) :1662-1670.
Borowski, B., A. Sutin, H. S. Roh, and B. Bunin, (2008, April).Passive acoustic threat detection in estuarine environments. In SPIE Defense and Security Symposium (pp. 694513-694513). International Society for Optics and Photonics.
Branstetter, B. K., C. M. DeLong, B. Dziedzic, A. Black, & K. Bakhtiari, 2016. Recognition of Frequency Modulated Whistle-Like Sounds by a Bottlenose Dolphin (Tursiops truncatus) and Humans with Transformations in Amplitude, Duration and Frequency. PloS one, 11(2).
Brook,D. and R.J. Wynne. 1991. Signal Processing: Principples and Applications. Edward Arnold, a division of Hodder and Stoughton Limited, Mill Road, Dunton Green. Great Britain. Evans, W. E. 1966 Vocalizations among marine
mammals.Marine Bioacoustics 2 : 159– 185.
Herman, L. M. and W, N. W.Tavolga, 1980 Communication systems of Cetaceans. Cetacean Behavior: Mechanisms and Function (ed. L. M. Herman) pp. 149– 197.
Krauss,T.P. L. Shure and J.N.Little 1995. Signal Processing Toolbox: For Use with Matlab. The Mathworks, Inc.
Lubis, M. Z. 2014. Bioakustik Stridulatory Gerak Ikan Guppy (Poecilia reticulata) Saat Proses Aklimatisasi Kadar Garam.[ Skripsi ] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lubis, M. Z., P. D. Wulandari, M. S. Harahap, M. Tauhid, and J. R. Moron, 2016a. Bioacoustic: Percentage Click Sound of Indo-Pacific Bottlenose Dolphins (Tursiops Aduncus) in Captivity, Indonesia. J Biosens Bioelectron,(207),2.
Lubis, M. Z., P. D.Wulandari, T. Hestirianoto, and S. Pujiyati, 2016b. Bioacoustic spectral whistle sound and behaviour of male dolphin bottle nose (Tursiops aduncus) at Safari Park Indonesia, Cisarua Bogor. Journal of Marine Science: Research & Development.
Simmonds, J., and D. N. MacLennan, 2008. Fisheries acoustics: theory and practice. John Wiley & Sons.
Pitcher, T. J. 1986. Functions of shoaling behaviour in teleosts.In The behaviour of teleost fishes. Springer US : 294-337.
Popper, A. N. 1980. Sound emission and detection by delphinids. Cetacean behavior: Mechanisms and functions , 1-52.
Simmonds J. and D. MacLennan 2005. Fisheries Acoustics: Theory and Practice, second edition. Blackwell.doi : SH344.2.S56 639.2–dc22 2005005881.
air yang dilambangkan dengan (C), sehingga diperoleh persamaan (5) (Halliday & Resnick, 1978).
f
C
(5) Power Spectral Density (PSD) didefenisikan sebagai besarnya power per interval frekuensi, dalam bentuk matematik (Brook & Wynne, 1991) pada persamaan (6) :
PSD = …………. (6)
Perhitungan PSD pada Matlab menggunakan metode Welch (Krauss et al.,1995), yakni mencari DFT (berdasarkan perhitungan dengan algoritma FFT), kemudian mengkuadratkan nilai magnitude tersebut. Contoh hasil figure PSD dihasilkan oleh Matlab software dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Power Spectral Density (PSD) suara lumba-lumba jantan hidung botol (Tursiops aduncus) (Lubis et al., 2016b).
PENUTUP
Tulisan ini menunjukkan bahwa studi tentang akustik pasif diterapkan dengan metode bioakustik yang sering dilakukan pada mamalia dan biota/ hewan laut lainnya, dapat sebagai acuan atau referensi yang sangat akurat, tidak berbahaya dan merusak biota/ hewan yang akan dijadikan sebagai target. Metode ini sangat berguna untuk dunia kelautan dalam menghasilkan kisaran frekuensi dan nilai intensitas suara, dari
sumber suara dengan melakukan analisa spektrum menggunakan metode bioakustik, contohnya pada mamalia laut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2015. The Physics of sound. http:// www.podcomplex.com/guide/physics. html. Diakses pada tanggal 15 Juli 2015.
Anonim. 2015. Hydrophones. www. sensortech. ca. Diakses pada tanggal 26 Juli 2015.
PENGGUNAAN TOKSIKAN RUJUKAN (
REFERENCE TOXICANTS
)
DALAM UJI TOKSISITAS PERAIRAN
Oleh
Triyoni Purbonegoro
1)ABSTRACT
THE USE OF REFERENCE TOXICANTS IN AQUATIC TOXICITY TESTING. The use of reference toxicant in aquatic toxicity testing is a part of efforts to obtain good quality data and it can be justified scientifically. It is used to determine the health and sensitivity of the test on organisms; to compare relative toxicities of substances by using control as an internal standard; to perform interlaboratory calibrations; and to evaluate the reproductive ability on tested data with time. Numbers of substances, such as some metals and salts, can be used as reference toxicants, but basically we must consider certain criterias in using a chemical as a reference toxicant. An ideal reference toxicant is that has a toxic at low concentrations, rapidly lethal, non-selective, and detectable by known analytical techniques. The use of each reference toxicant in toxicity tests should be repeated using the same test organism to produce a data set of sensitivity. Endpoint values are then plotted on a control chart with tolerance range ± 2 SD. The value outside the tolerance range requires the evaluation of all test procedures and conditions of the test organisms.
1)Laboratorium Oseanografi Kimia, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI
Oseana, Volume XLI, Nomor 2, Tahun 2016 : 1- 7 ISSN 0216-1877
PENDAHULUAN
Uji toksisitas dengan menggunakan organisme perairan telah digunakan selama puluhan tahun yang lalu untuk mengkaji resiko bahan kimia di lingkungan perairan, dan menjadi dasar dalam pengembangan kriteria kualitas air (Struewing et al., 2015). Untuk memperoleh kualitas data yang baik, dan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, jaminan kualitas dan pengendalian kualitas (Quality Assurance - Quality Control / QA-QC) harus diterapkan pada setiap uji toksisitas perairan. Quality Assurance (QA) merupakan program terintegrasi yang dirancang untuk menyediakan hasil data yang akurat dan tepat. Program ini
meliputi pemilihan metode penelitian yang tepat, pengambilan dan penanganan sampel, kualitas data, evaluasi data, pengendalian kualitas, dan kualifikasi personil. Quality Control (QC) meliputi kegiatan spesifik untuk menghasilkan kinerja standar sebagai bagian dari program QA. Kegiatan ini meliputi penggunaan kontrol (kontrol negatif dan positif), standarisasi, kalibrasi, dan replikasi (Burton et al., 2003).
FOURIER TRANSFORMATION Dasar dari karakteristik frekuensi pada sinyal adalah fourier transformation (Brook & Wynne, 1991). Fast Fourier Transform (FFT) merupakan suatu algoritma untuk menghitung Discrette Fourier Transform (DFT). Fungsi umum dari fourier transformation adalah men-cari komponen frekuensi sinyal yang terpendam oleh suatu sinyal domain waktu yang penuh
dengan noise (Krauss et.al 1995) dengan persamaan sebagai berikut :
S=fft (y) (2) S=fft(y,n) (3)
Bentuk perintah (1) dan (2) hampir sama, yakni menghitung DFT dari vektor x, hanya pada perintah (2) ditambah dengan penggunaan parameter panjang FFT (n). Contoh hasil data yang dihasilkan oleh Wavepad software dengan FFT dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Fast Fourier Transform suara ikan lumba-lumba jantan hidung botol (Tursiops aduncus) (data pribadi).
