• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan pendekatan eclectic dalam pembelajaran ppkn (Studi kasus di SMP N 7 Surakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penerapan pendekatan eclectic dalam pembelajaran ppkn (Studi kasus di SMP N 7 Surakarta)"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENERAPAN PENDEKATAN ECLECTIC

DALAM PEMBELAJARAN PPKN

(Studi Kasus di SMP N 7 Surakarta)

Skripsi

Oleh:

NIKEN BUDININGTYAS

NIM: K6405004

PROGRAM PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem pendidikan hendaknya berpusat pada peserta didik serta sistem pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan peserta didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah atau lembaga yang lain. Pendidikan yang hanya memusatkan pada kepentingan kebutuhan kerja secara sempit, harus dikembalikan kepada kepentingan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian peserta didik secara utuh.

Guru yang efektif ialah guru yang memiliki keunggulan dalam mengajar yakni sebagai fasilitator, unggul dalam menjalin suatu hubungan atau relasi maupun komunikasi dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah, serta memiliki kelebihan dalam membangun relasi serta berkomunikasi dengan pihak lain seperti orang tua, komite sekolah maupun pihak terkait yang berkompeten dalam segi administrasi sebagai guru, juga mampu bersikap profesional. Sikap-sikap professional itu meliputi keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman.

(3)

sebagainya.

Perubahan tersebut membawa pula perubahan pada letak tanggung jawab belajar. Apabila dahulu adanya tanggungjawab belajar terpusat hanya pada guru, kini murid yang harus belajar sendiri. Tugas guru adalah sebagai fasilitator dan motivator belajar murid. Maka keberhasilan belajar murid ditentukan bersama oleh murid itu sendiri dan guru.

Menyikapi hal tersebut, kini guru harus lebih kreatif dalam kegiatan belajar mengajar sebagai fasilitator dan motivator yang baik, yakni dengan pengelolaan kelas yang tepat sebagai bagian dari pengelolaan pembelajaran, sehingga dapat menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik siswa didik, agar keberhasilan proses belajar mengajar dapat tercapai. Apalagi dijaman globalisasi seperti sekarang ini, persaingan dalam bidang pendidikan semakin kompetitif. Berkenaan hal tersebut, para akademisi tidak memiliki pilihan lain selain berjuang meraih peluang untuk bisa mengatasi tantangan globalisasi yang beraneka ragam dengan menjadi pendidik lebih kreatif dan inovatif. Hal ini didukung oleh banyaknya ahli luar negeri yang membahas hal tersebut dan menuangkannya dalam journal internasional seperti yang tercantum dibawah ini:

(4)

Pengelolaan kelas harus dikuasai oleh seorang guru sebagai pengajar dan pendidik demi tercapainya efektifitas dan efisiensi dalam proses belajar mengajar. Pengelolaan kelas sering disebut sebagai Managemen Kelas. Menurut Sobri, Asep Jihad, dan Charul Rochman (2009:2), pengelolaan adalah “Serangkaian kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, memotivasi, mengendalikan, dan mengembangkan segala upaya didalam mengatur dan mendayagunakan sumber daya manusia, sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan organisasi”.

Dari uraian tersebut, maka yang dimaksud pengelolaan kelas adalah penyelenggaraan kelas, pengaturan kelas atau pengurusan kelas, yaitu kepemimpinan atau ketatalaksanaan guru dalam menyelenggarakan kelas. Hal ini sesuai dengan pengertian pengelolaan kelas oleh Sobri, Asep Jihad dan Charul Rochman (2009:46), yaitu: “Kegiatan mengelola kelas merupakan upaya yang dilakukan oleh guru dalam melaksanakan proses pembelajaran agar tujuan pembelajaran bisa tercapai secara efektif dan efisien. Hal ini menyangkut strategi pembelajaran, pemanfaatan media, tempat duduk dan lain-lain”.

Dalam pengelolaan kelas dikenal beberapa pendekatan yang dapat dipilih dan digunakan oleh guru agar murid-murid dapat mencapai tujuan belajar dengan efektif dan efisien. Setiap guru harus benar-benar memahami pola-pola pendekatan yang digunakan-nya dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) sebagai alternative terbaik yang dipilih-nya. Beberapa pendekatan tersebut menurut weber dalam buku susunan Iskandar, “diklasifikasikan kedalam tiga pengertian, yaitu berdasarkan pendekatan otoriter (autority approach), pendekatan permisif (permissive approach) dan pendekatan modifikasi tingkah laku.” (2009:211)

(5)

berdasarkan informasi yang diperoleh melalui penelitian-penelitian. Tiga pendekatan tersebut adalah: Behavior-Modification Approach yang mengemukakan asumsi bahwa semua tingkah laku, yang “baik” maupun yang “kurang baik” merupakan hasil proses belajar. Socio-Emosional-Climate Approach yang mengasumsikan bahwa dalam proses pembelajaran yang efektif mempersyaratkan iklim sosio-emosional yang baik dalam arti terdapat hubungan interpersonal yang baik antara guru - peserta didik dan antara peserta didik. Serta Group Processes Approach yang memiliki asumsi pokok bahwa pengalaman belajar sekolah berlangsung dalam konteks kelompok sosial, sehingga tugas guru yang utama dalam pengelolaan kelas adalah membina dan memelihara kelompok yang produktif dan kohesive.”

Apabila disimak secara seksama maka ketiga pendekatan yang telah diuraikan tersebut adalah ibarat sudut pandangan yang berbeda-beda terhadap objek yang sama. Oleh Martinis Yamin dan Maisah, penerapan ketiga pendekatan tersebut dinyatakan sebagai penerapan pendekatan eclectic, “…seyogyanya seorang guru menggunakan pendekatan eclectic (Eclectic Approach).” (2009:68)

Kata “eclectic” dalam kamus bahasa Inggris – Indonesia , memiliki arti sebagai kata sifat yaitu, “bersifat memilih dari berbagai sumber”. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pendekatan Eclectic atau Eclectic Aproach adalah, suatu cara yang digunakan sebagai jalan untuk mencapai suatu tujuan dengan memilih hal yang paling sesuai dengan kebutuhan dan mengambil dari berbagai sumber yang berkaitan.

(6)

pendekatan eclectic yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik maka tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Untuk maksud itu seorang guru diharuskan menguasai berbagai pendekatan dalam pengelolaan kelas yang potensial. Dalam hal ini pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan perubahan tingkah laku, penciptaan iklim sosio-emosional dan proses kelompok. Dan untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan, tentunya seorang guru diharuskan mampu memilih pendekatan yang tepat dan melaksanakan prosedur yang sesuai dengan baik dalam masalah pengelolaan kelas.

Hal tersebut seperti yang dipaparkan oleh Martinis Yamin dan Maisah (2009:68) bahwa, “Pendekatan perubahan tingkah laku dipilih bila tujuan tindakan pengelolaan yang akan dilakukan adalah menguatkan tingkah laku peserta didik yang baik dan/atau menghilangkan tingkah laku peserta didik yang kurang baik; pendekatan penciptaan iklim sosio-emosional dipergunakan apabila sasaran tindakan pengelolaan adalah peningkatan hubungan antar pribadi guru dan peserta didik serta antar peserta didik; sedangkan pendekatan proses kelompok dianut bila seorang guru ingin kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif.”

(7)

agar tingkah laku siswa yang baik dapat terus ditingkatkan, sehingga budi pekerti yang luhur dari peserta didik dapat diwujudkan. Dan penerapan pendekatan eclectic juga dapat membantu guru dalam mencapai tujuan belajar yang efektif dan efisien karena secara tidak langsung membuat siswa lebih menurut dan patuh. Dari hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pendekatan eclectic adalah pendekatan yang sesuai untuk digunakan dalam menyampaikan materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, karena tujuan utama dari penyampaian materi Pendidikan Kewarganegaraan adalah menciptakan karakter siswa didik yang baik. Bukan hanya baik dalam teori namun juga dalam praktik tingkah laku sehari-hari.

Dari observasi yang telah penulis lakukan di SMP N 7 Surakarta, terbukti bahwa dalam PBM PPKn di SMP N 7 Surakarta, pengajar menggunakan Pendekatan Eclectic dalam Pengelolaan Pembelajaran, sehingga relevan untuk penulis jadikan sebagai tempat penelitian.

Penelitian yang serupa juga pernah dilakukan sebelumnya oleh Ade Tatang M, yang dimuat dalam sebuah situs di internet pada 13 Januari 2009 yang berjudul “Berbagai macam Pengelolaam Kelas dan Implikasinya Terhadap Pengembangan RPP”. Dalam jurnal tersebut, disebutkan beberapa pendekatan-pendekatan dalam Pengelolaan Kelas yaitu:

1. Pendekatan Pengubahan tingkah laku

Yang mengatakan bahwa semua tingkah laku baik yang sesuai maupun tidak sesuai adalah hasil belajar.

