BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Work Engagement
Saat ini perusahaan mengharapkan karyawan mereka menjadi proaktif,
inisiatif, bertanggungjawab secara profesional dan berkomitmen tinggi pada
standar peforma. Perusahaan membutuhkan karyawan yang penuh semangat dan
berdedikasi seperti: seseorang yang engageddengan pekerjaan mereka (Bakker &
Leiter, 2010).
1. Definisi Work Engangement
Engagement pertama sekali diungkapkan oleh Kahn.Kahn (1990) mengungkapkan bahwa anggota-anggota dari suatu organisasi akan
mengikat diri dengan pekerjaannya dan kemudian mereka akan bekerja
dan mengekspresikan diri secara fisik, kognitif dan emosional selama
memerankan performanya. Aspek kognitif mengacu pada keyakinan
pekerja terhadap organisasi, pemimpin dan kondisi pekerjaan.Aspek
emosional mengacu pada bagaimana perasaan pekerja apakah positif atau
negatif terhadap organisasi dan pemimpinnya.Sedangkan aspek fisik
mengenai energi fisik yang dikerahkan oleh karyawan dalam
melaksanakan perannya.
Bakker & Leiter (2010) mengatakan “work engagement is a
high level of energy and strong identification with one’s work” dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa work engagement adalah perasaan
positif yang dikarakteristikkan oleh semangat dan kekuatan seseorang
dalam bekerja. Harter et al. (dalam Wulandari, 2011) mendefinisikan work
engagement sebagai keterlibatan individual dan kepuasannya sebagai wujud antusiasme kerja.
Work engagement merupakan sebuah motivasi dan pusat pikiran positif yang berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan vigor, dedication dan absorption (Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, & Bakker, 2002). Vigordikarakteristikkan dengan level energi yang tinggi
dan ketahanan saat bekerja.Dedicationmenunjukkan rasa terlibat yang
tinggi dalam suatu pekerjaan, dan mengalami rasa kebermaknaan dan
atusiasme. Absorption dikarakteristikkan oleh konsentrasi yang penuh dan
merasa senang ketika bekerja.Definisi inifokus pada pengalaman
karyawan dalam aktivitas kerjanya (Bakker & Leiter, 2010).
Seseorang yang engaged menyatu dengan peran mereka, tanpa
merugikan orang lain(Wulandari, 2011). Terdapat juga pandangan lain
mengenai engagement yaitu dengan mengasumsikan engagement sebagai lawan dari burnout. Bertentangan dengan burnout, karyawan yang engaged memiliki hubungan yang energikdan efektif dengan aktivitas pekerjaan merekadan mereka mampu menangani dengan baik tuntutan
Lockwood (dalam Wulandari, 2011) mendefinisikan engagement
sebagai pernyataan oleh individu secara emosional dan intelektual
memiliki komitmen terhadap organisasi, yang diukur melalui tiga perilaku
utama: 1) berbicara positif mengenai organisasi kepada rekan kerja dan
pekerja berpotensi serta pelanggan, 2) memiliki gairah yang intens untuk
menjadi anggota organisasi, meski sebenarnya mendapat peluang kerja di
tempat lain, 3) menunjukkan usaha ekstra dan perilaku yang memiliki
kontribusi terhadap kesuksesan organisasi.
Work engagement merupakan sebuah konsep manajemen bisnis yang menyatakan bahwa karyawan yang memiliki engagement tinggi adalah karyawan yang memiliki keterlibatan penuh dan memiliki
semangat bekerja tinggi dalam pekerjaannya maupun dalam hal-hal yang
berkaitan dengan kegiatan perusahaan jangka panjang (Mujiasih &
Ratnaningsih, 2012). Engagement menunjukkan kegigihan dan meliputi
afektif-kognitif yang tidak hanya fokus pada beberapa objek, kejadian,
individu atau perilaku (Schaufeli & Bakker, 2004).