POWER SPECTRAL DENSITY ProgramWavelab 6.0 digunakan untuk memasukan dan memproses data dari suara yang dihasilkan dari perekaman, yaitu Power Spectral Density (PSD) dan Fast Fourier Transform (FFT).Power Spectral Density diproses dengan memasukan data suara yang berbentuk *.WAV dan memproses data melalui perintah Analysis dan memasukan perintah 3D Frequency Analysis sehingga akan tampak suatu grafik yang memperlihatkan hubungan intensitas dengan frekuensi. Pada grafik akan muncul bentuk seperti gunung, bagian yang tertinggi akan ditentukan sebagai frekuensi optimum dan dilakukan perhitungan. Frekuensi sebuah gelombang secara alami ditentukan oleh
frekuensi sumber. Laju gelombang melalui sebuah medium ditentukan oleh sifat-sifat medium. Sekali frekuensi (f) dan laju suara (v), dari gelombang sudah ditentukan, maka panjang gelombang (l) dapat ditetapkan. Dengan hubungan f = 1/T (Halliday & Resnick, 1978), maka dapat diperoleh persamaan (4).
f
(4)Oleh karena pada penelitian laju suara yang digunakan pada medium zat cair, yaitu air laut,maka laju suara di udara yang dilambangkan dengan (v), dapat dirubah dengan laju suara di pada sensitivitas biota uji yang dapat terjadi
disebabkan oleh proses aklimasi, penyakit, jumlah kepadatan biota dalam wadah pemeliharaan (loading density), atau stress dalam penanganan pemeliharaan (handling stress) (Burton et al., 2003). Toksikan rujukan juga berguna untuk ; (1) membandingkan toksisitas relatif suatu bahan kimia dengan menggunakan kontrol sebagai standar internal, (2) melakukan kalibrasi antar laboratorium, dan (3) mengevaluasi metode penelitian untuk menghasilkan data yang konsisten (data reproducibility) (Rand & Petrocelli, 1985). Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi singkat dan pemahaman mengenai kriteria dan prosedur penggunaan beberapa toksikan rujukan dalam uji toksisitas perairan.
KRITERIA DAN PROSEDUR PENGGUNAAN TOKSIKAN RUJUKAN
Menurut Rand & Petrocelli (1985), kriteria toksikan rujukan yang ideal adalah bersifat toksik pada konsentrasi yang rendah, mematikan dengan cepat, non-selektif, dan dapat dideteksi atau dianalisis dengan teknik yang umum diketahui. Environment Canada (1992) dan Environment Canada (1997) merekomendasikan logam kadmium dalam bentuk kadmium klorida (CdCl2), dan tembaga dalam bentuk tembaga sulfat (CuSO4) sebagai toksikan rujukan. Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US EPA) juga merekomendasikan CuSO4 sebagai salah satu toksikan rujukan (Struewing et al., 2015). Achiorno et al., (2010) dan Myers et al., (2006) menggunakan detergen sodium dodecyl sulfate
(SDS), kromium (Cr6+) dalam bentuk potassium dichromate, amonia (NH3), fenol (C6H6O) dan zink (Zn) sebagai toksikan rujukan. Selain logam, beberapa jenis garam dapat digunakan sebagai toksikan rujukan, antara lain potasium klorida (KCl) dan sodium klorida (NaCl) (Struewing et al., 2015).
Penggunaan masing-masing toksikan rujukan dalam uji toksisitas harus dilakukan berulangkali, dengan menggunakan biota uji yang sama untuk menghasilkan kumpulan data sensitivitas biota uji. Uji toksisitas yang dapat dilakukan adalah uji toksisitas akut (96 jam) atau kronis (>96 jam, sesuai siklus hidup masing-masing biota uji), dengan menggunakan seri konsentrasi yang terdiri dari kontrol dan beberapa konsentrasi. Salah satu contoh kondisi dan prosedur yang direkomendasikan adalah uji toksikan rujukan dengan menggunakan larva serangga air Chironomus sp. (Tabel 1).
Tabel 1. Kondisi dan prosedur yang direkomendasikan oleh Environment Canada, (1997) untuk melakukan uji toksikan rujukan dengan menggunakan larva Chironomus sp.
Jenis uji : statis, 96 jam, uji toksisitas dengan hanya menggunakan air Toksikan rujukan : tembaga sulfat (CuSO4), kadmium klorida (CdCl2), potasium
klorida (KCl), atau sodium klorida (NaCl) Frekuensi uji : sebulan sekali, atau bersamaan dengan uji definitif Larutan uji : kontrol dan sedikitnya 5 konsentrasi uji
Pergantian larutan : tidak dilakukan
Kontrol/air pelarut : air yang digunakan untuk kultur/pemeliharaan biota uji, kelarutan oksigen mencapai 90 % saturasi
Biota uji : larva Chironomus tentans atau Chironomus riparius, tahap instar kedua, 10 ekor per wadah
Substrat untuk biota uji : pasir silika
Wadah uji : 300 ml gelas Beaker, diameter 7 cm, dilengkapi tutup Volume larutan uji : 200 ml
Jumlah ulangan : idealnya >2 per konsentrasi Suhu : rata-rata harian, 23±1 oC
Pencahayaan : fluoresent atau yang setara, 500-1000 lux, 16 jam terang : 8 jam gelap
Aerasi : tidak dilakukan
Pemberian pakan : makanan ikan (misal, TetrafinTM atau NutrafinTM),
Pengamatan : setiap hari, setiap wadah, catat jumlah kematian biota pada tiap wadah
Pengukuran kualitas air : setiap hari, setiap perlakuan, catat konsentrasi oksigen terlarut, suhu, pH, alkalinitas, konduktivitas
Nilai akhir (endpoints) : persentase rata-rata kelulushidupan (survival) pada tiap perlakuan, 96 jam LC50
Validitas uji : rata-rata kelulushidupan (survival) pada kontrol setelah 96 jam >90%
Kemudian dari data yang diperoleh dapat ditampilkan kedalam bentuk grafik yang diinginkan, yaitu grafik diagram batang dan grafik diagram stock untuk bagian kiri dan kanan data suara. Gambar contoh spektrum suara yang
dihasilkan dari Raven lite 1.0 software dapat dilihat pada Gambar 6, sedangkan Gambar 7 menunjukkan spektogram hasil perekaman suara yang berasal dari spektrum lumba-lumba dan diolah dengan menggunakan SIG View 2.7.1
Gambar 6. Spektrum suara ikan lumba-lumba jantan hidung botol (Tursiops aduncus) (Lubis et al., 2016a).
Gambar 7. Pseudogram spektrum ikan lumba-lumba jantan hidung botol (Tursiops aduncus) (Lubis et al., 2016b).
Gambar 6 merupakan hasil spektrum suara lumba-lumba jantan hidung botol yang diperoleh dengan melakukan proses mengguna-kan perangkat lunak Raven Pro 1.0, dengan panjang waktu perekaman yaitu 700 ms, dan dengan sumbu y adalah besarnya frekuensi yang dihasilkan dari data spektrum yang diolah. Gambar 7 merupakan spektrum hasil perekaman suara yang dihasilkan dari lumba-lumba, dengan
Bioakustik menggunakan instrumen pasif yang biasa disebut dengan hydrophone, yang berfungsi untuk mendengarkan suara bawah air. Alat ini mengkonversi suara yang datang dari dalam air yang menjadi sinyal eletrik, dan kemudian dapat diamplifikasi, dianalisis, atau diperdengarkan di udara (Urick, 1983 dalam Pitcher, 1986). Hydrophone biasanya berupa suatu lempengan piezo-electric ceramic (Simmonds & McLennan, 2008). Dolphin EAR
Hydrophone mampu mendeteksi frekuensi suara pada 1-2 Hz. Ambang batas terendah pendengaran manusia hanya mampu mendengarkan suara hingga frekuensi 18-20 Hz. Suara-suara di luar ambang batas pendengaran normal manusia, dapat didengar menggunakan Dolphin EAR Hydrophone yang dilengkapi dengan Raven lite 1.0 software. Gambar 5, merupakan contoh satu set alat perekaman dalam bioacoustics hydrophone .
Gambar 5. Set alat perekam suara, (a) Hidrofon, (b) Headphone, (c) catu daya/baterai, dan (d) laptop untuk data logging dan data processing (Lubis, 2014).