2. Pendekatan Iklim Sosio Emosional

Yang didasarkan pada suatu keyakinan bahwa pengelolaan kelas yang efektif merupakan fungsi dari hubungan yang positif antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa, dengan guru sebagai penentu utama hubungan interpersonal dan iklim kelas.

3. Pendekatan Proses Kelompok

Yang memiliki empat asumsi dasar, yaitu:

(8)

b. Tugas pokok guru adalah mempertahankan dan mengembangkan suasana kelompok yang efektif dan produktif,

c. Kelas adalah suatu sistem sosial yang memiliki ciri-ciri sebagaimana yang dimiliki oleh sistem sosial masing-masing siswa, d. Tugas pengelola kelas adalah mengembangkan dan

mempertahankan kondisi yang dimaksud.

Pendekatan eclectic dilaksanakan oleh guru dengan jalan mewujudkan suasana kelas yang menyenangkan, interaktif, komunikatif dan mengutamakan budaya tutur yang santun, agar keteladanan guru dapat tertanam secara otomatis sehingga menjadi karakter yang mempribadi pada setiap murid. Seperti yang terjadi di SMP N 7 Surakarta, dengan adanya guru PPKn yang mengajar menggunakan pendekatan eclectic, telah membuat siswa memiliki kesadaran diri untuk disiplin terhadap setiap peraturan yang ada tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ini membuktikan bahwa cara guru menyampaikan materi pelajaran dengan membiasakan budaya tutur yang santun serta memberi teladan bagi peserta didik, lebih efektif dalam menanamkan karakter disiplin diri yang mempribadi pada diri peserta didik, daripada menerapkan peraturan dengan sanksi yang keras tanpa toleransi. Contoh keteladanan guru di SMP N 7 Surakarta adalah mereka senantiasa disiplin dalam managemen waktu, dan senantiasa menyampaikan materi pelajaran dengan bahasa yang menyenangkan dan membuat siswa tertarik dengan materi yang disampaikan. Setiap pagi sebelum memulai pelajaran, guru yang mengajar tidak lupa memberikan motivasi-motivasi bagi peserta didik agar lebih bersemangat dalam menjalani kegiatan belajar mengajar. Hal ini sesuai dengan UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003, BAB XI (Pasal 40, Huruf a dan c) yang berbunyi:

Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban :

a) Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;

(9)

Dalam PP, No 19 Tahun 2005, tentang STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN, BAB IV (Pasal 19, ayat 1), disebutkan bahwa “Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik”.

Secara implicit keberhasilan belajar akan di kaji dari sudut pandang “Disiplin Kelas”, karena merupakan suatu permasalahan yang penting dalam pengelolaan kelas yang merupakan salah satu kriteria dalam menilai kualitas keberhasilan mengajar seorang guru. Ini dikuatkan oleh pendapat:

The foremost concern of new teachers is managing the classroom effectively, but, too often, managing effectively is seen as simply dealing with misbehavior. To view good classroom management as a set of strategies for disciplining student is to misunderstand the basis on which good management rests. Effective classroom managers are distinguished by their success in preventing problems from arising in the first place, rather than by special skills in dealing with problems once they occur. Good management practice begins on the first day of school with carefully organized, systematic plans for accomplishing classroom tasks and activities. Good managers also make clear their expectation for students work and behavior, rules and procedures, routines for checking and monitoring student academic work, procedures for grading and giving feedback to students, incentives and deterrens, methods for grouping student, and a whole variety of seemingly minor but essential procedures. Proactive planning helps avert behavior problems by providing students with ways to be successful. (Carolyn M. Evertson, dalam Ornstein, C.Allan, 1990:350)

Artikel tersebut memperlihatkan bahwa hal utama yang harus dikuasai oleh seorang guru yang masih baru adalah kemampuan dalam mengelola kelas, karena ketika menghadapi situasi yang baru seorang guru mayoritas memiliki tantangan dalam hal mengendalikan siswa dan menciptakan iklim yang kondusif dalam kelas. Akan tetapi mayoritas guru meremehkan hal ini dan menganggap pengelolaan kelas yang baik cukup dilakukan dengan memberikan hukuman dan tindakan tegas pada peserta didik yang melanggar peraturan.

(10)

untuk mendisiplinkan siswa, adalah dengan tidak menyalah-artikan dasar utama yang merupakan tujuan dari pengelolaan yang baik. Pengelola kelas yang efektif dibedakan oleh kesuksesannya dalam mencegah berkembangnya suatu permasalahan sejak pertama terjadi, daripada oleh kemampuan khusus yang dimiliki dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada suatu ketika. Praktek pengelolaan yang baik dimulai sejak hari pertama di sekolah, dengan pengorganisasian yang hati-hati, perencanaan yang sistematis untuk menyelesaikan tugas serta aktivitas kelas. Pengelola yang baik juga menyatakan dengan benar harapannya tentang pekerjaan dan tingkah laku siswa yang diinginkan, peraturan dan prosedurnya, kebiasaan untuk mengecek dan memonitor pekerjaan akademik siswa, prosedur untuk meningkatkan prestasi dan pemberian umpan balik pada siswa, penghargaan dan pemberian ketakutan, metode untuk mengelompokkan siswa, dan memperhatikan hal-hal yang kecil namun merupakan prosedur yang penting. Perencanaan yang pro-aktiv dapat membantu dalam mencegah permasalahan yang timbul dengan menyediakan jalan menuju kesuksesan bagi siswa.

Keberhasilan pendidikan yang dilihat dari meningkatnya kedisiplinan siswa yang selaras dengan perkembangan karakter siswa di jaman globalisasi seperti sekarang ini, juga disetujui oleh beberapa ahli pendidikan yang dituangkan dalam sebuah journal internasional yaitu:

(11)

little or no overlap between them, and with little perceived relationship and relevance of one to another. (David Crowter and Chris Carter, 2002:268-278)

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis telah mengkaji masalah pengelolaan kelas sebagai bagian dari pengelolaan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan eclectic, dengan judul “PENERAPAN PENDEKATAN ECLECTIC DALAM PEMBELAJARAN PPKN (Studi Kasus di SMP N 7 Surakarta)”, sehingga mendapatkan hasil penelitian yang semoga memberi manfaat, agar mutu pendidikan di Indonesia dapat terus ditingkatkan dari waktu ke waktu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penerapan pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta?

2. Bagaimanakah kendala-kendala pelaksanaan pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta?

3. Mengapa pendekatan eclectic diterapkan dalam pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan uraian perumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui praktik penerapan pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dijumpai pada pelaksanaan pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta. 3. Untuk mengetahui alasan penerapan pendekatan eclectic dalam

(12)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan Sosial, dan menambah khasanah pustaka.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:

a. Bagi penulis, merupakan sarana untuk dapat mengembangkan gagasan atau pikiran dalam menerapkan teori-teori dengan keadaan yang sebenarnya.

b. Bagi Program PKn sebagai bahan masukan untuk pengayaan khasanah materi perkuliahan.

(13)

BAB II

LANDASAN TORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Tentang Pendekatan Eclectic

a. Pengertian Pendekatan Eclectic

Pengertian dari “Pendekatan Eclectic”, tentunya tidak terlepas dari pengertian “Pendekatan” dan “Eclectic”. Pendekatan secara umum dapat diartikan dengan “cara yang digunakan untuk mendekati atau meraih sesuatu”.

Sedangkan kata “eclectic” dalam kamus bahasa Inggris–Indonesia, memiliki arti sebagai kata sifat yaitu, “bersifat memilih dari berbagai sumber”. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pendekatan Eclectic atau Eclectic Aproach adalah, suatu cara yang digunakan sebagai jalan untuk mencapai suatu tujuan dengan memilih hal yang paling sesuai dengan kebutuhan dan mengambil dari berbagai sumber yang berkaitan.

Hal tersebut diperkuat oleh pendapat dari Martinis Yamin dan Maisah (2009:68) yang menyatakan bahwa, “…seyogyanya seorang guru menggunakan pendekatan eclectic (Eclectic Approach). Untuk maksud itu seorang guru seharusnya; Menguasai pendekatan-pendekatan pengelolaan kelas yang potensial, dalam hal ini pendekatan perubahan tingkah laku, penciptaan iklim sosio-emosional dan proses kelompok, serta dapat memilih pendekatan yang tepat dan melaksanakan prosedur yang sesuai dengan baik dalam masalah pengelolaan kelas. Pendekatan perubahan tingkah laku dipilih bila tujuan tindakan pengelolaan yang akan dilakukan adalah menguatkan tingkah laku peserta didik yang baik dan/atau menghilangkan tingkah laku peserta didik yang kurang baik; pendekatan penciptaan iklim sosio-emosional dipergunakan apabila sasaran tindakan pengelolaan adalah peningkatan hubungan antar pribadi guru dan peserta didik serta antar peserta didik; sedangkan pendekatan proses kelompok dianut bila seorang guru ingin kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif.”

