• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Eceng Gondok sbgai bioetanol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Potensi Eceng Gondok sbgai bioetanol"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah dengan tema umum yang berjudul “Potensi Pembuatan Etanol Dari Eceng Gondok”. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang turut membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.

Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas yang diberikan sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua. Kami pun menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan maupun kesalahan, “ tak ada gading yang tak retak “ karena kami hanya manusia biasa yang masih perlu banyak belajar. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyusunan makalah di masa depan yang lebih baik lagi.

Banjarbaru, Maret 2015

(2)
(3)

DAFTAR ISI

2.2 Keunggulan Eceng Gondok ... 5

2.3 Bioetanol ... 6

2.3.1 Pretreatment ... 7

2.3.2 Fermentasi ... 7

BAB III METODE DAN HASIL 3.1 Perlakuan Pendahuluan Terhadap Eceng Gondok ... 9

(4)
(5)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bioetanol adalah etanol (alkohol yang paling dikenal masyarakat) yang dibuat dengan fermentasi yang membutuhkan faktor biologis untuk prosesnya. Bahan baku yang digunakan untuk membuat bioethanol adalah eceng gondok. Keunggulan tersebut adalah memiliki laju pertumbuhan tiga persen dari 3 % perhari di rawa atau danau dan tingkat perumbuhan eceng gondok mencapai 125 ton basah/6 bulan(Glori K. Wadrianto : 2012).

Eceng gondok (Eichorrnia crassipes) merupakan gulma yang memiliki kemampuan tumbuh serta mampu membentuk populasi yang sangat besar dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu maka berbagai upaya pengendalian populasinya terus dilakukan. Selain upaya pengendalian, upaya pemanfaatan secara ekonomis pun dilakukan. Dengan penelitian lebih lanjut, diketahui eceng gondok dapat membantu produsen bioetanol untuk mengetahui spesies yang dapat menghasilkan bioethanol, dilihat dari jumlah sukrosa yang dihasilkan spesies tersebut jika dihidrolisis sebelum proses hidrolisis dengan enzim, dilakukan terlebih dahulu proses hidrothermal dengan harapan biomassa yang menggandung tignoselulosa yang dinding selnya terbungkus oleh ligning dipecah menjadi gula sederhana agar enzim mudah menembus selulosa yang ada didalamnya.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :

1. Apa pengertian eceng gondok? 2. Apa keunggulan eceng gondok?

3. Bagaimana proses pembuatan bioetanol dengan berbahan baku eceng gondok? 4. Bagaimana ketersediaan jumlah bahan baku eceng gondok jika dibandingkan

(6)

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengertian eceng gondok. 2. Untuk mengetahui keunggulan eceng gondok.

3. Untuk mengetahui proses pembuatan bioetanol dengan berbahan baku eceng gondok.

4. Untuk mengetahui ketersediaan jumlah bahan baku eceng gondok jika dibandingkan dengan ketersediaan bahan baku yang lain.

1.4. Metode Penulisan

(7)

BAB II ISI

2.1. Pengertian Eceng Gondok

Eceng gondok atau enceng gondok (Latin:Eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Selain dikenal dengan nama eceng gondok, di beberapa daerah di Indonesia, eceng gondok mempunyai nama lain seperti di daerah Palembang dikenal dengan nama Kelipuk, diLampung dikenal dengan nama Ringgak, di Dayak dikenal dengan nama Ilung-ilung, di Manado dikenal dengan nama Tumpe. Eceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brasil. Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya.

Gambar 1. Eceng Gondok

(8)

yang melebar atau hampir bulat dengan garis tengah sampai 15 cm. Pada bagian tangkai daun terdapat masa yang menggelembung yang berisi serat seperti karet busa. Kelopak bunga berwarna ungu muda agak kebiruan. Setiap kepala putik dapat menghasilkan sekitar 500 bakal biji atau 5000 biji setiap tangkai bunga, sehigga eceng gondok dapat berkembang biak dengan dua cara yaitu dengan tunas dan biji.