PENGOLAHAN DATA SUARA
Data suara yang telah terekam oleh digital voice recorder dalam bentuk file ekstensi *.VY4, direkam ulang dengan menggunakan program Advanced Sound Recorder 6.0 yang akan menghasilkan data suara dalam bentuk ekstensi *.mp3. Selanjutnya data suara yang sudah dalam bentuk ekstensi *.mp3 disimpan kedalam bentuk ekstensi *.WAV dengan menggunakan program Wavelab 6.0. Proses analisa data dapat dilihat pada Gambar 5.
Setelah data suara berada dalam bentuk ekstensi *.WAV, suara selanjutnya dilakukan proses menghilangkan gangguan (noise) dengan menggunakan program Cool Edit Pro 2.0. Data suara yang telah dibersihkan
dari gangguan (noise), kemudian diolah dengan menggunakan program Wavelab 6.0. Data dilakukan perubahan bentuk dari bentuk suara ke bentuk angka dengan menggunakan analisa data FFT pada program Wavelab 6.0 yang kemudian dilakukan pemindahan data dari bentuk ekstensi *.WAV menjadi *.txt. Setelah menjadi bentuk *.txt, data diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel melakukan rataan terhadap angka per 1000 Hz, dan didapat data yang memiliki rentang angka antara 0 - 22000 Hz. Rataan tersebut kemudian dirubah kedalam bentuk desibel dengan menggunakan persamaan :
dB =
10
Log
n
(1) dimana : n = jumlah rataan per 1000 Hz(Au & Martin, 1989) Gambar 1. Contoh grafik kontrol uji toksikan rujukan
(http://www.etsnclab.com/quality-assurance-quality-control/reference-toxicant-testing)
Grafik kontrol dibuat sedemikian rupa agar axis x merupakan identitas tanggal uji atau urutan uji toksisitas, dan axis y merupakan identitas konsentrasi nilai akhir (LC50, EC50, atau IC50). Nilai rata-rata dan deviasi standar (SD) digunakan sebagai kisaran dari variasi ‘nilai normal’ atau ‘nilai yang dapat diterima’. Kisaran ± 2 SD merupakan batas atas dan bawah dari nilai rata-rata, menggambarkan 95% batas kepercayaan (Confidence Limits) (Environment Canada, 1992).
Hasil uji toksikan rujukan dianggap dapat diterima apabila berada dalam kisaran batas kepercayaan 95%. Pada kisaran tersebut, data pencilan (outliers) diharapkan hanya
muncul sebanyak 5% saja. Nilai hasil uji toksikan rujukan di luar toleransi tersebut tidak berarti presisi data yang dihasilkan meragukan, namun lebih pada perlu adanya evaluasi terhadap semua prosedur uji dan kondisi organisme uji. Bergantung pada hasil temuan, kemungkinan diperlukan adanya upaya untuk mengkoleksi dan mengkultur populasi baru biota uji yang sama (Environment Canada, 1992).
variabel yang terlibat, sehingga hasil yang diperoleh lebih konsisten dibandingkan dengan penggunaan spiked sediments. Prosedur standar untuk melakukan uji spiked sediments saat ini belum ada, dan toksisitas sampel sedimen akan dipengaruhi oleh karakteristik sedimen dan perbedaan prosedur yang dilakukan (Burton et al., 2003).
PENGGUNAAN BEBERAPA TOKSIKAN RUJUKAN DALAM UJI TOKSISITAS
Penggunaan toksikan rujukan juga diperlukan untuk menentukan jenis organisme apa saja yang layak dijadikan sebagai biota uji. Hal tersebut membutuhkan perbandingan sensitivitas dan respon biologis biota uji yang dapat terukur (endpoints). Sensitivitas bermacam organisme dapat dirankingkan, dan spesies yang paling cocok sebagai biota uji dapat diidentifikasi (Achiorno et al., 2010). Achiorno et al., (2010) dan Struewing et al., (2015) merangkum penggunaan beberapa toksikan rujukan dalam uji toksisitas terhadap berbagai organisme perairan tawar (Tabel 2). Beberapa toksikan yang diujikan memiliki pengaruh buruk terhadap lingkungan perairan. Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) merupakan surfaktan sintetis yang digunakan di seluruh dunia, biasa terdapat dalam pembersih, kosmetik, sabun cair, sampo, dan pasta gigi. Sementara itu, kadmium (Cd) dan kromium (Cr) merupakan logam berat beracun yang persisten di lingkungan perairan. Variasi sensitivitas organisme uji terhadap toksikan rujukan berbeda-beda meskipun jenis organisme dan tahap pertumbuhannya sama. Hal tersebut
dipengaruhi oleh kondisi organisme, larutan uji, dan kondisi uji. Krustase Ceriodaphnia rigaudi merupakan organisme yang paling sensitif khususnya terhadap Cr6+ dengan LC
50 sebesar 0,002 mg-1. Sementara itu, krustase Daphnia magna menunjukkan resistensi yang paling besar dibandingkan organisme uji lainnya dengan LC50 sebesar 4868,7 mg l-1.
PENUTUP
Penggunaantoksikan rujukan merupakan salah satu cara penerapan jaminan kualitas dan pengendalian kualitas (Quality Assurance -Quality Control / QA-QC) untuk memperoleh kualitas data yang baik, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Selain logam, beberapa jenis garam dapat digunakan sebagai toksikan rujukan, namun pada dasarnya harus memperhatikan kriteria tertentu dalam menggunakan suatu bahan kimia sebagai toksikan rujukan. Kriteria toksikan rujukan yang ideal adalah bersifat toksik pada konsentrasi yang rendah, mematikan dengan cepat, non-selektif, dan dapat dideteksi atau dianalisis dengan teknik yang umum diketahui.
Penggunaan masing-masing toksikan rujukan dalam uji toksisitas harus dilakukan berulangkali dengan menggunakan biota uji yang sama untuk menghasilkan kumpulan data sensitivitas, yang kemudian diplotkan pada grafik kontrol dengan nilai toleransi berkisar ±2 SD. Hasil uji toksisitas toksikan rujukan di luar toleransi tidak berarti presisi data yang dihasilkan meragukan, namun menuntut adanya evaluasi terhadap semua prosedur uji dan kondisi kesehatan organisme uji. Gambar 3 Eko-lokasi paus dalam penerapan bioakustik (Branstetter et al.,2016).
Pada Gambar 3 menunjukkan waktu enam detik di antara bunyi click yang sudah keluar dengan echo yang kembali. Branstetter et al.,(2016) menyatakan bahwa diperlukan setengah waktu untuk suara click hingga mencapai obyek, artinya obyek ditempuh dalam waktu tiga detik. Apabila kecepatan suara di dalam air adalah 1500 m/s, maka obyek tersebut berada pada jarak 4500 meter dari paus (3 seconds times 1500 metres/second = 4500m).
Eko-lokasi ini menunjukkan bahwa paus mempunyai produksi suara yang sangat baik, termasuk sistem penerimaan suara. Sistem penerimaan suara pada cetaceans sudah sangat maju, karena dari arah dan waktu echo yang kembali, binatang ini dapat mengetahui bentuk obyek dan bahannya. Cetaceans dapat me-ngetahui derajat suara, seperti manusia, bahkan hingga sepersepuluh milliseconds, suatu nilai yang lebih tinggi dari kemampuan manusia.
SISTEM PEREKAMAN SUARA BAWAH AIR
Seluruh pengindraan akustik menggunakan mikrofon dan transduser untuk mendeteksi energi akustik, dan kemudian mengkonversinya menjadi sinyal listrik (Greene, 1997), sedangkan untuk perekaman suara bawah air menggunakan hidrofon (Gambar 4). Hidrofon adalah mikrofon bawah air yang menangkap sinyal akustik, kemudian mengubah energi tersebut menjadi energi listrik dan digunakan dalam sistem akustik pasif. Pengukuran sinyal suara yang ingin diketahui adalah dengan mengukur Signal to Noise Ratio (SNR), yaitu rasio antara level sinyal suara yang diterima (received level of a sound signal) terhadap level kebisingan latar (background noise level) (Greene, 1997).
Tabel 2. Penggunaan beberapa toksikan rujukan dalam uji toksisitas terhadap berbagai organisme perairan.