(14)

Selain pendapat tersebut, Soedomo Hadi (2005:81) juga menambahkan bahwa, “Di dalam melaksanakan pendekatan-pendekatan tersebut, guru tidak harus memilih salah satu pendekatan saja, tetapi dapat juga mengkombinasikan beberapa pendekatan, sesuai dengan situasi dan kondisinya. Dalam hal ini berarti guru menggunakan pendekatan eclectic”.

Masih menurut Soedomo Hadi (2005:86), menyatakan bahwa, “Pendekatan-pendekatan tersebut adalah ibarat sudut pandang yang berbeda terhadap masalah yang sama. Oleh karena itu, guru harus bersikap eclectic. Untuk itu harus; Menguasai pendekatan-pendekatan pengelolaan kelas yang potensial (3 pendekatan tersebut) serta dapat menggunakan pendekatan yang tepat dan melaksanakan prosedur dengan baik dalam masalah pengelolaan kelas.”

Dari penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan eclectic adalah sebuah pendekatan dalam pengelolaan kelas yang bersumber dari tiga jenis pendekatan, yaitu pendekatan perubahan tingkah laku, pendekatan iklim sosio emosional dan pendekatan proses kelompok, yang dalam penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik.

b. Jenis Pendekatan Eclectic

Dalam pendekatan eclectic terdapat beberapa pendekatan yang dapat dipilih dan digunakan oleh guru agar murid-murid dapat mencapai tujuan belajar dengan efektif dan efisien. Setiap guru harus benar-benar memahami pola-pola pendekatan yang digunakan-nya dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) sebagai alternative terbaik yang dipilih-nya. Beberapa pendekatan tersebut menurut weber dalam Iskandar (2009:211) ialah, “…pendekatan otoriter (autority approach), pendekatan permisif (permissiveapproach) dan pendekatan modifikasi tingkah laku.”

(15)

semata-mata sebagai upaya untuk menegakkan tata tertib (buku resep, intimidasi). Dan pandangan permisif, yang memusatkan perhatian pada usaha untuk memaksimalkan kebebasan siswa. Sedangkan pandangan-pandangan yang nampaknya memberi harapan, baik dari aspek penalaran maupun berdasarkan informasi yang diperoleh melalui penelitian-penelitian, dapat diuraikan sebagai berikut; Pendekatan behavior modification, Pendekatan socioemotionalclimate, dan Pendekatan groupprocess.”

Pendapat tersebut senada dengan Martinis Yamin dan Maisah (2009:65-67) yang mengemukakan bahwa, “Terdapat sejumlah konsep tentang pengelolaan kelas yang sebagian diantaranya tidak lagi dianggap memadai, misalnya pandangan otoriter yang melihat pengelolaan kelas semata-mata sebagai upaya untuk menegakkan tata tertib, atau pandangan permissive yang terlalu lemah. Bagi yang tidak memusatkan perhatian pada usaha ini akan dikemukakan tiga pandangan yang tampaknya memberi harapan, baik dari penalarannya maupun berdasarkan informasi yang diperoleh melalui penelitian-penelitian. Tiga pendekatan tersebut adalah: Behavior-Modification Approach yang mengemukakan asumsi bahwa semua tingkah laku, yang “baik” maupun yang “kurang baik” merupakan hasil proses belajar. Socio-Emosional-Climate Approach yang mengasumsikan bahwa dalam proses pembelajaran yang efektif mempersyaratkan iklim sosio-emosional yang baik dalam arti terdapat hubungan interpersonal yang baik antara guru - peserta didik dan antara peserta didik. Serta Group Processes Approach yang memiliki asumsi pokok bahwa pengalaman belajar sekolah berlangsung dalam konteks kelompok sosial, sehingga tugas guru yang utama dalam pengelolaan kelas adalah membina dan memelihara kelompok yang produktif dan kohesive.”

(16)

eclectic, “…seyogyanya seorang guru menggunakan pendekatan eclectic (Eclectic Approach).” (2009:68)

Dari penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pendekatan perubahan tingkah laku perlu digunakan oleh guru bila tujuan tindakan pengelolaan yang akan dilakukan adalah untuk menguatkan tingkah laku peserta didik yang baik atau menghilangkan tingkah laku peserta didik yang kurang baik; pendekatan penciptaan iklim sosio-emosional perlu dipergunakan apabila sasaran tindakan pengelolaan adalah peningkatan hubungan antar pribadi guru dan peserta didik serta antar peserta didik; sedangkan pendekatan proses kelompok perlun dijalankan bila seorang guru ingin kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif.

c. Penerapan Pendekatan Eclectic Oleh Guru

Salah satu tugas utama guru adalah berusaha mengembangkan perilaku peserta didiknya. Dalam hal ini, Abin Syamsuddin Makmun dalam sebuah artikel di internet yang berjudul “Memahami Perilaku Individu”, menyebutkan bahwa, “Tugas guru antara lain sebagai pengubah perilaku peserta didik (behavioral changes). Oleh sebab itu, agar perilaku peserta didik dapat berkembang optimal, tentu saja seorang guru seyogyanya harus dapat memahami tentang bagaimana proses dan mekanisme terbentuknya perilaku para peserta didik. Untuk memahami perilaku individu dapat dilihat dari dua pendekatan, yang saling bertolak belakang, yaitu: behaviorisme dan holistik atau humanisme.”

(17)

suatu perilaku, meskipun tanpa ada stimulus yang datang dari lingkungan.” Hal tersebut diperkuat oleh gagasan seperti tersebut dibawah ini:

Pengelolaan pendidikan merupakan serangkaian kegiatan merencanakan mengorganisasikan, memotivasi, mengendalikan, dan mengembangkan segala upaya didalam mengatur dan mendayagunakan sumber daya manusia, sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Atau bisa juga diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerjasama sejumlah orang untuk mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakan di lingkungan/organisasi pendidikan. (Sobri, Asep jihad dan Charul Rochman, 2009:3)

Sehingga dalam arti yang sederhana dapat dikatakan bahwa, pengelolaan pendidikan merupakan proses pencapaian tujuan pendidikan melalui kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pemotivasian, dan pengendalian. Dan dalam pengelolaan terhadap siswa, harus memperhatikan beberapa prinsip dasar seperti yang tersebut dibawah ini:

Dalam mengelola siswa terdapat empat prinsip dasar, yaitu: siswa harus diperlakukan sebagai subyek dan bukan obyek, sehingga harus didorong untuk berperan serta dalam setiap perencanaan dan pengambilan keputusan yang terkait dengan kegiatan mereka; kondisi siswa sangat beragam, ditinjau dari kondisi fisik, kemampuan intelektual, social ekonomi, minat dan seterusnya, oleh karena itu diperlukan wahana kegiatan yang beragam, sehingga setiap siswa memiliki wahana untuk berkembang secara optimal; siswa hanya termotivasi belajar, jika mereka menyenangi apa yang diajarkan; dan pengembangan potensi siswa tidak hanya menyangkut ranah kognitif, tetapi juga ranah afektif dan psikomotor. (Sobri, Asep Jihad, dan Charul, 2009:48)

(18)

Siswa dalam suatu kelompok kelas biasanya memiliki kemampuan yang beragam, terutama dalam menerima sejumlah pengalaman belajar termasuk didalamnya materi yang harus dikuasainya. Oleh karena itu guru hendaknya memahami tentang karakteristik terutama berkenaan dengan kemampuan belajar. (Sobri, Asep Jihad dan Charul Rochman, 2009:111)

Untuk itulah, setiap guru perlu menguasai perihal psikologi pendidikan yang dapat diimplikasikan dengan jalan menerapkan pendekatan eclectic dalam pengelolaan kelas, agar guru dapat dengan mudah mengetahui karakteristik setiap anak didik yang beragam.

Hal ini senada dengan pernyataan dari Iskandar (2009:1) yaitu, “Upaya menciptakan proses pembelajaran yang bermutu dan berhasil, dapat dilakukan dengan mewujudkan perilaku psikologis proses pengajaran dan pembelajaran antara pendidik dan peserta didik, agar dapat berjalan secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pembelajaran”.