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan diatas dapat
disimpulkan definisi work engagement adalah sebuah motivasi dan pusat
pikiran positif yang berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan
2. Aspek- Aspek Engagement
Schaufeli dan Bakker (2003) mengkonsepkan aspek-aspek dari
engagement, yaitu, sebagai berikut; a. Vigor (semangat)
Vigor ditandai oleh tingginya tingkat energi dan ketahanan mental saat bekerja, kemauan untuk menginvestasikan upaya dalam pekerjaan
seseorang, dan ketekunan juga dalam menghadapi kesulitan. Karyawan
yang mendapat skor tinggi padavigor (semangat)selalu memiliki banyak
energi, semangat dan stamina saat bekerja, sedangkan merekayang
mendapat skor rendah pada vigor (semangat )memiliki sedikit energi, semangat dan stamina dalam mengerjakan pekerjaan mereka.
b. Dedication (dedikasi)
Dedikasi ditandai dengan rasa penting, antusiasme, inspirasi,
kebanggaan, dan tantangan.Karyawan yang mendapat skortinggi pada
dedikasi memiliki identifikasi yang kuat dengan pekerjaan mereka
karena memaknainya, inspiratif, dan menantang. Selain itu,
merekabiasanya merasa antusias dan bangga tentang pekerjaan
mereka.Karyawan yang mendapat skor rendah tidak mengidentifikasi
diri dengan pekerjaan mereka karena mereka tidak memaknainya,
inspirasi, atau menantang, apalagi, mereka merasa tidak antusias atau
c. Absorption (absorbsi)
Absorbsi ditandai dengan konsentrasi penuh dan bahagia dalam
pekerjaan, dimana waktu berlalu dengan cepat dan sulit untuk
memisahkan diri dari pekerjaan.Karyawan yang mendapat skor tinggi
pada absorbsi merasa bahwa mereka menikmati pekerjaan mereka,
mereka merasa tenggelam oleh pekerjaan mereka dan memiliki
kesulitan untuk memisahkan dari pekerjaan mereka. Akibatnya, segala
sesuatu di sekitar mereka dilupakan dan waktu terasa cepat.Karyawan
yang mendapat skor rendah pada absorbsi tidak merasa menikmati atau
tenggelam dalam pekerjaan mereka, mereka tidak mengalami kesulitan
memisahkan dari itu, mereka juga tidak lupa segala sesuatu di sekitar
mereka, termasuk waktu.
3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Work Engagement
Faktor-faktor yang menjadi penyebab utama work engagement,yaitu:
1. Job demands
Seperti psikologis, sosial, atauaspek organisasi yang memerlukan
kelanjutan upaya fisikdan / atau psikologis(misalnya, kognitifatau
emosional) dan karena itu terkait dengan biaya fisiologis dan/ atau
psikologis tertentu (Schaufeli & Bakker, 2004). Berdasarkan
Demerouti, dkk (2001, dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti,
& Schaufeli, 2007) job demands meliputi empat faktor, yaitu: work
demands(tuntutan emosi), emotional dissonance (ketidaksesuaian emosi), dan organizational changes (perubahan terkait organisasi).
2. Job Resources
Job resources (sumber dayapekerjaan) merujuk kepada psikologis, sosial, atau aspek organisasi pekerjaan yang baik / atau(1)
mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya fisiologis dan psikologis
yang terkait, (2) fungsional dalam mencapai tujuankerja, (3)
merangsang pertumbuhan pribadi, pembelajaran dan
pengembangan. Job resources (sumber daya pekerjaan) meliputi empat faktor, yaitu :autonomy (otonomi), social support (dukungan
sosial), supervisory coaching (bimbingan dari atasan), dan opportunities for professional development (kesempatan untuk berkembang secara profesional).Peran atasan sangat penting dalam
meningkatkan engagement karyawannya. Dalam meningkatkan engagement karyawannya supervisor menunjukkan perilaku mau mendengarkan, memberikan umpan balik kepada karyawan atau
disebut sebagai supervisory coaching behaviour .
3. Personal Resources
Merupakan aspek diri dan pada umumnya dihubungkan
dengan kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu
memanipulasi, mengontrol dan memberikan dampak pada
(Demerouti dkk, 2001, dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti,
& Schaufeli, 2007).