Organisme uji Nilai Akhir
(Endpoint) Konsentrasi (mg l-1) pemaparanWaktu Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) (Achiorno et al., 2010)
Ceriodaphnia dubia Ceriodaphnia dubia Daphnia magna Daphnia magna Utterbackia ibecillis Utterbackia imbecillis Actinonaias pectorosa Actinonaias pectorosa Kadmium (Cd2+) (Achiorno et al., 2010)
Tubifex tubifex Tubifex tubifex Daphnia ambigua Daphnia magna Ceriodaphnia dubia Actinonaias pectorosa
Kromium (Cr6+) (Achiorno et al., 2010) Ceriodaphnia rigaudi
Daphnia magna Diplodon chilensis
Sodium klorida (NaCl) (Struewing et al., 2015)
Centroptilum triangulifer Centroptilum triangulifer Ceriodaphnia dubia Ceriodaphnia dubia Daphnia magna Daphnia magna
Potasium klorida (KCl) (Struewing et al., 2015)
Centroptilum triangulifer Centroptilum triangulifer Ceriodaphnia dubia Ceriodaphnia dubia Daphnia magna Daphnia magna
Gambar 2. Passive Sonar Equation (Urick, 1975)
Source level (SL) adalah jumlah suara yang dipancarkan oleh sebuah transducer. Transmission Loss (TL) adalah intensitas energi suara yang berkurang saat merambat pada medium. DT (Detection Threshold) adalah rasio sinyal-noise yang diperlukan sinyal target dan merupakan fungsi dari receiver (penerima). Ilmu akustik sangat berkembang pada penelitian lumba-lumba, peneliti sebelumnya telah menekankan rekaman dan analisis vokalisasi (Evans, 1966; Herman & Tavolga, 1980; Norris, 1969; Popper, 1980; Watkins & Wartzok, 1985). Penelitian bioakustik ini dibutuhkan untuk dapat mengetahui bahasa komunikasi (acoustic communication) pada mamalia. Bioakustik tidak lepas dari penggunaan hydrophone sebagai alat perekam suara, dengan tekanan akustik direkam pada hidrofon adalah sumber waktu gangguan tekanan pada laut (ÄP) yang relatif sangat sensitif terhadap tekanan latar belakang laut di kedalaman perekaman pada medium air.
Ilmu bioakustik juga mempelajari tentang stridulatory, yaitu suara yang dihasilkan dengan cara menggerakkan atau menggemeretakkan bagian-bagian tubuh, misalnya: sirip, gigi, dan bagian tubuh lainnya yang keras (Walker, 1997; Pitcher, 1986). Ikan bertulang keras (teleost) memiliki suara yang dihasilkan dari kepakan sirip, dan beberapa jenis
suara stridulatory lainnya memiliki amplitudo besar, yang tersebar secara seragam diseluruh frekuensi. Winn (1991) menyatakan bahwa frekuensi yang dicapai dapat berkisar hingga lebih dari 6000 Hz. Lubis & Pujiyati (2015) menyatakan bahwa kondisi lingkungan dan parameter (salinitas dan suhu) sangat mempengaruhi nilai intensitas dan frekuensi yang dihasilkan dari target, semakin ekstrim suatu lingkungan, maka akan menyebabkan rendahnya nilai intensitas dan frekuensi yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
Achiorno, C. L., C. De Villalobos, and L. Ferrari, 2010. Validation test with embryonic and larval stages of Chordodes nobilii (Gordiida, Nematomorpha): sensitivity to three reference toxicants. Chemosphere, 81(2), 133–140.
Burton, G. A. J., D. L. Denton Ho, K., and D. S. Ireland, 2003. Sediment Toxicity Testing: Issues and Methods. In : D. J. Hoffman, B. . Rattner, G. A. J. Burton, and J. J. Cairns (Eds.), Handbook of Ecotoxicology (2nd ed., pp. 111–150). Boca Raton, Florida: CRC Press.
Environment Canada. 1992. Biological Test Method/ : Acute Test for Sediment Toxicity Using Marine or Estuarine Amphipods. Ottawa, Ontario. p. 83.
Environment Canada. 1997. Biological Test Method/ : Test for Survival and Growth in Sediment Using the Larvae of Freshwater Midges (Chironomus tentans
and Chironomus riparius) (p. 131). Ottawa, Ontario.
Myers, J. H., S. Duda, L. Gunthorpe, and G. Allinson, 2006. Assessing the performance of Hormosira banksii (Turner) Desicaine germination and growth assay using four reference toxicants. Ecotoxicology and Environmental Safety, 64(3), 304–11.
Rand, G. M., and S. R. Petrocelli, 1985. Introduction. In G. M. Rand & S. R. Petrocelli (Eds.), Fundamentals of Aquatic Toxicology (1st ed., pp. 1–28). Taylor & Francis.
Struewing, K., J. M. Lazorchak, P. C. Weaver, B. R. Johnson, D. H. Funk, and Buchwalter, D. B. 2015. Part 2: Sensitivity comparisons of the mayfly Centroptilum triangulifer to Ceriodaphnia dubia and Daphnia magna using standard reference toxicants; NaCl, KCl and CuSO4. Chemosphere, 139, 597–603.
echo dari ikan tunggal dapat dengan mudah dipisahkan dan dihitung satu persatu. Metode echo counting jarang digunakan dalam menduga kelimpahan ikan yang bergerombol. Hal ini disebabkan karena densitas ikan tidak homogen dan pada umumnya tinggi, sehingga akan menyebabkan terjadinya overlap dari echo ikan. Echo dari ikan yang berada di dasar perairan, memiliki sinyal yang lebih kuat dibandingkan dengan ikan yang berada di dasar perairan (Simmonds & McLennan, 2008).
Zimmer (2011) menyatakan bahwa metode akustik pasif digunakan untuk memonitor mamalia laut. Pada umumnya, sinyal yang didapatkan dari perekaman suara hewan bernilai sangat lemah, sehingga memerlukan amplifikasi/penguatan dan sulit menentukan dari mana datangnya arah suara. Konsep dasar dari akustik pasif pada mamalia adalah dengan mendeteksi suara, ketika mamalia tersebut berada
pada area pengukuran. Pengukuran tersebut dilakukan dengan mengunakan perangkat lunak, dan juga dengan mendengarkannya. Metode akustik pasif juga digunakan oleh militer dalam mengembangkan sistem keamanan dari penyerang bawah air pada daerah estuari, dengan melakukan perekaman suara yang ditimbulkan oleh penyelam bawah air laut (Borowski et al., 2008). Akustik pasif tidak lepas dengan adanya suara (Sound). Suara adalah gelombang mekanik dari energi yang mengubah tekanan pada medium (udara atau air) pada saat gelombang tersebut bergerak.Perubahan-perubahan tekanan ini dideteksi oleh pendengaran kita, dan dipancarkan ke otak untuk diinterpretasi. Gelombang suara yang diinterpratasikan oleh Rarefaction, Condensation, Air pressure, time dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1.Gelombang suara (Anonim, 2015)
Penerapan ilmu pasif akustik biasanya disebut dengan passive sonar, yang penerapan-nya biasayang penerapan-nya disebut dengan ilmu Bioakustik (Bioacoustic) . Bioakustik (Bioacoustics) adalah suatu disiplin ilmu yang menggabungkan biologi dan akustik, yang biasanya merujuk pada penelitian mengenai produksi suara, dispersi melalui media elastis, dan penerimaan pada hewan, termasuk manusia. Hal ini melibatkan
Oseana, Volume XLI, Nomor 2, Tahun 2016 : 41 - 50 ISSN 0216-1877
AKUSTIK PASIF UNTUK PENERAPAN DI BIDANG
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Oleh
Muhammad Zainuddin Lubis
1, Sri Pujiyati
2,
Pratiwi Dwi Wulandari
3,
ABSTRACT
APPLICATION OF PASSIVE ACOUSTIC FILED FOR FISHERIES AND MARINE SCIENCE. Detects the sound frequency range of fish, the intensity of the sound amplitude, sound fluctuations, and shape the sound patterns of the fish. Passive acoustic methods used to monitor marine mammals expressed. In general, the signal obtained from the ranimal record sounds is poor and difficult to determine from which directions it is produced, therefore it requires that require amplification / strengthening. Bioacoustic research is needed to identify the communication language (Acoustic communication) in mammals. Bioacoustic detectmammal-produced frequency ranges of sound, amplitude intensity of sound, voice fluctuation, and form sound patterns of mammals. Studying bioacoustic is inseparable from the science of underwater acoustics, biology of mammals, and the study of mammalian behavior. Generally bioacoustic include physiology of mamals organ that produce sound, earnings voice mechanism, sound characteristics of mammals, mammals sound-approaching mechanism, the hearing capacity of fish, and the evolution of the auditory system, and to obtain the frequency range of each sound produced by the dolphins (mammals). Environmental conditions and parameters (salinity and temperature) will greatly affect the value of the intensity and frequency generated from the target, the more extreme the environmental conditions, the lower value of the intensity and frequency generated.