Di dalam proses pengajaran dan pembelajaran terjadi proses (interaksi) antara pendidik dengan peserta didik, dalam interaksi ini terdapat peristiwa psikologis yang dijadikan rambu-rambu oleh para pendidik dalam memperlakukan perserta didik secara efektif dan efisien. Para tenaga pendidik dituntut untuk memahami dan menguasai teori dan aplikasi psikologi pendidikan agar mereka melaksanakan pengajaran dalam proses pendidikan secara berdayaguna dan berhasil guna. (Iskandar, 2009:7)

Sesuai dengan hal tersebut, maka dengan memahami psikologi pendidikan, seorang guru atau dosen (pendidik) melalui pertimbangan-pertimbangan psikologisnya diharapkan dapat:

1) Merumuskan tujuan pembelajaran secara tepat.

2) Memilih strategi atau metode pembelajaran yang sesuai. 3) Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling. 4) Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik.

5) Menciptakan iklim belajar yang kondusif. 6) Berinteraksi secara tepat dengan siswanya.

(19)

Pentingnya psikologi pendidikan dalam dunia pendidikan memang tidak boleh dikesampingkan. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika guru mengetahui perihal psikologi pendidikan secara lebih mendalam. Psikologi pendidikan memiliki arti seperti tersebut dibawah ini:

Psikologi Pendidikan dapat diartikan sebagai salah satu cabang psikologi yang secara khusus mengkaji perilaku individu dalam konteks situasi pendidikan dengan tujuan untuk menemukan berbagai fakta, generalisasi dan teori-teori psikologi berkaitan dengan pendidikan, yang diperoleh melalui metode ilmiah tertentu, dalam rangka pencapaian efektivitas proses pendidikan. (Akhmad Sudrajat, 2009).

Tanpa pengetahuan dan pemahaman tentang psikologi dalam proses pendidikan, mustahil proses pengajaran dan pembelajaran akan berjalan dengan lancar. Hal ini senada dengan sebuah pernyatan sebagai berikut:

Agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka setiap orang yang terlibat dalam pendidikan tersebut seyogyanya dapat memahami tentang perilaku individu, kelompok, maupun social sekaligus dapat menunjukkan perilakunya secara efektif. Dengan demikian mempelajari dan memahami Psikologi Pendidikan merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. (Iskandar, 2009:11).

2. Tinjauan Tentang Pembelajaran

a. Pengertian Pembelajaran

Pembelajaran memiliki pengertian yang sama dengan proses belajar mengajar. Oleh karena itu mendefinisikan proses belajar mengajar sama halnya dengan mendefinisikan pembelajaran. Lebih jelasnya, penulis jabarkan sebagaimana berikut dibawah ini, yaitu:

1) Pengertian Proses

(20)

“Proses dalam pengertiannya disini merupakan interaksi antara semua komponen atau unsur yang terdapat dalam belajar-mengajar yang satu sama lainnya saling berhubungan (interdependent) dalam ikatan untuk mencapai tujuan.” (Uzer Usman, 2009:5).

Menurut Makmun (2004:156) proses belajar mengajar merupakan, “Suatu rangkaian interaksi antara siswa dengan guru dalam rangka mencapai tujuannya. Maknanya terjadi perilaku belajar pada siswa dan perilaku mengajar pada pihak guru yang terjadi hubungan interaktif yang bersifat mengikat antara aktivitas kedua belah pihak.”

Proses pembelajaran adalah seperangkat kegiatan belajar yang dilakukan siswa (peserta didik). Kegiatan belajar yang dilaksanakan siswa di bawah bimbingan guru. Guru bertugas merumuskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai pada saat mengajar. Untuk mencapai tujuan pembelajaran, guru dituntut untuk merancangkan sejumlah pengalaman belajar. (Cronbach dalam Iskandar, 2009:98)

2) Pengertian Belajar

Sardiman (2001:3) berpendapat bahwa “Belajar diartikan sebagai suatu perubahan tingkah laku karena hasil dari pengalaman yang diperoleh. Sedangkan mengajar adalah kegiatan penyediaan kondisi yang merangsang serta mengarahkan kegiatan belajar siswa/subjek belajar untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang dapat membawa perubahan tingkah laku maupun perubahan serta kesadaran diri sebagai pribadi.”

Belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dan individu dengan lingkungannya. Burton menyatakan, “learning is a change in the individual due to instruction of that individual and his environment, which fells a need and makes him more capable of dealing adequately with his environment”. (W.H. Burton dalam Uzer Usman, 2009:5)

(21)

untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.” Keharusan bagi manusia untuk senantiasa belajar memang tidak bisa ditawar lagi. Pentingnya belajar juga dipaparkan oleh banyak ahli seperti tersebut dibawah ini:

Begitu pentingnya belajar maka Islam sebagai agama rahmah li al-alamin sangat mewajibkan umatnya untuk selalu belajar. Bahkan, Allah mengawali menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia dengan ayat yang memerintahkan rasul-Nya, Muhammad Saw., untuk membaca dan membaca (iqra’). Iqra’ merupakan salah satu perwujudan dari aktivitas belajar. Dan dalam arti yang luas, dengan iqra’ pula manusia dapat mengembangkan pengetahuan dan memperbaiki kehidupannya. Betapa pentingnya belajar, karena itu dalam Al-Qur’an Allah berjanji akan meningkatkan derajat orang yang belajar daripada yang tidak. (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2008:29)

Masih menurut Quraish Shihab dalam Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2008:31), “Iqra’ berasal dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari kata menghimpun inilah lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak. Berbagai makna yang muncul dari kata tersebut sebenarnya secara tersirat menunjukkan perintah untuk melakukan kegiatan belajar, karena dalam belajar juga mengandung kegiatan-kegiatan seperti mendalami, meneliti, membaca, dan lain sebagainya.”

(22)

senantiasa membaca dan meneliti serta mendalami, cara manusia belajar yang paling unik adalah dengan meniru. Maka dari itu, keberadaan seseorang sebagai figur teladan bagi orang disekelilingnya merupakan hal yang penting. Hal ini seperti dijabarkan sebagai berikut:

Karena tabiat manusia yang cenderung untuk meniru, maka teladan yang baik merupakan hal yang paling penting dalam membentuk perilaku manusia. Oleh sebab itu, salah satu tujuan Nabi Muhammad Saw., diutus oleh Allah adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia dengan memberikan teladan bagi umatnya, bukan hanya dalam hal beribadah tetapi juga dalam perilaku kehidupan sehari-hari. (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2008:35)

3) Pengertian Mengajar

Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moril yang cukup berat. Berhasilnya pendidikan pada siswa sangat bergantung pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar. (Uzer Usman, 2009:6)

Penjelasan tersebut diperkuat oleh Nana Sudjana (2009:29) yang menjelaskan bahwa, “Mengajarpun pada hakikatnya merupakan suatu proses, yang mencakup proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan proses belajar. Pada tahapan berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan atau bantuan kepada siswa dalam melakukan proses belajar.” Sehingga dapat dikatakan bahwa mengajar tidak semata-mata membutuhkan kemampuan dalam penguasaan terhadap materi yang disampaikan saja. Namun seorang pengajar juga harus memiliki kemampuan dalam menciptakan kondisi kelas yang kondusif. Hal ini senada dengan pendapat seperti tersebut dibawah ini:

(23)

terampil memanfaatkan media dan memilih sumber serta memahami landasan-landasan pendidikan sebagai dasar bertindak. (Sardiman, 2001:170)

4) Pengertian Proses Belajar Mengajar

Uzer Usman (2009:4) berpendapat bahwa, “Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar-mengajar. Dalam hal ini bukan hanya memiliki makna penyampaian pesan berupa materi pelajaran, melainkan juga mencakup penanaman sikap serta nilai pada diri siswa yang sedang belajar.” Ini diperkuat oleh pendapat sebagai berikut:

Dalam proses belajar mengajar, kegiatan interaksi antara guru dan siswa merupakan kegiatan yang cukup dominan. Kemudian di dalam kegiatan interaksi antara guru dan siswa dalam rangka transfer of knowledge dan bahkan juga transfer of values, akan senantiasa menuntut komponen yang serasi antara komponen yang satu dengan yang lain. Serasi dalam hal ini berarti komponen-komponen yang ada pada kegiatan proses belajar mengajar itu akan saling menyesuaikan dalam rangka mendukung pencapaian tujuan belajar bagi anak didik. (Sardiman, 2001:170)

Dari pernyataan tersebut, dapat terlihat secara jelas bahwa yang dimaksud dengan proses belajar mengajar adalah proses pembelajaran. Adapun hal tersebut ditegaskan oleh Daryanto (2009:168), dalam pernyataannya sebagai berikut, “Dalam pelaksanaan pengelolaan kegiatan belajar mengajar atau pembelajaran harus memahami prinsip pembelajarannya terlebih dahulu, sehingga dengan dasar tersebut akan mendapatkan hasil pengelolaan yang optimal.”

