• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Antara Supervisory Coaching Behaviour Dengan Work Engagement Pada Salesperson

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Antara Supervisory Coaching Behaviour Dengan Work Engagement Pada Salesperson"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Work Engagement

Saat ini perusahaan mengharapkan karyawan mereka menjadi proaktif,

inisiatif, bertanggungjawab secara profesional dan berkomitmen tinggi pada

standar peforma. Perusahaan membutuhkan karyawan yang penuh semangat dan

berdedikasi seperti: seseorang yang engageddengan pekerjaan mereka (Bakker &

Leiter, 2010).

1. Definisi Work Engangement

Engagement pertama sekali diungkapkan oleh Kahn.Kahn (1990) mengungkapkan bahwa anggota-anggota dari suatu organisasi akan

mengikat diri dengan pekerjaannya dan kemudian mereka akan bekerja

dan mengekspresikan diri secara fisik, kognitif dan emosional selama

memerankan performanya. Aspek kognitif mengacu pada keyakinan

pekerja terhadap organisasi, pemimpin dan kondisi pekerjaan.Aspek

emosional mengacu pada bagaimana perasaan pekerja apakah positif atau

negatif terhadap organisasi dan pemimpinnya.Sedangkan aspek fisik

mengenai energi fisik yang dikerahkan oleh karyawan dalam

melaksanakan perannya.

Bakker & Leiter (2010) mengatakan “work engagement is a

(2)

high level of energy and strong identification with one’s work” dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa work engagement adalah perasaan

positif yang dikarakteristikkan oleh semangat dan kekuatan seseorang

dalam bekerja. Harter et al. (dalam Wulandari, 2011) mendefinisikan work

engagement sebagai keterlibatan individual dan kepuasannya sebagai wujud antusiasme kerja.

Work engagement merupakan sebuah motivasi dan pusat pikiran positif yang berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan vigor, dedication dan absorption (Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, & Bakker, 2002). Vigordikarakteristikkan dengan level energi yang tinggi

dan ketahanan saat bekerja.Dedicationmenunjukkan rasa terlibat yang

tinggi dalam suatu pekerjaan, dan mengalami rasa kebermaknaan dan

atusiasme. Absorption dikarakteristikkan oleh konsentrasi yang penuh dan

merasa senang ketika bekerja.Definisi inifokus pada pengalaman

karyawan dalam aktivitas kerjanya (Bakker & Leiter, 2010).

Seseorang yang engaged menyatu dengan peran mereka, tanpa

merugikan orang lain(Wulandari, 2011). Terdapat juga pandangan lain

mengenai engagement yaitu dengan mengasumsikan engagement sebagai lawan dari burnout. Bertentangan dengan burnout, karyawan yang engaged memiliki hubungan yang energikdan efektif dengan aktivitas pekerjaan merekadan mereka mampu menangani dengan baik tuntutan

(3)

Lockwood (dalam Wulandari, 2011) mendefinisikan engagement

sebagai pernyataan oleh individu secara emosional dan intelektual

memiliki komitmen terhadap organisasi, yang diukur melalui tiga perilaku

utama: 1) berbicara positif mengenai organisasi kepada rekan kerja dan

pekerja berpotensi serta pelanggan, 2) memiliki gairah yang intens untuk

menjadi anggota organisasi, meski sebenarnya mendapat peluang kerja di

tempat lain, 3) menunjukkan usaha ekstra dan perilaku yang memiliki

kontribusi terhadap kesuksesan organisasi.

Work engagement merupakan sebuah konsep manajemen bisnis yang menyatakan bahwa karyawan yang memiliki engagement tinggi adalah karyawan yang memiliki keterlibatan penuh dan memiliki

semangat bekerja tinggi dalam pekerjaannya maupun dalam hal-hal yang

berkaitan dengan kegiatan perusahaan jangka panjang (Mujiasih &

Ratnaningsih, 2012). Engagement menunjukkan kegigihan dan meliputi

afektif-kognitif yang tidak hanya fokus pada beberapa objek, kejadian,

individu atau perilaku (Schaufeli & Bakker, 2004).

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan diatas dapat

disimpulkan definisi work engagement adalah sebuah motivasi dan pusat

pikiran positif yang berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan

(4)

2. Aspek- Aspek Engagement

Schaufeli dan Bakker (2003) mengkonsepkan aspek-aspek dari

engagement, yaitu, sebagai berikut; a. Vigor (semangat)

Vigor ditandai oleh tingginya tingkat energi dan ketahanan mental saat bekerja, kemauan untuk menginvestasikan upaya dalam pekerjaan

seseorang, dan ketekunan juga dalam menghadapi kesulitan. Karyawan

yang mendapat skor tinggi padavigor (semangat)selalu memiliki banyak

energi, semangat dan stamina saat bekerja, sedangkan merekayang

mendapat skor rendah pada vigor (semangat )memiliki sedikit energi, semangat dan stamina dalam mengerjakan pekerjaan mereka.

b. Dedication (dedikasi)

Dedikasi ditandai dengan rasa penting, antusiasme, inspirasi,

kebanggaan, dan tantangan.Karyawan yang mendapat skortinggi pada

dedikasi memiliki identifikasi yang kuat dengan pekerjaan mereka

karena memaknainya, inspiratif, dan menantang. Selain itu,

merekabiasanya merasa antusias dan bangga tentang pekerjaan

mereka.Karyawan yang mendapat skor rendah tidak mengidentifikasi

diri dengan pekerjaan mereka karena mereka tidak memaknainya,

inspirasi, atau menantang, apalagi, mereka merasa tidak antusias atau

(5)

c. Absorption (absorbsi)

Absorbsi ditandai dengan konsentrasi penuh dan bahagia dalam

pekerjaan, dimana waktu berlalu dengan cepat dan sulit untuk

memisahkan diri dari pekerjaan.Karyawan yang mendapat skor tinggi

pada absorbsi merasa bahwa mereka menikmati pekerjaan mereka,

mereka merasa tenggelam oleh pekerjaan mereka dan memiliki

kesulitan untuk memisahkan dari pekerjaan mereka. Akibatnya, segala

sesuatu di sekitar mereka dilupakan dan waktu terasa cepat.Karyawan

yang mendapat skor rendah pada absorbsi tidak merasa menikmati atau

tenggelam dalam pekerjaan mereka, mereka tidak mengalami kesulitan

memisahkan dari itu, mereka juga tidak lupa segala sesuatu di sekitar

mereka, termasuk waktu.

3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Work Engagement

Faktor-faktor yang menjadi penyebab utama work engagement,yaitu:

1. Job demands

Seperti psikologis, sosial, atauaspek organisasi yang memerlukan

kelanjutan upaya fisikdan / atau psikologis(misalnya, kognitifatau

emosional) dan karena itu terkait dengan biaya fisiologis dan/ atau

psikologis tertentu (Schaufeli & Bakker, 2004). Berdasarkan

Demerouti, dkk (2001, dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti,

& Schaufeli, 2007) job demands meliputi empat faktor, yaitu: work

(6)

demands(tuntutan emosi), emotional dissonance (ketidaksesuaian emosi), dan organizational changes (perubahan terkait organisasi).

2. Job Resources

Job resources (sumber dayapekerjaan) merujuk kepada psikologis, sosial, atau aspek organisasi pekerjaan yang baik / atau(1)

mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya fisiologis dan psikologis

yang terkait, (2) fungsional dalam mencapai tujuankerja, (3)

merangsang pertumbuhan pribadi, pembelajaran dan

pengembangan. Job resources (sumber daya pekerjaan) meliputi empat faktor, yaitu :autonomy (otonomi), social support (dukungan

sosial), supervisory coaching (bimbingan dari atasan), dan opportunities for professional development (kesempatan untuk berkembang secara profesional).Peran atasan sangat penting dalam

meningkatkan engagement karyawannya. Dalam meningkatkan engagement karyawannya supervisor menunjukkan perilaku mau mendengarkan, memberikan umpan balik kepada karyawan atau

disebut sebagai supervisory coaching behaviour .

3. Personal Resources

Merupakan aspek diri dan pada umumnya dihubungkan

dengan kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu

memanipulasi, mengontrol dan memberikan dampak pada

(7)

(Demerouti dkk, 2001, dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti,

& Schaufeli, 2007).

Beberapa tipikal sumber daya pribadi antara lain:

Self-efficacy (keyakinan diri) merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya untuk melaksanakan dan menyelesaikan suatu

tugas/tuntutan dalam berbagai konteks, Organizational-based

self-esteem didefinisikan sebagai tingkat keyakinan anggota organisasi bahwa mereka dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan

berpartisipasi dan mengambil peran atau tugas dalam suatu

organisasi (Chen, Gully, & Eden, 2001, dalam Xanthopoulou,

Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2007). Optimism (optimism)

terkait dengan bagaimana seseorang meyakini bahwa dirinya

mempunyai potensi untuk bisa berhasil dan sukses dalam

hidupnya.

B. Supervisory CoachingBehaviour

1. Definisi Supervisory Coaching Behaviour

Seorang pemimpin perusahaan perlu mendorong meningkatkan

manajemen yang people oriented. Pemimpin yang baik meyakini bahwa

karyawan lebih membutuhkan atasan yang mendorong kepada

pengembangan diri (Rogers, dalam Ellinger, Ellinger, & Keller 2005),

dibandingkan seorang atasan yang dapat menjawab semua masalah dan

(8)

Dalam struktur kepemimpinan di perusahaan terdapat beberapa

level manajemen, supervisi adalah level pertama dari manajemen dalam

perusahaan. Supervisor merupakan first line manager yang bertanggungjawab langsung pada operasional di lapangan (Tobing &

Napitupulu, 2011).Supervisor bertanggungjawab menghubungkan

manajemen yang lebih tinggi kepada karyawan dan memperlakukan

karyawan secara adil, membuat instruksi yang jelas, dan menyampaikan

kekhawatiran karyawan untuk manajemen yang lebih tinggi (Certo, 2007).

Seringkali definisi mengenai supervisor dan manajer tumpang tindih

dalam perusahaan, manajer adalah orang yg mengatur pekerjaan atau kerja

sama di antara berbagai kelompok atau sejumlah orang untuk mencapai

sasaran, mereka berwenang dan bertanggung jawab membuat rencana,

mengatur, memimpin, dan mengendalikan pelaksanaannya untuk

mencapai sasaran tertentu sedangkan supervisor adalah menghubungkan

manajemen yang lebih tinggi kepada karyawan, mereka menjadi jembatan

antara manajer dan bawahannya dalam melaksanakan kebijakan yang telah

dibuat(Cremo dan Felix, 2000).

Supervisor memiliki dampak yang kuat pada kehidupan para karyawan. Hubungan seorang karyawan dengan atasannya sering menjadi

faktor yang paling berpengaruh apakah karyawan merasa dihargai dan

dihormati di tempat kerja. Perasaan dihargai dan dihormati adalah salah

satu faktor terbesar yang mempengaruhi keputusan karyawan untuk tetap

(9)

Coaching merupakan salah satu tugas seorang supervisor agar mampu mengelola kinerja karyawannya secara efektif (Nugroho,

Hasanuddin & Brasit, 2011).Sebagai coach, supervisor mengembangkan rencana untuk memenuhi hasil kinerja dan tujuan departemen dan

organisasi. Mereka harus membuat keputusan taktis sehari-hari yang

mengarahkan staf mereka lebih dekat ketujuan yang diinginkan.Mereka

dapat mengenali bakat dan tahu siapa yang memiliki bakat dan

keterampilan yang dimiliki. Supervisor secara khusus berkaitan dengan menciptakan lingkungan yang memelihara pertumbuhan profesional

(Cremo dan Felix, 2000).

Coaching tergantung pada kepercayaan, oleh karena itu coaching atasan yang sukses menyebabkan perubahan dari command and

controlstyle, pada model manajemen yang didasarkan lebih kepada partnership untuk mencapai keberhasilan dan komitmen (Barry, 1992 dalam Ellinger, Ellinger, & Keller 2005).

Coaching berpusat pada membuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerja sendiri. Fokus pada peningkatan kinerja dan

pengembangan keterampilan adalah kunci untuk coaching yang efektif(Fielden, 2005).Coaching adalah proses membimbing yang

dilakukan atasan untuk melatih dan memberikan orientasi kepada

bawahannya tentang realitas ditempat kerja dan membantu mengatasi

(10)

Wilson (dalam Seger, 2007) mengatakan coaching dapat membantu individu atau organisasi untuk meraih kinerja optimal, mengatasi

hambatan dan rintangan terhadap pertumbuhan, dan untuk meraih

tujuan-tujuan spesifik dan tantangan-tantangan sebagai sarana pemenuhan,

pengembangan pribadi dan professional, keseimbangan hidup dan karya,

serta pencegahan. Coaching yang efektif membutuhkan pelatih dan orang

dilatih untuk memenuhi peran relatif mereka.