1)Dosen Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam (zainuddinlubis@polibatam.ac.id) 2)Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB
3)Mahasiswa Sarjana Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan PENDAHULUAN
Akustik adalah ilmu yang membahas tentang gelombang suara dan perambatannya dalam suatu medium. Akustik kelautan merupakan suatu bidang ilmu kelautan yang berfungsi untuk mendeteksi target di kolom perairan dan dasar peairan, dengan menggunakan gelombang suara. Aplikasi ilmu akustik kelautan akan mempermudah seorang
peneliti untuk mengetahui objek yang ada di kolom perairan dan dasar perairan, baik berupa plankton, ikan, kandungan substrat dan bahkan adanya kapal kandas (Simmonds & McLennan, 2008). Metode akustik yang digunakan untuk memperoleh data kelimpahan ikan, dapat menggunakan metode dasar berupa echo counting dan echo integration. Echo counting dapat menghitung densitas ikan pada saat volume yang disampling rendah, dimana nilai
PEMANFAATAN KARAGENAN SEBAGAI EDIBLE FILM
Oleh
Rany Dwimayasanti
1)ABSTRACT
THE USE OF CARRAGEENAN AS EDIBLE FILM.Carrageenan is a polysaccharide sulfate extracted from red seaweed (Rhodophyceae). Carrageenan constituent, which are in the hydrocolloid form, are capable to produce composites, has the potential to be used as a biodegradable packaging material. The use of carrageenan-based edible film packaging is a good alternative to improve endurance and quality of food products during the storage. The success in the making of edible film can be seen from the characteristics of the edible film products. Characteristics of edible film that are used as parameters including the thickness, tensile strength, water vapor transmission rate and the solubility of the film.
1)UPT Loka Konservasi Biota Laut Tual
Oseana, Volume XLI, Nomor 2, Tahun 2016 : 8- 13 ISSN 0216-1877
PENDAHULUAN
Wilayah Indonesia sebagian besar merupakan wilayah yang memiliki potensi hasil kelautan yang besar dan melimpah. Salah satu potensi yang dimiliki oleh Indonesia yaitu rumput laut. Rumput laut memiliki nilai ekonomi yang tinggi, khususnya bagi yang dapat menghasilkan karagenan. Karagenan merupakan rumput laut merah (Rhodophyceae) yang berupa polisakarida sulfat, yang memiliki sifat-sifat penting dalam produk pangan, misalnya sebagai pencegah kristalisasi, pengemulsi, pembentuk gel, pengental, koloid pelindung dan penggumpal (Winarno, 1990). Industri yang ada di Indonesia saat ini mampu menghasilkan karaginan murni (refined carageenan) atau formula produk karagenan siap pakai, yang dapat digunakan untuk industri
pangan. Pembuatan karagenan menjadi edible film merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemanfaatan karagenan. Pemanfaatan rumput laut menjadi karagenan adalah sebagai salah satu bahan dasar pembuat edible film, yang dapat mendorong industri untuk menghasilkan karagenan (Amin, 2008).
Lafoley D. d’A., and Grimsditch G (Eds). 2009. The Management of Natural Coastal Carbon Sinks. IUCN., Gland, Switzerland.64 hlm.
Lalli, C.M. and T.R. Parsons. 1995. Biological Oceanography: An Introduction. Oxford, UK: Butterworth-Heinemann Ltd.220-233.
Langdon C. 2000. Overview Of Experimental Evidence For Effects Of CO2 On Calcification Of Reef Builders.Proc.9th International Coral Reef Symposium, Oct 23-27, 2000, Bali,Indonesia.9 hlm. Lipp, J.S., Y. Morono, H. Inagaki, and K.U.
Hinrichs. 2008. Significant Contribution Demonstration Project; An Introductory Guide. Abu Dhabi Global Environment Data Initiative (AGEDI).1-16.
McCloskey LR, DS Wethey and JW Porter (1978) Measurement and interpretation of photosynthesis andrespiration in reef corals. In: Stoddart OR, Johannes RE (eds) Coral reefs: research methods. UNESCO, UK: 379-396.
McCook L.J. 1999. Macroalgae, Nutrients and Phase Shifts on Coral Reefs: Scientific Issues and Management Consequences For The Great Barrier Reef. Coral Reef. Vol. 18 : 357-367.
Mumby P., A. Edwards, G. E. Arias, Lindeman K., P. Blackwell, A. Gall, Gorczynska M., Harborne A., Pescod C., Renken H., Wabnitz C., Llewellyn G. 2004. Mangroves Enhance and Biomass of Coral Reef Fish
Communities in The Carribean. Letters to Nature Vol 427: 533-536.
Nellemann C., E.Corcoran, C.M. Duarte, Valdes L., De Young C., Fonseca L., Grimsditch G (Eds). 2009. Blue Carbon; The Role of Healthy Oceans in Binding Carbon. A Rapid Response Assessment. United Nations Environment Program. 35-44. Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut: Suatu
Pendekatan Ekologi. Gramedia. Jakarta. 459 hlm.
Pranowo, W.S., S. A. Novi, R. Agustin, L. Terry K., Berny A. S., and Tukul R. A., Sugiarta W., 2010. Rencana Strategis Riset Karbon Laut di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir. Edisi II. 77 hlm. Sunarto. 2008. Penyediaan Energi Karbon Dalam
Simbiosis Coral-Alga. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjajaran.
Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta. 129 hlm.
Ware, J.E., K.K. Snow, M. Kosinski, and Gandek, B. 1993. SF-36 Health Survey Manual and Interpretation Guide. The Health Institute. Boston, MA.23 hlm.
Wigley T.M.L. 1999. The Science of Climate Change: Global and U.S. Perspectives Prepared for the PEW Center on Global Climate Change: 48 hlm.
Wilkinson, C. (ed). 2000.Status Of Coral Reefs Of The World. Global Coral Reef Monitoring Network and Austr Inst Mar Sci, Townsville , Australia :363 hlm. www.nature.com
www.wikipedia.com
bagi lingkungan (Nugroho et al., 2013). Oleh karena itu, saat ini dengan diberlakukannya persyaratan bahwa kemasan yang digunakan adalah kemasan yang ramah lingkungan dan biodegradable, maka salah satu penggunaan kemasan yang baik adalah dengan menggunakan edible film berbasis karagenan. Pembuatan karagenan menjadi edible film merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemanfaatan dari karagenan, dimana sifat dari karagenan itu sendiri mampu membentuk gel yang baik (Handito, 2011).
APA ITU EDIBLE FILM ?
Edible film merupakan lapisan tipis yang dapat dikonsumsi, dan digunakan sebagai kemasan bahan makanan (McHugh & Krochta, 1994). Menurut Skurtys et al. (2010), edible film merupakan salah satu alternatif kemasan makanan yang bersifat ramah lingkungan, dan dapat mempertahankan kualitas produk. Edible film didefinisikan sebagai lapisan tipis dengan ketebalan < 0,25 mm, dapat dimakan, yang berfungsi sebagai barrier terhadap transfer massa (kelembaban, oksigen, lipid dan zat terlarut). Hal yang membedakan antara edible coating dan edible film adalah cara pengaplikasiannya. Edible coating langsung dibentuk pada produk, sedangkan edible film pembentukannya tidak secara langsung pada produk yang akan dikemas (Hui, 2006).