(9)

Karena eceng gondok memiliki kandungan selulosa yang tinggi, sehingga berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan bakar.

Eichornia Crassipes (Eceng Gondok) Gerbano (2005) menyebutkan, eceng gondok termasuk family Pontederiaceae. Tanaman ini hidup di daerah tropis mau pun subtropis. Eceng gondok digolongkan sebagai gulma perairan yang mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan dan berkembang biak secara cepat. Tempat tumbuh yang ideal bagi tanaman eceng gondok adalah perairan yang dangkal dan berair keruh, dengan suhu berkisar antara 28-30C dan kondisi pH berkisar 4-12. Di perairan yang dalam dan berair jernih di dataran tinggi, tanaman ini sulit tumbuh. Eceng gondok mampu menghisap air dan menguapkanya keudara melalui proses evaporasi.

2.2. Keunggulan Eceng Gondok

(10)

ini diteliti oleh NASA untuk digunakan sebagai tanaman pembersih air di pesawat ruang angkasa (Little, 1979; Thayagajaran, 1984). Menurut Zimmel (2006) danTripathi (1990) eceng gondok juga dapat digunakan untuk menurunkan konsentrasi COD dari air limbah.

2.3. Bioetanol

Bioetanol merupakan bahan bakar yang bersih, hasil pembakaran menghasilkan CO2 dan H2O. Penambahan bahan yang mengandung oksigen pada sistem bahan bakar akan mengurangi emisi gas CO yang sangat beracun dari sisa pembakaran. Aditif MTBE pada mulanya dipergunakan untuk meningkatkan nilai oktan, namun saat ini dilarang dipergunakan. MTBE dapat dideteksi dan menyebabkan pencemaran pada air tanah sehingga alkohol merupakan alternatif yang menarik untuk mengurangi emisi gas CO. Penggunaan alkohol murni dibanding dengan bensin secra umum akan mengurangi kadar CO2 hingga 13% karena merupakan hasil dari pertanian. Seperti diketahui produk pertanian memerlukan gas CO2 untuk metabolismenya. Bioetanol merupakan etanol yang diperoleh melalui proses fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme. Selain bioetanol dikenal pula gasohol, yang merupakan campuran bioetanol dengan premium. Misalnya gasohol E-10 mengandung bioetanol 10% dan sisanya premium. Bioetenol yang mengandung 35% oksigen dapat meningkatkan efesiensi pembakaran dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Keuntungan lain dari bioetanol adalah nilai oktannya lebih tinggi dari premium sehingga dapat menggantikan fungsi bahan aditif seperti MTBE dan TEL. Bioetanol dapat langsung dicampur dengan premium pada berbagai komposisi sehingga dapat meningkatkan efesiensi dan emisi gas buang yang lebih ramah lingkungan.

(11)

kompleks. Produksi bioetanol terdiri dari beberapa proses, yaitu pretreatment, hidrolisis dan fermentasi.

2.3.1 Pretreatment

Pretreatment biomassa lignoselulosa harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang tinggi di mana penting untuk pengembanganteknologi biokonversi dalam skala komersial. Sebagai contoh pretreatmentyang baik dapat mengurangi jumlah enzim yang digunakan dalam proseshidrolisis. Pretreatment dapat meningkatkan hasil gula yang diperoleh. Gula yang diperoleh tanpa pretreatment kurang dari 20%, sedangkandengan pretreatment dapat meningkat menjadi 90% dari hasil teoritis.

