Background Paper Pembentukan
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN SAMPAH
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
1. Latar Belakang
Adalah suatu keniscayaan bahwa dengan bertambahnya penduduk,
maka sampah yang dihasilkannya pun akan bertambah pula seiring dengan
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Selain itu dapat pula dicermati
bahwa jenis dan kualitas sampah juga bertambah seiring dengan kehidupan
masyarakat yang cenderung konsumeristis. Kondisi ini memaksa pemerintah
daerah memacu kemampuan untuk mengelola sampah dengan baik dan benar
berdasarkan pengetahuan yang sebetulnya relative minim. Namun sayang, niat
baik pemerintah itu masih jauh dari memadai bila diukur dari sistem dan metode
pengelolaan sampah yang efektif, aman, sehat, ramah lingkungan, dan
ekonomis. Bahkan pada umumnya penanganan sampah ini masih terkesan
sesuatu yang business as usual dan rutin yang memandang sampah sebagai
barang buangan yang menjijikkan. Sehingga penanganannya pun dipahami
hanya sebatas urusan memindahkan, membuang, dan memusnahkan dengan
cara yang sangat tidak aman dan cenderung mencemari lingkungan.
Penistaan terhadap sampah merembet juga kepada orang-orang yang
berkecimpung di bidang persampahan. Sangat minim apresiasi yang diberikan
kepada mereka yang bekerja di sektor persampahan, seperti pemulung, petugas
kebersihan, pelapak dan sebagainya. Kesan hina dan meremehkan masalah
sampah dan pekerja sampah tercermin pula dari minimnya perhatian dan cukup
tersedianya kebijakan-kebijakan, perencanaan, program-program, anggaran dan
kredit yang memadai untuk menangani sampah secara serius, sistematis, dan
terukur. Sampah baru menjadi perhatian belakangan ini setelah timbulnya
ledakan kasus dan bencana, seperti terjadi di Bantargebang, Bojong Gede, dan
Leuwi Gajah.
Keadaan demikian itu membawa akibat semakin beratnya tekanan
terhadap media lingkungan, yang pada gilirannya mengharuskan dilakukannya
pergeseran pendekatan dari pendekatan ujung-pipa (end-pipe of solution) ke
pendekatan sumber. Dengan pendekatan sumber, maka sampah ditangani pada
hulu sebelum sampah itu sampai ke tempat pengolahan akhir (hilir). Pada
yang akan dikirim ke tempat pengolahan akhir, dengan cara, antara lain,
penerapan 4R (replace, reduce, re-use, recycling). Dengan pergeseran
pendekatan dalam pengelolaan sampah berarti pula perubahan paradigma
pengelolaan sampah.
Dengan pergeseran pendekatan dan perubahan pradigma, maka
pengelolaan sampah meliputi pengendalian timbulan sampah, pengumpulan,
pengangkutan dan penanganan akhir sampah yang dilakukan secara
terpadu. Keterpaduan di sini adalah suatu bentuk transformasi pendekatan
ekosistem ke dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan. Pengelolaan
sampah secara terpadu berarti bahwa dalam mengelola sampah harus
diperhatikan segala aspek yang terkait sebagai satu kesatuan yang
terintegrasi.
Hal lain adalah bahwa pengelolaan sampah kerap kali dipahami
secara parsial, yaitu dari aspek sampah an sich. Pengelolaan sampah jarang
sekali dipahami dari spektrum yang lebih luas, integral dan holistik, yaitu
sampah dikelola tidak berdasarkan aspek kebersinggungan dan
keterkaitannya secara erat dengan aspek-aspek lain, seperti kesehatan, tata
ruang, pendidikan, politik dan kamtibmas, kemiskinan, peluang usaha,
investasi, produksi, teknologi, ketenagakerjaan, serta lingkungan hidup.