Edible film berfungsi sebagai penghambat perpindahan uap air, menghambat pertukaran gas, mencegah kehilangan aroma, mencegah perpindahan lemak, meningkatkan karakteristik fisik, dan sebagai pembawa zat aditif (Krochta & Johnston, 1997). Jumlah karbondioksida dan oksigen yang kontak dengan produk merupakan salah satu yang harus diperhatikan untuk mempertahankan kualitas produk, dan akan berakibat pula terhadap umur simpan produk. Film yang terbuat dari protein dan polisakarida pada umumnya
sangat baik sebagai penghambat perpindahan gas, sehingga efektif untuk mencegah oksidasi lemak. Komponen volatil yang hilang atau yang diserap oleh produk dapat diatur dengan melakukan pelapisan edible film (Hui, 2006).
Menurut (Donhowe & Fennema, dalam Handito, 2011), berdasarkan bahan penyusunnya, edible film dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu:
1. Hidrokoloid misalnya protein, turunan selulosa, alginat, karagenan, pektin, pati, gum Arabic;
2. Lipida misalnya lilin (wax), asam lemak (asam palmitat, asam stearat); dan
3. Kombinasi (komposit), yang mengandung lipida dan hidrokoloid.
Karagenan merupakan polimer hidrofilik berupa polisakarida sulfat yang dapat diekstrak dari rumput laut merah (Rhodophyceae) (Milani & Maleki, 2012). Berdasarkan kandungan sulfatnya, karagenan diklasifikasikan menjadi kappa, iota, dan lamda dengan jumlah sulfatnya berturut-turut 20%, 33%, dan 42% (Yuguchi et al., 2002). Menurut Syamsuar dalam Santoso et al. (2013), pembentukan gel yang ada pada karagenan merupakan suatu penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Jala tiga dimensi yang bersambungan ini merupakan matriks utama edible film. Matriks ini bersifat kuat dan kaku, namun terdapat ruang kosong. Sedangkan yang mengisi ruang kosong tersebut adalah bahan pembentuk film yang lain, misalnya plasticizer.
suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas tiga atom karbon. Jadi setiap atom karbonnya mempunyai gugus “–OH”. Satu molekul gliserol dapat mengikat satu, dua, atau tiga molekul asam lemak dalam bentuk ester yang disebut monogliserida, digliserida dan trigliserida. Peran gliserol sebagai plasticizer dan konsentrasinya meningkatkan fleksibilitas film (Bertuzzi et al., 2007). Winarti et al. (2012) juga menambahkan bahwa penambahan gliserol dalam pembuatan edible film akan meningkatkan fleksibilitas dan permeabilitas film terhadap gas, uap air, dan gas terlarut. Penambahan plasticizer gliserol juga berpengaruh terhadap kehalusan film.
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN EDIBLE FILM
Kelebihan karagenan sebagai edible film yaitu dapat membentuk gel yang baik, elastis, dapat dimakan, dan dapat diperbaharui. Meskipun demikian, edible film dari karagenan mempunyai kelemahan yaitu kemampuannya yang rendah sebagai barrier terhadap transfer uap air, sehingga membatasi pemanfaatannya sebagai bahan kemasan (Handito, 2011). Santoso et al. (2005) menambahkan bahwa secara umum ada beberapa keunggulan edible film, terkait penggunaannya sebagai bahan pengemas makanan, antara lain:
1. Dapat menurunkan “aw” permukaan produk, sehingga kerusakan yang disebabkan oleh mikroorganisme dapat dihindari;
2. Dapat memperbaiki struktur permukaan bahan sehingga permukaan menjadi mengkilat;
3. Dapat mengurangi terjadinya dehidrasi, sehingga susut bobot dapat dicegah; 4. Dapat mengurangi kontak oksigen,
sehingga proses oksidasi dapat dihindari; 5. Sifat asli produk seperti flavor tidak
mengalami perubahan; serta
6. Dapat memperbaiki penampilan produk.
KARAKTERISASI EDIBLE FILM
Keberhasilan dalam pembuatan edible film dapat ditentukan dari karakterisasi film yang dihasilkannya. Sifat fisik dari edible film dapat menentukan fleksibilitas dari kemasan, semakin kecil nilai ketahanan tarik dan semakin besar nilai elongasi edible film akan lebih aplikatif. Sifat mekanik menentukan kualitas dari kemasan, semakin kecil nilai laju transmisi oksigen (O2TR), dan laju transmisi uap air (WVTR) yang dihasilkan oleh suatu edible film, maka kualitas edible film tersebut akan semakin baik (Irawan, 2010). Beberapa uji telah dikembangkan untuk menentukan sifat permeabilitas, karakteristik fisik, dan karakteristik mekanik edible film yang didasarkan pada metode uji standar untuk non-edible films. Uji-uji tersebut antara lain adalah sebagai berikut (Donwhowe & Fennema, 1994) :
1. Sifat permeabilitas uap air, 2. Sifat permeabilitas zat terlarut,
3. Sifat permeabilitas lemak, kuat tarik dan persen elongasi, berat dasar, serta ketebalan film.
KEKUATAN TARIK
Kekuatan tarik merupakan gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh sebuah film hingga terputus. Kekuatan tarik yang terlalu kecil mengindikasikan bahwa edible film yang bersangkutan tidak dapat dijadikan kemasan, karena karakter fisiknya kurang kuat dan mudah patah. Menurut Irianto et al. (2005), semakin banyak karagenan yang digunakan dapat menyebabkan kemampuan dalam mengikat air meningkatkan nilai kuat tarik edible film, karena karagenan mampu membentuk matriks polimer
Hubungan antara ekosistem terestrial yang berbatasan dengan ekosistem blue carbonyaitu padang lamun dan mangrove, dengan terumbu karang digambarkan pada Gambar 4. Terumbu karang, mangrove dan lamun memiliki hubungan ekologis yang sangat erat untuk keberlanjutan ekosistem pesisir secara luas. Pendekatan terumbu karang pada blue carbon mengikuti pendekatan ekosistem yang dapat menunjukkan dampak pada daratan, melindungi koridor yang menghubungkan ketiga habitat tersebut dan menjaga kemampuan resiliensi (daya pulih) dan produktivitas ekosistem terumbu karang (Lutz et al., 2014).
PENUTUP
Hingga saat ini para ahli masih memperdebatkan mengenai peran terumbu karang pada konteks blue carbon. Terumbu karang merupakan komunitas yang memiliki konektivitas yang erat dengan ekosistem mangrove, dan padang lamun sebagai carbon sink atau komunitas penyimpan blue carbon yang sebenarnya. Bagaimanapun, terumbu karang yang sehat akan bertindak sebagai produsen produktivitas primer di lingkungan pesisir, sehingga pada saat itu karang akan mampu menyerap karbon secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2003. Coral Reef Productivity. http:/ /www.com.univ-mrs.fr/IRD/Atoll/ ecorecat/ecorec.htm. Diakses pada tanggal 12 Februari 2016.
Anonimus, 2010. Peran Ekosistem Terumbu Karang dan Pemanasan Global. www. coremap.or.id. Diakses pada tanggal 15 Maret 2016.
Anonimus, 2016. Karbon Biru. www.hkti.org. Diakses pada tanggal 22 Februari 2016. Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut.
Aset Pembangunan Berkelanjutan. Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 189 hlm.
Donato C., J. Kauffman, D. Murdiyarso, S. Kurnianto, M. Stidham and M. Kanninen 2011. Mangroves Among The Most Carbon-Rich Forests In The Tropic. Nature Geoscience Vol 4 :293-297. Elfwing,T and M.Tedengren. 2000. A
Comparison Of Production Effects Between Corals And Macroalgae At Increased Sea Water Temperature. Proc9th Coral Reef Symposium, Bali, Indonesia 23-27 October 2000, Vol2 :1139-11467.