(24)

peserta didik. Dan dapat pula dijabarkan sebagai kegiatan belajar yang dilaksanakan siswa di bawah bimbingan guru. Dalam hal ini guru bertugas merumuskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai pada saat mengajar. Untuk mencapai tujuan pembelajaran, guru dituntut untuk merancangkan sejumlah pengalaman belajar. Yang dimaksud dengan pengalaman belajar disini adalah segala yang diperoleh siswa sebagai hasil dari belajar (learning experience). Belajar ditandai dengan mengalami perubahan tingkah laku, karena mengalami pengalaman baru”. Sebagai penguat, ada pula pendapat perihal proses pembelajaran seperti tersebut dibawah ini:

Proses pembelajaran merupakan suatu rangkaian interaksi antara siswa dengan guru dalam rangka mencapai tujuannya. Maknanya terjadi perilaku belajar pada siswa dan perilaku mengajar pada pihak guru yang terjadi hubungan interaktif yang bersifat mengikat antara aktivitas kedua belah pihak. (Makmun, 2004:156)

Pembelajaran merupakan suatu proses yang terdiri dari kombinasi dua aspek, yaitu: belajar tertuju kepada apa yang harus dilakukan oleh siswa, mengajar berorientasi pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu kegiatan pada saat terjadi interaksi antara guru dengan siswa, serta antara siswa dengan siswa disaat pembelajaran sedang berlangsung. Dengan kata lain pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses komunikasi antara peserta didik dengan pendidik serta antar peserta didik dalam rangka perubahan sikap. (Asep Jihad dan Abdul Haris, 2008:11)

(25)

b. Pengertian Pengelolaan Pembelajaran

Martinis Yamin dan Maisah (2009:164) menjelaskan bahwa, “Pengelolaan pembelajaran baik dalam kelas maupun di luar kelas, di dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran, meliputi beberapa kegiatan yakni pengelolaan tempat belajar atau ruang kelas, pengelolaan siswa, pengelolaan kegiatan pembelajaran, pengelolaan materi pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, serta pengelolaan strategi dan evaluasi pembelajaran.”

Hal tersebut senada dengan pendapat Nana Sudjana (2009:21), yang memaparkan bahwa, “Mengelola atau melaksanakan program belajar-mengajar merupakan tahap pelaksanaan program yang telah dibuat. Dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar, kemampuan yang dituntut untuk dimiliki oleh seorang guru adalah keaktifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan kegiatan siswa belajar sesuai dengan rencana yang telah disusun dalam perencanaan. Guru harus dapat mengambil keputusan atas dasar penilaian yang tepat, apakah kegiatan belajar-mengajar dihentikan, ataukah diubah metodenya, apakah mengulang dulu pelajaran yang lalu, manakala para siswa belum dapat mencapai tujuan pengajaran.”

Daryanto (2009:167) juga berpendapat bahwa, “Pengelolaan kegiatan belajar mengajar merupakan proses pembelajaran utuh dan menyeluruh yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran, termasuk evaluasi programnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan seperti yang telah ditentukan.” Hal ini diperkuat oleh pendapat seperti tersebut dibawah ini:

(26)

pemberian ganjaran bagi ketepatan waktu penyelesaian tugas oleh penetapan norma kelompok yang produktif, dan sebagainya). Dengan kata lain, di dalam proses pembelajaran di sekolah dapat dibedakan adanya dua kelompok masalah yaitu masalah pengajaran dan masalah pengelolaan kelas. Masalah pengelolaan kelas harus ditanggulangi dengan tindakan korektif pengelolaan, sedangkan masalah pembelajaran harus ditanggulangi dengan tindakan korektif instruksional. (Martinis Yamin dan Maisah, 2009:36)

c. Tujuan Pembelajaran

Hamzah B. Uno (2008:34) menjelaskan bahwa, “Tujuan pembelajaran merupakan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan pembelajaran. Sebab segala kegiatan pembelajaran muaranya pada tercapainya tujuan pembelajaran.”

Ada beberapa pendapat dalam Hamzah (2008:35) yang mengemukakan definisi tujuan pembelajaran seperti tersebut dibawah ini:

1. Robert F. Mager, tujuan pembelajaran adalah sebagai perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi dan kompetensi tertentu.

2. Kemp, tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Perilaku ini dapat berupa fakta yang kongkrit serta dapat dilihat dan fakta yang tersamar.

3. Fred Percival dan Henry Ellington, tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan yang jelas dan menunjukkan penampilan atau keterampilan siswa tertentu yang diharapkan dapat dicapai sebagai hasil belajar.

(27)

Masih senada dengan pernyataan tersebut, Sardiman (2001:25) menyatakan bahwa, “Dalam usaha pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan (kondisi) belajar yang lebih kondusif. Hal ini akan berkaitan dengan mengajar. Mengajar diartikan sebagai suatu usaha penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar.” Ada beberapa pendapat dalam menyatakan tujuan belajar seperti tersebut dibawah ini:

Mengenai tujuan-tujuan belajar itu sebenarnya sangat banyak dan bervariasi. Tujuan-tujuan belajar yang eksplisit diusahakan untuk dicapai dengan tindakan instruksional, lazim dinamakan dengan instructional effect, yang biasa berbentuk pengetahuan dan keterampilan. Sedang tujuan-tujuan lebih merupakan hasil sampingan yaitu: tercapai karena siswa “menghidupi (to life ini) suatu sistem lingkungan belajar tertentu seperti contohnya, kemampuan berpikir kritis dan kreatif, sikap terbuka dan demokratis, menerima pendapat orang lain. Semua itu lazim diberi istilah nurturant effect. Jadi guru dalam mengajar, guru harus sudah memiliki rencana dan menetapkan strategi belajar-mengajar untuk mencapai instructional effects, maupun kedua-duanya. (Sardiman, 2001:26)

Tujuan instruksional pada umumnya dikelompokkan kedalam tiga katagori, yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif mencakup tujuan yang berhubungan dengan ingatan (recall), pengetahuan, dan kemampuan intelektual. Domain afektif mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan perubahan-perubahan sikap, nilai, perasaan, dan minat. Domain psikomotor mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan manipulasi dan kemampuan gerak (motor). Demikian menurut Bloom (1956) dan Krathwohl (1964) dalam Taxonomy of Educational Objectives. Klasifikasi tujuan tersebut memungkinkan hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan belajar-mengajar. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa hasil belajar dapat terlihat dari tingkah laku siswa. Hal ini memberikan pula petunjuk bagi guru dalam menentukan tujuan-tujuan dalam bentuk tingkah laku yang diharapkan dari dalam diri siswa. (Uzer Usman, 2009:34)

(28)

hakikatnya adalah hasil belajar yang diharapkan. (Nana Sudjana, 2009:30)

Tidak terlepas dari penjelasan tentang tujuan belajar, disini Nana Sudjana (2009:34-35) juga menjelaskan bahwa, “Terdapat dua criteria keberhasilan pengajaran. Kriteria disini dimaksudkan sebagai ukuran ataupun patokan-patokan dalam menentukan tingkat keberhasilan suatu pengajaran. Mengingat pengajaran merupakan suatu proses yang dinamis untuk mencapai suatu tujuan yang telah dirumuskan, maka kita ditentukan dua criteria yang bersifat umum, yakni: criteria ditinjau dari sudut prosesnya dan criteria ditinjau dari sudut hasil yang dicapainya. Criteria dari sudut proses menekankan kepada pengajaran sebagai suatu proses haruslah merupakan interaksi dinamis sehingga siswa, sebagai subjek yang belajar mampu mengembangkan potensinya melalui belajar sendiri, dan tujuan yang telah ditetapkan tercapai secara efektif. Sedangkan criteria dari segi hasil atau produk menekankan kepada tingkat penguasaan tujuan oleh siswa baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kedua criteria tersebut tidak bisa berdiri sendiri tetapi harus merupakan hubungan sebab dan akibat. Dengan kata lain, pengajaran tidak semata-mata output oriented tetapi juga proses oriented.”