Beberapa tipikal sumber daya pribadi antara lain:
Self-efficacy (keyakinan diri) merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya untuk melaksanakan dan menyelesaikan suatu
tugas/tuntutan dalam berbagai konteks, Organizational-based
self-esteem didefinisikan sebagai tingkat keyakinan anggota organisasi bahwa mereka dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan
berpartisipasi dan mengambil peran atau tugas dalam suatu
organisasi (Chen, Gully, & Eden, 2001, dalam Xanthopoulou,
Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2007). Optimism (optimism)
terkait dengan bagaimana seseorang meyakini bahwa dirinya
mempunyai potensi untuk bisa berhasil dan sukses dalam
hidupnya.
B. Supervisory CoachingBehaviour
1. Definisi Supervisory Coaching Behaviour
Seorang pemimpin perusahaan perlu mendorong meningkatkan
manajemen yang people oriented. Pemimpin yang baik meyakini bahwa
karyawan lebih membutuhkan atasan yang mendorong kepada
pengembangan diri (Rogers, dalam Ellinger, Ellinger, & Keller 2005),
dibandingkan seorang atasan yang dapat menjawab semua masalah dan
Dalam struktur kepemimpinan di perusahaan terdapat beberapa
level manajemen, supervisi adalah level pertama dari manajemen dalam
perusahaan. Supervisor merupakan first line manager yang bertanggungjawab langsung pada operasional di lapangan (Tobing &
Napitupulu, 2011).Supervisor bertanggungjawab menghubungkan
manajemen yang lebih tinggi kepada karyawan dan memperlakukan
karyawan secara adil, membuat instruksi yang jelas, dan menyampaikan
kekhawatiran karyawan untuk manajemen yang lebih tinggi (Certo, 2007).
Seringkali definisi mengenai supervisor dan manajer tumpang tindih
dalam perusahaan, manajer adalah orang yg mengatur pekerjaan atau kerja
sama di antara berbagai kelompok atau sejumlah orang untuk mencapai
sasaran, mereka berwenang dan bertanggung jawab membuat rencana,
mengatur, memimpin, dan mengendalikan pelaksanaannya untuk
mencapai sasaran tertentu sedangkan supervisor adalah menghubungkan
manajemen yang lebih tinggi kepada karyawan, mereka menjadi jembatan
antara manajer dan bawahannya dalam melaksanakan kebijakan yang telah
dibuat(Cremo dan Felix, 2000).
Supervisor memiliki dampak yang kuat pada kehidupan para karyawan. Hubungan seorang karyawan dengan atasannya sering menjadi
faktor yang paling berpengaruh apakah karyawan merasa dihargai dan
dihormati di tempat kerja. Perasaan dihargai dan dihormati adalah salah
satu faktor terbesar yang mempengaruhi keputusan karyawan untuk tetap
Coaching merupakan salah satu tugas seorang supervisor agar mampu mengelola kinerja karyawannya secara efektif (Nugroho,
Hasanuddin & Brasit, 2011).Sebagai coach, supervisor mengembangkan rencana untuk memenuhi hasil kinerja dan tujuan departemen dan
organisasi. Mereka harus membuat keputusan taktis sehari-hari yang
mengarahkan staf mereka lebih dekat ketujuan yang diinginkan.Mereka
dapat mengenali bakat dan tahu siapa yang memiliki bakat dan
keterampilan yang dimiliki. Supervisor secara khusus berkaitan dengan menciptakan lingkungan yang memelihara pertumbuhan profesional
(Cremo dan Felix, 2000).
Coaching tergantung pada kepercayaan, oleh karena itu coaching atasan yang sukses menyebabkan perubahan dari command and
controlstyle, pada model manajemen yang didasarkan lebih kepada partnership untuk mencapai keberhasilan dan komitmen (Barry, 1992 dalam Ellinger, Ellinger, & Keller 2005).