Tujuan dari pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polymer polisakarida menjadi monomer gula. Menurut (Sun & Cheng, dalam Isroi, 2008) pretreatment seharusnya memenuhi kebutuhan berikut ini:

1. Meningkatkan pembentukan gula atau kemampuanmenghasilkan gula pada proses berikutnya melalui hidrolisis enzimatik;

Beberapa spesies mikroba dari kelompok yeast/khamir, bakteri danfungi dapat memfermentasi karbohidrat menjadi ethanol dalam kondisi bebas oksigen. Mikroba melakukan fermentasi tersebut untuk mendapatkan omoge dan untuk tumbuh. Reaksi yang terjadi dalam proses fermentasi pembuatan etanol adalah sebagai berikut:

C6H12O6 2 C2H12OH + 2 CO2

(12)
(13)

BAB III

METODE DAN HASIL

3.1. Perlakuan Pendahuluan Terhadap Eceng Gondok

Bahan baku yang digunakan untuk percobaan adalah eceng gondok jenis kelas Monocotylodenae dan keluarga Pontederiaceae yang berasal dari Kota Makassar. Eceng gondok sebanyak 10 kg dibersihkan dari kotoran seperti pasir dan lumut kemudian dipotong-potong ±1-2 cm. Pencucian dilakukan dengan cara meyemprotkan air ke eceng gondok. Kemudian direndam semalam lalu dicuci kembali dan direndam kembali, pekerjaan tersebut dilakukan selama 3 hari. Setelah itu eceng gondok tersebut dikeringkan dahulu pada suhu 105°C selama 16 jam Eceng gondok yang telah dikeringkan diperkecil ukurannya hingga lolos 100 mesh. Selanjutnya eceng gondoksiap untuk di treatment sesuai dengan kondisi operasi yang telah ditetapkan.

3. 2. Perlakuan Hidrothermal

Pengaruh suhu, waktu operasi dan pH larutan terhadap kerusakan struktur sel eceng gondok diteliti dengan melakukan perlakuan hidrothermal pada tekanan 1 atm. Penelitian pada tekanan 1 atm (101,35 kPa) juga dilakukan sebagai kondisi kontrol/pembanding. Penelitian ini juga dilakukan dengan memvariasikan suhu (120°C,150°C dan 170°C)selama 30 dan 60 menit serta pH larutan dengan ada/tanpa penambahan larutan buffer (10 g eceng gondok dalam 500 ml buffer asetat).

3. 3. Filtrasi (memisahkan ampas dan hidrolisat)

Tahap berikutnya adalah menyaring hidrolisat yang diperoleh dengan dibantu oleh kerja pompa vakum. Analisa dilakukan di awal maupun diakhir proses, yaitu analisa glukosa dari bahan baku eceng gondok, kadar lignin dan strukturnya.

3.3.1 Analisa Kadar Gula Metode Luff Schoorl

 Dipipet 10 ml substrat ke dalam labu takar kemudian diimpitkan dengan aquades hingga tanda batas lalu dipipet 25 ml ke dalam erlenmeyer

(14)

 Ditutup erlenmeyer dengan aluminium foil kemudian dididihkan selama 10 menit.

 Setelah dingin ditambahkan 2 g KI dan 25 ml larutan H2SO4 4 N

 Dititrasi dengan larutan Natrium Tiosulfat 0,1 N (yang sudah distandarisasi) dan menggunakan kanji 3 % sebagai indikator. Untuk memperjelas perubahan warna pada saat titrasi sebaiknya kanji ditambahkan pada saat titrasi hampir berakhir.

 Dicatat volume penitar yang digunakan (a ml).

 Dilakukan hal yang sama untuk blangko menggunakan aquades (b ml) 3.3.2 Analisa Kandungan Selulosa dan Lignin Dengan Metode Chesson

 Ditimbang sampel kering sebanyak 1 gram (berat a), ditambahkan 150 ml aquades dan dipanaskan pada suhu 100°C selama 1 jam.

 Disaring dan residu dicuci dengan air panas 300 ml, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105°C selama 30 menit kemudian ditimbang (berat b)

 Ditambahkan 150 ml H2SO4 1 N, kemudian merefluks selama 1 jam pada suhu 100°C.

 Disaring dan padatan dicuci dengan aquadest sampai netral

 Dikeringkan hingga berat konstan (berat c)

 Ditambahkan 100 ml H2SO4 72 % dan membiarkan selama 4 jam pada suhu kamar. Menambahkan 150 ml H2SO4 1 N dan merefluks pada suhu 100° C selam 1 jam.

 Disaring dan padatan dicuci dengan aquadest sampai netral, mengeringkan di dalam oven pada suhu 1050C sampai diperoleh berat konstan (berat d)

 Selanjutnya diabukan di dalam tanur pada suhu 800°C

 Didinginkan dalam eksikator dan menimbangnya (berat e)

 Dihitung kadar selulosa dan lignin dengan rumus % Selulosa = cd

(15)

% Lignin = de

a x 100%

3. 4. Hidrolisis

Mengambil eceng gondok yang sudah halus dan kering sebanyak 10 gram ke dalam gelas kimia dan melarutkan dengan buffer asetat pH 4,6 sebanyak 500 ml untuk hidrolisis melakukan proses pemanasan sesuai suhu optimum yang di dapatkan dari pengujian kadar gula. Ke dalam gelas kimia tersebut ditambahkan inokulum (mengambil 10-15 % dari larutan tersebut, lalu menambahkan 1,5 g ekstrat ragi, 20 g glukosa dan 1,5 g Na3PO4 di sterilkan selama 15 menit suhu 121°C, lalu ditambahkan secuil mikroba Trichoderma ressei yang telah diremajakan dan dishaker selama 48 jam) sisa dari larutan tersebut sebagai media fermentasi, selanjutnya memasukkan inokulum tersebut ke dalam media fermentasi, menguji kadar gulanya

dengan tujuan mencari waktu optium untuk proses hidrolisis. 3. 5. Fermentasi

Hasil dari proses hidrolisis kemudian dipanaskan pada suhu 121°C selama 15 menit, membuat media inokulum (mengambil 10-15 % dari larutan tersebut, lalu menambahkan 1,5 g ekstrat ragi, 20 g glukosa dan 1,5 g Na3PO4 di sterilkan selama 15 menit suhu 121 0C, lalu ditambahkan sedikit mikroba Saccharomyces cereviseae yang telah diremajakan, lalu ditambahkan 0,15 g urea, NPK 0,15 g dan dishaker selama 24 jam) sisa dari larutan tersebut digunakan sebagai media fermentasi ditambahkan urea 2,4 g dan NPK 2,4 g bagian dari volume fermentasi larutan tersebut dan didiamkan selama 7-8 hari. Dengan reaksi fermentasi sebagai berikut:

C6H12O6 2CO2 + 2C2H5OH

(16)

tersebut merupakan hasil fermentasi dimana dihasilkan gas CO2 dan etanol serta energi yang berupa panas.

3. 6. Penyulingan

Untuk mendapatkan etanol hasil fermentasi perlu dilakukan pemisahan yaitu dengan cara penyulingan atau distilasi pada suhu 80°C dan suhu ini harus dipertahankan, karena etanol sendiri menguap pada suhu tersebut. Uap etanol yang dihasilkan dikembalikan ke fase cair dengan cara kondensasi sehingga didapatkan etanol. Pada penyulingan pertama biasanya dihasilkan etanol 50%-60%.

3.6.1 Pengujian kadar etanol dengan indes bias

 Dibuat kurva standar (campuran larutan air –etanol dengan indeks bias)

 Dipipet hasil fermentasi untuk 2 hari dan dianalisa

 Kadar etanol yang di dapatkan dapat dilihat melalui kurva standar 3.6.2 Pengujian kadar etanol dengan alat kromatografi gas

 Alat dinyalakan dan ditunggu hingga 10-15 menit.

 Dipipet etanol 98 % dengan alat syrine lalu dimasukan ke alat injeksi GC dan menekan tombol sambil menunggu pembacaan kadar etanol pada komputer.

 Hal sama dilakukan untuk kedua sampel tersebut 3.7 HASIL

(17)
(18)

- Pengujian Kadar Etanol Dengan Alat Indeks Bias Tabel 5.1.3 Kurva Standar

(19)
(20)

3.8 Pembahasan

Pada tabel 5.1.1 menunjukkan kadar glukosa pada eceng gondok dengan pemanasan 170°C dengan waktu 60 menit adalah 5,78 % (b/b) sementara kadar lignin 33,4 % dan selulosa adalah 13,1 %. Melihat kadar gula pada pemanasan 170°C dengan waktu 60 menit lebih banyak daripada pemanasan sampel lain. Sehingga pemanasan 170°C waktu 60 menit dijadikan patokan untuk melanjutkan ketahap hidrolisis. Selain itu, dari grafik hubungan antara kadar glukosa dan temperatur terlihat bahwa kadar glukosa setelah proses hidrothermal berbanding lurus. Dimana semakin tinggi suhu yang digunakan dalam proses hidrothermal maka semakin besar pula kandungan glukosa yang dihasilkan. Hal ini menandakan bahwa dalam proses hydrothermal terjadi pengerusakan ikatan lignin sehingga pada saat hidrolis enzim dengan mudah masuk ke dalam struktur selulosa karena ikatan lignin telah terbuka oleh proses hidrothermal. Akan tetapi, pada kondisi suhu 170°C kadar glukosa yang dihasilkan pada waktu 30 menit dan 60 menit sudah tidak memiliki selisih kandungan glukosa yang besar dengan kata lain, kadar glukosa pada temperatur tersebut telah konstan.

(21)

dihasilkan oleh Trichoderma reseei membuka struktur eceng gondok. Dengan terbukanya struktur eceng gondok maka memudahkan ke proses fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Pada proses fermentasi kedua, bakteri Saccharomyces cerevisiae dapat mengubah glukosa menjadi etanol dan gas CO2. Untuk mendapatkan etanolnya diperlukan perlakuan seperti pH antara 4,5-4,8, suhu sekitar 38-40°C dan difermentasi sampai 7 hari. Sebab waktu maksimal membentuk etanol adalah pada hari ke-7.

Untuk metode pengujian selanjutnya, volume yang diambil dari hasil fermentasi adalah 100 ml dari 400 ml. Untuk menghitung kadar etanol yang terbentuk setelah destilasi pertema menggunakan alat indeks bias, sebaiknya menggunakan kurva standar dengan membuat larutan etanol-air kemudian diuji dengan alat indeks bias, selanjutnya untuk mengetahui kadar etanol dari masing-masing sampel berdasarkan harinya menggunakan metode ploting. Sehingga didapatkan kadar etanol dari hari ke 2-7 adalah 1.7, 1.9, 1.6, 1.7, 1.0 dan 2.5 %. Adapun kadar etanol yang terbentuk tidak konstan dikarenakan kemungkinan saat destilasi terjadinya penguapan.

Untuk destilasi kemurnian konsentrasi etanol yang diambil adalah 1,9 dan 2.5% dari jumlah volume awal 100 ml dan setelah di destilasi menjadi 6 ml dan 9 ml. Selanjutnya dilakukan pengujian etanol menggunakan alat GC guna mengetahui kadar kemurnian etanol sebenarnya. Hasil dari pengujian kemurnian etanol adalah 6,2% dan 6,4%.

3.9 Ketersediaan jumlah bahan baku eceng gondok jika dibandingkan dengan ketersediaan bahan baku yang lain.

(22)

Namun dari semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu merupakan tanaman yang setiap hektarnya paling tinggi dapat memproduksi bioethanol. Selain itu pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan baku proses produksi bioethanol juga didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Pada ubi kayu, kandungan gula yang ada didalamnya sebesar 250-300 kg dan jumlah hasil konversi bioetanol adalah sebesar 166,6 liter. Nilai tersebut merupakan angka yang sangat tinggi. Tetapi untuk menghasilkan ubi kayu yang banyak diperlukan penanaman dan pemeliharaan yang baik serta membutuhkan biaya tambahan.