(29)

terbatas kepada satu kegiatan belajar saja?; Keempat, apakah siswa mempunyai kesempatan untuk mengontrol dan menilai sendiri hasil belajar yang dicapainya, ataukah ia tidak mengetahui apakah yang ia lakukan itu benar atau salah?; Kelima, Apakah proses pengajaran dapat melibatkan semua siswa dalam kelas ataukah hanya siswa tertentu yang aktif belajar?; Keenam, apakah suasana pengajaran atau proses belajar mengajar cukup menyenangkan dan merangsang siswa belajar ataukah suasana yang mencemaskan dan menakutkan?; Ketujuh, apakah kelas memiliki sarana belajar yang cukup kaya, sehingga menjadi laboratorium belajar ataukah kelas yang hampa dan miskin dengan sarana belajar, sehingga tidak memungkinkan siswa melakukan kegiatan belajar yang optimal?”.

(30)

bahwa perubahan yang ditunjukkan oleh siswa merupakan akibat dari proses pengajaran, ataukah perubahan itu sebagai akibat lain di luar proses pengajaran?”.

Menurut UNESCO dalam Iskandar (2009, 104-105), terdapat empat pilar belajar, yaitu:

1. “Learning to know” belajar untuk mengetahui.

2. “Learning to do” belajar untuk aktit, prinsip belajar learning to do bermakna “live long educational” kegiatan belajar sepanjang hidup. Dalam isalam kita kenal melalui sabda rasulullah S.A.W menyatakan “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat”. Makna disini adalah bahwa belajar merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia apabila ingin menjadi manusia seutuhnya melalui belajar aktif (active learning). Kegiatan belajar harus dilakukan secara sadar, terus menerus, dan aktif sehingga terjadi perubahan diri yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.

3. “Learning to be” belajar untuk menjadi; makna dari learning to be adalah proses belajar yang dilakukan peserta didik (siswa, mahasiswa) menghasilkan perubahan perilaku individu atau masyarakat terdidik yang mandiri. Makna belajar disini bukan hanya menulis, menghafal, membaca tetapi melalui belajar seseorang mendapatkan jati diri dan kebahagiaan. Kegiatan belajar disini dimaksudkan untuk mendapat pengetahuan untuk berproduktifitas melalui kerja yang sesuai dengan kompetensi (kemampuan) yang kita miliki.

4. “Learning to live together” belajar untuk bersama-sama.

(31)

1. Kognitif, yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan, penalaran atau pikiran terdiri dari kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan, ana;isis, sisntesis dan evaluasi.

2. Afektif yaitu kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari kategori penerimaan, partisipasi, penilaian sikap, organisasi dan pembentukan pola hidup.

3. Psikomotorik, yaitu kemampuan yang mengutamakan keterampilan jasmani terdiri dari persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan dan kreatifitas.”

Iskandar (2009:164) menjelaskan bahwa, “Pendidikan dan pengajaran merupakan suatu proses yang sengaja dan sadar tujuan. Artinya proses belajar mengajar merupakan proses interaksi yang terikat, terarah pada tujuan, dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Tujuan pendidikan dan pengajaran diartikan sebagai suatu bentuk usaha untuk memberikan rumusan hasil yang diharapkan dari siswa sebagai subjek belajar, sehingga memberi arah kemana proses belajar mengajar itu harus dibawa dan dilaksanakan. Oleh karena itu, tujuan harus dirumuskan dan harus memiliki deskripsi yang jelas yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diinginkan.”

(32)

Menurut Bloom dalam Iskandar (2009:174-176), “Terdapat beberapa dimensi-dimensi afektif yang perlu diperhatikan siswa (peserta didik) dan guru (pendidik) dalam proses pembelajaran, sebagai berikut:

1. Sikap Penerimaan (receiving), ini merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku dengan cara membangkitkan kesadaran tentang adanya (stimulus) tertentu. Sikap penerimaan (receiving) dalam proses pembelajaran berhubungan dengan sikap atau perilaku membangkitkan, meningkatkan, dan mengarahkan perhatian siswa (peserta didik). Misalnya mendengar penuh perhatian, kesadaran akan pentingnya belajar.

2. Responsif (responding), adalah tanggapan (responding) yang merupakan reaksi aktif dari siswa (peserta didik) dan guru (pendidik) untuk berpartisipasi. Responsive atau tanggapan dalam proses pembelajaran dapat ditunjukkan bahwa siswa tidak saja memperhatikan tetapi secara aktif memberikan (respon) reaksi gejala tertentu dengan cara tertentu.

3. Penilaian (valuing), merupakan kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap kemauan untuk menerima suatu objek atau kenyataan setelah seseorang itu sadar bahwa objek tersebut mempunyai nilai atau kekuatan, dengan cara menyatakan dalam bentuk sikap atau perilaku positif atau negatif. Misalnya menghargai peranan teori dalam penelitian, memberi perhatian terhadap orang yang membutuhkan bantuan, menunjukkan komitmen atau kesungguhan terhadap pentingnya belajar.

(33)

5. Pembentukan karakter (characterization), merupakan kemampuan seseorang untuk menyikapi dan menghayati nilai-nilai yang mempengaruhi kepribadian, sehingga nilai-nilai tersebut dapat menjadi acuan, pedoman, dan panduan dalam kehidupan. Konsep ini dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, seperti; meyakini suatu konsep yang memiliki dasar ilmiah yang kuat, konsisten dan kerja keras dalam belajar.”

Martinis dalam Iskandar (2009, 178-179) juga menjelaskan bahwa, “Secara umum tujuan instruksional dibedakan menjadi dua, yang sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar pendidik, kata instruksional dapat juga diganti dengan kata pembelajaran, sebagai berikut:

1.Tujuan instruksional umum atau kompetensi dasar. Dalam bahasa asing biasa disebut goal, terminal objective, dan target objective. Tujuan terminal melukiskan hasil belajar utama dalam istilah perilaku yang semula disebut dalam tujuan umum. Lebih dari satu tujuan terminal diperlukan untuk mencapai tujuan umum.

2.Tujuan instruksional khusus atau indikator, yang dalam istilah asing dikenal dengan; enabling objectives, subordinate objectives, dan supportive objectives (tujuan memungkinkan, tujuan bawahan, tujuan penyangga). Tujuan penyangga melukiskan perilaku khusus (kegiatan tunggal atau langkah tunggal) yang harus dipelajari atau ditampilkan supaya tercapainya tujuan terminal.”

3. Tinjauan Tentang Disiplin Kelas

a. Pengertian Disiplin

Dalam rangka menciptakan, mempertahankan, dan mengembalikan kondisi yang optimal untuk menjadikan proses belajar mengajar yang baik, “disiplin kelas” merupakan salah satu aspek yang besar peranannya.

(34)

pengikut tunduk dengan senang hati pada ajaran pemimpinnya.” (Amatembun dalam Soedomo Hadi, 2005:58)

Menurut Oteng Sutisna (1989:109), “Disiplin adalah esensial bagi semua kegiatan kelompok yang terorganisasi. Para anggota harus mengendalikan keinginan-keinginan pribadi masing-masing dan bekerja sama untuk kebaikan semua”.

Sedangkan menurut Piet Sahertian & Ida Aleida Sahertian (1992:106) menjelaskan bahwa, “Disiplin sebenarnya merupakan akibat dari pengelolaan kelas yang efektif.” Selain pendapat yang tersebut sebelumnya, terdapat beberapa pendapat yang menjabarkan perihal disiplin seperti tersebut dibawah ini:

Dalam arti luas disiplin mencakup setiap macam pengaruh yang ditunjukkan untuk membantu peserta didik agar dia dapat mamahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan juga penting tentang cara menyelesaikan tuntutan yang mungkin ingin ditunjukkan peserta didik terhadap lingkungannya. (Martinis Yamin dan Maisah, 2009:47-48)

Disiplin timbul dari kebutuhan untuk mengadakan keseimbangan antara apa yang ingin dilakukan oleh individu dan apa yang diinginkan individu dari orang lain sampai batas-batas tertentu dan memenuhi tuntutan orang lain dari dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dan dari perkembangan yang lebih luas. (Martini Yamin dan Maisah, 2009:48)

Menurut Wikipedia dalam Martinis Yamin dan Maisah (2009:48) mengemukakan bawa, “Disiplin merupakan bentuk pelatihan yang menghasilkan suatu karakter atau perilaku khusus yang menghasilkan perkembangan moral, fisik dan mental untuk tujuan tertentu”. Dengan disiplin para peserta didik bersedia untuk tunduk dan mengikuti peraturan tertentu dan menjauhi larangan tertentu.