Coaching berpusat pada membuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerja sendiri. Fokus pada peningkatan kinerja dan
pengembangan keterampilan adalah kunci untuk coaching yang efektif(Fielden, 2005).Coaching adalah proses membimbing yang
dilakukan atasan untuk melatih dan memberikan orientasi kepada
bawahannya tentang realitas ditempat kerja dan membantu mengatasi
Wilson (dalam Seger, 2007) mengatakan coaching dapat membantu individu atau organisasi untuk meraih kinerja optimal, mengatasi
hambatan dan rintangan terhadap pertumbuhan, dan untuk meraih
tujuan-tujuan spesifik dan tantangan-tantangan sebagai sarana pemenuhan,
pengembangan pribadi dan professional, keseimbangan hidup dan karya,
serta pencegahan. Coaching yang efektif membutuhkan pelatih dan orang
dilatih untuk memenuhi peran relatif mereka.
Coaching menjadi alat yang penting dalam proses pengembangan kepribadian dan profesionalitas seseorang, sehingga seorang pemimpin
(atasan) diharapkan mampu menjadi coach yang baik kepada bawahannya
(Seger, 2007). Sebagai pimpinan di suatu kantor kemampuan untuk dapat
mengoptimalkan kinerja bawahannya merupakan kebutuhan yang sangat
penting dengan berfokus pada usaha mengatasi segala masalah yang
timbul di tempat kerja melalui mekanisme coaching.
Apabila coaching dilakukan di tempat kerja oleh atasan kepada bawahannya, maka proses coaching dapat merupakan suatu dialog atau
komunikasi dua arah antara atasan yang memberikan coaching tersebut
dengan bawahannya. Membudayakan coaching di tempat kerja merupakan
upaya yang harus dilakukan oleh setiap pimpinan suatu organisasi apabila
menginginkan kinerja organisasi dapat meningkat (Ubaydillah, 2008).
Menurut Grant (dalam Wilson, 2011), coaching adalah sebuah
proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil, dan
pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pengembangan pribadi. Oleh
karena itu kemampuan supervisory coachingmeliputi bertanya,
mendengar, memberi dan menerima feedback, komunikasi dan motivasi,
daripada kemampuan atasan secara tradisional seperti persaingan,
mengontrol, pemecah masalah, dan terlihat lebih ahli (Ellinger, Ellinger, &
Keller 2005)
Coaching ditandai dengan kualitas hubungan yang tinggi antara atasan dan bawahannya.Leader-Member Exchange (LMX) (Agarwal,
Angst dan Magni, 2006), didasarkan pada rasa saling percaya dan peran
modellingsupervisor.LMX adalah teori yang memfokuskan pada interaksi antara pemimpin dan pengikutnya (Zahreni, 2008).Dalam teori ini
menggambarkan bagaimana pemimpin menggunakan kekuasaan mereka
untuk membangun hubungan dari sisi yang berbeda (Dierendonck, Le
Blanc & Breukelen, 2002).LMX tidak hanya melihat sikap dan perilaku
pemimpin dan pengikutnya tetapi menekankan pada kualitas hubungan
yang terbentuk.
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
supervisorycoaching behaviour merupakan perilaku yang ditunjukkan dengan mendengar, memberi atau menerima feedback,dan mengarahkan
karyawan untuk meningkatkan peforma kerja yang dilakukan oleh
2. Prinsip Dasar dalam Coaching
Supervisor perlu melakukan coaching yang efektif, sebelum melakukan proses coaching yang efektif supervisor perlu memiliki
beberapa skills, Stone (1999) mengungkapkan lima prinsip coaching (Five
coaching principle) yang merupakan dasar atau pondasi yang perlu dipahami oleh coach:
1. Mengumpulkan informasi
Seorang supervisor (coach) harus mendapatkan informasi dari karyawan tanpa membuat karyawan merasa bahwa dia
diinterogasi.Informasi ini sangat penting untuk membuat berbagai
macam keputusan mulai dari menyeleksi karyawan untuk ditugaskan
di jabatan tertentu hingga mengidentifikasi kekurangan karyawan
pada kompetensi tertentu, kesulitas yang dihadapi karyawan,
mengetahui minat dan aspirasi karyawan atau mendesain ulang
pekerjaannya dan mestimulasi kinerja di atas standar.
2. Mendengarkan
Mengajukan pertanyaan yang tepat tidak akan berarti banyak jika
seorang supervisor tidak mendengarkan jawaban karyawan. Seorang supervisor (coach) yang baik harus memiliki kemampuan mendengarkan dengan ”telinga ketiga”, memberikan banyak perhatian
pada tanda-tanda non-verbal dan postur tubuh karyawan sehingga dia
mampu menangkap pesan yang tersirat atau perasaan karyawan ketika
yang sesuai untuk menunjukkan bahwa dia menghargai pembicaran
yang dilakukan.
3. Menyadari / peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya
Seorang supervisor harus sering berbicara dengan karyawannya untuk
mengetahui apakah mereka punya masalah moral atau masalah-masalah
lain di tempat kerja yang dapat menurunkan produktivitas atau yang
dapat memicu timbulnya masalah lain atau bahkan menangkap gejala
jika karyawan enggan menyelesaikan pekerjaannya.
4. Mengajar karyawan
Sebagai seorang coach yang baik, seorang supervisor harus memilki
kemampuan mengajar baik secara individu maupun kelompok. Bahkan,
sebelumnya dia juga harus mampu melakukan analisis kebutuhan
pelatihan untuk mengetahui kesenjangan kompetensi yang dimiliki
karyawan.
5. Memberikan Umpan Balik
Umpan balik sangat penting dilakukan untuk membantu karyawan
meningkatkan kinerjanya.Seorang supervisor perlu memberikan umpan
balik positif atau apresiasi terhadap hasil kerja karyawan.Jika karyawan
tidak mencapai hasil kerja yang diharapkan, umpan balik konstruktif
perlu disampaikan dengan cara-cara yang kondusif dan berfokus pada
C. Salesperson
1. Definisi Salesperson
Menurut businesss dictionarysales adalah seorang individu yang menjual barang dan jasa kepada orang lain. Kesuksesan seorang sales person biasanya
diukur dengan jumlah penjualan yang ia mampu lakukan selama periode tertentu
dan seberapa baik ia membujuk orang untuk melakukan pembelian. Jika seorang
salesperson dipekerjakan oleh perusahaan, dalam beberapa kasus kompensasi dapat menurun atau meningkat berdasarkan jumlah barang atau jasa yang dijual.
Sedangkan Beberapa ahli seperti Russel Kotler (2000) dan Takt (2003)
dalam (Moningka & Widyarini, 2005) mendefinisikan salesperson daIam
kerangkayang lebih modern.Seorang tenaga penjualtidak hanya sekedar menjual
namun merupakanpekerjaan yang sangat penting, karena berhubungan dengan
konsumen, dan interaksinya dapat mempengaruhi kepuasan dan kesetiaan
konsumen.Jadi, salesperson disini adalah individu yang menawarkan suatu produk dalam suatu proses penjualan.Salesperson biasanya melakukan strategi
promosi atau penjualan tatap muka (personal selling), menurut Kotler (dalam
Nugroho, 2010) penjualan tatap muka adalah sebuah penyajian secara lisan dalam
suatupembicaraan dengan satu atau beberapa pembeli.
Adapun ciri-ciri penjualan tatap muka (personal selling) menurut Djaslim
(dalam Nugroho, 2010)adalah :
1. Tatap muka pribadi
Penjualan pribadi yang mempunyai hubungan hidup, langsung dan
2. Pemupukan hubungan
Dengan penjualan pribadi akan beraneka ragam hubungan, mulai dari
hubungan jual – beli sampai kepada hubungan persahabatan yang erat.
3. Tanggapan
Pembeli lebih tegas dalam mendengarkan dan memberi tanggapan,
sekalipun tanggapannya hanya merupakan ucapan terima kasih.
Permasalahan yang seringkali terjadi pada saat salesperson melakukan
pekerjaannya adalah munculnya keraguan saat ingin bertemu pelanggan atau
sedang kanvasing ke calon pelanggan sehingga membuat sales membatalkan kunjungannya, pembatalan terjadi lebih dikarenakan salesperson tiba-tiba menjadi
down secara mental dan hilang semangat dikarenakan muncul pikiran-pikiran negatif seperti penolakan, membayangkan pelanggan akan terganggu, rasa tidak
enak, merasa tidak cocok, kehilangan mood dan ketakutan-ketakutan lainnya,
begitupun ketika ingin melakukan follow up ke pelanggan atau prospek baru
(Purnomo, 2013). Kondisi ini menunjukkan peran supervisor dalam memberikan
coaching kepada karyawannya sangatlah penting, sehingga karyawan dapat memiliki engagement terhadap pekerjaan mereka dan dapat mencapai target.