Dari kacamata pemerintahan, kerapkali pengelolaan sampah dipahami
sangat sektoral, yakni hanya dikelola oleh Dinas Kebersihan saja, dan
berorientasi keproyekan, yakni masalah sampah menjadi dasar dan alasan
Dinas berwenang untuk memunculkan usulan-usulan proyek seputar
pengelolaan sampah. Hal ini kerap diperparah oleh suatu pemahaman
bahwa pengelolaan sampah hanya sebatas pada bagaimana menarik dana
sebanyak mungkin dari retribusi sampah. Di lain pihak pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat pembayar retribusi amat minim, misalnya
keluhan lamban dalam pengumpulan sampah, di TPS dibiarkan beserakan,
diangkut dengan truk yang berceceran dsb. Padahal dalam pengelolaan
sampah tidak hanya murni ekonomi dan bersifat komersial (profit motive),
merupakan tanggung jawab pemerintah/instansi publik. Dengan demikian
ada kejelasan tanggung jawab sosial (social responsibility), tanggung jawab
hukum (liability), dan terpenuhinya kewajiban adanya akuntabilitas publik
(public accountability).
Bagimana dengan regulasi di bidang persampahan? Sampai saat ini
pengelolaan sampah masih diatur secara parsial dan sektoral, seperti diatur
dalam UU Kesehatan, UU Perumahan dan Permukiman, UU Lingkungan
Hidup, UU Perindustrian. Jadi masih belum terintegrasi dalam suatu
undang-undang yang secara komprehensif, kohesif, dan konsisten mengatur soal
pengelolaan sampah.
Pengaturan selama ini masih diatur dalam tataran peraturan daerah,
misalnya dengan perda kebersihan yang lebih menitik beratkan pada
sampah rumah tangga, sehingga tidak menjangkau hal-hal lain di luar materi
muatan perda. Padahal pengelolaan sampah seharusnya tidak hanya
menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga masyarakat
termasuk dunia usaha. Dengan demikian diperlukan pengaturan yang dapat
memberikan pembebanan hak dan kewajiban pada masyarakat dan dunia
usaha, dari mulai hulu (kebijakan) hingga hilir (pelaksanaan).
Dalam hal-hal tertentu masalah sampah dapat menimbulkan dampak
yang hebat terhadap lingkungan dan tata ruang, baik lokal, nasional, dan
bahkan internasional, sehingga perlu ada pengaturan yang mendasar,
kebijakan yang lintas sektor dan bidang, kejelasan pembagian kewenangan,
pengawasan, pendanaan, investasi, penggunaan teknologi, peranserta
masyarakat, sanksi administrasi dan pidana, dan lain sebagainya, yang
tentunya tidak cukup hanya diatur oleh suatu produk legislasi setingkat
perda. Konsekuensinya dari hal tersebut adalah bahwa sifat lintas sektor dan
bidang dari pengelolaan sampah menyebabkan timbulnya keterkaitan
dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang tentunya menjadi
kewenangan Pusat, misalnya keterkaitan dengan peraturan
perundang-undanag di bidang standar kesehatan, penetapan baku mutu, standar
insinerator, kualifikasi SDM operator, kebijakan impor sampah, dan
sebagainya.
2. Lingkup Pengelolaan Sampah
.
Perbedaan rumusan pengertian sampah dan pengertian limbah tidak
akan bebas dari kritik. Rumusan pengertian tersebut pasti mengandung pro
dan kontra. Namun demikian rumusan tersebut diperlukan untuk
menjelaskan sistematika pembahasan, khususnya dari sudut pandang
hukum lingkungan.
Berangkat dari pandangan tersebut kiranya sampah dapat dirumuskan
sebagai bahan sisa dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Sampah yang
harus dikelola tersebut meliputi sampah yang dihasilkan dari:
1) rumah tangga;
2) kegiatan komersial: pusat perdagangan, pasar, pertokoan, hotel,
restoran, tempat hiburan;
3) fasilitas sosial: rumah ibadah, asrama, rumah tahanan/penjara,
rumah sakit, klinik, puskesmas;
4) fasilitas umum: terminal, pelabuhan, bandara, halte kendaraan
umum, taman, jalan, dan trotoar;
5) industri;
6) fasilitas lainnya: perkantoran, sekolah.
7) hasil pembersihan saluran terbuka umum, seperti sungai, danau,
pantai;
Dari perkembangan kehidupan masyarakat dapat disimpulkan bahwa
penanganan masalah sampah tidak dapat semata-mata ditangani oleh
Pemerintah Daerah (Pemerintah Kabupaten/Kota). Pada tingkat perkembangan
pendekatan sumber dan perubahan paradigma yang pada gilirannya
memerlukan adanya campur tangan dari Pemerintah.
Pengelolaan sampah meliputi kegiatan pengurangan, pemilahan,
pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, pengolahan. Berangkat dari
pengertian pengelolaan sampah dapat disimpulkan adanya dua aspek, yaitu
penetapan kebijakan (beleid, policy) pengelolaan sampah, dan pelaksanaan
pengelolaan sampah.
3. Kebijakan Pengelolaan Sampah
.
Kebijakan pengelolaan sampah harus dilakukan oleh Pemerintah
Pusat karena mempunyai cakupan nasional. Kebijakan pengelolaan sampah
ini meliputi:
1) Penetapan instrumen kebijakan:
a) instrumen regulasi: penetapan aturan kebijakan (beleidregels) untuk
melaksanakan kebijakan pengelolaan sampah.
b) instrumen ekonomik: penetapan instrumen ekonomi untuk mengurangi
beban penanganan akhir sampah (sistem insentif dan disinsentif);
2) Mendorong pengembangan upaya mengurangi (reduce), memakai
kembali (re-use), dan mendaur-ulang (recycling) sampah, dan mengganti
(replace);
3) Pengembangan produk dan kemasan ramah lingkungan;
4) Pengembangan teknologi, standar dan prosedur penanganan sampah:
• Penetapan kriteria dan standar minimal penentuan lokasi penanganan akhir sampah;
• penetapan lokasi pengolahan akhir sampah;
• luas minimal lahan untuk lokasi pengolahan akhir sampah;
• Penetapan kriteria dan standar prasarana penanganan sementara sampah bagi pengembang kawasan pemukiman;
5) Pengembangan program pengelolaan sampah yang meliputi, antara lain:
waste to energy, yaitu pemanfaatan sampah organik sebagai sumber
energi (biogas);
pengembangan produk dan kemasan ramah lingkungan;
pengembangan teknik dan metoda penanganan sampah yang ramah
lingkungan (teknologi tepat guna);
program penerapan teknik dan metoda sanitary landfill penghentian
penanganan akhir sampah open dumping, dan menerapkan
penanganan akhir sampah sanitary landfill. Dalam hubungan ini perlu
ditetapkan:
kriteria penetapan lokasi penanganan akhir sampah sanitary
landfill;
pedoman teknik, standar, dan prosedur penanganan akhir sampah
sanitary landfill;
Ada berbagai macam teknik dan metoda penanganan akhir sampah: open
dumping, controlled landfill, sanitary landfill, teknologi insinerator. Setiap
teknik dan metoda mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Oleh karena itu perlu dikaji teknik dan metoda mana yang paling sesuai
untuk diterapkan di Indonesia. Penetapan teknik dan metoda perlu
memperhatikan, antara lain, aspek lingkungan hidup, kesehatan, dan
sosial.
4. Pelaksanaan Pengelolaan Sampah
.
Pelaksanaan pengelolaan sampah di daerah adalah wewenang
1) Penetapan lokasi tempat penanganan akhir sampah dengan mengacu
kriteria dan standar minimal lokasi penanganan akhir sampah;
2) Rencana lokasi tempat pengolahan akhir sampah harus dicantumkan
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota;
3) Penetapan lokasi tempat penanganan akhir sampah dalam Peraturan
Daerah Rencana Tata Ruang Daerah.
4) Menetapkan tarif retribusi sampah;
5. Pelayanan Publik.
Berangkat dari ketentuan Pasal 29H UUD 1945 secara singkat dapat
dikatakan bahwa penanganan masalah sampah merupakan urusan
Pemerintah cq. Pemerintah Daerah (Pemerintah Kabupaten/ Kota). Untuk
menjalankan urusan itu Pemerintah cq. Pemerintah Daerah dilengkapi
dengan wewenang (hukum publik). Wewenang (hukum) publik itu sudah
barang tentu tidak dapat didelegasikan kepada suatu institusi atau badan
hukum privat. Oleh karena itu kalau suatu badan hukum privat
melaksanakan penanganan sampah, dia bertindak sebagai operator yang
bertanggung jawab kepada pemerintah daerah (pemerintah kabupaten/kota),
dengan konsekuensi bahwa badan hukum privat itu tidak dapat memungut
secara langsung biaya dari warga masyarakat membiayai penanganan
sampah yang dia lakukan.
6. Pendanaan Pengelolaan Sampah.
Pendanaan pengelolaan sampah hendaknya didasarkan pada prinsip
“dari sampah untuk sampah” sebagai suatu derivat prinsip “internalisasi
eksternalitas”. Prinsip ini hendaknya tertuang ke dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah: hasil pungutan pembayaran retribusi
demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa untuk pengelolaan sampah
masih diperlukan subsidi.
7. Ruang Lingkup Materi Muatan RUU Pengelolaan Sampah
KETENTUAN UMUM:
1. Pengertian
2. Sasaran dan Tujuan
• Sasaran pengelolaan sampah adalah:terselenggaranya tanggung jawab negara dalam pengelolaan sampah serta terwujudnya peluang
usaha di bidang jasa pengelolaan sampah.
• Pengelolaan sampah bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan sampah yang berhasil guna dan berdaya guna dalam rangka melestarikan fungsi
lingkungan hidup, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat.
3. Ruang Lingkup Pengaturan Sampah adalah sampah dari rumah tangga, dari
kegiatan komersial, fasilitas sosial, fasilitas umum, industri, hasil pembersihan
saluran terbuka umum, serta kegiatan pertanian.
KEGIATAN PENGELOLAAN SAMPAH
1. Pengurangan
Pengurangan sampah dilakukan dengan cara mengurangi produksi dan
konsumsi barang yang kemasannya menggunakan bahan yang tidak
dapat/sulit untuk didaur ulang.
2. Pemilahan
Pemilahan sampah dilakukan dengan cara:
• memisahkan sampah yang tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun menjadi sampah kering dan sampah basah.
3. Pengumpulan
Pengumpulan sampah dilakukan dengan memindahkan sampah dari sumber
ke tempat penyimpanan sementara.
4. Pemanfaatan
Sampah dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan komersial maupun non
komersial.
5. Pengangkutan
Pengangkutan sampah dari tempat penyimpanan sementara ke tempat
pengolahan akhir, diangkut dengan alat angkut khusus yang disertai dengan
dokumen pengangkutan sampah.
6. Pengolahan
Pengolahan sampah dapat dilakukan dengan cara penimbunan (sanitary
landfill), insenerasi dan/atau cara lainnya sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan teknologi.
KEWENANGAN DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH
1. Kewenangan Pemerintah
Dalam Pengelolaan Sampah Pemerintah berwenang untuk:menetapkan
kebijakan nasional mengenai kegiatan pengurangan, pemilahan,
pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, pengolahan dan penimbunan
sampah.
2. Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan sampah
berkewajiban:mengembangkan budaya masyarakat untuk melaksanakan
kegiatan pengurangan, penggunaan kembali, daur ulang dan pemulihan (4R).
PENGAWASAN
Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan pemerintah daerah dan/atau
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sampah
serta menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
HAK DAN KEWAJIBAN
1. Hak Dalam Pengelolaan Sampah
Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan pengelolaan sampah yang baik
dan mendapatkan perlindungan hukum dalam pengelolaan sampah;
2. Kewajiban Dalam Pengelolaan Sampah
Setiap orang dalam pengelolaan sampah berkewajiban menjaga kebersihan
di lingkungan sekitarnya serta melakukan pengurangan dan memilah sesuai
dengan klasifikasi sampah;
KEWENANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA
1. Kewenangan Provinsi
Wewenang pemerintah provinsi antara lain meliputi menerapkan kebijakan
pengelolaan sampah lintas kabupaten/kota berdasarkan pedoman nasional
dan menetapkan persyaratan lokasi TPA lintas kabupaten/kota dengan
memperhatikan kebijakan nasional tentang pengelolaan sampah;
2. Kewenangan Kabupaten/Kota
Wewenang pemerintah kabupaten/kota antara lain meliputi menetapkan
persyaratan pengelolaan sampah yang memperhatikan kebutuhan dan
kepentingan masyarakat di wilayah kabupaten/kota dan menerbitkan izin
usaha bagi badan usaha di bidang pengelolaan sampah;
KERJASAMA ANTAR DAERAH
Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan sampah, dapat diadakan kerjasama
antar pemerintah daerah kabupaten/kota, atau antara pemerintah daerah
kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi, dengan memperhatikan prinsip
KELEMBAGAAN
Komisi Pengelolaan Sampah tingkat nasional, tingkat provinsi, tingkat
Kabupaten/kota yang pada dasarnya memiliki fungsi dan tugas pokok
memberikan nasehat, saran dan pertimbangan kepada pemerintah dan
pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah.
MANFAAT EKONOMI DAN TANGGUNG JAWAB BADAN USAHA
1. Manfaat Ekonomi
a. Dalam pengelolaan sampah setiap pelaku usaha harus memperlakukan
sampah sebagai sumber daya yang memiliki nilai ekonomi.
b. Untuk mencapai nilai ekonomi, pemerintah berkewajiban untuk
merangsang, mendorong, dan memfasilitasi dunia usaha untuk terlibat
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan sampah,
dapat berupa antara lain memberikan kemudahan kepada badan usaha
untuk melakukan usaha pengelolaan sampah kemudahan dalam
pemberian izin usaha.
2. Tanggung jawab Badan Usaha
a. Setiap badan usaha pengelolaan sampah memiliki tanggung jawab dalam
hal antara lain memanfaatkan sampah dengan cara 4R yang mengurangi
penggunaan bahan sekunder (Secondary Raw Material).
b. Badan usaha yang memproduksi barang yang dapat menjadi sampah
wajib bertanggung jawab terhadap barang yang dihasilkannya setelah
dikonsumsi oleh konsumen.
PERIZINAN
Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan, pengangkutan,
LARANGAN
Setiap orang dilarang antara lain mengoperasikan tempat pengolahan akhir
dengan metode “open dumping” serta mengimpor dan mengekspor sampah.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pengelolaan sampah diselenggarakan dengan berbasis pada komunitas melalui
program peningkatan kapasitas masyarakat yang berkiprah di bidang
pengelolaan sampah oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau badan usaha
serta penyediaan sarana dan prasarana kesehatan, air bersih, pendidikan dan
kebutuhan-kebutuhan dasar warga masyarakat sekitar lokasi pembuangan
sampah;
PENYELESAIAN SENGKETA
1. Melalui Pengadilan
2. Di luar Pengadilan (ADR)
3. Gugatan Perwakilan (Class Action)
4. Hak Gugat Organisasi Persampahan/lingkungan hidup (Legal Standing)
PEMBIAYAAN DAN KOMPENSASI
1. Pembiayaan
Pembiayaan pengelolaan sampah dalam tingkat nasional bersumberkan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan pembiayaan pengelolaan
sampah di daerah bersumberkan pada retribusi, APBD dan sumber-sumber
lain yang sah.
2. Kompensasi
Kompensasi merupakan penggantian yang layak terhadap kerugian yang
dialami oleh orang, dan/atau lingkungan, dan/atau daerah yang disebabkan
dampak dari kegiatan pengelolaan sampah, dapat diberikan berupa:uang,
relokasi, pemulihan lingkungan, biaya kesehatan dan pengobatan, dan
RETRIBUSI
1. Pemerintah daerah kabupaten/kota memungut retribusi pengelolaan
sampah sebagai pembayaran atas jasa pengelolaan sampah.
2. Objek retribusi pengelolaan sampah meliputi pelayanan yang disediakan
atau diberikan pemerintah daerah kabupaten/kota untuk tujuan
kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang
atau badan usaha.
3. Subjek retribusi adalah orang yang menggunakan/menikmati pelayanan
pengelolaan sampah yang bersangkutan.
SANKSI
1. Administrasi;
2. Pidana.
KETENTUAN PERALIHAN
Paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini disahkan wajib
menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan undang-undang ini.
KETENTUAN PENUTUP
8. Penutup
Paradigma baru (transformatif) Pemahaman mengenai sampah
Sejalan dengan upaya-upaya demokrasi, desentraliasi, dan pemberdayaan
dalam pembangunan Indonesia, maka koreksi-koreksi mendasar sangat
diperlukan dalam melihat dan memahami persoalan sampah ini. Koreksi
terhadap pemahaman sampah dimaksud haruslah bersifat transformative,
yakni memunculkan adanya pemahaman-pemahaman dan gagasan-gagasan
segar dan inovatif yang menguak sisi-sisi positif dan keberadaan sampah
yang mencerminkan ide-ide demokrasi, desentralisasi, dan pemberdayaan
Perubahan paradigma baru tersebut menyangkut, pertama,
pemahaman sampah sebagai barang buangan yang tidak berguna dan tidak
bernilai ekonomis selayaknya ditinggalkan, sebab hal itu juga tidak didukung
oleh fakta-fakta empirik yang menunjukkan bahwa sampah ternyata dapat
menjadi lahan bisnis yang menguntungkan dan mampu memberi
kesempatan kerja, khususnya kepada orang-orang yang tidak masuk di
pasar kerja formal dan informal lainnya.
Dalam pemahaman transformative, sampah selayaknya dilihat
sebagai sumber daya dan bahan baku yang mempunyai nilai guna dan
ekonomis. Sisi positif keberadaan sampah selayaknya menjadi rangsangan
(stimulator) kuat bagi perencana daerah dan tata ruang wilayah untuk
meningkatkan kualitas perencanannya, khususnya dalam kerangka
peningkatan dan pengembangan aktivitas perekonomian daerah/kota, serta
keserasian, keselarasan dalam penataan dan fungsi-fungsi kota dan wilayah
dengan memperhitungkan keberadaan fungsi-fungsi pengelolaan sampah ke
dalam konsep, kebijakan, dan program-program pembangunan daerah dan
penataan ruang, baik dilihat dari aspek sosial, ekonomi, lingkungan hidup,
maupun tata ruang wilayah.
Kedua, implikasi dari pemahaman itu akan melahirkan pemahaman
baru berikutnya, yakni di tingkat masyarakat dan pemerintah, bahwa urusan
sampah menjadi urusan bersama, dikelola secara bersama-sama dan
menjadi bagian etika sosial yang internalisasi dan sosialisasinya dilakukan
dengan massif baik di ruang-ruang formal maupun non formal. Dengan
demikian, sampah yang tadinya dipahami sebagai beban, berubah menjadi
peluang bagi pemerintah daerah untuk menghasilkan manfaat-manfaat
posistif bagi masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah daerah sendiri. Bila
demikian halnya, konotasi sampah berurusan dengan biaya besar dan
semata-mata menjadi domain pemerintah menjadi tidak relevan lagi. Hal ini
dikarenakan beban pembiayaan sampah akan menjadi lebih ringan karena
Pada gilirannya, sampah menjadi urusan yang memerlukan perhatian
serius dari semua pihak, seperti halnya keseriusan dalam menangani ursan
pangan. Urusan sampah bukan lagi sekedar urusan mengumpulkan,
memindahkan, mengangkut, membuang, dan memusnahkan, melainkan
urusan mengelola menjadi barang yang mempunyai nilai guna dan
ekonomis. Perlakukan yang konvensional berupa penimbunan, pemusnahan,
dsb, baru dilakukan terhadap sisa-sisa sampah yang sudah tidak dapat
dikelola sama sekali. Selain itu untuk keamanan dan perlindungan terhadap
lingkungan hidup, maka pembuangan secara terbuka (open dumping) tidak
diperbolehkan lagi. Itulah sebabnya menjadi sangat strategis dan dibutuhkan
adanya pelibatan peran dan tanggung jawab dari seluruh stakeholders
terkait melalui proses-proses demokratisasi, desentralisasi, dan
pemberdayaan dalam pengelolaan sampah.
Ketiga, dalam upaya untuk memberikan landasan hukum yang kuat
dalam pengelolaan sampah yang komprehensif, terpadu, lintas sektor, dari
hulu ke hilir, konsisten, efektif, dan responsif terhadap kebutuhan
masyarakat, maka selayaknya dihadirkan sebuah aturan setingkat
undang-undang, yakni UU pengelolaan sampah. UU beserta peraturan
pelaksanaannya inilah yang kelak menjadi payung hukum bagi perda dan
peraturan bupati/walikota dalam pengelolaan sampah di kabupaten/kota.
Dengan demikian diharapkan dengan adanya UU Pengelolaan Sampah,
maka ada kepastian hukum, perlindungan hukum bagi stakeholders, serta
adanya landasan yang kuat untuk merumuskan kebijakan, perencanaan,
program, dan kegiatan dalam pengelolaan sampah.
Akhirnya kita berharap dengan adanya UU Pengelolaan Sampah akan
dapat mendorong pada perubahan prilaku masyarakat dalam memandang
dan memperlakukan sampah, yang tidak lagi menjadi beban masalah
malainkan justru menjadi berkah bagi banyak orang. Selain itu pula, semoga
peristiwa Bantargebang, Bojong Gede, Leuwi Gajah, dan peristiwa-peristiwa
mengenaskan lain-lainnya tidak akan terulang lagi di masa yang akan