(35)

Hal ini sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Soedomo Hadi (2005:59) bahwa “Disiplin kelas adalah keadaan tertib di mana guru dan siswa-siswa yang tergabung dalam suatu kelas tunduk pada peraturan-peraturan atau tata tertib yang telah ditentukan sebelumnya dengan senang hati. Guru harus sadar, bahwa suasana tertib dalam kelas merupakan suatu syarat penting bagi proses belajar-mengajar yang efektif”.

b. Tahap-Tahap Disiplin Kelas

Martinis Yamin dan Maisah (2009:52-60) menjelaskan bahwa, “Ada banyak cara yang dapat ditempuh oleh guru yang merupakan tahapan dalam menciptakan disiplin kelas yang mengerucut pada terciptanya disiplin diri setiap siswa didik, yaitu: Pertama dengan pengenalan peserta didik, yang mana berintikan apabila guru makin baik mengenal peserta didik makin besar kemungkinan guru untuk mencegah terjadinya pelanggaran disiplin. Dan yang kedua dengan melakukan tindakan korektif, yang dalam hal ini guru harus segera mengingatkan peserta didik terhadap peraturan yang ada dan konsekuensinya dan kemudian melaksanakan sanksi yang seharusnya berlaku. Ketiga yaitu dengan melakukan tindakan penyembuhan, yaitu tindak lanjut apabila terlanjur terjadi pelanggaran oleh siswa. Dan yang terakhir ialah tertib ke arah siasat, yang berintikan bahwa pengalaman dasar dalam disiplin akan menjadi pedoman bagi keteraturan hidup, karena disiplin diri sendiri hanya akan tumbuh dalam suatu suasana di mana antara guru dan peserta didik terjalin sikap persahabatan yang berakar pada dasar saling menghormati dan saling mempercayai.”

(36)

adalah mencoba menghindarkan hal-hal tersebut dengan melakukan control sosial dan apabila siswa dekat dengan guru akan memperkecil kesempatan mereka untuk berbuat nakal dan melanggar tata tertib sekolah. Keempat, nyatakan peraturan dan konsekuensinya, sehingga apabila peserta didik melanggar peraturan sekolah, komunikasikan kembali apa aturan yang dilanggarnya secara jelas dan kemukakan akibatnya bila peraturan yang telah dibuat dan disepakati bersama dilanggar. Konsekuensi ini dilakukan secara bertahap dimulai dari peringatan, teguran, memberi tanda cek, disuruh menghadap kepala sekolah dan atau dilaporkan kepada orang tuanya tentang pelanggaran yang dilakukannya di sekolah.”

Tahapan ketiga dalam penciptaan Disiplin Kelas, adalah melakukan tindakan penyembuhan. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam tindakan penyembuhan ini adalah:

1) Mengidentifikasi peserta didik yang mendapat kesulitan untuk menerima dan mengikuti tata tertib atau menerima konsekuensi dari pelanggaran yang dibuatnya.

2) Membuat rencana yang diperkirakan paling tepat tentang langkah-langkah yang akan ditempuh dalah mengadakan kontak dengan peserta didik.

3) Menetapkan waktu pertemuan dengan peserta didik tersebut yang disetujui bersama oleh guru dan peserta didik yang bersangkutan. 4) Bila saatnya bertemu dengan peserta didik jelaskanlah maksud

pertemuan tersebut, dan jelaskan pula manfaat yang mungkin diperoleh oleh peserta didik maupun oleh sekolah.

5) Tunjukkanlah kepada peserta didik bahwa guru pun bukan orang yang sempurna dan tidak bebas dari kekurangan dan kelemahan dalam berbagai hal.

(37)

7) Bila pertemuan yang diadakan dan ternyata peserta didik responsif maka guru bisa mengajak peserta didik untuk melaksanakan diskusi pada saat lain tentang masalah yang dihadapinya.

8) Pertemuan guru dan peserta didik harus sampai kepada pemecahan masalah dan sampai kepada “Kontak” yang diterima peserta didik dalam rangka memperbaiki tingkah laku peserta didik tentang pelanggaran yang dibuatnya.

9) Melakukan kegiatan tindak lanjut. (Martinis Yamin dan Maisah, 2009:57-58)

Dan yang merupakan tahapan keempat pendiptaan Disiplin Kelas adalah Tertib ke Arah Siasat. Hal ini akan tumbuh subur bila:

1) Guru bersikap “hangat” dalam membina sikap persahabatan dengan semua peserta didik. Menghargai mereka dan menerima mereka dengan berbagai keterbatasan.

2) Guru bersikap adil sehingga mereka diperlakukan sama tanpa tumbuh rasa dianak tirikan atau dipisahkan.

3) Guru bersikap objektif terhadap kesalahan peserta didik dengan melakukan sanksi sesuai dengan tata tertib peserta didik melanggar disiplin yang telah disetujui bersama.

4) Guru tidak menuntut para peserta didik untuk mengikuti aturan-aturan yang di luar kemampuan peserta didik untuk mengikutinya.

5) Guru tidak menghukum peserta didik di depan teman-temannya sehingga menyebabkan mereka kehilangan muka.

6) Dapat diciptakan suatu kondisi sehingga setiap peserta didik merasa berhasil dalam segi-segi tertentu dan tidak senantiasa berada dalam situasi kegagalan dan kekecewaan.

7) Suasana kehidupan di sekolah tidak mendorong peserta didik kearah tingkah laku yang dikehendaki.

(38)

yang berlaku sebagai tauladan yang baik. (Martinis Yamin dan Maisah, 2009:57-58)

Sikap guru yang demokratis merupakan kondisi bagi terbinanya tertib kearah siasat. Sikap ini akan memberi kesempatan peserta didik untuk ikut terlibat menegakkan disiplin sekolah, ikut dipikirkan dan ditetapkan bersama.

d. Penerapan Disiplin Kelas

Secara umum kedisiplinan murid di kelas dan di sekolah saling berhubungan erat. Murid yang disiplin di kelas biasanya juga disiplin di sekolah. Sebaliknya murid yang kurang disiplin di kelas juga kurang disiplin di sekolah. Kedisiplinan merupakan sikap yang harus dibina hingga menjadi kepribadian setiap peserta didik. Hal ini senada dengan pendapat seperti tersebut dibawah ini:

Yang sangat berperan penting dalam pembentukan sikap adalah faktor perasaan atau emosi, dan faktor reaksi atau respon atau kecenderungan untuk bereaksi. Dalam beberapa hal, sikap merupakan penentu yang penting dalam tingkah laku manusia. Sebagai reaksi maka sikap akan selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakannya atau menjauhi dan menghindari sesuatu. (Robert S. Ellis dalam Ngalim Purwanto, 1990:141)

Dari pernyataan tersebut, maka secara sederhana dapat dinyatakan bahwa apabila siswa menyenangi sesuatu yang dalam hal ini adalah kondisi maupun keadaan di sekolah maupun dikelas, maka mereka akan menuruti dan melaksanakan peraturan yang ada sehingga kedisiplinan dapat terwujud. Sedangkan apabila siswa tidak senang terhadap segala hal yang ada di sekolah maupun di kelas, maka mereka akan cenderung menjauhi atau menghindari hal-hal yang sesuai dengan peraturan sehingga menghambat terciptanya kedisiplinan baik di kelas maupun sekolah.

Selanjutnya beberapa karakteristik murid yang disiplin di ruang kelas menurut Chumdari dan Sutini (1996:60-61) adalah memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

(39)

dengan baik.

2) Mematuhi peraturan kelas dengan baik. 3) Berperilaku baik selama mengikuti pelajaran.

4) Mempergunakan waktu belajar dengan sebaik-baiknya. 5) Mengikuti pelajaran dengan tertib.

6) Menghargai atau menghormati pendapat orang lain.

7) Mengajukan pertanyaan kepada guru dengan tertib atau baik. 8) Meninggalkan kelas dengan ijin guru.

9) Menjaga lingkungan kelas tetap bersih dan rapih.

10) Bersikap sosial kepada guru dan teman-temannya, dan sebagainya. Sedangkan karakteristik murid yang disiplin di sekolah, menurut Chumdari dan Sutini (1996:61-62) mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

1) Datang tepat pada waktunya atau sebelum sekolah masuk. 2) Mengikuti upacara dengan tertib dan khidmad.

3) Ikut serta menjaga kebersihan tembok dan sebagainya.

4) Menempatkan dan merawat perlengkapan sekolah dengan baik. 5) Minta ijin bila meninggalkan sekolah.

6) Hormat dan berlaku sopan terhadap siapapun.

7) Bersikap ramah kepada guru, kepala sekolah, dan sebagainya. 8) Mengenakan pakaian sesuai ketentuan sekolah atau seragam. 9) Bersikap bersahabat dan suka menolong.