Field C.B., J.B. Michael, T.R. James and F. Paul 1998. Primary Production of the Biosphere : Integrating Terrestrial and Oceanic Components. Science. Vol 281 : 237-240. Fourqurean J., C. Duarte, H. Kennedy, N. Marba,
M. Holmer, and M. Mateo and Serrano. 2012. Seagrass Ecosystem As A Globally Significant Carbon Stock. Nature Geoscience Vol 5 : 505-509.
Gatusso, J-P, M. Frankignoulle and S.V. Smith. 1999. Measurement of Community Metabolism And Significance in The Coral Reef CO2 Source Sink Debate. Proceeding National Academy of Sciences (96): 13017-13022.
Hutahaean, A. 2013. Litbang Karbon Biru, Gunakan Ekosistem Laut Turunkan Emisi. www.kompasiana.com. Diakses tanggal 20 Maret 2016.
PENDEKATAN TERUMBU KARANG PADA PROSES BLUE CARBON
Terumbu karang merupakan ekosistem yang berhubungan erat dengan blue carbon, walaupun terumbu karang walaupun beberapa ahli mengatakan bahwa terumbu karang justru merupakan sumber pelepas karbon (Gatusso et al., 1999). Secara ekologis, mangrove dan padang lamun memiliki hubungan yang sangat penting di dalam ekosistem pesisir, sehingga kedua ekosistem ini disebut sebagai bagian penting yang tidak terpisahkan dari ekosistem terumbu karang yang lebih luas. Kesehatan, kelimpahan dan keragaman organisme yang membuat ekosistem terumbu karang berhubungan secara langsung ke lingkungan darat dan laut di sekitarnya. Ekosistem mangrove membantu menyeimbangkan garis pantai dan juga menyaring runoff dan nutrien, melindungi karang dari polusi yang berasal dari
darat. Perakaran tumbuhan mangrove seperti Rhizopora sp., Avicennia sp., dan Sonneratia sp. menyediakan tempat memijah, bertelur dan makan bagi banyak biota yang ditemukan di karang. Mangrove diketahui sangat berpengaruh pada struktur komunitas ikan yang tinggal di lingkungan terumbu karang, termasuk spesies biota yang memiliki nilai ekonomis sebagai komoditas perdagangan dan pariwisata, terutama jika habitatnya berhubungan dengan mangrove seperti ikan Napoleon (Mumby et al., 2004) . Di sisi lain, padang lamun seringkali membentuk laguna di antara mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berperan sebagai dasar jaring makanan dan sebagai tempat tinggal untuk biota yang berasosiasi dengan terumbu karang. Sebagai tambahan, terumbu karang juga berperan dalam melindungi habitat mangrove dan padang lamun dari arus dan ombak keras (Lutz et al., 2014) serta dapat memperlambat laju ombak yang datang ke pantai atau pesisir.
Gambar 4 .Hubungan antara habitat terestrial dan ekosistem blue carbon (lamun dan mangrove) serta terumbu karang (sumber : Lutz et al, 2014)
yang kuat dan menjadikan kekuatan tarik intermolekul semakin kuat pada edible film. Standar minimal kuat tarik yang ditetapkan oleh Japanese Industrial Standard dalam Korchta et al (1994) yaitu minimal 40 Kgf/cm2.
KETEBALAN
Ketebalan merupakan parameter yang berpengaruh terhadap penggunaan film dalam pembentukan produk yang dikemas (Suryaningrum et al., 2005). Ketebalan film mempengaruhi permeabilitas terhadap uap air dan gas. Semakin tinggi nilai ketebalannya, maka sifat dari edible film yang dihasilkan akan semakin kaku dan keras, serta dengan produk yang dikemas akan semakin aman dari pengaruh luar (Jacoeb et al., 2014). Semakin banyak karagenan yang digunakan, maka nilai ketebalan edible film semakin tebal. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi jumlah karagenan yang digunakan pada matriks film, maka total padatan semakin tinggi. Total padatan diperoleh dari proses gaya tolakan (repulsion) antar muatan-muatan negatif sepanjang rantai polimer yaitu gugus sulfat, mengakibatkan rantai molekul yang kaku, karena sifat hidrofiliknya polimer tersebut dikelilingi oleh molekul-molekul air yang termobilisasi, sehingga menyebabkan larutan karagenan bersifat kental (Santoso et al., 2013). Menurut Mc Haugh et al (1994), apabila ketebalan semakin meningkat, maka kemampuan penahannya akan semakin baik, sehingga umur simpan produk semakin panjang. Standar ketebalan edible film menurut Japanese Industrial Standart dalam Krochta et al (1994) yaitu maksimal 0,25 mm.
LAJU TRANSMISI UAP AIR
Laju transmisi uap air merupakan laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan tertentu, sebagai akibat dari suatu perbedaan
unit tekanan uap antara dua permukaan tertentu, pada kondisi dan suhu tertentu (Korchta et al., 1997). Menurut Garcia et al (2000), migrasi uap air umumnya terjadi pada bagian film yang hidrofilik. Dengan demikian rasio antara bagian yang hidrofilik dan hidrofobik komponen film akan mempengaruhi nilai laju transmisi uap air film tersebut. Semakin besar hidrofobisitas film, maka nilai laju transmisi uap air film tersebut akan semakin menurun, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin besar hidrofilisitas film, maka nilai laju transmisi uap air film tersebut akan semakin naik. Semakin kecil migrasi uap air yang tejadi pada produk yang dikemas oleh edible film, maka semakin baik sifat edible film dalam menjaga umur simpan produk yang dikemasnya. Batas standar maksimal laju transmisi uap air yang ditetapkan oleh Japanese Industrial Standart dalam Krochta et al (1994) yaitu maksimal 10 g/m2.
KELARUTAN FILM
disimpulkan bahwa dengan penambahan komponen yang bersifat hidrofilik pada edible film akan menyebabkan peningkatan persentase kelarutan film.
PENUTUP
Pemanfaatan karagenan menjadi edible film merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemanfaatan dari karagenan. Selain itu, juga merupakan alternatif kemasan yang baik untuk meningkatkan daya tahan dan kualitas bahan pangan selama penyimpanan. Karakteristik dari edible film akan berubah seiring dengan penambahan jumlah dari karagenannya. Dengan penambahan jumlah karagenan tersebut maka dapat meningkatkan nilai ketebalan, kekuatan tarik, laju transmisi uap air serta nilai kelarutan dari edible film itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, H. 2008. Kajian Pembuatan Edible Film Komposit dari Karagenan Sebagai Pengemas Bumbu Mie Instant Rebus. Jurnal Agriplus 18(1):77-84.
Bertuzzi, M.A., E.F.C. Vidaurre, M. Armada and J.O Gottifredi. 2007. Wate Vapour Permeability Of Edible Starch Based Films. Journal Food Enggineering 80:972-978.
Donhowe, G and O. Fennema, 1994. Edible Film and Coating: Characteristic, formation, definitions and testing methods. In J.M. Krochta, E.A. Baldwin, and M.O. Nisperos-Carriedo, (eds) Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Technomic Publ. Co. Inc. Lancaster, Pennsylvania: 378 pp.
Garcia, M.A., M.N. Martino, and N.E. Zaritzky, 2000. Lipid Addition to Improve Barrier
Properties of Edible Starch-Based Films and Coatings. Journal of Food Science 65(2):941–947.
Handito, D. 2011. Pengaruh Konsentrasi Karagenan Terhadap Sifat Fisik dan Mekanik Edible Film. Agroteksos 21: 2-3.
Hui, Y.H. 2006. Handbook of Food Science, Technology and Engineering Volume 3.CRC Press. USA 1:171-180.
Irawan, S. 2010. Pengaruh Gliserol Terhadap Sifat Fisik atau Mekanik dan Barrier Edible Film dari Kitosan. Jurnal Kimia dan Kemasan 32(1):6-12.
Irianto, H.E., A. Susianti, M. Darmawan, dan Syamdidi. 2005. Pembuatan Edible Film dari Komposit Karaginan, Tepung Tapioka dan Lilin Lebah. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11(2): 93-101.
Jacoeb, A.M., N. Roni, dan P.S.D.U. Siluh, 2014. Pembuatan Edible Film dari Pati Buah Lindur dengan Penambahan Gliserol dan Karaginan. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 17(1):14-21.
Krochta, J.M., Baldwin and N. Carriedo, 1994. Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Technomic Publishing Co. Inc., Pennsylvania:139-187 pp.
Krochta, J.M. and C.D.M. Johnston, 1997. Edible an Biodegradable Films: Challenges and Opportunities. Food Technology 51:61-74.
Lee, S. Y., and V.C.H Wan , 2005. Edible Films and Coatings. In Handbook of Food
KONTRADIKSI TERUMBU KARANG BUKAN PENYERAP BLUE KARBON
Terumbu karang membentuk struktur masif kalsium karbonat di perairan laut tropis dangkal. Walaupun ekosistem terumbu karang menutupi kurang dari 0,1 persen wilayah permukaan bumi (Lutz et al., 2014), tetapi terumbu karang bertanggungjawab pada deposit kalsium karbonat di dalam laut. Terumbu karang memproduksi sejumlah besar kalsium karbonat yang seringkali diartikan bahwa ekosistem ini merupakan tempat penyimpanan kalsium karbonat maka karbon dioksida sebenarnya terbentuk. Proses biologis lainnya, sebagai tambahan proses kalsifikasi, juga berakibat pada jumlah karbon dioksida yang dihasilkan atau dikonsumsi oleh ekosistem terumbu karang. Proses metabolik ini termasuk respirasi yang menghasilkan karbon dioksida dan proses fotosintesis yang menggunakan karbon dioksida.
Pada beberapa area terumbu yaitu pada rataan terumbu karang, umumnya didominasi oleh organisme laut yang berfotosintesis seperti rumput laut dan padang lamun yang merupakan penyerap karbon-dioksida. Bagaimanapun, sebagian besar area terumbu lainnya dihuni oleh organisme non fotosintesis yang aktivitas respirasinya merupakan sumber dari karbon dioksida. Akibatnya, pada sebagian besar sistem terumbu karang, hasil karbon dari proses fotosintesis dan respirasi cenderung berada dalam kondisi yang seimbang, dan produk bersih hanya memberi sedikit kontribusi pada keseluru-han karbon dioksida yang diperlukan untuk karang yang didominasi oleh hasil kalsifikasi (Lutz et al., 2014). Sebagai hasil dari keseluruhan proses, karang merupakan sumber karbon dioksida yang secara global menyumbang
sebanyak 0,02 – 0,08 miliar metrik ton karbon dioksida per tahun ke atmosfer (Ware et al., 1993). Konsekuensinya, walaupun karang merupakan sumber yang menyumbang karbon ke atmosfer, tapi jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan dengan pembakaran bahan bakar model matematika untuk mencoba meniru mekanisme di Laut Jawa. Penelitian ini menyim-pulkan bahwa Laut Jawa berpotensi melepaskan karbon ke atmosfer dalam kisaran 0,001 – 0,003 mol C/m2 per tahun. Angka ini termasuk kecil (kurang dari 0,1%) dibanding dengan peluang pelepasan karbon pada lokasi up welling ekuator di Lautan Pasifik, yang merupakan carbon source terbesar dari perairan global.
(Hutahaean, 2013). Secara keseluruhan potensi laut Indonesia mampu menyerap CO2 sebesar 219,8 juta ton per tahun. Jumlah ini sebesar 10,99% dari total karbon yang diserap oleh laut Indonesia tiap tahun (Hutahaean, 2013). Untuk
penyerapan karbon, maka mangrove yang diikuti padang lamun dan terumbu karang menempati posisi teratas. Estimasi serapan karbon per tahun disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Estimasi perbandingan penyerapan karbon oleh terumbu karang, mangrove, lamun dan rawa-rawa air laut (sumber : Nellemann et al., 2009)
Penelitian COREMAP Fase II tahun 2008 menyebutkan bahwa kondisi terumbu karang di 14 kabupaten di Indonesia berada dalam kondisi baik, dengan rata-rata tutupan karang batu hidup sebesar 33,50% dan tutupan algae sebesar 44,67% (Anonim, 2010). Persentase tutupan alga yang lebih besar menunjukkan bahwa di dalam ekosistem terumbu karang peran alga lebih besar daripada peran karang batu sebagai penyerap CO2 dan penghasil O2. Indonesia yang memiliki iklim tropis sangat sesuai untuk pertumbuhan algae. Adanya perubahan iklim dan aktivitas manusia juga berdampak positif terhadap pertumbuhan algae di terumbu karang, karena bertambahnya nutrisi yang terus mengalir dari darat ke laut atau
yang disebut juga dengan eutrofikasi (Mc Cook, 1999). Terkait dengan pertumbuhan algae yang akan terus berkembang mengikuti perubahan ikim, kenaikan CO2 di udara diharapkan tidak terus terjadi seperti yang diramalkan bahwa akan terjadi kenaikan CO2 sebanyak dua kali lipat pada tahun 2065 (Wigley, 1999). Pemanasan global di daerah tropis tidak saja menyebabkan coral bleaching (Wilkinson, 2000) dan berkurangnya rasio GP/R pada karang hidup, tetapi juga meningkatkan rasio GP/R pada algae (Elfwing &Tendergren, 2000). GP/R adalah rasio perbandingan antara selisih produktivitas bersih dan kotor dengan hasil respirasi (mg O2/h) (Mc Closkey et al., 1978).
Science, Technology, and Engineering, Y.H. Hui, (Ed)., Crc Pr I Lic. 135.
McHaugh, T. H., J. F. Aujard and J. M. Krochta.1994. Plasticized Whey Protein Edible Film: Water Vapor Permeability Properties. Journal of Food Science, 59: 416-419,423.
Milani, J., and G. Maleki, 2012. Hidrocolloids in Food Industry.In: Valdez, B. (ED) Food Industrial Processes-Methods and equipment; InTech: Croatia, 17-38. Mindarwati, E., 2006, Kajian Pembuatan Edible
Film Komposit dari Karagenan Sebagai Pengemas Bumbu Mie Instant Rebus. [Tesis]. Program Studi teknologi Pasca Panen, Institut Pertanian Bogor, Bogor: 83 hal.
Nugroho, A.A., Basito, dan R. K.A. Baskara, 2013. Kajian Pembuatan Edible Film Tapioka Dengan Pengaruh Penambahan Pektin Beberapa Jenis Kulit Pisang Terhadap Karakteristik Fisik dan Mekanik. Jurnal Teknosains Pangan 2(1):73-79.
Rachmawati, A. K. 2009, Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin Cincau Hijau (Premna oblongifolia. Merr) untuk Pembuatan Edible Film.[Skripsi]. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta: 61 hal.
Santoso,B., F. Pratama, dan R. Pambayun, 2005. Aplikasi Edible Coating Komposit pada
Penyimpanan Lempok Durian. Jurnal Agria 1(2): 95-98.
Santoso, B., Herpandi, A.P. Puspa, dan P. Rindit, 2013. Pemanfaatan Karagenan dan Gum Arabic Sebagai Edible Film Berbasis Hidrokolid. Jurnal Agritech 33(2): 140-145.
Skurtys, O., C. Acevedo, F. Pedreschi, J. Enronoe, F. Osorro,and J.M. Aguilera, 2010. Food Hydrocolloid Edible Films and Coating. Department Food Science and Technology, Universidad de Santiago de Chile.Nova Science Publisher, Inc., Santiago: 66 pp.
Suryaningrum, D.T.H., B. Jamal, dan Nurochmawati. 2005. Stydi Pembuatan Edible Film dari Karagenan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 2(4):1-13.
Winarno, F.G. 1990. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia. Jakarta: 89 hal.
Winarti, C., Miskiyah, dan Widaningrum. 2012. Teknologi Produksi dan Aplikasi Pengemas Edible Antimikroba Berbasis Pati. Jurnal Litbang Pertanian 31(3):85-93.