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
salesperson adalah individu yang menawarkan suatu produk dalam proses penjualan tatap muka untuk merangsang konsumen membeli atau memakai barang
atau jasa yang diproduksi suatu perusahaan, dimana pelaksanaan kegiatannya
D. Hubungan antara Supervisory Coachingbehaviourdengan Work Engagement Penelitian yang dilakukan oleh Schaufeli & Bakker (2004) mengenai “job
demands, job resources, and their relationship with burnout and engagement: a multi-sample study” menemukan bahwa supervisory coaching yang termasuk dalam job resources memiliki hubungan terhadap engagement.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa supervisory coaching mampu
menurunkan burnout pada karyawan.
Penelitian sebelumnya tentang pembinaan terhadap kinerja karyawan
dilakukan oleh Nugroho, Hasanuddin dan Brasit mengungkapkanbahwa ada
hubungan positif antara coaching terhadap motivasi kerja dan juga
kinerjaindividual karyawan.Karyawan yang termotivasi memiliki tingkat
energi yang tinggi ketika bekerja, dalam hal ini berhubungan dengan vigor
dalam work engagement.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ellinger, Ellinger & Keller (2008)
menemukan bahwa supervisory coaching berhubungan dengan kepuasan kerja
dan peforma kerja.Robins (dalam Nasution, 2009) mengatakan istilah
kepuasan kerja (job satisfaction) merujuk ke sikap umum seorang individu
terhadap pekerjaannya.Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi
menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja itu, sehingga mereka menjadi
semangat (vigor), antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka
Penelitian yang dilakukan oleh Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, &
schaufeli (2009) juga menemukan hal yang sama mereka menemukan
bahwajob resources, yang salah satu faktornya adalah supervisory coaching memiliki hubungan yang positif dengan work engagement.
Peran supervisor sangat besar terhadap meningkatkan engagement bawahannya, apabila tindakan supervisor menyimpang dari ketentuan
organisasi dapat mengakibatkan dampak psikologis yang dialami oleh anggota
organisasi yang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan
secara potensial bisa menurunkan engagement karyawan terhadap
pekerjaannya (Fielden, 2005).
Perusahaan yang memberi gaji “bersaing” serta fasilitas “wah”, dengan
harapan individu jadi lebih produktif, bisa menampilkan kinerja terbaik.
Namun, upaya ini tidak selalu efektif untuk menumbuhkan spirit, motivasi,
kepandaian dan sikap terpuji dari karyawan. Meski sudah diberi gaji diatas
rata-rata, tidak sedikit karyawan yang tetap bertingkah laku tidak produktif,
tidak mandiri, tidak berani mengambil keputusan dan resiko (Purnomo, 2013)
Riset menunjukkan upaya semacam ini tidak ampuh menghasilkan
perubahan perilaku yang bertahan lama, karena motivasinya bersifat eksternal,
bukan dari dalam diri individu. Coaching dengan nuansa komunikasi positif
anggota tim terdorong untuk “berubah” tanpa merasa “diubah”, ia akan merasa
dibimbing tanpa merasa “digurui”, dan merasakan “tumbuh” tanpa dikerdilkan
kepada karyawan agar setiap karyawan dapat merasa engagement dengan
pekerjaan mereka dan memberikan performa yang baik untuk perusahaan.
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan sebagai jawaban sementara dalam penelitian ini,
yaitu:
Ada hubungan positif antara supervisory coaching behaviour dengan work
engagement pada salesperson, yaitu semakin sering penilaian karyawan terhadap supervisory coaching behaviour atasan maka work engagement pun akan semakin tinggi, demikian sebaliknya, semakin jarang penilaian karyawan