10) Menggunakan waktu belajar dengan sebaik-baiknya, dan sebagainya. e. Gangguan Disiplin Kelas

Problema-problema disiplin kelas dalam rangka pengelolaan kelas menyangkut dua masalah pokok, yaitu (1) masalah individual, dan (2) masalah kelompok. Tindakan seorang guru akan lebih efektif dalam mengangani disiplin kelasnya apabila ia dapat mengidentifikasi secara tepat hakekat masalah yang dihadapinya sehingga ia dapat memilih strategi penanggulangannya secara tepat.

(40)

individual yang didasarkan pada asumsi bahwa semua tingkah laku individu merupakan upaya untuk mencapai tujuan yakni terpenuhinya kebutuhan untuk diterima kelompok dan kebutuhan untuk mencapai harga diri. Apabila kebutuhan-kebutuhan itu tidak dapat terpenuhi melalui cara-cara yang wajar, maka individu itu akan berusaha mencapainya dengan cara-cara lain yang tidak wajar, dengan kata lain ia akan berbuat tidak wajar / asosial (tak disiplin). Empat problema tersebut adalah sebagai berikut; Attention-gettingbehavior (tingkah laku untuk menarik perhatian), semisal dengan cara membadut di kelas (aktif), atau berbuat serba lamban sehingga perlu mendapat bantuan ekstra dari guru (pasif); Power-seeking behavior (tingkah laku untuk mencari kekuasaan), misalnya dengan selalu mendebat atau kehilangan kendali emosional (aktif) marah-marah, menangis, atau (pasif) selalu lupa pada peraturan-peraturan penting di kelas; Revenge-seeking behavior (tingkah laku untuk membalas dendam), misalnya dengan menyakiti hati orang lain, seperti mengata-ngatai, mencubit, menggigit, memukul dan sebagainya; Peragaan ketidakmampuan, misalnya dalam bentuk sama sekali menolak untuk mencoba melakukan apapun, karena yakin hanya akan mengalami kegagalan.”

(41)

kelas diganti sementara oleh guru piket, dan sebagainya.” Begitu banyak karakteristik kelompok dalam sebuah kelas, maka dari itu tentunya membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Hal ini seperti dijelaskan dibawah ini:

Dalam pembinaan disiplin kelas, perlu diingatkan bahwa setiap problema harus ditanggapi secara berbeda. Problema individual, individu pelaku yang dijadikan sasaran. Sedangkan problema kelompok tindakan korektif harus ditujukan kepada kelompok. Sebab diagnosis yang keliru akan mengakibatkan terjadinya tindakan korektif yang keliru pula. (Chumdari dan Sutini, 1996:68)

4. Tinjauan Tentang Keterkaitan Pendekatan Eclectic dengan Disiplin Kelas

a. Indikator Pengelolaan Kelas Yang Baik

Pengelolaan kelas yang baik, dapat dilihat dari terciptanya efektivitas dalam proses pembelajaran oleh seoarng guru. Hal ini seperti yang dipaparkan oleh Martinis Yamin dan Maisah (2009:17) bahwa, “Efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan keberhasilan (atau kegagalan) kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Efektivitas tugas dari segi proses menyangkut perilaku pimpinan yang dinilai dari proses kerjanya berdasarkan standar penampilan dalam membuat perencanaan, mengorganisir, memotivasi, dan mengawasi. Efektivitas tugas dilihat dari segi karakteristik kepribadian, kemampuan, sikap, keteladanan dan keterbukaan. Sedangkan efektifitas tugas dari segi hasil yaitu menempatkan tingkat penyelesaian tugas dalam pencapaian tujuan yang muaranya pada mutu produk dan mutu pelayanan.”

Masih berkaitan dengan pendapat tersebut, Iskandar (2009:95) turut menjelaskan bahwa, “Efektivitas proses pembelajaran banyak bergantung kepada kesiapan dan cara mengajar yang dilakukan pendidik (guru/dosen), sedangkan kesiapan cara belajar yang dilakukan oleh peserta didik (siswa/mahasiswa) itu sendiri, baik yang dilakukan secara mandiri maupun kelompok.”

(42)

yang baik adalah pengelolaan kelas yang dijalankan oleh pengelola kelas yang baik dan efektif. Disiplin kelas yang terwujud dengan ditanganinya gangguan kelas dengan baik, merupakan salah satu indikator yang menonjol dari pengelolaan kelas yang berhasil. Sebab dengan pengelolaan kelas yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan kelas, maka dapat meminimalisir bahkan mengatasi gangguan yang terjadi didalam kelas. Sehingga dengan dapat diatasinya gangguan kelas yang terjadi, seperti keributan yang diakibatkan oleh aktivitas peserta didik yang kurang produktif, kedisiplinan dan keteraturan dalam kelas dapat diwujudkan.

Dalam proses pembelajaran, peserta didik perlu diupayakan pengembangan aktivitas, kreativitas, dan motivasi di dalam proses pembelajaran. Karena dengan meningkatkan pengembangan aktivitas siswa yang positif dan produktif, dapat memacu pada terciptanya kreativitas dan berkembangnya daya nalar peserta didik sehingga dapat meningkatkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Dan untuk dapat meningkatkan aktivitas siswa, dibutuhkan adanya motivasi-motivasi yang akan menarik minat siswa untuk melakukan hal-hal yang positif dan produktif sesuai dengan yang direncanakan dalam tujuan pembelajaran. Berkaitan dengan hal tersebut, upaya yang dapat dilakukan oleh guru sebagai seorang pendidik dalam membangkitkan motivasi belajar peserta didik dalam proses pembelajaran, seorang guru sebagai pengajar dan pendidik perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Bahwa siswa akan belajar lebih giat apabila topik yang dipelajarinya menarik dan berguan bagi dirinya;

2) Tujuan pembelajaran harus disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada siswa sehingga mereka mengetahui tujuan belajar yang hendak dicapai. Siswa juga dilibatkan dalam penyusunan tersebut;

3) Siswa harus selalu diberitahu tentang hasil belajarnya;

4) Pemberian pujian dan hadiah lebih baik daripada hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan;

(43)

6) Usahakan untuk memperhatikan perbedaan individual siswa, seperti: perbedaan kemampuan, latar belakang dan sikap terhadap sekolah atau subyek tertentu.

7) Usahakan untuk memenuhi kebutuhan siswa dengan jalan memperhatikan kondisi fisiknya, rasa aman, menunjukkan bahwa guru peduli terhadap mereka, mengatur pengalaman belajar sedemikian rupa sehingga siswa memperoleh kepuasan dan penghargaan, serta mengarahkan pengalaman belajar kearah keberhasilan, sehingga mencapai prestasi dan mempunyai kepercayaan diri. (E. Mulyasa dalam Iskandar, 2009:97).

b. Kaitan Pengelolaan Kelas dengan Pendekatan Eclectic

Pendekatan eclectic merupakan bagian dari pengelolaan kelas. Diharapkan dengan diterapkannya pendekatan eclectic dalam Pengelolaan Kelas atau managemen kelas, mampu memberi kontribusi yang positif dalam menciptakan keberhasilan proses pengelolaan kelas. Beberapa teori ahli yang mendukung gagasan ini adalah:

Menurut Daryanto dalam buku “Panduan Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif” (2009:201), “Mengajar yang dapat membawa siswa belajar efektif, adalah belajar yang didalamnya terdapat aktivitas mencari, menemukan dan melihat pokok masalah, serta siswa berusaha memecahkan masalah termasuk berpendapat.”

Hal tersebut dapat dilakukan dengan menempuh beberapa langkah sebagai berikut:

1) Belajar secara aktif

2) Gunakan metoda dan media yang bervariasi 3) Motivasi terus

4) Pertimbangan perbedaan individu 5) Buat perencanaan sebelum mengajar 6) Pengaruh guru yang sugestif

Gambar

Tabel 1. Jadwal Penelitian
Gambar 2. Skema Model Interaktif (H.B Sutopo, 1996:96)
Tabel 2 : Daftar guru SMP N 7 Surakarta Th. 2009 / 2010
Tabel 3 : Susunan wali kelas SMP N 7 Surakarta Th. 2009/2010
+2

Referensi

Dokumen terkait

19 tahun 2005 tentang standar pendidikan nasional Pasal 13 ayat (1) yang berarti setiap tingkat satuan pendidikan berkepentingan untuk mengembangkan pembelajaran

Dalam Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 10 disebutkan bahwa kompetensi guru meliputi kompetesi pedagogik,

□ Menurut PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 42 menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi

Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar

Proses belajar mengajar sebagaimana dinyatakan dalam Bab IV, Pasal 19 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan

19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, khususnya pasal 9 ayat 2 (a) menyatakan bahwa Kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif

Peraturan pemerintah No 10 tahun 2005 bab I pasal 1 ayat 6 bahwa standar proses pendidikan adalah standar nasional yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan