• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DI KELAS VIII.doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DI KELAS VIII.doc"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

DI KELAS VIII

(Topik Persamaan Garis Lurus)

Proposal Tesis

Oleh:

Adi Suarman Situmorang

NIM 081188730058

Pembimbing:

Dr. Izwita Dewi, M.Pd

Prof. Dr. Sahat Saragih, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

PROGRAM PASCASARJANA

(2)

LEMBAR PERSETUJUAN

Proposal Tesis dengan judul:

Pembelajaran Matematika Realistik di Kelas VIII

(Topik Persamaan Garis Lurus)

Oleh:

Nama : BENNY N. TRISNA

NIM : 03715281

Program Studi : S2 Pendidikan Matematika

Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Telah diterima dan disetujui oleh Tim Pembimbing

Pembimbing I

Dr. Izwita Dewi, M.Pd

Pembimbing II

Prof. Dr. Sahat Saragih, M.Pd

Tanggal

_______________________

Tanggal

_______________________

Mengetahui:

Ketua Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana

Universitas Negeri Surabaya,

(3)
(4)

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

DI KELAS VIII

(Topik Persamaan Garis Lurus)

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Matematika sekolah mempunyai peranan yang cukup besar dalam memberikan berbagai kemampuan kepada siswa untuk keperluan penataan kemampuan berpikir dan kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan matematika. Menurut Soedjadi (2000: 45), pendidikan matematika seharusnya memperhatikan dua tujuan, yaitu (1) tujuan yang bersifat formal, menekankan pada penataan nalar serta pembentukan kepribadian, dan (2) tujuan yang bersifat material, menekankan pada penerapan matematika dan keterampilan matematika.

Kurikulum 2004 (Depdiknas, 2003: 6) secara jelas menguraikan tujuan pembelajaran matematika, yaitu:

1. Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan persamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi.

2. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

3. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.

4. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengko-munikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan.

(5)

terhadap bahan ajar matematika masih relatif rendah. Prestasi siswa-siswa Indonesia dalam Olimpiade Matematika tidak pernah berada pada ranking atas, bahkan cenderung di bawah. Misalnya, pada Olimpiade Matematika tahun 1998 yang diikuti oleh 79 negara, peserta dari Indonesia hanya menempati ranking ke 72 dengan perolehan skor 16, sedangkan skor yang diperoleh peserta dengan ranking 1 adalah 211 (Marpaung, 2002). Kemudian, dalam studi TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) tahun 2003, rata-rata skor siswa tingkat 8 (kelas VIII SMP) di bawah rata-rata skor internasional dan berada pada ranking 34 dari 45 negara. Kenyataan ini mungkin disebabkan sifat abstrak yang terdapat pada matematika. Mungkin pula karena selama ini siswa hanya cenderung diajar untuk menghafal konsep atau prinsip matematika, tanpa disertai pemahaman yang baik.

Kondisi hasil belajar siswa yang memprihatinkan tersebut harus terus diupayakan untuk diperbaiki. Upaya tersebut dapat dilakukan di antaranya melalui perbaikan kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran merupakan faktor penting yang perlu mendapat perhatian. Kegiatan pembelajaran yang berpusat pada guru sudah saatnya diganti menjadi berpusat pada siswa. Soedjadi (2000:201) mengatakan bahwa proses pembelajaran matematika perlu lebih menekankan pada keterlibatan secara optimal para peserta didik secara sadar.

(6)

Kurikulum 2004 menghendaki keaktifan siswa dalam belajar. Strategi pembelajaran aktif ditandai dengan optimalisasi interaksi antar semua elemen pembelajaran (guru, siswa, media) dan optimalisasi keikutsertaan seluruh sense siswa (panca indera, nalar, rasa, dan karsa). Strategi ini menekankan peran siswa yang aktif membangun sendiri pengetahuannya yang dipelajari dalam pembelajaran.

Peran aktif siswa dalam membangun pengetahuannya sebagaimana yang dikehendaki oleh kurikulum bersesuaian dengan konstruktivisme. Menurut Soedjadi (2000:156) pada dasarnya penerapan konstruktivisme dalam belajar adalah bahwa siswa haruslah secara individual menemukan dan mentransformasikan informasi yang kompleks, memeriksa informasi yang baru dan aturan yang ada serta merevisinya bila perlu.

Menurut Slavin (1997:269-270),

The essence of constructivist theory is the idea that learners must individually discover and transform complex information if they are to make it their own. Constructivist theory sees learners as constantly checking new information against old rules and then revising the rules when they no longer work.

Slavin mengatakan bahwa hakikat dari teori belajar konstruktivis adalah peserta didik harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan tersebut tidak lagi sesuai. Belajar itu tidak sekedar mengingat informasi. Peserta didik dituntut benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuannya. Mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha sungguh-sungguh dengan ide-idenya.

Konstruktivisme menempatkan siswa pada peranan utama dalam proses belajar (student centered). Peranan guru lebih bersifat fasilitator dan memiliki kewajiban dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran. Oleh karena itu guru dituntut untuk selalu berinovasi dalam melaksanakan proses pembelajaran. Inovasi guru tersebut misalnya dalam hal pemilihan pendekatan pembelajaran.

(7)

pembelajaran matematika yang disebut Realistic Mathematics Education (RME), yang dalam bahasa Indonesia berarti Pendidikan Matematikan Realistik. Secara operasional biasa disebut Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). PMR adalah suatu pembelajaran yang sejalan dengan prinsip konstruktivis dan merupakan pendekatan pembelajaran yang berfokus pada aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Pendekatan ini menuntut keaktifan siswa dalam proses belajar. Dengan PMR, siswa mempelajari ide-ide dan konsep-konsep matematika melalui permasalahan kontekstual yang berkaitan dengan lingkungan siswa tersebut. Hal ini sejalan dengan Kurikulum 2004 (Depdiknas, 2003: 12) yang menekankan penggunaan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem) dalam memulai kegiatan pembelajaran matematika. Selanjutnya, secara bertahap siswa dibimbing untuk menguasai konsep-konsep matematika.

Penerapan PMR memberikan harapan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dengan menggunakan PMR lebih baik daripada hasil belajar siswa yang menggunakan metode konvensional (Alhaddad, 2002; Fauzi, 2002; Hasratuddin, 2002; Herawati, 2003; dan Herlina, 2003).

Meskipun pada mulanya PMR ditujukan untuk sekolah dasar, tetapi PMR dapat pula diterapkan di tingkat yang lebih tinggi. Gravemeijer dan Doorman (2004) telah memberikan contoh penerapan PMR pada topik kalkulus untuk sekolah menengah. Mereka mengatakan, “We try to show that the framework that has been developed for primary school can also be used for such an advanced topic as calculus.”

(8)

B. RUMUSAN PERTANYAAN

Diawali dengan pengembangan perangkat pembelajaran yang berorientasi pada PMR, penelitian ini diarahkan untuk menjawab pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut.

1. Apakah PMR efektif dalam pembelajaran matematika untuk topik persamaan garis lurus di kelas VIII?

2. Apakah hasil belajar siswa yang mengikuti PMR lebih baik dibandingkan hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran matematika konvensional untuk topik persamaan garis lurus di kelas VIII?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah:

1. mendeskripsikan keefektifan PMR dalam pembelajaran matematika untuk topik persamaan garis lurus di kelas VIII;

2. membandingkan hasil belajar siswa yang mengikuti PMR dengan hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran matematika konvensional untuk topik persamaan garis lurus di kelas VIII.

D. BATASAN ISTILAH

Untuk menghindari perbedaan penafsiran, maka perlu diberikan batasan istilah. Batasan-batasan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1. Pendekatan dalam pembelajaran adalah suatu jalan, cara atau kebijaksanaan

yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pembelajaran atau materi pembelajaran itu, umum atau khusus, dikelola.

2. Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) adalah suatu pendekatan

(9)

mempertimbangkan keterkaitan antar topik pelajaran. Kelima karakteristik PMR ini dioperasionalisasi dari prinsip dalam PMR, yaitu: penemuan kembali secara terbimbing dan matematisasi progresif, fenomena didaktik, dan pengembangan model sendiri oleh siswa.

3. Masalah kontekstual adalah masalah-masalah nyata yang dekat dengan

lingkungan siswa dan dapat diamati atau masalah yang dapat dipahami siswa lewat membayangkan.

4. Pembelajaran Matematika Konvensional adalah pembelajaran yang

dilakukan guru di sekolah pada umumnya, biasanya diawali dengan penjelasan tentang materi, dilanjutkan dengan memberikan contoh soal, kemudian memberikan soal-soal latihan, dan diakhiri dengan tugas siswa.

5. Hasil belajar siswa adalah penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran

yang diukur dengan skor posttes (tes akhir) yang diperoleh siswa setelah mengikuti pembelajaran.

6. Keefektifan pembelajaran didasarkan pada pencapaian ketuntasan belajar

siswa, pencapaian keefektifan aktivitas siswa, pencapaian keefektifan kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan respon siswa terhadap pembelajaran.

7. Pencapaian ketuntasan belajar siswa adalah tercapainya ketuntasan belajar

secara klasikal setelah siswa mengikuti pembelajaran, yaitu jika paling sedikit 85% siswa memperoleh skor lebih dari atau sama dengan 65% dari skor total tes yang diberikan.

8. Aktivitas siswa adalah kegiatan yang dilakukan siswa selama proses

(10)

9. Kemampuan guru mengelola pembelajaran adalah keterampilan guru dalam melaksanakan pembelajaran matematika sesuai dengan rencana pembelajaran. Kemampuan guru ini diukur dengan menggunakan instrumen lembar pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran.

10. Responsiswa adalah tanggapan siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran dan

komponen pembelajaran (materi, buku siswa, lembar kegiatan siswa), serta minat siswa untuk mengikuti pembelajaran dengan pendekatan yang sama pada pembelajaran berikutnya.

11. Persamaan garis lurus adalah materi yang diajarkan di kelas VIII SMP sesuai Kurikulum 2004.

E. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Memberikan informasi bagi guru matematika tentang alternatif pendekatan pembelajaran matematika pada topik persamaan garis lurus di SMP.

2. Jika hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang mengikuti PMR lebih baik daripada hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran matematika konvensional, maka perangkat pembelajaran yang dikembangkan diharapkan dapat dijadikan masukkan dan dimanfaatkan oleh guru dan praktisi pendidikan dalam mengambil kebijakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di sekolah.

F. ASUMSI DAN KETERBATASAN Asumsi:

1. Siswa mengerjakan tes hasil belajar dengan sungguh-sungguh, sehingga hasil tes mencerminkan kemampuan siswa yang sebenarnya.

2. Siswa mengisi angket respon siswa dengan sungguh-sungguh, sehingga hasil angket mencerminkan tanggapan siswa terhadap pembelajaran.

Keterbatasan:

(11)

peneliti tidak mengembangkan instrumen penilaian proses.

TINJAUAN PUSTAKA

A. PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Pendidik sebagai salah satu pelaku utama dalam pengajaran harus memahami teori-teori belajar, metode-metode mengajar dan lain-lain. Penerapan teori belajar merupakan suatu tuntutan yang harus dilaksanakan dan disesuaikan dengan topik-topik tertentu untuk dipraktekkan di lapangan. Kurikulum 2004 menekankan agar dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika, siswa dikondisikan untuk menemukan kembali rumus, konsep, atau prinsip dalam matematika melalui bimbingan guru. Hal ini dimaksudkan agar siswa terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu (Depdiknas, 2003). Dengan menerapkan metode pembelajaran tertentu, siswa dituntut untuk menemukan sendiri jawaban terhadap permasalahan yang diberikan atau dihadapi.

Menurut Sukahar (1992: 3), belajar matematika pada hakekatnya adalah belajar yang berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur yang diatur menurut urutan logis. Belajar matematika tidak ada artinya kalau hanya dihafalkan saja. Belajar matematika baru bermakna bila dimengerti.

(12)

Pembelajaran secara bermakna (meaningful learning) adalah pembelajaran yang lebih mengutamakan proses terbentuknya suatu konsep daripada menghapalkan konsep yang sudah jadi. Konsep-konsep dalam matematika tidak diajarkan melalui definisi, melainkan melalui contoh-contoh yang relevan dengan melibatkan konsep tertentu yang sudah terbentuk dalam pikiran siswa. Pembelajaran secara bermakna (meaningful learning) terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka (Ausubel dalam Suparno, 2001: 54), tidak hanya sekedar menghapal. Dengan belajar bermakna, diharapkan siswa dapat memahami setiap kegiatan yang dilaksanaan. Siswa menyadari tentang mengapa, bagaimana, dan untuk apa ia melakukan sesuatu dalam kegiatan belajar. Dengan begitu, akan timbul suasana pembelajaran yang harmonis, penuh gairah, riang gembira, komunikasi guru dengan siswa dan antar sesama siswa dapat berjalan lancar.

B. PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

Pendekatan dalam pembelajaran adalah suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pembelajaran atau materi pembelajaran itu, umum atau khusus, dikelola (Ruseffendi dalam Fauzi, 2002:13). Soedjadi (2000:102-103) membedakan pendekatan menjadi dua, yaitu:

1. pendekatan materi (material approach) yaitu proses menjelaskan topik matematika tertentu menggunakan materi matematika lain, misalnya menjelaskan topik “kongruensi dua segitiga” menggunakan “transformasi”; dan

2. pendekatan pembelajaran (teaching approach) yaitu proses penyampaian atau penyajian topik matematika tertentu agar mempermudah siswa memahaminya. Misalnya mengajarkan tentang banyaknya diagonal suatu segi-n beraturan dengan menggunakan “penemuan”.

(13)

dalam pendidikan matematika ke dalam empat macam pendekatan, yaitu: meknistik, strukturalistik, empiristik, dan realistik. Pengelompokan ini didasarkan pada komponen proses matematisasinya, yakni matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal. Matematisasi adalah kegiatan pengorganisasian yang dapat berupa realitas-realitas yang perlu diorganisir secara matematis dan juga ide-ide matematika yang perlu diorganisir dalam konteks yang lebih luas.

Pada proses matematisasi horisontal, dengan pengetahuan atau pengalam-an ypengalam-ang dimilikinya, siswa dapat mengorgpengalam-anisasikpengalam-an dpengalam-an memecahkpengalam-an masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari (Martin, 2004). Proses ini meliputi proses informal yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan suatu soal. Contohnya adalah proses yang dilalui siswa untuk membuat model, membuat skema, dan menemukan hubungan-hubungan. Proses matematisasi vertikal, merupakan proses pengorganisasian kembali dengan menggunakan matematika. Proses ini antara lain meliputi proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula, membuat berbagai model matematika, merumuskan konsep/prinsip dan melakukan generalisasi (Zulkardi, 1999). Freudenthal (dalam Norbury, 2004) mengatakan bahwa horizontal mathematization involves going from the world of life into the world of symbols, while vertical mathematization means moving whitin the world of symbols (matematisasi horizontal bergerak dari dunia nyata ke dunia simbol, dan matematisasi vertikal bergerak dalam dunia simbol). Meskipun pembedaan dunia nyata dan dunia simbol ini cukup jelas, Freudenthal menekankan bahwa pembedaan ini tidak dimaksudkan untuk memisahkan kedua dunia tersebut (Heuvel-Panhuizen, 2004).

(14)

Tabel 1. Pendekatan Pembelajaran dalam Matematika

No Jenis pendekatanpembelajaran Komponen matematisasi

Horisontal Vertikal

1. Mekanistik – –

2. Empiristik + –

3. Strukturalistik – +

4. Realistik + +

Sumber: Lange (1987: 101).

Berdasarkan Tabel 1 di atas, terlihat bahwa pada pendekatan realistik kedua komponen matematisasi lebih diperhatikan dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran lainnya. Pendekatan mekanistik lebih menekankan pada dril dan kegiatan menghapal, sehingga matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal pada pendekatan ini hampir tidak ada. Pendekatan empiristik adalah pendekatan yang lebih menekankan pada masalah yang nyata, sehingga matematisasi horisontal lebih banyak, sedangkan matematisasi vertikal hampir tidak ada. Pada pendekatan strukturalistik terdapat penekanan pada matematika formal dan materi yang dipelajari lebih bersifat abstrak, sehingga matematisasi vertikal lebih banyak, sedangkan matematisasi horisontalnya hampir tidak ada. Pendekatan realistik memberikan porsi yang seimbang antara matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal. Hal ini semakin memperkuat alasan untuk memilih pendekatan realistik dalam pembelajaran.

1. Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik

(15)

disebutkan, yaitu mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan realistik. Pendekatan ini mengacu pada pendapat Freudenthal (dalam Zulkardi, 2003) yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan situasi anak sehari-hari. Berdasarkan hal ini, kata ‘realistik’ tidak hanya mengacu pada dunia nyata, tetapi juga pada situasi real dalam pikiran anak. Anak juga harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan kembali ide atau konsep matematika. Freudenthal (www.pmri.or.id/latarbelakang.html) berkeya-kinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi).

PMR menekankan bagaimana siswa menemukan kembali (reinvention) konsep-konsep atau prosedur-prosedur dalam matematika melalui masalah-masalah kontekstual. Soedjadi (2001b: 2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika yang lebih baik daripada masa yang telah lalu. Lebih lanjut Soedjadi menjelaskan yang dimaksud dengan realitas yaitu hal-hal yang nyata atau konkret yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan ini disebut lingkungan sehari-hari.

(16)

dari pengalaman siswa dalam berinteraksi dengan realitas. Setelah menemukan dan terbentuk konsep-konsep matematika, siswa menggunakannya untuk menyelesaikan masalah kontekstual selanjutnya sebagai aplikasi untuk memperkuat konsep. Lange (1987: 72), mengatakan bahwa proses tersebut merupakan proses matematisasi konseptual (conseptual mathematizing), yang dapat digambarkan seperti pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Matematisasi Konseptual

Agar pembelajaran bermakna bagi siswa, maka pembelajaran seyogyanya dimulai dari masalah kontekstual. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan seluas-seluasnya untuk menyelesaikan masalah itu dengan caranya sendiri-sendiri. Artinya siswa diberi kesempatan melakukan refleksi, interpretasi dan mencari strategi yang sesuai. Keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika haruslah dipahami sebagai keaktifan melakukan matematisasi, baik horizontal maupun vertikal, yang memuat kegiatan refleksi, interpretasi dan abstraksi. Rekonstruksi terjadi bila siswa dalam aktivitasnya melakukan refleksi, interpretasi dan abstraksi. Rekonstruksi itu dimungkinkan terjadi dengan probabilitas yang lebih besar melalui diskusi, baik dalam kelompok kecil maupun diskusi kelas atau berbagai bentuk interaksi dan negosiasi. Secara perlahan siswa dilatih untuk melakukan rekonstruksi atau reinvention. Mula-mula matematisasi berlangsung secara horisontal dan dengan bimbingan guru secara terbatas siswa melakuakan matematisasi vertikal. Matematisasi horisontal meliputi antara lain proses informal yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan masalah kontekstual, membuat model, membuat skema, dan menemukan jawaban.

Dunia nyata

Matematisasi dalam aplikasi Matematisasi dan refleksi

(17)

Menurut Seodjadi (2001a:3), pada matematisasi horisontal memungkinkan siswa dapat melakukan kegiatan yang mengarah pembentukan “konsep antara” (misalnya konsep antara ke-1). Setelah konsep antara ke-1 diperoleh, mungkin diperlukan konsep antara ke-2 yang dibangun sejalan dengan konsep antara ke-1. Pencapaian konsep antara ke-1 dan sebagainya memungkinkan dilakukan dengan berbagai cara berbeda oleh siswa melalui kegiatan informal membangun konsep utama yang menjadi tujuan utama pembelajaran. Andaikan tujuan utama pembelajaran adalah konsep luas bangun datar. Konsep antara ke-1 dapat dicapai melalui kegiatan “membandingkan” dua bangun datar tertentu. Konsep antara ke-1 itu dapat berupa “lebih luas daripada”. Jika siswa sudah sampai ke konsep utama, aktivitas pembelajaran dilanjutkan dengan matematisasi vertikal melalui kegiatan formal matematika, meliputi antara lain proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula (rumus), membuat berbagai model, merumuskan konsep baru dan melakukan generalisasi (Lange, 1987). Sebagai contoh, dalam pembelajaran topik persamaan garis lurus, melalui masalah-masalah kontekstual yang diberikan, siswa menemukan berbagai persamaan, misalnya 3x + 2y = 12, dan lain-lain. Selanjutnya, siswa melakukan generalisasi untuk menemukan persamaan umum garis lurus ax + by = c.

2. Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik

Menurut Gravemeijer (1994:90), ada tiga prinsip kunci dalam mendesain pembelajaran matematika realistik, yaitu:

a. Guided reinvention dan progressive mathematizing

(18)

matematisasi prosedur pemecahan masalah yang sama, serta perancangan rute belajar sedemikian rupa, sehingga siswa menemukan sendiri konsep-konsep atau hasil. Prinsip ini sejalan dengan paham konstruktivis yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat diajarkan atau ditransfer oleh guru, tetapi hanya dapat dikonstruksi oleh siswa itu sendiri.

b. Didactical phenomenology

Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Dalam hal ini fenomena pembelajaran menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Topik-topik ini dipilih dengan pertimbangan: (1) aspek kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam pengajaran; dan (2) kecocokan dampak dalam proses reinvention, artinya prosedur, aturan dan model matematika yang harus dipelajari oleh siswa tidaklah disediakan dan diajarkan oleh guru, tetapi siswa harus berusaha menemukannya dari masalah kontekstual tersebut.

Jika kita lihat secara historis, matematika berkembang dari penyelesaian masalah praktis, karenanya beralasan jika diharapkan dapat ditemukan masalah yang memunculkan proses tersebut dalam penerapan pada saat sekarang ini. Selanjutnya, kita dapat membayangkan bahwa matematika formal berasal dari generalisasi dan formalisasi prosedur penyelesaian masalah untuk situasi khusus dan konsep dari berbagai situasi. Oleh karena itu, tujuan dari investigasi fenomenologi adalah menemukan situasi masalah sehingga pendekatan situasi khusus dapat digeneralisasi, dan menemukan situasi yang dapat menimbulkan prosedur penyelesaian yang dapat dijadikan dasar untuk matematisasi vertikal.

c. Self developed models

(19)

pemikiran siswa, yang mungkin masih mirip atau jelas terkait dengan masalah kontekstual. Melalui proses generalisasi dan formalisasi, model tersebut diarahkan untuk menuju model matematika formal.

Pada awalnya siswa akan membangun model dari situasi nyata (soal kontekstual), setelah terjadi interaksi dan diskusi kelas, siswa menyusun model matematika untuk menyelesaikaan soal hingga mendapatkan pengetahuan formal matematika. Soedjadi (2001b: 4) mengatakan bahwa model yang dikembangkan siswa tersebut diharapkan akan berubah dan mengarah kepada bentuk yang lebih baik, akan efisien menuju ke arah pengetahuan matematika formal, sehingga diharapkan terjadi urutan pembelajaran seperti “situasi nyata” “model dari

situasi itu” “model ke arah formal” “pengetahuan formal”.

3. Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik

PMR memiliki lima karakteristik (Zulkardi, 1999, 2000; Gravemeijer, 1994: 114-115, 145) yang merupakan operasionalisasi dari prinsip-prinsip PMR. Karakteristik tersebut sebagai berikut.

a. Menggunakan masalah konstekstual (the useof contexts)

Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual, tidak dimulai dari sistem formal. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal pembelajaran harus merupakan masalah sederhana yang dikenali oleh siswa.

b. Menggunakan model (use of models, bridging by vertical instruments)

Pada pembelajaran dengan pendekatan PMR, digunakan model yang dikembangkan sendiri oleh siswa dari situasi yang sebenarnya (model of). Model tersebut digunakan sebagai jembatan antara level pemahaman yang satu ke level pemahaman yang lain. Selanjutnya, model ini diarahkan untuk menjadi model ke arah matematika formal (model for).

c. Menggunakan kontribusi siswa (students contribution)

(20)

berupa aneka jawab, aneka cara, atau aneka pendapat dari siswa.

d. Interaktivitas ( interactivity)

Mengoptimalkan proses pembelajaran melalui interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru dan siswa dengan sarana prasarana merupakan hal yang penting dalam PMR. Negosiasi, diskusi, dan kerjasama adalah elemen-elemen penting dalam PMR. Metode informal yang dikembangkan siswa digunakan sebagai acuan menuju metode formal. Dalam hal ini, siswa dilibatkan dalam menjelaskan, membenarkan, menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuan, menanyakan alternatif, dan melakukan refleksi. Interaksi terus dioptimalkan sampai konstruksi yang diinginkan diperoleh, sehingga interaksi tersebut bermanfaat.

e. Terkait dengan topik lainnya ( intertwining )

Struktur dan konsep matematika saling berkaitan. Oleh karena itu, keterkaitan dan keterintegrasian antar topik (unit pelajaran) harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih bermakna. Intertwin dapat terlihat melalui masalah kontekstual yang diberikan.

4. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik

Prinsip utama PMR dijabarkan menjadi karakteristik-karakteristik PMR. Selanjutnya, karakteristik PMR dijabarkan menjadi langkah-langkah operasional dalam pembelajaran. Berdasarkan pengertian, prinsip utama dan karakteristik PMR sebagaimana telah diuraikan, maka dapat dirancang langkah-langkah (kegiatan) inti dalam pembelajaran matematika realistik, yaitu:

a. Memahami masalah kontekstual

(21)

paham tadi merasa tidak puas, guru menjelaskan lebih lanjut dengan cara memberi petunjuk-petunjuk atau saran-saran terbatas (seperlunya) tentang situasi dan kondisi dari masalah (soal). Petunjuk dalam hal ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan siswa untuk memahami masalah (soal), seperti: “Apa yang diketahui dari soal itu?”, “Apa yang ditanyakan?”, “Bagaimana strategi atau cara atau prosedur yang akan digunakan untuk menyelesaikan soal itu?”. Pada tahap ini, karakteristik PMR yang muncul adalah menggunakan masalahkontekstual

dan interaksi.

b. Menyelesaikan masalah kontekstual

Siswa secara individual diminta menyelesaikan masalah kontekstual pada Buku Siswa atau LKS dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah yang berbeda lebih diutamakan. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk mengarahkan siswa memperoleh penyelesaian soal tersebut. Misalnya: “Bagaimana kamu tahu itu?”, “Bagaimana caranya?”, “Mengapa kamu berpikir seperti itu?”, dan lain-lain. Pada tahap ini siswa dibimbing untuk menemukan kembali konsep atau prinsip matematika melalui masalah kontekstual yang diberikan. Selain itu, pada tahap ini siswa juga diarahkan untuk membentuk dan menggunakan model sendiri guna memudahkan menyelesaikan masalah (soal). Guru diharapkan tidak perlu memberi tahu penyelesaian soal atau masalah tersebut, sebelum siswa memperoleh penyelesaian sendiri. Pada langkah ini, karakteristik PMR yang muncul adalah menggunakanmodel dan interaksi.

c. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban

(22)

d. Menyimpulkan

Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang konsep atau definisi, teorema, prinsip atau prosedur matematika yang terkait dengan masalah kontekstual yang baru diselesaikan. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah penggunaan ide atau kontribusisiswa dan interaksi.

Karakteristik “intertwining” muncul sepanjang proses pembelajaran, sebab karakteristik ini justru tercermin dari masalah kontekstual yang diberikan. Misalnya masalah “Berbelanja” seperti diuraikan pada bagian C nanti dapat mengantrarkan siswa untuk menemukan bentuk umum persamaan garis lurus sekaligus menemukan cara menggambar grafiknya.

5. Kelebihan dan Kesulitan dalam Penerapan PMR

Menurut Suwarsono (2001: 5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari PMR, antara lain:

a. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan dunia nyata) dan tentang kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.

b. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa dan setiap orang ‘biasa’ yang lain, tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

(23)

tujuan dari proses penyelesaian soal atau masalah tersebut.

d. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama, dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika, dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi.

Selain kelebihan-kelebihan yang disebutkan di atas, masih ada kelebihan pembelajaran matematika realistik, antara lain:

a. PMR menjadikan siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajar.

b. Siswa lebih berani mengungkapkan ide atau pendapat serta bertanya kepada guru atau temannya dan siswa akan lebih terbiasa untuk memberi alasan jawabannya.

c. PMR dapat menumbuhkan rasa keingintahuan yang tinggi pada diri siswa untuk menyelesaikan masalah, karena masalah berkaitan langsung dengan kehidupan siswa sehari-hari.

d. PMR dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada siswa tentang konsep-konsep matematika, karena konsep-konsep tersebut dikonstruksi sendiri oleh siswa.

e. PMR memberikan pemahaman kepada siswa bahwa dalam matematika terdapat keterkaitan antar topik. Dengan demikian, siswa termotivasi untuk mengingat materi yang telah dipelajari.

Meskipun terdapat kelebihan, menurut Suwarsono (2001: 8), terdapat beberapa kerumitan (kesulitan, pen) dalam penerapannya. Kesulitan tersebut antara lain:

(24)

mengkonstruksi konsep-konsep matematika. Guru tidak lagi sebagai pengajar, tetapi lebih sebagai pendamping bagi siswa. Selain itu, peranan masalah kontekstual, tidak sekedar dipandang sebagai wadah untuk menerangkan aplikasi dari matematika, tetapi justru digunakan sebagai titik tolak untuk mengkonstruksi konsep-konsep matematika itu sendiri.

b. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut PMR tidak mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.

c. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan soal juga merupakan hal yang tidak mudah dilakukan oleh guru.

d. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, melalui soal-soal kontekstual, proses matematisasi horisontal dan proses matematisasi vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali konsep-konsep matematika tretentu. e. Pemilihan alat-alat peraga harus cermat, agar alat-alat peraga yang dipilih bisa

membantu proses berpikir siswa sesuai tuntutan PMR.

f. Penilaian dalam PMR lebih rumit daripada dalam pembelajaran konvensional. g. Kepadatan materi kurikulum perlu dikurangi secara substansial, agar proses

pembelajaran siswa berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip PMR.

Selain kesulitan-kesulitan yang dipaparkan Suwarsono seperti disebutkan di atas, terdapat kesulitan lain dalam penerapan PMR, antara lain:

a. Pelaksanaan PMR memerlukan waktu yang cukup banyak.

(25)

C. BEBERAPA TEORI YANG TERKAIT DENGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

1. Teori Piaget

Menurut teori belajar kognitif, belajar dan berpikir pada dasarnya adalah melakukan pengubahan struktur kognitif. Piaget berpendapat bahwa struktur kognitif yang dimiliki seseorang itu karena proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses mendapatkan informasi dan pengalaman baru yang langsung menyatu dengan dengan struktur mental yang sudah dimiliki seseorang. Adapun akomodasi adalah proses menstrukturkan kembali mental sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru tadi (Hudoyo, 1998 : 47).

Dalam perkembangan kognitif, diperlukan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Ketidakseimbangan akan muncul jika terjadi perbedaan antara pengetahuan kognitif saat ini dengan pengalaman baru. Bila terjadi ketidakse-imbangan, sesorang dipacu untuk mencari kesimbangan dengan mengadakan asimilasi dan akomodasi.

Secara khusus, berkaitan dengan pembelajaran matematika, Piaget (dalam Suparno, 2001: 149-150) menyarankan agar pembelajaran matematika lebih menekankan pada aktivitas, pengalaman, dan penggunaan metode aktif, serta memulai dari yang konkret dan perlahan-lahan menuju ke abstrak. Selain itu, Piaget berpendapat bahwa pemahaman yang sungguh-sungguh akan suatu pengertian atau suatu teori menuntut suatu penemuan teori tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, PMR sesuai dengan teori yang dikemukakan Piaget, karena PMR tidak semata mementingkan hasil tetapi lebih mengutamakan proses berpikir siswa. Selain itu, PMR mengutamakan inisiatif siswa untuk mengkonstruksi atau menemukan konsep dari masalah kontekstual dengan caranya sendiri. PMR juga mengutamakan keterlibatan aktif siswa dalam kegiatan pembelajaran.

2. Teori Vygotsky

(26)

melalui interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu.

Secara umum Teori Vygotsky dinyatakan dengan empat prinsip kunci berikut (Slavin, 1997: 270-271; Nur dan Wikandari, 2000: 4-6).

a. Pembelajaran sosial. Vygotsky menekankan hakikat sosial kultural dari

pembelajaran. Siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu.

b. Zona perkembangan terdekat. Siswa belajar konsep secara lebih baik jika

konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat (zone of proximal development) mereka. Zona perkembangan terdekat siswa adalah tingkat perkembangan berpikir sedikit berada di atas tingkat perkembangan berpikir siswa saat itu, sehingga apabila siswa diberi sedikit bimbingan, siswa akan mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi tersebut.

c. Pemagangan kognitif (Cognitive Apparenticeship). Seseorang yang belajar

secara tahap demi tahap memperoleh keahlian dalam interaksinya dengan seorang pakar. Pakar itu bisa orang dewasa atau teman sebaya yang telah menguasai permasalahannya.

d. Scaffolding. Memberikan kepada siswa sejumlah besar bantuan pada tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian sedikit demi sedikit mengurangi bantuan tersebut. Selanjutnya memberi kesempatan kepada siswa itu untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu melakukan tugas tersebut.

(27)

pembelajaran. Selain itu, dalam PMR guru memberikan bantuan berupa petunjuk agar siswa mengerti maksud dari masalah kontekstual tersebut dan kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan masalah kontekstual dengan kemampuannya sendiri. Apabila siswa mengalami kesulitan menyelesaikan masalah kontekstual tersebut, guru dapat memberikan bantuan misalnya dengan memberikan pertanyaan arahan.

3. Teori Bruner

Bruner (Hudoyo, 1988: 56) berpendapat bahwa belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu. Pemahaman terhadap konsep-konsep dan struktur sesuatu materi menjadikan materi itu dipahami secara lebih komprehensif. Selain itu siswa lebih mudah mengingat materi itu bila yang dipelajari itu merupakan atau mempunyai pola yang berstruktur. Dengan memahami konsep dan struktur akan mempermudah terjadinya transfer.

Bruner (Hudoyo, 1988: 57; Post,1992: 11) mengemukakan tiga tahap perkembangan mental siswa yaitu:

a. Enactive. Belajar melalui pengalaman langsung. Dalam tahap ini siswa di dalam belajarnya menggunakan atau memanipulasi objek-objek secara langsung.

b. Iconic. Tahap ini merupakan tahap belajar yang didasarkan pada penggunaan media visual seperti gambar, diagram, film dan sejenisnya. Siswa tidak memanipulasi langsung objek-objek seperti dalam tahap enactive, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari objek.

c. Symbolic. Tahap ini ditandai dengan penggunaan simbol-simbol abstrak untuk mewakili realitas. Siswa memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak lagi ada kaitannya dengan objek-objek.

(28)

proses matematisasi vertikal siswa memanipulasi simbol-simbol.

4. Teori Belajar Bermakna Ausubel

Menurut Ausubel (Orton, 1992: 155) belajar bermakna adalah suatu proses ketika suatu pengetahuan baru diserap dengan cara dihubungkan dengan aspek-aspek dari struktur pengetahuan individu yang telah ada dan relevan. Jika tidak ada konsep yang relevan yang dapat dihubungkan atau dikaitkan maka pengetahuan baru tersebut hanya dipelajari dengan cara menghapal

Selanjutnya, Ausubel mengatakan bahwa menghapal berlawanan dengan belajar bermakna. Menghapal pada hakekatnya mendapatkan informasi yang terisolasi sedemikian sehingga siswa tidak dapat mengaitkan informasi yang diperoleh ke dalam struktur kognitifnya.

Pada pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, siswa “menemukan” pengetahuannya dari masalah kontekstual dan mengaitkan pengetahuan tersebut dengan konsep atau cara yang akan dibangun. Masalah kontekstual akan membantu siswa belajar secara bermakna karena pada masalah kontekstual terdapat aspek yang relevan dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Dengan demikian, PMR sesuai dengan Teori Ausubel.

D. PEMBELAJARAN KONVENSIONAL

Pembelajaran matematika secara konvensional yang dimaksud di sini adalah pembelajaran matematika yang dilaksanakan pada saat ini di sekolah-sekolah. Proses pembelajaran matematika yang berlangsung saat ini menjadikan guru sebagai pusat pembelajaran. Pembelajaran dimulai dari teori, kemudian diberikan contoh, dan diikuti dengan pemberian soal latihan. Dalam latihan soal ini baru diberikan soal bentuk cerita yang mungkin terkait dengan terapan matematika atau kehidupan sehari-hari. Hal ini berlawanan dengan pendekatan PMR yang memberikan masalah kontekstual sebagai titik awal untuk menemukan konsep, prinsip atau prosedur dalam matematika.

(29)

tanya jawab. Kegiatan pembelajaran lebih bersifat penyampaian informasi, sehingga siswa menjadi pasif. Selama pembelajaran berlangsung, kebanyakan siswa hanya mendengar dan menulis. Hanya sedikit siswa yang mengajukan pertanyaan kepada guru dan itupun terbatas pada penjelasan guru.

Meskipun demikian, pembelajaran konvensional mempunyai beberapa kelebihan, antara lain:

a. Setiap siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk mendengarkan penjelasan guru.

b. Memungkinkan untuk dilaksanakan pada kelas dengan siswa yang cukup banyak.

c. Waktu yang diperlukan untuk membahas suatu topik relatif tidak terlalu banyak, sehingga materi dapat diselesaikan dengan mudah.

Beberapa kelemahan pembelajaran konvensional antara lain: a. Pelajaran berjalan membosankan.

b. Siswa pasif dan hanya aktif mencatat saja.

c. Kepadatan konsep yang diberikan dapat mengakibatkan siswa tidak mampu menguasai bahan yang diajarkan.

d. Pengetahuan yang didapatkan cepat terlupakan.

e. Siswa belajar umumnya hanya menghafalkan tanpa mengerti.

Secara umum perbedaan pembelajaran matematika secara konvensional dengan pembelajaran matematika realistik adalah sebagai berikut.

Tabel 2. Perbedaan Pembelajaran Matematika Konvensional dan PMR

Pembelajaran Matematika

Konvensional Pembelajaran Matematika Realistik 1. Pembelajaran dimulai dari teori,

kemudian diberikan contoh soal yang dilanjutkan dengan latihan soal. Masalah kehidupan sehari-hari terkadang digunakan pada topik tertentu tetapi muncul dibagian akhir pembahasan suatu topik atau sewaktu pemberian contoh.

2. Siswa menyelesaikan masalah

de-1.Pembelajaran diawali dengan pem-berian masalah kontekstual (masalah yang dekat dengan lingkungan siswa).

(30)

ngan menggunakan bentuk formal, karena teorinya sudah diajarkan terlebih dahulu.

3. Siswa cenderung pasif dalam proses pembelajaran dan umumnya hanya menyelesaikan masalah secara informal atau dengan menggunakan bentuk formal yang sesuai dengan kemampuan siswa.

3.Siswa diberikan kesempatan belajar sendiri secara aktif untuk

mem-Pembelajaran matematika selama ini (konvensional) cenderung kepada “memberi informasi” atau “memberitahu murid” dan memakai matematika yang sudah “siap pakai” untuk memecahkan masalah. Dalam PMR, justru sebaliknya. Masalah digunakan sebagai sarana utama untuk mengawali pembelajaran sehingga memungkinkan siswa dengan caranya sendiri mencoba memecahkannya. Dalam memecahkan masalah itulah siswa melakukan langkah ke arah pemikiran matematika, sehingga diharapkan akan mereka temukan atau bangun sendiri pengertian atau konsep, prosedur matematika tertentu. Dengan demikian, jelas bahwa dalam pembelajaran matematika realistik siswa didorong untuk aktif membangun atau mengkonstruksi pengetahuan yang akan diperolehnya, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan hasil belajar siswa.

E. KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN

(31)

disampaikan oleh guru tetapi mereka dapat memberi tanggapan secara aktif. Hasil aktivitas ini tidak hanya meningkatkan pemahaman dan daya serap siswa pada materi pembelajaran, tetapi juga melibatkan keterampilan berpikir. Menurut Slavin (1997: 307), keefektivan pembelajaran terdiri dari empat indikator, yaitu kualitas pembelajaran (quality of instruction), kesesuaian tingkat pembelajaran (appropriate level of instruction), insentif (incentive), dan waktu (time).

a. Kualitas pembelajaran, merujuk pada derajat informasi atau keterampilan

yang disajikan sehingga siswa dapat mempelajarinya dengan mudah atau siswa berada pada tingkat kesalahan yang kecil. Semakin kecil tingkat kesalahan yang dilakukan berarti makin efektif pembelajaran. Penentuan tingkat keefektivan pembelajaran bergantung pada penguasaan tujuan pembelajaran tertentu. Pencapaian tingkat penguasaan tujuan pengajaran biasanya disebut ketuntasan belajar.

b. Kesesuaian tingkat pembelajaran adalah sejauh mana

guru memastikan tingkat kesiapan siswa (mempunyai ketrampilan dan pengetahuan) untuk mempelajari materi baru. Dengan kata lain, materi pembelajaran yang diberikan tidak terlalu sulit atau tidak terlalu mudah.

c. Insentif adalah seberapa besar guru memotivasi siswa

untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru kepada siswa. Semakin besar motivasi yang diberikan, keaktifan siswa makin besar pula. Dengan demikian, pembelajaran akan efektif.

d. Waktu adalah lamanya waktu yang diberikan kepada

siswa untuk mempelajari materi yang disajikan. Pembelajaran akan efektif jika siswa dapat menyelesaikan pelajaran sesuai dengan waktu yang ditentukan.

(32)

berhasil dengan baik dalam mempelajari hal tersebut, sebaliknya jika siswa belajar sesuai dengan minatnya, maka dapat diharapkan hasilnya akan lebih baik.

Eggen dan Kauchak (1988: 1) mengatakan bahwa pembelajaran dikatakan efektif apabila siswa secara aktif dilibatkan dalam pengorganisasian dan penemuan informasi (pengetahuan). Siswa tidak hanya secara pasif menerima pengetahuan yang diberikan guru. Hasil pembelajaran ini tidak hanya meningkatkan pemahaman saja tetapi juga meningkatkan ketrampilan berpikir siswa. Dengan demikian, dalam pembelajaran perlu diperhatikan bagaimana keterlibatan siswa dalam pengorganisasian pelajaran dan pengetahuannya. Semakin aktif siswa maka ketercapaian ketuntasan pembelajaran semakin besar, sehingga semakin efektiflah pembelajaran.

Kemp (dalam Mudhofir, 1987:164) mengemukakan cara untuk mengukur keefektivan pembelajaran yaitu dengan mengajukan suatu pertanyaan, “Apakah yang telah dicapai siswa?” Untuk menjawab pertanyaan ini harus diketahui berapa banyak jumlah siswa yang berhasil mencapai tujuan belajar dalam waktu yang telah ditentukan. Cara ini sejalan dengan indikator keefektivan pembelajaran yang dikemukakan Slavin (1997:307), yaitu indikator kualitas pembelajaran.

Dari kutipan di atas, pengajaran efektif menghendaki agar guru mengetahui bagaimana para siswa memandang fenomena yang menjadi objek pembelajaran. Dengan kata lain, bagaimana gagasan anak mengenai topik yang akan dibahas sebelum pelajaran tentang topik itu dimulai. Pelajaran kemudian dikembangkan dari gagasan yang telah ada dan berakhir dengan gagasan yang telah mengalami modifikasi.

Selanjutnya, dalam penelitian ini, pembelajaran dikatakan efektif apabila mencapai sasaran yang diinginkan, baik dari segi tujuan pembelajaran maupun prestasi siswa yang maksimal. Berdasarkan hal tersebut, indikator keefektifan pembelajaran dalam penelitian ini berupa: (1) ketercapaian ketuntasan belajar

(33)

yang termuat dalam rencana pembelajaran dengan toleransi 5%; (3) ketercapaian efektivitas kemampuangurumengelola pembelajaran, yaitu bila rata-rata nilai semua aspek pengelolaan pembelajaran untuk semua pertemuan lebih besar atau sama dengan 3.5 dari skor total 5 (lihat bagian metode penelitian); serta (4)

respon siswa terhadap pembelajaran yang positif, yaitu terdapat rata-rata

persentase jawaban (respon) siswa untuk kategori senang, baru dan berminat lebih besar atau sama dengan 80%. Jika keempat aspek di atas terpenuhi, maka pembelajaran matematika realistik dikatakan efektif.

F. HIPOTESIS

Berdasarkan uraian-uraian pada tinjauan pustaka, pada penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut.

1. Pembelajaran mateamatika realistik (PMR) efektif dalam pembelajaran matematika untuk topik persamaan garis lurus di kelas VIII SMP.

2. Hasil belajar siswa yang mengikuti PMR lebih baik dibandingkan hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran matematika konvensional untuk topik persamaan garis lurus di kelas VIII SMP.

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian eksperimen semu yang diawali dengan pengembangan perangkat pembelajaran berupa: Rencana Pembelajaran (RP), Buku Petunjuk Guru (BPG), Buku Siswa (BS), Lembar Kegiatan Siswa (LKS); dan pengembangan instrumen penelitian berupa Tes Hasil Belajar (THB), Lembar Pengamatan Aktivitas Siswa (LPAS), Lembar Pengamatan Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran (LPKG), dan Angket Respon Siswa (ARS).

B. POPULASI DAN SAMPEL

(34)

Sukamara, Kalimantan Tengah tahun pelajaran 2005/2006 yang terdiri dari 5 kelas. Sampel penelitian dipilih 2 kelas secara acak untuk ditetapkan menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Sebelumnya, 1 kelas diambil secara acak sebagai kelompok uji coba perangkat. Pemilihan kelas secara acak dimungkinkan karena berdasarkan informasi dari kepala sekolah dan guru bahwa pendistribusian siswa pada tiap kelas merata.

Untuk keperluan pelaksanaan PMR, kelompok eksperimen dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, yaitu kelompok-kelompok homogen yang anggota kelompoknya heterogen terdiri dari siswa pandai, sedang, dan kurang pandai (kelompok atas, tengah, dan bawah). Teknik penentuan kelompok berdasarkan pada nilai rapor matematika.

C. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

1. Variabel Bebas a. Variabel Perlakuan

Variabel perlakuan adalah pendekatan pembelajaran yaitu pembelajaran matematika realistik untuk kelompok eksperimen dan pembelajaran matematika konvensional untuk kelompok kontrol.

b. Variabel Terkontrol

Varibael terkontrol dalam penelitian ini terdiri dari:

1) Guru. Guru yang mengajar kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

adalah sama atau setara, yaitu guru bidang studi matematika dengan ijasah S1 pendidikan matematika.

2) Materi Pembelajaran. Materi Pembelajaran pada kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol sama, yaitu persamaan garis lurus, yang mengacu pada Kurikulum Matematika 2004 SMP/MTs.

3) Waktu. Jumlah waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol sama

c. Variabel Tak Terkontrol

(35)

kondisi kesehatan siswa, budaya siswa, cara belajar siswa, pendidikan orang tua siswa, dan jarak tempat tinggal siswa dengan sekolah.

d. Variabel Kovariat (penyerta)

Variabel kovariat dalam penelitian ini adalah kemampuan awal siswa yang ditunjukkan oleh skor pretes siswa.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat adalah hasil belajar siswa setelah diberi perlakuan. Hasil belajar siswa adalah skor tes yang diperoleh dari hasil posttes. Variabel lain yang dapat dianggap sebagai variabel terikat adalah aktivitas siswa, kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan respon siswa.

D. METODE DAN INSTRUMEN PENGUMPUL DATA

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes hasil belajar, lembar pengamatan aktivitas siswa, lembar pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan angket respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran.

1. Tes hasil belajar.

Data hasil belajar diperoleh melalui pemberian tes, yakni pretes diberikan sebelum proses pembelajaran berlangsung dan posttes diberikan sesudah proses pembelajaran berlangsung. Tes yang diberikan pada saat pretest dan posttest adalah tes yang sama. Tes diberikan kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Instrumen tes yang digunakan berbentuk uraian.

2. Lembar pengamatan aktivitas siswa.

(36)

(4 menit melakukan pengamatan dan 1 menit menuliskan kategori). Pengamatan ditujukan pada 2 kelompok yang dipilih secara acak. Setiap pengamat mengamati 3 orang siswa, terdiri dari: 1 orang siswa dari kelompok atas, 1 orang siswa dari kelompok tengah dan 1 orang dari kelompok bawah.

3. Lembar pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran.

Data kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran diperoleh dengan menggunakan lembar observasi selama kegiatan pembelajaran berlangsung pada kelompok eksperimen. Pengamatan dilakukan oleh 2 orang pengamat mulai dari guru membuka pelajaran sampai guru menutup pelajaran. Pengamat menuliskan kategori-kategori skor yang muncul dengan memberi tanda cek () pada baris dan

kolom sesuai dengan setiap aspek yang dinilai. Pengkategorian skor kemampuan guru mengelola pembelajaran terdiri atas 5 kriteria, yaitu; tidak baik (1), kurang baik (2), cukup baik (3), baik (4), dan sangat baik (5).

4. Angket respon siswa.

Data respon siswa diperoleh dengan menggunakan angket yang diberikan kepada siswa pada kelompok eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui respon siswa terhadap PMR. Angket respon siswa diberikan kepada siswa dan diisi setelah pembelajaran.

Respon siswa terhadap komponen kegiatan pembelajaran dikelompokkan dalam kategori senang dan tidak senang; baru dan tidak baru; berminat dan tidak berminat.

E. PROSEDUR PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN DAN INSTRUMEN PENELITIAN

(37)

Deskripsi pengembangan perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian dengan menggunakan model pengembangan 4–D mulai tahap pendefinisian (define) sampai tahap pengembangan (design) dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Pendefinisian (Define)

Tujuan tahap ini adalah menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran dengan cara melakukan analisis tujuan dalam batasan materi yang akan dikembangkan. Kegiatan dalam tahap ini adalah analisis awal-akhir, analisis siswa, analisis konsep, analisis tugas, perumusan tujuan pembelajaran.

Pada tahap pendefinisian akan dideskripsikan lima kegiatan yang dilakukan yaitu analisis awal-akhir (analisis kurikulum 2004 matematika SMP), analisis siswa, analisis konsep, analisis tugas dan spesifikasi indikator pencapaian hasil belajar.

a. Analisis awal- akhir

Analisis ini bertujuan untuk memunculkan masalah dasar yang diperlukan dalam pengembangan perangkat pembelajaran dan tes hasil belajar. Beberapa hal yang diperhatikan dalam analisis awal-akhir adalah kurikulum yang berlaku dan teori belajar yang relevan.

b. Analisis siswa

Analisis ini dilakukan dengan memperhatikan ciri, kemampuan dan pengalaman siswa baik sebagai individu maupun kelompok.

c. Analisis materi/konsep

Kegiatan pada tahap ini adalah mengidentifikasi, memerinci dan menyusun secara sistematis materi pelajaran dan materi prasyarat yang relevan untuk diajarkan sesuai dengan hasil analisis awal akhir.

d. Analisis tugas

(38)

berbagai keterampilan-keterampilan utama yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran yang akan dikembangkan dalam perangkat pembelajaran. Setiap keterampilan dianalisis ke dalam sub-sub keterampilan yang lebih spesifik lagi.

e. Spesifikasi indikator pencapaian hasil belajar

Spesifikasi indikator hasil belajar ini disusun berdasarkan standar kompetensi yang harus dimiliki siswa. Kegiatan pada langkah ini adalah melakukan penjabaran indikator pencapaian hasil belajar ke dalam indikator yang lebih spesifik, yang disesuaikan dengan hasil analisis materi dan analisis tugas yang dilakukan sebelumnya.

2. Perancangan (Design)

Tahap ini bertujuan menghasilkan rancangan perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian. Perancangan dan penyusunan draft awal perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian didasarkan pada hasil analisis pada tahap pendefinisian. Hasil pada tahap perancangan (design) ini disebut Draft-1.

3. Pengembangan (Develop)

Tujuan tahap ini adalah untuk menghasilkan draft final perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian yang baik, dalam arti sudah sahih dan handal.

a. Validasi/penilaian Ahli

Tahap pengembangan (develop) di awali dengan validasi oleh ahli. Validasi/penilaian dilakukan terhadap perangkat dan instrumen yang dikembangkan pada tahap perancangan (Draft I), sehingga menghasilkan Draft II

(39)

b. Ujicoba

Uji coba dilakukan untuk memperoleh masukan langsung dari guru, siswa dan para pengamat (observer) terhadap perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian yang telah disusun. Hasil ujicoba dijadikan dasar untuk penyempurnaan Draft II menjadi Draft III (Draft final). Selanjutnya, draft final digunakan untuk eksperimen.

1) Tes Hasil Belajar

Uji coba diawali dengan pemberian pretest dan diakhiri dengan posttest (one group pretest-posttest desain). Tes yang digunakan sama. Data pretest dan posttest akan digunakan untuk mengetahui reliabilitas, validitas dan sensitifitas perangkat tes.

a) Validitas Butir Soal

Validitas item (butir soal) dihitung untuk mengetahui seberapa jauh hubungan antara jawaban suatu butir soal dengan skor total yang telah ditetapkan. Secara umum, suatu butir soal dikatakan valid apabila memiliki dukungan yang besar terhadap skor total. Skor pada suatu item menyebabkan skor total menjadi tinggi atau rendah. Dengan kata lain, sebuah item tes memiliki validitas tinggi jika skor pada item itu mempunyai kesejajaran dengan skor total (Arikunto, 1999). Kesejajaran ini dapat diartikan dengan korelasi, sehingga untuk

rxy :koefisien korelasi antara skorbutir dengan skor total N : banyaknya siswa yang mengikuti tes.

b) Reliabilitas

(40)

dengan bentuk tes uraian (essay), yaitu rumus alpha (Arikunto, 1999) sebagai

dengan r11 : koefisien reliabilitas perangkat tes n : banyaknya item tes menggunakan klasifikasi seperti dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3. Interprestasi Koefisien

(41)

Seb : jumlah skor subyek sebelum berlangsungnya proses pembelajaran

Ses : jumlah skor subyek sesudah berlangsungnya proses pembelajaran

Skor max : skor maksimal yang dapat dicapai oleh subyek Skor min : skor minimal yang dapat dicapai oleh subyek .

Suatu butir soal dikatakan peka terhadap pembelajaran jika S  0,30 (Aiken,

1997: 69).

2) Lembar Pengamatan Aktivitas Siswa

Untuk memeriksa reliabilitas instrumen pengamatan pada saat uji coba, pengamatan dilakukan oleh dua orang pengamat. Koefisien reliabilitas dihitung berdasarkan kecocokan data pengamatan dari dua pengamat tersebut pada setiap interval waktu pengamatan dan dihitung dengan menggunakan rumus percentage of agreement (Grinnell, 1988) sebagai berikut.

R = X 100 %

D A

A

dengan: R : Percentace of agreement

A : Agreement /jumlah frekuensi kecocokan antara dua pengamat) D : Dissagreement / jumlah frekuensi ketidakcocokan antara dua

pengamat

Percentace of agreement (R) selanjutnya diinterpretasikan menggunakan kriteria berikut.

0%  R  20% : reliabilitasnya sangat rendah

20%  R  40% : reliabilitasnya rendah

40%  R  60% : reliabilitasnya sedang

60%  R  80% : reliabilitasnya tinggi

80%  R  100% : reliabilitasnya sangat tinggi

3) Lembar Pengamatan Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran

(42)

(percentage of agreement), selanjutnya selanjutnya diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria seperti pada bagian 2).

F. RANCANGAN EKSPERIMEN

Rancangan eksperimen yang digunakan adalah pretes-posttes dua

kelompok.

Tabel 4. Rancangan penelitian

Kelompok Pretes Perlakuan Posttes

Eksperimen Kontrol

T1 T1

X Y

T2 T2

Keterangan:

T1 : Pretes pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol T2 : Posttes pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol X : Perlakuan, yaitu penerapan pembelajaran matematika realistik pada pokok bahasan waktu, jarak dan kecepatan

Y : Perlakuan, yaitu penerapan pembelajaran matematika

konvensional pada pokok bahasan waktu, jarak dan kecepatan T1 : T2 (butir soal T1 sama dengan T2)

G. METODE ANALISIS DATA 1. Keefektifan PMR

Berkaitan dengan pertanyaan penelitian nomor 1, data tentang hasil belajar, aktivitas siswa, kemampuan guru mengelola pembelajaran dan angket respon siswa dianalisis dengan deskriptif kuantitatif.

a. Analisis data hasil belajar

(43)

b. Analisis data aktivitas siswa

Data hasil pengamatan aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran dianalisis dengan menggunakan persentase. Persentase pengamatan aktivitas siswa yaitu frekuensi rata-rata setiap aspek pengamatan dibagi dengan banyaknya frekuensi rata-rata semua aspek pengamatan dikali 100%. Penentuan kriteria keefektifan aktivitas siswa berdasarkan pada pencapaian waktu ideal masing-masing aspek dengan batas toleransi 5%. Waktu ideal adalah waktu yang disediakan untuk masing-masing aspek dalam rencana pembelajaran.

c. Analisis data kemampuan guru mengelola pembelajaran

Data pengamatan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dengan rerata skor. Pendeskripsian rerata skor adalah sebagai berikut.

1,00 – 1,49 : tidak baik

1,50 – 2,49 : kurang baik

2,50 – 3,49 : cukup baik

3,50 – 4,49 : baik

4,50 – 5,00 : sangat baik

d. Analisis data respon siswa

Untuk menentukan kriteria efektivitas respon siswa terhadap komponen dan kegiatan pembelajaran, data respon siswa dianalisis secara deskriptif kuantitatif dalam bentuk persentase dan dikelompokkan untuk setiap indikator. Respon siswa dikatakan positif apabila persentase rata-rata yang diperoleh lebih dari 80% berada dalam kategori senang, baru dan berminat.

2. Perbandingan PMR dengan Pembelajaran Konvensional

(44)

digunakan untuk menguji hipotesis ke 2 dalam penelitian ini. Data yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah hasil pretes (kemampuan awal siswa) sebagai variabel penyerta atau kovariat dan hasil posttes (hasil belajar siswa) sebagai variabel terikat. Penggunaan Anakova disebabkan dalam penelitian ini menggunakan variabel kovariat sebagai variabel bebas yang sulit untuk dikontrol tetapi dapat diukur bersamaan dengan variabel terikat.

Rancangan analisis data digambarkan sebagai berikut.

Tabel 5. Rancangan analisis data untuk anakova

Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol

X 1 : skor rata-rata kemampuan awal siswa sebagai variabel penyerta pada kelompok eksperimen,

X 2 : skor rata-rata kemampuan awal siswa sebagai variabel penyerta pada kelompok kontrol,

Y 1 : skor rata-rata hasil belajar siswa sebagai variabel terikat pada kelompok eksperimen,

Y 2 : skor rata-rata hasil belajar siswa sebagai variabel terikat pada kelompok kontrol,

N1 : banyaknya sampel pada kelompok eksperimen N2 : banyaknya sampel pada kelompok kontrol

(45)

kelompok kontrol harus linier (uji linieritas model regresi).

Model regresi kelompok eksperimen dan model regresi kelompok kontrol harus sejajar (uji kesejajaran dua model regresi). Sebelum menguji kesejajaran dua model regresi dilakukan uji kesamaan dua model regresi.

Langkah–langkah analisis kovarian sebagai berikut.

a. Menentukan Model Regresi

Model regresi linier dibutuhkan karena kita ingin melihat bentuk hubungan antara 2 variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Selain itu model regresi linier sebagai aproksimasi untuk model yang tidak linier.

Misalkan X : kemampuan awal siswa (variabel kovariat); Y : hasil belajar siswa (variabel terikat);

n : banyak siswa.

Model regresi linier Y atas X adalah Y = a + bX, dengan a dan b adalah estimator untuk  1 dan2 dalam persamaan Y =  1 +2 X.

Untuk mencari nilai a dan b digunakan rumus (Netter, 1974:39):

) kemampuan awal siswa terhadap hasil belajar siswa. Untuk menguji keberartian koefisien X dalam model regresi koefisien model regresi dirumuskan hipotesis sebagai berikut.

H0 : 2 = 0 (koefisien regresi tidak berarti, artinya tidak ada pengaruh kemampuan awal siswa dengan hasil belajar siswa)

(46)

kemampuan awal siswa dengan hasil belajar siswa)

Untuk menguji hipotesis tersebut digunakan analisis varians dengan menggunakan statistik-F, dengan rumus sebagai berikut (Netter, 1974:81).

F* =MSEMSR .

Uji linieritas model regresi bertujuan untuk menguji apakah kemampuan awal siswa dan hasil belajar siswa berhubungan secara linier. Untuk menguji linieritas model regresi dirumuskan hipotesis sebagai berikut.

Ho : model regresi linier HA : model regresi tidak linier

Untuk menguji hipotesis tersebut digunakan analisis varians menggunakan statistik-F dengan rumus sebagai berikut (Netter, 1974:119).

F* = MSLFMSPE.

(47)

d. Uji Kesamaan Dua Model Regresi

Uji kesamaan dua model regresi bertujuan untuk menguji kesamaan model regresi kelompok eksperimen dan model regresi kelompok kontrol.

Regresi linier kelompok kontrol : YK = 1 +2 XK Regresi linier kelompok eksperimen : YE = 3 +4 XE

Untuk menguji kesamaan dua model regresi dirumuskan hipotesis sebagai berikut H0 : 1 = 3 dan 2 = 4 (kedua model regresi sama)

HA : 1 3 atau 2 4 (kedua model regresi tidak sama).

Untuk menguji hipotesis tersebut digunakan analisis varians dengan menggunakan statistik-F dengan rumus sebagai berikut (Netter, 1974:119).

)

dengan SSEK : error sum of squares kelompok kontrol dan SSEE : error sum of squares kelompok eksperimen

nK : banyaknya siswa di kelompok kontrol nE : banyaknya siswa di kelompok eksperimen

Apabila dalam pengujian ini hipotesis nol diterima, maka kedua model regresi tidak berbeda secara signifikan, dengan kata lain bahwa hasil belajar siswa dari kedua kelompok tersebut sama.

(48)

Uji ini dilakukan jika dalam pengujian point d di atas, Ho ditolak (model regresi tidak identik). Uji kesejajaran dua model regresi bertujuan untuk menguji kesejajaran model regresi kelompok eksperimen dan model regresi kelompok menggunakan statistik-F, dengan rumus sebagai berikut (Ferguson,1989:369).

F* = SSTx: jumlah kuadrat total X SSTy: jumlah kuadrat total Y k : banyaknya kelompok

N : banyaknya siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

Jika kedua model regresi sejajar maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil belajar siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Gambar

Tabel 1.  Pendekatan Pembelajaran dalam Matematika
Gambar 1. Matematisasi Konseptual
Tabel 2. Perbedaan Pembelajaran Matematika Konvensional dan PMR
Tabel 3.  Interprestasi Koefisien Validitas Butir Soal dan Reliabilitas
+3

Referensi

Dokumen terkait

Siswa dapat mengajukan,menanggapi/ menjawab pertanyaan mengenai materi pembelajaran dengan baik. Siswa dapat menyampaikan pendapat mengenai materi pembelajaran

Perlakuan yang menunjukkan penurunan persentase nilai COD yang terendah yaitu perlakuan dengan tanpa lumpur aktif dan penambahan 0,3% dolomit, hal ini terjadi

Hasil yang dicapai dari penelitian ini adalah dihasilkannya suatu rekomendasi perusahaan strategi sistem dan teknologi informasi yang tepat melalui analisis yang matang

Bagi memperkasakan pendidikan dalam menghadapi ekonomi global, penulis telah menyarankan empat strategi yang perlu dilakukan iaitu pertama, negara

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang aktvitas Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Nurul Iman dalam membina ahklak beragama remaja usia 13-21

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari 10 orang Frater, untuk perilaku yang termasuk ke dalam dimensi pengamalan atau konsekuensi (the consequential dimensions/ religious

Pemecahan perkara (splitsing) merupakan wewenang dari Jaksa yang diatur dalam Pasal 142 KUHAP, yang menyebutkan bahwa: 7 ^ o u Z o penuntut umum menerima satu bekas

Kondisi yang demikian mengakibatkan pulau-pulau yang terdapat pada gugusan Spermonde umumnya memiliki reef yang lebih luas pada bagian barat pulau, karena arus