Coaching menjadi alat yang penting dalam proses pengembangan kepribadian dan profesionalitas seseorang, sehingga seorang pemimpin

(atasan) diharapkan mampu menjadi coach yang baik kepada bawahannya

(Seger, 2007). Sebagai pimpinan di suatu kantor kemampuan untuk dapat

mengoptimalkan kinerja bawahannya merupakan kebutuhan yang sangat

penting dengan berfokus pada usaha mengatasi segala masalah yang

timbul di tempat kerja melalui mekanisme coaching.

Apabila coaching dilakukan di tempat kerja oleh atasan kepada bawahannya, maka proses coaching dapat merupakan suatu dialog atau

komunikasi dua arah antara atasan yang memberikan coaching tersebut

dengan bawahannya. Membudayakan coaching di tempat kerja merupakan

upaya yang harus dilakukan oleh setiap pimpinan suatu organisasi apabila

menginginkan kinerja organisasi dapat meningkat (Ubaydillah, 2008).

Menurut Grant (dalam Wilson, 2011), coaching adalah sebuah

proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil, dan

(11)

pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pengembangan pribadi. Oleh

karena itu kemampuan supervisory coachingmeliputi bertanya,

mendengar, memberi dan menerima feedback, komunikasi dan motivasi,

daripada kemampuan atasan secara tradisional seperti persaingan,

mengontrol, pemecah masalah, dan terlihat lebih ahli (Ellinger, Ellinger, &

Keller 2005)

Coaching ditandai dengan kualitas hubungan yang tinggi antara atasan dan bawahannya.Leader-Member Exchange (LMX) (Agarwal,

Angst dan Magni, 2006), didasarkan pada rasa saling percaya dan peran

modellingsupervisor.LMX adalah teori yang memfokuskan pada interaksi antara pemimpin dan pengikutnya (Zahreni, 2008).Dalam teori ini

menggambarkan bagaimana pemimpin menggunakan kekuasaan mereka

untuk membangun hubungan dari sisi yang berbeda (Dierendonck, Le

Blanc & Breukelen, 2002).LMX tidak hanya melihat sikap dan perilaku

pemimpin dan pengikutnya tetapi menekankan pada kualitas hubungan

yang terbentuk.

Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa

supervisorycoaching behaviour merupakan perilaku yang ditunjukkan dengan mendengar, memberi atau menerima feedback,dan mengarahkan

karyawan untuk meningkatkan peforma kerja yang dilakukan oleh

(12)

2. Prinsip Dasar dalam Coaching

Supervisor perlu melakukan coaching yang efektif, sebelum melakukan proses coaching yang efektif supervisor perlu memiliki

beberapa skills, Stone (1999) mengungkapkan lima prinsip coaching (Five

coaching principle) yang merupakan dasar atau pondasi yang perlu dipahami oleh coach:

1. Mengumpulkan informasi

Seorang supervisor (coach) harus mendapatkan informasi dari karyawan tanpa membuat karyawan merasa bahwa dia

diinterogasi.Informasi ini sangat penting untuk membuat berbagai

macam keputusan mulai dari menyeleksi karyawan untuk ditugaskan

di jabatan tertentu hingga mengidentifikasi kekurangan karyawan

pada kompetensi tertentu, kesulitas yang dihadapi karyawan,

mengetahui minat dan aspirasi karyawan atau mendesain ulang

pekerjaannya dan mestimulasi kinerja di atas standar.

2. Mendengarkan

Mengajukan pertanyaan yang tepat tidak akan berarti banyak jika

seorang supervisor tidak mendengarkan jawaban karyawan. Seorang supervisor (coach) yang baik harus memiliki kemampuan mendengarkan dengan ”telinga ketiga”, memberikan banyak perhatian

pada tanda-tanda non-verbal dan postur tubuh karyawan sehingga dia

mampu menangkap pesan yang tersirat atau perasaan karyawan ketika

(13)

yang sesuai untuk menunjukkan bahwa dia menghargai pembicaran

yang dilakukan.

3. Menyadari / peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya

Seorang supervisor harus sering berbicara dengan karyawannya untuk

mengetahui apakah mereka punya masalah moral atau masalah-masalah

lain di tempat kerja yang dapat menurunkan produktivitas atau yang

dapat memicu timbulnya masalah lain atau bahkan menangkap gejala

jika karyawan enggan menyelesaikan pekerjaannya.

4. Mengajar karyawan

Sebagai seorang coach yang baik, seorang supervisor harus memilki

kemampuan mengajar baik secara individu maupun kelompok. Bahkan,

sebelumnya dia juga harus mampu melakukan analisis kebutuhan

pelatihan untuk mengetahui kesenjangan kompetensi yang dimiliki

karyawan.

5. Memberikan Umpan Balik

Umpan balik sangat penting dilakukan untuk membantu karyawan

meningkatkan kinerjanya.Seorang supervisor perlu memberikan umpan

balik positif atau apresiasi terhadap hasil kerja karyawan.Jika karyawan

tidak mencapai hasil kerja yang diharapkan, umpan balik konstruktif

perlu disampaikan dengan cara-cara yang kondusif dan berfokus pada

(14)

C. Salesperson

1. Definisi Salesperson

Menurut businesss dictionarysales adalah seorang individu yang menjual barang dan jasa kepada orang lain. Kesuksesan seorang sales person biasanya

diukur dengan jumlah penjualan yang ia mampu lakukan selama periode tertentu

dan seberapa baik ia membujuk orang untuk melakukan pembelian. Jika seorang

salesperson dipekerjakan oleh perusahaan, dalam beberapa kasus kompensasi dapat menurun atau meningkat berdasarkan jumlah barang atau jasa yang dijual.

Sedangkan Beberapa ahli seperti Russel Kotler (2000) dan Takt (2003)

dalam (Moningka & Widyarini, 2005) mendefinisikan salesperson daIam

kerangkayang lebih modern.Seorang tenaga penjualtidak hanya sekedar menjual

namun merupakanpekerjaan yang sangat penting, karena berhubungan dengan

konsumen, dan interaksinya dapat mempengaruhi kepuasan dan kesetiaan

konsumen.Jadi, salesperson disini adalah individu yang menawarkan suatu produk dalam suatu proses penjualan.Salesperson biasanya melakukan strategi

promosi atau penjualan tatap muka (personal selling), menurut Kotler (dalam

Nugroho, 2010) penjualan tatap muka adalah sebuah penyajian secara lisan dalam

suatupembicaraan dengan satu atau beberapa pembeli.

Adapun ciri-ciri penjualan tatap muka (personal selling) menurut Djaslim

(dalam Nugroho, 2010)adalah :

1. Tatap muka pribadi

Penjualan pribadi yang mempunyai hubungan hidup, langsung dan

(15)

2. Pemupukan hubungan

Dengan penjualan pribadi akan beraneka ragam hubungan, mulai dari

hubungan jual – beli sampai kepada hubungan persahabatan yang erat.

3. Tanggapan

Pembeli lebih tegas dalam mendengarkan dan memberi tanggapan,

sekalipun tanggapannya hanya merupakan ucapan terima kasih.

Permasalahan yang seringkali terjadi pada saat salesperson melakukan

pekerjaannya adalah munculnya keraguan saat ingin bertemu pelanggan atau

sedang kanvasing ke calon pelanggan sehingga membuat sales membatalkan kunjungannya, pembatalan terjadi lebih dikarenakan salesperson tiba-tiba menjadi

down secara mental dan hilang semangat dikarenakan muncul pikiran-pikiran negatif seperti penolakan, membayangkan pelanggan akan terganggu, rasa tidak

enak, merasa tidak cocok, kehilangan mood dan ketakutan-ketakutan lainnya,

begitupun ketika ingin melakukan follow up ke pelanggan atau prospek baru

(Purnomo, 2013). Kondisi ini menunjukkan peran supervisor dalam memberikan

coaching kepada karyawannya sangatlah penting, sehingga karyawan dapat memiliki engagement terhadap pekerjaan mereka dan dapat mencapai target.

Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

salesperson adalah individu yang menawarkan suatu produk dalam proses penjualan tatap muka untuk merangsang konsumen membeli atau memakai barang

atau jasa yang diproduksi suatu perusahaan, dimana pelaksanaan kegiatannya

(16)

D. Hubungan antara Supervisory Coachingbehaviourdengan Work Engagement Penelitian yang dilakukan oleh Schaufeli & Bakker (2004) mengenai “job

demands, job resources, and their relationship with burnout and engagement: a multi-sample study” menemukan bahwa supervisory coaching yang termasuk dalam job resources memiliki hubungan terhadap engagement.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa supervisory coaching mampu

menurunkan burnout pada karyawan.

Penelitian sebelumnya tentang pembinaan terhadap kinerja karyawan

dilakukan oleh Nugroho, Hasanuddin dan Brasit mengungkapkanbahwa ada

hubungan positif antara coaching terhadap motivasi kerja dan juga

kinerjaindividual karyawan.Karyawan yang termotivasi memiliki tingkat

energi yang tinggi ketika bekerja, dalam hal ini berhubungan dengan vigor

dalam work engagement.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ellinger, Ellinger & Keller (2008)

menemukan bahwa supervisory coaching berhubungan dengan kepuasan kerja

dan peforma kerja.Robins (dalam Nasution, 2009) mengatakan istilah

kepuasan kerja (job satisfaction) merujuk ke sikap umum seorang individu

terhadap pekerjaannya.Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi

menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja itu, sehingga mereka menjadi

semangat (vigor), antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka

(17)

Penelitian yang dilakukan oleh Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, &

schaufeli (2009) juga menemukan hal yang sama mereka menemukan

bahwajob resources, yang salah satu faktornya adalah supervisory coaching memiliki hubungan yang positif dengan work engagement.

Peran supervisor sangat besar terhadap meningkatkan engagement bawahannya, apabila tindakan supervisor menyimpang dari ketentuan

organisasi dapat mengakibatkan dampak psikologis yang dialami oleh anggota

organisasi yang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan

secara potensial bisa menurunkan engagement karyawan terhadap

pekerjaannya (Fielden, 2005).

Perusahaan yang memberi gaji “bersaing” serta fasilitas “wah”, dengan

harapan individu jadi lebih produktif, bisa menampilkan kinerja terbaik.

Namun, upaya ini tidak selalu efektif untuk menumbuhkan spirit, motivasi,

kepandaian dan sikap terpuji dari karyawan. Meski sudah diberi gaji diatas

rata-rata, tidak sedikit karyawan yang tetap bertingkah laku tidak produktif,

tidak mandiri, tidak berani mengambil keputusan dan resiko (Purnomo, 2013)

Riset menunjukkan upaya semacam ini tidak ampuh menghasilkan

perubahan perilaku yang bertahan lama, karena motivasinya bersifat eksternal,

bukan dari dalam diri individu. Coaching dengan nuansa komunikasi positif

anggota tim terdorong untuk “berubah” tanpa merasa “diubah”, ia akan merasa

dibimbing tanpa merasa “digurui”, dan merasakan “tumbuh” tanpa dikerdilkan

(18)

kepada karyawan agar setiap karyawan dapat merasa engagement dengan

pekerjaan mereka dan memberikan performa yang baik untuk perusahaan.

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan sebagai jawaban sementara dalam penelitian ini,

yaitu:

Ada hubungan positif antara supervisory coaching behaviour dengan work

engagement pada salesperson, yaitu semakin sering penilaian karyawan terhadap supervisory coaching behaviour atasan maka work engagement pun akan semakin tinggi, demikian sebaliknya, semakin jarang penilaian karyawan

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

menjelaskan bahwa work engagement terfokus pada keterlibatan karyawan terhadap pekerjaannya, sedangkan employee engagement lebih terfokus pada keterlibatan

Data antropometri yang menyajikan data ukuran dari berbagai macam anggota tubuh manusia dalam persentil tertentu akan sangat besar manfaatnya pada saat suatu rancangan

Tahapan pengujian faktor merupakan suatu tahapan yang digunakan untuk menguji faktor-faktor. Tahapan tersebut ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor yang harus diamandemen,

Berdasarkan gambar 4.13 , dapat dilihat pula bahwa grafik antara hasil simulasi dengan hasil dilapangan terdapat selisih nilai effisiensi pada masing-masing kecepatan

Manajemen akrual sebagaimana yang dijelaskan oleh Ayres mengenai proses perekayasaan periode pendapatan dan biaya, menurut etika Islam tidak etis dan tidak boleh dilakukan

Hipotesis dalam variabel ini adalah H1 : Kegunaan yang dirasakan berpengaruh positif signifikan terhadap Sikap menggunakan M- banking pada Bank CIMB Niaga di

Melihat pokok persoalan tersebut maka peneliti memandang perlu untuk mengetahui kemungkinan pengaruh penerapan layanan dasar bimbingan akademik terpadu dalam