(23)

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat pada makalah ini adalah:

1. Waktu yang digunakan untuk mendapatkan kadar glukosa yang optimum pada proses hydrothermal yaitu selama 60 menit.

2. Temperatur pada proses hydrothermal berbanding lurus dengan kadar glukosa yang dihasilkan, tetapi pada suhu optimum kadar glukosa mancapai pada keadaan konstan.

3. Pada kondisi optimum dalam proses hydrothermal, terjadi kerusakan struktur sel ecang gondok. Sehingga mampu merombak hemiselulosa dan menghasilkan glukosa yang optimal.

4. Kandungan bioetanol yang diperoleh dari hasil fermentasi dan pemisahan destilasi adalah 6,2% dan 6,4%.

3.2. Saran

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1966. Eceng Gondok

http://id.wikipedia.org/wiki/Eceng_gondok Diakses pada tanggal 20 Februari 2015

Dayana Chane. 2014. Pembuatan Bioetanol dari Eceng Gondok Melalui Proses Hydrotermal

https://www.academia.edu/4850688/pembuatan_bioetanol_dari_eceng_gondok melalui_proses_hydrothermal

Diakses pada tanggal 04 Maret 2015

Dyan, P. M., Dahlina, R., dan Nurul, U. 2013. Potensi Pembuatan Etanol dari Eceng Gondok Melalui Proses Hidrothermal. Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar.

Fitri, M. dan Yulinah, T. 2011. Produksi Bioetanol Dari Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) dengan Zymomonas Mobilis dan Saccharomyces Cerevisiae. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIII Program Studi MMT-ITS

Glori K. Wadrianto.2012. Danau Tondano Dikepung Eceng Gondok,

http://travel.kompas.com/read/2012/11/01/09005234/Danau.Tondano.Dikepung .Eceng.Gondo

(25)

MAKALAH

“POTENSI PEMBUATAN ETANOL DARI ECENG GONDOK”

OLEH

ZAKIYATUR ROFI’AH J1B112049

ZAKIYATIR RAHMI J1B112050

MUTIARA DWI SAPTARINI J1B112053

PROGRAM STUDI S-1 KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

Gambar

Gambar 1. Eceng  Gondok
Tabel 5.1.1 Kadar Glukosa dari Proses Hidrothermal
Grafik 1. Hubungan Kadar Glukosa vs Temperatur-waktu
Tabel 5.1.3 Kurva Standar

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bermanfaaat bagi mahasiswa sebagai calon guru untuk dapat melatih siswa nantinya dalam mengkomunikasikan matematis khususnya materi bangun ruang sisi

Sedangkan hasil uji parsial menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan antara peranan bank sampah terhadap kesejahteraan masyarakat tempatan, ini diketahui dari

Skripsi ini membahas tentang pengaruh metode pendekatan Learning Self Control terhadap peningkatan motivasi dan hasil belajar fisika peserta didik t eridentifikasi

Upaya pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat maupun oleh masyarakat setempat dilakukan terhadap lingkungan hutan, air, udara,

Oktober 201 1). @ulu, sewaktu saya belajar ke surau, setiap anak meraxi tidak percaya diri dan kurang mantap apabila belum pernah pergi belajar ke surau. Surau menjadi

Widjaja, M., 2011, Validasi Metode Penetapan Kadar Kurkumin dalam Sediaan Cair Obat Herbal Terstandar Merk Kiranti Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Fase Terbalik, Skripsi

Hasil tersebut menunjukkan Stasiun Tawang memiliki jumlah spesies dan individu yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah spesies dan individu pada lokasi II (area Kampus